Supremasi Hukumdan Keadilan: Pilar Demokrasi

by Nuwiya Amal

Asmara Nababan

Pendahuluan:

Salah satu peninggalan dari rejim Orde Baru yang menjadi persoalan yang paling genting dewasa iniadalah sistem penegakan hukum dan keadilan (judiciary systems). Lebih dari 30 tahun sistem penegakan hukum dan keadilan telah dibangun dalam satu paradigma rule by law sebagai perwujudan dari konsep staatsrecht. Dengan paradigma ini penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan hukum – bukan pemerintahann berdasarkan hukum (rule of law)- termasuk dalam menyelenggarakan sistem perwujudan keadilan hukum. Judiciary system yang menjadi bagian dari sistem penyelenggeraan kekuasan negara secara sengaja dan terencana disusun untuk melayani kepentingan ideologi penguasa otoritarian yakni stabilitas dan kelangsungan kekuasaan rejim dengan harga yang harus dibayar yakni keadilan dan penghormatan terhadap hukum. Hukum hanya menjadialat kekuasaan, oleh karenaitu inpendensidari peradilan hilang.

Minggirnya Suharto dari kekuasaan 5 tahun yang lalu, melahirkan harapan yang besar terhadap proses demokratisasasi termasuk reformasi hukum, tepatnya reformasi Judiciary systems agar dapat menegakkan keadilan. Harapan yang begitu besar setelah lima tahun semakin berkurang dan nyaris hilang, karena perobahan-perobahan yang dilakukan    belum  menunjukkan  bahwa keadilan  hukum  telahdapat  dirasakan  oleh masyarakat luas.                                                                                                                               «

Prosekusi dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan yang luar biasa sekalipun berlangsung seperi satu sandiwara yang tidak lucu. Norma dan doktrin hukum yang universal dijungkir balikkan bagi kepentingan para pelaku kejahatan2. Proses peradilan dengan mudah dapat dintervensi oleh kekuasaan politik maupun kekuasaan uang. Kembali yang menjadi korban adalah keadilan, baik itu menyangkut rasa keadilan dari masyarakat tetapi juga menyangkut pengingkaran terhadap right to justice yang merupakanhak yang asasi dari mereka yang menjadi korban kejahatan tersebut.

Keadaan judiciary system ini juga menjadi perhatian dan keperdulian masyarakat internasional. Karena keboborokan ini telah juga merugikan kepentingan modal, dan merupakan penghalang yang besar bagi perlindungan hak asasi manusia yang efektif. Indonesia atas desakan masyarakat internasional akhirnya terpaksa mengundang Special Rapporteur on the Independenceof Judges and Lawyers dari UN Commission on Human Rights (CHR) ke Indonesia tahun 2002. Dalam laporannya yang di bahas oleh CHR bulan April 2003, dia menyimpulkan:

(81) The independence of the judiciary is the cornerstone for the rule of law in any democratic society. The Special Rapporteur notes with extreme concern the lack of Judicial independence in the country. For the first 40 years after impendence, judicial power was seen as an extension of executive power. This has resulted in the judiciary being plagued with corrupt practices.3

Kesimpulan ini hanya merupakan penguatan dari kesimpulan yang sama dari berbagai kajian dan penelitian di dalam negeri mengenai kebobrokan kondisi dari sistem penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.4

Dilema dalam Masa Transisi

Salah satu dilema dalam masatransisi ialah : bagaimana rejim baru menyikapi kejahatan dari masa lalu. Rejim lama telah meninggalkan sejumlah besar kejahatan yang tidak pernah diselesaikan. Kejahatan yang telah menimbulkan penderitaan bagi banyak orang.

Jutaan orang telah dirampas hak-haksipil ,politik, ekonomi, sosial dan budaya. Halini banyak dilakukan dengan menggunakan instrument hukum pula. Akibat lebih jauh dan amat parah adalah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum dan keadilan, yang secara langsung memerosotkanpula legitimasi negara di mata masyarakat.

Dalam masa transisi menggunakan sistem penegakan hukum dan keadilan yang ditinggalkan oleh rejim lama,jelas tidak akan mampu untuk memenuhirasa keadilan dari masyarakat- terutama korban- karena sistem ini dibangun justru untuk melindungi dan melayani kepentingan rejim, bukan untuk menegakkan keadilan. Untuk itu judiciary system harus direformasi.

Sementara itu reformasi hukum untuk mengubahsistem ini baik menyangkutisi, struktur dan kultur hukum membutuhkan waktu yang cukup panjang- setidaknya dalam satu generasi- sementara masyarakat menuntut: keadilan sudah harus dirasakan sekarang. Tuntutan ini tidak dapat dipenuhi dengan janji: setelah sistem penegakan hukum dan keadilan selesai direformasi dalam 10 sampai 20- tahun lagi, maka keadilan akan ditegakkan.

Tidak boleh pula dilupakan dukungan rakyat untuk terjadinya perobahan rejim, terutama dan pertama-tama karena harapan akan adanya keadilan ( mencakup moraljustice, legal Justice dan social justice) ) yang akan ditegakan rejim baru. Ada unsur mendesak bagi rejim baru untuk mulai memberikan keadilan ( deliver the justice) sekarang dan bukan besok. Penegakan keadilan ini sekaligus akan memperkuatlegitimasi rejim baru serta mulai menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat bahwa penyelenggara kekuasaan negara dapat dan mau memenuhi kebutuhandan tuntutan rakyat terutama memenuhirasa keadilan dari masyarakat.

Dimensi lain dari dilema ini adalah memberika keadilan bagi rakyat-apalagi secara penuh- jelas akan mengganggu dan mengancam kepentingan elemen-elemen rejim lama yang masih ikut dalam kekuasan negara. Memprosekusi dan mengadili para pelaku kejahatan ‘rejim lama, mengundang perlawanan yang akan melahirkan konflik-konflik baru dengan akibat luas di bidang politik, keamanan dan sosial. Proses demokratisasi yang masih lemah dapat lenyap dengan seketika. Rejim baru sepertinya berhadapan dengan pilihan mewujudkan keadilan di satu pihak, atau menyelematkan proses demokrasi yang baru dimulai. Kesalahan dalam memilih jalan yang ada, bukan hanya mengkandaskanproses demokrasi, tapi kembali dilanjutkannya praktek rejim otoritarian.

Tidak berlebihan Tina Rosenberg melukiskan dilemmaini sebagai drama terbesar abad ini yang menyangkut moral, politik maupun filosofis.5

Dilema ini juga dihadapi Indonesia dalam kurun waktutransisional seperti sekarangini. Bagaimanakah Indonesia menyikapi berbagai kejahatan terhadap kemanusian yang dilakukan oleh rejim otoritarian Suharto?

Berbeda dengan transisi 1967-1971 yang ditandai dengan pergantian rejim (replacement)6 dimana tak ada elemen-elemenrejim lama yang ikut ambil bagian dalam rejim baru. Semua orang yang berkaitan dengan rejim lama, dihabiskan secara politik, sosial bahkan hidupnya dicabut. Maka dalam transisi 1998 sampai sekarang, kekuasaan negara diselenggarakan dengan transplacement. Kekuatan politik lama yang otoritarian bahkan fasisitis7 bersama-sama dengan kekuatan oposisi menyelenggarakan kekuasaan negara. Oleh karenanya perobahan yang drastis seperti transisi 1967-1971 tidak mungkin dapat terjadi dalam masa transisi sekarang ini.

Perobahan yang ada akan lambat dan menyakitkan, karena kekuatanriel politiklah yang menentukan ke arah dan sejauh mana perobahan dapat di dorong tanpa menimbulkan bencanabaru bagi bangsa.

Dalam keadaan demikian dilema yang dihadapi Indonesia semakin sulit dengan ketidakpastian yang tinggi, terutama menyangkut bagaimana menyikapi dua jenis kejahatan yang luar biasa dari rejim lama yakni : kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan korupsi. Kedua kejahatan ini melibatkan institusi negara dan individu-individu yang bukan hanya turut dalam penyelenggeraan kekuasaan negara, tapi mempunyai kemampuanuntuk menimbulkan bencanabagi masa depan Indonesia.

Pilihan-pilihan pada masatransisi untuk Indonesia memang sangat dilematis. Pemerintah yang dibentuk sebagai hasil lanjutan dari Pemilu 1999, merupakan gabungan kekuatan dari rejim otokratik dan kekuatan demokratik8. Dari segi demokrasi prosedural memang pemerintahan demikiantelah legitimate. Keadaan yang demikian membuat pemerintahan Presiden Abdur Rahman Wahid dan Megawati tidak mungkin dapat melakukan satu perohahan yang drastis yang dapat menarik garis putus dari struktur dan praktek rejim otoritarian, sebagaimanarejim Orde Baru menarik garis putus dengan rejim Orde Lama.

Transititonal Justice

Di berbagai negara yang mengalami transisi, dilemma ini coba diatasi dengan menciptakan instrumen-instrumen yang bersifat transisional untuk segera memberi keadilan yang dapat dicicipi oleh masyarakat, sekaligus memelihara proses demokratisasi yang baru berjalan dengan memperkuat rule of law. Instrumen-instrumen ini bisa bersifat kompelementer atau bersifat substitusi dari peradilan9. Pembentukan instrumen-instrumen transisional ini dilakukan, serentak dengan reformasi sistem yang akan memakan waktu yang panjang. Ketika masa instrumen transisional selesai bekerja maka diharapkan sistem penegakan hukum dan keadilan telah mencapai tingkat kemampuan minimal to deliver the justice.

Transistional Justice yang ingin diwujudkan melalui pembentukan komisi kebenaran10 memang merupakan jalan kompromi, disatu pihak tidak dimaksudkan untuk mencuci tangan (White wash) para penjahat dan di pihak lain tidak pula berupa upaya balas dendam (witch hunt) yang justru merusak sendi-sendi hukum dan keadilan. Jalan yang ditempuh bukanlah jalan Nurenberg tapi juga bukan jalan pemberian amnesti umum ( blanket amnesty). Keadilan yang ditonjolkan adalah keadilan restotratif daripada retributif. Pada akhirnya diharapkan terwujud rekonsiliasi dalam satu bangsa.

Tujuan instrumen-instrumentransitionaljustice yang ideal setidak-tidaknya mencakup:

  1. pemulihan hak korban
  2. pemulihan hak korban
  3. pemulihan hak korban

Ad 1.Pemulihan Hak Korban

Jutaan orang telah menjadi korban akibat dari  kejahatan terhadap hak-haksipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Mereka berhakatas keadilan, dan keadilan itu pertama-tama dan utamanya adalah pemulihan hak yang telah dilanggar. Memulihan hak bagi korban dapat beruparehabilitasi, kompensasidanrestitusi, ini adalah kewajiban negara.

Mengindetifikasi korban-korban kejahatan terhadap hak-hak sipil dan politik lebih mudah dari kejahatan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jutaan orang tidak dapat dipenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya oleh negara , karena kemampuan negara untuk memenuhi hak-hak tersebut ( sebagai state obligation) telah dikurangi secara substansial oleh tindak korupsi. Mereka adalah korbandari tindak pidana korupsi oleh pejabat-pejabat negara dan oleh kebijakan negara.

Negara-negara yang mengalami transisi menuju demokrasi cenderung hanya menyelesaikan kejahatan yang berhubungan dengan kejahatan yang menyangkut hak-hak sipil dan politik11, hal ini terutama disebabkan oleh jenis kejahatannya lebih mencolok, serta ketersedian norma dan peraturan hukum yang dapat dipakai. Memang harusdiakui perkembangan instrumen hukum internasional untuk melindungi hak-haksipil dan politik jauh lebih berkembang katimbang instrument-instrumen perlindungan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Ad 2. Hukuman Bagi pelaku

Prosekusi dan mengadili penjahat-penjahat yang masih memegang kekuasaan formal, dengan dukungan politik serta keuangan yang luar biasa besarnya, merupakan hal yang mustahil dilakukan, tanpa mengorbankan proses demokratisasi yang masih lemah dalam masatransisi. Apalagi bila diharapkan untuk mewujudkan satu keadilan retributif. Oleh karenanya yang sering dilakukan adalah hukuman pidana dengan peluang pengampunan.Bila kekuatan elemen rejim lama di tubuh rejim baru cukup besar maka kecenderungan kepada pengampunanakan lebih besar. Walaupun demikian kebenaran yang dapat diungkap melalui proses itu akn menjadi pengakuan absahnya norma-norma hukum dan keadilan yang dilanggar dalam kejahatan tersebut.

Bentuk lain berupa hukuman non pidana yakni lustration12 yang membatasi bekas pejabat rejim lama untuk mendudukijabatan publik untuk waktu tertentu atau selamanya dengan demikian merekatidak menjadi penghalang bagi proses demokratisasi.

Penghukuman ini perlu untuk memutus rantai impunity, karena bila impunity terus berlangsung tidak akan pernah ada supremasi hukum.

Ad 3. Koreksi-koreksi atas pola kejahatan diwujudkan dengan perobahan kebijakan dan kelembagaan. Koreksi ini didasarkan kepada kebenaran yang mengungkapkan berbagai kebijakan ‘dan institusi yang dibuat oleh negara yang memungkin terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut, serta tidak dapat dihukumnyapara pelakunya di masa lalu. Perobahan kebijakan dan institusi ini dibutuhkan agar kejahatan-kejahatan serius yang terjadi di masa lalu tidak terulang kembali, dan kalaupun terulang dapat dipastikan adanya penghukuman.

Indonesia juga berupaya menempuh jalan yang sama, berbagai instrumen transisional dibuat seperti Pengadilan HAM ad Hoc untuk Tim-Tim dan T.Priok dan berbagai komisi khusus seperti Komisi Hukum Nasonal (KHN), Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan yang terakhir rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)13, yang RIJUnya baru mau dibahas oleh DPR. Begitu juga Komisi Anti Korupsi yang pembentukannya diperintahkan oleh undang-undang sejak tahun 2002, yang sampai sekarang masih belum juga terbentuk.

Namun berbagai hasil kerja dari instrumen transisional telah ada selama ini tidak memenuhi tujuannya. Pengadilan HAM ad Hoc Tim-Tim setelah bersidang lebih dari satu tahun telah mengundang kecaman dari dalam maupun luar negeri14. Penuntutan dan proses dan hasil penadilan dianggap jauh dari memenuhi standar —standar internasional yang menjamin terwujudnya keadilan. Lebih jauh lagi KPKPN yang cukup memberi harapan dengan pekerjaan-pekerjaannya bagi upaya membangun penyelenggaraan kekuasaannegara yang bersih akhirnya dihapuskan15.

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan kegagalan ini.

Pertama, instrumen-instrumen yang dibuat didasarkan kepada kompromi-kompromi taktis dari kepentingan kekuatan rejim lama dan kekuatan demokrasi secara ad hoc. Kompromi-kompromi yang mengorbankan keadilan ini mendapat pembenaran demi menyelamatkanproses demokratisasi yang sangat rentan.

Pada awal masa transisi tidak terdapat kesepakatan politik yang mendasar antar kekuatan rejim orde baru dengan kekuatan demokratis mengenai berbagai masalah, termasuk penyelesaian masalah kejahatan-kejahatan serius yang terjadi di masa lalu. Hal ini tampak ketika desakan untuk mengadili Suharto masih begitu kuat, dan karenanya Kejaksaan Agung melakukan prosekusi, pada waktu yang bersamaan Presiden Abdur Rahman Wahid justru memberi statemen akan mengampuni Suharto. Contoh lain menyangkut tuntutan penyelesaian kasus kejahatan terhadap kemanusiun yang dikenal dengan nama kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, justru DPR menyatakan bahwa dalam peristiwa tersebuttidak ada kejahatan terhadap kemanusian16.

Kedua, tidak ada akuntabilitas dari instrument-instrumen transistional ini kepada masyarakat umum, baik dalam tahap proses pembentukan instrumennya, maupun tahap proses dan hasil kerjanya. Bilapun ada usaha pemenuhan akuntabilitas seperti yang dilakukan oleh KPKPN namun tidak terdapat dukungan yang kuat dari masyarakat untuk menggugat kebijakan negara yang menghapuskan KPKPN.

Momentum Yang Hampir Hilang

Transisi 1998 akan berakhir tahun 2004, ketika pemilu dengan pemilihan presiden secara langsung, dapat dilaksanakan dengan baik. Periode selanjutnya merupakan periode konsolidasi dari hasil masa transisi sebelumnya. Pemerintah baru hasil pemilu 2004, akan lebih legitimate dan akan lebih memusatkan perhatian dan enerjinya bagi pemecahan-pemecahan masalah kontemporer daripada masalah-masalah masa lampautermasuk kejahatan-kejahatan masalalu.

Sampai dengan saat ini dapat disimpulkan bahwa masatransisi sejak 1998 tidak dapat menghasilkan judicial capital yang memadai bagi judiciary system agar dapat menegakkan keadilan (to deliver the justice), di masa depan.

Perobahan-perobahan dari content of the law memang secara kuantitatif telah cukup banyak banyak dilakukan sejak pemerintahan BJ Habibie, namun perobahan di bidang structure dan culture of law tidak membawaperbaikan, kalau tidak dapat dikatakan semakin memburuk.

Dua peluang peluang yang masih tinggal adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)17 sebagai instrumen untuk menyelesaikan berbagai kejahatan terhadap kemanusian yangterjadi di masa lampau , dan Komisi Anti Korupsi sebagai instrumen khusus bagi penyidikan dan penuntutan kejahatan korupsi. Bila kedua komisi ini dapat memenuhi tujuan pembentukannya, memang masih akan ada harapan bagi perbaikan sistem penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Untuk KKR keberhasilannya terletak pada: pemulihan hak-hak korban, penghukuman pelaku dengan peluang amnesti serta menentukan perobahan kebijakan dan kelembagaan yang mencegah terulangnya kejahatan masa lalu. Sementara ukuran keberhasilan untuk Komisi Anti Korupsi, dapat memajukantuntutan yang lengkap atas berbagaitindak korupsi yang besar, seperti kasus Suharto dkk, BLBI dil.

Dari kedua komisi -yang bila bekerja dan memberi hasil yang sesuai dengan tujuan pembentukannya- maka akan ada peningkatan yang substansial dari judicial capital yang dapat dipakai untuk memperbaiki kinerja sistem penegakan hukum dan keadilan di masa mendatang. Dengan demikian secara pasti walaupun mungkin sangat lambat prinsip rule of law dapat dibangun yang menjadi dasar dari demokrasi di Indonesia.

Tetapi kalau komisi-komisi ini mengalami nasib yang sama dari instrumen-instrumen transisional yang sebelumnya, maka memang momentumbagi transitional justice telah hilang.

Mewujudkan rule of law sebagai batu penjuru demokrasi di masa mendatang jelas penuh dengan ketidak pastian. Indonesia bisa saja kembali ke situasi sebelum 1998, dimana rejim otoriter me:nerintah dengan hukum (rule by law) tetapi bukan berdasarkan hukum (rule of law). Demokrasi dan hak asasi manusia akan kembali terpasung. Bukankah suara-suara yang meminta kembalinya satu pemerintahan yang otoriter semakin nyaring, sebagaimana nyaringnyasuara-suara yang mendukung operasi militer di Aceh?

1 Paper untuk Konsultasi Gereja & Politik, 19 Ausutus 2003 di Cipayung.

2 Contoh yang paling menarik adalah penerapan asas presumption of innocence dalam kasus korupsi Akbar Tanjung.

3 Report of The Special Rapporteur on The Independence of Judges and Lawyers Dato” Param Cumaraswamy, submitted in accordance with Commission on Human Rights Resolution 2002/43.

4 Lihat laporan Indonesia Corruption Watch (ICW)tahun 2002 berjudul “ Mafia Peradilan Indonesia”.

5 Tina Rosenberg dalam buku Martin Mereditch, Coming to Terms, New York: Public Affairs, 1999.

6 Pembedaanteoritik dari Transformations, Replacements dan Transplacements dapatdilihat dalam buku Samuel P.Huntington, The Third Wafe: Democratization in the Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press,1991.

7 Rejim Suharto sebagai rejim Neo-Fasisime Militer dijelaskan panjang lebar dalam buku Daniel Dhakidae, Cendikawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003.

8 Golkar yang merupakan Partai Neo Fasis Orde Baru, mengubah dirinya menjadi Partai Golkar dan merebut suara terbanyak kedua setelah PDI-P.

9 Sampai dengan sekarang telah lebih dari 15 komisi kebenaran yangdibentuk di Asia, Amerika Latin, Afrika dan Eropa Timur dalam masatransisi dari rejim otoritarian ke rejim demokrasi. Komisi yang terakhir dibentuk tahun 2002 adalah East Timor’s Commission for Reception, Truth and Reconciliation.

10 Komisi kebenaran mengambil nama yang berbeda di tiap negara sebagai contoh: Chad,”Commission of Inguiry into the Crimes and Missappropriations Committed by Ex-President Habre, His Accomplices and/or Accessories” tapi ada juga yang mengambil nama yang sederhana seperti “Commission on the Truth for El Salvador”

11 Uraian yang lengkap tentang pekerjaan 15 komisisejenis diuraikan oleh Pricilia B.Hayner, “Fifteen Truth Commissions- 1974to 1994: A Comparative Study” Human Rihts Ouaterly, vol.16.no.4 (1994). Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh ELSAM (2002) dgn judul “ Mencari Akar dan Pandangan Bersama”.

12 Pustration banyak dipraktekkan di Eropa Timur. Lihat artikel Herman Schwartz , Lustration in Eastern Europe, dalam Neil J.Kritz “ Transitional Justice” vol. I, United States Institute of Peace (1995).

13 MPR tahun 200 telah memerintahkan pembentukan KKR, namunbaru bulan Juli 2003 draft RUU KKR diserahkan Pemerintah ke DPR. Kelambatan ini menunjukkan betapa rendahnyaprioritas Pemerintah dalam menyelesikan berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lampau.

14 Sebenarnyabila proses pengadilan ini berjalan sesuai denganstandar dari pengadilan yang jujur dan tidak berpihak, kita dapat memetik berbagaipelajaran dari kesalahan yangterjadi dalam pengelolaan keamanan yang berguna bagi usaha membangunsatuinstitusi militer yang profesional dalam satu negara yang demokratis.

15 Fungsi KPKPN akan digabungkan dengan Komisi Anti Korupsi, satu langkah yang kontroversial sehingga KPKPNsendiri memajukanjudicial review ke Mahkamah Agung.

16 DPR sebenarnyatelah melampaui kewenangannya dengan memberikan penilaian judicial yang juga sekaligus bertentangan dengan ketentuan pasal 42 (2) UU 26 tahun 2002 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam pasalini diatur kewenangan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, bukan kewenangan untuk menentukan apakah dalam satu peristiwa telah terjadi atau tidak pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini hanya dapatterjadi karena kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang lebih diutamakan oleh fraksi-fraksi partai di DPR.

17 Kajian awal dari RUU KKR yangdilakukan oleh ELSAM dan KONTRASdalam dua kesempatan yang terpisah awal bulan Augustus 2003 menemukan berbagai kekurangan yangserius dalam tujuan, kewenangan, keorganisasian yang bila tidak diperbaiki oleh DPR maka KKRini hanya merupakanalat untuk mencuci tangan para penjahat kemanusian.

You may also like

Leave a Comment