Sosok Beyond The Call of Duty (Majalah Demos)

by Nuwiya Amal
Dok. Demos

Bang As bukan saja sosok yang kharismatik dan sederhana namun juga pribadi yang penuh karakter dan kepeloporan. Bila kepeloporan dan karakternya selama ini banyak diulas dari ‘perspektif Jakarta’, saya akan coba melihatnya dari perspektif lokal. Menilik latar belakang status pendidikan dan keluarganya yang terhormat, sejatinya tidak ada alasan bagi Bang As, berkecimpung di dunia gerakan pem-berdayaan masyarakat yang cenderung dianggap ‘miring’, berbahaya, dan penuh resiko. Modalitas cendekianya sejatinya bisa membuatnya dengan mudah menjadi ‘orang baik dan kaya.

Namun panggilan spiritualitasnya memilih jalan lain. Ketika rekan-rekannya, generasi lanjutan dari Angkatan 66, asyik dengan politik praktis dan tergoda kemilau kekuasaan Orde Baru, Bang As justru memilih pekerjaan yang tidak populer yakni, tekun dalam gerakan mahasiswa dan gerakan pemberdayaan masyarakat yang terpinggirkan. Pilihan BangAs tentu bukan sensasi tak berdasar. Saat itu kekuasaan Ode Baru di bawah Suharto semakin membesar, represif dan otoriter. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kekuatan kritis penyeimbang di tengah masyarakat. Apalagi ketika itu prophetic voice Gereja sedang membisu. Di tengah kebisuan dan ketakutan banyak kalangan, Bang As menjadi salah satu tokoh yang mempelopori gerakan pemberdayaan masyarakat di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara (Sumut).

Tahun 80-an Bang As gerah terhadap stigma elit yang menilai Tapanuli, kampung halamannya, sebagai salah satu daerah yang masuk ke dalam peta kemiskinan. Ia memutuskan ‘mudikke Tapanuli, tepatnya ke Siborongborong. Bersama sejumlah Pendeta dan akademisi lokal ia menginisiasi berdirinya Kelompok Studi Pengembangan Pemrakarsa Masyarakat (KSPPM) di Parapat, Sumut. KSPPM, kemudian dikenal sebagai gerakan kritis front line pertama di Sumut, dan mungkin juga di Indonesia. KSPPM, tak bisa dipungkiri, kemudian menjadi rujukan dan inspirasi gerakan-gerakan Organisasi  Non Pemerintah (Ornop) advokasi lainnya di Sumut. Aneka Ornop yang tumbuh di Sumut, tentu tak bisa menegasikan peran, penga ruh, dan inspirasi seorang Asmara Nababan, secara langsung atau tidak langsung, dalam eksistensi mereka. Tak berlebihan menyebut bila di KSPPM lah jejak pertamahistoritas, kredibilitas dan kompetensi Bang As dituai hingga kemudian menjadi tokoh yang cukup dikenal di kemudian hari.

Pejuang yang Teguh, Lurus, dan Konsisten

Dalam sepakterjangnya di dunia penegakan Demokrasi dan HAM nama Asmara juga cukup diakui dan dihormati banyak kalangan. Ia dikenal sebagai  pribadi yang teguh,  lurus, konsisten, dan pantang menyerah dalam memperjuangkan prinsip-prinsip penegakan HAM. la menjadi satu-satunya aktivis yang diangkat Presiden Soeharto menjadi anggota Komnas HAM pertama kali melalui Kepres No 50/1993. Ketika itu semua anggota Komnas HAM diisi oleh mantan militer, polisi, dan birokrat. Asmara menjadi satu-satunya anggota yang berasal dari kalangan aktivis. Hemat penulis, Komnas HAM menjadi milestone kredibilitas dan integritasnya. Satu torehan yang mungkin akan dicatat sejarah adalah keberaniannya sebagai anggota Komnas HAMdi tahun 1999 membuat laporan lengkap dugaan pelanggaran HAM dalam tragedi perang saudara di Timor Timur pasca referendum. Laporan itu menyebut secara gamblang keterlibatan sejumlah nama Jenderal dalam kerusuhan massal di Timor Timur. Sebuah media nasional yang mewawancarai Asmara ketika itu bertanya mengapa ia berani menghunjuk hidung para jenderal? Asmara menjawab lugas, “Saya tidak takut kepada Jenderal apapun. Saya hanya takut kepada Tuhan!”. Sayangnya, peradilan kasus pelanggaran HAM tersebut kemudiandiintervensi secara politis sehingga sejumlah Jenderal lolos dari jeratan hukum. Namun patut digarisbawahi, laporan yang dibuat Asmara  dan Timnya  kemudian menjadi tradisi dan trade mark institusi Komnas HAM di kemudian hari. Tak pelak lagi bila menyebut Asmara sebagai peletak dasar institusi Komnas HAM.

Makin Tua Makin Menjadi

Sikap pantang menyerah, tidak cepat puas, konsistensi, dan keteguhannya terlihat ketika ia memasuki ‘masa-masa pensiun’ sebagai aktivis. Bukannya semakin kendor, semangat dan produktifitasnya justru makin menjadi. Di saat banyak aktivis tua, mapan dan beristirahat serta menempatkandirinya sebagai ‘bos’, Bang As justru terus meng-geliat. la seperti seorang pengembara, aktivis musafir pencari kebaikan. Di usia tuanya ia justru bergelut dengan kerja berat dan serius dalam studi pendalaman demokrasi dan HAM.

Saat sejumlah kalangan sudah puas dengan perjalanan demokrasi Indonesia, bersama mempelopori riset kolosal untuk memeriksa perjalanan satu dasawarsa demokrasi Indonesia. Hasil riset tersebut kemudian menjadi kerja luar biasa yang berhasil memadukankerja-kerja aktivis dengan kerja akademis. Output-nya adalah serangkaian temuan masalah, tantangan, dan potret buram satu dasawarsa demokrasi Indonesia serta solusi untuk memperkuat demokrasi Indonesia ke depan.

Salah satu output riset tersebut adalah rekomendasi bagi aktivis untuk go politics. Sayangnya go politics yang dihasilkan riset tersebut kemudian dimaknai dan diter-jemahkan secara dangkal dan parsial oleh para aktivis di lapangan. Aktivis ramai-ramai memasukiinstistusi politik formal namun tak membenahibasispolitik di grass root. Asmara kemudian gerah dan marah mengkritik go politics dangkal tersebut. “Politik aktivis tidak ada bedanya dengan politik elit’, ketusnya dalam sebuah pertemuan. “Go Politics aktivis itu harus memiliki karakter. Politik mereka harus memiliki nilai lebih dibanding politik elit”, ujarnya meng-ingatkan perlunya valuedi balik go politics.

Penuh Ikhtiar dan Solider

Dengan modalitas politik dan knowledge yang dimilikinya sesungguhnya Bang As bisa dengan mudah masuk ke kekuasaan formal. Di awal reformasi, penulis pernah bertanya kepadanya tentang hal itu. Di menjawab, “kekuasaan (di era reformasiini, pen) masih akan cenderung korup. Sekarang yang dibutuhkan justru orang berkualitas untuk mengontrol kekuasaan. Kalau masuk kekuasaan, bukan hanyatidak strategis tapi juga tidak etis”. Ketika itu penulis menganggapitu sekadar jawabanjustifikasi. Namun kini, pasca satu dasawarsa reformasi jawabantersebutjustru menjadiikhtiar yang semakin relevan. Ikhtiar pemikirannya acap melampaui zamannya.

Ikhtiarnya yang khas juga terlihat ketika terjadi konflik gereja HKBP akibat intervensi Pemerintah di tahun 1992-1998. Ephorus HKBPversi jemaat ketika itu adalah Pdt. Dr. SAE Nababan, abang kandung Bang As. Saya tahu betul banyak kalangan yang mendesak Bang As lebih progresif menekan pemerintah dalam penyelesaian konflik HKBP melalui Komnas HAM. Namun Bang As justru memiliki pendapat berbeda. Bang As memilih memainkan pendekatan soft, sebagai man of behind the gun di Komnas HAM dalam menyikapi konflik HKBP. Sikap itu kemudian terbukti lebih tepat dan strategis.

Bang As juga memiliki jiwa solidaritas yang luar biasa. Penulis ingat betul saat J. Anto, penulis dan peneliti media di Medan, mengalami serangan stroke beberapa bulan lalu. Bang As justru menjadi inisiator untuk menggalang danasolidaritas bagi pengobatan J. Anto. Dalam sebuah pertemuandi Jakarta, beliau memanggil penulis. Seakan ‘tidak peduli’ dengan sakitnya, Bang As bertanya kepada penulis, ‘Bagaimana kabar si Anto. Kenapatak kalian galang danasolidaritas dari teman-teman untuknya?”. Terus terang penulis terpaku, merasa lalai dan bercampur haru ketika itu. Di saat dirinya menderita sakit, Bang As justru masih rela memikirkan orang lain. Ketika kemudian penggalangan dana untuk J. Anto dimulai, Bang As menjadi orang pertama yang mendonasi.

Ada kesaksian menarik dari J. Anto. Saat J. Anto sedang dalam perawatan di rumah, Bang As bersama beberapa rekan DEMOSternyata sedang ada acara di Medan. Hari itu menjelang siang Bang As memang meng-sms penulis menanyakan alamat rumah J. Anto. Belakangan penulis mendengarcerita J. Anto.

Sosok Beyond the call of duty

Kenangan terakhir yang tak mungkin penulis lupakan adalah kisah dalam diskusi evaluasi Blok Politik Demokratik (BPD) akhir Juni – awalJuli 2010 di Jakarta. Walau sakit, Bang As masih sempat hadir. Saat penulis adu argumen dan berdebat cukup keras dan lama dengan peserta lain tentang sebuahtopik, beliau tunjuk tangan minta bicara. Dia berkata lugas, singkat, dan tegas, “Benget itu, dalam bahasa Batak, artinya sabar, tenang, dan….rendah hati. Semoga Benget yang ini (sambil  melihat ke arah penulis)….tetap rendah   hati!”.   Tidak menyangkut substansi diskusi. Menusuk ke personal namun cukup reflektif dan inspiratif. Setelah itu diskusi kembali berjalan lancar dan fokus. Dalam berbagai diskusi yang ‘ngawur’ dan kehilangan fokus, Bang As memang acapkali hadir memberi arah dan kritik menginspirasi walau kadangkala dengan ungkapan yang menusuk hati.

Dengan perjalanan hidup, kepeloporan, keteguhan sikap, konsistensi, dan solida-ritasnya yang luar biasa penulis sampai pada kesimpulan bahwa Bang As bukan sekedar aktivis. la adalah aktivis pejuang yang beyond the call of duty. Sosok pejuang Demokrasi dan HAM yangtidaksaja anti dengan kemilau uang dan kekuasaan, tetapi juga telah melampaui tugas. Pejuang yang tidak cepat puas dan selalu pantang menyerah, bahkan sampai dengan akhir hayatnya. Sosok langka dan akan dikenang di republik ini. Selamat jalan Bang As. Satu kekuranganmu Bang….kau terlampau cepat. meninggalkan kami. Saya tidak meragukan musaat ini. Tugasmu telah paripurna. Saya justru meragukan kami, generasi yang kau juga turut membentuknya, apakah bisa dan mampu membaca, memaknai, dan mengikuti jejak peradaban yang kau mulai. Damailah berdiskusi bersama malaikat-malaikat…(bgt)

Benget Silitonga

Sekretaris Eksekutif Perhimpunan BAKUMSU.

Pegiat Demokrasi dan HAM

You may also like

Leave a Comment