• Home
  • Tentang Asmara Nababan
    • Awal Kehidupan
    • Pendidikan
    • Riwayat Pekerjaan
    • Kegiatan Lainnya
  • Warisan Pemikiran
    • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
    • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
    • HAM dan Pembangunan
    • Demokrasi dan Tata Negara
    • Pendidikan dan Seni
  • Living Legacy
    • Arsip Video
    • Arsip Foto
    • Doa untuk Bang As & Bangsa
    • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
    • Kirim Tulisan
  • Info Kegiatan
  • id ID
    • id ID
    • en EN
Asmara Nababan
keep your memories alive
Author

Nuwiya Amal

Nuwiya Amal

HAM & Pembangunan

Pembentukan KPP-HAM Priok Tersendat (Semanggi 8-14 Maret 2000)

by Nuwiya Amal 01/10/2020
written by Nuwiya Amal

Sejak anggota Komnas HAM Benjamin Mangkudilaga menolak menjadi Ketua KPP-HAM kasus Priok, KPP-HAM ini belum terbentuk dan ketuanya belum diketahui. Apakah ini hambatan teknis belaka atau ada kendala yang substantif?

Berbagai kelompok masyarakat mendesak Komnas HAM agar membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, antara lain kasus Semanggi I dan Semanggi II, tragedi 27 Juli 1997, Kerusuhan Mei 1998 dan kasus kasus Tanjungpriok.

Baru dalam rapat pleno Komnas HAM Selasa pekan lalu,  KPP-HAM kasus Priok disepakati untuk segera dibentuk. Waktu itu Benjamin Mangkudilaga ditunjuk sebagai ketua tim tetapi yang bersangkutan kemudian menolaknya. Sumber-sumber Komnas HAMsendiri mengaku bahwa soal penentuan ketua dan pembentukan tim KPP-HAM Priok hanya masalah teknis. Tetapi sempat terungkap pula bahwa hampir semua anggota Komnas HAM enggan menjadi ketua tim dengan beban kerja maha berat itu. Sedangkan banyak pihak bertanya-tanya, adakah hambatan yang bersifat substantif?

Ketua Komnas HAM Djoko Sugianto Senin pekan ini mengakui bahwa tim KPP-HAM kasus Priok yang akan terdiri dari 7 anggota belum terbentuk. Ketuanya pun belum ditunjuk. Tetapi Djoko tidak melihat hambatan berarti bagi pembentukan tim tersebut.

Medan Berat

Beratnya medan garapan KPP-HAM kasus Priok sudah dialami Komnas HAM ketika melakukan penyelidikan kasus tersebut pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Menurut Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan, surat undangan untuk mantan Pa-ngab Benny Moerdani sama sekali tidak dijawab. Sedangkan mantan Pangdam Jaya Try Soetrisno dan mantan Dandim Jakarta Utara Butar-Butar sama sekali tidak memberi keterangan. Akibat tidak adanya kerja sama dari pihak militer, rekomendasi Komnas HAM kemudian menjadi minim. Pada bagian kedua rekomendasi itu, menyangkut pokok hasil temuan, Komnas HAM antara lain mengundang pejabat aparat keamanan seperti lain mantan Pangdam Jaya dan mantan Dandim Jakarta Utara untuk memper-oleh data guna dicocokkan dengan data (informasi) yang diperoleh dari masyarakat.

“Sampai saat ini mereka (aparat keamanan, red) belum memenuhi permintaan Komnas HAM,karena yang bersangkutan berpen-dapat bahwa yang layak memberi keterang adalah pimpinan ABRI,” demikian antara 1: Pernyataan Komnas HAM tentang Peristi – Tanjung Priok 1984. Oleh karenaitu, yang disampaikan masyarakat (versi pemerintah) dijejerkan saja dengan data pamerintah. “Mengenai data korban mati, hilang dan cacat, Komnas HAM tidak bisa mengadakan cross check, sebab pemerintah dalam hal ini belum memberikan data untuk itu sesuai dengan permintaan Komnas HAM melalui surat tertanggal 7 Januari 1999 yang disusul dengan surat tanggal 27 Januari 1999,” lanjut pernyataan itu.

Akibatnya pula, butir-butir Fekoroendlasi Komnas HAM tanpa menyebut nama-nama pihak yang mesti bertanggungjawab juga institusi militer. Tetapi dengan UU HAM yang baru, KPP-HAM kasusPriok, seperti halnya KPP-HAM Timor Timur diperkuat dengan kuasa memanggil secara paksa. Hanya repotnya pula, mantan Pangab Benny Moerdani, seperti diberitakan kan media massa awal petan ini, masuk rumah sakit. Tugas KPP-HAM Priok itu kian berat saja.

01/10/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
HAM & Pembangunan

Asmara Nababan : “Saya Bukan Wakil LSM” (Majalah Jakarta – Juni 1997)

by Nuwiya Amal 30/09/2020
written by Nuwiya Amal
Asmara Nababan

Inilah aktivis yang masuk ke lembaga bentukan pemerintah, dan ia tetap mandiri. Asmara Nababan, 51, adalah salah satu anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang pada tahun 70-an ikut mengibarkan gerakan golongan putih dan memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Kini pun ia masih aktif di lembaga swadaya masyarakat, antara lain sebagai Sekretaris INFID (International NGO’s Forum on Indonesian Development), sebuah badan yang beranggotakansekitar 40 LSM. Suatu sore, di hari Pemilu, ia bercerita tentang diri dan visinya, di beranda kantor INFID. Tentu, itu sebuah ruang tanpa AC, karena dengan begitulah ia leluasa mengisap kreteknya.

MASIH GOLPUT JUGA

Asmara Victor Michael Nababan, kelahiran Siborong-borong 2 Septem- ber 1946, adalah bungsu dari sepuluh bersaudara. Ayah dan ibunya, yakni JL Nababan dan EID Lumban Tobing, adalah guru. Seluruh saudara Asmara tak ada yang bekerja di instansi peme rintah. Dan salah satu kakak Asmara, yakni SAE Nababan, adalah Ephorus Huria Kristen Batak Protestan.

Anda tidak ikut memilih?

Nggak ah. Malas.

Tahun tujuh puluhan, Anda memang dikenal sebagai pelopor golput, bersama Arief Budiman, Julius Usman dan Imam Waluyo. Bagaimana melihat golput sekarang ini?

Golput yang waktu itu kita proklamirkan lebih sebagai protes moral. Kita menyadari bahwa secara politis, itu tidak signifikan. Kita menyatakan something wrong, ada yang salah dalam pemilu. Silakan perbaiki. Waktu itu, dalam pikiran kita, tidak ada pikiran menekankan diri pada moral ya. Jadi, di situ ditekankan pada nilai, bukan interes politik.

Secara ideologis adakah perubahannya antara golput yang dulu dengan sekarang?

Yang sekarang ada kecenderungan sudah mempunyai motivasi politik yang kuat. Soal realistis atau tidak, mereka berpendapat dengan jumlah golput yang besar, itu akan membuat perubahan. Berhasil atau tidak, tidak ada yang bisa membuktikan, selama perhitungan suara tidak transparan. Kalau menghitung persentase, tidak pernahtahu apakah delapan persen atau dua belas persen.

Jadi, golput yang sekarang seperti dulu yang dibilang almarhum Ali Moertopo. Golput itu ibarat kentut. Ada baunya, tidak ada wujudnya?

Hahaha…..Mau dibilang apa kek. Waktu itu pikiran kita nggak di sana kan? Klaim gerakan moral bukan di situ. Dengar atau tidak dengar, yang penting kami sudah menyampaikan sesuatu yang menurut kami patut diperhatikan bagi kemajuan negeri ini.

Bagaimana Anda melihat reaksi pemerintah terhadap golput dulu dan golput kini?

Samasaja. Mereka melihat bahwa itu ancaman terhadap pemiluitu sendiri. Bahasanya beda, tapi substansinya samasaja. Mereka dianggaptidak nasionalis, tidak punya tanggung jawab. Tapi sebenarnya, mereka yang golongan putih, layak dihormati.

Sebenarnya, waktu itu juga isu korupsi, isu Taman Mini, isu apa saja, yang digerakkan mahasiswa adalah gerakan moral. Dulu, ada film Shane, yang dipakai untuk menjelaskan gerakan moral itu. Artinya, kalau dia sudah menyelesaikan tugas itu, dia tetap pergi. Walau ditahan untuk tetap menjadi sheriff. Shane tidak mau, dia naik kuda dan pergi. Jadi, romantismenya kental.

Seperti Lucky Luke?

Waktu itu film Lucky Luke belum ada. Hahaha… Makanya, waktu awal tahun tujuh puluhan aktivis itu pecah. Yang satu memutuskan berjuang masuk ke sistem itu dan berjuang di dalam. Mereka ditawari oleh Opsus utuk menjadi anggota DPR-GR, mereka menerimanya. Sebagian. tidak mau menerima. Tahun tujuh puluh satu ada tawaran lagi. Kita menolak lagi. Seyogyanya kita memang tidak menerima. Memang ada satu percakapan yang cukup panjang di Balai Budaya. Berakhir dengan tidak adanya kesepakatan. Hanya Rahman Tolleng yang mengatakan,  kita buktikan  saja apakah setelah kami masuk, kami melacur atau tidak. Memang dibuktikan, dia tidak melacur. Dia masuk ke DPP Golkar, masuk sebagai pemimpin redaksi Suara Karya, dia masuk ke inner circle Golkar. Tapi kemudian, bukan hanya terpental, tapi juga masuk penjara. Dia memang membuktikan, masuk kesistem itu dan berjuang. Yang lainnya, tidak.

Seberapa besar kesulitan yang Anda dapat ketika memproklamirkan golput waktu itu?

Negak, nggak begitu banyak juga. Dipanggil-panggil cuma gitu aja. Biasa saja. Tidak sampai diteror. Kematian perdata juga nggak ada.

Tapi dulu kan Anda sempat pasang lambang golput di depan LPU?

Ya, di mana-mana tandagolput itu kita pasang. Dulu belum ada fotokopi. Kita modal stensilan saja. Memang ada beberapa yang ditangkap, tapi kemudian dilepas.

Omong-omong, kenapa Anda menerima tawaran masuk Komnas?

Ya… saya cuma… Hahahaa….

Apa dalam rangka berjuang dari dalam tadi?

Nahitu dia kan. Hahaha….. Akhirnya, pada waktu itu, dengan beberapa pertimbangan teman-teman, saya coba melihatnya. Saya membayangkan, masuk saja kalau ada gunanya, dan kalau tidak ada gunanya (saya akan) keluar. Saya bayangkan satu tahun. Satu tahun saya membuat evaluasi, keluar atau tidak. Setelah satu tahun saya membuatevaluasi pribadi, (dan) saya ingin melanjutkan…

Anda, sebagai satu-satunya wakil LSM di….

(Ia memotong) Janganlah. Jangan sebut wakil. Nanti ada yang marah.

Hahaha… Bukan wakil, tapi yang pun-ya latar belakang (LSM), bolehlah.

Apakah Anda di Komnas tidak mendapat hambatan. Mengingar hampir sebagian besar komponen di Komnas adalah bekas birokrat, pejabat, anggota ABRI dan lain-lain?

Pada mulanya memang agak sulit ya persenyawaannya, karena unsur-unsur kimianya yang jauh. Hahaha… Tapi belakangan ini(saya) agak terkejut terhadap sikap anggota lain, yang bekas (anggota) ABRI maupun pejabat tinggi lain. Mereka kadang-kadang jernih sekali melihat sebuah persoalan. Saya sendiri bisa surprised. Berkas 27 Juli, umpamanya, tanpa harus menyebut nama mereka, yang saya duga ”akan…”, ternyata tidak. Kadang-kadang mereka mampu menjelaskan, mengapa mengambil posisi seperti itu…

Anda sering terjun ke daerah-daerah seperti Sanggau-Ledo, Timika, Banjarmasin. Sebenarnya, apa sih yang Anda temukandi sana, dan sejauh mana perbedaan yang Anda temukan dengan keterangan resmi pemerintah?

Kalau perbedaan hampir tidak ada. Kalau penemuan kita di lapangan dilengkapi dengan cukup saksi, kita cukup berani mengatakannya. Anggota lain yang tidak ikut,tidak pernah mempersoalkan fakta yang ada buktinya. Sehingga, saya belum pernah mengalami harus menelan atau memanipulasi fakta itu, karena kalah atau karena tidak diterima di pleno. Tetapi ketika kita membuat atau analisis dampak, semua anggota yang tidak ikut di tim mampu memberi respon seimbang. Jadi, tidak pernah saya menemukan fakta di lapangan dengan bukti yang cukup atau saksi, kemudian dilaporkan ke pleno dan atas pertimbangan pleno kemudian disimpan. Belum pernah.

Dalam kasus 27 Juli, atau lain-nya, Komnas tidak menyebut korban yang mati. Karena apa?

Dalam Timika disebut.

Dan Pontianak?

Belum dan memang belum. Verifikasinya sampai sekarang belum. Pemerintah kan berjanji. Lalu, siapa lagi yang menagih. Dalam rapat yang lalu kita sudah membicarakan jumlah angka. Dalam kasus Liguisa (Timor Timur) kan jumlahnya jelas. Itu sangat berbedajauh dengan pemerintah.

Dalam Kasus 27 Juli, Komnas HAM bilang 23 orang mati. Lalu, bilang Soerjadi juga harus dituntut. Tapi sampai sekarang belum ada follow-up-nya.

Memang, kesulitan kita ada pada keterbatasan mandat Komnas, pada Keppres No 50 Tahun 1993. Sejauh yang bisa dilakukan Komnas adalah memberikan rekomendasi dan pendapat, usul terhadap pemerintah untuk perbaikan kondisi hak asasi manusia. Sehingga, apakah rekomendasi itu diterima atau tidak, ada kesulitan di Komnas secara legal, untuk memaksakannya — dalam pengertian positif, ya. Beda dengan keputusan Komisi Nasional Filipina atau India, yang ke-putusannya mengikat.

Artinya, pembentukan  Komnas dengan Keppres, merupakan ham-batan?

Tidak. Yang bisa kita katakan, ka-lau hanya sebatas Keppres, Komnas ya cumasegitu saja. Mau lebih dari situ ya harus undang-undang. Idealnya, kalau pemerintah memangserius terhadap hak asasi manusia di Indonesia, pemerintah harus memberi dasar pembentukan Komnas HAM dengan UU, bukan Keppres… Nah, lewat UU itu, berikan kekuasaan yang lebih luas kepada Komisi.

ANAK NAKAL DI KOMNAS HAM?

Logat Batak Asmara masih kentara. Gaya bahasanya bila berbicara pun blak-blakan. Tawa lepas sering terlontar kala ia berbincang. Namun untuk masalah tertentu, sarjana hukum itu mencoba berhati-hati, dengan berhenti sejenak untuk memilih peristilahan yang tepat.

Anda kecewa dengan kekurang-leluasaan Komnas HAM?

Tidak juga. Karena saya tidak membikin ekspektasi yang tinggi…

Anda jadi maklum begitu?

Iya. Jadi, penilaian saya, performance Komnas HAM itu sekarang adalah beyond my expectation.

Pemerintah pernah mengutarakan Komnas HAM sudah menyimpang. Dinilai terlalu masuk pada urusan-urusan yang sektoral, tapi tidak memberikan masukan yang global. Terjebak pada kasus per kasus. Bagaimana pendapat Anda?

Waktu itu kita sudah menjelaskan mekanisme kerja kita. Sebagaimana barangkali tidak banyak orang tahu, sekarang ini, Komnas bekerja sesuai dengan anggaran dasar dan mekanisme kerja. Anggaran Dasar itu disusun oleh anggota sendiri, sebagai penjabaran dari Keppres tersebut. Karena di situ ditulis kita badan independen, maka kita menata diri juga sebagai badan independen. Mungkin di mata para pejabat, kita dinilai terlampau operasional. Dan memang harus operasional.  Karena di Keppres, ditulis memantau dan menyelidiki pelaksa-naan hak asasi manusia di Indonesia. Maka, dalam pernyataan Komnas kemarin dulu, kita katakan Komnas akan membuatevaluasi menyeluruh terhadap Pemilu 1997, sebagai penjabaran dalam pelaksanaan hak asasi manusia.

Dalam  pelaksanaan  hak  asasi manusia, menurut Anda apa yang harus digarisbawahi?

Pertama, secara struktural, potensi pelanggaran hakasasi manusia sangat tinggi. Misalnya adanya UU Subversi. .

Pemberlakuan dan UU itu sendiri, sebenarnya merumuskan berbagaipe-langgaran hak asasi manusia. Selama tidak ada perubahan — pencabutan terhadap ini — kita pasti ini akan melihat Budiman-Budiman      (Sujatimiko) yang lain pada waktu ini

Jadi, software yang dipakai itu memungkinkan?

Sangat potensial untuk melanggar hak asasi. Campur tangan ABRI dalam perburuhan, misalnya. Walaupun SK Menteri-nya sudah dicabut, tapikan kita masih mendengar laporan adanya petugas Koramil atau Kodim ikut negosiasi PHK. Jadi, strukturalsifatnya, bukan lagi pengecualian-pengecualian. Bagaimana dengan lembaga-lembaga ekstrayudisial, seperti Bakin, BIA?

Saya pikir, sejauh tidak..ehm. Nah, “ketika dia melakukan penangkapan, ya itu dia baru esktra. Badannya sendiri itu legal. Di mana-mana, negara punya intel. Cuma, masalahnya,ketika mereka menangkaporang, beberapa orang  mengaku  disiksa.  Nah,  di  situ terjadi pelanggaran hak asasi karena masalah struktural tadi. Di sini harus ada pembenahan lembaga,baru peradilan. Selama peradilan kita tidak mandiri  dan  tidakadil,  pelanggaran itu akanterus berlangsung.

Anda  sendiri punya harapan bahwa kondisi hak asasi manusia di Indonesia akan semakin baik?

Panjang itu. Waktunya menjadi lebih lama.

Sekarang kita terpaksa kompromi dulu?

Iya. Hahaha… iya harus tahanlah. Harus punya enduranee. Ya selamaini resistensinya harus tinggi menghadapi keadaansulit.

Berarti Komnas HAM masih diperlukan dong di Indonesia. Lain hal-nya seperti di Belanda yang tidak ada?

Nggak juga. Prancis misalnya. Mereka membuat Komnas juga. Malah bukan Keppres,tapi keputusan Perda-na Menteri. Pada Belanda, tidak me-rasa perlu mendirikan Komisi karena merasa peradilan mereka cukup me-lindungi hak asasi manusia.Jadi, ya itutadi, kalau peradilan kita mandiri, kita tidak perlu Komnas HAM.

Anda tidak melihat bahwa masyarakat punya harapan berlebihan?

Memang harapan berlebihan. Dan semakin rekomendasi Komnas diketahui publik tidak efektif, makin lama masyarakat makin mendevaluasi harapan mereka.

Dulu ketika berdiri, sebagian orng pesimis. Komnas itu dianggap lipstiknya pemerintah. Sekarang beda. Komnas malah dituduh ganjalan pemerintah, karena membuka-buka borok pemerintah. Bagaimana tang-gapan Anda?

Hahaha… Memang kadang-kadang tidak enak. Dalam berbagai kasus, ketika berbicara dengan Dan atau Dandim, mengapariot itu tidak segera dihentikan? Kok bisa melebar begitu? Dijawab, kalau kita tindak keras, nanti kita dianggap melanggar hak asasi. Pada pertemuan level Menko Polkam, disampaikan (bahwa) karena Komnas ini (maka) pejabat sering menjadi ragu, berpikir berkali-kali se-belum mengambil keputusan. Waktu itu kita menyambutpositif. Kita katakan itu sebagai kesadaran hakasasi manusia. Bukan hal yang negatif. Mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk memberi keputusan. Nah, apakah alasan ini tepat, kalau kita terapkan padamasalah-masalah kerusuhan?  Sulit  dibuktikan.  Apakah  cuma alasan saja. Kita memang lihat sejauh ini ada usaha dari pihak ABRI sendiri untuk menghampiri.

Mereka pernah membuat pedoman hak asasi seperti di Kodam Tri-kora?

Kalau melihat itu, kita belum sem-pat menindaklanjuti. Sebenarnya waktuitu sudah diinformasikan kepada kita, bahwa mereka akan menerbitkan yang bahasanya lebih sederhana. Kalau Anda baca bahasanya kan cukup tinggi. Untukprajurit agak sulit mencerna. Kita melihatnya positif. Sepulangnya darisitu kita mengirim surat. Waktu itu masih Ali Said. Dia kirim surat ke Pangab. Minta itu diimplementasikan secara nasional. Tapi Anda lihat, kalau itu diberlakukan secara nasional, istilah ”kesalahan prosedur” nanti tidak bisa dipakai lagi. Sampai sekarang berbeda. Bahasa Komnaskan pelanggaran hak asasi manusia, bahasa ABRI kan ”kesalahan prosedur.”

Pemerintah masih memperdebatkan antara nilai-nilai hak asasi Barat dan Timur. Lalu di mana sudut pandang Komnas Ham terhadap ini?

Saya pikir perdebatan itu sudah mulai redup sekarang ini. Pada Keppres itu sendiri dasarnya dua. Panca-sila dan Declaration of Human Rights. Berarti kita concerned terhadap universal values. Karena itu universal, tidak lagi relevan perdebatan Barat dan Ti-mur. Kalau kita masih mau memakai term Barat dan Timur, berarti ada tiga blok: Barat, Timur, dan universal. Bagi kita, adalah bagaimana mengubah kondisi kita supaya kita makin cepat dia cocok dan pas dengan standar internasional. Kita mulai dengan usul, sudah lama menyangkut “tidak adanya penyiksaan ketika diperiksa”. Di Ti-mur dan di Barat itu kan tidak ada bedanya. Orangtidak bisa disiksa dalam keadaan apa pun, termasuk dalam perang.

Kita kan belum meratifikasi Konvensi Anti penyiksaan dalam pemeriksaan itu?

Nah, itu dia kan persoalannya? Siapa yang harus mendesakkan? Apakah cukup Komnas? Tidak. Dalam kasus Marsinah, misalnya. Bagaimana itu bisa terjadi kalau kita tidak meratifikasi konvensi tersebut? (Dalam kasus Marsinah) Kita menerima lebih dari dua belas ribu surat, dari pelbagai lapisan orang. Yang menarik disitu, tidak adasatu pun dari Indonesia! Dari aktivis, okelah ada. Tapi dari kelas menengah kita yang terdidik itu? Mana? Padahal banyakyangbisa dilakukan, tanpa ha-rus memberikan kerugian kepada-nya…

Mulya Lubis pernah menolak jadi anggota Komnas. Alasannya, karena salah satu syarat yang diminta— yaitu bisa memanggil siapa pun, termasuk Pangab dalam setiap ka-sus yang ditangani Komnas — ditolak pemerintah. Apakah argumentasi seperti itu sekarang ini masih relevan dengan Komnas HAM?

Masih sih masih. Artinya, kalau kita kembali ke percakapan kita tadi, ada UU tentang Komnas HAM, maka harus ada power atau kekuasaan untuk memanggilsaksi atau seseorang untuk memberi testimony. Tak hanyaitu, bahkan membuka dokumen, umpamanya. Selama ini, yang diklasifikasi sebagai rahasia negara, tidak boleh dibuka. Dalam kasus tanah, misalnya. Kita tidak bisa meminta peta tentang pemilikan tanah ke BPN untuk dibuka. Itu rahasia  BPN. Di  India  dan  Filipina, kalau tidak dikasih, Komisi mengirim surat ke pengadilan. Pengadilan mem-buat penetapan dan memanggil itu orang atau membuka dokumen.

Setelah kasus 27 Juli diungkap, giliran kasus Tanjungpriok ingin dibuka kembali oleh masyarakat.

“Kalau pemerintah memang serius ter hadap hak asasi manusia, pemerintah harus memberi dasar pembentukkan Komnas HAM dengan UU, bukan dengan Keppres.” – Asmara Nababan

Apakah Komnas HAM bisa membuka kasus yang sudah lima, sepuluh tahun, lima belas tahun seperti itu?

Sebenarnya, kita belum ada keputusan mengenai umur kasus yang bisa dibuka kembali oleh Komnas. Australia misalnya memberlakukan hanya dua tahun. Kita belum ada. Jadi, secara teoritis, kasus itu bisa terbuka. Persoalannya, sampai sekarang belum ada keluarga Tanjungriok yang mengadukan… Kalau Komnas tetap akan membuka kasus itu, bisa dituduh itu adalah politik Komnas.

Selama ini hasil penelitian Komnas hanyalah bersifat umum, dan kurang substansial. Mengapa?

Barangkali kapasitas Komnasnya diperkuat, baru mampu dia. Misalnya, tenaga ahlinya ditambah, kewenagannya juga diperkuat. (Ia contohkan, lembaga sejenis di Fikpina beranggotakan lima orang, tapi stafnya 700 orang. Adapun Komnas HAM: anggota 25 orang, staf juga 25. Maka untuk kasus Banjarmasin, misalnya, tak tersediajumlah ahliforensik yang memadai untuk 124 korban).

Mengapa di Komnas yang sering disebut oleh media cuma segelintir orang: seperti Anda, Marzuki Da-rusman, Amaral, Lopa atau lainnya. Kenapa bisa begitu?

Kelihatannya semua anggota, kecuali Sekjen, kan tidak ada yang free time. Jadi, hanya soal keleluasaan waktu saja yang menjadi persoalan bagi anggota-anggota lainnya.

Apakah mungkin karena adanya “anak-anak nakal” di Komnas, seperti Anda?

Negak juga. Tidak ada anak nakal.

Menurut Anda, apakah pemerintah semakin lebih sophisticated atau malah mundur ketika mengatasi masalah-masalah aksi mahasiswa? Misalnya, demo dilawan dengan demo?

Saya kira pemerintah lebih sophisticated saja dan makin kompleks menangani persoalan. Tidak berarti kalau semua polisi menjalankan semua ketentuan KUHAP berarti selesainya pekerjaan hak asasi manusia. Tidak juga berarti kalau ABRI kembali ke barak-barak, semua pekerjaan hak asasi selesai.

Sekarang ini makin banyak kerusuhan. Faktornya sering disebut SARA. Menurut Anda apa akar permasalahannya? Apakah karena kepe-ngapan hidup selamaini ataukah selama ini memang ada akar konflik?

Dua-duanya. Pertama, memang secara historis ada hal-hal yang belum selesai. Tapi di pihak lain, belum cukup ruang untuk mengartikulasikan berbagai perbedaan secara damai. Selama ini kita hanya memendam perbedaan-perbedaan, tidak pernah dibicarakan secara damai dan bersama-sama. Menurut saya, selama masih di-pelihara ”etnik Cina dan etnik Indonesia”, anytime bisa eksplosif.

Menurut saya faktornya kan bisa masalah ekonomi.

Oh iya. Tapi manifestasinya kan bisa bersifat etnis. Sekiranya semua posisi Cina di perdagangan diganti melulu oleh orang Minang, saya pikir perasaan masyarakat umum akan sama. Kebijakan yang ada, seakan -akan memaksa etnis Cina hanya boleh bergerak di wilayah itu.

“Selama ini kita hanya memendam perbedaan-perbedaan, tidak pernah dibicarakan secara damai danbersama-sama. “

– Asmara Nababan

SAYA JUGA MELANGGAR HAM

Asmara Nababan muda

Perkawinan Asmara dan Magdalena Sitorus, seorang sarjana sosiologi, membuahkan tiga putri dan satu putra. Yakni Juanita, 22 (mahasiswi sastra Jerman): Natasha, 20 (mahasiswi hukum): Aviva, 18 (mahasiswi ilmu pendidikan) dan Jechonathan, 11 (masih Sekolah Dasar). Di luar urusan keluarga dan Komnas, Asmara masih punya Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia.

Kapan Anda mulai mengenal demonstrasi dan sejenisnya?

Waktu SD saya melihat ketidakadilan. Waktu itu, di belakang sekolah kita itu ada pabrik karet. Baunya minta ampun. Sekolah kita sudah sering protes. Lantas, sekali tempo, di halaman sekolah kita ada bangkai kucing. Bau sekali. Otomatis, pikiran kita, itu dibuang oleh pabrik. Itulah protes pertama saya.  Kita lempari  pabrik itu pakai batu. Hehehe… Kami masih di sekolah rakyat waktu itu, kelas empat atau kelas lima. Lalu polisi datang.

Sudah tumbuh sifat pemberontak ya?

Hehehe… berontak itu! Tapi itu memperjuangkan hak secara salah, saya rasa. Lempar batu itu Iho!

Keluarga Anda menanamkan nilai-nilai keadilan, hak asasi…

Oh ya. Ibu saya dulu mempunyai Kelompok Tabita, semacam LSM kecil, karitatif, untuk menolong orang-orang. Pernah sekali tempo saya menemani ibu saya karena pihak rumah sakit menelepon ke rumah, (mengabarkan) bahwa ada mayat tidak dikenal. Itu mayat penjual rokok, gerobaknya terbakar, tidak ada identitas-nya. Ibu saya mengurusnya sampai mayat itu dikuburkan. Kita kuburkan tidak ada nama. Hanya segunduk tanah. Barangkali agamanya bukan Kristen, tapi taruh juga tanda salib. Hehehe… Saya, waktu itu masih di sekolah rakyat, membayangkan… bagaimana ibu, bapak, adik-adiknya, tidak tahu bahwa salah satu saudaranya yang merantau itu hilang. Seolah-seolah tidak punya arti.

Barangkali itulah benang merah sampai Anda di Komnas HAM segala…

Ah, nggak tahu itu! Hahahaha…

Tapi apa yang dilakukan  ibu,  saya pikir, menanamkan solidaritas. Waktu kecil Anda ingin jadi apa? Ephorus?

Waduh, nggak! Aku mau masuk Angkatan Laut kan? Keren kan? Tapi orangtua nggak kasih.

Omong-omong, bagaimana Anda, dulu selagi jadi aktivis, malah menerbitkan majalah anak-anak Kawanku?

Waktu itu ada pikiran begini… Demonstrasi,  demontrasi  terus. Protes, protes terus. Apa nggak bisa bikin yang lebih konkret? Ngobrol-ngobrol dengan teman, yang bukan demonstran, ”Kita nerbitin apa kek, gitu…” Yang jadi inti adalah almarhum Toha Mochtar untuk menerbitkan majalah itu. Kita buat majalah di mana kreativitas anak-anak itu harus dirangsang. Aturan harus dirangsang sebanyak mungkin… Kita sudah bikin yang konkret, tapi nggak laku… (majalah itu sekarang men-jadi bacaan cewek ABG).

Anda sudah punya anak waktu itu?

Belum. Saya masih mahasiswa.

Kenapa nggak bikin majalah kebudayaan partisan?

Nggak. Forget it! Anak-anak kan masih panjang masa depannya.

Nggak diketawain aktivis lain, kok bikin majalah anak-anak?

Ya diketawainlah. Yah, memang nggak gagah. Memang bukan itu yang dicari kan? Mau kita kan menyebarkan nilai-nilai apa, gitu.

Kenapasih Anda selalu berpakaian santai, seadanya, bersepatu sandal, tidak tahan AC. Apa tidak jadi penghambat kalau harus hadir di pertemuan-pertemuan?

Nggak. Dari dulu nggak. Gimanaya? Dari mahasiswa saya juga bercelana pendek. Agak bebas begitu.

Anda nggak suka formalitas?

Ya, saya nggak suka.

Kenapa?

Saya pikir kita bangsa yang memberikan nilai yang sangat tinggi pada formalisme. Itu harus dilawanlah. Pakai sepatu sandal itu enak, dingin, membukanya nggak repot. Kalau formalisme itu diikuti terus, berbahaya Iho. Itu kan bisa meningkatkan demand. Anda bisa menginginkan jas yang ber-merek, sepatu yang bermerek, tali pinggang yang bermerek… Salah-salah akhirnya Anda juga mengambil yang Anda tidak berhak, untuk memenuhi kepentingan itu. Waktu kita ramai-ramai di Komite Antikorupsi, persoalannya kan semacam itu. Waktu itu kan ada aktivis-aktivis lain yang dituduh sudah mapan. Mereka bilang, ” Wah itu karena kalian belum kebagian. Entar kalau lu kebagian…” Hahahaha… Orang akan lebih mudah menunjukkan sikap antikorupsi kalau tidak ada kesempatan untukitu, nggak ada yang bisa dikorup. Waktu itu ada kesadaran kita, kalau kita masuk lumbung padi, jangan kita timpe.

Jadi tikus kelaparan di lumbung padi.

Hahahaha… Tetap hidup kok.

Dulu mau membakar ijazah sarjana hukum ya?

Negak jadi. Waktu itu memang sudah niat lama. Karena benci, bagaimana masyarakat memberikan penghargaan yang tinggi kepada ijazah. Dulu, tahun tujuh puluhan, ijazah kan laku. Pintu-pintu rumah cewek terbuka. Baru sekarang tamatan S1 nggak laku… Nah pas sehari sebelum wisuda, orangtua saya datang, dari kampung. Rupanya kakak saya memanggil. Yah nggak enaklah. Kita kan tetap orang Timur. Nah komprominya, saya nggak ambil ijazah. Itu saja.

Sampai sekarang?

Ya. Itu pun kalau (ijazahnya) masih ada. Hahahaha…

Anda di Komnas nggak bisa korupsi juga ya?

Hahahaa… Bisa juga. Di sini (INFID) juga bisa. Tapi janganlah.

 Anda masih aktif di Yakoma?

Nggak. Saya ke sana karena senang saja sama komunikasi massa. (Yakoma, adalah Yayasan Komunikasi Massa, di bawah Persekutuan Gereja Indonesia). Lima tahun saya di sana, sampai tahun, delapan puluh tiga.

Sekarang soal HKBP. Sampai sekarang kan belum jelas. Sebagai salah seorang umat HKBP apa Anda tidak mengalami suatu kebingungan?

Nggak, nggak.

Karena menyangkut abang Anda?

Bukan, bukan. Sekiranya kakak saya menerima keputusan Bakorstanas, saya akan melawan dia! Saya tidak terima adanya campur tangan luar yang tidak relevan di HKBP.

Tentang HKBP, ada pendapat almarhum TB Simatupang. Bahwa kristenisasi yang masuk ke Tapanuli itu salah, karena orang Batak yang egaliter mendapatkan gereja Lutheran yang hirarkis-presbiterial. Sementara orang Jawa yang feodal, mendapatkan gereja Calvinis yang egaliter-demokratis. Akibatnya masing-masing pihak merasa tidak pas dengan gereja masing-masing…

Hahahahaha! Tidak begitu juga! Lutheran masuk ke tanah Batak ada modifikasinya juga. Sehingga World Lutheran Federation, ketika menerima permohonan HKBP untuk masuk, memaksa doktrinnya . Kesimpulannya: sulit kita mengatakan HKBP itu Lutheran, tapi dibandingkan dengan yang lain-lain memang HKBP lebih dekat. Memang orang Batak tidak pernah mengalami kekuasaan yang sentralistik. Sisingamangaraja itu bukan raja yang menguasai kampung saya dan nenek moyang saya. Dia hanya raja di kampungnya, teritorinya bukan seluruh Tapanuli. Dia tidak mengeluarkan mata uang, dia tidak punya polisi, dia tidak punya pengadilan, tidak seperti Mataram.

Jadi, semua orang Batak itu raia?

Ya.  Hahahaha!  Mudah berontak dia!

Sebagai anggota Komnas HAM apakah Anda tidak ingin mencoba ikut membenahi kasus HKBP?

Kita sedang mengembangkan sesuatu yang tidak ada dalam anggaran dasar, tapi sekarang mulai jadi kon-vensi. Anggota yang kemungkinan mempunyai conflict of interest, tidak terlibat dalam rapat. Harus keluar atau diam. Dalam kasus Freeport misalnya, Ibu Miriam Budiardjo diam atau keluar, karena suami beliau kan pernah jadi komisaris di Freeport. Kasus PDI misalnya, BN Marbun harus diam atau keluar.

Artinya Anda tidak punya kekuatan apa pun untuk mengangkat kasus HKBP ke Komnas?

Ya. Kecuali lewat orang lain.

Anda memprihatinkan HKBP?

Ya, sangat prihatin.

Sebagai umat atau adiknya SAE Nababan?

Sebagai umat. Ada satu hal yang dididikkan sama kami… Ada nilai-nilai yang melebihiikatan keluarga. Waktu SMP, ibu saya guru di sekolah yang sama, mengajarkan bahasa Indonesia dan ”Arab gundul”… (Waktu diajar) saya ngobrol. Saya dikeluarkan dari kelas oleh ibu saya. Bagi sayaitu petir di siang hari bolong. Saya shocked sekali, saya pulang. Malam harinya, ayah saya pulang dari pekerjaan, saya harus mendapat lagi hukuman. Mereka mengatakan, “Justru kamu seharusnya menjaga ibu kamu, berperilaku lebih menghormatinya daripada yang lain-lain…” Biar ibu saya guru, saya tidak mendapatkan privilese secuil pun. Kalau (nilai) harus merah, ya merah. Salah ya dihukum. Makanya sekiranya kakak saya menerima keputusan Bakorstanas, saya akan bertentangan. Ada nilai yang lebih dalamlah daripada hanya ikatan primordial.

Anda, sebagai anggota Komnas HAM, pernahkah dalam kehidupan sehari-hari melanggar hak-hak asasi?

Merokok, melanggar hak orang lain yang tidak merokok — katanya.

Dalam kehidupan di rumah, terhadap anak, pembantu?

Yakita cobalah, kita coba sepenuh-nya. Tapi kami di rumah kan sekarang tidak ada pembantu…

Asmara Nababan dan Keluarga
Asmara Nababan dan Keluarga

Anda, yang bungsu, kok jarak-nya umurnya jauh dari kakaknya?

Anak kececer.

Apa karena Anda masih tradisional, mengharapkan adanya anak lelaki?

Tidak, kita sudah stop. Tiga sudah cukup. Nah manusia merencanakan, Tuhan menetapkan. Masa mau dibu-ang apa? Nggaklah.

Anda sering diskusi sama anak-anak?

Sering. Macam-macam. Tapi soal ekspos keluar, ibunya itu yang mungkin ngotot, untuk keluar dari Indonesia, supaya bisa survive. Asal ada kesempatan begitu. Yang satu ada kesempatan kerja sembari studi di Jerman selama setahun, ibunya yang ngurusin itu. Yang satunya juga bisa satu tahun di Belanda, itu program pertukaran… Urusan ibunyalah itu…

Kok istri lebih banyak mengurusi pendidikan anak?

Nggak. Saya tidak melihat itu sesuatu yang sangat… Tapi ibunya mau mereka lebih cepat apa begitu…

Istri Anda bekerja?

Dulu kerja. Terakhir kerja komersial di Krakatau Steel.

Ketemu istri di mana dulu?

Di… kita sama-sama di GMKI.

Pacaran berapa lama?

Ahhh… dua tahun.

Singkat amat?

Singkat?! Ehsi… (menyebut nama anak petinggi negeri yang barusan menikah) dan si… berapa bulan? Lebih lama sayalah. Hahahaha…

Omong-omong, impian Anda tentang Indonesia itu apa?

Tentu impian saya lain dengan waktu berumur dua puluh tahunya. Nah impian yang terakhir saja ya. Saya memimpikan suatu masyarakat yang demokratis, Indonesia yang demokratis dan modern dalam pengertian tidak harus mengikuti jalan sejarahnya Jepang atau Eropa…

Anda merasa terkenal?

Nggak. Saya nggak sempat mikir. Nggak jugalah. Dulu juga masuk koran. Tapi itu belum sempat dipikirin.

Kalau keadaan HAM di Indonesia itu sudah baik, pemilunya beres, LSM-nya bebas bergerak, DPR-nya bagus, lalu kalau Anda disuruh memilih maka akan tetap di ornop atau tetap di Komnas?

Hahahaha… ya di ornop. Nggak ta-hu ya. Mungkin karenalatar belakang ya. Dari segi ukuran kebebasan lebih bi-sa saya mengartikulasikan kebebasan saya di sana. Kalau saya masukdi institusi-institusi (pemerintah) itu saya kan harus confirm dengan protokol, 17 Agustus harus ikut upacara, resepsi harus hadir…

Tidak terpikir untuk kembali memimpin majalah Kawanku?

Nggak… saya pikir, kontribusi saya sudah saya lunaskan. Dulu benar-be-nar berjuang, modal dengkul. (Ia berkisah, dulu mereka naik motor kelilingJawa untuk mencari agen). Surat Izin Terbit? Dulu urusan masih mudah. Apalagi menteri (penerangan) masih Boe-diardjo kan? (Kita tanya:) Mana nih Pak? ”Oh,iya,iya…”

Oh ya, honorarium di Komnas berapasih?

Satu, satu juta rupiah… ditambah uang transpor.

Katanya karena honornyakecil, anggota Komnas jadi lebih berani ya?

Hahahahaha…. Kalau gede malah nggak berani ya? Hahaha… bagus juga strategi kita.

Anggota DPR dapat empat juta rupiah sebulan kan malah turun keberaniannya…

Hahahaha… Tapi kalau Anda mengharapkan orang memberikan lebih banyak waktu, sulitjuga seorang kepala keluarga dengan sejuta rupiah diJakarta. Yah, tapiitu kan bukan satu-satunya ukuran.

–

Percakapan dengan

SUHARTONO

ESTE ADI

ANTYO RENTJOKO

30/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
Demokrasi & Tata Negara

Asmara Nababan: Api Perjuangan (Majalah Demos Indonesia)

by Nuwiya Amal 30/09/2020
written by Nuwiya Amal

Pertanyaan absurd banyak orang yang menangisi kematian Bang As adalah: “mengapa seorang pejuang hak azasi manusia dan pejuang demokrasi sebaik dia ‘dipanggil’ lebih dulu oleh Tuhan?”Ini bukan sekedar sebuah pertanyaan, tetapi suatu protes keras. Bahkan lebih baik mengatakan itu bukan pertanyaan, tetapi sebuah gugatan keras kepada Tuhan. Pertanyaan yang sama mencuatketika Tuhan memanggil

Munir, Nurcholis Madjid daan Gus Dur kembali ke haribaan-Nya. Mereka adalah pejuang kemanusiaan. Mereka berbicara untuk rakyat dan bersama rakyat. Mereka adalah perwujudan dari hampir seluruh idealisme yang ingin kita miliki, tetapi justru ketika kita dan segenap rakyat yang tertindas di negeri ini membutuhkannya, Tuhan meraup mereka, secara sewenang-wenangpula, dari tengah-tengahkita.

Ada protes keras kepada Tuhan yang secara otorotatif menerapkan kebijakanNya yang, jujur saja, melanggar prinsip hak asasi manusia dan demokrasi. Dalam hasrat ‘reptilian’ yang mendorong nafsu dendam,

kita berharap mestinya Tuhan yang adil itu memberi azab dan sengsara dan bahkan mencabut nyawa para penindas dan para pelaku ketidakadilan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bukan Bang As, bukan Gus Dur atau Cak Nur atau Munir! Tapi, hasrat reptilian kita tidak diakomodasiNya. Sebaliknya, Tuhan justru memanggil pulang

Munir, Cak Nur, Gus Dur, dan terakhir Bang As dalam kemuliaanNya. Padahal mereka merupakan tokoh-tokoh utama pembela hak azasi manusia dan demokrasi. Seharusnya merekalah yang diberi kesehatan dan umur panjang! Bukan dicabut nyawanya secepat itu. Lalu apa maunya Tuhan dengan kebijakan anehNyaitu? Sebuah Absurditas!

Yang pasti teriakan, tangisan atau protes kita kepadaNyaadalah letupan ketidakberdayaan dan kerapuhan kita ketika berhadapan dengan kehendakAllah, Sang Maha Besaritu. Tak pernah ada jawaban yang pasti. Yang ada hanya kerapuhan dan ketidakberdayaankita!

In memoriam Asmara Nababan – lukisan oleh Alit Ambara

Api Perjuangan HAM

Saya menangis ketika mendengar Bang As pergi untuk selama-lamanya. Aneh, karena meskipun kami saling kenal, saya tidak

terlalu dekat dengannya. Tapi saya adalah pengagum beratnya. Tangisan saya adalah ekspresi kesedihan karena kekaguman seorang adik, seorang pendeta, dan seorang warga negara biasa terhadap jejak per-juangan yang ditinggalkannya. Saya peng-

agum siapa pun yang menjadi pejuang kemanusiaan. Mereka adalah sumberinspirasi hidup. Saya makin mengerti tentang makna cinta Allah melalui perjuangan mereka. Bang As adalah salah satunya. Ia berani menyu-arakan apa yang seharusnya disuarakan. Ia

tahu, kalau ia diam semakin banyak orang akan menjadi korban. Tekad perjuangannya seperti api yang terus menyala meski tu-buhnya sudah sangat rapuh. Saya beruntung merasakan panasnya api perjuangannya.

Kami berjumpa di Rumah Duka Gatot Subroto, saat sama-sama melayat Mula Harahap. Saya menyapanya, menyalaminya dan mengatakan kepadanya:” Seluruh Indonesia mendoa-kanmu Bang!” Wajahnya yang pucat itu ter-senyum. la menjabat tangan saya dan meng-ungkapkan terima kasihnya. Setelah perca-kapan yang sangat singkat itu, Bang As berkali-kali menarik napas dan membuang napas dengan mulutnya. Nampak sekali ia

sangat letih! Saya dan istri, duduk beberapa bangku di belakangnya. Saya perhatikan betapa rapuhnyadia saat itu. Saya berbisik kepadaistri saya: “Penyakit kanker itu benar-benar telah menggerogoti kekuatannya!” Dalam hati saya berdoa:” Ya Tuhan kalau boleh, tolonglah Bang As. Bangsa ini masih membutuhkannya.” Ketika hendak pulang, Bang As menghampiri saya dan istri. Ia menjabat tangan saya, dan masih dengan napas yang sering ia buang melalui mulutnya, ia ingatkan supaya hadir di Teater Utan Kayu siang itu untuk pernyataan pers dalam rangka pembelaan terhadap hak-hak azasi kelom-pok Ahmadiyah!” Saya pasti hadir, kata saya!

Ketika ia beranjak pulang, saya terus memandangnya sambil berbisik kepada istri saya: “Itulah ciri orang besar! Meski sedang sakit parah dan meski tubuhnya sendiri sedang rapuh, ia masih memikirkan nasib dan penderitaan orang lain.” Api perjuangan kemanusiaannya terus berkobar dalam dadanya. Tidak ada satu pun dan tak ada apa pun yang bisa memadamkannya. Siang itu, saya belajar kembali tentang pentingnya memelihara kobaran perjuangan kemanu- siaan di tengahsituasi apa pun.

Sangkar yang Sempit

Sama seperti kita semua, Bang As pasti punya banyak kelemahan. Betapa pun begitu, Bang As adalahtipe ideal umat yang saya, sebagai pendeta, dambakan. Bagi orang seperti Bang As, institusi gereja seperti sangkar yang sempit. Sementara masih banyak gereja dan institusi agama yang sibuk dengan diri atau kelompoknya saja, Bang As memberikan teladan bahwa perjuangan kemanusiaan seharusnya menjadi etos institusi agama, termasuk gereja, yang melintasi sangkar dan sekat apa pun. Bang As adalah pejuang ke-Indonesiaan sekaligus kemanusiaan yang melampaui sangkar gereja, agama, etnik, gender, ideologi dan status sosial. Melalui demokrasi, ia bercita-cita membingkai Indonesia yang lebih baik bagi segenap warga negaranya. Tetapi, melalui perjuangan hak azasi manusianya, Bang As berjuang mewu-judkan kemanusiaan bagi semua, terutama bagi yang sedang dirampas kemanusiaanya! Bang As berjuang, meminjam istilah Buya Syafii (Syafii Maarif-pen), dalam bingkai ke-Indonesiaan sekaligus kemanusiaan! Ada spiritualitas sosial!

Bang As dicintai banyak orang. la layak dicintai karena ia memberikan diri dan hidupnya untuk mencintai dan untuk berjuang bagi siapa pun. Ketika jenazahnya disemayamkan di gedung Komnas HAM, sang saksi bisu perjuangannya, sekumpulan orang dari berbagai agama, gender dan etnik, pasti tanpa skenario, bernyanyi: “Telah gugur pah-lawanku….mati satu tumbuh seribu….!!!”

Semua yang hadir ikut bernyanyi. Tetapi, tiba-tiba lagu itu menjadi lagu ‘rohani’ yang memberi jawabansubyektif pada pertanyaan absurd saya di atas. Ada kelegaan spiritual yang membuat saya terharu! Di hadapan jenazahnya, saya berbisik: ‘Bang As, api perjuanganmu akan terus berkobar di hati setiap orang yang pernah merasakan keha-diran dan perjuanganmu.’

Saya berdoa:

“Tuhan, maafkan saya.

Engkau memang benar, adalah tidak adil menggantungkan perjuangan menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia pada Bang As seorang.

Perjuang ini adalah perjuangan semua orang.

Ini juga adalah perjuangan saya.

Terima kasih telah menghadirkan Bang As di tengah bangsa ini.

Terima kasih telah memperkenalkan Bang As kepada saya.

Engkau yang telah memberi

Engkau yang mengambilnya. Terpujilah Engkau Tuhan”

-Albertus Patty

Disadur dar: http://www.facebook.com/ home.php#!/notes/alb ertus-patty/asmara-nababan-api-perjuangan-ham-demokrasi/451071766455 –

Asmara Nababan Tak Pernah Mati

Dikubur di mana tiran mendesaknya terbaring buruh dan luka mereka, Tapi tetap hidup dari derita mereka bersemillah harapan kembali

Jadi, janganlah berduka, juga bersedih, bahwa dunia meneruskan hidup mereka; Petuah dan pandagan yang mereka berikan membuat kuat tangan kita terus melawan.

Berapa punya nama, ketenaran, dan kehormatan terpelajar mereka dan bijak dan kuat; beberapa tanpa nama, miskin, terpinggir, lemah dalam segala kecuali derita dan kesalahan.

Nama dan tanpa nama semua hidup dalam kita; satu dan semua mereka menjadikan kita Setiap luka tak ada artinya, setiap duka untuk dilupakan.

(William Morris, ‘All for the cause”)

Untuk Bung Asmara Nababan, seorang pejuang istimewa

(2 September 1946 – 28 Oktober 2010)

30/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
Demokrasi & Tata Negara

Asmara Nababan: “LSM Tidak Punya Agenda Politik” (Majalah MUTIARA – 12-18 November 1999)

by Nuwiya Amal 30/09/2020
written by Nuwiya Amal

Asmara Nababn, SH adalah direktur eksekutif INFID (International NGO-Forum on Indonesian Development). Mutiara berbincang-bincang dengan Asmara, yang juga anggota Komnas HAM itu, di kawasan Puncak, Jawa Barat, Jumat (8/11) lalu. Berikut petikannya.

Sebetulnya, apa masalah yang dihadapi LSM terhadap Pemerintah?

LSM tidak dapat menerima akar masalahnya yang sudah bertahun-tahun. LSM tidak dapat menerima posisi baru dari Pemerintah bahwa LSM itu subjek dari undang-undang ormas, Undan-Undang No.8, 1985. Saya katakan baru karena pada periode (Mendagri) Rudini, setelah ada semacam saling pengertian. Artinya Depdagri menyadari tidak dapat melaksakan LSM tunduk kepada Undang-undang ormas, lalu mengambil cara dengan membukadialog secara teratur dengan LSM untuk membicarakan berbagai masalah.

Sampai dua tahun lalu,kabinet baru. Sebenarnya masih itu posisinya. Kemudian,justru muncul dari Depdagri, dengan adanya keinginan membuat Keppres LSM.Ini lahir karena UU No. 8 itu mereka sadaritidak bisa dikenakan kepada LSM. Ada gagasan dari mereka untuk membuat Keppres LSM. 

Itu kita tolak juga waktu itu, karena yang diatur adalah hak konstitusional. Keppres itu tidak sepadan untuk mengaturhal-hal yang bersifat hak-hak konstitusional. Keppres itu operasional. Hak konstitusional, kebebasan ber organisasi, berserikat, kalau mau diatur dengan undang-undang. Walau di kalangan LSM sendiri tidak sepakat ada UU tentang LSM, karena mengasumsikan UU sekarang sudah cukup menjadi rambu-rambudari LSM dalam melakukan kegiatannya. Kalau dipaksa juga, serahkanlah kode etik LSM.

Sebenarnya di mana keberatan LSM terhadap Keppres itu?

Pertama, bentuk Keppressendiri, lalu statusnya, kekuatan hukum Keppresitu sendiri. Keppres itu hanya untuk operasional. Padahal, yang diatur substansinya, tentang hak kebebasanberorganisasi. UU dong, kalau itu mau diatur.

Jadi bukan materinya?

Materinya juga banyak, tetapi itunya Kongaes) saja sudah jadi masalah, apala gi materinya. Pembinaan umpamanya. Pemerintah membina LSM. Konstruksi pembinaan, konstruksi yanga simetris. Yang mendmpatkan Pemerintah sebagaI superior, LSM inferior. Pemerintah pintar dan LSM bodoh. Pemerintahkuat, LSM lemah. Oleh karenaitu perlu dibina. Kalau konstruksinya tidak demikian, konstruksi kesetaraan,tidak adaistilah pembinaan. Saling membina, ayo. LSM membina Pemerintah, Pemerintah membina LSM. (Kalau) konstruksinya asimetris, kita tidak bisaterima. Tentang pernyataan Menko Polkam, memang dibahas,tetapi tidak menjadi agenda khusus, karena posisi hampir sama, tidak ada berubah. Semua tahu kita bukan ormas: Memang Dirjen (Dirjen Sospol, Depdagri) itu ‘kan mau membuat Interpretasi baru dengan mengutip pasal satu dari UU No. 8 Tahun 1985, yang mengatakan ormas adalah organisasi yang didirikan oleh warganegara Indonesia berdasarkan kesukarelaan dan seterusnya. Disitu, di pasal satu, tidak disebut adanya sistem keanggotaan. Tapi itu’kan interpretasi baru. Itu yang dibuat supaya bisa menjaring LSM. Kalau kita lihat penjelasannya, notulasi ketika proses ini didiskusikan di DPR, LSM tidak pernah dibayangkan masuk ke. ormas. Pramuka, koperasi, nggak masuk ke ormas. Yayasan nggak bisa masuk ke ormas. Yayasan diatur oleh Kitab UU Hukum Perdata Buku III.

Tampaknya, selama ini ada keinginan Pemerintah untuk melakukan pembersihan?

Apa pidananya? Dan memang beberapa LSM sedang dikejar. LBH umpamanya, dikejar soal pajak. Saking tidak ada lagi, pajak sekarang dikejar. Pajak apa? Yayasan’kan tidak punya usaha. Oke, pajak pegawai atau PBB. Tapi, kalau ada perorangan, aktivis, yang melakukan pelanggaran hukum, silakan dihukum Kalau institusinya melakukan pelanggaran hukum, ya silakan. Biar pengadilan yang memutuskannya Bukan Depdagri yang memutuskan.

Bagaimana dengan soal asas Pancasila itu?

Sejauh yang saya tahu, hampir semua LSM mencantumkan Pancasila sebagai asas. Yang soal ialah dana luar negeri. Memang, kalau ormas menerima dana dari luar negeri, harus seizin Pemerintah. Tetapi karena bukan ormas, aturan mana yang mau dipakai? Pasal mana dari Kitab UU Hukum Pidana yang melarang yayasan menerima bantuan dari luar negeri?

Bang Asmara bisa menduga Pemerintah ini maunya apa?

Ya,dari dulu juga sama saja sebenarnya. Tujuannya mengontrol, mengendalikan LSM.

Karena menganggap LSM sudah terlalu berat?

Nggak juga. Pemerintah punya penyakit kambuhan untuk memusuhi LSM. Tahun 1989 kambuh,1992 kambuh, 1994 kambuh. Tahun 1989, apa yang disebut dengan Insiden Brussel itu, ketika INFID masih bernama INGI, mengeluarkan statement keras mengenai (proyek waduk) Kedungombo. Saat itu LSM diamuk tidak patriotik, tidak nasionalis, : protes pembredelan Tempo dan DeTik, karena demokrasinya. Tiga area itu yang jadi concern NGO. Tapi justru karena itu Pemerintah melihat LSM sekarang berpolitik? Mereka katakan begitu. Langsung atau tidak langsung dia (LSM) menyentuh politik atau demokrasi. Tapi, apa yang tidak politik? Menanam padi ‘kan menjadi satu tindakan politik. Ketika Anda harus memilih menanamjenis IR ini atau bibit lokal, itu sudah politis.

Tapi, yang bisa dipastikan, seperti yang saya katakan nonpartisan, sebenarnya mau mengatakan kembali NGO tidak punya agenda politik, dalam pengertian mengumpulkan kekuatan, dan menggunakan kekuatanitu untuk mencapai tujuan. Jadi dia (LSM) tidak melihat machtsvormang (pembentukan kekuasaan) dan machts-ondervmding (penemua pengalaman) sebagai cara kerja dari NGO atau LSM untuk mencapai tujuannya, sehingga tidak punya agenda pada tahun sekian, sekian orang sudah harus menjadi anggota DPRDtingkat II, DPRD tingkat I sekian orang, sekian orang DPR, sekian orang jadi bupati,jadi gubernur. (Itu) tidak ada. Tidak terpikirkan dan tidak akan dipikirkan. Sebab kalau sudah ke sana, sudah partai, sudah menjadi political movement (gerakan politik).

NGO di manapunjuga,itu socio-move “penjual bangsa, wright or wrong – my country, itu kita bilang dalam arti, ya, tidak berani juga lawan Pemerintah. Tapi, di pers wrong – my country, tapi wright is wright, wrong is wrong. Tahun 1992 kambuh: lagi ketika pembubaran IGGI. Rudinibilang, IGGI sudah bubar, kalian juga bubar sajalah”. Tahun1994, (soal Keppres).

Apa soal itu yangmembuat Pak Ginanjar (Kartasasmita) marah?

Itu juga. Setelah didialogkan, menjadi terkejut sendiri. Dan Ga): sebenarnya menjanjikan, “Saya akan membaca mempelajari itu, dan nanti kita ‘akandialog’.-Sudah satu tahun tidak adadialog.Ini, dapat separo informasi – half truth, langsung masuk ke pers.

‘Pak Ginanjar,ini studi yang kita buat, antara ELSAM dan Lawyer Committee for Human Right di New York, mengenaihak asasi manusia dari pembangunan Indonesia. Ini hasil studi, silakan pelajari’. Kalau salah, bikin dong mananya yang salah.— Datanyakah,analisisnya, metodologinya, atau kesimpulannya? ‘Oya, nanti, saya pelajari’, jawabnya. Tapi adadialog, bisa menjernihkan. Sekarang, kalau Pemerintah tidak minta dialog, ya. mau diapain?

Menurut Bang Asmara ada kesatuan sikap di antara LSM?

Ya, paling tidak pada sikap beberapa LSM. Artinya, posisi yang selama ini diusahakan nonpartisan,tidak mau berpindah kepada kelompok, berpihak kepadasatu partai. Justru komitmen kita padanilai-nilai demokrasi, bukan commutted untuk mendukung PDI, umpama nya, karena dia partai demokrasi.

Kalau memang karena memperjuangkan demokrasi, kita akan sejajar dengan LSM. Kalau Pemerintah memperjuangkan demokrasi,tidak akan sejajar dengan LSM. Dia akan berseberangan kalau memang tidak mengembangkan demokrasi perilaku, tindakan, policy-nya anti-demokrasi, otomatis berseberangan dengan LSM.

Ada tiga area utama kepedulian LSM, demokrasi, keadilan, dan sustaimable-(berkesinambungan). Kita protes soal hutan karena prinsip kesinambungan. Kita solider dengan penduduk-penduduk yang tergusur, karena keadilannya. Kita protes pembredelan Tempo dan DeTik, karena emokrasinya. Tiga area itu yang jadi concern NGO.

Tapi justru karena itu Pemerintah melihat LSM sekarang berpolitik?

Mereka katakan begitu. Langsung atau tidak langsung dia (LSM) menyentuh politik atau demokrasi. Tapi, apa yang tidak politik? Menanam padi ‘kan menjadi satu tindakan politik. Ketika Anda harus memilih menanam jenis IR ini atau bibit lokal, itu sudah politis. Tapi, yang bisa dipastikan, seperti yang saya katakan nonpartisan, sebenarnya mau mengatakan kembali NGO tidak punya agendapolitik, dalam pengertian mengumpulkan kekuatan, dan menggunakan kekuatanitu untuk mencapai tujuan. Jadi dia (LSM) tidak melihat machtsvormang (pembentukan kekuasaan) dan  machts-ondervmding (penemuan- pengalaman) sebagai cara kerja dari NGO atau LSM untuk mencapai tujuannya, sehingga tidak punya agenda pada tahun sekian, sekian orang sudah harus menjadi anggota DPRDtingkat II, DPRD tingkat I sekian orang, sekian orang DPR, sekian orang jadi bupati,jadi gubernur. (Itu) tidak ada. Tidak terpikirkan dan tidak akan dipikirkan. Sebab kalau sudah ke sana, sudah partai, sudah menjadi political movement (gerakan politik). NGO di manapunjuga,itu socio-movement: bukan political movement. Tetapi gerakan sosial, yang mempunyai impact (dampak) politik, ya. Kalau gerakan politik, dia harus menyusun kekuatan, menggunakan kekuatan. Untuk merebut kekuasaan selanjutnya, menggunakan kekuasaanitu.

Jadi sebenarnya Pemerintah tidak beralasan kalau melihat itu?

Tidak beralasan. Persoalannya, kapan kita bisa menjelaskan (hal) itu kalau tidak ada dialog. Kalau pintu-pintu dialog ditutup, pintu komunikasi ditutup. Yang timbul adalah kecurigaan. Arogansi kekuasaan. Seperti yang dikatakan Wahono(ketua DPR-MPR/RI). Seorang menteri mengatakan buat apa dialog dengan LSM.Itu ‘kan arogansi kekuasaan. Memang Pemerintah(itu) siapa? ‘Kan abdi masyarakat.

Selama ini ada berapa menteri yang mau berdialog?

Beberapa menteri seperti Bappenas, Ginanjar Kartasasmita, lalu Menteri Negara Lingkungan Hidup. Tapi, Depdagri sebagai pembina politik itu, pada periode Rudini, yang memang menyadari itu. Kita nggak pernah mendapat kesepakatan dalam pertamuan-pertamuan dengan Rudini. Tapoi, paling tidak kita mengerti Pemerintah marah, Pemerintah mengerti kenapa kita mengatakan begitu. Dialog yang biasanya tertuutp dengan demikian jadi terbuka. Posisi kita sekarang berada pada situasi yang tidak konstruktif.

Tentang keharusan mendaftar di Depdagri?

Pemerintah, satu atau dua, apa lima? Dengan saya membentuk yayasan atau perkumpulan, saya sudah harus mendaftarkan diri ke pengadilan negeri untuk disahkan oleh Departemen Kehakiman. Kalau Depdagri ingin tahu anggaran dasar, ya minta saja, ‘kan arsipnya ada di. sana. Kita mendaftar. Bikin yayasan harus mendaftar, baru diakui sebagai badan hukum.  

Mungkin banyak kepentingan Pemerintah yang merasa terganggu?

Ya. Saya pikirya juga. Umpamanya dalam satu pertemuan dengan Bappenas. Bappenas itu mengeluh ni da LSM, mengatakan mereka sudah tiga tahun mencari pinjaman untuk membangun Dam Jatigede, tapi tidak ada yang mau kasih pinjam. Bank Dunia nggak mau, ADB (Asian Development Bank, Bank PembangunanAsia) nggak mau. Ke manacari duit?

‘Ayo dong NGO, marikita diskusi. Bantu juga dong Pemerintah’, katanya. ‘Tujuan kalian “kan bukan anti-dam. Yang kalian perjuangkan, supaya rakyat lokal dan lingkungan dilindungi kepentingannya. Tujuan kita sama, mari diskusi. Supaya dam itu, supaya kompensasi rakyat yangharus digusur. cukup baik’.

Waktu itu NGO mengatakan kepada Ginanjar, ‘Pak, sebelum kerja sama, mencari (dana) itu, mempromosikan supaya Bank Dunia mau membantu, ayo dievaluasi dulu semua dam yang dibangun dari Pelita I – V. Dam besar yang dibangun selama ini hasilnya bagaimana? Berapa cost, berapa benefit. Lebih besar benefit atau cost-nya? Ekonomi? Sosial? Politis?

Sesudah evaluasi, baru kita berangkat dari evaluasi. Tapi kita minta evaluasi independe. Bukan Pemerintah. ‘Wah, boleh juga nih. Nanti kita pertimbangkan lah’. Tapi habis begitu saja. Kita mengatakan sepositif itu. Kita bukan anti-dam besar. Harus evaluasi, sudah berapa juta dolar yang dibayarkan kepada rakyat yang kita pinjam dari Bank Dunia? Jangan-jangan lebih dari satu miliar, yang dibangun kepada dari Pelita I sampai sekarang. Ayo kita hitung. Kalau memang besar daripada cost, ya kita juga pergi ke World Bank.

Sekarang, Bank Dunia berdasarkan pengalaman Kedungombo, sangat nggak mau sekali kalau Pemerintah Indonesia pinjam buat bangun dam di Jatigede. Kedungombo ‘babak belur’ lagi. Sampai sekarang kedungombo itu adalah referensi dari banyak pertemuan di dunia, sebagai satu contoh kegagalan Bank Dunia. Sampai sekarang rakyat Kedungombo belum dapat kompensasi. Maka macetlah Jatigede. Kita juga tahu macetnya itu dari Bappenas. ‘Sudah tiga tahun ini kami cari, tidak ada yang mau kasih’, katanya.

30/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
Demokrasi & Tata Negara

“Saya Kan Kebal Peluru” (Majalah HIDUP – 26 Desember 1999)

by Nuwiya Amal 29/09/2020
written by Nuwiya Amal

Dalam suratnya, Pastor Dewanto pernah berpesan, “Kalau ada orang tanya, teman, atau siapa saja mengenaidiriku, ya jawabsaja, saya masih hidup, he… he… he…”

PAGI itu, Kamis-(9/9) tele pon di rumah Lucia Rahayu Soeharno (65) berdering Lucia segera mengangkat-nya. Ternyata telepon itu dari Rumah Sakit Panti Rapih, yYogyakarta. “Bagaimana kabar Romo Dewanto?” tanya suara dari telepon itu. ”Masih di Suai,” jawab perempuan yang pagi itu sedang membereskan rumahnya. “Bukan, kabar

terakhirnya,” tanya orangitu lagi..Lucia ‘ terkesiap dan balik bertanya, “Lho, ada apa dengan anak saya?” Dari seberangtidak terdengarsuara dan telepon pun ditutup.

Perempuan yangkini tinggal sendirian di rumah sederhana di Jalan Manggis 28 C, Gelangan, Magelang ini bingung. Telepon yang baru diterimanya itu membuat dirinya waswas. Puteranya, Pastor Tarcisius Dewanto SJ, memangbertugas di Suai, Timor Timur. Sejak keberangkatannya ke sana (13/8), puteranya itu belum berkirim kabar. Namun, saat akan berangkat, Anto — panggilan akrab Pastor Dewanto — sempatberkata, “Ibu tidak perlu khawatir. Di Timor Timur, peluru nyasar itu biasa. Saya kan kebal peluru.”

Penasaran akan kabar puteranya, Luciasegera menelepon Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang. Bruder Y.P. Sunari SJ yang menerimaberkata, “Ibu jangan panik. Nanti Romo Provinsial yang akan memberi kabar.” Siangnya, seorang wartawan datang ke rumahnya, juga menanyakan hal yang sama. Lucia bertambahpanik. Ja semakintidak dapat menahan perasaannya. ”Saya ,menjerit-jerit. Tapi, saya tidak colaps. Bahkan waktu Bapak (suaminya) wafat, saya lebih mbengok tenanan (menjerit lebih keras),” ujar perempuan yang ditinggal wafat suaminya tahun 1992 ini.

Akhirnya, Provinsial Serikat Yesus (SJ) datang dan memberi kabar bahwa Pastor

Dewanto tewas tertembak di Suai. Lucia terdiam sejenak. Kemudian dengan suara bergetar ia berkata, “Dalem rilo yen Dewanto dipunkersakaken Gusti kados makaten. (Saya rela jika memang Dewanto dikehendaki Tuhanseperti itu). Meskipun rasanya tangan saya seperti dipothel (diputus), seperti kiamat. Soalnya, Anto itu kebanggaan kami sekeluarga”.

Kuno

Pastor Dewanto adalah bungsu dari tiga bersaudara. Ia lahir di Magelang, 18 Mei 1965..Dewanto sangat bangga dengan tanggal lahirnya itu. “Tanggal lahir saya sama lho dengan tanggal lahir Paus Yohanes Paulus II dan penyanyi dangdut Iis Dahlia,” tuturnya kepada teman-temannyra.

Ayahnya, Stefanus Soeharno (Alm.) adalah seorang jaksa, pensiun tahun 1987 dan meninggal tahun 1992. Kakaknya yang per- En Je : tama, Bernadette Mahareni Pratiwi kini tinggal di Ciledug, Tangerang beserta suami dan dua anak. Kakaknya yanglain, Blasius Ari Wasisto kini tinggal di Wonosobo beserta istri dan seorang anak.

Menurut Lucia, sebagai anak bungsu, Anto tidak manja. Ia tekun dalam mengerjakan tugas, baik tugas sekolah maupun tugas Putera Altar. Selama menjadi Putera Altar sejak kelas 2 SD, Anto selalu mau menggantikan tugas temannya yang berhalangan. Karenaketekunannya, ia sempat dipercaya “menjadi Ketua Putera Altar Paroki Santo Ignatius, Magelang selama beberapatahun. Anto bukan anak yang rewel. la juga tidak suka pilih-pilih. Menurut Lucia, Anto mau memakai pakaian lungsuran (bekas) bapaknya. Padahal baju itu modelnya kuno. Sementara teman-temannya mengenakan: jeans, Anto bertahan dengan celana kain biasa yang modelnya sudahtidak up to date lagi dan formil. Perkara makanan pun, ia suka yang tradisional. Sementara temari-temannya ribut soal Mc Donald atau Dunkin Donuts, ia malah sibuk mencari tiwul atau makanan tradisional lainnya. “Istilahnya: kalau kami radio FM swasta, Dewanto itu Bersahaja


Keluarga St. Soeharno di halaman Pastoran Mertoyudan tahun 1976, Dewanto (tengah)

29/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
Demokrasi & Tata Negara

Asmara Nababan, Anggota KPP HAM: “Ada Keterlibatan TNI di Milisi” (Majalah HIDUP – 26 Desember 1999)

by Nuwiya Amal 29/09/2020
written by Nuwiya Amal

Salah seorang anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) di Timor Timur, Asmara Nababan mengatakan, TNI dan Milisi terlibat dalam pembantaian massal di Suai pasca pengumuman Jajak Pendapat di Timor Timur, 4 September 1999. Berikut ini. wawancara wartawan HIDUP, F. Sihol Siagian dengan aktivis LSM dan anggota Komnas HAMini di Hotel Santika, Jakarta, Jumat, 10/12. Petikannya:

BAGAIMANA kelanjutan dari penemuan kuburan massal di Suai?

Sudah. Sudah. Kami sudah serahkan. Setelah penggalian itu, dilakukan pengidentifikasian oleh tim dokter forensik, kemudian kamiserahkan ke pihak Palang MerahInternasional ICRC) dan Gereja Katolik. Dan itu kan sudah dikuburkan kembali sesuai dengan upacara agama Katolik dengan baik di Dili.

Bagi kami, hal itu menunjukkan bagaimana sebenearnya cerita yang dikatakan bahwa terjadi bentrokan antara dua kekuatan di Suai adalah tidak benar. Penggalian kuburan itu membutikan bahwa yang terjadi adalah pembantaian. Karena dari jenazah yang kami temukan itu ada anak-anak, ada perempuan, ada pastor yang jelas bukan kompeten, bukan kelompok yang bersenjata. Tetapi mereka adalah warga sipil yang berlindung di gereja dan dibantai oleh satu kekuatan bersenjata.

Apakah dalam kekuatan bersenjata itu, KPP HAM melihat ada keterlibatan TNI?

TNI ada. Misili.

Bukti-bukti TNI terlibat darimana diperoleh?

Kesaksian-kesaksian dari mereka yang selamat dari pembantaian itu. Tetapi juga ketika mereka membawa jenazah ke wilayah Timor Barat, menguburkan itu, juga orang-orang TNI terlibat. Ada saksi mata yang melihat bagaimana mereka menguburkan jenazah tersebut

Menurut Anda, apakah pembantaian itu terencana atau…

Bahwa mereka membawa dari Suai ke lokasi, apa maksudnya. Itu kan dibawa naik truk, berapa jam dari Suai ke perbatasan, itu kan juga naik ke atas. Itu menunjukkan suatu tindakan yang setidak-tidaknya menyembunyikan barang bukti. Jadi, nggak ada keragu-raguanlah tentang kejahatan yang terjadi itu.

Bagaimana follow-up dari pemanggilan para jenderal?

Oh, tim kami sekarang sedang di Timtim sampai dengan minggu depan, ini tim kedua yang kami kirim ke Timtim. Mereka juga akan mengumpulkan berbagai testimoni, evidence lain sehingga kami siap merampungkan laporan kami nanti tentang kebenran dari pelbagai pelanggaran HAM dan kami dapat menjelaskan kepada publik tingkat keterlibatan TNI dan Polri dalam pelbagai peristiwa tersebut.

Berapa lama proses ini?

Kalau semuanya berjalan baik, ya tanggal 31 Desember 1999 INI.

Bagaimana reaksi petinggi-petinggi Gereja di Timor Timur tentang ditemukannya kuburan massal itu?

Mereka sangat menghargai. Tadinya ada keragu-raguan kami karena sentimen anti Indonesia yang tinggi di masyarakat Tim-tim. Itu memang kami ragu-ragu bahwa kami dapat dipercaya atau tidak karena ini kan KPP HAM-nya Indonesia. Tetapi dari kunjungan kami ke Timtim dan komunikasi selama ini, kami cukup puas bahwa kami mendapat dukungan baik dari Gereja di Timtim maupun LSM. Dan tokoh-tokoh CNRT juga memberikan dukungan kepada pekerjaan KPP HAM. Itu sangat menolong sekali bagi kami.

29/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
Demokrasi & Tata Negara

Politics and Human Rights (Indonesian Experience 1998-2005)

by Nuwiya Amal 29/09/2020
written by Nuwiya Amal

Asmara Nababan

Introduction

Since 1998 the authoritarian regime of Soeharto, which had caused more than three decades of human rights violations or deprivations, has ceased to be. As with the experience of Latin America and  East European nations that have overturned authoritarian system, reform towards a more democratic system immediately started.

There are many human rights issues that have to be addressed, such as, but not limited to, impunity/the providing of sense Of justice to victims of past human right violations, the guarantee for the regard for and protection of human rights (civil and political rights as well as social, economic, and cultural rights) and the reform of various institutions that will enable the upholding of human rights.

The main issue that will be presented is the effect of political processes to human rights and vice versa since the fall of the authoritarian regime. The appropriate starting point of this discussion is Indonesia’s experience since 19991. Therefore, firstly there will be an elaboration on the various mappings on the protection and promotion of human rights in Indonesia. In this: part the various developments in the area of legal Instruments related to human rights, the various efforts aimed to provide justice for victims of past human right violations, and institutional reform. The next part will be a critical analysis on the various factors that would determine the progress or regress in the protection of human rights. Here the writer would attempt to give an assessment over the democracy process thus far and its impact on the protection and promotion of human rights. Lastly, the writer would try to formulate a synthesis on the relations Of politics and Human Rights in the context of Indonesia in post-authoritarian regime era.

Human Rights Condition in Indonesia Post- 1998

There are three significant issues to note in the discourse on the condition of human rights in the period of post-authoritarian regime. One, is the development of legislations related with human rights. This is a crucial point because in the period of authoritanan rule law would be draconian in nature and exist only to defend the interests of the power-holders. The Second issue is the institutional reform especially which concern with repressive institutions like TNI and the police. This is particularly important not merely because those institutions have been the dominant power but also to review how far coercive approach remains to be the paradigm. The third, concern with addressing justice in relation to past human rights violations. There are at least two urgencies for addressing this issue. First, is to repair the right of the victims and to provide them with justice. There has to be public recognition that victims have been victimized. The second is to recover the society’s trust to the government: to show that the present government is separated from the old regime and will take steps to affirm that the atrocities of the past regime will never happen again, and Impunity is not an option.

Legislation

In general, the first five years after Soeharto’s resignation have been marked with the strengthening of normative guarantees of human rights. For resample, the post-new order government (executive-legislative) has issued Parliamentary Decree (TAP MPR) No. XVI/MPR/1998 on human rights. The decree serves as the foundation for various legislation processes for the betterment of human rights condition in Indonesia.

A number of draconian laws have been withdrawn or amended, such as the five laws on Politics and Political Parties, Anti-Subversion Law, Press Law, and the Constitution, which have been amended four times so far. In regards to the Constitution, the amendments did not only add the number of the clauses, but more importantly, substantially there is now more comprehensive acknowledgment on the universal norms of human rights within it. (2000). Various discriminative regulations have been withdrawn and two Human Right conventions have been ratified, namely Convention Against Torture (1998), and Convention on the Elimination of all Forms of Racial Dissemination (1999).

At lesser level there is the passing of Law on Human Rights No.39/1898 and Law on Human Rights Court No.26/2000. Law on Human Rights, although with some weaknesses, especially in the categorization of human nights, nevertheless provide stronger legal acknowledgement for the National Commission of Human Rights (Komnas HAM) and public participation in the promotion and protection of human rights (article 4 to article 100). Lastly, the passing of Press Law, which acknowledges freedom of press. Aside from the aforementioned instruments, there are also regulations issued for the protection of human rights, such as Law on The Elimination of Domestic Violence, Government Regulation No. 2/2002 on The Procedures for Victim and Witness Protection and Government Regulation on The Procedure for the Award of Compensation, Restitution and Rehabilitation”

However, the normative changes are largely only for civil rights. The social and economic rights have not been addressed. This is evident from the passing of Law on Water Resources, which provides the opportunity for privatization and thus increase the potential violations of economic rights of the people. Many city or town govenrment issue regional regulations that legitimize forced eviction upon poor settlement or informal workers. Aside from new regional regulations that are violating human rights, the old ones that are not in line with the standards of human rights protection and promotion have still been retained.

This is also the case at implementation stage, in which only rights concerning civil-political freedoms have advanced in its performance (quality) and scope. This can be seen with the increasing numbers of media, unions (such as farmers, laborers, informal workers, fisher persons) and political parties based on various ideologies. This situation is markedly different with Soeharto’s era, during which mass organizations had been under tight control of the government, especially through the strategy of state-corporatist organization (pewadahtunggalan).’ Mass Media enjoys more freedom since the withdrawal of press publication business permit (SIUPP) and the dissolution of Department of Information, an institution that attained immense power in Suharto’s era in determining the survival of a media. Aside from that two relatively open, fair, and direct general elections have been commenced thus far. Sensitive issues such as Indonesia’s military dual-function (dwi fungsi ABRI, military business, and even the sacredness of Constitution can be openly guestioned.

Although there have been bloody conflicts allegedly due to religious or ethnicity factors, our research and various reports have shown that the lack of respect upon other regions or ethnicities is not the main factor. More than 4 of DEMOS research’s informants who have been active in the area of democracy development have stated that the performance and scope of the right has been good. “If one explores further, the more determining factor in the conflict is the Involvement of repressive agents and elite powers.

It should also be noted that the betterment of performance in civil highs does not necessary imply the betterment in its scope. For Aceh and Papua for example, the rights have been repressed. It should also be clarified that the betterment of performance does not necessarily equal the maximum distribution, quality. and implementation of the rights. We are still witnessing pressures applied to mass media or members of the society by civilian militias that are supported by either political or capital powers. The attack against Jaw Post in Surabaya (by Baser) and Tempo magazine (by a group of people supported by Tommy Wingate in Jakarta are examples of attacks against freedom of press.

Meanwhile, the implementation of cither inherent rights such as right to be free of physical violence (torture, forced disappearance, and arbitrary detention), light to access to justice, and economic, social and cultural rights has been very limited. More than 4/5 of informants have stated that the institutions related with access to justice and independent judiciary are of poor performance. The condition of right of the child is not too different- not less than 7546 deliver the same opinion.”

The condition of freedom from physical violence can bee seen in Papua. Since 1999 there have been at least 18 cases of violation of that right, and following the incidence

inhere would be lack of proper investigation. This pattern of violence is also expenenced by farmers, indigenous people and urban poor communities.”

In regards to social-economic rights, Elsam, a civil society organization (CSO) active in the area of human rights, has shown that there are more than 190 forced eviction in several provinces, may it be against street peddlers, traditional markets, as well as the settlements of the poor Although thousands have lost their place to live, the evictions have been legalized. Industrial laborers work under worker-employer relationship that eases termination of employment (PHK). Farmers and fisher persons increasingly loose their right to land or other economic resources. As an illustration, on July 21, 2003 security apparatus from the Bulukumba Resort Police, of South Sulawesi and Mobile Brigade (Brimob) supported by The Regional Police attacked farmers who are the indigenous population of Kajang who were defending the ownership to their land.” Even In regards to education, although the Constitution (article 31 chapter 4 1945 Constitution) has determined that 2095 of the State Budget has to be attributed to education, the access to education has become increasingly difficult. Education has become a luxury. In 2004 there was only 3,4995 of the total Rp. 439,8 billion State Budget was attributed to education.’” On the other hand, the spending for the payment of foreign debt and its interest amounted to Rp.1341,2 billions in 2004, or three times of ten spending for education. Moreover, it is no longer a secret that many people die due to lack of access to basic health service. This has been affirmed by the informants of DEMOS’ research. In regards to right to work, welfare/social! guarantee, and heath, more than 4/5 informants deem the condition as bad.”

Institutional reform

Its no use to engage in a discourse on political reform in Indonesia without touching the subject of military and police institutional reform. This is because the Institution had been the determining factor in political life, including the progress or regress in human rights tution in the era of Soeharto. Reforming security and defense institutions, as well as the judiciary (both the courts and prosecutor office), is crucial because the institutions were involved deeply in various human right violations.

In retrospective, “security approach’ was simply another term for coercion. Threat to national security, both intimal and external, was usually understood as falling into the following categories: Marxism-communism, Religion extrernism, liberalism and separatist movement(such as in Aceh, Irian jaya and East Timor). To back up Tts guardian role, the armed force (at the time Angkatan Bersenjata Repubiik Indonesia or The Armed Forces of The Republic of Indonesia/hereafter cited as ARRI) has been vested ‘dual function”: defence and social functions. It provides the basis fits political (as much as economic and social) participation, as can be seen in their having ‘free’ substantial number of seats in the parliament.

The Institution to carried out this approach was Kookamitib, an acronym for Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Command for the Restoration of Security and Order) which then replaced by Bakorstranas (Badan Koordinasi Stretagi Nasional/(Co-ordination Body for National Strategy). Supplementing the institution are huge official state intelligence apparatus who control the population such as BAIS (Armed Forces Strategic Intelligence Agency), Bakin (State Intelligence Co-coordinating Agency), Directorate General of Social and Political Affairs of the Ministry of Home Affairs, and Junior Attorney General. Their main objective is to carry Out four activities to benefit in aims of the state as a whole: repression, surveillance, ‘ecological correction and steering. In executing their work, the military leaned on army territorial commands as its political source of power. In such a setting the military operates without meaningful! political or judicial scrutiny. In this setting the police is considered as having this position as the junior partner of TNI.

Through MPR Decree (TAP MPR) No. VI/MPR/2000 on the separation of the Military (TN)I and the Police (Polri) and TAP MPR VII/MPR/2000, the reform of the two institutions was given legal grounds. The governments of Habibie and Abdurrahman Wahid initiated the reform of the institutions by separating TNI and The Police through Presidential Decrees. The National Strategy Coordinative Body (Bakorstranas) was Dissolved as well as The Unit of Social and Political! Staff (the political wing of TNI). The efforts to enshrine this in laws were realized in early 2002, with the passing of Law No. 2/2002 On the Police of the Republic of Indonesia and Law No.3/20C2 on National

Defense, after an intense process of political tug-of-war. This is because the two institutions’ refusal to give civilian forces the authority over the reform process within them. The Lawson Indonesia’s National Military as a derivation of Law on State Defence was only passed five years since reform had been initiated, through the passing of Law No. 34/2004.”

However, there remain many institutional problems that have not been resolved legally, especially in regards to intelligence institution and the territorial command structure as well as the military tribunal system. The implementation of normative separation between TNI and Polri has been problematic. Moreover, the capacity of police in handling conflicts is still weak. Deviating from the aspirations of the reform process, the number of TNI officials (whether active or not) within the government is still high. In the last presidential election, two former generals, namely Wiranto and Susilo Bambang W became presidential candidates. Both have been either suspected as being involved in past human right violations or have not been legally processed. At the end of the day, the cycle of impunity continues. Not more than a month a go, The Minister of Defense proposed a bill that tends to dissolve the separation between the function of defense and the function of security. This will! open again the opportunity for militarism to make a come back. More than 4/5 informants of DEMOS research have stated that the performance of democracy institutions in relation with military and police accountability in the elected government is bad.”

Meanwhile, the judiciary institutions have been undergoing structural change, namely with the determination of judiciary as an entity apart from in executive and by restoring the Supreme Court as the administrator of judiciary power. With this change it is expected that impartiality of judiciary would be more guaranteed. Yet the reform in the General Attorney’s Office has not reached that level. Structurally the General Attorney’s Office is still under the Executive. The structure is also still militaristic in character and full of corruption. The weakness of the General Attorney’s office was exceedingly apparent in their case management for the human right violations in East Timor.

Addressing justice

In this part of the paper I would like to explore the mechanisms of addressing the past atrocities committed by Suharto’s regime. I will firstly discuss the Human Right Court, how the idea evolved and how the political process in East Timor has hastened the process of its establishment. I would like to point out the potentials and the weaknesses of this mechanism. In the second part, I will address our national Truth and Reconciliation Commission, which law has just been enacted on October 6, 2004. I would like to highlight the problem with the newly passed law, yet | would also like to address the fact that this mechanism may provide an opportunity to avail justice and reconciliation.

The need for a national mechanisms) to resolve egregious human right violations has been intensively sought several years before reform. The National Commission of Human Rights within the period of 1995-1998 had investigated cases of gross violations of human rights in Papua, East Timor and Aceh, and had expressed its discontent that after the investigation, the case would either be ignored or, the small numbers of which that were taken upon the court were adjudicated by the Military Tribunal. In this Tribunal, those who were indicted were foot soldiers, and they were sentenced lightly although the crimes indicted were serious crimes such as extra judicial killing, torture and disappearance. The mechanisms that later identified were grouped into legal and non-legal measures. The legal avenue is the Human Right Court established in 2000 and the non-legal avenues the newly established Truth and Reconciliation Commission.

Human rights court mechanism

It started with the sudden and surprising move of the President Habibie in 1999 offering a popular consultation in East Timor, to choose whether to stay with Indonesia or to separate itself from the state. As have been widely published repellent human rights violation occurred before, during and after the popular consultation, right in front of International presence in the region (UNAMET), which was there to assist the execution of the consultation. This created a situation where Indonesia was put under the international spotlight.

As the international pressure mounted the government requested KOMNAS HAM to establish an investigative team for what had occurred in East Timor in 1999. The Commission however, was reluctant to give in to the request due to its past experiences, mentioned above and demanded government’s commitment that the investigation would be flowed with due process of law.

After the GOI granted the assurance, less than 24 hours before the special session of UNHCHR was convened, Komnas HAM announced that it would establish an ad hoc

Inquiry commission on human right violation on East Timor. The GOI then materialized it into an emergency government regulation called Government Regulation Replacing the Law No. 11/1999 on “Human Rights Tribunal” which was enacted on October8, 1999.”

Thus it is clear that the initial propellant for the government to make a concrete move in establishing a legal! measure to deal with past atrocities was the looming threat of international intervention. The existence and non-existence of the threat, as the process progressed, would remain to be the determinant factor of the performance of the court.

In 2000, Law No.26 on Human Rights Court was passed. It consists of identifiable weaknesses such as, (1) imperfect incorporation of international law, namely The Rome Statute’? (2) incompatible used of the criminal procedure with the tribunal which is designed to process extraordinary crimes. For instance, in the criminal code the definition of admissible evidence is limited to 1) witness testimony 2) expert witness testimony 3) documents (limited to court dossiers, legal documents relevant the case, and written opinion of an expert)”. This became a justification to rule cut other forms of evidence such as witnesses providing testimony in discreet manner (usually conducted for protection of witness, which may be exercised in form of providing testimony in another place, distortion of voice, etc), video footage, radio interceptions, and others that would be very crucial in establishing the widespread and systematic nature of an extraordinary crime.

After KOMNAS HAM released its report on the atrocities in East Timer and handed it over to the Attorney General office, extra effort to provide justice for the victims went downhill. The tempus and locus of the crime was substantially decreased by the Presidential Decree KEPRES no. 96/2001 that established the Ad Hoc Human Right Court. In Addition the defendants indicted were decreased from the original recommended by the Commission. from more than 100 to 18. In the process of the trial the prosecutors seemed to deliberately sabotage the process by issuing low standard indictments and bringing over witnesses who were mostly testifying how responsible and good the defendants were.  The  fact  that  there  were  convictions  at  al  was  mostly because there were judges who had the courage to make some legal breakthroughs At present, except Eurico Guteres, the Commander of PPPI militia, the defendants were released. The case itself is at the stage of Supreme Court.”

The trend did not stop there. The subsequent attempts to hold human right court trails have been very poor. For the atrocities in 1998-kncwn as TSS (Trisakti and Semanggi Tragedy)- for example, the House of Representatives (DPR) made its own inquiry team. It reached the conclusion that there had not been any gross violation of human rights. this was a violation on the procedure of investigation as determined by the law?”

Retrospectively the National Commission of Human Rights had conducted the process Of inquiry on the case and submitted its report. In its report, it demonstrated that there were evidence of gross violation of human rights and recommended for the establishment of an Ad Hoc Human Right Court to prosecute the case. The legislative that has the authority to decide on the establishment of the court interfere inappropriately, by making a judicial decision mentioned earlier. The Attorney General” office makes use of the circumstance as an excuse to refuse conducting investigation. The case of Tanjung Priok and Abepura, for which Human Right Court trials were held, even exceeded the East Timor trials in their low standard performance?

Truth and reconciliation mechanism

As early as October 1598, KOMNAS HAM already proposed for the establishment of a Truth and Reconciliation Commission (TRC). The proposal was presented in a three-parted meeting between the President, the Commission, and the Military, in which the Military rejected the idea. The proposal was also rejected decisively even during the establishment and the process of establishment of Human Right Court and strong effort and campaign by the civil society for TRC.

This is because the weak nesses of legal measures would be realized. Legal measures, as have been widely recognized, would be lengthy and due to the extensive numbers of atrocities and perpetrators, would not be able to address all of them. Also, while trials will uncover the factual truth, it will not address the social truth and discover the overall pattern of violations that rampantly has occurred in the nation during Soeharto’s regime and even beforehand. It would also be difficult to bring long-past violations to the court due to the diminishing physical evidence, distortion of memory of witnesses, or even death of perpetrators.

However, it had never been the intention of the people who campaigned for the establishment of TRC to make it as a substitute to the legal measures. The concept was as Alan Tieger pointed out, for the legal and non-legal measures to complement one another, and by the truth of both the nation can heal its wounds and move forward, knowing and learning from its history?

In year 2000, Indonesia’s People’s Consultative Assembly (MPR) finally issued a decree, TAP MPR No. V/2000, assigning the government to establish TRC. The process afterwards was sluggish, since, as already pointed out earlier, it was not really in the government’s agenda to settle past violations of human rights. The Law to establish TRC (Law no. 27/2004) was only passed in 2004, in the eve of Megawati’s regime. It was not something that caused celebration amongst the victims, however, because the text of the law  in  appearance  sides  to  the  perpetrators“.  Before addressing the  major weakness of the law, it should be pointed out that the definition of gross human right violations followed the definition in Law no. 26/2000, dismissing the need to resolve other forms of gross human right violations such as eviction, and involuntary displacement, which victims have amounted to millions. This is clearly very far from the vision formed in the national consultation in Surabaya, which aimed for the resolution of not only the violation of civil and political rights but also economic, social and cultural.

The law started by creating a confusion between TRC and KOMNAS”HAMin terms of who should be the one to determine whether or not an atrocity has occurred. It was to work for five years with two years extension if necessary, and to investigate all atrocities retroactively since the enactment of Law no. 26/2000 with no determined tempus limitation. This implies that it covers the period of between the Indonesia’s Independence in 1945 and 20002, making it the most ambitious truth and reconciliation commission project after South Africa, creating questions as to how it would manage to do so. However, the worst problems in the text of the law are: 1) that the truth and reconciliation commission is a substitute to Human Right Court?” and 2) that victims can be granted compensation and rehabilitation only when the perpetrators are granted amnesty

This makes TRC not as a means for the nation to discover the truth about its history and the victims’ pain to be recognized but as the bowl for the perpetrators to wash their hands clean. It also humbled the victims’ position, as retribution is confused with the inherent, separate, and independent right of the victims to compensation and rehabilitation. It also casts a shadow over Indonesia’s legal order, for if this is what we do to provide justice for the victims- by ensuring a mechanism for amnesty for the perpetrators, not only the trust in law will not grow, it will give a chance for atrocities to happen again. Thus the function of deterrence of transitional justice mechanisms will not be served.

Democracy and HRs

From the elaboration above we can find that on one hand the inherent rights related to civil and political freedom- specifically the freedom of expression, is relatively more guaranteed. Simultaneously with that the post-Soeharto political system is more open. On the other hand, other inherent rights relating with physical integrity, such as freedom

From torture, forced disappearance, or arbitrary killing remain to be violated, especially in conflict areas. It is also the case with the rights relating with access to justice and social, economic and cultural rights. In Roosevelt parameter, there are only two freedoms that are relatively well implemented in the past five years, namely right to religion and expression, whereas freedom from fear and want remain to be neglected. it is also the case with the access to justice, especially in regards to past gross human night violations and the violations of social and economic rights.

The existing freedoms indeed provide a bigger room for civil society to work for human right violations Many educations —campaigns -advocacies on human rights have been commenced. Yet this reality also shows that the argument “by respecting and guaranteeing civil and political rights [only] the people would have the power to control and manage the State” is incorrect. Indonesia’s experience for the past five years negates that argument.

The brief picture above also shows that the betterment in the acknowledgement of and guarantee for human rights is not complemented with the same development with the implementation. The change of policies, may it be in form of withdrawing or reviewing draconian rules or introducing new regulations, does not automatically better the performance of human rights. This is also the case with the establishment of the implementation institutions. Although justice is subjective, influenced with various Ideological interests or the social position of community groups, institutions aimed to attain justice in the sense of to right the wrong especially in light of horrific atrocities have been failures. What can be seen from the development thus far is that both TRC (in the form of the legislation) and Human Right Court have been used for, it would seem, the release of past perpetrators.

Lastly, it shows that militarism still dominates political and economic lives. Militarism has developed with many faces. The forms apparent at the moment are thug-ism and militia groups. Although the character of violence and the locations of their activities are not the same, namely in various power centres may it be at the executive government, legislative or business. There are many factors that determine the progress or regress of human rights. We have indicated these four factors:

a. biased regards on human rights and prioritization of nationalism of human rights

b. democracy deficit and its monopolization of dominant actors

c. the law competence of law enforcement institutions (East Timor case)

d. International community

Ad. A. The myth of ‘nationalism’

Human rights are regarded by various parties, especially those of military and religious fundamentalists, as a “western” construction that is against Indonesia’s culture. The promotion of human rights is considered as the incorporation of “western” interest in Indonesia. From experiences in giving education on human rights in the circle of military officials, it is apparent that such view is still strongly held. Such views then would be mixed with nationalism.

It is an undeniable fact that most nations, including those of the West, often adopt double standards. They would criticize the practices of other States while the human rights of their own citizens would remain unheeded. One can see this from the experience of indigenous people in North America and Australia, whose rights have been acknowledged not too long a go. The apartheid regime, which lasted until 1994 was a true form of Western colonization, and it survived until the end of the 20” century. A more recent example would be the many states wno tum a blind eye over the impact of business communities domiciling in their states upon the society of the other States where they operate. This is evident from the practices of multinational/transnational Companies that destroy heritage’/cultural land, exploit cheap labour, or limiting the access of the community to water by setting unaffordable price of water. In Indonesia this has occurred since at least 1995 when Freeport started to operate in the country, until 2004 in Buyat, Kalimantan. In the last case, there is a strong indication that the company has polluted the portion of the sea where the local community is deriving their income from.

The hypocritical attitude and the strength of Western model of law is one issue. However, to think that human rights cannot be applied in the other side of the globe is to over-simplify the issue. There are many reasons for this. In this instance, that claim has been invalidated by the fact that many people, especially victims from all over the world, who might not even know each others existence, have rejected the inhumane treatments of the power that be against their human dignity. This is not always expressed by forming an organization such as Ikatan Orang Hilang which is more organized but also by individual stances by opposing such as treatments such as in the case of Marsinah. It is valid to say that such judgment is myth developed by the tyrannies in order to stay in power.

Ad.b. Democracy Deficit and The Monopoly of Democracy Institutions by Dominant Actors

 The gaps in human rights, mayit be in the comprehension of civil and political rights as well as social, economic, and cultural rights, or the norms and implementation of human rights, because there is no framework strong enough to make it possible for the rights to be disseminated. Authoritarian system is clearly not the option- not only because it is not by definition contradictive with human rights but because the experience of the era of Soeharto has proven so. This is also the case with integralistic State or Monarchy. However the democracy that has been chosen by Indonesia after the era of Soeharto as the system of life is still in deficit.

In the perspective of human rights based democracy”, the research conducted by Demos on “The Problems and Options of Indonesia Democratisation has shown that there is a democratic deficit of rights and institutions, Although the institutions and rights of democracy have developed in Indonesia, especially those related to basic freedoms, yet the conditions of those institutions and rights that are related with rule of law, civilian Control over military, good governance, representation, and social and economic rights is still in a bad shape. Five rights and institutions considered as having the worst performance are: subordination of govt. and public officials to the rule of law, equal and secure access to justice and independent courts, parties reflection of vital issues and interest of the people, party-independence of money politics, and government’s freedom from and struggle against militias and mafias. These discrepancy increased since 1999.” The widening gaps particularly serious with regard to the major instruments for improving the deficiencies in democratic ways, i.e. representation. The danger of this is that it paves the way for top-down non democratic solutions or anarchist.

This threat is real and evident in the past general election, when there were widespread arguments that Indonesia should be lead by a “strong leadership” which usually aim at military personnel. In fact, a party explicitly argue the need to have a regime like Soeharto era. On the other event we witness local community burned attorney office and the court as a protest of the verdict over a priest who were indicted of because of his critics to the Mayor in Flores who conducted corruption. Another example is the strike of all the schools in Kampar, because of the dismissal of a teacher by the Head of Regency because the teacher criticized the small budget for education.

The promotion of human rights standards and practices should take into account the institutions to realize the rights. This is precisely because human rights are not merely norms/values — it requires substantial democracy to enable its enforcement. Lack of enforcement would create frustration between the society and bring about they taking ‘by pass’ path in obtaining their rights. On the other hand it allows, as will be explain below, the route to democracy be controlled and abused by old dominant actors who have not the interests to promote democracy.

As shown by Demos’ research, the existing democratic rights and institutions have been monopolized and hijacked by dominant actors. They have adjusted to the rules of the democratic game, but more as consumers, they would abuse them in order to obtain their interests. The picture of the human right conditions as elaborated above has shown the decreasing quality of human rights is due to the persistent influence of the past dominant power. The establishment of the court was mainly to please the International world so that intervention — in form of the establishment of an international ad hoc tribunal — will be considered unnecessary. It was not initiated because the Government (executive and legislative in general) troubled with the rights of the victims of past and future gross violations of human rights. This was made worse by the fact that, contrary to the opinion of many, the new regime failed to make a clean break with the old, a prerequisite to a successful exercise of transitional justice.

Moreover, the dominant actors are not only the executive organs/the incumbent but also the repressive agent (military apparatus, militia) and politicians who monopolised democratic instruments. The extent of the power can be seen from practices such as the use of thugs to counter demands from the society, the reluctant of the Armed Forces to disband territorial military structure, and the survival of “black conglomerates”- corruptors who remain to be above the law. Thus this means the balance between justice, stability, and reform is determined by the dominant groups, for whom justice is not an interest.

The above situation can be seen in how the regimes after Soeharto were entangled in the effort to ensure stability, something that for long time has been in the hands of TNI. Golkar, the party of the past regime, remained to the one of the strongest parties in Indonesia, creating a parliament that is unfriendly to the efforts of settling past Injustices and promoting all human rights. This was especially evident in the impeachment of the then-president Abdurrahman Wahid and the subsequent reign of Megawati’s regime. It was apparent that the impeachment was because of the desire of the majority of the parliament to stop bold moves made by President Wahid and that Megawati spent her presidency bargaining stability for impunity, especially for military officials.

c. The Low Competence of Law Enforcement Institutions

Although there have been structural changes in the judiciary system, the competence of the Institution is still very weak. This is because of the strong patriarchal ideology still persists in influencing the perspective and behavior of the bureaucrats in the government and judiciary in Indonesia.” As the result there is tolerance for each others mistakes and subsequently there is no accountability for the performance of their work. Aside from that, the influence of the old dominant powers instead of democratic groups in judiciary Institutions has caused the lack of Independence in the performance Of the judiciary. Up until now the corruption of cases involving tycoons or within the military (TNI) as well as human right cases have been very hard to be addressed.

Ad. d. International Condition

In retrospective, the political openness in Indonesia has been initiated since the early 1990’s, when there was a major shift in the global political constellation due to the end of cold war. That development has impacted the domestic situation in Indonesia. The discourse that put human rights as second to development started to deteriorate. This is also the case with the human right court. The passing of the law and the process of trials for some human rights violation cases has been initiated more or less due to the fear of the involvement of international court. Aside from that, it is undeniable that the pressure from international economic powers such as the Word Bank, IMF, TNC’s, MNC’s and developed states have influenced the development of legislations in co law, which has been strongly influenced by market economy ideas and concepts, such as the Law on Water Resources.

In other words, the development and pressure from international actors also determine the changes at domestic level. Thus it is important for the international community to support the agendas developed by the democracy and human rights movements in Indonesia.

Conclusion

It is clear that the quality of democratic and political framework is very important in ensuring effective protection and promotion of human rights. When the democracy in Indonesia is still in deficit as apparent in the research of DEMOS as elaborated above, then the effective promotion and protection of human rights will be difficult to achieve. The early conclusion of this research has concluded the following:

  1. There are critical basic freedoms, but a severe democratic deficit of other democratic rights and institutions, including people’s identification with the national and regional demos.
  2. There are indeed free and fair elections, but only of unrepresentative and unresponsive parties and politicians.
  3. The dominant members of elite tend to adjust to the new game of democracy, but monopolise it, bending and abusing the rules of the game as they go
  4. The agents of change that brought democracy to Indonesia are still critical as civic activists and pressure groups, but are ‘floating’ in the margins of the fledgling democratic system, thus being unable to make real impact.

The patch up of democratic institutions, although necessary, is not enough. This is because the authoritarian regime was in power for 32 years, and it has destroyed the basis of democracy in the society. The reparation of democracy (meaning to expand and

intensify the process) should be focused on the level of representation. Aside from that the persistence of democratic actors to adopt a more major role in the political community will significantly repair and either the power relations. The oligarchic power ‘relation-as what exists presently- is proven to be the biggest hindrance far substantial democracy to work. With the alteration of the power relations there will be a better political framework to ensure the protection and promotion of human rights, especially in regards to economic, social, and cultural rights.

end

29/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
Demokrasi & Tata Negara

Supremasi Hukumdan Keadilan: Pilar Demokrasi

by Nuwiya Amal 29/09/2020
written by Nuwiya Amal

Asmara Nababan

Pendahuluan:

Salah satu peninggalan dari rejim Orde Baru yang menjadi persoalan yang paling genting dewasa iniadalah sistem penegakan hukum dan keadilan (judiciary systems). Lebih dari 30 tahun sistem penegakan hukum dan keadilan telah dibangun dalam satu paradigma rule by law sebagai perwujudan dari konsep staatsrecht. Dengan paradigma ini penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan hukum – bukan pemerintahann berdasarkan hukum (rule of law)- termasuk dalam menyelenggarakan sistem perwujudan keadilan hukum. Judiciary system yang menjadi bagian dari sistem penyelenggeraan kekuasan negara secara sengaja dan terencana disusun untuk melayani kepentingan ideologi penguasa otoritarian yakni stabilitas dan kelangsungan kekuasaan rejim dengan harga yang harus dibayar yakni keadilan dan penghormatan terhadap hukum. Hukum hanya menjadialat kekuasaan, oleh karenaitu inpendensidari peradilan hilang.

Minggirnya Suharto dari kekuasaan 5 tahun yang lalu, melahirkan harapan yang besar terhadap proses demokratisasasi termasuk reformasi hukum, tepatnya reformasi Judiciary systems agar dapat menegakkan keadilan. Harapan yang begitu besar setelah lima tahun semakin berkurang dan nyaris hilang, karena perobahan-perobahan yang dilakukan    belum  menunjukkan  bahwa keadilan  hukum  telahdapat  dirasakan  oleh masyarakat luas.                                                                                                                               «

Prosekusi dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan yang luar biasa sekalipun berlangsung seperi satu sandiwara yang tidak lucu. Norma dan doktrin hukum yang universal dijungkir balikkan bagi kepentingan para pelaku kejahatan2. Proses peradilan dengan mudah dapat dintervensi oleh kekuasaan politik maupun kekuasaan uang. Kembali yang menjadi korban adalah keadilan, baik itu menyangkut rasa keadilan dari masyarakat tetapi juga menyangkut pengingkaran terhadap right to justice yang merupakanhak yang asasi dari mereka yang menjadi korban kejahatan tersebut.

Keadaan judiciary system ini juga menjadi perhatian dan keperdulian masyarakat internasional. Karena keboborokan ini telah juga merugikan kepentingan modal, dan merupakan penghalang yang besar bagi perlindungan hak asasi manusia yang efektif. Indonesia atas desakan masyarakat internasional akhirnya terpaksa mengundang Special Rapporteur on the Independenceof Judges and Lawyers dari UN Commission on Human Rights (CHR) ke Indonesia tahun 2002. Dalam laporannya yang di bahas oleh CHR bulan April 2003, dia menyimpulkan:

(81) The independence of the judiciary is the cornerstone for the rule of law in any democratic society. The Special Rapporteur notes with extreme concern the lack of Judicial independence in the country. For the first 40 years after impendence, judicial power was seen as an extension of executive power. This has resulted in the judiciary being plagued with corrupt practices.3

Kesimpulan ini hanya merupakan penguatan dari kesimpulan yang sama dari berbagai kajian dan penelitian di dalam negeri mengenai kebobrokan kondisi dari sistem penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.4

Dilema dalam Masa Transisi

Salah satu dilema dalam masatransisi ialah : bagaimana rejim baru menyikapi kejahatan dari masa lalu. Rejim lama telah meninggalkan sejumlah besar kejahatan yang tidak pernah diselesaikan. Kejahatan yang telah menimbulkan penderitaan bagi banyak orang.

Jutaan orang telah dirampas hak-haksipil ,politik, ekonomi, sosial dan budaya. Halini banyak dilakukan dengan menggunakan instrument hukum pula. Akibat lebih jauh dan amat parah adalah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum dan keadilan, yang secara langsung memerosotkanpula legitimasi negara di mata masyarakat.

Dalam masa transisi menggunakan sistem penegakan hukum dan keadilan yang ditinggalkan oleh rejim lama,jelas tidak akan mampu untuk memenuhirasa keadilan dari masyarakat- terutama korban- karena sistem ini dibangun justru untuk melindungi dan melayani kepentingan rejim, bukan untuk menegakkan keadilan. Untuk itu judiciary system harus direformasi.

Sementara itu reformasi hukum untuk mengubahsistem ini baik menyangkutisi, struktur dan kultur hukum membutuhkan waktu yang cukup panjang- setidaknya dalam satu generasi- sementara masyarakat menuntut: keadilan sudah harus dirasakan sekarang. Tuntutan ini tidak dapat dipenuhi dengan janji: setelah sistem penegakan hukum dan keadilan selesai direformasi dalam 10 sampai 20- tahun lagi, maka keadilan akan ditegakkan.

Tidak boleh pula dilupakan dukungan rakyat untuk terjadinya perobahan rejim, terutama dan pertama-tama karena harapan akan adanya keadilan ( mencakup moraljustice, legal Justice dan social justice) ) yang akan ditegakan rejim baru. Ada unsur mendesak bagi rejim baru untuk mulai memberikan keadilan ( deliver the justice) sekarang dan bukan besok. Penegakan keadilan ini sekaligus akan memperkuatlegitimasi rejim baru serta mulai menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat bahwa penyelenggara kekuasaan negara dapat dan mau memenuhi kebutuhandan tuntutan rakyat terutama memenuhirasa keadilan dari masyarakat.

Dimensi lain dari dilema ini adalah memberika keadilan bagi rakyat-apalagi secara penuh- jelas akan mengganggu dan mengancam kepentingan elemen-elemen rejim lama yang masih ikut dalam kekuasan negara. Memprosekusi dan mengadili para pelaku kejahatan ‘rejim lama, mengundang perlawanan yang akan melahirkan konflik-konflik baru dengan akibat luas di bidang politik, keamanan dan sosial. Proses demokratisasi yang masih lemah dapat lenyap dengan seketika. Rejim baru sepertinya berhadapan dengan pilihan mewujudkan keadilan di satu pihak, atau menyelematkan proses demokrasi yang baru dimulai. Kesalahan dalam memilih jalan yang ada, bukan hanya mengkandaskanproses demokrasi, tapi kembali dilanjutkannya praktek rejim otoritarian.

Tidak berlebihan Tina Rosenberg melukiskan dilemmaini sebagai drama terbesar abad ini yang menyangkut moral, politik maupun filosofis.5

Dilema ini juga dihadapi Indonesia dalam kurun waktutransisional seperti sekarangini. Bagaimanakah Indonesia menyikapi berbagai kejahatan terhadap kemanusian yang dilakukan oleh rejim otoritarian Suharto?

Berbeda dengan transisi 1967-1971 yang ditandai dengan pergantian rejim (replacement)6 dimana tak ada elemen-elemenrejim lama yang ikut ambil bagian dalam rejim baru. Semua orang yang berkaitan dengan rejim lama, dihabiskan secara politik, sosial bahkan hidupnya dicabut. Maka dalam transisi 1998 sampai sekarang, kekuasaan negara diselenggarakan dengan transplacement. Kekuatan politik lama yang otoritarian bahkan fasisitis7 bersama-sama dengan kekuatan oposisi menyelenggarakan kekuasaan negara. Oleh karenanya perobahan yang drastis seperti transisi 1967-1971 tidak mungkin dapat terjadi dalam masa transisi sekarang ini.

Perobahan yang ada akan lambat dan menyakitkan, karena kekuatanriel politiklah yang menentukan ke arah dan sejauh mana perobahan dapat di dorong tanpa menimbulkan bencanabaru bagi bangsa.

Dalam keadaan demikian dilema yang dihadapi Indonesia semakin sulit dengan ketidakpastian yang tinggi, terutama menyangkut bagaimana menyikapi dua jenis kejahatan yang luar biasa dari rejim lama yakni : kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan korupsi. Kedua kejahatan ini melibatkan institusi negara dan individu-individu yang bukan hanya turut dalam penyelenggeraan kekuasaan negara, tapi mempunyai kemampuanuntuk menimbulkan bencanabagi masa depan Indonesia.

Pilihan-pilihan pada masatransisi untuk Indonesia memang sangat dilematis. Pemerintah yang dibentuk sebagai hasil lanjutan dari Pemilu 1999, merupakan gabungan kekuatan dari rejim otokratik dan kekuatan demokratik8. Dari segi demokrasi prosedural memang pemerintahan demikiantelah legitimate. Keadaan yang demikian membuat pemerintahan Presiden Abdur Rahman Wahid dan Megawati tidak mungkin dapat melakukan satu perohahan yang drastis yang dapat menarik garis putus dari struktur dan praktek rejim otoritarian, sebagaimanarejim Orde Baru menarik garis putus dengan rejim Orde Lama.

Transititonal Justice

Di berbagai negara yang mengalami transisi, dilemma ini coba diatasi dengan menciptakan instrumen-instrumen yang bersifat transisional untuk segera memberi keadilan yang dapat dicicipi oleh masyarakat, sekaligus memelihara proses demokratisasi yang baru berjalan dengan memperkuat rule of law. Instrumen-instrumen ini bisa bersifat kompelementer atau bersifat substitusi dari peradilan9. Pembentukan instrumen-instrumen transisional ini dilakukan, serentak dengan reformasi sistem yang akan memakan waktu yang panjang. Ketika masa instrumen transisional selesai bekerja maka diharapkan sistem penegakan hukum dan keadilan telah mencapai tingkat kemampuan minimal to deliver the justice.

Transistional Justice yang ingin diwujudkan melalui pembentukan komisi kebenaran10 memang merupakan jalan kompromi, disatu pihak tidak dimaksudkan untuk mencuci tangan (White wash) para penjahat dan di pihak lain tidak pula berupa upaya balas dendam (witch hunt) yang justru merusak sendi-sendi hukum dan keadilan. Jalan yang ditempuh bukanlah jalan Nurenberg tapi juga bukan jalan pemberian amnesti umum ( blanket amnesty). Keadilan yang ditonjolkan adalah keadilan restotratif daripada retributif. Pada akhirnya diharapkan terwujud rekonsiliasi dalam satu bangsa.

Tujuan instrumen-instrumentransitionaljustice yang ideal setidak-tidaknya mencakup:

  1. pemulihan hak korban
  2. pemulihan hak korban
  3. pemulihan hak korban

Ad 1.Pemulihan Hak Korban

Jutaan orang telah menjadi korban akibat dari  kejahatan terhadap hak-haksipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Mereka berhakatas keadilan, dan keadilan itu pertama-tama dan utamanya adalah pemulihan hak yang telah dilanggar. Memulihan hak bagi korban dapat beruparehabilitasi, kompensasidanrestitusi, ini adalah kewajiban negara.

Mengindetifikasi korban-korban kejahatan terhadap hak-hak sipil dan politik lebih mudah dari kejahatan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jutaan orang tidak dapat dipenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya oleh negara , karena kemampuan negara untuk memenuhi hak-hak tersebut ( sebagai state obligation) telah dikurangi secara substansial oleh tindak korupsi. Mereka adalah korbandari tindak pidana korupsi oleh pejabat-pejabat negara dan oleh kebijakan negara.

Negara-negara yang mengalami transisi menuju demokrasi cenderung hanya menyelesaikan kejahatan yang berhubungan dengan kejahatan yang menyangkut hak-hak sipil dan politik11, hal ini terutama disebabkan oleh jenis kejahatannya lebih mencolok, serta ketersedian norma dan peraturan hukum yang dapat dipakai. Memang harusdiakui perkembangan instrumen hukum internasional untuk melindungi hak-haksipil dan politik jauh lebih berkembang katimbang instrument-instrumen perlindungan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Ad 2. Hukuman Bagi pelaku

Prosekusi dan mengadili penjahat-penjahat yang masih memegang kekuasaan formal, dengan dukungan politik serta keuangan yang luar biasa besarnya, merupakan hal yang mustahil dilakukan, tanpa mengorbankan proses demokratisasi yang masih lemah dalam masatransisi. Apalagi bila diharapkan untuk mewujudkan satu keadilan retributif. Oleh karenanya yang sering dilakukan adalah hukuman pidana dengan peluang pengampunan.Bila kekuatan elemen rejim lama di tubuh rejim baru cukup besar maka kecenderungan kepada pengampunanakan lebih besar. Walaupun demikian kebenaran yang dapat diungkap melalui proses itu akn menjadi pengakuan absahnya norma-norma hukum dan keadilan yang dilanggar dalam kejahatan tersebut.

Bentuk lain berupa hukuman non pidana yakni lustration12 yang membatasi bekas pejabat rejim lama untuk mendudukijabatan publik untuk waktu tertentu atau selamanya dengan demikian merekatidak menjadi penghalang bagi proses demokratisasi.

Penghukuman ini perlu untuk memutus rantai impunity, karena bila impunity terus berlangsung tidak akan pernah ada supremasi hukum.

Ad 3. Koreksi-koreksi atas pola kejahatan diwujudkan dengan perobahan kebijakan dan kelembagaan. Koreksi ini didasarkan kepada kebenaran yang mengungkapkan berbagai kebijakan ‘dan institusi yang dibuat oleh negara yang memungkin terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut, serta tidak dapat dihukumnyapara pelakunya di masa lalu. Perobahan kebijakan dan institusi ini dibutuhkan agar kejahatan-kejahatan serius yang terjadi di masa lalu tidak terulang kembali, dan kalaupun terulang dapat dipastikan adanya penghukuman.

Indonesia juga berupaya menempuh jalan yang sama, berbagai instrumen transisional dibuat seperti Pengadilan HAM ad Hoc untuk Tim-Tim dan T.Priok dan berbagai komisi khusus seperti Komisi Hukum Nasonal (KHN), Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan yang terakhir rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)13, yang RIJUnya baru mau dibahas oleh DPR. Begitu juga Komisi Anti Korupsi yang pembentukannya diperintahkan oleh undang-undang sejak tahun 2002, yang sampai sekarang masih belum juga terbentuk.

Namun berbagai hasil kerja dari instrumen transisional telah ada selama ini tidak memenuhi tujuannya. Pengadilan HAM ad Hoc Tim-Tim setelah bersidang lebih dari satu tahun telah mengundang kecaman dari dalam maupun luar negeri14. Penuntutan dan proses dan hasil penadilan dianggap jauh dari memenuhi standar —standar internasional yang menjamin terwujudnya keadilan. Lebih jauh lagi KPKPN yang cukup memberi harapan dengan pekerjaan-pekerjaannya bagi upaya membangun penyelenggaraan kekuasaannegara yang bersih akhirnya dihapuskan15.

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan kegagalan ini.

Pertama, instrumen-instrumen yang dibuat didasarkan kepada kompromi-kompromi taktis dari kepentingan kekuatan rejim lama dan kekuatan demokrasi secara ad hoc. Kompromi-kompromi yang mengorbankan keadilan ini mendapat pembenaran demi menyelamatkanproses demokratisasi yang sangat rentan.

Pada awal masa transisi tidak terdapat kesepakatan politik yang mendasar antar kekuatan rejim orde baru dengan kekuatan demokratis mengenai berbagai masalah, termasuk penyelesaian masalah kejahatan-kejahatan serius yang terjadi di masa lalu. Hal ini tampak ketika desakan untuk mengadili Suharto masih begitu kuat, dan karenanya Kejaksaan Agung melakukan prosekusi, pada waktu yang bersamaan Presiden Abdur Rahman Wahid justru memberi statemen akan mengampuni Suharto. Contoh lain menyangkut tuntutan penyelesaian kasus kejahatan terhadap kemanusiun yang dikenal dengan nama kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, justru DPR menyatakan bahwa dalam peristiwa tersebuttidak ada kejahatan terhadap kemanusian16.

Kedua, tidak ada akuntabilitas dari instrument-instrumen transistional ini kepada masyarakat umum, baik dalam tahap proses pembentukan instrumennya, maupun tahap proses dan hasil kerjanya. Bilapun ada usaha pemenuhan akuntabilitas seperti yang dilakukan oleh KPKPN namun tidak terdapat dukungan yang kuat dari masyarakat untuk menggugat kebijakan negara yang menghapuskan KPKPN.

Momentum Yang Hampir Hilang

Transisi 1998 akan berakhir tahun 2004, ketika pemilu dengan pemilihan presiden secara langsung, dapat dilaksanakan dengan baik. Periode selanjutnya merupakan periode konsolidasi dari hasil masa transisi sebelumnya. Pemerintah baru hasil pemilu 2004, akan lebih legitimate dan akan lebih memusatkan perhatian dan enerjinya bagi pemecahan-pemecahan masalah kontemporer daripada masalah-masalah masa lampautermasuk kejahatan-kejahatan masalalu.

Sampai dengan saat ini dapat disimpulkan bahwa masatransisi sejak 1998 tidak dapat menghasilkan judicial capital yang memadai bagi judiciary system agar dapat menegakkan keadilan (to deliver the justice), di masa depan.

Perobahan-perobahan dari content of the law memang secara kuantitatif telah cukup banyak banyak dilakukan sejak pemerintahan BJ Habibie, namun perobahan di bidang structure dan culture of law tidak membawaperbaikan, kalau tidak dapat dikatakan semakin memburuk.

Dua peluang peluang yang masih tinggal adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)17 sebagai instrumen untuk menyelesaikan berbagai kejahatan terhadap kemanusian yangterjadi di masa lampau , dan Komisi Anti Korupsi sebagai instrumen khusus bagi penyidikan dan penuntutan kejahatan korupsi. Bila kedua komisi ini dapat memenuhi tujuan pembentukannya, memang masih akan ada harapan bagi perbaikan sistem penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Untuk KKR keberhasilannya terletak pada: pemulihan hak-hak korban, penghukuman pelaku dengan peluang amnesti serta menentukan perobahan kebijakan dan kelembagaan yang mencegah terulangnya kejahatan masa lalu. Sementara ukuran keberhasilan untuk Komisi Anti Korupsi, dapat memajukantuntutan yang lengkap atas berbagaitindak korupsi yang besar, seperti kasus Suharto dkk, BLBI dil.

Dari kedua komisi -yang bila bekerja dan memberi hasil yang sesuai dengan tujuan pembentukannya- maka akan ada peningkatan yang substansial dari judicial capital yang dapat dipakai untuk memperbaiki kinerja sistem penegakan hukum dan keadilan di masa mendatang. Dengan demikian secara pasti walaupun mungkin sangat lambat prinsip rule of law dapat dibangun yang menjadi dasar dari demokrasi di Indonesia.

Tetapi kalau komisi-komisi ini mengalami nasib yang sama dari instrumen-instrumen transisional yang sebelumnya, maka memang momentumbagi transitional justice telah hilang.

Mewujudkan rule of law sebagai batu penjuru demokrasi di masa mendatang jelas penuh dengan ketidak pastian. Indonesia bisa saja kembali ke situasi sebelum 1998, dimana rejim otoriter me:nerintah dengan hukum (rule by law) tetapi bukan berdasarkan hukum (rule of law). Demokrasi dan hak asasi manusia akan kembali terpasung. Bukankah suara-suara yang meminta kembalinya satu pemerintahan yang otoriter semakin nyaring, sebagaimana nyaringnyasuara-suara yang mendukung operasi militer di Aceh?

1 Paper untuk Konsultasi Gereja & Politik, 19 Ausutus 2003 di Cipayung.

2 Contoh yang paling menarik adalah penerapan asas presumption of innocence dalam kasus korupsi Akbar Tanjung.

3 Report of The Special Rapporteur on The Independence of Judges and Lawyers Dato” Param Cumaraswamy, submitted in accordance with Commission on Human Rights Resolution 2002/43.

4 Lihat laporan Indonesia Corruption Watch (ICW)tahun 2002 berjudul “ Mafia Peradilan Indonesia”.

5 Tina Rosenberg dalam buku Martin Mereditch, Coming to Terms, New York: Public Affairs, 1999.

6 Pembedaanteoritik dari Transformations, Replacements dan Transplacements dapatdilihat dalam buku Samuel P.Huntington, The Third Wafe: Democratization in the Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press,1991.

7 Rejim Suharto sebagai rejim Neo-Fasisime Militer dijelaskan panjang lebar dalam buku Daniel Dhakidae, Cendikawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003.

8 Golkar yang merupakan Partai Neo Fasis Orde Baru, mengubah dirinya menjadi Partai Golkar dan merebut suara terbanyak kedua setelah PDI-P.

9 Sampai dengan sekarang telah lebih dari 15 komisi kebenaran yangdibentuk di Asia, Amerika Latin, Afrika dan Eropa Timur dalam masatransisi dari rejim otoritarian ke rejim demokrasi. Komisi yang terakhir dibentuk tahun 2002 adalah East Timor’s Commission for Reception, Truth and Reconciliation.

10 Komisi kebenaran mengambil nama yang berbeda di tiap negara sebagai contoh: Chad,”Commission of Inguiry into the Crimes and Missappropriations Committed by Ex-President Habre, His Accomplices and/or Accessories” tapi ada juga yang mengambil nama yang sederhana seperti “Commission on the Truth for El Salvador”

11 Uraian yang lengkap tentang pekerjaan 15 komisisejenis diuraikan oleh Pricilia B.Hayner, “Fifteen Truth Commissions- 1974to 1994: A Comparative Study” Human Rihts Ouaterly, vol.16.no.4 (1994). Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh ELSAM (2002) dgn judul “ Mencari Akar dan Pandangan Bersama”.

12 Pustration banyak dipraktekkan di Eropa Timur. Lihat artikel Herman Schwartz , Lustration in Eastern Europe, dalam Neil J.Kritz “ Transitional Justice” vol. I, United States Institute of Peace (1995).

13 MPR tahun 200 telah memerintahkan pembentukan KKR, namunbaru bulan Juli 2003 draft RUU KKR diserahkan Pemerintah ke DPR. Kelambatan ini menunjukkan betapa rendahnyaprioritas Pemerintah dalam menyelesikan berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lampau.

14 Sebenarnyabila proses pengadilan ini berjalan sesuai denganstandar dari pengadilan yang jujur dan tidak berpihak, kita dapat memetik berbagaipelajaran dari kesalahan yangterjadi dalam pengelolaan keamanan yang berguna bagi usaha membangunsatuinstitusi militer yang profesional dalam satu negara yang demokratis.

15 Fungsi KPKPN akan digabungkan dengan Komisi Anti Korupsi, satu langkah yang kontroversial sehingga KPKPNsendiri memajukanjudicial review ke Mahkamah Agung.

16 DPR sebenarnyatelah melampaui kewenangannya dengan memberikan penilaian judicial yang juga sekaligus bertentangan dengan ketentuan pasal 42 (2) UU 26 tahun 2002 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam pasalini diatur kewenangan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, bukan kewenangan untuk menentukan apakah dalam satu peristiwa telah terjadi atau tidak pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini hanya dapatterjadi karena kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang lebih diutamakan oleh fraksi-fraksi partai di DPR.

17 Kajian awal dari RUU KKR yangdilakukan oleh ELSAM dan KONTRASdalam dua kesempatan yang terpisah awal bulan Augustus 2003 menemukan berbagai kekurangan yangserius dalam tujuan, kewenangan, keorganisasian yang bila tidak diperbaiki oleh DPR maka KKRini hanya merupakanalat untuk mencuci tangan para penjahat kemanusian.

29/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
Newer Posts
Older Posts

Search

Recent Posts

  • Gerakan Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Oekumenis: Presentasi Pendeta Gomar Gultom di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Kata Sambutan Antonio Pradjasto di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Asmara Berdemokrasi dan HAM (Cakrawala – 13 Desember 2020)
  • Bang As Tak Pernah Meninggalkan Orang: Presentasi Sarah Lery Mboeik di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Peringatan 10 Tahun Kepergian Asmara Nababan: Presentasi Henri Saragih di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045

Recent Comments

    Copyright 2020


    Back To Top
    Asmara Nababan
    • Home
    • Tentang Asmara Nababan
      • Awal Kehidupan
      • Pendidikan
      • Riwayat Pekerjaan
      • Kegiatan Lainnya
    • Warisan Pemikiran
      • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
      • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
      • HAM dan Pembangunan
      • Demokrasi dan Tata Negara
      • Pendidikan dan Seni
    • Living Legacy
      • Arsip Video
      • Arsip Foto
      • Doa untuk Bang As & Bangsa
      • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
      • Kirim Tulisan
    • Info Kegiatan
    • id ID
      • id ID
      • en EN