Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
10 TAHUN KEPERGIAN ASMARA NABABAN
Editor: Stanley
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
2020
Sampul Buku dan Kata-Kata Pengantar
Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
10 Tahun Kepergian Asmara Nababan
Editor:
Stanley
Cover & Layout:
Dwi ‘Pengkik’
Cetakan Pertama, Desember 2020
ISBN: 978-979-8981-96-8
Penerbit:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Jalan Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jakarta Selatan, Indonesia 12510
Telp. +6221-7972662, 79192564,
Fax. +6221-79192519
E-mail : office@elsam.or.id
Web page: www.elsam.or.id
Facebook: www.facebook.com/elsamjkt
Twitter: @elsamnews dan @elsamlibrary
SAMBUTAN KELUARGA
Tidaklah sulit untuk mengingat hari Sumpah Pemuda. Setiap anak di Indonesia diajarkan bahwa tanggal 28 Oktober 1928 adalah hari Sumpah Pemuda dan diperingati setiap tahunnya, sehingga telah menjadi pengetahuan yang melekat dalam ingatan semua orang. Merawat ingatan akan masa lalu yang bersejarah memungkinkan anak manusia di masa kini terlebih generasi muda mengetahui perjuangan dan kunci keberhasilan para pendahulu dan bersamaan dengan itu juga mengetahui kelemahan dan kekurangan mereka dengan mempertimbangkan realita zamannya.
Tanggal dan bulan yang sama namun tahun yang berbeda, tepat satu dasawarsa yang lalu, yaitu pada tahun 2010, berpulang Asmara Nababan ke haribaan Sang Pencipta. Anak Manusia dengan latar belakang yang tidak lepas dari gerakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Harus jujur mengatakan bahwa inisiatif ini diawali dengan keinginan dari diri sendiri untuk mengenang satu dasawarsa kepergian suami saya, As. Dalam momentum ini saya rasanya kog enggan sekali untuk melakukannya sendiri. Maka saya memulai perbincangan tentang hal ini dengan keluarga dan para rekan yang pernah bersinggungan dalam kehidupan Asmara Nababan. Membicarakan tentang kemungkinan untuk mengenang warisan kenangan dan pemikirannya, namun bukan dalam kerangka untuk mengkultuskannya. Mengenang yang berpijak pada momentum hari bersejarah Sumpah Pemuda, dengan pendekatan untuk mendalami gerakan demokrasi dan HAM di masa lalu, masa kini dan masa depan, karena dua hal itulah yang menyatu dalam kehidupannya sampai di akhir hayatnya. Memikirkan tentang bagaimana dapat “pass the torch” alias menyerahkan obor perjuangannya ke generasi muda, agar idealismenya tetap hidup lintas zaman.
Bersama dengan beberapa organisasi di mana Asmara pernah terlibat serta beberapa sahabatnya secara individu, terbentuk satu panitia kerja gabungan volunteer untuk mewujudkan rencana tersebut. Sejumlah lembaga yang terlibat antara lain adalah PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), JKLPK, KSPPM, ELSAM, Infid, alumni Demos, Kontras, AJAR, dan Yakoma. Panitia ini terbentuk secara ad hoc, guna bekerja sama dalam melaksanakan serangkaian kegiatan untuk memperingati satu dasawarsa kepergian Asmara Nababan. Merancang acara-acara sederhana dengan tujuan melakukan refleksi akan gerakan Demokrasi dan HAM setelah satu dasawarsa kepergiannya terlebih dari sisi penglihatan generasi muda.
Disepakati bahwa salah satu kegiatan utamanya berupa penyusunan satu buku yang memuat tulisan dari teman-teman yang pernah bersinggungan dengan As. Tidak terlepas dari kenangan dalam perkawanan dan perjuangan tetapi juga merenungkan apa yang telah terjadi dengan gerakan demokrasi dan HAM di masa lalu, saat ini dan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Terkumpul 27 (duapuluhtujuh) tulisan yang tidak mungkin terwujud kalau bukan dari rasa cinta dan persahabatan yang membuahkan kerelaan untuk memberikan waktu guna menorehkan tulisan-tulisan yang mencakup beragam macam topik. Tulisan-tulisan ini menjadi pengabadian warisan-warisan gagasan, pembelajaran, dan refleksi Asmara Nababan bagi generasi-generasi penerus bangsa, yang dibukukan dengan judul ”MENITI OMBAK MEWUJUDKAN KEMANUSIAAN.”
Buku ini diharapkan dapat menjadi sumber pembelajaran bagi semua penggiat HAM baik itu di masa kini maupun masa depan. Begitu banyak hal yang dapat dibangun dari pengalaman dan perjuangan Asmara semasa hidupnya sehingga suatu saat Indonesia dapat menjadi negara yang betul-betul demokratis, yang pemerintah dan masyarakatnya menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dapat dikatakan, buku ini adalah perpanjangan dari salah satu bentuk perjuangan As semasa hidupnya, yakni melakukan pendidikan publik tentang isu-isu yang diusungnya.
Asmara menurut saya adalah seorang pribadi yang penuh karya, yang tidak mungkin terangkum semuanya dalam satu buku. Selain daripada buku ini, kami juga mengumpulkan berbagai hasil karya oleh dan tentang As dalam situs www.asmaranababan.org. Dalam situs tersebut juga terdapat versi elektronik dari biografi yang disusun oleh rekan-rekannya setahun setelah ia berpulang, Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan. Dengan buku ini dan materi-materi dalam situs tersebut, diharapkan akan terdapat lebih banyak akses bagi generasi muda untuk mempelajari warisan-warisan pemikiran Asmara tentang demokrasi, HAM, tata negara, dan bahkan pendidikan anak dan seni.
Terakhir, hanya ucapan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam dari kami sekeluarga yang dapat kami berikan kepada seluruh rekan-rekan yang meskipun di tengah kesibukannya yang amat sangat telah bersedia menjadi panitia, serta semua teman-teman yang telah mengisi buku ini dengan beragam bentuk pengalaman dan analisa yang cerdas tentang keadaan demokrasi dan hak asasi manusia di negara kita yang tercinta ini.
Wasalam,
Magdalena Sitorus
bersama dengan putri dan putra kami: Juanita, Natasha, Aviva dan Yehonatan Nababan.
Jakarta, 8 Desember 2020
KATA PENGANTAR
Tim Kerja 10 Tahun Asmara Nababan
28 OKTOBER, tahun 1928. Tujuh belas tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, puluhan pemuda yang bergabung dalam berbagai organisasi kedaerahan dan wilayah berkumpul untuk mendeklarasikan Sumpah Pemuda, yakni, ‘bertanah air satu, tanah air indoneisa, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu Bahasa Indonesia’. Sumpah Pemuda adalah sebuah momentum penting yang menandai tekad untuk membentuk satu bangsa, meskipun berbeda-beda.
Salah satu tonggak sejarah yang menentukan terjadinya bangsa Indonesia.
Dua puluh lima tahun dari sekarang, 2045, bangsa Indonesia merayakan usianya yang seratus tahun. Tujuh puluh lima tahun sudah usia bangsa ini. Usia yang cukup panjang untuk merefleksikan
kehadirannya dan menentukan masa depannya. Pemerintah menandai pentingnya tahun ini dengan dikeluarkannya mata uang rupiah dengan denominasi Rp.75 ribu rupiah.
Banyak teori mengenai apa itu ‘bangsa’ dan bagaimana bangsa terbentuk. Salah satunya adalah pemahaman bangsa sebagai ‘komunitas politik yang dibayangkan’ (imagined community) yang secara inheren bersifat terbatas dan berkedaulatan (Anderson, 1991). Mengapa disebut “yang dibayangkan”.
Karena setiap anggota dari suatu bangsa, tidak akan dapat sepenuhnya mengetahui atau mengenali, bertemu, dan mendengar keseluruhan anggota lain dari bangsa tersebut. Namun dalam benak pikiran mereka terdapat ‘bayangan’ tentang kehidupan bersama.
Apa yang diaspirasikan sebagai bangsa Indonesia terus menghadapi tantangan. Jika sembilan puluh dua tahun lalu bangsa Indonesia yang diwakili kaum muda dari beragam asal usul, kepercayaan, agama, suku, kebudayaan bersatu dalam mereka-bayangkan (imagining) Indonesia, sebagai Satu Tanah
Air, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, akhir-akhir ini gagasan mengenai Indonesia ini terus dihantam dan hendak digerus oleh sejumlah kekuatan.
Manifestasi sebagai bangsa tidak bisa diandaikan terbentuk dan akan terus terbentuk begitu saja, melainkan memerlukan tindakan-tindakan sengaja (Priyono, 2009). Sepuluh tahun Asmara berpulang dan 25 tahun menuju seabad Indonesia menjadi momentum untuk merefleksikan dan menentukan tindakan-tindakan sengaja tersebut, mengapa demikian?
Proses demokrasi di Indonesia sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto sudah melampaui satu generasi (20 tahun). Suatu prestasi yang, meskipun jauh dari sempurna, patut diapresiasi oleh bangsa Indonesia, sekaligus sebuah momentum untuk dilihat kembali guna memantapkan langkah menuju 100 tahun Republik Indonesia (2045).
Indonesia diakui secara luas sebagai ‘bangsa demokratis’ terbesar ketiga, dengan status sebagai negara dengan pendapatan menengah – pun demikian konsolidasi proses demokrasi di Indonesia masih terus berlangsung. Demokrasi procedural berjalan cukup baik – namun pemimpin-pemimpin politik yang
terpilih masih kurang akuntabel dalam mengupayakan hak-hak dasar rakyat, praktek korupsi terlihat dimana-mana; partisipasi politik masyarakat sipil semakin meluas dan menguat namun fragmentasi di dalamnya juga terus terjadi. Kebebasan beragama dan berkeyakinan terus menghadapi tantangan yang besar.
Berdampingan dengan keadaan ini berlangsung desentralisasi yang tidak saja menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang dimaksudkan (intended consequences), seperti munculnya pemimpin-pemimpin lokal bahkan dalam kancah politik nasional, melainkan juga menciptakan ketimpangan antar wilayah maupun relasi yang tidak stabil antara otoritas pusat dan daerah, dan disinyalir ‘membantu’ meluasnya korupsi.
Di sisi lain bertepatan dengan tanggal dan bulan itu pula, 10 tahun wafatnya Asmara Nababan (28 Oktober, 2010). Asmara Nababanan yang biasa saya panggil Bang As adalah salah satu figur penting dalam peta gerakan demokrasi dan hak asasi manusia. Sejak mahasiswa di awal 1970-an ia telah ikut dalam berbagai gerakan yang memperjuangkan demokrasi termasuk perang melawan korupsi – sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Pada tahun 1980-an ia aktif di KSPPM, kemudian di INFID dan pada masa-masa penting proses menjelang kejatuhan rezim Soeharto ia menjadi anggota Komnas HAM – ketika sebagian besar tokoh masyarakat sipil masih ‘emoh’ berada di dalamnya – dan ia memainkan sejumlah peran penting.
Dalam pemetaan Ornop di Indonesia, Bang As juga adalah tokoh kunci di belakang sejumlah organisasi yang dikenal berada di garda depan gerakan demokrasi dan hak asasi manusia, seperti ELSAM, JKLPK, Demos, Kontras dan sejumlah organisasi lainnya. Selama di berbagai organisasi non pemerintah ini pula berbagai pikiran, sikap, dan gerakan telah ia inisiasi.
Perannya tidak lepas dari sejumlah karakter yang ia miliki seperti sikap menjadi ‘manusia merdeka’, jujur, kesederhanaan, konsistensi dan berpihak pada rakyat – terutama pada gerakan kritis dan gerakan rakyat. Ia memiliki pengalaman panjang di akar rumput yang terus mengilhami berbagai gerakan sosial. Dalam membangun gerakan sosial ia senantiasa mendasarkan pada sikap non-violence dan terus memberdaya komunitaskomunitas akar rumput.
Penulisan buku ini tidak dimaksud untuk merayakan kematian melainkan kehidupan. Kehidupan dari praktek-praktek berkeyakinan, beragama, berelasi, dan ‘hidup merdeka’ dari seorang aktor melalui berbagai kisah para sahabat – maupun kolega. Perajut solidaritas, inklusifitas, pemihakan pada yang
miskin dan kelompok marginal, memulai tindakan dari hal-hal sederhana, dan spiritualitas pembebasan adalah sebagian dari praktek-praktek tersebut.
Buku ini juga hendak menyajikan berbagai gagasan, imaginasi, realitas termasuk tantangan mengenai Indonesia dan ke-Indonesiaan. Di dalamnya termuat berbagai refleksi para pekerja demokrasi dan hak asasi manusia (democracy and human right actors) yang bisa menjadi pijakan untuk menentukan
prasyarat-prasyarat bagi pembentukan bangsa Indonesia ke depan, yang berkeadilan sosial dan berperikemanusiaan. Diantaranya menyangkut strategi gerakan sosial, dan agenda perubahan relasional melawan korupsi dan impunitas.
Di luar penerbitan buku ini dilakukan juga lomba vlog, pembentukan blog www.asmaranababan.org dan malam refleksi ‘demokrasi dan hak asasi manusia’ dengan maksud yang sama.
Dalam proses penulisan ini kadang menimbulkan kekhawatiran tidak terkumpulnya tulisan. Sebagaimana biasanya sebuah antologi, memastikan tulisan hadir sesuai rencana, sementara para penulis sibuk dengan kegiatan yang sudah menjadi komitmennya selalu menjadi cerita. Oleh karena itu
ketegangan di dalamnya sesungguhnya bukan sesuatu yang luar biasa dan kiranya dapat dipahami. Untuk itu terima kasih sebesar-besarnya kami haturkan pada para penulis atas waktu dan karyanya.
Kegiatan ini juga menghadapi keterbatasan dana dan mobilitas karena pandemi Covid-19. Namun, komitmen dan kerjasama sejumlah aktivis yang terlibat di dalamnya, yang berasal dari ELSAM, Infid, alumni Demos, PGI, KSPPM, JKLPK, Kontras dan AJAR memungkinkan rencana-rencana tersebut terjadi. Teknologi informasi memungkinkan berlangsungnya pertemuan dan koordinasi.
Semoga kehadiran buku ini di tengah pandemi Covid-19, yang belum tahu ujung akhirnya, dapat menjadi bacaan yang enak untuk dibaca dan lebih dari itu memberi inspirasi, terutama bagi mereka yang berpotensi besar mengalami – menghidupi 100 tahun Indonesia merdeka. MERDEKA!
CATATAN EDITOR
KEHIDUPAN Asmara Nababan itu ibarat orang yang berselancar meniti ujung ombak. Dalam hantaman dan gulungan ombak seorang peselancar harus bisa bertahan menjaga keseimbangan tubuh, tetap berdiri dan tidak jatuh dari papan selancar. Ombak demi ombak harus bisa dilewati dengan tegak. Itulah potret perjalanan hidup Asmara Nababan.
Dimulai dari perjalanan dalam lingkup aktivitas gereja, kesenian, ke LSM, membangun koalisi masyarakat sipil, masuk ke lembaga state auxalary body semacam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang jelas dibentuk oleh Soeharto pada saat itu, hingga membuat lembaga kajian dan studi demokrasi. Minat dan hal yang ditekuni Asmara memang meliputi bidang yang luas. Ini menunjukkan bahwa ia pada dasarnya adalah seorang yang memiliki multitalenta.
Perpindahan tempat kerja Asmara dari satu kantor ke kantor yang lain bukanlah sekadar perpindahan biasa, bila dirunut lebih detil tampak antara satu dan yang lain memiliki benang merah dan saling berkesinambungan. Dari setiap kantor dan pekerjaan tampak Asmara memiliki konsistensi untuk mewujudkan idealisme yang tak lain adalah tekad kuat merealisasikan kemanusiaan. Di tempat bekerja, ia bukan hanya menggerakkan semua perangkat kantor, mulai dari program hingga alokasi dana, untuk mewujudkan idealisme yang sebetulnya juga menjadi cita-cita bangsa ini: mewujudkan kemerdekaan dan kemanusiaan. Jangan heran apabila dari berbagai aktivitas yang dilakukan Asmara isu hak asasi selalu melekat pada dirinya.
Buku ini adalah buku ke dua yang diterbitkan dalam rangka mengenang Asmara Nababan. Yang pertama adalah buku Oase Bagi Setiap Kegelisahan, buku ke dua ini juga dimaksudkan sebagai buku kenangan atas kepergian Asmara Nababan 10 tahun yang lalu.
Isi buku dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama lebih merupakan kumpulan kenangan yang ditulis oleh orang-orang yang pernah dekat dengan Asmara. Mulai dari teman, sahabat, kolega, rekan kerja, hingga anak muda yang pernah bekerja satu tim dengan Asmara. Para penulis antara lain adalah Saparinah Sadli, Remy J. Leimena, Zoemrotin K. Susilo, Augustinus Rumansara, Lena Simanjuntak–Mertes, Soekirman, Wahyu Susilo, Sugeng Bahagijo, Pardamean Ronitua Harahap, dan Gomar Gultom.
Sedangkan pada bagian ke dua buku ini lebih berisikan berbagai tulisan tentang permasalahan dan isu yang pernah menjadi concern Asmara Nababan pada masa hidupnya. Mulai dari masalah demokrasi dan HAM, kemandirian Komnas HAM, melawan impunitas, keadilan transisional, rekonsiliasi, pertanggungjawaban pelanggaran HAM masa lalu, pemberantasan korupsi, militerisme, kebebasan pers, politik gender, hal penyandang disabilitas, masyarakat adat, gerakan petani dan, penguatan gerakan masyarakat sipil, hingga penguatan agama untuk membangun demokrasi.
Isu-isu tersebut mendapat perhatian yang serius dari Asmara Nababan, meski mungkin jarang ditulis di media dan Asmara sendiri tak banyak membicarakannya kecuali dengan beberapa orang saja. Misalnya isu kemerdekaan pers, Asmara sempat memberikan perhatian ketika terjadi Soeharto marah dan memerintahkan pemberedelan media, Tempo, DetiK, dan Editor pada 21 Juni 1994. Selain hal tersebut terkait dengan terhambatnya hak atas informasi dan hak untuk tahu masyarakat, pemberedelan itu telah membuat ribuan karyawan pers kehilangan pekerjaan. Sejumlah aksi demonstrasi masyarakat di berbagai kota yang memprotes aksi pemberangusan pers itu juga mengundang aksi kekerasan yang dilakukan aparat. Saat itu Asmara yang anggota Komnas HAM menemui beberapa wartawan yang dipersonanongratakan oleh Kementerian Penerangan dan tak boleh bekerja menjadi wartawan. Asmara sendiri sadar akan perlu peran media untuk menyokong dan memajukan kerja-kerja terkait HAM di Indonesia. Karena itulah ia juga mendorong Komnas HAM untuk menerbitkan media berupa majalah dan buletin.
Para penulis bagian ke dua buku ini adalah Josef Purnama Widyatmadja, Roichatul Aswidah, Usman Hamid, Mohammad Choirul Anam, Ifdhal Kasim, Agung Putri Astrid, Galuh Wandita, J. Danang Widoyoko, Al Araf, Stanley Adi Prasetyo, Kamala Chandrakirana, Rainy MP Hutabarat, Sandrayati Moniaga, Delima Silalahi, Sofia Malelak de-Haan, Amin Siahaan, Elga Joan Sarapung. Isu yang pernah menjadi concern Asmara ini mungkin sudah berkembang dan mengalami perubahan dari saat yang dihadapi Asmara, namun masih releven untuk dibahas dan dijadikan bahan diskusi. Isunya sendiri masih sangat relevan hingga saat ini.
Stanley
BAGIAN I
Kenangan Para Sahabat dan Kolega
Asmara Sahabatku
Oleh: Saparinah Sadli
Mengenang Asmara, terutama sebagai sesama anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengingatkan saya pada tiga peristiwa khusus. Pertama, Asmara sebagai anggota termuda Komnas HAM telah membantu saya mengenali apa itu HAM. Ke dua, pengetahuan Asmara tentang HAM dan dukungan konkretnya telah memungkinkan saya melakukan tugas saya sebagai Ketua Komisi Pendidikan HAM Komnas HAM, khususnya kepada para pejabat yang dinilai Komnas HAM merupakan kelompok yang perlu memahami dasar-dasar HAM. Ke tiga, Asmara telah (tanpa ia sadari) memungkinkan Komnas Perempuan menempati gedung yang sekarang dikenal sebagai kantor sekretariat Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Saya sendiri terlibat dengan Komnas HAM pada 1997. Pada saat itu saya diminta oleh Pimpinan Komnas HAM untuk menjadi anggota Komnas HAM. Perlu dimengerti pada saat itu untuk menjadi seorang anggota tidak melalui seleksi oleh panitia seleksi (pansel).
Terus terang saya kaget, heran, sekaligus kurang tertarik karena tiga hal. Pertama, saya merasa bukan orang yang cocok menjadi anggota Komnas HAM. Ke dua, saya bukan orang yang mengenali apalagi memahami seluk beluk hak asasi manusia. Ke tiga, saya lebih merasa aman menjadi dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang juga menjadi almamater saya. Sebagai dosen di UI saya merasa ‘at home’. Saya punya banyak teman yang ‘familiar’ dengan lingkungan kerja saya.
Akhirnya, atas penjelasan dan ajakan, khususnya oleh wakil ketua Komnas HAM Prof Miriam Budiardjo, yang sesama dosen di UI maka saya akhirnya menerima tawaran tersebut dengan penuh keraguan.
Pada 1997 kantor Komnas HAM baru pindah ke kantor baru di Jalan Latuharhari. Di kantor baru tersebut belum ada pengaturan khusus siapa duduk di mana, kecuali ketua, wakil ketua, dan sekretaris jenderal. Yang tersedia hanyalah ruang rapat dengan meja panjang yang selain digunakan untuk keperluan rapat paripurna. Meja dan ruang rapat inilah yang saya jadikan tempat duduk kalau saya sedang di Komnas HAM.
Situasi di kantor Komnas HAM saat itu telah ikut menyebabkan saya sering ikut duduk sekitar meja itu kalau Asmara sedang mengetik hasil rapat paripurna yang bersifat tertutup. Itu pula yang menyebabkan saya lebih sering bertanya seluk beluk HAM kepada Asmara. Mengapa Asmara? Karena dia adalah anggota termuda Komnas HAM periode tersebut. Sebagai aktivis LSM, saya anggap Asmara bisa menjelaskan perihal HAM. Selain itu, sebagai anggota baru di Komnas HAM yang terbiasa berinteraksi dengan orang muda seperti para dosen muda dan mahasiswa di kampus membuat saya lebih mudah bertanya soal seluk beluk terkait HAM pada Asmara. Terus terang Asmara adalah orang yang secara bertahap membuat saya memahami seluk beluk HAM dan apa yang sedang diperjuangkan Komnas HAM sebagai lembaga baru di Indonesia.
Sebagai anggota termuda, Asmara juga mempunyai tugas untuk menuangkan hasil rapat (tertutup) Komnas HAM dalam bentuk pengumuman atau release yang biasanya telah ditunggu oleh wartawan saat kita masih sedang rapat. Hasil rapat tertutup ini nantinya akan oleh Sesjen Komnas HAM yang saat itu dijabat oleh Pak Baharuddin Lopa.
Asmara biasa mengerjakan tugas menyusun hasil rapat tertutup di meja ruang rapat dimana saya juga sering duduk setelah rapat selesai. Setelah Asmara selesai mengetik hasil rapat tersebut, saya kemudian acapkali menanyakan pada Asmara seluk-beluk terkait HAM yang sedang diperjuangkan Komnas HAM. Saya hanya berani bertanya kepada dia, selain dia sabar menjelaskannya juga karena anggota yang lain terdiri dari mantan anggota ABRI, polisi, politisi serta akademisi dari berbagai latar belakang. Bukan karena anggota yang lain tidak bersedia menjelaskannya, tetapi karena saya sendiri merasa lebih aman menanyakan hal-hal yang tidak saya pahami kepada Asmara sebagai anggota termuda.
Terkait pendidikan HAM yang dilakukan Komnas HAM, yang dilakukan adalah memperkenalkan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dideklarasikan pada 1948. Inti dari DUHAM adalah tentang kebebasan dan hak asasi manusia serta kewajiban dan tugas di dalamnya agar dapat dipahami bersama dalam bermasyarakat. Suatu hal yang lebih banyak dikenali dan dimasyarakatkan oleh para penggiat LSM sebagai strategi untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia dalam kehidupan bersama. Terus terang, piagam tersebut belum saya kenali, apalagi menguasainya sebagai bahan ajar ketika saya menjadi anggota Komnas HAM.
Saya menjadi anggota Komnas HAM, tetapi terus terang Piagam HAM saat itu masih sangat asing bagi saya. Akhirnya pada 1998 karena saya merasa sangat tidak sesuai untuk mengetuai Komisi Pendidikan HAM saya berniat mundur. Apalagi target sasaran pendidikan HAM yang dilakukan Komnas HAM adalah untuk kalangan para pejabat dari berbagai instansi. Suatu tugas yang membingungkan, sekaligus menakutkan bagi saya.
Dalam menghadapi tugas yang dilematik tersebut, dukungan konkrit dari Asmara dan Pak Sutandyo akhirnya memungkinkan saya menyelenggarakan pendidikan HAM oleh Komnas HAM sesuai tujuan. Komnas HAM memperkenalkan prinsip-prinsip hak asasi manusia di kalangan pejabat formal, termasuk kalangan pejabat ABRI dan polisi.
Secara khusus, Asmara membantu dalam hal penentuan materi hak asasi manusia yang perlu disampaikan kepada para peserta sesuai kelompok dan latar belakang masing-masing. Sedangkan Prof Sutandyo sebagai dosen senior, berdasarkan pengalaman beliau, memberi banyak contoh bagaimana menerapkan, cara mengajar pada orang dewasa yang sekaligus adalah para pejabat penting.
Hingga sekarang saya merasa bahwa Asmara dan Prof Sutandyo lah yang membuat pendidikan HAM bagi pejabat negara oleh Komnas HAM bisa sukses berlangsung ketika itu. Kegiatan tersebut terus berlanjut di tengah suasana terjadinya Kerusuhan Mei 1998. Sebagai orang yang ketika dipilih menjadi anggota Komnas HAM dan masih buta hak asasi manusia, saya merasa telah banyak belajar dari Asmara. Bukan karena dia mengajari saya, tetapi saya hanya berani bertanya kepada dia kalau ada kejadian atau mendapat tugas yang tidak saya pahami.
Peristiwa Kerusuhan 1998 dicatat oleh berbagai pejabat dan anggota masyarakat sebagai bagian kelam dalam sejarah Indonesia. Termasuk bagi mereka yang dengan berbagai cara sedang memperjuangkan aneka kegiatan bagi kemajuan perempuan Indonesia. Kerusuhan Mei 1998 yang juga dicatat sebagai terjadinya perkosaan massal telah mendorong sejumlah perempuan yang mewakili berbagai organisasi untuk bisa diterima oleh Presiden B.J. Habibie di Bina Graha pada September 1998. Pertemuan tersebut menghasilkan persetujuan dari Presiden B.J. Habibie untuk mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, di mana saya kemudian ditetapkan sebagai ketuanya.
Perlu diketahui bahwa berdirinya Komnas Perempuan dimulai tanpa tersedianya tempat atau kantor dan juga dana operasional. Saat itu Asmara menjadi Sesjen Komnas HAM. Ia lebih memilih berkantor di ruangan di gedung belakang Komnas HAM. Kepada Asmara saya katakan , “Kalau sudah selesai dengan tugasmu di ruangan gedung tersebut, bolehkah saya memakai ruangan tersebut sebagai kantor Komnas Perempuan?”
Asmara menjawab, “Boleh saja.”
Tetapi Asmara tidak hanya memenuhi permintaan saya. Dia juga meninggalkan meja, kursi dan komputer untuk digunakan Komnas Perempuan. Berkat budi baik Asmara akhirnya Komnas Perempuan bisa mulai kegiatannya dengan tersedianya tempat beraktivitas.
Komnas Perempuan memulai kegiatannya dari satu ruang yang semula ruang kegiatan khusus Asmara dalam menangani tugas tertentu sebagai anggota Komnas HAM. Berdasar persetujuan dan ketetapan resmi dari Sekretariat Negara akhirnya tempat itu kemudian direnovasi menjadi gedung Komnas Perempuan. Tidak banyak anggota Komnas Perempuan yang mengetahui dan menyadari bahwa gedung hasil renovasi Setneg yang kini berdiri secara megah itu ada karena adanya bantuan Asmara.
Asmara sahabatku. Pengalaman bekerja dan berteman dengan Asmara, khususnya sebagai sesama anggota Komnas HAM, telah meninggalkan kesan mendalam bagaimana persahabatan dapat saling membantu dan meninggalkan kenangan yang memperkaya pengalaman hidup pribadi. Rest in peace.
Pengalamanku Bersama Bung Asmara
Oleh: Remy J. Leimena
Saat saya diminta menulis tentang pengalaman saya bersama Bung Asmara, saya langsung menerimanya dengan baik karena saya cukup mengenal secara dekat walaupun saya tidak bergaul setiap hari dengannya. Namun, saya harus mengingat lagi perkawanan saya dengannya pada era 1967, atau 53 tahun yang lalu.
Saya berkenalan dengan As Asmara Nababan) ketika saya masih mahasiswa dan ikut bergabung di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Jakarta. Ketika itu saya masuk di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jakarta. Kami sering bertemu di berbagai tempat. Antara lain di Student Centre GMKI di Jl Gondangdia lama, Jakarta, tempat kumpul-kumpul teman mahasiswa dan juga Senior Friends GMKI di Salemba Raya Jakarta.
Juga sekali-sekali kami jumpa di kantor Badan Pengurus Cabang Jakarta, karena saya juga ikut sebagai anggota pengurus cabang di departemen kesenian, ketika Lucas Luntungan menjadi Ketua BPC GMKI Jakarta. Ada banyak aktivitas yang kami lakukan. Antara lain ketika As waktu itu punya ide untuk menyelenggarakan acara Natal Subuh yang dilakukan di Taman Ismail Marzuki. Dengan bakat seninya, As banyak saja idenya yang genius untuk membuat acara tersebut menarik dan unik bagi para pemuda dan mahasiswa saat itu.
Hubungan kami cukup akrab karena juga waktu itu sesekali ada juga kegiatan di Radio di tingkat 2 di atas kantor BPC GMKI Jakarta bersama teman-teman antara lain, Laurens Samsuri. Juga saya teringat ketika ia bersama Bung Julius Syaranamual (almarhum) mengelola majalah Si Kuncung di Jalan Gresik Menteng Jakarta.
Kedekatan saya lainnya dengan Asmara ketika kami terlibat dalam aktivitas berkumpul dalam aksi untuk menentang Proyek Taman Mini Indonesia Indah. As termasuk tokoh penggerak bersama Arief Budiman, HJC Princen dan lain-lain. Kita tahu bahwa As memiliki jiwa anti-korupsi. Saya masih sempat melihat di tempat tinggal nya yang sederhana ada eks-poster “Mbok Korupsi Diberantas”. Saya terlibat dengan aktivitas tersebut karena saya juga aktif dalam kegiatan mahasiswa dan juga sebagai anggota dari GMKI Cabang Jakarta.
Pengalaman lainnya adalah ketika kami juga membahas keadaan Universitas Kristen Indonesia (UKI) saat saya memimpin Dewan Mahasiswa UKI tahun 1972 dan bersama-sama Albert Hasibuan, Lucas Luntungan untuk memperbaiki kondisi UKI saat itu. Juga ketika kami membicarakan aktivitas sebelum Peristiwa Malari 1974 meledak bersama kawan-kawan lainnya. Ide dan motivasinya tidak pernah saya lupakan.
As memiliki kepribadian yang rendah hati, tidak sombong, sederhana, dan memiliki jiwa seniman yang tinggi dan juga memiliki ketegasan dan jiwa demokratis, dan hati yang lembut dalam menyikapi keadaan yang tegang. Tapi kalau mengenai korupsi dia benar-benar tegas menentangnya Jiwa demokratisnya selalu dibawa dalam sepak terjang berorganisasi dan aktifitas sebagai mahasiswa. Bertumbuh juga jiwa humanismenya, dan itulah sebabnya tak heran ketika ia terjun dan terpilih sebagai anggota Komnas HAM pada 1993, padahal waktu itu Pak Harto sedang sangat berkuasa. Asmara bisa membawa diri dalam Komnas HAM ketika ia harus menghadapi situasi yang pelik menghadapi benturan dengan pemerintah.
Dari cerita kawan-kawannya ia juga seorang yang punya compassion terhadap kawan seperjuangan ketika ada kesulitan untuk membantu dengan berbagai cara. Banyak lagi kenangan bersama Asmara seorang aktivis pembela kemanusiaan, demokrasi dan pejuang anti korupsi yang konsisten. .
Namun ada hal yang saya sesalkan dari seorang Asmara ketika saya berkawan dengannya, yaitu ia adalah perokok berat. Walaupun pada saat itu juga saya masih perokok juga. Sudah saya nasehati untuk tidak terlampau banyak. Dan ketika bersama-sama di Student Centre GMKI ia terkena radang paru-paru yang serius sehingga harus dirawat. Dan lama setelah saya jarang bertemu dengannya karena kepindahan saya ke Australia pada 1998, di Australia saya mendengar tentang sakitnya Bung Asmara. Dan ternyata ia harus mendahului kita ketika Kanker Paru menggerogotinya.
Karenanya saya dan bangsa Indonesia kehilangan seorang Asmara Nababan tokoh yang mampu memberi ide, dan motivasi serta semangat juang untuk membela negara dan rakyat kecil. Ia adalah seorang pejuang kemanusiaan yang peduli kepada sahabat-sahabatnya.
Sampai jumpa lagi Bung As di keabadian ketika juru selamat kita umat manusia akan datang kembali untuk menjemput kita semua dan semoga perjuanganmu untuk bangsa ini tetap dikenang selamanya. Kiranya generasi muda sekarang ini mampu untuk meneruskan cita-citamu dan agar terus meningkatkan perjuangan keadilan dan kebenaran yang selama ini sudah kau rintis.
Tak lupa saya doa kan terus istri As tercinta, Magdalena Sitorus, dan anak-anak semua untuk melanjutkan perjuangan As di mana mereka berkiprah.
Sydney, 30 September 2020
Bekerja Bersama Asmara
Zoemrotin K. Susilo
Saya pertama kali mengenal Asmara Nababan saat di International NGO Forum on Indonesia (INGI). Kira-kira pada 1980-an. Kalau tidak salah pada 1989. Asmara saat itu aktif di LSM. Pada awal 1990-an Asmara terpilih menjadi Sekretaris Jendral Inter-NGO Conference on IGGI Matters (INGI), menggantikan Augustinus Rumansara. Tidak lama kemudian INGI diubah namanya menjadi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).
Perubahan ini tidak terjadi begitu saja. INGI berubah menjadi INFID karena INGI dianggap merupakan ancaman bagi pemerintahan saat itu, pemerintahan Soeharto. Ceritanya pada saat itu rekomendasi INGI didengar, diperhatikan oleh sejumlah pemerintah dan lembaga donor internasional (seperti Bank Dunia, Asian Development Bank). Pada 1992 Menteri Kerja Sama Pembangunan Kerajaan Belanda, JP Pronk, yang saat itu datang ke Jakarta menemui sejumlah tokoh LSM. Pronk yang juga ketua Inter-Governnmental Group on Indonesia (IGGI) yang beranggotakan sejumlah negara dan lembaga dana internasional itu mempertanyakan masalah hak asasi manusia di Indonesia, termasuk kasus penembakan di Santa Cruz Timor Timur.
Saat kembali ke Belanda, Pronk menyurati Presiden Soeharto untuk melakukan inspeksi ke Timor Timur atau bantuan dan pinjaman IGGI akan ditangguhkan. Soeharto marah dan kemudian membubarkan IGGI. INGI pun terkena dampaknya. INGI yang sebetulnya merupakan counter kebijakan IGGI terpaksa berubah menjadi INFID.
Selama bergaul dengan Asmara saya mengenalnya sebagai orang yang selalu berpegang pada prinsip. Kalau sudah menyangkut hal yang prinsipiil ia susah untuk diintervensi. Ia juga orang yang konsisten antara ucapan dan tindakan. Ia juga sangat telaten mendampingi para aktivis muda.
Pada saat itu saya lihat sudah jarang aktivis tua yang mau mendampingi aktivis muda, terutama di bidang hak asasi manusia. Hingga meninggal, Asmara masih menjadi bagian dari KontraS, Imparsial, Demos dan sejumlah lembaga lain. Asmara memiliki peranan dalam membentuk karakter anak muda yang pada saat itu baru bergelora menegakkan HAM. Dalam berinteraksi dengan para aktivis muda, Asmara sangat sabar dan bersikap rendah hati. Saya tahu ia kerap mengetahui ada ketidakcocokan antara dirinya dengan beberapa orang, namun ia mau mencocokkan diri dengan mengalahkan dirinya sendiri.
Selain itu Asmara adalah orang yang sederhana. Pernah suatu kali, saya sebel dengan tas kain yang tak pernah ganti dan selalu dibawa ke mana-mana. Tas itu sudah dekil saya katakan agar diganti saja. Eh, tidak juga dilakukannya. Akhirnya sengaja saya buang. Besoknya dia pakai tas yang sama. Rupanya dia punya banyak tak kain tenun Batak. Sehari-hari ia juga selalu menggunakan sepatu sandal.
Pada saat Asmara menjadi Sekjen INFID, ia sangat disiplin dan patuh pada aturan. Kadang cenderung bersikap kaku. Misalnya saat libur lebaran; yang merayakan lebaran ya hanya boleh berlibur pada tanggal merah saja, selain itu ya semua orang harus masuk. Jadi ada yang bilang, “Aduh, Bang As pelit banget.”
Asmara menerapkan bahwa selain dari tanggal merah mereka yang berencana tidak masuk ya harus mengambil cuti. Kalau saya, di YLKI, misalnya ada dua tanggal merah, ya saya berikan libur lebih dari dua hari. Kalau Asmara, kalau hanya dua tanggal merah, yang libur hanya dua hari. Saya sampai katakan kalau kita kerja di LSM itu take and give, kalau nanti kamu suatu ketika harus bekerja sampai malam maka cara kerja kamu yang kaku begini akan direspons anak-anak staf dengan kaku pula. Tapi, Asmara mengatakan hal itu adalah prinsip.
Saat Asmara akan masuk ke Komnas HAM banyak teman mengingatkannya, termasuk saya. “Benar kamu mau masuk Komnas HAM?” tanya saya pada Asmara. ”Kan Komnas HAM isinya merupakan kumpulan tokoh militer dan para birokrat. Apa yang bisa kamu lakukan di sana? Kamu pasti akan tergerus oleh mereka.”
Tapi Asmara rupanya tetap bersikukuh. Dia memang berniat masuk ke Komnas HAM dan ternyata memang akhirnya dia masuk. Di Komnas HAM Asmara dapat membuktikan baha ia ikut memberi warna Komnas HAM, terutama saat ia menjadi sekretaris jenderal. Sebagai sekretaris jenderal Komnas HAM, dia juga membangun jaringan dengan anak-anak muda LSM guna memberikan masukan yang diakomodirnya untuk sidang paripurna. Jadi kekawatiran semula saya bahwa Asmara akan terbawa dengan pola pikir militer dan birokrat ternyata tidak beralasan.
Saat itu orang LSM belum ada di Komnas HAM, ya hanya Asmara sendiri. Lain dengan Komnas HAM jaman saya di mana anggota Komnas HAM yang berlatar-belakang LSM berjumlah 10 orang. Jadi, menurut saya, konsistensi dan kemauan keras Asmara membuat dirinya mampu mewarnai Komnas HAM pada saat itu. Demikian pula bila Komnas HAM membentuk tim penyelidikan pro-yustisia, Asmara selalu memasukkan aktivis LSM sebagai anggota tim dan memberikan ruang guna menyampaikan masukan kepada Komnas HAM.
Gaya kepemimpinan Asmara adalah sangat saklek. Dia adalah orang yang saklek berkaitan dengan peraturan dan ketentuan kantor. Namun relationship dia itu bagus. Di Komnas HAM ia membangun hubungan yang bagus dengan semua staf. Jadi di satu sisi yang berkaitan dengan aturan dia sangat saklek, tapi di sisi lain dalam hal berkomunikasi dia seorang humanis dan menghindari cara berkomunikasi model atasan dan bawahan.
Sebagai satu-satunya anggota Komnas HAM yang berlatar-belakang LSM sebenarnya Asmara berpotensi untuk di-bully oleh anggota lainnya, tapi dia bisa menguasai panggungnya di Komnas HAM saat itu. Dia bisa membangun kedekatan dengan Albert Hasibuan, Marzuki Darusman, H.S. Dilon, dan Saparinah Sadli untuk membuat langkas strategis maupun menggolkan tujuan-tujuan besar. Padahal anggota Komnas HAM itu beragam dan memiliki perspektif HAM yang berbeda-beda.
Memang ada beberapa anggota Komnas HAM yang tak suka pada Asmara. Begitu bencinya mereka, hingga saat Asmara sudah tidak lagi di Komnas HAM mereka pun melaporkan Asmara ke polisi.
Ketika Asmara dilaporkan polisi, saya masuk ke Komnas HAM. Karena di Komnas HAM saat itu belum ada sekretaris jenderal, maka saya ditunjuk menjadi Sesjen merangkap sebagai anggota Komnas HAM. Saya diperintah ketua Komnas HAM saat itu, Abdul Hakim Garuda Nusantara, untuk segera menyelesaikan kasus pengaduan itu. “Kita semua tahu bahwa Asmara bukanlah orang yang mau memakai hak orang lain yang bukan hak dia,” ujar Abdul Hakim.
Memang selama bergaul dengan Asmara, saya menyimpulkan bahwa Asmara tidak pernah memakai apa yang bukan menjadi hak dia. Kalau dia minta sesuatu memang karena membutuhkan, meski kadang bukan untuk diri sendiri, dia akan memintanya pada kita. Saya ingat pernah ada sebuah tim penyelidikan pelanggaran berat HAM. Saya masuk di tim tersebut. Ada seorang staf tim yang motornya hilang dicuri orang. Asmara mengatakan, ”Mbak, honormu jangan diambil ya, berikan buat nambahin dia beli motor.” Jadi semua honor tim dikumpulkan untuk membelikan motor pengganti motor staf yang hilang tersebut, karena kantor Komnas HAM tidak mengganti kehilangan pribadi.
Karena itulah saya lantas menemui Kapolda Metro Jaya Komjen Pol Makbul Padmanegara. Saya sampaikan kepada Kapolda Metro Jaya bahwa pengaduan polisi terhadap Asmara dibuat berdasar laporan auditor yang dipilih oleh beberapa anggota Komnas HAM yang menjadi pelapor, maka saya tawarkan agar polisi melakukan audit ulang untuk memeriksa ulang kebenarannya. Pak Makbul menolak.
“Jangan kepolisian, Bu. Tidak bagus,” kata Pak Makbul. “Nanti kalau seandainya tidak terbukti orang akan mengira polisi berkawan dengan Komnas HAM” di bawah pimpinan Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Akhirnya kami bersepakat pemeriksaan ulang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil pemeriksaan oleh BPK setelah audit ulang menyatakan clear. Selisih uang yang ada ternyata disebabkan oleh adanya kesalahan saat menghitung nilai kurs mata uang dolar ke rupiah. Dalam hal ini perhitungan dibuat berdasar uang dolar yang dianggap masih ada, padahal sesungguhnya mata uang dolar yang dimaksud telah dirupiahkan semuanya. Clear.
Secara pribadi saya mengapresiasi Asmara yang mau masuk Komnas HAM meski banyak orang sinis dan pesimis. Semua orang akhirnya balik menjadi kagum, eh, “ternyata gila lho, Asmara bisa”. Jangan heran kemudian banyak aktivis berlatar-belakang LSM yang masuk Komnas HAM.
Saya tidak mengikuti kiprah Asmara selama di LSM secara penuh, namun saat dia di INFID dan di Komnas HAM saya menilainya sebagai orang yang memiliki komitmen kuat untuk memperkuat berbagai perubahan sosial di gerakan masyarakat. Ia mencoba mengembangkan berbagai model transformasi sosial. Ia memiliki keinginan kuat untuk mendorong perubahan dalam menghadapi pemerintah yang otoriter, yang selalu menganggap dirinya yang benar. Untuk itu harus ada penguatan LSM. Bagi Asmara penguatan LSM menjadi hal penting dalam transformasi sosial
Asmara adalah orang yang memiliki pemahaman lengkap tentang gender. Menurut saya, dalam hidupnya Asmara sangat berkeadilan gender. Mungkin perspektif itu ia dapatkan karena berbagai tekanan yang pernah ia hadapi. Hal ini mungkin kemudian diperkuat lagi karena kedekatannya kemudian dengan Bu Saparinah Sadli. Asmara banyak memberikan pemikiran pada Komnas Perempuan.
Asmara sering mengajak saya ke berbagai LSM – seperti KontraS. Kami sama-sama berpendapat bahwa memikirkan anak muda itu penting dilakukan. Dalam mendampingi anak muda kita sama-sama menilai bahwa proses itu penting. Anak-anak perlu melihat proses dan history dari terjadinya berbagai hal di sekitar. Saya kira banyak anak muda yang belajar menghargai proses dari Asmara.
Demikian juga ketika masuk dalam kekuasaan politik – entah di DPR atau eksekutif. Mengharapkan melakukan perubahan dari dalam sah-sah saja. Kondisi saat ini juga sudah berubah. Yang penting kita harus sadar akan proses dan batas diri kita masing-masing; harus bisa membuktikan bahwa tidak lupa pada gerakan sosial yang dilakukan selama ini.
Kalau mengingat upaya bang As melakukan transformasi sosial, saat ini gerakan sosial – di luar kekuasaan – menghadapi tantangan yang berbeda. Jika dahulu penekannya pada perjuangan hak-hak sipil politik dan sekarang hak ekosok yang harus diperjuangkan. Sekarang, kebebasan dari intervensi pemerintah relatif dinikmati masyarakat. Melakukan pertemuan tidak takut diintervensi – tidak seperti di jaman Soeharto semua diatur dan ditekan sehingga hak sipol tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia.
Ketika Asmara meninggal dunia, saya menangis, sedih. Saya merasa kehilangan teman sebaya yang bisa mendorong dan memotivasi anak muda. Saya merasa kehilangan sahabat yang dalam gerakan dan idealisme bisa saling mengisi.
Bergerak Bersama Asmara
Oleh: Augustinus Rumansara
Sebelum berkenalan langsung saya sudah mendengar nama dan sepak terjang Asmara Nababan. Saat itu saya memegang Jaringan Pembangunan PGI untuk Indonesia Timur. Di situ saya banyak mendengar nama Bang As. Ketika itu Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang kemudian berubah menjadi Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) gencar melakukan kegiatan pengembangan masyarakat – yang juga sedang ia kembangkan di Papua. “Tetapi pada waktu itu, saya pikir Asmara itu perempuan. Jadi saya pikir, wah perempuan ini aktif sekali.” Belakangan saya mendapat banyak informasi mengenai berbagai kegiatan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) di Sumatera. Dari informasi yang ada, saya baru tahu bahwa Asmara ternyata bukan perempuan.
Ketika di Inter-NGO Conference on IGGI Matters (INGI) saya ditemani Asmara mengunjungi sejumlah LSM di Sumatera. Ketika itu saya melihat pengembangan masyarakat yang dilakukan gereja terbatas pada concern Dewan Gereja saja. Basis sosial dari para petani, ang tanahnya diambil perusahaan besar hanya diadvokasi secara terbatas oleh KSPPM terbatas. Oleh karena itu perlu diangkat ke tingkat yang lebih luas, demikian saya coba meyakinkan Asmara dan rekan-rekan LSM di Sumatera untuk bergabung di INGI.
Terakhir, saya dengan Bang As sama-sama di board ICCO. Jadi setelah dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), kami bersahabat lagi di ICCO. Pada 2014, sebelum dia ke Tiongkok untuk pengobatan, kami menghadiri sebuah pertemuan di Bali. Asmara setiap pagi dan siang datang menjemput saya di kamar saya untuk breakfast dan lunch bersama. Saat itu saya merasa Bang As begitu dekat dengan saya. Tak lama kemudian ia meninggal di Tiongkok, mungkin saat itu adalah sebuah pertanda.
Menurut saya, Bang As selalu berpihak pada yang orang kecil dan lemah. Orang orang dari PGI, termasuk saya, kami percaya bahwa keberpihakan pada yang lemah itu perintah Tuhan sebagaimana ada di dalam Alkitab Matius 25: 42-45. Bentuknya bermacam-macam. Menurut Direktur Bina Desa saat itu, Kartjono, bentuk keberpihakan itu adalah sebuah upaya untuk membantu dulu, urusan benar atau salah biarlah diputuskan oleh pengadilan. Kalau dia lemah bantu dulu. Kalau di lapangan dia disiksa karena protes yang dilakukannya, kita wajib membantu terlebih dulu walaupun salah, mungkin kita tak terlalu perlu ambil pusing. Bantu dulu agar dia survive. Saya kira kami sepikiran yang sama teman-teman LSM waktu itu.
Saat ke Australia, Bang As punya obat dari bahan kunyit yang diminumnya secara teratur. Ketika tiba di Australia dia ditahan karena dia membawa obat-obat herbal itu. Dia memberi tahu secara terus terang. Saya katakan ke petugas imigrasi Australia itu bahwa yang dibawa Bang As adalah obat. Rupanya si petugas yakin dan mempersilakan Bang As membawa obat tersebut. Kebiasaan minum jamu kunyit yang dia bikin sendiri ini terus dilakukannya hingga saat di Demos.
Kami bertiga, saya, Fauzi, dan Bang As pernah bertemu. Dua orang ini perokok berat, saya sendiri tidak merokok. Bang As mengantar kami semua untuk berobat dengan menemui seorang dokter di RS Cikini. Kami ke dokter yang sama, yaitu dokter jantung, karena ada masalah yang sama: jantung. Ya saya kalau ingat 2 orang teman saya, kasihan keduanya ini sudah pergi. Saya mungkin menyusul.
Saat Bang As meninggal dunia sesungguhnya saya diberi tiket sama ICCO untuk hadir di pemakaman almarhum, tapi pada waktu itu saya sedang sakit. Jadi saya tidak bisa datang.
Salah satu perjuangan INFID adalah bagaimana cara agar bisa memperlebar political space. Hasilnya bisa kita nikmati sekarang – political space saat ini jauh lebih lebar dibanding era otoritarian Soeharto. Sebenarnya waktu itu dari segi advokasi, kita punya anggota sekitar 50 organisasi. Jadi power base atau social base kita cukup kuat dalam konteks era Soeharto. Kami juga, meski terpaksa membangun koalisi dengan orang-orang yang kita anggap baik di pemerintahan. Seperti dari lingkungan hidup, Emil Salim; kemudian Rudini, e dalam negeri saat itu. Sekjen Kementerian Dalam Negeri saat itu juga akrab sekali dengan kami. Kami juga sempat ditanya-tanya oleh intelijen, “kalian di sini mau apa?” Kami jelaskan saja. Kemudian kami membangun komunikasi dengan pihak ABRI. Setelah pertemuan di Cilangkap kami pun bertemu Agum Gumelar di luar Mabes ABRI.
Pada saat di INFID advokasi yang dilakukan diperkaya dengan data lapangan untuk meng-counter argumen pemerintah. Kami lemah data. Untuk itu kami mengundang sejumlah ahli, seperti Rizal Ramli, Sulistyo untuk berdiskusi, memberi masukan dan mendapat data ilmiah untuk advokasi. Misalnya kami memperoleh pengetahuan yang mengejutkan mengenai buruknya pengelolaan HPH – salah satunya dari studi yang dilakukan Rizal Ramli. Kerja sama saling menguntungkan dengan basis sosial INFID yang cukup besar membuat INFID memiliki kekuatan yang diperhitungkan saat itu.
Studi yang dilakukan sendiri atau dengan mengundang ahli bukan sekedar untuk mengangkat nama kita, tetapi dilanjutkan dengan usaha-usaha untuk mengisi political space. Orang lain bisa tidak setuju dengan apa yang dihasilkan, jika pun demikian dengan terus berusaha mengisi political space persoalan-persoalan hak asasi manusia, partisipasi masyarakat dan demokrasi memiliki tempat di dalam ruang politik.
Saat ini ruang politik semakin besar. Bahkan tersedia ruang-ruang politik yang lebih luas seperti Mahkamah Konstitusi, tidak tersentralnya kekuasaan di eksekutif, pemilihan umum, dan otonomi daerah. Kebebasan pers juga relatif ada. Berbagai studi yang dilakukan oleh LSM mudah menjadi diskursus publik. Aktivis-aktivisnya pun pandai-pandai. Yang perlu terus dilakukan bagaimana agar hasil-hasil studi itu mengisi ruang politik dan terus memperlebar ruang ini. Studi selalu disertai dengan action.
Yang saya lihat saat itu adalah LSM-LSM perlu lebih agresif dan jangan hanya menunggu adanya kesempatan. Sampaikan apa yang telah dikumpulkan – sampaikan hasil studinya pada pembuat kebijakan. Kita perlu lebih aktif membangun koalisi di dalam seperti di DPR maupun pemerintah (eksekutif). Studi bisa bagus tapi kalau tidak digunakan itu seperti yang dikatakan oleh almarhum George Junus Aditjondro, “bila kita membuat studi sendiri lalu tidak ada orang melakukan kebijakan itu sama saja kita melakukan onani intelektual.” Kita puas dengan diri sendiri, tapi masyarakat yang akan kita tolong tidak terbantu.
Memang dukungan untuk kini LSM semakin berkurang, karena Indonesia sudah termasuk middle income country. Meskipun demikian saya melihat bahwa kesempatan advokasi kita untuk makin memperlebar political space masih bisa dilakukan. Sudah banyak kader dari anggota LSM yang menjadi anggota DPR atau di eksekutif. Kenapa tidak kita tidak bekerja sama dengan mereka sebagai corong di dalam?
Pengalaman saya saat bekerja di sebuah perusahaan petrokimia, saya menyadari mereka sebenarnya haus akan informasi dan kerja sama. Mereka tidak tahu bagaimana bisa menghormati hak asasi manusia. Kalau kita tidak mau bekerja sama dengan mereka, itu sama saja membiarkan mereka mengambil konsultan yang tidak mengerti mengenai soal-soal itu, soal keberpihakan pada masyarakat lemah. Jadi akhirnya peran saya di perusahaan, sebagai orang yang pernah memimpin advokasi Indonesia, saya tunjukan bahwa apa yang selama ini kita advokasikan itu bisa dilakukan.
Dalam Proyek Bintuni, dengan wewenang membuat kebijakan, saya teruskan saja kegiatan yang biasa dilakukan teman-teman LSM nasional maupun lokal. Saya mengundang LSM-LSM untuk membicarakan rencana proyek minyak dan gas di sana. Saya mengajak berdialog dan menawarkan pelatihan pembangunan kepada masyarakat. Hasilnya bagus. Hingga hari ini tidak ada 1 butir peluru pun yang ditembakkan aparat keamanan. YPMD, Bina Swadaya, LBH Jayapura semua terlibat dalam sejumlah pelatihan. Banyak potensi lain yang masih bisa dilakukan ketika masuk di dalamnya; membangun link antara warga dengan kekuasaan. Banyak pengusahaan yang sudah berubah.
Kurang lebih seperti itulah saat Bang As bergabung dengan Komnas HAM. Ia menunjukkan bahwa ia bisa memengaruhi kinerja Komnas HAM. Memang pada waktu itu, saya bilang “kalo kamu pergi, siapa yang bantu saya di sini?” Akhirnya kami sepakat bahwa mereka pergi tapi Bang Buyung Nasution masih ada. Mereka yang di luar, ketika itu tokohnya bang Buyung Nasution, tetap memainkan peran penting.
Mungkin kamu juga tau bahwa sebenarnya organisasi pertama yang mengusulkan dibentuknya Komnas Ham adalah INFID, 3 tahun sebelumnya. Jadi, setelah terjadinya Peristiwa Santa Cruz di Timor Leste (saat itu bernama Timor Timur) ada konferensi pers oleh masyarakat sipil. Salah satu butir dari rekomendasinya adalah meminta pemerintah membentuk komisi nasional untuk hak asasi manusia. Permintaan ini sepertinya dilupakan, namun rupanya Soeharto ingat, maka 3 atau 4 tahun kemudian Komnas HAM berdiri. Oleh karena itu harus ada wakil dari masyarakat sipil yang di dalam.
Ketika saya di Bank Pembangunan Asia (ADB), saya katakan bahwa saya bersedia bergabung dan saya katakan berikan kedudukan yang bisa membuat kebijakan. Eh, saya diberi jabatan sebagai Ketua Complaint Review. Di sana hampir sama dengan kegiatan LSM tapi harus lapor ke Borneo ADB. Hubungan saya tidak dengan staf, tapi dengan presiden. Jadi kalau misalnya ada staf ADB yang bermasalah, saya yang selidiki dan periksa dia. Bagaimana masyarakat yang complaint dengan perusahaan yang dibantu oleh ADB nah untuk urusan itu kantor saya yang menangani. Akan tetapi ada orang-orang LSM yang ada di Asia Tenggara. Kalau saya yang berbicara mereka tidak terlalu reaktif. Kalau teman-teman LSM yang lain yang berbicara itu akan jauh lebih sulit diterima.
Saat itu Bang As bersama Nurina Widagdo masuk dalam bank watch. Ia kita dorong masuk dalam bank watch karena kami tahu bahwa dia bisa belajar – seorang pembelajar. Saya kira saya memainkan peran yang sama dengan Bang As di Komnas HAM. Di Komnas HAM ia punya peranan yang penting untuk pengembangan LSM terbukti dari isu HAM yang terjadi di Abepura (Peristiwa Abepura Berdarah). Dia membentuk tim penyelidik dari Komnas Ham, termasuk saya di Papua.
Memperkuat Gerakan Sosial
Memang banyak kader yang baik dari LSM di jaman pasca-reformasi bergabung dengan berbagai kelompok di luar LSM. Ada yang aktif di partai politik, ada yang memegang jabatan melalui proses Pemilu, dan lain-lain. Selain itu bisnis dan negara juga mengkooptasi berbagai isu seperti hak asasi manusia. Mereka mengambil alih isu-isu yang diadvokasi oleh LSM. Saya kira kebanyakan orang yang mau terlibat, termasuk orang LSM yang mau terlibat di partai politik, mereka adalah single fighter. Mereka tidak didukung oleh komunitas LSM, padahal dia sudah jadi corong.
Sebetulnya mereka bisa membangun koalisi dari dalam. Selama ini kita selalu anti pada orang yang mencoba masuk ke sistem dan berjuang dari dalam. Ada banyak teman, termasuk saya sendiri yang masih sanggup berjuang dari dalam. Sebagai contoh, konflik sosial di Bituni bisa saya jembatani.
Saat ini masyarakat sipil itu begitu bebas dan memiliki cakupan kerja yang luas, namun kerja sama yang ada justru semakin longgar dan kurang kuat. Menurut pengalaman saya, kita harus bisa melakukan advokasi dan menjalankan pengkaderan sekaligus. Harus terus ada upaya pendidikan untuk para aktivis gerakan sosial. Sudah banyak orang-orang LSM yang masuk ke dalam partai politik dan pemerintah, kadang-kadang kita membenci mereka, padahal mereka sebetulnya bisa kita dorong agar lebih berperan ketimbang jika tetap di LSM. Di dalam pun, seperti ketika Asmara di Komnas HAM, mereka dapat memperkuat gerakan sosial.
Bersama Bang As, Bang Hakim , kami bersama-sama mencoba membangun gerakan sosial yang bekerja dengan basis sosial yang kuat, data yang kuat, dan perspektif akademik yang kuat.
Saat ini banyak organisasi masyarakat sipil mengalami kesulitan pendanaan. Dengan sendirinya LSM yang tidak berhasil mendapatkan bantuan lagi akan out.
Sebenarnya itu salah satu poin dari yang perlu diadvokasikan oleh teman-teman saat ini. Sekarang ini kita menghadapi kesulitan di bidang pendanaan. Orang-orang di partai politik turun dengan dana yang begitu besar. Kita perlu mencari jalan ke luar agar bisa terus survive. Cara-cara lama tidak selamanya bisa mendatangkan dana lagi. Hubungan P to P yang dahulu banyak terjadi, sekarang kembali negara ke negara (G to G). Dana yang ada lebih terkait persoalan perdagangan, bukan lagi hak asasi manusia.
Jadi sekarang saatnya kita-kita berkomunikasi dengan private sector untuk mengambil-alih peran pendanaan. Sesungguhnya mereka membutuhkan Ornop. Misalnya, Agus Purnomo, ia sekarang berada di perusahaan kertas. Siapa yang tidak kenal Agus Purnomo ya? Tapi dia bersedia bekerja sama dengan perusahaan untuk menjalankan konservasi yang baik. Ya masalah lingkungan ya. Naha saya kira bagaimana peranan kita semacam INFID untuk mencari kemungkinan agar bisa dibiayai perusahaan tanpa takut dikooptasi.
Saat ini pendekatan pengembangan komunitas tidak banyak lagi dilakukan oleh teman-teman LSM. Kalau saya apa pun yang dilakukan harus dan selalu berpihak pada orang kecil dan lemah; dan tidak cepat puas dengan apa yang dicapai di tingkat basis. Finding atau pengalaman yang dibuat oleh organisasi civil society ini harus bisa dikomunikasikan ke pemegang kekuasaan
Menurut saya, bila ada orang LSM yang mau jadi anggota DPR atau masuk dalam ranah-ranah kekuasaan politik dan ekonomi, maka kita harus mendukungnya. Yang penting kita sudah mengenalnya dengan baik. Bagaimana kita menghadapi secara parsial ngomong sana ngomong sini tapi itu harus direncanakan. Ya, seperti Elsam. Sebenarnya studi-studi yang dilakukan sangat bagus, analisisnya tajam, tapi pertanyaannya ada orang DPR yang bisa merekomendasikan atau menindaklanjutinya. Saat ini sebetulnya kita memiliki banyak teman mantan aktivis LSM yang bergabung di kantor kepresidenan. Hal ini yang sebetulnya harus kita manfaatkan.
Kita harus bisa mengoneksikan ‘malaikat’ yang di luar dengan ‘malaikat’ yang di dalam. Kita perlu bangun koalisi di antara mereka. Mereka yang di dalam harus bisa mempengaruhi dari dalam, jangan sampai masuk dan tidak mengadakan perubahan. Kalau tidak mampu, sebaiknya berada di luar saja agar tidak terkooptasi. Jadi studi-studi LSM itu harus bisa dibawa ke ranah politik agar masuk menjadi bahan diskusi di DPR. Menurut saya, DPR juga membutuhkan banyak masukan karena sering kali kurang memiliki data. Anggota DPR kalau turun ke lapangan hanya ditunjukkan hal-hal yang baik saja. Apabila LSM bisa memberikan informasi yang lebih up to date sesuai dengan keadaan, itu bisa menjadi hal yang positif. Untuk itu kita semua perlu mendorong agar teman-teman yang masuk ke dalam sistem bisa terus survive di dalam. Kita perlu terus memberi dukungan dan dorongan, syukur bisa membangun solidaritas.
Dalam hal terkait Papua, menurut saya, Bang As memiliki perhatian yang sangat besar kepada Papua. Saat di Komnas HAM, dia sering datang ke Papua. Selain karena kasus Abepura, ia ke Papua dalam rangka mengampanyekan transitional justice.
Pasca-reformasi, orang Papua merasa upaya mewujudkan reformasi adalah dengan mengikuti dan mewujudkan Pemilu yang baik, masuk menjadi anggota Bawaslu, dan sebagainya. Banyak teman-tean mencoba memanfaatkan ruang demokrasi yang tersedia. Namun, sampai sekarang saya belum melihat ada yang istimewa dari kegiatan teman -teman yang ada di LSM HAM di Papua saat ini. Untuk mengangkat persoalan penyelesaian Papua secara damai dulu ada ungkapan itu forgive but never forget, mungkin memang perlu membentuk Komisi Kebenaran.
Mencicil Utang Indonesia Pada Teluk Cendrawasih
Oleh: Lena Simanjuntak – Mertes
Tidak mudah bagiku menulis pengalaman berteater bersama Asmara Nababan. Aku harus menutup mataku untuk memasuki tumpukan ruang ingatan dari 42 tahun yang lalu. Seandainya lembaran ingatan sama dengan lembaran file yang berada di museum atau perpustakaan jauh lebih gampang menjangkaunya. Kadang harus dengan mata terbuka untuk mengingat masa lampau buatku seperti air ditimpa cahaya matahari. Bukan membuat terang dan jelas sebaliknya cahaya yang memantul di air malah menyilaukan dan membuat pandangan tidak jelas. Asmara Nababan, buatku adalah salah seorang yang meninggalkan jejak dalam hidupku. Aku tak pernah melupakannya.
Saya dan Asmara bersama-sama di Yayasan Komunikasi Massa PGI (Yakoma). Setelah itu aku pindah ke Jerman pada 1984. Dalam perjalanan teaterku, Asmara memiliki peranan penting, terutama ketika aku mulai mengembangkan metode “teater sebagai media pendidikan dan penguatan rakyat”. Hingga saat ini metode ini terus kukembangkan bersama beberapa teman. Perhatianku terutama bagi kaum yang termarjinalkan di Indonesia (dari Aceh sampai Papua), aku sering meminta pendapat Asmara.
Kami lebih sering berkomunikasi melalui telepon daripada bertemu. Selain dia sibuk dan waktuku tidak banyak di Indonesia. Metode teater yang kukembangkan itu, aku mulai pada 1999 di Indonesia. Bila aku datang ke Indonesia, waktuku di Jakarta sangat singkat. Biasanya untuk menghemat waktu aku langsung ke tempat ke mana aku akan membuat atau melatih teater.
Biasanya aku menelepon Asmara, selain memberi tahu di mana daerah tempatku berlatih teater, aku juga bertanya bagaimana situasi dan lingkungan tempatku akan berteater. Misalnya, pada 2000, aku akan melatih para buruh perkebunan kelapa sawit dan coklat, nelayan dan petani di daerah Perbaungan Sumatra Utara. Aku mengatakan aku bekerja sama dengan organisasi Perempuan HAPSARI.
Asmara menjelaskan organisasi yang akan bekerja sama denganku adalah organisasi perempuan yang cukup baik dan militan karena tumbuh dari akar rumput. Aku sempat kaget bahwa dia memiliki informasi tentang organisasi perempuan itu. Kemudian Asmara menjelaskan bahwa memang penting menangani para buruh perkebunan. Penting bagi mereka diberitahu hak-haknya. Apalagi di masa yang akan datang kelapa sawit menjadi sangat penting untuk mendukung devisa negara. Namun akan berdampak antara lain pada masalah hak asasi manusia, masalah sosial dan masalah ekologi perusakan alam, dan lain-lain.
Demikian juga dengan masalah nelayan. Persoalannya cukup besar selain nelayan menghadapi masalah kemiskinan, pencemaran lingkungan baik di mana mereka tinggal maupun kondisi lingkungan alam laut yang akibat buruk bagi kesehatan sekaligus mengurangi populasi ikan. Para nelayan kecil yang pada umumnya hanya mempunyai pengetahuan turun -temurun bagaimana menangkap atau mencari ikan ini akan dihancurkan dan dilumpuhkan oleh para pengusaha besar yang memakai kapal-kapal pencari ikan yang besar atau pukat harimau.
Menurut Asmara, masalah petani adalah masalah yang paling rumit di benua Indonesia ini. Bukan saja menyangkut masalah hukum pertanahan, tapi masalah yang terbesar adalah efek pencemaran lingkungan hidup akibat industri, dan sebagainya.
Gambaran pengantar seperti itu yang antara lain yang Asmara berikan padaku. Biasanya untuk mengakhiri pembicaraan kami melalui telepon, Asmara mengatakan, “Yang lain kau cari informasinya sendiri. Dan sebagai referensi lainnya cari buku dan baca.“ Dan biasanya Asmara kemudian menutup dengan tawa yang khas Asmara.
Sambil bercanda biasanya aku katakan, “Buat apa aku baca buku selama ada Asmara Nababan.” Aku tahu Asmara akan dengan kata-kataku itu.
“Kau ini memang tak pernah sembuh dari kebrengsekan”. Itu komentar Asmara, tentu saja sambil tertawa.
“Siapa yang mengajar aku jadi brengsek?” jawabku, tentu saja tak mau kalah.
Asmara Nababan buatku orang yang sangat penting di Indonesia. Ia adalah tempatku untuk bertanya dari masalah HAM, sosial dan demokrasi termasuk budaya. Bahkan aku juga bisa “curhat” terhadap berbagai persoalan berat yang kuhadapi di lapangan tempatku berlatih teater. Kadang aku juga bisa menuangkan isi hatiku yang lagi kacau-balau atau gusar karena hidup di dunia Barat dan Timur .Aku bisa bercerita secara lugas padanya tanpa basa-basi atau rasa malu.
Bagiku, Asmara seperti penasihat, sahabat dan abangku. Misalnya, secara kebetulan kami bertemu di sebuah restoran di Makassar, pada saat itu Asmara lagi diundang sebuah acara seminar dan aku lagi melatih teater teman-teman korban konflik di Poso. Aku kebetulan lagi ada urusan di Makassar. Di restoran tiba-tiba dia menarik tanganku dengan berkata pada teman-teman lain sambil berkata, “Aku mau tunjukkan ikan yang paling enak yang harus kau makan. Karena di Jerman tidak ada ikan seperti itu enaknya.“
Kami segera menuju ke tempat di mana bermacam-macam ikan terkapar di atas pecahan es batu, tangannya menunjuk ke ikan batu tapi dengan suara pelan dia bertanya, “Kau sudah bertemu dengan George Aditjondro?“
Aku menggelengkan kepala.
“Goblok kali,” kata Asmara dengan suara keras, sampai semua orang lihat.
Mendengar itu mungkin orang-orang berpikir aku goblok dalam memilih ikan. Dalam pelototan mata ikan-ikan mati yang tergeletak, kami sempat berdebat sedikit.
Aku katakan, “Yang goblok siapa? Kenapa aku tidak diberitahu ketika kita berteleponan sebelum aku ke Poso.“
Maksud Asmara baik, bila aku bertemu sebelumnya dengan George Junus Aditjondro yang banyak meneliti tentang konflik Poso, aku bisa lebih punya cukup material untuk membahas dan menganalisis lebih dalam lagi permasalahan Poso bersama para korban konflik untuk diekspresikan melalui teater.
Itulah cara kami berdialog, yang sejak aku mengenal Asmara tidak pernah berubah. Tetap spontan, penuh humor bahkan kadang dengan debat yang cukup kencang. Bagi kebanyakan orang, Asmara dianggap terlalu keras, sangat berhati-hati dalam mengadakan kompromi, lugas dan tegas tetapi juga seenaknya berbicara atau memarahi orang. Bagiku, Asmara memang keras tak bisa mengerem rasa marahnya. Tetapi hatinya sangat tulus, terutama pada orang- orang yang membutuhkan pendapat dan nasehatnya.
Dengan gaya dan caranya yang keras itu, aku pernah mengkritiknya. Karena buatku memarahi atau spontan mengatakan sesuatu tanpa memikirkan perasaan orang lain itu tidak adil.
“Keadilan tidak selalu ditegakkan dengan cara lemah lembut. Kadang harus dengan tegas dan keras,“ begitu jawaban Asmara.
Pertemuan Pertama
Aku tidak ingat persis tahun 1978 atau 1979 ketika aku menerima surat dari Yayasan Komunikasi Massa dari Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang dulu namanya Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI). Surat disampaikan ke kampus tempatku kuliah di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang sekarang menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Surat itu isinya kira-kira bunyi demikian, “Atas saran Bapak Teguh Karya, kami menghubungi anda. Kami mengundang Anda ke Yakoma untuk membicarakan program Teater untuk mengisi acara mimbar agama Kristen di Televisi RI yang disiarkan sekali sebulan”. Tanda tangan Direktur Yakoma, Asmara Nababan.
Huhhhh….. Aku kaget membacanya karena diminta membuat teater untuk acara “Mimbar Agama Kristen“ di TVRI. Aku sering diminta menyutradarai teater ke gereja-gereja untuk hari Natal, tidak masalah bagiku karena biasanya naskahnya sudah tersedia dan aku hanya melatih pemain untuk bermain dengan baik tanpa harus memikirkan unsur teologinya. Menyutradarai cerita yang dipentaskan dari tahun ke tahun tetap sama yaitu tentang kelahiran Jesus sangat mudah bagiku. Apalagi ceritanya sudah kukenal sejak masa kanak-kanak bahkan pada waktu aku umur enam tahun pernah ikut main drama menjadi malaikat yang berdiri di samping palungan tempat berbaring bayi Jesus.
Pokoknya setiap Natal orang Kristen banyak yang jadi seniman, begitu kata pengalamanku. Tentu membuat teater di gereja berbeda jauh dengan membuat teater untuk mimbar agama Kristen. Aku harus punya dasar pengetahuan Bibel yang baik dan kelakuanku harus agak saleh, sebab bila disiarkan di televisi dengan penontonnya dari seluruh Indonesia aku punya pertanggung-jawabannya. Begitu pendapatku, saat itu. Kemudian aku menghubungi Pak Teguh Karya mau bertanya apa maksudnya menyuruh aku ke Yakoma untuk menyutradarai teater yang bernuansa agama.
“Ya, pergi saja kesana latihlah orang-orang Kristen itu untuk bermain teater,“ demikian jawaban Teguh Karya.
“Iya, tapi aku tak tau banyak tentang keKristenan. Bagaimana aku bisa membuat mereka menjadi pemain yang baik tanpa pengetahuan kekristenan?”
Pak Teguh mengatakan, “Karena itu kamu saya kirim ke mereka. Supaya bisa belajar tentang keKristenan dari mereka. Dan kamu bisa mengajarkan teater kepada mereka.“
“Tapi ada satu lagi masalahku, Pak Teguh,“ kataku.
“Apa itu?” tanyanya.
“ Aku sejak keluar dari rumah orang tua, hampir tidak pernah ke gereja. Dan aku di Jakarta ini tidak menjadi anggota gereja mana pun.“
“Lalu kalau kamu mau ke Gereja, ke mana?” tanya Teguh Karya.
“Ke gereja mana saja, tergantung orang yang mengajakku ke gereja.“ jawabku.
“Sudah deh kamu mau ke gereja atau tidak ke gereja, bukan urusan saya,” ujar Pak Teguh yang terlihat mulai kesal.
“Saya tidak menyuruh kamu ke Gereja tetapi saya menyuruh kamu pergi ke Yakoma,“ demikian kata akhir dari Pak Teguh.
Pertemuanku dengan Teguh Karya tidak menjawab kegelisahanku bahwa aku agak ragu menghadapi Yakoma. Sebelum kami berpisah aku masih memberanikan diri tanya, “Pak Teguh, Asmara Nababan itu siapa?“
Dengan suara agak keras Teguh Karya menjawab, “Kok jadi cerewet kamu ini? Asmara itu Direktur Yakoma. Orang Batak seperti kamu, tempramental. Orangnya terbuka dan cerdas. Kalau kamu bikin kesalahan, pasti bisa dibentaknya.”
Dalam hati aku menjawab, “Kalau dia yang salah, aku juga bisa bentak, atau minggat….”
Teguh Karya adalah sutradara film di mana aku banyak belajar darinya. Dan dia juga yang menganjurkan agar aku mengambil jurusan penyutradaraan di Teater IKJ.
Seminggu kemudian, siang hari, dengan naik Bajaj dari Cikini aku menuju ke Jalan Cempaka Timur Sebelas. Hatiku dag-dig, apalagi di sebelah Yakoma ada gereja. Mulanya aku pikir gereja itu milik Yakoma. Tiba di kantor Yakoma yang sederhana tetapi halamannya sangat luas, aku bertemu seorang pegawai perempuan dan aku mengatakan mau bertemu dengan Bapak Asmara Nababan. Aku disuruh tunggu di ruang pertemuan/rapat. Selama 10 menit, aku tunggu-tunggu belum muncul. Aku mulai gelisah dan kemudian aku menemui pegawai perempuan itu tanya kenapa belum ada Pak Asmara. Di ruangan ada 3 pegawai mereka saling berpandangan.
Akhirnya pertanyaanku dijawab, “Maaf, Kak, Pak Asmara lagi Istirahat.“
Aku agak naik pitam aku katakan, “Aku kemari diundang oleh Bapak Asmara, ya.“
Tiga pegawai itu saling berpandangan, lalu salah satu berkata, “Baiklah. Silakan Kakak duduk di ruang pertemuan. Saya akan memberitahu Pak Asmara.“
Tidak berapa lama muncul seorang laki-laki rambutnya agak gelombang dikuncir seperti ekor tikus dan jari-jarinya menjepit rokok. Dia menyapaku dengan ramah dan aku menyalaminya sambil menyebut namaku. Ia mengatakan namanya, Julius Syaranamual.
“Hmmm…dia bukan Pak Asmara rupanya,” ujarku dalam hati.
Kemudian datang seorang pria perawakannya agak kecil, memakai topi baret hitam sambil tersenyum mengulurkan tangan dan menyebut namanya, “Yudi Subroto.“
Hmmm…. lagi-lagi bukan Pak Asmara.
Kami bertiga berbincang-bincang tetapi posisiku lebih banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Julius dan Judi.
Tiba-tiba di luar kudengar suara bariton, memanggil nama entah siapa, aku lupa. Ketika Ia muncul langsung menyapaku. “Selamat sore, Lena Simanjuntak,“ sapanya sambil menyalamiku. Ia pria yang berperawakan agak tinggi, berambut gondrong dengan pakai sepatu sandal.
“Siapa lagi ini?” pikirku.
“Sudah lama, ya?” tanyanya.
“Sudah,” jawabku, tanpa basa-basi.
“Ah.. , sori lupa. Saya Asmara Nababan,“ katanya.
“Astaga, jadi ini yang namanya Asmara, direktur Yakoma itu?” ucap saya dalam hati.
Sebelum aku tiba di Yakoma, aku membayangkan pak direktur itu, berpakaian resmi dan rapih. Apalagi direktur dari lembaga Kristen. Aku kecele dengan penafsiranku. Namun ada perasaan lega mengalir di perasaanku. Melihat penampilannya, aku terbebaskan dari rasa ketakutan akan suasana formalitas di perkantoran. Maklum kami yang beraktivitas di Taman Ismail Marzuki pada jaman itu, hidup bebas dan santai dan selalu berusaha menyingkirkan hal-hal yang berbau formalitas. Yang penting buat kami adalah bagaimana kami para seniman bisa tetap kreatif dan mencipta. Walaupun kadang, saking santainya dan terbiasa dengan kebebasan, kadang berambut rambut gondrong acak-acakan dan berpakaian terkesan serba semrawut.
“Jadi di IKJ ambil jurusan teater, ya? Sudah berapa tahun?” tanya Asmara sambil menyalakan batang rokoknya.
Sebelum menjawab, aku bertanya, “apakah bisa merokok?”
Serentak, bagai koor mereka bertiga mengangguk.
“Alhamdulilah….,” kata itu meluncur dari mulutku.
Mereka tertawa mendengar ucapanku. Kuisap rokok dan menghembuskan asapnya agak keras. Aku lega. Perasaanku semakin cair dari ketegangan agama. Maksudku, aku memasuki lingkungan yang mengatas-namakan agama tapi ternyata cukup luwes. Berbeda dengan pengalaman pendidikan agama di mana aku dibesarkan sampai aku ke luar rumah. Penuh peraturan dan keharusan yang harus dipatuhi.
“ Aku harus panggil apa pada Bapak-Bapak di sini?”
“Panggil saja namaku, Asmara, Julius dan Judi”. Semuanya menjawab sama.
Hemm…. aku pikir umur mereka lebih tua dariku, tentu tak sopan memanggil nama tanpa embel-embel. Untuk meyakinkan aku tanya sekali lagi, “aku tak perlu panggil Bapak atau Abang?”
“Cukup, Asmara,” kata Asmara dengan suara basnya.
He..he .., aku tertawa dalam hati. Rupanya tak jauh beda di Yakoma ini dengan sarangku di Taman Ismail Marzuki. Santai, apalagi bisa merokok. Huraaa! Begitu teriakku dalam hati.
Setelah aku memperkenalkan diri, aku balik bertanya tentang apa Yakoma itu serta apa visi dan misinya. Asmara menjelaskan padaku secara singkat. Gantian, walau sudah aku memperkenalkan pada mereka, aku menceritakan latar belakang pendidikan teater serta di mana tempat tinggalku dan di mana orang tuaku tinggal. Termasuk masih adanya hal yang harus kuselesaikan serta kujelaskan pada mereka tentang persoalan keKristenanku. Aku seperti akan mengaku dosa pada mereka bertiga. Terutama pada Asmara sebagai direktur Yakoma. Hal ini penting agar dia mengenal orang yang akan diajaknya kerja sama.
Lalu aku menjelaskan bahwa keKristenanku sangat dangkal. Artinya, aku bukan seorang Kristen yang aktif ke gereja dan berdoa.
“Tapi Anda percaya Tuhan, kan?” tanya Asmara.
Aku tersentak dalam hidupku belum pernah aku dapat pertanyaan seperti itu. “Tentu lah. Walau aku Kristen yang tak aktif ke gereja, aku takut meninggalkan Tuhan,“ jawabku.
Lalu Julius nyeletuk, “Kenapa takut meninggalkan Tuhan?”
Aku bertambah kaget lagi dan tegang dengan pertanyaan itu, sampai aku terpaku diam karena tak tahu harus menjawab apa.
Sambil menyedot rokoknya dalam-dalam, Julius melanjutkan kata-katanya, “Yang harus ditakutkan itu kalau Tuhan meninggalkan kita.“
Awalnya aku tercengang mendengar kalimat itu, selanjutnya aku tertawa ngakak.
Sambil terkekeh Asmara bilang, “Kalau Julius ini tidak takut pada apa pun.“
Julius melihat padaku sambil telunjuknya diarahkan pada Asmara. “Apalagi Asmara ini, dia tidak punya rasa takut sama sekali. Artinya kebal dari perasaan takut. Yang dia punya hanya Asmara. Namanya saja, Asmara,“ kata Julius bercanda.
Asmara menangkis, “Bah… apa kau ini? Aku dibaptis dengan nama Asmara Victor Michael Nababan. Jangan sembarangan kau, ya!”
Dalam senda gurau yang berlangsung, aku menangkap bahwa mereka berdua adalah sahabat. Mereka terlihat begitu akrab dan santai.
Itulah pertemuanku pertama kali dengan Direktur Yakoma Asmara Nababan serta Julius dan Judi begitu mengesankan. Ternyata semua bayanganku tentang kekakuan dan dogma-dogma keKristenan yang kuanggap galak karena banyak berbicara tentang iblis dan dosa, runtuh. Aku pun mengatakan siap bekerja sama. Tugasku pertama adalah menangani fragmen mimbar agama Kristen di TVRI sekali sebulan yang durasinya 30 menit.
Selanjutnya kerja sama kami sangat bernuansa kekeluargaan. Asmara dan Julius sangat terbuka, siap menolong dalam persoalan-persoalan yang kuhadapi baik itu dalam teologi atau menghadapi tim dari TVRI yang sok tahu. Asmara, juga Julius, sering memperlakukan aku seperti adiknya sendiri.
“Bagaimana kita bisa menerjemahkan ajaran kasih dalam kehidupan sehari-hari. Terutama dalam kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi, dia bersukacita karena kebenaran,“ demikian pesan Asmara ketika itu sebelum aku mulai menyutradarai fragmen mimbar agama di TVRI
Asmara Tidak Boleh Jadi Tuhan
Diskusi kami tentu banyak mengenai teater. Asmara punya ide, pertama bagaimana mengembangkan teater sebagai salah satu program Yakoma. Teater adalah media komunikasi massa. Aku tentu bahagia sekali menyambut ide tersebut. Maklum pada saat itu aku masih muda dan menggebu-gebu. Selama ini aku hanya banyak berteater dalam pergaulan panggung di Tim. Konsep teater sebagai upacara bersama tentu saja di TIM dapat kami capai. Ada peristiwa, pemain dan penonton yang bersatu dan terlibat dalam satu kejadian yang terjadi di atas panggung.
Dalam kerja sama dengan Yakoma waktu itu aku berharap, seperti sejarah teater Yunani lebih dari dua ribu tahun lalu, di mana teater berawal dari upacara pemujaan Dewa Anggur Dionysos. Syair, lagu dan tarian semua untuk menyembah sang Dionysos. Nah, pada saat itu dengan Yakoma, aku mengharap bisa menciptakan teater seperti sejarah awal lahirnya teater. Bedanya kalau waktu itu untuk penyembahan kepada Dewa Dionysos, di Yakoma teaternya untuk menyembah Allah Bapa. Artinya, teater sebagai upacara bersama menyembah Allah
Ketika kusampaikan pemikiranku pada Asmara. Dengan bijaksana dia menjawabku dan berkata, “Memang penciptaan seperti itu yang harus kita capai. Tetapi kita harus memulai dari hal-hal yang sederhana. Bagaimana menciptakan metode teater hingga bisa nantinya teater masuk menjadi salah satu program Yakoma. Ke dua, bagaimana dapat mengembangkan konsep pementasan untuk menyampaikan pesan-pesan ajaran-ajaran keKristenan tanpa harus menggurui. Misalnya, bagaimana bisa mengolah dan mengangkat masalah kehidupan sehari-hari hingga bisa jadi bahan perenungan bagi penonton.
Tak lama kemudian, bersama Teguh Karya, kami mendirikan Sanggar Bahtera. Sanggar ini bertujuan menjadi tempat pelatihan untuk jadi aktor maupun sutradara sekaligus laboratorium untuk pendalaman-pendalaman Alkitab, mempelajari permasalahan sosial, dan juga tempat berdiskusi terkait teologi dan budaya, dan lain-lain. Selain itu, sanggar bukan saja untuk berlatih cara berakting, tetapi juga bagaimana melalui teater dapat mengembangkan kepribadian, mengembangkan kerja kelompok, melatih dan menemukan motivasi, pengolahan bahasa tubuh dan retorika. Keanggotaan sanggar terdiri dari bermacam-macam kelompok dan latar belakang. Antara lain, dari Sekolah Tinggi Teologi dan Institut Kesenian Jakarta.
Langkah selanjutnya, Asmara, Julius, dan aku, membuat proyek program pelatihan teater untuk gereja. Hal ini dikarenakan hampir semua gereja dalam menyelenggarakan perayaan Hari Natal bahkan juga Hari Paskah selalu menggelar acara drama atau teater. Tradisi berdrama atau teater dalam gereja sudah ada sejak lama. Tinggal bagaimana meningkatkan potensi yang ada dengan pengetahuan teater. Dengan demikian baik kualitas pertunjukan dan menyampaikan misi keKristenan akan lebih baik. Artinya, kami mencoba membangun teater Kristen.
Pertanyaannya, apakah kami akan mengundang wakil-wakil dari gereja datang ke Yakoma untuk pelatihan, atau kami mendatangi gereja-gereja untuk melatih?
Aku menyarankan, sebaiknya pelatihan dengan mendatangi gereja-gereja. Sebab kita bisa langsung berhadapan dengan ruang gereja yang berbeda-beda bentuk maupun besar-kecilnya ruang. Dengan demikian bisa melatih sekaligus tahu bagaimana mengatasi ruang untuk dipakai pentas.
Asmara adalah orang yang sangat terbuka dan rendah hati menerima ide-ide.
“Ok. Kita akan coba,“ begitu kata Asmara menanggapi ideku
Aku menangani pelatihan masalah konsep dan teknik teater. Julius menangani konsep teknik penulisan, dan Asmara menangani konsep kerja kolektif atau manajemen kerja sama. Kami bak tiga serangkai yang saling mendukung walaupun kadang terjadi perdebatan sengit. Aku kagum pada Asmara, sebab sebagai direktur yang punya tanggung-jawab banyak di Yakoma, masih mau dan menyempatkan diri untuk turut memberi workshop.
Kami berjalan dari satu gereja ke gereja yang lain memberikan workshop atau pelatihan dua hari. Aku lupa dan tak tau persis berapa gereja dan gereja mana saja yang pernah kami berik pelatihan. Karena kemudian pelatihan terhenti. Yakoma kemudian di luar produksi fragmen mimbar agama Kristen di TVRI juga mulai fokus ke produksi pertunjukan dan pembuatan film cerita untuk acara TV ahir tahun dengan mengundang sejumlah sutradara antara lain Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Edo Pesta Sirait, dan lain-lain.
Produksi Yakoma yang besar adalah pada 1980 di mana digelar pertunjukan teater musikal “Jesus Christ Superstar“ yang dipentaskan di Istora Senayan dengan disutradarai oleh Remy Silado. Opera Rock karya Andrew Lioyd Webber dan Tim Rice itu disadur oleh Julius Syaranamual dengan dimainkan oleh para penyanyi dan penari yang berjumlah mencapai sekitar seratus orang.
Opera tersebut bercerita tentang situasi menjelang kematian Jesus. Pada saat itu Yesus dimainkan penyanyi dari Papua, artinya Yesus bukan berkulit putih dan bukan datang dari Barat seperti pada umumnya gambar-gambar Yesus yang dikenal umat Kristiani. Dalam Bibel, Yesus naik keledai tetapi dalam pertunjukan ini Yesus naik becak. Sebuah terobosan penampilan yang tak mudah diterima oleh kaum penonton Kristen. Pada saat itu aku berfungsi bermacam-macam, sebagai asisten Remy, menyiapkan pemain, membantu pengadaan kostum, make up, dan sebagainya.
Suatu saat aku melihat pertama kali Asmara terlihat lelah dan muram. Ia duduk bersama Julius menonton latihan. Keduanya diam dan hanya isapan rokok yang mengepulkan asap. Aku datang mendekati mereka dan ikut merokok. Aku tahu, sebagai direktur Yakoma tanggung jawabnya berat dalam produksi Jesus Christ Superstar ini. Terutama mencari sponsor untuk kebutuhan latihan dan pentas serta bagaimana membuat pemasaran tiketnya. Aku kenal Asmara yang hidupnya sederhana, tidak banyak berurusan dengan uang. Dan dunia bisnis sangat jauh dari kehidupannya. Aku turut merasakan beban Asmara juga Julius tanpa bisa membantu.
“Ya, ya, the Show must go on! Begitu kan yang sering kau katakan sebagai hukum pentas,” „ kata Asmara sambil menepuk pundakku, berdiri lalu pergi.
Aku tak tahu bahwa akhirnya Asmara bisa mengatasi semua biaya produksi Jesus Christ Superstar. Pertunjukan kami berhasil.
Pada tahun yang sama kami membuat pertunjukan Ayub. Dipentaskan untuk pertemuan Sidang Raya Gereja-Gereja Protestan Seluruh Indonesia di Tomohon, Menado. Cerita yang diambil dari perjanjian lama yaitu Nabi Ayub. Ayub adalah nabi yang taat, kaya, punya istri cantik dan banyak anak. Tentu saja Ayub taat dan menyembah Tuhan sebab Ia memiliki semuanya. Iblis berkata pada Tuhan, “Coba ambil satu-persatu apa yang Ayub miliki, pasti Ia tak kan taat lagi.” Demikian pendapat Iblis. Tuhan lantas menguji Ayub sebagaimana kehendak iblis. Akhir cerita, dalam penderitaan Ayub tetap taat.
Muncul permasalahan buatku selaku sutradara pada waktu itu adalah mencari siapa orang yang bisa memainkan tokoh Tuhan. Kalau yang jadi Iblis, Ayub dan pemain lainnya tidak masalah. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya Asmara. Karena postur dan suaranya untuk cocok untuk memerankan tokoh Tuhan.
“He, Lena, tahu nggak, aku ini Direktur Yakoma,“ begitu komentar Asmara.
“ Lalu, apa yang salah? Presiden pun bisa diajak main teater kalau dibutuhkan,” jawabku.
Karena tidak ada alternatif dan supaya pertunjukan bisa jalan, akhirnya Asmara jadi tokoh Tuhan. Tetapi ketika kami selesai latihan di panggung Tomohon terjadi masalah, dilarang keras memperlihatkan tokoh Tuhan. Tidak diperbolehkan. Begitu larangan dari dewan gereja setelah menonton latihan kami.
“Tak usah pentaslah, kalau gitu,“ kataku, karena keberatan dengan larangan tersebut.
“Ya, mereka mempertanyakan alasan teologinya kenapa Tuhan ditampilkan?“ kata Asmara.
“Teologi sekolah minggu. Manusiakan diciptakan sesuai dengan gambarNya. Begitu tertulis dalam Alkitab,“ kataku ngotot tetap tak menerima pelarangan itu.
“Lena, kita harus kompromi. Ini kan pertama kali teater masuk dalam Sidang Raya Gereja-Gereja. Kan kita ingin menjadikan teater menjadi milik orang Kristen. Kalau kita tidak pentas sekarang, mungkin kita juga bisa menghambat masuknya teater di masa yang akan datang dalam Sidang Raya,“ begitu kata Asmara.
“Aku tetap tidak mengerti kenapa mereka melarang Tokoh Tuhan dipertunjukkan. Tuhan saja tidak melarang. Seandainya Tuhan melarang, pasti kita tak sampai ke Tomohon.“ kataku tetap tak terima.
“Aku juga tak mengerti tentang larangan itu. Tetapi aku mencoba mengerti pikiran mereka,” jawab Asmara.
Mendengar jawaban Asmara aku terdiam.
Akhirnya, Asmara tidak boleh jadi Tuhan di panggung. Asmara yang memerankan sebagai Tuhan disembunyikan di belakang panggung. Yang terdengar hanya suaranya. Karena pelarangan terjadi dua hari sebelum pertunjukan, muncul masalah baru sebab yang sebelumnya tokoh Tuhan dan tokoh iblis dalam dialog berhadapan, tiba-tiba iblis main sendiri di panggung. Iblis kelabakan karena tidak cukup latihan untuk bermain atau berakting hanya dengan merespons suara maupun bermain atau berdialog dengan kursi kosong tanpa tokoh Tuhan yang duduk di situ.
Sebaliknya sebagai tokoh Tuhan, Asmara dapat kendala juga. Karena ia harus sembunyi atau disembunyikan, Asmara tak dapat melihat akting iblis ketika berdialog dengannya. Ia mengatakan bahwa peranannya sebetulnya dimainkan dengan dialog tetapi karena disembunyinya di belakang panggung, dia jadinya bermain monolog.
Dasar Asmara yang tidak pernah kehabisan akal kemudian berimprovisasi dengan dialog sebagai berikut. “Iblis tak ada yang tersembunyi di hadapanku, di langit maupun di bumi. Aku tahu semua. Namun aku ingin kau mengatakan, apa yang kau lakukan sekarang?“ ucapnya.
Judi yang memerankan tokoh Iblis menangkap maksud Asmara. “Ah.., Paduka yang Mulia, ngintip saja biar tahu,“ jawab iblis
“Bah, begitu kah jawabanmu? Dasar iblis, kau!”
Ketika dibentak oleh tokoh Tuhan. Iblis pun lari
Mendengar dialog yang tak ada di naskah itu, aku tertawa. Sebetulnya ada tawa juga dari publik tetapi tertawa yang tertahan. Seakan tabu tertawa karena itu dialog Tuhan dan iblis.
Cerita Ayub kusutradarai dengan gaya lenong itu akhirnya menjadi tontonan yang membuat santai peserta yang sudah penat mengikuti banyaknya acara yang diselenggarakan dalam Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja Indonesia.
“Ingat, kau boleh ambil kekayaan, istri dan anak-anak Ayub. Tapi jangan ambil Nyawanya!“ demikian peringatan Tuhan pada iblis. Lalu Iblis pun pergi.
“Paduka yang Mulia,“ panggil iblis dari jauh.
“Ada apalagi, Iblis?” tanya Tuhan
“ Aku perlu surat ijinnya untuk ngerjain Ayub,“ kata iblis.
“Nah, ini, ambil!“ kata Tuhan.
Iblis bermain seolah merima surat ijin. Lalu Iblis pergi sambil menari diiringi ledakan tawa penonton.
Walaupun Asmara disembunyikan di balik panggung Ia bermain prima melalui suaranya yang bariton dan berwibawa.
Dan, Asmara benar bahwa sejak itu, sidang Raya Gereja-gereja se Indonesia dalam pertemuannya tak pernah sepi dari program atau acara pertunjukan teater. Selain itu, walau Asmara tidak menjadi direktur lagi, Yakoma banyak memberikan perhatiannya pada program-program pelatihan teater.
Mencicil Utang Pada Teluk Cendrawasih
Setelah lima belas tahun di Jerman, tepatnya pada 1999, atas undangan Julius aku akhirnya kembali untuk melatih teater di Indonesia. Aku memberikan pelatihan teater bagi pekerja seks sekaligus tinggal di kampung pelacuran dekat Pelabuhan Perak di Surabaya. Sebelumnya, aku mengabarkan pada Asmara, bahwa aku akan ke Surabaya.
“Sampaikan salamku buat Julius,” kata Asmara, waktu itu.
Setelah bekerja sama di majalah anak-anak Kawanku dan Yakoma, dua orang sahabat itu, Asmara dan Julius kemudian berpisah. Julius bergerak dalam dunia Sosial di Surabaya. Ia mendirikan Yayasan Hotline Surabaya untuk menangani masalah-masalah HIV/Aids, terutama di dunia pelacuran. Yayasan mereka ini adalah pionir di Indonesia yang mulai kampanye anti-HIV/Aids. Asmara terjun menangani masalah-masalah hak asasi manusia dan demokrasi.
Tetapi kami bertiga Asmara, Julius dan aku pernah bertemu di Jerman pada saat dalam rangka menghadiri pertemuan “Kirchentag“ yaitu Kongres Gereja-Gereja (awalnya hanya gereja Evangelis kemudian Ökumene) se-Jerman yang juga dihadiri oleh utusan-utusan umat Kristiani dan gereja internasional. Tentu pada saat pertemuan kami yang hanya sehari, terlalu sayang kalau kami pakai membahas tentang agama. Kami saling bercerita dengan fokus kegiatan yang kami akan lakukan ke masa yang akan datang atau masa depan.
Dengan Asmara beberapa kali aku bertemu di Jerman. Bahkan Asmara dan istrinya, Magda pernah menginap di rumahku.
Pertama kali aku bertemu Asmara dalam rangka pertemuan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), kalau tak salah, di Bonn. Ketika kami ketemu aku tertawa ngakak karena untuk pertama kalinya melihat Asmara memakai sepatu.
“Sudah, sudah. Jangan jadikan sepatu jadi tema. Walau aku juga merasa beban pakai sepatu. Kakiku sakit tapi karena dingin aku harus kupakai. Kalau istirahat, nanti aku akan buka sepatu. Kalian di Jerman, tidur pun pasti pakai sepatu,“ begitu Asmara tentang sepatunya.
Dia lupa bahwa dia yang mengatakan untuk jangan menjadikan sepatu sebagai tema obrolan. Aku hanya bisa tertawa menanggapinya.
Situasi peristiwa penting yang terjadi di mana aku betul-betul gusar ketika Presiden Soeharto murka marah setelah pulang dari Jerman menghadiri Pekan Raya Hannover Messe pada 1995 yang merupakan pameran industri terbesar di dunia. Anjungan Indonesia pada saat itu menjadi fokus utama dalam Hannover Messe. Kedatangan Soeharto mendapat sambutan demonstrasi secara besar-besaran sebagai pelanggar HAM di Jerman. Goenawan Mohamad, Sri Bintang Pamungkas, dan Yenny Rosa Damayanti dituduh sebagai orang yang terlibat dalam mengompori demonstrasi tersebut. Kebetulan ketiga orang yang dituduh itu menginap di rumahku.
Ketika Goenawan Mohamad dan Sri Bintang pulang ke Indonesia, mereka disuruh membuat laporan seluruh perjalanan selama di Jerman. Goenawan dalam laporannya menulis mencantumkan nama keluargaku. Sedangkan Sri Bintang mencantumkan nama kota tetapi memakai nama samaran buat kami. Aku masih ingat ada sebuah stasiun TV Indonesia meneleponku minta wawancara tentang peristiwa demonstrasi itu. Aku tak tahu dari siapa mereka mendapat nomor teleponku, aku tak mau diwawancara. Pada saat itu aku banyak bersama Sri Bintang selama di Hannover dan Köln. Dan ketika dia membuat ceramah tentang ekonomi Indonesia di depan mahasiswa, aku sempat merekamnya. Sewaktu Pulang ke Indonesia Sri Bintang diadili dan dituduh makar.
Rekaman tersebut kemudian menjadi bahan penting. Seorang teman minta rekaman tersebut, namun tidak aku berikan karena ingat peristiwa Permadi yang kasetnya direkayasa dan ia kemudian dipenjara. Aku takut kaset itu akan lebih mempersulit posisi Sri Bintang. Kemudian tersebar surat kaleng di Jerman bahwa aku, Lena Simanjuntak, mau jadi pahlawan dengan jadi saksinya Sri Bintang. Waktu itu, posisiku juga sebagai wartawan dan penyiar freelance dari Radio Deutsche Welle siaran bahasa Indonesia.
Kejadian itu membuat aku kaget, sekaligus kegusaranku semakin meningkat. Aku telepon Asmara, dan Asmara mengatakan, “Tenanglah, kau tak apa-apa itu. Abdul Hakim Garuda Nusantara kebetulan akan ke Jerman. Nanti aku bilang supaya kalian bisa bertemu.“
Ahirnya Abdul Hakim Garuda Nusantara datang ke rumahku dan kuceritakan semua peristiwa secara kronologis.
Sebulan setelah peristiwa Hannover dan mengamuknya Presiden Soeharto karena demonstrasi di Jerman, aku harus ke Indonesia untuk urusan keluarga. Aku telepon Asmara karena aku takut pulang ke Indonesia akibat peristiwa murkanya Soeharto masih menghangat.
“Hi, jadi penakut kau ini? Pulang saja, tak apa-apa itu,“ begitu kata Asmara.
Masih dalam gusar aku tanya lagi, “As, kalau aku hilang bagaimana?“
Dengan tertawa khas Asmara, dia bilang, “Aduhhhh, kau ini datang saja lah! Kalau kau hilang, aku akan cari!”. Entah Asmara serius atau bercanda. “Kapan kau sampai Jakarta?“ tanyanya lebih lanjut.
Ketika dia bertanya hal itu, hatiku pun agak tenang.
Sejak 1999 sampai sekarang, selain melatih teater dan pentas bersama teman-teman pekerja seks. Aku melatih para buruh perkebunan kelapa sawit, nelayan, petani. Juga kaum miskin kota Jakarta yang digusur, pekerja rumah tangga, pengungsi korban konflik Aceh, korban Poso, korban kekerasan di Papua, dan sebagainya.
Seperti yang sudah kuceritakan setiap aku tiba di Indonesia tepatnya di Jakarta, aku biasanya telepon Asmara. Buatku, gaya Asmara berpikir, berpendapat dan cara pandang maupun sikap hidupnya memberi inspirasi agar aku tetap setia dan percaya bahwa kemanusian di atas segala-galanya. Dia seorang pengkritik tetapi tak pernah kudengar Ia memaki-maki sesuatu yang tak disetujuinya. Bahkan dalam perlawanannya terhadap ketidakadilan tanpa dibarengi oleh rasa kebencian.
Itu sebabnya dalam mengembangkan teater sebagai media pendidikan dan penguatan rakyat, aku selalu meminta pendapatnya. Terlebih ketika aku memasuki Papua pada 2009.
“Dengan kelompok apa kau bekerja sama di Papua?” tanya Asmara melalui telepon pada waktu itu.
“Belum tahu,“ jawabku.
“Lho, kau kan akan kerja sama teater di Papua, siapa orang yang kau kenal di sana?” tanya Asmara dengan nada bingung.
“Tidak ada orang yang kukenal di Papua. Aku hanya diberitahu teman, namanya Kristina. Soal tempat menginap aku diminta mencari dan menghubungi orang bernama Pendeta Dora,“ begitu jawabku.
“Kau bilang belum pernah ke Papua. Lalu mau melatih teater, lalu tak kenal satu orang pun di Papua. Sekarang pertanyaanku, siapa yang menyuruhmu ke Papua?” tanya Asmara bingung.
Aku menangkap dia bukan saja bingung, tetapi juga gusar.
“Aku disuruh oleh hati nuraniku,“ jaabku.
Mendengar jawabanku sejenak Asmara terdiam, lalu meledak tawanya.
Lalu dia bilang, “Ok, ok. Boleh juga keputusanmu. Agak gila, nekad tetapi ada baiknya,“ jawab Asmara.
Entah kenapa ketika aku disarankan oleh Pendeta Dora yang baru kukenal, sebaiknya aku pergi ke Biak saja untuk mencoba bikin teater di sana daripada di Jayapura dengan rasa ringan aku langsung menyetujuinya. Dari Jayapura aku terbang ke Biak. Aku disambut dua perempuan. Yang satu aktivis dalam penanganan HIV/Aids. Satu lagi seniwati. Atas permintaanku, sore hari aku dibawa keliling naik sepeda motor untuk mendapat gambaran tentang kota Biak.
Aku tertarik dengan kota Biak dan aku merasa ada getaran yang tak kumengerti bergejolak dalam diriku. Dalam hatiku, mungkin ini tempat yang tepat untuk membangun teater. Keesokan harinya aku dipertemukan dengan beberapa perempuan kuutarakan maksud membangun kelompok teater perempuan khususnya. Ketika aku tanya bagaimana situasi Biak dan perempuan Biak. Aku terperanjat bahkan jantungku hampir terpental keluar dari tubuhku ketika kudengar cerita bahwa ada Peristiwa Biak Berdarah.
Kemudian seorang perempuan tanya bagaimana pendapatku tentang Papua Merdeka. Aku makin mati kutu. Aku terlalu polos memasuki Papua dan modalku hanya teater.
Dari Airport Sentani sebelum meninggalkan Papua sambil menangis aku telepon Asmara. Aku mengatakan tak sanggup berteater di Papua, walaupun perempuan di Biak siap berteater.
“Lena, teruskan kerja teatermu. Paling tidak kita bisa mencicil utang Indonesia pada Teluk Cendrawasih,“ kata Asmara.
Itu nasehat terakhir dari Asmara yang kuturuti.
Bersama teman-teman di Biak kami mendirikan Teater Perempuan Papua Orchide. Kami membuat pertunjukan dengan memfokuskan masalah-masalah HAM yang dialami para perempuan Biak. Kami pentas di Biak, Jayapura, Jakarta, dan Jogyakarta.
Kelompok Teater Perempuan Papua ini juga aktif turut berdemonstrasi menentang minuman keras di Biak, menentang ketidak becusan pendidikan dan membahas masalah-masalah Perempuan, dll. Bahkan kadang mereka diminta sebagai Tim sukses. Film dokumenter pertunjukan mereka yang berjudul “Angganeta” dibuat oleh Herri Ketaren mendapat penghargaan dalam Festival Film Etnik Indonesia.
Puncaknya, pada Maret 2020, salah seorang pemain Teater Orchide terpilih menjadi Ketua DPRD Biak.
Ada satu kelompok teater Perempuan lagi yang kudirikan yaitu Perempuan-Perempuan dari Asei, pulau adat di danau Sentani.
Selain itu aku membuat Teater Perdamaian antara Gereja HKBP dan GKI Tanah Papua.
“Kau betul As, saranmu menguatkanku untuk meneruskan kerja teaterku di Papua. Salam hormat dan terima kasihku, Asmara Nababan !“
Köln 1 September 2020
Kenangan Tak Terlupakan Bersama Asmara
Oleh: Soekirman
ASMARA Nababan: marsipature huta, dang holan hata.Asmara Nababan, tahun 1983 adalah orang besar yang kukenal di Tanah Batak. Pakai celana puntung, jaket lusuh, ada syal melilit di lehernya. Tutur kata selalu ada nada lidik, dan ditambah why. Aku lupa di mana aku pertama kenal dia. Adalah garansi dari teman-teman antara lain Muchtar Pakpahan, Pendeta Nelson Siregar, George Junus Adicondro, dan Ned Purba, yang membuat aku langsung jadikan dia sahabat pergerakan dan sekaligus mentor.
Itulah sosok Asmara Nababan yang sejak 1983 terus saling berkomunikasi. Sebetulnya aku lebih kagum dengannya sebagai pemain teater yang kulihat di televisi. Belakangan aku baru tahu dia pengelola majalah anak-anak Kawanku. Mulanya aku heran mengapa dia tidak mengasuh majalah politik, sebagaimana topik yang selalu kami diskusikan setiap bertemu.
Itulah Asmara, dengan sepenggal kisah di awal perkenalan kami.
***
Dam asahan dan martali tali. Aku baru diwisuda di USU sebagai sarjana jurusan kesuburan tanah. Ada kelompok petani yang tergusur dari Dolok Martali-tali Taput di pinggir sungai Asahan. Mereka di relokasi ke Si Oma-Oma, sebuah desa terpencil di perbatasan Taput dengan Tapsel di Kecamatan Pangaribuan.
Melihat nasib mereka yang semakin susah, Asmara mengontak Unit Bantuan Hukum (UBH) Universitas Nomensen di Medan. Aku diminta untuk melakukan observasi kondisi tanah di Si Oma-Oma
apakah layak untuk persawahan. Dengan naik bus Makmur aku turun di Siborong-Borong dan di sana sudah menunggu Asmara Nababan. Aku ditemani Erwin Panjaitan (alm) dari Parintal FP USU.
Karena kami sampai di Siborong-borong menjelang malam, kami bermalam di rumah keluarga Asmara Nababan. Aku baru tahu rumah itu pula keluarga atau orang tua Dr. SAE Nababan, saat itu ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang legendaris. Malam hari kami ngobrol ngalor-ngidul dengan
Asmara Nababan tentang banyak hal, terutama tentang Tapanuli sebagai daerah yang berada pada peta kemiskinan Sumatera Utara. Brain drain orang Batak dari desa ke kota, dan dampak pembangunan yang mulai terasa, proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang belum berpihak pada rakyat
terdampak pembangunan.
Saat itu Asmara memang pulang kampung dari Jakarta dan menetap di Siborong-borong, katanya menemani ibunya yang sudah tua, sekaligus mengembangkan lembaga KSPPM di mana Eliakim Sitorus sebagai sekretaris eksekutifnya.
Pagi hari sambil menikmati sejuk kota Siborong-borong, kami sarapan pagi di rumah keluarga Asmara Nababan. Rumah bergaya klasik dan dengan perabotan tua serta buku di lemari
membuat suasana mirip di Eropa. Ada pula tungku perapian untuk menghangatkan ruangan ketika cuaca dingin.
Pagi itu, seusai sarapan pagi dan kopi lintong yang nikmat, kami berangkat menuju Tarutung. Di ibu kota kabupaten, Asmara Nababan berputar-putar mencari pinjaman mobil. Kendaraan VW kodok miliknya tidak memadai untuk dibawa ke lapangan. Untung ada kenalan yang bersedia tukar pakai dengan mobil kami. Sebuah kijang kotak meskipun tahun 70-an terasa lebih pas untuk menjelajah jalan berbatu dataran Tapanuli.
Asmara Nababan sendiri yang menyetir mobil pinjaman itu. Kami menyelusuri dataran Silindung. Ke luar Tarutung, masih terlihat puncak Gunung Martimbang diselimuti kabut. Lewat aek Situmandi, Simorangkir, Lumban Siagian, Simasom, Onan Hasang, Peanornor, Lobu Pining, Sitolu Ama, Pahae, Pangaloan, Sarulla dan hutan lebat kanan kiri jalan akhirnya kami melintasi Aek Latong dan mencapai Sipirok lewat tengah hari.
Di Sipirok kami istirahat makan siang dan menikmati kota pertama kabupaten Tapanuli selatan dari arah Medan. Kami banyak membahas Sipirok sebagai kota yang sangat toleran atas perbedaan agama, terutama antara agama Islam dan Nasrani.Di kota ini ikatan marga lebih menjadi perekat hubungan sosial
dari warganya. Adat masih dipegang teguh dengan prinsip Dalihan Na Tolu. Sipirok dihuni sebahagian besar marga Siregar, ada yang memeluk agama Islam dan ada pula yang beragama Kristen. Dalam membangun rumah ibadah masjid maupun gereja mereka melakukannya dengan bergotong royong. Bahkan
letak gereja dan masjid sengaja dibangun berhadapan, hanya dipisahkan jalan raya utama yang membelah kota. Sungguh suasana harmonis tergambar dengan jelas di Sipirok. Tidak ada konflik antar agama, karena hubungan sosial berjalan sesuai adat sedang ritual dikerjakan sendiri-sendiri. Itulah yang menjadi topik diskusi yang menarik tentang Sipirok.
Usai makan siang kami tinggalkan Sipirok. Tujuan kami adalah desa Si Oma-Oma di kabupaten Tapanuli Utara. Jadi, meskipun tujuan kami desa di Tapanuli Utara, jalan menuju tempat itu harus melewati kabupaten Tapanuli Selatan dan balik lagi ke arah Tapanuli Utara. Sebenarnya Si Oma-Oma bisa ditempuh dari Pangaribuan, akan tetapi harus menggunakan kuda beban dan melintasi jalan tanah puluhan kilometer mendaki dan menuruni bukit.
Beberapa saat setelah meninggalkan Sipirok ke arah timur, Asmara Nababan menghentikan mobil kami di depan kompleks gereja, terbaca HKBP A. Kami singgah di pelataran gereja dan menuju halaman samping di mana terdapat makam tua. Asmara mengajak saya ziarah. “Inilah makam para misionaris yang
mengembangkan agama Kristen di tanah Batak,” tukasnya. Dan, gereja ini pula sebagai cikal-bakal HKBP di Indonesia.
Aku hanya mengangguk saja, sedikit heran kenapa misionaris tersebut jauh sekali melakukan syiar agama di wilayah Sipirok yang menurutku daerah Islam, bukan di tanah Batak di Tapanuli Utara yang mayoritas Kristen. Belakangan setelah berselang puluhan tahun dan aku baca buku sejarah HKBP, baru aku ngeh mungkin itulah Desa Parau Sorat di mana HKBP pertama dibangun. Makam para penyebar agama Kristen itu mungkin yang bernama Heinz, Kramer, Belt, dan Van Assel sehingga kalau disingkat jadi HKBV lama-lama jadi HKBP. Wallahu alam.
Meninggalkan HKBP A, kami menyusur desa-desa Huta Padang, Batu Horpa, Sipogu, Arse, terus lurus menuju Sipangambat wilayah Padang Lawas. Menjelang dekat ke Padang Lawas kami belok ke kiri melintasi hutan semak dan kebun kopi. Kuingat desa itu namanya Parurean. Melintasi desa yang lebih mirip
savana itu, tanpa kami sadar, sudah masuk wilayah administrasi Tapanuli Utara. Inilah lokasi yang katanya persawahan si Oma-Oma. Tanah dataran plato yang dicoba dengan cetak sawah, tanah tersebut dikapling dan dibagi kepada penduduk Dolok Martali-Tali dipinggir sungai asahan dekat Porsea.
Kami sampai di desa Si Oma-Oma sudah menjelang senja. Rumah barak ukuran 6 x 5 meter, tanpa sekat. Itulah keluarga Nairasaon yang menjadi host kami. Dengan alas tikar seadanya, Asmara meletakkan ransel di pojok ruangan. Aku dan Erwin juga meletakkan ransel perbekalan di pojok yang sama. Rumah itu tak cocok dibilang rumah tinggal. Lebih pas sebagai gubuk atau dangau penjaga kebun. Letak rumah yang berderet dan berhadap-hadapan semua dihuni orang relokasi dari pinggir Sungai Asahan. Mereka sengaja direlokasi oleh pemerintah daerah dalam rangka normalisasi daerah aliras sungai (DAS) Asahan untuk pembangunan dam serta keperluan pusat listrik tenaga air (PLTA). Bersamaan dengan itu pula daerah Porsea kampung sekitar Dolok Martali tali sedang dibangun pabrik serat rayon PT. IIU yang dianggap penduduk telah mengeluarkan uap atau bau yang menyengat.
Menjelang senja itu, perbekalan yang kami beli di Tarutung yaitu beras, mie instan, air mineral, ikan kering kami serahkan kepada keluarga Nairasaon. Usai makan malam seadanya, kemudian kami duduk melingkar. Dengan penerangan lampu petromaks yang sebentar-sebentar dipompa, Bang Asmara buka bicara.
“Ok, sekarang kami sudah datang. Kami membawa Ir. Soekirman dan Erwin Panjaitan, ahli tanah dari USU. Tolong kalian kasih tahu aha do parsoalan? Paboa ma sude!
Aku sangat tertarik dengan cara Asmara Nababan memimpin huria. Bahasa Indonesia dicampur sesekali bahasa Batak, jadi seperti teater yang selalu diperankannya.
“Bah, boasa sai marrobung kenapa selalu longsor?” tanya Asmara.
“Dang huboto hami amang,” rakyat Porsea yang familiar sepanjang hidup dengan olah tanah sawah, tidak terbiasa dengan budaya kultivasi di tanah kering Si Oma-Oma.
Malam itu kami isi dengan dialog tentang pertanian. Aku yang memang suka dengan bahasa Batak Toba, ambil kesempatan untuk berdiskusi dengan bahasa Batak. “Songonon do amang Soekirman dijanjihon pamarentah dilean tu hami saba na boi marsuan eme”, artinya sawah yang bisa kami kerjakan adalah yang untuk bertanam padi. Tapi tanah di Si Oma-Oma jika diairi selalu menyerap air dengan cepat. Selain itu banyak permukaan tanah yang runtuh atau amblas ke bawah. Ada kedalaman 1 meter, bahkan ada yang turun hingga 2 meter.
Kami tidur di tikar diruangan yang tak bersekat itu. Dan besok pagi akan meninjau lapangan dan mengambil sampel tanah untuk dibawa ke laboratorium tanah di Fakultas Pertanian USU Medan. Dua hari kami keliling desa Si Oma-Oma meninjau dan melihat sawah yang baru dicetak pemerintah. Sebagai anak
petani dan mahasiswa pertanian aku mencoba menghubungkan situasi vegetasi asli dan sawah buatan. Untuk melihat profil kami mengamati tanah yang longsor dan menggambar diferensiasi solum. Penilaian fisik bahwa porositas tanah sangat tinggi dan di dominasi kwarsa. Wilayah ini berada pada dataran patahan lempeng yang satu jalur dengan Aek Latong Tapanuli Selatan.
Setelah kami tinjau dengan literatur dan diskusi kami simpulkan bahwa tanah tersebut tidak cocok untuk budidaya lahan basah atau sawah. Rekomendasi kami tanah tersebut lebih cocok untuk budidaya tanaman keras dataran tinggi seperti kopi, cengkeh, atau lainnya. Sampel tanah yang kami bawa ke Medan hanya untuk analisa kesuburan di laboratorium tanah di Fakultas Pertanian USU.
Dari hasil analisis dan rekomendasi yang kami sampaikan kepada kelompok petani, mereka mengambil langkah advokasi dengan melakukan unjuk rasa ke kantor bupati Tapanuli Utara di Tarutung. Mereka protes bahwa pemerintah telah menipu dengan mengatakan tanah pengganti sawah di Porsea pinggir Sungai Asahan layak untuk sawah ternyata tidak sama sekali.
Gerakan perlawatan rakyat itu tak lepas dari hasil penelitian Soekirman. Pada zaman represif, aku dicari pihak yang berwajib dan dibayangi intelijen dianggap sebagai penghasut rakyat dan penghambat pembangunan. Tak kurang Profesor Emil Salim saat itu Menteri lingkungan hidup yang mengirim kawat ke pihak yang kompeten bahwa kami adalah peneliti legal, bukan provokator pembangunan.
Itulah sekelumit kisah perjalanan bersama Asmara Nababan yang membekas dan tak terlupakan. Sejak 1983 itu, kami sering bertemu dalam berbagai forum, antara lain skenario building di akhir kekuasaan Soeharto. Belakangan Asmara mendirikan lembaga Demos, aku sering diundang atau beliau kirim orang untuk mewawancarai aku. Sampai era reformasi, ketika beliau menduduki posisi elit sebagai sekretaris jenderal Komnas HAM di Jakarta aku beberapa kali mengunjungi beliau di kantornya di wilayah Menteng Jakarta.
Tidak ada yang berubah, masih pakai Jaket, dengan syal melilit dileher dan kacamata bertali tergantung di lehernya. Sayang, Tuhan begitu cepat memanggilnya kembali ke sisiNya. Tapi dia telah menggerakkan spirit banyak orang untuk berbuat baik pada sesama, kepada alam dan lingkungan.
Selamat istirahat dialam keabadian. Turut sedih kehilanganmu, merasa bangga atas jasamu.
Napuran tano tano, rangging marsiranggoman, badan ta I pa dao dao, tondi ta i marsigomgoman.
Bang As
Oleh: Wahyu Susilo
Perjumpaan perdana dengan Bang As (demikian saya memanggil almarhum Asmara Nababan) saat saya masih menjadi aktivis mahasiswa sekaligus juga sudah banyak berinteraksi dengan aktivitas organisasi non-pemerintah (Ornop) di kawasan Jawa Tengah. Dalam durasi dekade akhir 80-an hingga awal dekade 90-an, Jawa Tengah merupakan kawasan penuh pergolakan mulai dari kasus-kasus berskala nasional seperti Waduk Kedung Ombo dan pembangunan pusat listrik tenaga Nuklir (PLTN) Muria di Jepara. Juga kasus-kasus pertanahan, lingkungan dan perburuhan berskala kota dan kabupaten.
Kunjungan Bang As ke Solo saat itu biasanya menjadi narasumber rutin oleh Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial Solo (YBKS) yang saat itu menjadi penyelenggara pelatihan berskala nasional Latihan Diakonia Masyarakat (LDM). LDM ini merupakan kegiatan training peningkatan kapasitas analisis sosial dan pengorganisasian masyarakat berbasis teologi Kristiani yang diikuti oleh Ornop-Ornop berbasis gereja dan unit pengembangan masyarakat Sinode Gereja Protestan dari berbagai wilayah di Indonesia.
Saya berkesempatan beberapa kali hadir, nguping (curi-curi dengar) dalam pelatihan tersebut meski tidak pernah menjadi peserta resmi pelatihan tersebut. Narasumber-narasumber seperti Arief Budiman, George Junus Aditjondro, Romo Mangunijaya, Asmara Nababan dan Mohtar Mas’oed jarang kulewatkan. Informasi mengenai nama-nama ini biasanya saya dapatkan dari Pendeta Judith Liem yang mengelola training ini. Kadang-kadang saya diajak Kangmas Wiji Thukul untuk ikut mendampingi rombongan anak-anak Sanggar Suka Banjir yang biasanya diminta menggelar workshop teater rakyat yang menjadi salah satu agenda pelatihan itu dan juga mengisi acara penutupan dengan pentas seni komunitas.
Jika hadir di acara LDM menjadi narasumber, biasanya Bang As mewakili Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), sebuah konsorsium ornop dan lembaga pelayanan masyarakat berbasis gereja Protestan dan kemudian juga mewakili Sekretaris Eksekutif INFID dan Komisioner Komnas HAM. Dari Bang As lah pertama kali saya mendengar informasi mengenai intervensi militer Orde Baru dalam proyek pecah belah HKBP yang saat itu sangat kritis pada kasus-kasus pertanahan dan perburuhan di Sumatera Utara.
Dalam kesempatan berikutnya, masih di acara LDM, saya sempat satu meja makan dengan bang As saat rehat makan siang acara yang diselenggarakan di Wisma INRI Karangpandan lereng Gunung Lawu, Karanganyar. Rupanya Bang As tertarik dan ingin mendapatkan banyak informasi mengenai aktivitas advokasi penolakan PLTN yang saat itu sedang marak di Jawa Tengah. Saat itu, saya dengan kawan-kawan Energi Untuk Rakyat (GIAT) meminta kesempatan pada panitia untuk mensosialisasi informasi mengenai advokasi penolakan PLTN sekaligus menggalang dukungan dan solidaritas dari seluruh peserta LDM.
GIAT adalah Ornop yang didirikan oleh aktivis mahasiswa Solo dengan dukungan Ornop lingkungan Gita Pertiwi yang khusus berkampanye menolak pembangunan PLTN dan mendorong adanya kebijakan pengembangan energi terbarukan sebagai alternatif energi bersih dan aman non PLTN. Tak disangka, Bang As menawarkan GIAT untuk terlibat dalam workshop yang akan diselenggarakan INFID bersama WALHI tentang advokasi internasional menolak PLTN. Ini memperlihatkan betapa Bang As sangat peduli aktivis-aktivis muda dan mendorong gerakan-gerakan masyarakat yang ada di daerah harus dilibatkan dan tidak boleh dilupakan.
Gara-gara mengadvokasi penolakan rencana pembangunan reaktor PLTN dan bendungan besar, Ornop-Ornop lingkungan dan HAM selain dituduh sebagai anasir anti-pembangunan, mereka juga dituduh anti-teknologi. Tudingan tersebut dijawab oleh Ornop-Ornop dengan inovasi teknologi tepat guna, usulan-usulan penggunaan energi terbarukan dan aman serta mengembangkan teknologi yang bermanfaat langsung untuk rayat kebanyakan.
Di bawah kepemimpinan Bang As, INFID terus melanjutkan dan memperkuat pemanfaatan teknologi informasi berbasis internet untuk upaya-upaya advokasi yang telah dibangun INFID pada kepemimpinan masa Augustinus Rumansara. Sistemnya bernama nusanet dan domain e-mailnya xxxx@nusa.or.id. Tentu saja teknologi informasi berbasis internet saat itu jangan dibandingkan dengan situasi saat itu. Teknologi internet yang dibangun saat itu adalah memperkenalkan e-mail dan list-serve (semacam layanan informasi berbasis e-mail, sebelum kemudian layanan ini dimassifikasi oleh yahoo menjadi millist yahoogroups dan google menjadi millist googlegroups).
Saat itu, di mana komunikasi masih lebih banyak bertumpu pada jasa pos, telegram (bukan aplikasi telegram), telepon dan faksimile, maka kehadiran e-mail mempersingkat dan mempercepat arus informasi. Teknologi ini juga mampu menerobos arus informasi lintas negara yang saat itu bisa mengalami hambatan apabila dilakukan secara manual, mengingat rezim sensor masih kuat.
Harus diakui INFID adalah salah satu institusi yang menjadi pionir menggunakan e-mail sebagai sarana komunikasi, meski saat itu layanan e-mail ini masih sangat mahal dan hanya bisa diakses oleh lembaga-lembaga bisnis terkemuka, sedikit dari lembaga pemerintah dan perguruan tinggi serta media massa terkemuka. Teknologinya pun masih dial up dan menggunakan pulsa telepon fix line dan modem yang bunyinya masih sangat berisik. Sejak saat itu organisasi saya GIAT (Energi untuk Rakyat) pun punya alamat e-mail giat@nusa.or.id disaat organisasi lainnya kebanyakan pakai e-mail gratisan seperti hotmail.com atau mailcity.com.
Sejak April 1996, saya bermigrasi ke Jakarta dan mulai bekerja di Ornop Jakarta, Solidaritas Perempuan, dengan demikian frekuensi perjumpaan dengan Bang As semakin seiring. Apalagi saya sering mewakili organisasi Solidaritas Perempuan dalam setiap event yang diselenggarakan oleh INFID baik konferensi thematic, workshop, training ataupun rapat-rapat reguler dan ad-hoc. Saya ikut workshop soal BIMP-EAGA (semacam regionalisasi ekonomi kawasan ASEAN jauh sebelum ada ASEAN Economic Community) Labour and APEC dan training Maksimalisasi Internet untuk Demokrasi dan HAM yang difasilitasi oleh Asian for Progressive Comunication.
Dalam event-event ini, Bang As selalu memaksa saya untuk berpendapat dalam perspektif advokasi buruh migran. Selorohnya kadang nylekit tapi sebenarnya adalah pecut pemacu. Ini contohnya: “Wahyu, kau di acara ini jangan hanya mendengar dan pindah makan dan tidur. Berpendapatlah”. Seloroh ini tak hanya untuk saya, tapi juga untuk yang lain.
Begitulah Bang As, dengan caranya yang khas, selalu mendorong anak-anak muda bersuara dan bergerak. Bang As, semoga damai di surga di Rumah Bapa. Amin.
Asmara Nababan: Sebuah Testimoni
Oleh: Sugeng Bahagijo
Menurut saya, Asmara Nababan adalah organisator sekaligus perajut solidaritas (solidarity maker). Peran dan kontribusinya di berbagai lembaga termasuk di JKLPK, INFID, ELSAM, Komnas HAM, Demos dan sebagainya menjadi bukti bahwa demokrasi dapat memperkuat kebebasan dan kesetaraan, dan dengan cara itu, Indonesia akan terus bertahan dan makin kuat dan inklusif. Lebih dari itu ia adalah teladan yang welas asih yang memajukan dan melindungi kebaikan dan martabat bagi semua warga Indonesia
Saya sangat beruntung bekerja di bawah Asmara dan menyerap pandangannya tentang Indonesia masa lalu dan Indonesia masa depan. Saya melihat sendiri hal itu secara langsung ketika Asmara menjadi direktur INFID 1997-2000.
Selang beberapa tahun kemudian, 8 tahun lebih, saya bertemu kembali dengan Asmara, ketika saya bekerja sebagai direktur pelaksana di Sekolah Demokrasi-Komunitas Indonesia untuk Demokras (KID), di mana Asmara menjadi salah satu pengurusnya (2010-2011).
Orangnya tinggi besar untuk ukuran rata-rata orang Indonesia, dengan wajah simpatik, good looking dan suara yang berat-nyaring. Tetapi cara berpakaiannya bersahaja. Dia nyaris tidak pernah memakai sepatu, dan hanya memakai sepatu sandal yang terbuat dari bahan kulit.
Sehari hari kami memanggilnya dengan “Bang As”. Kami adalah adik-adiknya, sekaligus anggota tim kerjanya. Cara berpakaian sederhana dan rapi. Jarang sekali atau hampir tidak pernah saya melihat dia memakai jas. Dalam acara-acara tertentu kadang dia memakai kemeja batik.
Kadang-kadang saya melihat Asmara meminum jamu yang disiapkan istrinya. Setiap ulang tahun dia membawa nasi tumpeng ke kantor dan kami merayakannya bersama dengan makan siang nasi tumpeng tersebut.
Seingat saya, di INFID, setiap hari Asmara selalu datang ke kantor tepat waktu, dan pulang juga tepat waktu, terkecuali bila ada pekerjaan yang harus dituntaskan. Hampir setiap makan siang, staf INFID selalu duduk bersama di teras belakang kantor di Mampang. Yang menarik, saya melihat Asmara selalu memesan menu yang sama dari hari ke hari, yaitu gado-gado.
Pada jaman itu belum ada FB, Twitter ataupun IG. Yang sudah mulai ada adalah email. Kami di INFID sudah mulai mempelajari dan menggunakan email dan internet. Jaman itu, sistem operasi internet masih banyak yang memakai DOS. Yang menarik, Asmara masih mengetik dengan DOS, dan sambil belajar menggunakan Windows. Di kemudian hari, saya melihat Asmara sudah terbiasa menggunakan windows dan laptop.
Ketika kantor kurang bersih karena masih ada bau, bisa dipastikan Asmara akan langsung menegur OB yang bertugas membersihkan kamar mandi dan toilet. “Wagimin, ini kantor ya jadi harus bersih dan tidak boleh ada bau tidak sedap.”
Sebagai seorang guru dan mentor, Asmara murah waktu dan murah hati membagi ilmu dan ketrampilan kepada kami yang masih muda-muda dan sedang berada dalam tahapan belajar. Misalnya, sebuah surat resmi yang saya susun oleh saya akan diperiksa dengan seksama dan diajaknya kemudian kami diskusi untuk membuat susunan kata dan kalimat yang baik dan efektif
Perbaikan bahasa yang dianjurkan Asmara adalah susunan bahasa Indonesia yang baku, langsung pada pokoknya, tidak berputar-putar. Kata dan kalimat harus efektif. Maklum, Asmara sebelumnya pernah bekerja di majalah anak-anak. Dengan demikian alur logika dalam bahasa Asmara harus sederhana dan mudah dipahami
Meski jarak usia terpaut jauh dengan kami para staf, Asmara selalu bersikap biasa dan egaliter, bukan model pimpinan yang bossy. Setiap kami dipanggil, yang terjadi adalah diskusi tentang tema atau peristiwa tertentu, bukanya hanya memberi perintah.
Ketika memimpin rapat staf, gaya Asmara kepada kami adalah dialog dua arah. Dia akan bertanya jika cara penyampaiannya berbelit-belit dan ruwet, atau jika itu terlalu abstrak melayang. Bila memberikan arahan tindak lanjut, semuanya jelas dan mudah dipahami: actionable. Kelihatan sekali ia adalah seorang pemimpin berpengalaman.
Melekat di benak saya, Asmara dalam menjalankan kantor ibarat tim kerja bersama, atau satuan tugas bersama, ketimbang pemimpin birokrasi yang bertingkat dengan atasan dan bawahan dan jarak di antaranya – model hirarkis dan komando. Di kemudian hari saya baru paham, bahwa hal tersebut adalah model kerja matriks, di mana seorang direktur atau pimpinan ikut terjun langsung. Bukan hanya menunggu dan meminta anak buah membereskannya.
***
Pada 1996, dua tahun sebelum Soeharto lengser, INFID sempat mengadakan pertemuan besar berupa konferensi di Canberra, Australia. Tema konferensi adalah Tanah dan Pembangunan. Pesertanya ratusan orang dari seluruh dunia, para pimpinan LSM Indonesia dan jaringan LSM internasional yang konsern dan bekerja untuk Indonesia.
Pada 1998, INFID juga mengadakan konferensi di Bonn, Jerman, dengan tema Demokratisasi dan Globalisasi. Pertemuan di Eropa ini juga dihadiri ratusan peserta dari Indonesia dan internasional.
Konferensi INFID biasanya dirumuskan dalam bahasa kebijakan dan dalam bentuk memo kebijakan dengan data dan fakta yang kuat. Memo itu menampilkan kritik kepada pendekatan pemerintah Orde Baru, termasuk soal pelanggaran atas hak tanah dan hak asasi manusia. Intinya, pendekatan Orde Baru desifit dalam hal partisipasi warga dan hak asasi manusia.
Dalam proses dan acara-acara tersebut, kelihatan sekali INFID memiliki convening power, kemampuan dan daya sosial untuk bisa merajut solidaritas antar-bangsa untuk Indonesia. Upaya ini terus dibuat untuk memperbaiki Indonesia, meski di bawah masa pemerintahan otoriter.
Kemampuan dan kepercayaan lintas lembaga itu dapat dicapai antara lain karena peran Asmara yang dinilai mitra kerja internasional dan nasional sebagai figur yang dapat dipercaya. Bukan untuk dirinya sendiri dan bukan sedang dalam mencari posisi dan jabatan.
Tambahan pula, kemampuan itu juga berkat kemampuan Asmara sebagai aktivis. Persuasi, daya komunikasi dan sikapnya terbuka dan mudah diajak bicara menjadi salah satu sebabnya. Dalam berbagai obrolan informal di selaesela coffee break dan makan siang, kadang saya melihat Asmara sedang berdebat dengan petinggi LSM Internasional.
Pada periode 1996-1998 dan sesudahnya, di kantor INFID sering saya saksikan petinggi LSM berkumpul dan melakukan pertemuan. Mereka antara lain adalah para tokoh Indonesia terkemuka seperti Gaffar Rahman (pernah menjadi Sekjen PBNU), Abdul Hakim G Nusantara (YLBHI), Kartjono (Bina Desa), Zoemrotin dan Tini Hadad (YLKI), MS Zulkarnaen dan Emmy Hafild (Walhi), Wilarsa dan Fauzi Abdullah (Remdec) dan sebagainya yang saya tidak ingat satu persatu.
Dalam kesempatan rapat-rapat lintas LSM di kantor INFID, sudah biasa kalau para petinggi LSM memiliki ego yang tinggi. Mereka hanya mau berbicara dan kurang mendengarkan dan atau tidak sedia memberikan kesempatan lain berbicara. Sebaliknya, Asmara adalah tipe pendengar yang baik, memberikan kesempatan peserta lain bicara dan lebih cenderung meminta klarifikasi ide mereka ketimbang mendebatnya. Setelah itu, baru Asmara akan menyampaikan pandangannya. Akan tetapi jika Asmara kurang paham tentang maksud dan tujuan yang disampaikan, dia akan bertanya dan berusaha memahami. Jadi bukan karena masalah suka atau kurang setuju.
Saat di Komnas HAM, Asmara menginisiasi Skenario Indonesia Masa Depan yang berupaya menunjukkan pilihan-pilihan masa depan Indonesia. Metode ini bukanlah advokasi ideologi, tetapi menampilkan proyeksi dan gambaran masa depan yang ditarik dari beragam pandangan dan pemikiran tokoh, kelompok dan pemangku kepentingan. Hal ini bertujuan untuk memperluas dukungan semua pihak, lintas lembaga dan lintas profesi untuk reformasi Indonesia yang lebih baik.
Selanjutnya Asmara memimpin Demos, sebuah lembaga yang mengerjakan penelitian selama 3-4 tahun. Penelitian yang dibuat Demos terkait kinerja dan kualitas demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi 1998. Hasil penelitian Demos mengajukan sejumlah penilaian kritis, dan menilai sejauh mana perkembangan dan capaian demokrasi Indonesia. Temuan Demos itu menyentak banyak kalangan, termasuk para tokoh partai politik dan para anggota DPR.
Itu semua memperlihatkan bakat dan kemampuan alamiah AN sebagai organisator dan perajut solidaritas.
***
Lebih dari organisator dan perajut solidaritas, dimata saya, Asmara adalah wujud keIndonesiaan. Ia adalah contoh ideal manusia Indonesia yang memajukan kebhinekaan, dan teladan nyata yang telah berjuang lahir batin untuk tujuan tersebut.
Saya yakin, banyak hal baik telah mengalir dari Asmara kepada mereka yang bekerja bersama dia, termasuk saya sendiri. Kepribadiannya, kebaikannya kepada kami, anak muda, yang dilatih dan dibimbingnya
Sikap egaliter yang ditunjukkan Asmara merupakan hal konkret yang dijalankannya dengan biasa dalam kehidupan sehari hari. Sikap egaliter atau anti-feodalisme itu tampak antara lain pada konsistensi Asmara yang tidak pernah memasang gelar “SH”nya di semua surat dan tulisan tulisannya.,
Lebih dari itu, simpati Asmara kepada para korban kejahatan hak asasi manusia adalah teladan mulia menjadi manusia Indonesia dan merupakan warisan hidup tidak bernilai. Suatu hari Asmara pernah bercerita bagaimana sedihnya dia ketika di Komnas HAM ia harus menerima pengaduan warga Bali yang meminta Komnas HAM agar dapat membantu memperoleh informasi terkait Peristiwa 1965. Warga Bali itu ingin tahu di mana tempat kuburan anggota untuk sekadar bisa menyelenggarakan upacara adat.
Saya merasakan selama bekerja di INFID, Asmara adalah orang yang bekerja dengan hati, iman sosial dan komitmen sosial – doing good for others. Pertama-tama karena dia ingin berbuat baik bagi sesama dan martabat semua warga Indonesia, dan bukan karena mencari gaji.
Di Indonesia jaman now, telah tumbuh beragam LSM baru dan memerankan diri sebagai spesialis pada bidang/tema tertentu. Hal ini berbeda dengan Asmara yang adalah generalis dan tidak pernah memerankan diri dan merumuskan diri sebagai spesialis tertentu, atau beranggapan spesialisasi itu lebih utama dan penting ketimbang lainnya. Sekali lagi, Asmara lebih melihat dirinya dan LSM sebagai cara dan wujud doing good for others.
Cara Asmara melihat LSM lain di luar INFID sungguh menarik. Asmara jarang menilai LSM lain sebagai kurang penting atau tidak penting, tetapi lebih melihat seberapa jauh mereka sudah bekerja sungguh-sungguh dalam bidangnya dan kontribusi. Asmara akan sangat konsern jika manajemen lembaga yang dipimpinnya buruk.
Secara pribadi, saya merasa berutang budi kepada Asmara, kepada Bang As, yang telah membuka kesempatan saya untuk belajar darinya dan INFID di jaman itu. Saya juga bangga telah berkesempatan dibimbing dan menjadi anggota tim Asmara. Hingga kini, lebih dari 10 tahun sejak terakhir bertemu Asmara, saya terus berusaha mengikuti keteladanannya untuk melanjutkan doing good for others, meneruskan lembaga yang pernah dipimpinnya, INFID, dengan banjirnya sosial media dan internet, di mana mesin algoritma berperan menjadi convening power.
Kiprah Asmara Nababan Dalam Penerbitan Majalah Anak
Oleh: Pardamean Ronitua Harahap
Saya menyapa Asmara Nababan dengan Bung As. Selama dua puluh tahun, sejak 1970 hingga 1990, ia mengurus penerbitan majalah sastra untuk anak-anak. Bung As mencurahkan banyak waktu dan pemikirannya sehari-hari di sana. Majalah itu bernama Kawanku. Isi utamanya cerita sastra yang ditujukan untuk anak-anak.
Barulah setelah tidak lagi mengelola Majalah Kawanku, ia berkiprah di bidang lain. Kiprah selepas dari Majalah Kawanku dijalaninya selama 17 tahun berikutnya hingga wafatnya pada 2007.
Di antara kurun waktu itu, ada sekitar dua tahun sejak 1983 hingga 1985, Bung As bermukim di Siborong-borong, Sumatera Utara. Akan tetapi dari kota kecil itu ia juga terlibat menangani majalah Kawanku. Komunikasi dilakukannya melalui telepon dan surat.
Kiprah pengurusan majalah Kawanku ini bermula ketika Bung As berusia 24 tahun (lahir 1946). Bersama sastrawan kondang Toha Mohtar, pelukis dan sastrawan Fadli Rasjid, sastrawan Julius R. Sijaranamual serta pengarang cerita anak-anak dan guru Trim Sutidja bersepakat menerbitkan suatu majalah yang mereka kelola sendiri secara bersama-sama.
Pak Toha (Toha Mohtar) pada saat itu berusia 44 tahun. Beliau lahir pada 1926 dan wafat pada 1992. Pak Fadli Rasjid berusia 33 tahun. Beliau lahir pada 7 Juli 1937, wafat pada 2009. Bung Julius (Julius R. Sijaranamual) berusia 26 tahun. Beliau lahir pada 1944, wafat pada 2005. Pak Trim (Trim Sutidja) berusia 32 tahun. Beliau lahir pada 1938. Saya tidak memiliki data tahun wafatnya.
Sasaran pembaca yang dituju majalah Kawanku adalah anak-anak berusia Sekolah Dasar mulai dari sekitar kelas III hingga Sekolah Menengah Pertama Kelas I. Majalah ini pertama kali terbit pada 5 Agustus 1970. Mottonya: “Untuk meningkatkan akal budi dan pengembangan daya kreasi”. Moto itu selalu dicantumkan di setiap nomor penerbitannya
Dalam penerbitan majalah Kawanku ini Bung As mengurus manajemen umum majalah. Juga termasuk dalam cakupan tugasnya masalah keuangan dan permodalan. Terhadap masalah isi majalah dan keredaksian ia tidak turut menangani. Yang dilakukannya hanya sebatas memberi usulan kepada sidang redaksi.
Selama lebih dari tiga tahun saya menyaksikan dari dekat bagaimana Bung As berkiprah di majalah ini. Saya bekerja sebagai Pemimpin Usaha majalah Kawanku dari 1987 hingga 1990.
Saya diajak untuk ikut mengelola majalah Kawanku oleh dua orang senior dan guru saya. Mereka adalah Bung As sebagai pemimpin umum dan Bung Julius sebagai pemimpin redaksi.
Majalah Kawanku merupakan salah satu almamater saya. Di majalah inilah selain juga di majalah anak-anak lainnya, yakni Si Kuntjung, Nuri (Medan), Putra Jaya (Medan) dan lembar cerita anak harian Kompas, di awal tahun-tahun 1970-an saya belajar menulis di ujung usia kanak-kanak menjelang remaja.
Kesungguhan Asmara Mencintai Kawanku
Di tahun ke-20 Majalah Kawanku menghadapi keadaan yang sangat sulit. Kami bertiga yakni Bung As, Bung Julius dan saya di suatu hari di tahun 1990 mengadakan rapat khusus. Dalam rapat itu kami membicarakan kemerosotan penjualan majalah Kawanku. Jumlah eksemplar yang terjual dan tertagih setiap minggu sudah tidak mampu lagi menutupi biaya produksi dan biaya operasi. Artinya, setiap minggu kami menerbitkan majalah nomor baru menimbulkan ketekoran dan utang.
Hanya dengan kebaikan hati pemilik Percetakan Surya Prabha yang menghargai kerja sama selama hampir 20 tahun dalam mencetak majalah Kawanku, percetakan itu masih bersedia mencetak majalah Kawanku saban minggu walaupun utang cetak majalah Kawanku semakin meningkat. Juga dengan pengertian yang mendalam dari beberapa penulis dan ilustrator yang telah menjalin hubungan lama dengan majalah Kawanku maka pasokan naskah cerita dan ilustrasi masih dapat diperoleh walaupun pembayaran honorarium mereka seringkali tertunggak.
Keadaan itu sangat berat. Setelah lama membahasnya kami menemukan ada dua kemungkinan pilihan yang dapat kami coba. Pilihan pertama adalah menutup secepat mungkin penerbitan majalah Kawanku dan menyelesaikan utang. Pilihan kedua adalah melanjutkan penerbitan dengan melakukan peningkatan besar-besaran.
Pilihan menutup majalah tidak dapat kami lakukan begitu saja karena ada kewajiban-kewajiban yang masih harus kami selesaikan. Dan kami tidak memiliki dana untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban itu. Yang paling memungkinkan adalah menutup kegiatan kami menerbitkan majalah dan menjual hak kepemilikan majalah itu kepada pihak lain. Lalu dari hasil penjualan itu kami menyelesaikan kewajiban-kewajiban.
Pilihan menutup majalah Kawanku maksudnya ‘menjual’ kepemilikan majalah Kawanku. Yang masih berharga dijual hanyalah surat izin terbitnya, suatu hal yang pada masa rejim Orde Baru merupakan sesuatu yang agak ‘mahal’. Pada masa Orde Baru pembatasan penerbitan harian dan majalah sangat dibatasi oleh penguasa dengan berbagai instrumen, termasuk juga lewat lembaga surat izin terbit.
Dengan menjual kepada pemodal baru berarti kami menyerahkan sepenuhnya kepada pemilik baru. Pemilik baru bebas untuk menerbitkannya dengan bentuk bagaimanapun yang diinginkannya. Itu sama sekali hal yang tidak nyaman untuk kami lakukan. Sangat berat untuk melakukannya.
Tapi kami harus menyelesaikan persoalan besar yang sudah menggunung. Dari hasil ‘penjualan’ itu kami berharap dapat menyelesaikan pelunasan utang-utang majalah Kawanku. Termasuk juga untuk memberikan hak-hak karyawan dalam mengakhiri hubungan kerja.
Kami bertiga bersepakat untuk menawarkan pilihan ‘menjual’ ini pertama-tama kepada Grup Gramedia. Kata Bung As, “Kita perlu memilih pembeli yang baik hati.”
Pilihan ke dua juga membutuhkan modal. Untuk dapat menempuh pilihan kedua kami harus memperoleh pinjaman modal. Kami perlu mengajukan permohonan kredit ke bank. Tapi majalah Kawanku tidak memiliki aset yang dapat dijadikan agunan ke bank.
Bung As bersedia menawarkan untuk memakai rumah dan tanahnya untuk digunakan sebagai agunan. Kami mengingatkannya bahwa ada risiko skenario peningkatan majalah Kawanku tidak berjalan seperti yang kami bayangkan. Dan kalau risiko itu terjadi maka rumah dan tanah itu dapat disita bank. Bung As tidak keberatan. Ia menyatakan, bahwa yang penting adalah rencana peningkatan itu kami siapkan sebaik-baiknya dan kami optimis atas rencana itu.
Bung As tampak mantap dengan keputusannya untuk mempertaruhkan rumah yang di tempatinya bersama istri dan anak-anaknya selama ini. Itu demi mencoba membawa majalah Kawanku keluar dari kesulitan. Ia, setahu saya, sehari-hari hidup sederhana dan tidak memiliki harta berlimpah. Rumah itu adalah satu-satunya rumah yang dimilikinya.
Saya terharu melihat kesungguhan dan ketulusan Bung As. Sebenarnya ia tidak sedang menyelamatkan kepentingannya pribadi. Organ penerbit majalah Kawanku bukanlah perseroan terbatas yang dimiliki oleh dirinya. Organnya adalah yayasan. Apa yang dicoba untuk diselamatkan Bung As dengan mempertaruhkan rumahnya? Yang ingin diselamatkannya adalah kelangsungan hidup majalah sastra anak-anak dan kelangsungan kerja para karyawan.
Ia sungguh-sungguh mencintai majalah Kawanku dan sastra anak-anak. Baginya majalah Kawanku sudah seperti merupakan anak kandungnya. Ia menyebut majalah ini adalah anak sulungnya.
Kami bersepakat mulai menjalankan langkah-langkah atas kedua kemungkinan pilihan secara sekaligus. Nanti mana langkah yang duluan nyata terwujud maka itulah pilihan yang akan dilanjutkan.
Bung Julius dan saya menemui pendiri majalah Kawanku lainnya, yang juga pengurus Yayasan Kawanku, Pak Toha (Toha Mohtar) di rumahnya. Pak Toha sebelumnya sudah mengetahui kesulitan yang dihadapi. Ia menyetujui kedua pilihan langkah itu.
Kami berbagi tugas. Bung Julius bersama saya mengurus langkah-langkah menjual kepemilikan majalah Kawanku ke Grup Gramedia. Bung As bersama saya mengurus langkah-langkah mendapatkan fasilitas kredit bank ke Bank Tamara.
Kami menemui Arswendo Atmowiloto yang ketika itu memimpin Divisi Penerbitan Majalah Gramedia. Kami ungkapkan secara terbuka keinginan kami dan alasan sesungguhnya di balik itu. Kami mengenal baik Mas Wendo (Arswendo Atmowiloto). Mas Wendo di masa lalu juga sering ikut mengisi majalah Kawanku sebagai pengarang.
Percakapan dengan Mas Wendo dapat langsung menyentuh pokok persoalan dan secara terang-terangan. Mas Wendo menjelaskan bahwa seandainya ‘dibeli’ oleh Gramedia maka tidak mungkin Gramedia mempertahankan majalah Kawanku sebagai majalah anak-anak karena Gramedia telah memiliki majalah anak-anak yakni Majalah Bobo dan beberapa majalah lain. Nanti majalah Kawanku akan dijadikan menjadi majalah hiburan remaja putri. Itu artinya riwayat Kawanku sebagai majalah sastra anak-anak akan tamat.
Ketika Mas Wendo menanyakan, “berapa harga yang kalian minta?” Bung Julius menyampaikan jawaban yang sudah kami rancang bersama sebelumnya bersama Bung As, “Sebagai sahabat tolonglah kamu tawarkan harga yang terbaik yang bisa dibayarkan Gramedia untuk kami.” Mas Wendo minta waktu beberapa hari.
Beberapa hari kemudian, Mas Wendo mengabari kami tentang kondisi yang ditawarkannya. Kami menilai kondisi itu sangat baik. Tawaran harga dari Gramedia itu akan memungkinkan kami menyelesaikan utang dan kewajiban lainnya. Gramedia juga bersedia tetap mempekerjakan sebagian karyawan majalah Kawanku yang mereka butuhkan.
Tapi bersamaan dengan itu kami juga mendapat kabar dari Bank Tamara. Permohonan kredit yang kami ajukan disetujui dengan agunan rumah dan tanah Bung As. Kredit yang dimaksud adalah Kredit Investasi Kecil (KIK). Kredit itu disediakan bank untuk penambahan modal dalam rangka rehabilitasi usaha, perluasan usaha atau membangun usaha baru. Itu kredit berjangka panjang dengan bunga lunak. KIK merupakan program pemerintah dalam pemberian kredit likuiditas lewat Bank Indonesia. Penyalurannya dilakukan melalui bank-bank umum.
Kami dihadapkan pada dua pilihan. Tidak gampang memutuskannya. Beberapa hari kami memikirkannya.
Setelah menimbang plus dan minus masing-masing pilihan itu akhirnya kami memutuskan untuk memilih tawaran Gramedia. Kami tidak menempuh risiko mencoba melanjutkan penerbitan majalah Kawanku dengan pinjaman bank.
Untuk memenuhi persyaratan formal peraturan perundang-undangan pada masa itu nama Bung As dan Bung Julius tetap harus dicantumkan. Mereka sama sekali sudah tidak terlibat lagi dalam pengelolaan maupun kepemilikan yang majalah baru.
Ada rasa berat bagi kami bertiga untuk berpisah dari majalah Kawanku. Sedih rasanya harus mengakhiri riwayat sebuah majalah sastra anak-anak yang telah berumur 20 tahun. Apalagi bagi Bung As, Bung Julius dan juga Pak Toha yang melahirkan majalah sastra anak-anak ini. Tapi itu adalah kenyataan yang harus diterima.
Apa Dan Mengapa Sastra Anak-Anak
Untuk dapat melihat makna seberapa penting kiprah Bung As, Pak Toha, Pak Fadli Rasjid, Bung Julius dan Pak Trim (Trim Sutidja) itu marilah kita juga membicarakan sastra anak-anak.
Saya bersyukur pernah bekerja bersama-sama Bung As dan Bung Julius mengelola majalah Kawanku. Sebelumnya saya telah mengenal Bung As dan Bung Julius ketika saya beberapa kali mampir di sanggar yang ketika itu mereka asuh di sela-sela kegiatannya di majalah Kawanku, yakni Sanggar Yakoma (Yayasan Komunikasi Massa) PGI di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Pada tahun-tahun itu saya juga beberapa kali mengunjungi Pak Toha di rumahnya (kebetulan pada masa itu rumah saya relatif dekat jaraknya dengan rumah Pak Toha) untuk mengobrol.
Saya pernah bekerja sekantor dengan Pak Trim sebagai sesama redaksi di penerbit Pustaka Sinar Harapan.
Semua kesempatan itu memungkinkan saya mendengar visi mereka. Apa yang dipikirkan para pendiri majalah Kawanku itu, termasuk Bung As, ketika mendirikan majalah Kawanku? Visinya adalah untuk ikut menghadirkan sastra anak-anak di Indonesia bersama majalah sejenis dan buku-buku yang telah terbit.
Tentang apa itu sastra anak-anak dan mengapa sastra anak-anak itu penting tak pernah saya bicarakan dengan Bung As, Bung Julius, Pak Toha maupun Pak Trim. Kami sama-sama menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah terang benderang.
Untuk menjelaskan kepada pembaca buku ini apa dan mengapa sastra anak-anak, agar memudahkan memahami seberapa penting langkah yang dilakukan Bung As dan kawan-kawan itu, saya ingin menyajikan pikiran seorang penulis cerita anak-anak dan pengamat sastra anak-anak Mulauli Harahap.
Sastra anak-anak telah menjadi kajian dan studi di fakultas-fakultas ilmu pendidikan, sastra, ilmu perpustakaan dan psikologi di berbagai negara. Menyadari pentingnya sastra anak-anak, di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropa Barat, banyak buku ditulis membahas sastra anak-anak.
Menurut Mulauli Harahap, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak sastra adalah sekaligus sarana pembelajaran, reflektor dan pembebasan. Hidup manusia adalah proses belajar terus-menerus tentang berbagai hal termasuk, misalnya, tentang “…membedakan mana yang baik dan tidak baik, memahami arti kesetiaan, menghargai kejujuran atau memahami kehadiran dan kekuasaan Tuhan.” Ada hal-hal yang tidak bisa, tidak memungkinkan dan atau tidak cukup dipelajari hanya dengan melihat contoh yang diperagakan guru, membaca manual, mendengar ajaran instruktur, membaca kita suci dan bahkan dengan menjalani kehidupan itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan rasa dan nilai.
“Untuk memahami penderitaan seorang wanita korban perkosaan, tidaklah mungkin kalau kita juga harus mengalami perkosaan itu. Untuk memahami kedalaman persahabatan di bawah ancaman perpisahan maut yang dialami dua prajurit muda di bawah bombardemen meriam, tentulah tidak mungkin kalau kita juga harus ikut di sana. Tapi beruntunglah kita karena peradaban telah menemukan sebuah wahana yang memungkinkan kita masuk, merasakan dan belajar dari kehidupan tanpa harus menanggung berbagai risiko biaya dan bahaya. Wahana itulah yang kita sebut sastra. Di dalam bentuk cerita dan pilihan kata-kata yang kreatif, berbagai pengalaman hidup ini disublimasi sedemikian rupa oleh pengarang sehingga kita boleh mencicipinya. Kita membaca sastra seperti seekor anak burung yang menikmati makanan yang keluar dari tembolok induknya. Sastra adalah hasil cernaan dan sublimasi kehidupan,” ungkap Mulauli Harahap di dalam tulisannya.
Hal penting lainnya yang kita butuhkan di dalam kehidupan, masih menurut Mulauli Harahap, adalah teman. “Ada hal-hal yang sukar untuk kita rumuskan dan ungkapkan, tapi kalau hal-hal tersebut hanya tersimpan di dalam hati, maka ia acapkali menjadi gangguan dan membuat kita gelisah. Tapi dengan kehadiran seorang teman di sisi kita – walaupun hanya sekedar saling memandang – kegelisahan acapkali bisa terbagi. Kesepian, kerinduan, cinta, kematian, atau ketakutan adalah beberapa dari hal tersebut di atas. Kadang-kadang untuk mengenali hal yang sedang bergejolak itu pun kita tak mampu. Tapi sering kali, setelah membaca sebuah karya sastra, kita merasa dibantu untuk merumuskan dan mengungkapkannya.”
Begitulah, ungkap Mulauli Harahap, sastra menjadi teman bagi orang, termasuk anak-anak, dalam merefleksikan hidup (sebagai reflektor) dan sebagai sarana pembebasan.
Lebih jauh Mulauli Harahap menyatakan bahwa anak-anak juga memiliki keinginan untuk mempelajari berbagai kebijaksanaan hidup. Dan anak-anak juga memiliki ketakutan, kerinduan, kesepian atau kegelisahannya sendiri, yang sering kali tak mampu dirumuskan dan diungkapkannya. “Tentu saja, dilihat dari kacamata orang dewasa, apa yang dirasakan dan dialami oleh anak-anak terkesan sepele dan mengada-ada. Tapi, sesuai dengan takaran jiwa anak-anak itu, maka intensitas ketakutan, kerinduan atau kesepian yang dialaminya sama saja dengan yang dialami oleh orang dewasa. Anak-anak memiliki pergumulannya sendiri; yang tak kalah hebatnya dengan orang dewasa.”
Pernah Mengalami Jaman Keemasan
Ketika majalah Kawanku diterbitkan pada 1970 telah ada majalah sastra anak-anak yang cukup besar. Majalah itu adalah majalah Si Kuncung. Juga ada beberapa majalah lain dengan jumlah peredaran yang jauh lebih kecil.
Majalah Si Kuncung diterbitkan oleh Penerbit Indra Press yang didirikan oleh Sudjati SA pada tahun 1956, mantan wartawan Asia Raya, yang juga ikut mendirikan majalah Siasat dan harian Pedoman. Keredaksian majalah Si Kuncung kemudian dipimpin Soekanto SA pengarang yang cerita pendeknya telah diterbitkan menjadi beberapa buku antara lain “Bulan Merah” (1958). Kemudian Soekanto SA beralih menjadi penulis sastra anak-anak. Sebagian pengarang yang kemudian ikut mengisi majalah Kawanku adalah para pengarang yang juga mengisi majalah Si Kuncung.
Walaupun begitu jumlah peredaran majalah dan buku sastra anak-anak Indonesia masih dapat dikatakan jauh dari cukup.
Pada tahun-tahun awal 1970-an itu juga beberapa surat kabar memuat rubrik cerita anak-anak sekali seminggu, termasuk juga surat kabar bertiras besar seperti Kompas dan Sinar Harapan. Dan pada masa yang hampir bersamaan berdiri pula Pustaka Jaya penerbit buku-buku sastra bermutu yang juga gencar menerbitkan buku sastra anak-anak yang dipimpin oleh Ajip Rosidi. Majalah Kawanku rasanya dilahirkan pada saat yang tepat. Masa itu sastra anak-anak mendapat tempat yang bagus di hati masyarakat Indonesia.
Bung As dipilih oleh sesama pendiri menjadi pemimpin umum majalah Kawanku dan Pak Toha menjadi pemimpin redaksi.
Pada masa itu Pak Toha telah dikenal sebagai sastrawan besar Indonesia. Buku-bukunya yang telah terbit sebelum 1970 adalah Pulang (1958) yang mendapat Hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Daerah Tak Bertuan (1963) yang meraih Hadiah Sastra Yamin, Kabut Rendah dan Bukan Karena Kau.
Bung As walaupun bukan pengarang, namun minatnya terhadap sastra dan seni lainnya sangat tinggi. Ia juga mencintai seni teater dan seni lukis.
Di masa awal kehidupannya. Pak Toha dan seluruh redaksi majalah Kawanku berkantor di Gedung Percetakan Surya Prabha, Jalan Asemka, Jakarta Pusat. Bung As dan seluruh personel bidang usaha dan komersial berkantor di Gang Sumbangsih, Jalan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Redaksi terdiri dari antara lain Bung Julius. Ia sastrawan yang memiliki karya novel dan cerita pendek di beberapa majalah dan surat kabar. Buku novelnya Tuhan Jatuh Hati diterbitkan pada 1971.
Redaksi lainnya adalah Pak Trim. Ia terkenal antara lain berkat cerita anak-anaknya di majalah Si Kuncung. Termasuk di dalamnya novel sastra anak-anak Penunggu Hutan Jati yang dimuat sebagai cerita bersambung oleh majalah Si Kuncung. Pak Trim juga sudah dikenal sebagai penulis sastra Jawa.
Juga turut menjadi redaksi sejak awal adalah seniman multi-talenta Pak Fadli Rasjid. Sebelumnya Pak Fadli Rasjid yang bergabung di Sanggar Bambu Yogyakarta. Kemudian pindah ke Jakarta ketika menjadi bagian redaksi majalah Kawanku.
Para redaksi majalah Kawanku juga turut menulis karangan untuk dimuat di majalah yang mereka asuh. Para pengarang sastra anak-anak lainnya yang aktif mengisi majalah Kawanku di tahun-tahun awal antara lain Riyono Pratikto, Poppy S. Donggo, Rijani Sriwdodo, K. Usman, M. Sobari, Arswendo Atmowiloto, Satmowi Atmowiloto, HB Supiyo, Mulauli Harahap dan lainnya.
Pak Toha rajin membujuk para sastrawan untuk mau menulis sastra anak-anak. Ia mengatakan, “Penulis disebut penulis kalau juga menulis untuk anak-anak. Pelukis disebut pelukis kalau juga melukis untuk anak-anak.”
Ilustrasi untuk majalah Kawanku diisi dengan karya para pelukis kawakan termasuk di antaranya Ipe Ma’roef.
Majalah Kawanku dari tahun ke tahun mengalami peningkatan penjualan. Pucak perkembangan dicapai di tahun-tahun pertengahan dasawarsa 1970-an dengan tiras tertinggi per edisi sekitar 80.000 (delapan puluh ribu) eksemplar. Tiras ini memungkinkan majalah Kawanku memberikan kesejahteraan yang relatif baik bagi para pekerjanya. Saya mendengar kesaksian dari para karyawan yang mengalami masa itu bahwa mereka mendapat bantuan dari Yayasan Kawanku untuk memiliki rumah. Itulah masa keemasan majalah Kawanku.
Hubungan dengan para penulis, sepanjang yang pernah saya alami ketika saya sesekali juga mengarang untuk majalah Kawanku di tahun-tahun 1970-an itu, dijalin oleh para pengasuh dengan baik. Ketika itu saya belum bermukim di Jakarta. Terhadap tulisan yang saya kirimkan, saya biasanya cepat mendapat jawaban melalui pos kapan (dalam edisi nomor berapa) tulisan itu akan dimuat. Dan pada saat tulisan itu dimuat, saya selalu dikirimi nomor bukti penerbitan. Honorarium akan datang beberapa hari setelah tanggal pemuatan melalui pos wesel dengan jumlah yang menggembirakan.
Beberapa kali ketika saya berlibur ke Jakarta, sebagai anak yang baru memasuki awal usia remaja, jika saya mampir ke kantor redaksi majalah Kawanku, para redaksi terutama Pak Toha, Pak Trim dan Bung Julius bersedia menerima dengan ramah untuk bercakap-cakap. Bahkan beberapa kali Pak Toha dengan ramah menerima kedatangan saya ke rumahnya (ketika itu di daerah Cawang, Jakarta Timur) malam-malam tanpa harus membuat janji lebih dulu, biasanya untuk sama-sama mendengar siaran pandangan mata pertandingan sepakbola melalui radio.
Selain karena kualitas sastra anak-anak dan ilustrasi yang disajikannya, peningkatan tiras majalah Kawanku juga ditunjang oleh suatu rubrik yang menjadi rujukan sekolah yakni soal-soal ujian pelajaran sekolah yang diasuh oleh Pak Trim yang sebelumnya berprofesi sebagai guru. Bahkan kumpulan isi rubrik ini kemudian diterbitkan menjadi buku oleh Yayasan Kawanku dan sukses besar di pasaran.
Sukses pemasaran, keuangan dan aspek usaha lainnya Majalah Kawanku adalah juga turut ditentukan oleh andil Bung As yang menjalankan pengelolaan semua bidang itu dengan baik.
Sepanjang yang saya bersamanya, Bung As bekerja dengan tekun, setiap hari kerja dari pagi hingga menjelang malam. walaupun pada masa itu ia juga melakukan aktivitas-aktivitas lain namun waktunya kerjanya sehari-hari banyak tercurah di majalah Kawanku.
Bahkan ketika istrinya, Magdalena Sitorus, beberapa bulan menempuh pendidikan di Australia, Bung As tetap hadir di kantor seperti biasa sambil mengurusi sendiri anak-anaknya, tiga orang putri dan seorang putra, Juanita Miryam Hotmaida Nababan, Natasha Ruth Mariana Nababan, Aviva Selma Bulan Nababan, dan Yehonathan Uli Asi Nababan.
Sehari-hari ia adalah sosok yang jujur, sederhana, hemat dan efisien (tapi ringan untuk berbagi) serta selalu tampil dalam perilaku maupun perkataan apa adanya. Begitu pula yang terlihat dalam gaya kerjanya di majalah Kawanku. Bung As bisa marah kepada karyawan bila ia ditipu, akan tetapi ia dapat cepat memaafkan kesalahan orang yang mengaku secara berterus-terang. Ia memberi teladan bagaimana menggunakan sumber daya kantor dengan efisien, termasuk untuk urusan-urusan seperti penggunaan listrik, kertas dan lainnya. Hal lain yang menonjol dari perilaku kerjanya adalah komitmennya pada janji waktu (misalnya janji waktu bertemu, rapat dan sebagainya) serta keberaniannya menempuh risiko.
Tidak ada keputusan besar yang diambil oleh Bung As sendiri. Selalu dirundingkan dan dimintakannya persetujuan Bung Julius (pemimpin redaksi) dan saya (pemimpin usaha). Itu salah satu gaya manajemennya yang bagus.
Memasuki dasawarsa tahun 1980-an oplah majalah Kawanku terus-menerus mengalami penurunan hingga titik terendah hanya 5.000 eksemplar di akhir penerbitannya sebagai majalah sastra anak-anak pada 1990.
Tapi di dalam sejarah tentu pantas dicatat kiprah Bung As dan kawan-kawannya para pendiri majalah Kawanku dalam pengembangan sastra anak-anak di Indonesia.
Asmara Nababan, Sang Pelintas Batas dan Gerakan Oikoumene
Oleh: Gomar Gultom
Tidak terlalu banyak orang yang patut disebut “Manusia”. Manusia dengan huruf M besar, sangat berbeda dengan manusia pada umumnya. Manusia jenis ini adalah mereka yang sungguh-sungguh mengabdikan hidupnya bagi kemanusiaan, dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Manusia yang hidup kebangsaannya tidak hanya bagi bangsanya, tetapi bagi seluruh umat manusia, dari kebangsaan apa pun; manusia beragama yang tidak hidup untuk agamanya, tetapi bagi penganut maupun bagi yang tidak menganut agamanya, bahkan bagi yang tidak beragama sekali pun. Manusia jenis ini memaknai nasionalisme tidak dibatasi oleh sekat-sekat negara, dan memaknai keimanannya juga tidak dibatasi oleh dalil-dalil dan dogmatisme agama.
Asmara Nababan tentu saja ada di antara mereka yang sedikit itu. Bagi saya, yang mengikuti dari dekat perjalanan hidupnya, dia adalah sosok yang merefleksikan imannya, yang meyakini bahwa setiap manusia, apa pun suku dan agamanya, apa pun pilihan politik dan orientasi seksualnya, adalah Gambar Allah (imago Dei), dan oleh karenanya harus diperlakukan dengan penuh martabat; apa pun risikonya. Baginya, dalam diri setiap orang, terdapat kemuliaan ilahi sebagai pancaran dari Sang Khalik yang menciptakan dan yang memelihara alam semesta ini berikut manusia di dalamnya.
Yang cukup menarik dari diri Bang As ini, demikian biasa saya menyapa beliau, adalah kejujuran dan keterbukaannya dalam memperjuangkan kemanusiaan itu. Di tengah masyarakat majemuk Indonesia, dia menolak untuk menyembunyikan kesaksian imannya sebagai seorang kristiani. Bahwa dia berada bersama umat beragama lain, ya! Bahwa pendekatannya melintasi batas-batas keagamaan, ya! Bahwa dia berjuang dan mau bertaruh nyawa demi manusia, apa pun agamanya, ya! Tetapi dia tidak pernah mau menyembunyikan bahwa apa yang sedang diperjuangkannya adalah sebagai bagian dari imannya akan Yesus Kristus, yang datang ke bumi membawa kehidupan bagi manusia.
Namun pada saat yang sama, dia juga menolak untuk membatasi karya perjuangan imannya hanya lewat gereja atau lembaga-lembaga gerejani. Baginya, karya dan kehadiran iman Kristiani itu ada dalam berbagai lembaga, termasuk lembaga sekuler. Karya dan penebusan Kristus terlalu sempit kalau hanya dibatasi lewat lembaga yang bernama gereja. Baginya, karya dan penebusan Kristus melewati batas-batas agama, suku, ras dan golongan. Dia adalah seorang pelintas batas.
Ah, Bang As memang unik, dan hidupnya sungguh sangat berwarna. Dia memiliki keunikan, dengan kemampuan menjembatani berbagai pemikiran yang acap berseberangan. Dia mampu menjembatani pemikiran dan kepentingan yang berbeda antara para pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan keluarga para korban pelanggaran HAM; dia mampu menjembatani para aktivis yang garis keras dengan instansi militer; dia juga mampu menjembatani anasir-anasir rejim Orde Baru (Orba) dengan pejuang-pejuang reformasi. Dan semuanya itu dia lakukan tanpa kenal takut: entah karena risiko dijauhkan dari gerakan oleh teman-teman seperjuangan di satu sisi atau karena risiko keamanan di sisi lain.
Masih kental dalam ingatan saya, bagaimana awal penunjukannya sebagai Sekjen Komnas HAM, saat Komnas HAM pertama kali dibentuk oleh Presiden Soeharto. Beberapa teman aktivis HAM ketika itu mendesaknya untuk mundur dari posisi itu, karena teman-teman curiga, ini adalah caranya rejim Orba “menjinakkan” LSM dan para aktivis HAM, yang dimulai dengan Bang As. Beberapa teman bahkan menyebutkan penunjukan Bang As sebagai Sekjen Komnas HAM hanyalah sebagai “lipstik” pemanis untuk “layak jual” ke dunia internasional, yang sedang banyak menyorot berbagai pelanggaran HAM di Indonesia ketika itu.
Dalam percakapan bertiga dengan Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ketika itu, Bang As secara serius meminta pertimbangan. Saya ingat Bang As berkata, “Kalau Hakim minta saya mundur, saya mundur,” Tapi saya dan Hakim ketika itu mendorongnya untuk jalan terus, dicoba saja dulu dan nanti bila keadaannya tidak seperti kita harapkan, bisa mundur. Ketika itu, saya memandang Bang AS sangat serius dengan percakapan itu. Saya sudah mengenalnya sejak Bang As masih di majalah Kawanku dan terlebih ketika memimpin Yakoma PGI. Dan secara intens saya bersamanya membangun Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) di Siborongborong (kemudian hijrah ke Parapat karena tekanan Danrem 021/Kawal Samudera) dan sama-sama bergelut di Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK). Dan saya yakin, komitmennya untuk kemanusiaan, kemajemukan, demokrasi dan HAM tidak akan luntur, baik oleh tawaran fasilitas maupun oleh ancaman apa pun. Dan sejarah membuktikan, bagaimana kehadirannya sebagai Sekjen Komnas HAM telah menorehkan sejarah panjang bagi perjuangan penegakan HAM di Indonesia.
Dan, di tengah semua itu, dia hadir tetap dengan kesederhanaannya. Dia tidak berpretensi untuk menjadi seorang pahlawan. Dia hanya ingin tetap bersama para korban dan mereka yang cenderung dipinggirkan. Bahkan untuk memilih tempat kematian pun dia memilih di Guangzhou, Tiongkok, di tempat di mana persoalan HAM ketika itu sangat menjadi persoalan pelik, dan sedang menjadi sorotan dunia dengan tewasnya lebih dari 300 demonstran di Lapangan Tiananmen akibat gilasan tank oleh otoritas Tiongkok di bawah pimpinan Deng Xiaoping, Juni 1989 lalu (berbagai media memprediksi bahkan melebihi 1.000 orang tewas).
Selain kiprah Bang As yang begitu besar dalam upaya penegakan HAM di Indonesia, peran dan keterlibatan beliau dalam gerakan oikoumene di Indonesia juga sangat besar. Sebagaimana saya sebutkan di atas, Bang As pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Komunikasi Massa -Yakoma DGI (sekarang Pelayanan Komunikasi Masyarakat – Yakoma PGI) periode 1978-1984. Namun sebenarnya Bang As sudah bersentuhan dengan Yakoma sejak 1971, saat masih berbentuk Komisi Radio dan Audio Visual (Koravi) DGI. Ketika itu, teknologi informasi digital belum dikenal, dan Bang As dengan Yakoma nya sudah banyak bergelut dengan radio, film slide, mimbar televisi dll, sebagai bagian dari kesadaran akan pentingnya pewartaan kabar baik melalui berbagai media komunikasi.
Berbagai pergumulan gereja-gereja di Indonesia dimasyarakatkan lewat pendekatan Yakoma ini, dan untuk ini jasa Bang As sangat besar dalam mengupayakan berbagai bentuk produksi audio dan video untuk RRI dan TVRI dengan siaran Mimbar Agama Kristen secara berkala. Keterlibatan Bang As di Yakoma menjadikan Yakoma terangkat secara signifikan. Pada masa itu, di luar studio rekaman komersial, Jakarta hanya memiliki Yakoma dan Sanggar Prativi yang memiliki studi rekaman untuk audio dan visual. Dan itu berkat Bang AS.
Bagi Bang As, bermedia itu bukan soal hobi, tetapi bagian dari sebuah perjuangan, dan bahkan perlawanan terhadap kecenderungan informasi yang didominasi oleh penguasa ketika itu. Yakoma mengembangkan media-media alternatif lewat teater dan koran-koran rakyat yang berisi persoalan-persoalan yang selama itu tersembunyi. Pesan-pesan dalam rangka mewujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan jelas tersurat dan tersirat dalam produksi media yang dikelola oleh Yakoma kala itu.
Itu juga sebabnya, pelatihan penguatan kapasitas gereja dalam menulis, berteater dan memanfaatkan radio dilakukan dengan gencar saat itu. Gereja juga sudah disiapkan menerima kehadiran era industrialisasi yang akan berdampak terhadap perkembangan teknologi dan komunikasi lewat Konsultasi Nasional Gereja dan Komunikasi di mana kegiatan ini masih berlangsung setiap 3 tahun hingga sekarang. Dengan kata lain dapat dikatakan, lewat Yakoma ini, Bang As telah menyumbang besar bagi gerakan oikoumene dalam upaya mempersatukan gereja-gereja di Indonesia.
Ketika Bang As sudah tak lagi berkiprah di Yakoma, bukan berarti keterlibatannya dalam gerakan oikoumene di Indonesia berhenti. Bang As banyak terlibat dalam mempersiapkan berbagai bentuk studi dalam lingkungan Akademi Leimena, sebuah institusi kajian gereja dan masyarakat yang dibentuk oleh PGI. Demikian juga dengan sumbangan pemikirannya yang turut memperkaya penyelenggaraan Konferensi Gereja dan Masyarakat yang sesekali diikutinya.
Ketika Departemen Partisipasi dan Pembangunan PGI menyelenggarakan Konsultasi Nasional Diakonia, para peserta merekomendasikan dibentuknya satu forum yang bisa menghimpun semua lembaga pelayanan Kristen dan berbagai LSM yang terkait dengan gereja. Dan Bang As, bersama dengan beberapa tokoh lain, didaulat untuk mempersiapkan pembentukan forum itu. Dan setahun kemudian, dalam Konsultasi Nasional Diakonia berikutnya diresmikanlah forum tersebut dengan nama Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) dan Bang As ditunjuk menjadi Direktur Pelaksana dari JKLPK ini. Forum ini, pada masa kepengurusan Bang As, selain memotivasi, memfasilitasi, memobilisir gerakan gereja untuk pemberdayaan masyarakat, juga menjadi sarana bagi gereja-gereja memperjuangkan tegaknya HAM, dengan mengadvokasi berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM di daerah-daerah.
Melalui keterlibatan Bang As di JKLPK dan KSPPM, Bang As kemudian masuk ke jajaran pimpinan Inter-NGO Conference on IGGI Matters (INGI), yang berdiri pada 1985, bersama Gus Dur, Adnan Buyung Nasution, Dawam Rahardjo, dan lain-lain. Kini INGI berubah nama menjadi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Melalui INFID ini, Bang As juga senantiasa memotivasi gereja untuk ikut serta dalam upaya melakukan kajian, pemantauan dan advokasi kebijakan serta kampanye dan edukasi publik.
Bang As sudah menyelesaikan tugasnya. Seorang rekan berkata: “Banyak yang sudah dia luruskan dalam bangsa ini, dia bagaikan oase bagi para aktivis selama Orde Baru, inovator di masa reformasi….satu kata, satu perbuatan dalam perjuangan HAM…”
Dengan wafatnya Bang As pada 28 Oktober 2010 di Guangzhou, Tiongkok, dalam usia 64 tahun, serasa pukulan yang sangat berat dalam perjuangan kemanusiaan di Indonesia, ketika itu. Dia dipanggil setelah melalui perjuangan panjang, bagi tegaknya penghargaan akan kemanusiaan di negeri di mana dia dilahirkan dan dibesarkan, yang selama puluhan tahun terbelenggu oleh kurangnya penghargaan akan kemanusiaan. Saya katakan, pukulan berat karena saat itu kita kehilangan seorang pakar hak asasi manusia yang amat berarti, sementara persoalan penegakan HAM di negeri kita belum usai juga.
Semoga semangat juang Bang As tetap hidup dalam diri kita semua.
Bagian II
Isu dan Permasalahan yang Mendapat Perhatian Asmara
Hidup Dan Kebebasan Di Pusaran Demokrasi Dan HAM
(Refleksi 10 Tahun Kepergian Asmara Nababan)
Oleh: Josef Purnama Widyatmadja
Asmara Nababan bukan sosok asing bagi gerakan rakyat dan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Sejak 1986 saya telah kenal almarhum ketika saya bekerja sebagai Sekretaris Umum Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial ((YBKS) Surakarta dari tahun 1974-1999. Saya banyak berinteraksi dengan Asmara dalam organisasi International NGO Forum on Indonesia (INGI) yang sekarang bernama INFID (International Forum on Indonesia Development) dan JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen}, di mana almarhum pernah menjadi sekretaris eksekutif. Banyak keteladanan yang almarhum berikan kepada rekan-rekan tempat ia berkiprah.
Dalam tulisan ini saya menulis kenangan dan kesan saya tentang Asmara, diikuti sebuah refleksi sosial tentang tantangan demokrasi dan HAM di dunia.
Asmara bukan pengibar identitas dan simbol, tapi pelaku spiritualitas sebagai praksis iman. Sebagai seorang anggota gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Asmara lebih banyak berkiprah di luar tembok ketimbang tenggelam dengan kegiatan rutin dan ritual dalam gereja. Ucapannya sejuk dan gaya bicaranya santun. Asmara lebih mengutamakan praksis iman dan spiritualitas di latar daripada menonjolkan identitas dan simbol agamanya. Keterlibatannya di latar tidak mengurangi devosi kepercayaannya di depan altar.
Informasi yang saya terima dari keluarga, Asmara tidak banyak aktif dalam kegiatan tradisional gereja seperti menjadi pengurus atau aktif kegiatan internal gereja. Bagi Asmara, ibadah yang sejati bukan sekadar berdiri dan menaikkan doa serta pujian di depan altar, tapi menguraikan belenggu tali kemiskinan dan menegakkan keadilan di latar. Talenta dan waktunya lebih banyak dipakai dalam pelayanan di luar tembok gereja seperti komunikasi massa, kemanusiaan, kemasyarakatan dan keadilan.
Asmara bukan tipe orang untuk menjadi terang dan garam dalam gereja, tapi ia wujudkan imannya dengan menjadi terang dan garam dunia. Asmara tak meletakkan pelitanya di bawah gantang, tapi di atas kaki dian sehingga menerangi seisi rumah.
Asmara membangun jembatan kebhinekaan di latar. Asmara kawan dari banyak orang. Semua orang dirangkul sebagai kawannya. Perbedaan suku agama dan ideologi tidak menghalangi almarhum untuk merajut bingkai perjuangan bersama untuk kemanusiaan, lingkungan hidup perdamaian dan keadilan. Itulah kiprah yang di tunjukkan oleh almarhum ketika bekerja di INFID dan JKLPK Seorang komunikator yang menjembatani perbedaan demi tujuan kemanusiaan dan Indonesia yang lebih baik. Almarhum adalah sosok orang yang ikut membangun jembatan kebhinekaan melalui praksis nyata di tengah gerakan rakyat dan lembaga swadaya masyarakat.
Asmara adalah pejuang tiga jaman. Almarhum Asmara Nababan (1946-2010) merupakan generasi yang hidup dalam tiga jaman. Pertama jaman revolusi (1945 -1965) jaman Bung Karno. Pada era ini berlangsung dekolonisasi di seluruh dunia akibat berakhirnya perang dunia kedua dan dampak dari Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955. Kata “revolusi” dan “dekolonisasi” menjadi kata kunci dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Dalam masa Bung Karno bisa disatukan dengan Indonesia, perjuangan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme menjadi fokus pemerintahan Bung Karno sehingga mengakibatkan Bung Karno dibenci oleh negara-negara Barat bekas penjajah. Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan dan Gerakan Non-Blok dikumandangkan oleh Indonesia. Dalam suasana revolusi Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama 1955 yang dianggap pemilu terbaik oleh para pengamat.
Demokrasi era Bung Karno disebut demokrasi terpimpin setelah parlemen hasil Pemilu 1955 dibubarkan dan diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) pada 1957. Banyak musuh Bung Karno dengan bantuan Amerika dan Inggris merongrong pemerintahan Bung Karno melalui pemberontakan maupun usaha pembunuhan. Bisa disebut Bung Karno adalah korban dari Perang Dingin melalui kudeta merayap berupa peristiwa G30S, Supersemar dan mencapai puncaknya pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1967.
Periode ke dua (1967-1998) disebut jaman pembangunan sejak Soeharto diangkat jadi Presiden Indonesia. Sejak itu politik Indonesia bergeser ke kanan dan Indonesia dianggap jadi kaki tangan Amerika Serikat untuk melakukan politik anti-komunis. Demokrasi formalitas dijalankan oleh rejim Soeharto melalui Pemilu lima tahun sekali. Intimidasi dan pembelian suara rakyat dijalankan setiap kali penyelenggaraan Pemilu. Penindasan demokrasi dan pelanggaran HAM bukan berkurang dengan adanya penyelenggaraan Pemilu dan demokrasi formalitas.
Hasil Pemilu dalam sistim demokrasi formalitas ini menjadi legitimasi rejim yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto di mata internasional serta untuk mendapatkan bantuan donor yang tergabung dalam Inter-Government Group on Indonesia (IGGI), Bank Dunia, dan International Monetary Fund (IMF). Korban pembangunan di kalangan buruh dan tani terjadi di mana-mana oleh kebijakan tangan besi pemerintahan Soeharto.
Kata “pembangunan” menjadi ideologi untuk menutupi ideologi kapitalistik dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik. Semua komponen bangsa termasuk lembaga masyarakat dan agama diharuskan mendukung ideologi pembangunan yang di motori oleh Bank Dunia dan IMF, dan negara anggota IGGI seperti Eropa Barat, Amerika Serikat dan Jepang. Mereka yang kritis atas pembangunan dan kebijakan IMF dan Bank Dunia dan menuntut keadilan tanah dan upah sering kali dituduh anti-pembangunan atau dituduh sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).
Untuk merespons sepak terjang rejim pembangunan inilah YLBHI, WALHI, YBKS, KSPPM, INGI (kemudian menjadi INFID), JKLPK dan sebagainya berdiri. Lembaga-lembaga ini berjuang untuk membangun demokrasi dan menegakkan ham di Indonesia melalui bantuan hukum atau advokasi korban pembangunan. Asmara merupakan bagian dari sejarah yang mengabdi pada gerakan advokasi untuk membela korban pembangunan dan demokrasi formalitas. Pada jaman Soeharto inilah terjadi peristiwa pembunuhan aktivis buruh Marsinah, perlawanan petani Kedung Ombo, serta penculikan aktivis, dan sebagainya.
Ke tiga yaitu jaman reformasi dimulai pada 1999 saat lengsernya Presiden Soeharto sampai dengan sekarang. Soeharto menjatuhkan Bung Karno melalui demonstrasi yang dilakukan massa anti-Soekarno. Selanjutnya Soeharto di jatuhkan gerakan reformasi melalui demonstrasi jalanan atas nama demokrasi dan HAM. Nasib Soeharto mirip seperti Ferdinand Marcos dari Filipina, merupakan diktator anti komunis di mana awalnya mereka didukung oleh Amerika Serikat, tapi kemudian dilengserkan kembali atas nama demokrasi dan pelanggaran ham oleh Amerika pula.
Setelah Soeharto tumbang, demokrasi formalitas diganti dengan demokrasi prosedural melalui penyelenggaraan Pemilu berupa Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Demokrasi prosedural melahirkan praktek mahar dan dagang sapi dalam pemilu. Demokrasi prosedural tidak menjamin adanya kualitas Pemilu yang menghasilkan demokratisasi dalam bidang ekonomi dan politik.
Seperti apa yang ada di Athena demokrasi menjadi alat legitimasi kekuasaan oleh elit dan melestarikan perbudakan. Kata transformasi, pembebasan budak dan keadilan sosial di luar kamus demokrasi Athena. Di Athena yang memiliki hak pilih adalah mereka yang menyandang warga kota Athena bukan budak-budak yang ditindas oleh para bangsawan. Para budak tidak bisa berharap perubahan atas nasib mereka melalui demokrasi Athena. Seharusnya tujuan dan substansi demokrasi bukan sekadar legitimasi kekuasaan para elit tapi bagaimana rakyat miskin seperti para budak bisa menerima buah dari makna demokrasi.
Hak asasi manusia dan demokrasi yang lahir di negara Eropa dan dijunjung tinggi di Amerika justru melahirkan tragedi sejarah berupa perdagangan budak, penindasan atas native American, penjajahan dan politik apartheid (rasisme) terjadi.
Hidup Dan Kebebasan Mutlak Sebuah Pilihan
Sepuluh tahun setelah kepergian almarhum Asmara (2010 – 2020) keadaan demokrasi dan ham di Indonesia masih jauh dari harapan. Generasi sesudah Asmara Nababan tak boleh puas diri atas pencapaian demokrasi prosedural di Indonesia. Perjuangan menuju demokrasi substansial perlu dilanjutkan oleh generasi pasca-reformasi. Demokrasi formalitas dan prosedural sering merupakan ritual demokrasi untuk kepentingan legitimasi kekuasaan oligarki. Pelaksanaan demokrasi prosedural belum menghasilkan transformasi pembebasan bagi rakyat kecil dari kemiskinan dan ketidakadilan.
Tantangan kemiskinan, ketidakadilan kelestarian lingkungan hidup dan semangat kebinekaan makin kompleks setelah dua puluh tahun reformasi. Konteks perjuangan pasca-reformasi sudah tentu berbeda dengan era sebelumnya. Sejak perang dingin sampai perang dagang telah terjadi pembajakan atas nilai-nilai demokrasi dan HAM di seluruh dunia. Politisasi demokrasi dan HAM melalui dukungan protes brutal di jalanan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah terjadi sejak Perang Dingin berlangsung hingga kini.
Demokrasi dan HAM sering kali menjadi alat intervensi politik dan sangsi ekonomi pada negara yang tidak mendukung kepentingan negara adikuasa. Politik tebang pilih dan intervensi politik atas nama demokrasi dan HAM terjadi di seluruh dunia. Konsep universalitas dan international rule di manipulasi untuk kepentingan pemenang Perang Dunia II. Nilai-nilai lokal dan partikularitas demokrasi dan ham sering dikalahkan oleh kepentingan geopolitik negara super power. Banyak orang terjebak dalam retorika dan politisasi demokrasi dan HAM.
Para Elit bekerja sama dengan penguasa global memakai ritual demokrasi untuk legitimasi kekuasaan dan selanjutnya mengeksploitasi rakyat kecil dan sumber alam. Setelah UU Penanaman Modal Asing (PMA) disetujui oleh rejim Soeharto, perusahaan asing pertama yang mengantongi ijin beroperasi di Indonesia adalah Freeport dari Amerika. Seharusnya tujuan demokrasi dan HAM sesungguhnya yaitu agar rakyat bisa memiliki hak hidup serta bebas dari eksploitasi ekonomi maupun politik.
Sejarah mencatat pada 1973 pemimpin Chili Salvador Allende yang dipilih secara demokratis oleh rakyat, menjadi korban the Jakarta Operation. Penggulingan Allende melalui demonstrasi mengingatkan kita di Indonesia demonstrasi menjatuhkan Bung Karno pada 1966. Demonstrasi sering dipakai untuk menjatuhkan rejim yang tak disukai oleh Barat. Hal serupa terjadi di Timur Tengah dan bagian dunia lain melalui Balkanisasi dan colour revolution pasca-Perang Dingin. Yang terjadi setelah jatuhnya Bung Karno dan Allende korban pelanggaran HAM di kedua negara itu makin parah walaupun ada ritual demokrasi berupa Pemilu.
Pasca-reformasi, penegakan demokrasi dan HAM dengan format baru merupakan panggilan yang perlu dilanjutkan oleh sahabat-sahabat Asmara saat itu. Bukan sekadar mengukuhkan demokrasi formalitas dan prosedural seperti yang sudah terjadi; tapi mewujudkan tercapainya tujuan dan substansi demokrasi dan HAM yaitu keadilan sosial bagi semua. Perjuangan demokrasi dan penegakan ham tak boleh berhenti siapa pun pemenang pemilunya. Perwujudan demokrasi ekonomi sangat penting mengingat kemiskinan masih merengut kematian banyak orang di dunia.
Menurut Bung Karno, demokrasi tak cukup sekadar bebas bicara dan menyampaikan pendapat, tapi juga bebas dari lapar takut dan kematian. Human life seharusnya menjadi dasar dan tujuan dari human right. Penegakan human rights tanpa mewujudkan right to develop and right to live merupakan penyangkalan human rights dan human life. Human rights harus mewujudkan human life bukan sekadar individual rights. Kitab agama mana pun selalu menjunjung human life (dari rakyat) di atas personal rights kaum elite.
Perjuangan demokrasi masa kini bagaikan perjuangan mewujudkan Taman Eden yang hilang karena pelanggaran manusia pertama, Adam. Agar manusia bisa kembali menikmati tinggal di Taman Eden, manusia masa kini harus berjuang untuk mewujudkan kembali Taman Eden di bumi. Ketika berada di taman Eden Adam tidak memiliki kebebasan untuk makan semua buah supaya ia bisa hidup di taman Eden. Tertulis dalam Kitab Suci bahwa Tuhan memberikan perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kamu makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau mati”. Buah di Taman Eden semuanya bebas dimakan oleh Adam supaya ia hidup kecuali buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat. Kebebasan Adam di Taman Eden terbatas. Ada larangan untuk makan buah pengetahuan baik dan jahat. Tapi dalam kisah di kitab suci, Adam telah memilih kebebasan mutlak dari pada hidup yang diberikan Allah.
Kita tahu akhirnya Adam gagal menghargai hidup yang diberikan Allah kepada manusia karena ia memilih hak dan kebebasan mutlak. Akibatnya Taman Eden pertama hilang ditelan oleh sejarah pelanggaran Adam yang ingin kebebasan mutlak. Manusia sesudah Adam hari ini berusaha membangun kembali Taman Eden baru melalui perjuangan demokrasi dan penegakan ham. Taman Eden baru hanya bisa dipulihkan kembali ketika manusia lebih mementingkan hidup dari pada hak dan kebebasan mutlak.
Asmara Nababan bersama rekan-rekan seperti Bung Arif Budiman, Bang Buyung Nasution, Oom Yap Thiam Hien dan lain-lain, yang semuanya telah almarhum, telah menjadi mitra Allah dalam membangun kembali Taman Eden baru di Indonesia ketika mereka semua masih hidup. Perjalanan mewujudkan demokrasi substansial masih jauh dan perlu di lanjutkan oleh sahabat-sahabat Asmara kini dan di sini.
Asmara Nababan: Menjadi Jembatan, Bersama Mengawal Kemandirian Komnas HAM
Oleh: Roichatul Aswidah
Kemandirian adalah faktor yang menentukan efektivitas kerja sebuah institusi nasional seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kemandirian tercapai bila sebuah institusi nasional bertindak dan bekerja secara mandiri (independent) dalam melaksanakan mandatnya, dan terpisah dari pemerintah, partai politik, serta semua lembaga dan situasi yang mungkin mempengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsinya. Untuk mencapai kemandirian dan memeliharanya, beberapa faktor mempengaruhi sebuah institusi nasional.
Faktor pertama yang mempengaruhi kemandirian (independence) sebuah institusi nasional adalah legislasi atau basis hukum yang mengatur pembentukannya. Secara ideal, pembentukan sebuah institusi nasional hak asasi manusia haruslah disebut dalam konstitusi sebuah negara yang juga secara singkat mengatur peran serta sifat kemandiriannya dari eksekutif. Rincian mandat, keanggotaan, serta fungsinya kemudian diatur dalam undang-undang yang disahkan oleh perlemen. Undang-Undang pembentukan sebuah institusi nasional juga mengatur pula hubungan lembaga tersebut dengan lembaga penyelenggaraan negara.
Seperti kita tahu, Komnas HAM didirikan pada 1993 oleh Soeharto, Presiden RI saat itu, berdasarkan sebuah Keputusan Presiden. Dasar pembentukan ini jauh dari ideal seperti yang disebutkan di atas. Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menjadi dasar hukum pembentukan Komnas HAM, juga tidak memberikan mandat dan kewenangan yang cukup kuat bagi Komnas HAM untuk bekerja.
Integritas para anggota Komnas HAM saat itu kemudian menjadi sandaran utama Komnas HAM untuk bekerja secara berani dan mandiri tanpa didikte oleh kekuatan mana pun. Anggota Komnas HAM saat itu dapat membuktikan walaupun “hanya” dibentuk berdasarkan sebuah Keputusan Presiden, namun Komnas HAM dapat bekerja independen dengan kerja yang menakjubkan. Hasil investigasi Komnas HAM atas beberapa kasus hak asasi manusia menciptakan kebenaran “lain” serta memecahkan kebenaran tunggal yang sudah puluhan tahun dibangun Soeharto.
Asmara Nababan menjadi satu-satunya wakil dari NGOs yang duduk sebagai anggota Komnas HAM dan menjadi salah satu anggota Komnas HAM yang ikut menopang kemandirian Komnas HAM itu. Anggota Komnas HAM saat itu membuktikan bahwa pada akhirnya independensi adalah bagaimana memastikan mereka yang memegang kepemimpinan atau pengambil kebijakan di sebuah lembaga adalah orang yang berintegritas dan berkomitmen yang kemudian mampu bertindak secara independen. Integritas para Anggota Komnas HAM inilah yang menopang integritas lembaga Komnas HAM.
Selain menjadi satu-satunya wakil NGO di Komnas HAM, Asmara Nababan adalah anggota termuda secara usia dibandingkan semua anggota Komnas HAM. Oleh karena usia termudanya itu serta situasi Komnas HAM yang belum memiliki staf yang cukup, Asmara Nababan sering kali harus melakukan beberapa pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh staf.
Pembahasan sikap Komnas HAM tentang sebuah situasi atau pembahasan hasil investigasi Komnas HAM selalu sangat kaya oleh karena kekayaan ilmu dan pengetahuan para Anggota Komnas HAM saat itu. Saat pembahasan, Asmara sering mendekati staf yang bertugas mencatat di paripurna untuk sungguh-sungguh mendengarkan perdebatan. Sambil bergurau, Asmara sering mengatakan perdebatan itu bernilai satu semester di bangku kuliah. Kami pun mendengarkan berbagai pandangan dan argumen tajam dari para Anggota Komnas HAM saat itu dengan penuh khidmad. Namun, setelah perdebatan selesai, oleh karena keterbatasan ilmu, kami para staf masih juga kesulitan untuk menyarikan perdebatan dan merumuskan menjadi pernyataan sikap Komnas HAM.
Asmaralah yang kemudian harus menyarikan perdebatan dan merumuskannya menjadi sikap atau posisi Komnas HAM untuk kemudian disebarluaskan kepada masyarakat melalui konperensi pers. Tak jarang media sudah menunggu berjam-jam di luar ruangan. Asmara sangat cepat merumuskan hasil perdebatan yang dilakukannya tanpa tekanan.
Oleh karena usianya yang muda pula, Asmara sering kali menjadi “jembatan” antara staf yang kadang-kadang naif serta miskin ilmu dengan para Anggota Komnas HAM saat itu yang bukan hanya senior secara usia namun juga secara keilmuan. Asmara kemudian menjadi tempat staf meminta penjelasan bagaimana menerjemahkan perintah para Anggota Komnas HAM saat itu. Oleh karena sering menjadi tempat bertanya, Asmara kemudian juga dapat memetakan kemampuan para staf serta memiliki cara bagaimana memaksimalkan kemampuan staf dalam keterbatasan jumlah dan sumber daya yang ada.
Saat reformasi terjadi, penguatan dasar hukum Komnas HAM menjadi sebuah agenda bangsa. Staf Komnas HAM menjadi isu dan sebuah titik krusial saat Komnas HAM mendapatkan penguatan dasar hukum pembentukannya dengan disahkannya UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hampir semua elemen jaminan kemandirian Komnas HAM diatur dan dijamin oleh undang-undang ini.
Sebagai dasar hukum pembentukan, UU ini tentulah lebih ideal dan kuat dibandingkan Keppres No. 50 Tahun 1993. Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa Komnas HAM bersifat mandiri (independent). Sifat kemandirian mensyaratkan diberikannya status, kewenangan dan sumber daya yang memadai sehingga institusi nasional dapat bekerja secara mandiri dan efektif. Hal-hal tersebut dijamin oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Namun demikian, penguatan dasar hukum ini juga memuat dinamika serta perdebatan terkait independensi saat proses pembentukannya khususnya terkait staf Komnas HAM. Pengaturan tentang staf Komnas HAM memunculkan perdebatan di internal Komnas HAM yang secara sederhana terbagi ke dalam dua posisi. Pertama, muncul posisi bahwa semua staf Komnas HAM haruslah berstatus pegawai negeri sipil (PNS) mengikuti posisi Sekretaris Jenderal Komnas HAM yang berstatus PNS. Posisi ke dua, berpandangan bahwa Komnas HAM seharusnya memiliki otonomi dan secara mandiri mengatur stafnya yang dengan demikian staf Komnas HAM tidak harus berstatus PNS walaupun Sekretaris Jenderal Komnas HAM berstatus PNS. Dalam hal ini Staf Komnas HAM terdiri atas mereka yang berstatus PNS dan yang bukan PNS.
Asmara Nababan, bersama beberapa Anggota Komnas HAM yang lain, berada pada posisi ke dua. Asmara sangat tegas menyatakan bahwa Komnas HAM seharusnya dapat secara mandiri mengatur stafnya. Kira saya hal ini didasari pada keyakinannya yang memang menjadi sikap hidupnya yaitu kemandirian termasuk beberapa hal yang dianggap orang lain tidak begitu penting.
Dalam banyak kesempatan, Asmara sering mengingatkan bahwa soal prinsipiil tidak dapat mengalahkan hal yang bersifat teknis. Baginya soal pengaturan staf adalah hal yang bersifat prinsipiil dan bukan hal teknis organisasional semata. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia seperti kita tahu akhirnya mengatur bahwa Sekretaris Jenderal dijabat oleh seorang pegawai negeri yang bukan anggota Komnas HAM dan tidak mengatur secara eksplisit dengan menyebutkan pegawai Komnas HAM sebagai bagian dari Komnas HAM sebagaimana yang kemudian disebutkan secara eksplisit dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 21 UU KPK menyatakan bahwa KPK terdiri atas Pimpinan KPK, Tim Penasihat KPK dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.
Lintasan waktu memang membuktikan bawah posisi Asmara benar adanya. Pemikiran tentang staf ini kemudian diadopsi bukan hanya KPK namun juga lembaga independen lain yaitu dan Ombudsman dan bahkan kemudian oleh UU ASN terbaru yang memungkinkan bahwa untuk jabatan tertentu tidak diharuskan berstatus ASN. Pandangan Asmara bahwa soal staf adalah hal yang prinsipiil dalam menjamin kemandirian lembaga dan bukanlah hal yang bersifat teknis organisasional semata juga dibuktikan oleh waktu. Saat terjadi revisi UU KPK pada 2019, banyak kalangan yang menyatakan bahwa pengaturan bahwa staf KPK harus berstatus ASN adalah bagian drai pelemahan itu.
Pengaturan staf memang isu penting yang krusial oleh karena salah satu faktor yang juga mempengaruhi kemandirian sebuah institusi nasional adalah sejauh mana institusi tersebut mempunyai otonomi operasional yang memberi kemampuan kepada lembaga tersebut untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara terpisah dari individu, organisasi, departemen atau aparat mana pun. Undang-undang juga seharusnya memungkinkan institusi nasional dapat mengadopsi aturan main dan peraturan berkaitan dengan pengelolaan personil dan administrasi keuangan (asalkan hal ini tidak bertentangan dengan standar kepegawaian negara). Dijelaskan bahwa sebuah institusi nasional yang efektif harus merancang peraturan proseduralnya sendiri.
Pendirian Asmara Nababan yang bersikukuh bahwa Komnas HAM seharusnya memiliki kewenangan untuk mengatur personilnya dengan memiliki organisasi sendiri adalah cerminan sikap hidupnya. Kemandirian memang menjadi sikap hidupnya. Asmara Nababan adalah manusia merdeka yang melepaskan dari hal yang akan memberatkannya. Pilihan atas pekerjaan dan gaya hidup memperlihatkan sikap merdeka itu. Pernah dalam sebuah perbincangan saya melontarkan pertanyaan sambil guyon :”…nggak pingin jadi Menteri Bang”. Asmara menjawab ”nggak”. Begitu banyak orang menginginkan jabatan, Asmara tidak menginginkannya. Sungguh seorang manusia merdeka hingga akhir hidupnya.
Asmara, Investigator Pendobrak Politik Impunitas:
Oleh: Usman Hamid
“Impunitas terus berlangsung. Para penjahat pelanggaran berat HAM hidup dengan tenang. Bahkan mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan itu justru ingin menjadi Presiden di saat hak jutaan korban pelanggaran HAM sampai saat ini tidak dipulihkan. Kenapa hal ini terjadi?”
Asmara Nababan, Kongres Korban, Maret 2009
Ada banyak sudut pandang untuk melukiskan sosok dan jejak langkah Asmara Nababan yang wafat di RS Fuda, Guanzhou, Republik Rakyat Cina, pada 28 Oktober 2010. Dampaknya bagi gerakan hak asasi cukup terasa. Tidak ada lagi sosok yang menjadi pendengar dan jembatan para aktivis lintas generasi, lintas isu, dan lintas aktor. Bersahaja, lucu, berani, dan konsisten sepanjang babak perjalanan hidupnya sejak menjadi aktivis mahasiswa era 1960an hingga wafatnya sebagai aktivis hak asasi hampir setengah abad kemudian. Saat kepergiannya, saya mengenangnya sebagai sosok aktivis pembawa semangat jaman. Ia adalah salah satu energi perjuangan hak asasi yang ingin mengakhiri warisan Orde Baru: impunitas.
Di tulisan ini, saya hendak mengenangnya sebagai pendobrak politik impunitas yang selalu mendorong investigasi resmi negara atas sebuah kejahatan HAM. Belakangan ia cenderung ingin menjadikan demokrasi sebagai alat dobrak impunitas. Saya memulainya dengan kutipan di atas untuk menegaskan sosoknya sebagai penentang impunitas. Tentu para aktivis lainnya juga menentangnya. Perbedaannya dengan Asmara adalah dia tidak hanya melihat impunitas sebagai masalah hak asasi, tetapi juga demokrasi. Tanpa kualitas demokrasi yang sehat, maka segala upaya mengakhiri impunitas dapat menjadi sia-sia. Inilah yang terbukti sekarang ini, memburuknya kualitas demokrasi juga memperlihatkan situasi impunitas yang memburuk.
Merujuk studi Louis Joinet yang dikembangkan Diane Orentlicher, “impunitas” berarti ketidakmungkinan, de jure atau de facto, membawa pelaku pelanggaran hak asasi yang serius–baik proses pidana, perdata, administratif atau disiplin–karena mereka tidak tunduk pada penyelidikan apa pun yang dapat menyebabkan mereka dituduh, ditangkap, diadili dan, jika terbukti bersalah, dijatuhi hukuman yang sesuai, dan menyediakan reparasi bagi korban.
Merujuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), setidaknya 38 prinsip melawan impunitas yang dikembangkan Joinet dan Orentlicher. Saya tak akan mengulas seluruhnya. Tapi beberapa prinsip akan saya gunakan untuk menjelaskan concern Asmara dalam menentang impunitas. Sebelum prinsip-prinsip, saya ingin memperjelas konteks sosio-legal dan sosio-politik yang melingkupi impunitas.
Secara sosio-legal, impunitas digunakan untuk menyoroti “kejahatan serius di bawah hukum internasional”, pelanggaran berat hukum internasional hak asasi dan humaniter. Misalnya, genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan itu juga mencakup yang disebut kejahatan bagi hukum internasional seperti penyiksaan, penghilangan paksa, eksekusi di luar hukum, dan perbudakan. Hukum internasional mewajibkan negara untuk menghukum para pelaku kejahatan itu. Jika tidak, maka itulah yang disebut impunitas – ketiadaan penghukuman.
Secara sosio-politik, impunitas biasanya dibicarakan dalam sebuah proses pemulihan kondisi dari situasi perang yang melibatkan kekerasan dan senjata menuju perdamaian, atau situasi transisi dari sistem yang otoriter menuju demokrasi. Impunitas dibicarakan guna menentukan apa yang mau dilakukan oleh para aktor negara maupun para aktor yang berkonflik tersebut terhadap segala kejahatan yang terjadi pada masa sebelumnya dan memastikan tidak adanya keberulangan di masa depan.
Selain penghukuman, prinsip melawan impunitas mensyaratkan pendekatan pencarian fakta secara non-yudisial dengan cara menyelidiki pola pelanggaran hukum hak asasi atau hukum humaniter (bagi konflik bersenjata), yang biasanya dilakukan selama beberapa tahun. Cara ini kerap ditempuh melalui pembentukan “komisi kebenaran”.
Mengakhiri impunitas juga berarti membongkar arsip-arsip masa lalu yang terkait kejahatan. Arsip biasanya tersimpan dalam lembaga pemerintah nasional dan lokal, seperti kantor polisi atau militer, yang terlibat atau memainkan peran penting terkait kejahatan HAM. Penting juga membicarakan arsip badan-badan yang seharusnya melindungi hak asasi seperti badan-badan negara, termasuk kejaksaan dan pengadilan. Biasanya materi ini dipakai untuk proses peradilan dan sebagian lainnya untuk keperluan komisi kebenaran.
Inilah beberapa pengantar untuk membicarakan impunitas. Selanjutnya bagian berikut akan mengenang jejak langkah Asmara dalam menentang impunitas atau ketiadaan penghukuman di Indonesia.
Mendobrak Impunitas Dengan Investigasi: Belajar Dari Asmara
Di awal, saya mengetengahkan kutipan dari Asmara yang berkaitan dengan impunitas beserta pengantar tentang pengertian tentang impunitas. Dalam kutipan itu ia melukiskan situasi hak asasi yang buruk karena penjahat HAM menikmati udara kebebasan dan tidak dihukum. Mereka hidup tenang, bahkan menjadi ‘terhormat’ karena diperbolehkan oleh negara untuk menjadi peserta Pemilu. Sebaliknya, masih menurut Asmara, negara tidak juga berkemauan untuk memperbolehkan para korban untuk dapat memulihkan hak-hak mereka akibat dari kejahatan HAM di masa lalu.
Pandangan Asmara ini senada dengan pengertian prinsip pertama mendobrak impunitas dari Joinet and Orentlicher di atas. Yakni bahwa negara wajib untuk menginvestigasi kejahatan; mengambil tindakan yang tepat terhadap pelaku, memastikan mereka diadili dan dihukum; memulihkan hak-hak korban dan memastikan mereka memperoleh reparasi untuk luka yang diderita; memastikan hak yang tak dapat dicabut untuk mengetahui kebenaran atas kejadian kejahatan yang terjadi; dan mengambil langkah-langkah mencegah kejahatan itu terulang.
Prinsip inilah yang paling menyemangati Asmara untuk mendobrak impunitas di Indonesia. Di tengah ketiadaan investigasi negara atas kejahatan HAM, apalagi penghukuman terhadap penjahat HAM, maka Asmara adalah satu di antara orang-orang yang mendobrak ketiadaan itu. Penjelasan saya terbatas pada pengamatan dan perkenalan dengan almarhum pada awal-awal Reformasi 1998 hingga kurang lebih satu dasawarsa berikut. Pengamatan ini pun masih terbatas pada jejak langkahnya pada bagian-bagian mendobrak adanya investigasi negara dan bagaimana negara memperlakukan pelaku, dan belum meliputi pemulihan korban.
Untuk memulainya, saya akan merefleksikan jejak langkah Asmara pada awal Reformasi 1998. Ia adalah sosok yang ikut menggerakkan mesin investigasi Komnas HAM untuk membongkar kejahatan HAM Orde Baru. Meski telah menjadi anggota lembaga ini sejak awal 1990an, saya baru benar-benar melihat sikap Asmara yang mendobrak impunitas itu ketika ia terlihat aktif sebagai penggerak investigasi yang diinisiasi oleh Komnas HAM maupun pemerintah. Jajaran elite militer yang semula terkesan seperti dewa, tiba-tiba dipaksa tunduk pada penyelidikan yang merontokkan kewibawaan mereka.
Pertama, Asmara ikut menggerakkan investigasi Komnas HAM secara efektif atas penculikan aktivis yang telah dimulai sejak Peristiwa 27 Juli 1996 dan puncaknya adalah penculikan para aktivis mahasiswa pada Maret 1998, penembakan mahasiswa Universitas Trisakti dan tragedi kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998. Sebelum Suharto menyatakan mengundurkan diri, ia termasuk kritis bersuara atas Peristiwa 27 Juli tersebut. Ia ikut mendukung surat resmi Komnas HAM ke Presiden Soeharto yang menegaskan perlunya Presiden mengundurkan diri. Khusus penculikan, Asmara ikut mendampingi korban penculikan seperti Pius Lustrilanang, yang baru dilepaskan dan dijemput dari luar kota agar bersaksi di Komnas HAM.
Selain mendampingi Pius, Asmara kerap berkomunikasi dengan Koordinator KontraS Munir dan Direktur Eksekutif PBHI Hendardi yang ikut menemani sebagian dari mereka yang kembali seperti Desmond J. Mahesa, Haryanto Taslam, Mugiyanto, hingga Nezar Patria. Asmara turut mendokumentasikan keterangan mereka yang disiksa dalam penyekapan. Kembalinya korban membawa harapan bahwa sebagian yang masih hilang seperti Herman Hendrawan, Petrus Bimo Anugerah, Noval Alkatiri, dan Yani Afri, akan ikut kembali dalam keadaan hidup. Apalagi Yani, seorang supir yang merupakan simpatisan kampanye politik pro-Mega-Bintang, karena Pius dan Faisol menyatakan telah sempat berinteraksi dengan Yani saat disekap.
Di tengah kepadatan itu, Asmara menemani Munir untuk mendampingi intel susupan militer di mahasiswa bernama Wiwid yang diserahkan oleh aktivis-aktivis mahasiswa Trisakti karena nyawanya sedang terancam akibat samarannya terbongkar. Keberanian Asmara mengusut penembakan mahasiswa, menemani keluarga korban penembakan dan penculikan dan ‘intel mahasiswa’ yang semuanya sedang terancam adalah sebuah keunikan tersendiri, jika bukan sebuah keberanian di saat itu. Keberanian orang-orang seperti Asmara semakin menimbulkan harapan dengan bertambahnya korban penculikan yang dibebaskan dalam keadaan hidup.
Desakan terus-menerus yang diorkestrasikan oleh orang-orang seperti Asmara menimbulkan situasi baru di mana ABRI akhirnya terpaksa menggelar Mahkamah Militer untuk dua kasus: penembakan mahasiswa Trisakti dan penculikan aktivis. Dua pengadilan yang digelar bukan karena niat baik, melainkan lebih sebagai cara menghindari risiko maksimal yang mereka bisa terima jika tidak mengambil langkah apa pun.
Yang paling banyak mendapat sorotan adalah pengadilan 11 anggota Kopassus di mana untuk pertama kalinya saya menghadiri sidang semacam ini, selain sidang terhadap beberapa polisi yang dituduh bertanggungjawab atas kematian empat mahasiswa Trisakti. ABRI membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memeriksa petinggi militer yang bertanggungjawab: Pangkostrad Letjen Prabowo, Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR, dan Dan Group IV Sandi Yudha Kolonel Chairawan. Nama-nama elite militer ini lalu terjungkal dari jabatan-jabatan komando. Itu adalah sebuah perubahan besar yang nyaris tak pernah terjadi dalam sejarah militer Orde Baru.
Ke dua, Asmara dan Baharuddin Lopa menjadi penggerak investigasi lapangan Komnas HAM di Aceh pada Agustus 1998, sebuah masa di mana saya dan aktivis-aktivis mahasiswa sedang ramai membahas penghapusan status Daerah Operasi Militer (DOM), salah satu visi reformasi yang kami suarakan sejak sebelum Suharto mengundurkan diri. Asmara bukan hanya bervisi, ia menjalankan visi itu ke dalam tindakan politik. Bersama Lopa dan tim sekretariat, Asmara membawa tim medis dari beberapa universitas dan kepolisian untuk membongkar situs-situs di mana korban kekejaman berada.
Asmara dkk mengumumkan bukti-bukti jasad korban kekerasan militer masa DOM. Jenderal Wiranto membantah dengan mengatakan itu tidak terkait DOM, melainkan peristiwa lama sekali yang menurut dia itu adalah kuburan korban orang-orang G30SPKI. Asmara dan Lopa membantah lagi dengan bukti adanya korban yang ditemukan dalam keadaan diikat dengan pakaian lengkap beserta rokok dan celana jeans yang secara forensik waktunya masih bisa diidentifikasi sebagai peristiwa yang terjadi belum lama. Rokok yang masih tersisa ini seperti menjadi penting digarisbawahi dan mungkin karena Asmara dan Lopa sama-sama perokok di saat itu.
Meski aktivis tulen, Asmara sangat melebur dengan Loba yang birokrat tulen. Duet keduanya mendobrak tabu publik yang kemudian ramai memperbincangkan kejahatan HAM di Aceh berbulan-bulan. Wacana itu kemudian mendorong Presiden BJ. Habibie membentuk Komite Independen Pengusutan Tindakan Kekerasan di Aceh (KIPTKA) pada Juli 1999. Beberapa bulan berikutnya, November 1999, sidang paripurna DPR membentuk Panitia Khusus Aceh untuk mengusut pelanggaran HAM selama status DOM.
Sorotan Asmara dkk Komnas HAM atas kekejaman massal di Aceh ini pun memaksa jenderal-jenderal yang semula merasa kebal hukum tiba-tiba menjadi terperiksa dan tertuduh. Sorotan konstan selama setahun lebih ini kemudian berujung dengan kematian tragis anggota Pansus DPR, Teungku Nashiruddin Daud. Ketika itu saya dan Umar Attamimi diminta untuk mengurus kasus pembunuhan ini dengan mendatangi keluarga dan juga kantor Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP), termasuk menemui Hamzah Haz yang saat itu terlihat khawatir akan dampak dari pembunuhan tersebut. Di sisi lain, Asmara terlihat jalan terus dan secara tekun ikut serta dalam langkah-langkah penyelidikan atas kekejaman massal lainnya.
Ke tiga, ketika Asmara ikut menggerakkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998. Saya melihatnya berduet dengan sesama orang Komnas HAM Marzuki Darusman. Asmara dan Tim ini benar-benar mendominasi wacana publik dengan isu hak asasi manusia. Setiap kali tampil di publik, Asmara dengan kacamatanya yang khas memberikan penjelasan yang teliti, lugas, dan berani. Asmara aktif menggerakkan investigasi TGPF. Tim itu dibentuk Presiden B.J. Habibie setelah terjadi kerusuhan massal di sejumlah kota, melibatkan kekerasan seksual kepada perempuan Tionghoa. Di dalam kasus kerusuhan itu sendiri, ada kasus penculikan warga seperti Yadin Muhidin, Ucok Munandar Siahaan, dan Abdun Nasser. Mereka adalah orang-orang yang kami duga menjadi saksi dari tindakan unsur-unsur negara dalam menyulut kerusuhan. Penculikan mereka adalah penghilangan alat bukti saksi.
Asmara kerap berbicara di publik soal langkah-langkah investigasi Komnas HAM atas tragedi yang mengorbankan ribuan manusia termasuk anak-anak. Asmara ikut menengahi perbedaan cara kerja, pandangan, dan data yang dikelola oleh tim tersebut, khususnya terkait perkosaan terhadap perempuan Tionghoa. Perbedaan yang melibatkan anggota yang berasal dari latar belakang birokrat, polisi militer, medis hingga aktivis itu dikelola Asmara dengan cara elegan dan tanpa terkesan memihak. Perbedaan pandangan ini terserap ke dalam perdebatan teknis rujukan investigasi, yaitu protokol Jakarta. Akibatnya, hingga kini pun kepastian tentang kasus perkosaan terhadap perempu-an dalam kerusuhan Mei masih terasa gelap.
Sorotan paling besar dari publik adalah ketika Asmara dan para anggota TGPF juga memeriksa sejumlah jenderal TNI seperti Pangdam Jaya Sjafrie Syamsoeddin yang sebelumnya mungkin tak pernah dibayangkan akan terjadi. Sebuah langkah permulaan yang mendorong runtuhnya kesan angker dan ‘berwibawa’ dari lingkaran elite militer. Selain kuatnya tekanan gerakan mahasiswa, sebab lain mengapa perubahan semacam ini bisa terjadi di saat itu adalah karena kerja keras dan keberanian orang-orang seperti Asmara. Keberanian sekali lagi menjadi kunci karena situasi yang penuh ketidakpastian dan masih berada dalam tarik menarik kekuasaan yang kuat antara kekuatan pro-reformasi dan status quo. Jangan lupa, salah satu saksi penting dari kerusuhan Mei dan kekerasan seksual terhadap perempuan saat kerusuhan tersebut, Ita Marthadinata, ditemukan tewas terbunuh di tempat tinggalnya.
Hal inilah yang pada awalnya membuat Reformasi 1998 membawa harapan positif sekaligus juga memberikan gambaran betapa rumitnya membongkar kekejaman massal pada masa lalu. Ada wacana penyelesaian pelanggaran hak asasi masa lalu tapi juga ada wacana tentang proses demokrasi yang didominasi oleh perbincangan seputar Pemilu.
Ke empat, usai ikut menyelidiki kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh serta kerusuhan Mei 1998, Asmara selanjutnya terlibat dalam investigasi yang paling diperhatikan komunitas internasional, yaitu KPP HAM Timor Timur 1999. Asmara saat itu terpilih menjadi Sekretaris KPP HAM. Ia memainkan peran kunci, selain sering menjadi narasumber media dan tampil di televisi dengan penjelasan lugas, teliti, dan berani. Pembentukan KPP dilatarbelakangi oleh kebijakan dan tindakan fatal elite militer chauvinistik yang menolak hasil referendum Timor Timur. menyikapi hasilnya dengan kebijakan ‘bumi hangus’.
Mereka mengorkestrasikan kekerasan dan kejahatan HAM di sejumlah wilayah Timor Timur. Ribuan orang menjadi korban pemindahan paksa, pembunuhan, penyiksaan, dan perkosaan. Berbagai bangunan fisik luluh lantak. Dunia mengutuk kejahatan HAM tersebut. Komisi HAM PBB langsung menggelar sidang istimewa dan membentuk Komisi Penyelidik Internasional di bawah Mary Robinson. Ini adalah sidang istimewa yang ketiga dari Komisi HAM PBB, setelah sebelumnya dilakukan untuk situasi bekas Yugoslavia dan Rwanda. Itu artinya komisi ini bisa berujung dengan diseretnya penjahat HAM di Timor-Timur ke pengadilan internasional.
Suatu malam, ketika KPP HAM Timor-Timur baru merampungkan penulisan laporan yang menyebut nama-nama Jenderal, Munir dan saya memakai mesin faksimili kantor untuk mengirimkan lembar per lembar dari laporan tersebut ke Amnesty International di London dan Human Rights Watch di New York.
Tampak sekali kepanikan di lingkaran elite militer, terutama mereka yang bertanggungjawab atas pembumihangusan Timor Timur. Dengan segala cara mereka mendorong pemerintah Indonesia untuk menghindari arah komisi penyelidik itu menuju pembentukan pengadilan ad hoc internasional. Komnas HAM sendiri membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Timor-Timur. Asmara, Munir, Zumrotin dan lain-lain memeriksa para jenderal yang saat itu terlihat begitu khawatir akan menjadi pesakitan di kursi meja hijau pengadilan dunia. Dari proses ini kita tahu, harapan terus meninggi ketika kepresidenan B.J. Habibie yang berakhir berlanjut dengan KH Abdurrahman Wahid. Penyelidikan KPP HAM ditindaklanjuti dengan langkah-langkah efektif. Gus Dur mencopot jenderal Wiranto. Jaksa Agung Marzuki Darusman menyidik. Gus Dur juga membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kejahatan kemanusiaan di Timor-Timur.
Ke empat, pembentukan Komisi Penyelidik atas kejahatan HAM di Tanjung Priok pada 1984 adalah keputusan lain yang tidak luput dari peran Asmara. Saya ingat betapa sulitnya mendesak Komnas HAM untuk memutuskan pembentukan KPP HAM untuk Priok. Saya, para korban dan para aktivis KontraS berkali-kali mendampingi korban dan keluarga korban kasus Priok ke Komnas HAM. Dari sekadar beraudiensi sampai berdemonstrasi. Demonstrasi kami pun juga diikuti oleh kelompok radikal Islam yang ketika itu sempat melempari batu ke kantor Komnas HAM. Tentu kami tidak ikut melempar.
Terus terang, aksi langsung nir-kekerasan adalah cara menekan Komnas HAM saat itu yang kami lakukan dengan sepengetahuan Asmara. Saya dan beberapa kawan kerap menemuinya di ruang kerjanya yang luas untuk membicarakan rencana-rencana aksi. Asmara adalah lawan bicara yang kritis dan menyenangkan, ditemani beberapa staffnya seperti Sriyana, Roi, Anton, Santi, Eko dan Anggoro yang setia mendampingi dan menurunkan arahan-arahannya dalam tindakan administratif. Dari forum inilah keputusan, surat-surat dan keperluan operasional dijalankan.
Dalam pembentukan KPP HAM Priok Asmara elegan dalam mengambil peran. Di tengah sikap kebanyakan anggota Komnas HAM yang menolak pembentukan KPP, Asmara mengimbangi tekanan kami dengan ide-idenya yang justru memperkuat kami. Sejumlah anggota Komnas HAM saat itu ketahuan ‘bermain belakang’ dengan menemui Panglima TNI sebelum memulai penyelidikan. Kami marah. Saya diminta oleh Munir untuk menyiapkan surat protes kepada Komnas HAM. Kabarnya Asmara juga ikut. Karena kami kerap bertemu dan karena sikap kerasnya mendorong Komnas HAM untuk membentuk KPP, ia tak keberatan diprotes, malah meminta kami lebih keras.
Asmara mengarahkan kerja-kerja tim asistensi KPP yang dipimpin oleh Amiruddin Alrahab. Tentu saja Asmara dibantu para pendamping setia– Sriyana dkk. Para jenderal memenuhi panggilan. Komnas HAM kembali melakukan upaya progresif dengan penggalian mayat untuk mengidentifikasi korban yang hilang dan dibunuh. Sejumlah jenderal seperti Try Sutrisno lalu menghadap Komnas HAM dan memberikan keterangan dalam kapasitasnya sebagai Panglima Kodam Jaya ketika Peristiwa Tanjung Priok terjadi pada September 1984.
Ke lima, dobrakan Asmara kembali menggerakkan Komnas HAM untuk membentuk KPP untuk Trisakti, Semanggi I dan II. Saat itu anggota lainnya terlihat enggan memenuhi tuntutan kami. Kami kerap berkonsultasi dengan Asmara. Seperti sebelumnya, kami merancang strategi luar dalam. Kami mengkoordinasikan kedatangan korban berkali-kali, dari audiensi formal sampai protes menduduki Komnas HAM. Saya ingat ketika pimpinan badan ini menghindari kami dan seolah tak berada di tempat. Staff-staff yang kerap nongkrong di ruang Asmara–Anggoro, Eko dan Santi membocorkan ke saya bahwa pimpinan bersembunyi. Dengan pengeras suara saya berorasi meminta pimpinan ke luar. Dengan setengah hati mereka menemui dan menjanjikan akan membentuk KPP.
Seperti diduga, keputusan itu tak bulat. Kami bersama Asmara dkk bersiasat. Kami sepakat kembali berdemo dengan membawa media. Siasat lain adalah mendorong Albert Hasibuan sebagai Ketua. Di hari H, Albert menyambut kami dan menemui media untuk mengatakan, KPP HAM sudah terbentuk, padahal belum. Albert menyatakan dia adalah ketua, padahal belum resmi. Hari-hari berikut Asmara mengabari sedang menyusun keanggotaan, meminta saya jadi penyelidik. ‘Umur saya 24 tahun, Bang!’ Tapi ia memang egaliter, tak peduli usia. Saya mengabari Munir yang meragukan itu. “Man, barusan aku telp Asmara. Ternyata betul. Kau ambil itu. Menjadi anggota KPP HAM itu menulis sejarah.”
KPP kerap didemo ratusan pemuda bernama Pemuda Cawang Berdarah, eks Pamswakarsa. Mereka menuduh kami anti-Islam. Pada 1998, Pamswakarsa memakai nama Islam menyerang mahasiswa dengan tuduhan anti-Islam.
Suatu waktu ratusan eks Pamswakarsa itu mendemo kami karena mengupayakan pengadilan memanggil paksa jenderal Wiranto dkk. Sensitifitas agama membuat yang non-Muslim disarankan tak menemui mereka. Hanya saya dan Dadan Umar Daihani yang menemui. Kami disandera. Asmara yang nasrani ke luar, menemani kami dan melayani para penyandera dengan sikap tegas: kami tetap akan memanggil paksa para jenderal! Beberapa hari berikut eks Pamswakarsa berjumlah hampir 10 bus ke kantor KontraS mencari saya dan Munir. Kami kewalahan saat menemui mereka baik-baik. Indria Fernida mengamankan mobil saya yang terparkir di dalam. Bustami mengamankan saya ke belakang. Umar mengamankan Munir. Tak lama, kami semua nekat menemui penyerang yang sudah merusak kantor, menganiaya Edwin Partogi, dan mengancam Munir.
Ke enam, Asmara juga menggerakkan investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir. Sejak rapat-rapat pertama menanggapi terbentuknya Tim ini, ia terlihat percaya diri bahwa tim ini menjadi alat sekaligus tempat yang paling efektif untuk mendorong pengungkapan kasus Munir yang ketika itu masih gelap. Asmara sadar bahwa tim ini dibentuk menyusul desakan para aktivis hak asasi dan keluarga Munir kepada Presiden dan Wakil yang baru terpilih ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan pengusaha politisi Jusuf Kalla. Tapi ia juga sadar bahwa tim ini adalah kompromi dan menimbulkan sikap yang terbelah di kalangan aktivis. Ia setuju dengan pandangan sebagian aktivis yang menilai mandat tim ini lemah. Ia juga mengerti bahwa mandate dan komposisi tim tersebut berbeda dengan hasil pertemuan pembahasan di Mabes Polri beberapa pekan sebelumnya yang menyepakati tim ini memiliki mandat lebih kuat, yakni mengarahkan arah investigasi kepolisian.
Dalam rapat-rapat, Asmara selalu berusaha menenangkan kepada kami bahwa tim yang hanya diberikan mandat untuk sebatas membantu kepolisian ini agar tak terlalu diragukan. Asmara sadar penuh bahwa mandat, komposisi/keanggotaan juga didominasi oleh unsur pemerintah dari kepolisian, kejaksaan, kementerian, dan dokter forensik yang kredibilitasnya meragukan.
Asmara juga setuju bahwa pangkat dari pejabat polisi yang ditunjuk untuk memimpin tim ini yang hanya berbintang satu menimbulkan kekhawatiran bahwa posisinya tidak akan mampu menembus birokrasi lembaga kepolisian, apalagi intelijen dan militer. Ia juga menyayangkan, beberapa unsur masyarakat sipil seperti Ahmad Syafii Maarif dan Shinta Nuriyah yang sempat diusulkan justru tidak masuk dalam TPF. Situasi ini bahkan membuat dua wakil masyarakat sipil yaitu Smita Notosusanto dan Bambang Widjojanto mengundurkan diri. Tetapi, Asmara menolak untuk menyerah. Dia tetap mengajak kami untuk jalan terus.
Pada rapat pertama TPF, pertemuan yang berlangsung sedikit kaku itu menyepakati struktur tim: Ketua tetap dipegang oleh Brigjen Marsudhi Hanafi, Wakil Ketua dipegang oleh Asmara dan Sekretaris ditugaskan pada saya. Di tim itu, Asmara termasuk yang paling senior dari segi usia dan pengalaman pencarian fakta. Ketika saya meminta dipertimbangkan ulang, Asmara mengatakan, “sudahlah, kau saja yang pegang posisi sekretaris. Kau sekretaris KPP HAM. Aku juga dulu sekretaris. Ayo, Usman, penting ini.”
Rapat-rapat selanjutnya yang mengagendakan pemeriksaan kru Garuda berjalan mulus, kecuali Pollycapurs yang sejak awal memang kerap mencari alasan untuk tidak memenuhi panggilan kami, dan ketika diperiksa pun dia tidak mau buka suara. Semua yang kami periksa dilarang didampingi pengacara.
Pada periode selanjutnya, pemeriksaan terhadap pejabat BIN juga berjalan mulus, meskipun sempat terjadi tarik menarik soal lokasi pemeriksaan dan apakah mereka boleh didampingi oleh pejabat biro hukum BIN yang ditugaskan. Kami menolak. Beberapa mantan pejabat BIN dan pejabat menengah BIN memenuhi panggilan kami, meskipun cenderung bungkam dan bertele-tele dalam menjawab. Suatu waktu, pemeriksaan tiba pada nama-nama pimpinan BIN, antara lain Sekretaris Utama yang menjabat, Hendropriyono dan Muchdi PR.
Menjelang pemeriksaan, ternyata Sestama tetap didampingi kepala biro hukum. “Saya minta, saudara yang namanya tidak disebut dalam surat panggilan kami agar ke luar,” katanya tanpa menatap siapa pun. “Siap, kami ditugaskan Kepala BIN mendampingi,” jawab sang pejabat. “Sekali lagi, saya minta saudara yang tidak disebut namanya dalam surat kami, ke luar.” Karena dibalas jawaban yang sama, Asmara lalu bilang “Jika saudara tidak ke luar, maka pertemuan ini batal.”
Di waktu lain, yaitu saat jadwal pemeriksaan Hendropriyono di kantor Komnas Perempuan, Asmara kembali memperlihatkan ketegasannya. Kami didatangi oleh rombongan orang yang dipimpin oleh mantan Danpuspom ABRI Mayor Jenderal (TNI) Syamsu Djalal. Dia menjelaskan bahwa rombongan berjumlah 20 orang itu mewakili Bapak Jenderal AM Hendropriyono untuk menjelaskan bahwa “beliau jadwalnya sangat sibuk. Karena itu kami minta TPF mengerti dan memohon waktu kepada beliau agar meluangkan waktu di tengah kesibukannya.”
Tiba-tiba Asmara bertanya dengan nada tinggi, “Saudara siapa?”
“Kami pengacara Bapak Hendro,” jawab Syamsu.
“Saudara, apakah nama Saudara ada dalam surat panggilan kami?” tanya Asmara dengan nada tegas tanpa menatap.
Mereka mulai gelagapan menjawabnya.
Lalu tiba-tiba lagi Asmara bersuara lebih keras, “Man!”
“Iya, Bang” kata saya.
Siapa itu nama yang kita panggil? Yang Priyono-Priyono itu?”
“Oh itu, Abdullah Mahmud Hendropriyono, Bang.”
“Nah itu, nama yang kami tulis di surat panggilan. Apakah saudara bernama Hendropriyono? Kalau bukan, saya minta Saudara meninggalkan tempat ini.”
Mereka pun pamit pulang.
Keseluruhan peran menggerakkan investigasi-investigasi dengan penuh kesungguhan disertai keberanian. Itulah Asmara yang hendak saya lukiskan di tulisan singkat ini. Pendobrak politik impunitas.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, peran dari orang-orang seperti Asmara membuat sejumlah jenderal sangat terpojok oleh apa yang tidak mereka bayangkan sebelumnya: tanggungjawab kriminal mereka dituntut, kewibawaan dan kebanggaan pangkat lencana dan seragam mereka tiba-tiba luntur.
Dobrakan Asmara ini seakan memberi pesan kepada kita bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna. Tidak ada yang tidak bisa kita lakukan asalkan kita memiliki kemauan dan kesungguhan bekerja keras, tegas, dan berani mengambil risiko. Dengan itu maka perubahan yang besar sangat dimungkinkan.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut jelas bagaimana jejak langkah Asmara mendobrak struktur politik yang melahirkan situasi ketiadaan hukuman bagi para penjahat HAM. Dalam mendobrak impunitas, Asmara selalu berusaha mendorong adanya investigasi resmi atas kejahatan HAM. Ketika terlibat dalam investigasi, ia juga sangat tegas dalam memilih tindakan penyelidikan, dari mulai pemanggilan jenderal sampai pada penggalian kuburan massal.
Asmara juga mengambil risiko saat menghadapi orang-orang yang bertanggungjawab di balik kejahatan HAM. Ia tak terlihat ragu, bahkan cenderung percaya diri jika semua kejahatan yang sebenarnya belum terbongkar itu perlahan akan segera menyeret pelakunya ke pengadilan. Sayangnya, mereka yang sempat diinvestigasi dan seharusnya diadili itu kemudian lolos dan diberikan tempat terhormat akibat pragmatisme politik dari tiga pemerintahan terakhir.
Tampak jelas perjuangan Asmara dalam mendobrak impunitas di Indonesia tak bisa dipisahkan dari perjuangannya memperkuat demokrasi. Jika kita kembali pada kutipan awal dari Asmara, maka kita bisa mengerti mengapa dia tidak lantas pensiun dan menikmati masa-masa purnabaktinya di Komnas HAM dengan sepenuhnya menikmati kehidupan privat. Dia bisa dan pantas melakukannya. Akan tetapi dia tetap meneruskan dedikasinya pada gerakan masyarakat sipil, terutama dengan bergerak di bidang demokrasi. Persis di sini terjadi sebuah pergeseran pemikiran dan jejak langkah Asmara.
Bagi Asmara, impunitas sebagai persoalan hak asasi tidak dapat dilihat sebagai masalah yang ada di ruang kosong: hukum dan perangkat-perangkat investigasinya. Persoalan impunitas sebagai persoalan hak asasi juga harus dilihat dalam dinamika politik tarik menarik kekuasaan. Jika era transisi politik pada 1998 memperlihatkan bagaimana persoalan itu terseret di dalam tarik-menarik antara kekuatan pro-demokrasi versus pro-status quo Orde Baru, maka era Reformasi yang berjalan kemudian lebih memperlihatkan kegagalan dari pemerintahan yang terpilih melalui prosedur demokratis.
Itulah sebabnya kutipan di atas diucapkannya dalam acara konsolidasi korban kejahatan HAM menjelang Pemilu 2009. Di sana dia tidak hanya bicara tatanan hukum kepada para korban, tapi juga bicara politik, termasuk Pemilu, dan implikasinya pada pencapaian tuntutan korban. Dia menyesalkan bagaimana penjahat HAM masih bebas berkeliaran tanpa jerat hukum. Tapi dia juga mencemaskan jika kita tidak menggunakan Pemilu sebagai sarana penghukuman. Ini kemudian dipikirkannya secara mendalam ketika melihat para penjahat HAM dengan percaya diri menginginkan jabatan presiden dan wakil presiden di tahun 2009.
Pada tahun itu, Asmara berujar: “Istilah ‘pesta demokrasi’ itu sengaja dibuat negara. Negara yang berpesta, rakyat datang sebagai undangan, makan, lalu pulang. Pemilu bukan pesta, tapi pemilu itu adalah hari penghakiman – judgement day. Hari di mana rakyat menghakimi politisi” (Asmara Nababan, Agustus 2009). Persisnya kutipan ini dilontarkannya usai Pemilu 2009 memenangkan pasangan mantan Kepala Staf Teritorial Mabes TNI Letjen (purn) Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan gubernur Bank Indonesia Boediono.
Perjuangan Asmara melawan impunitas berlangsung dalam proses perubahan rezim dari era pemerintahan otoriter ke era demokratis. Perjuangannya menentang pelanggaran hak asasi yang diwariskan oleh rezim otoriter belum selesai dan memang tidak mudah. Selain berskala besar, kekejian di masa lalu dibenarkan oleh produk kebijakan dan hukum dan membudaya dalam kelembagaan negara.
Untuk merobohkan impunitas, dibutuhkan perubahan sendi-sendi kenegaraan. Dan itu semua membutuhkan kerja keras, ketekunan, dan juga keberanian mengambil risiko. Karena itulah perjuangan Asmara bukan hanya belum selesai dan tidak mudah, tapi harus terus diupayakan oleh gerakan hak asasi dan demokrasi.
Gerakan hak asasi harus menggerakkan mesin kelembagaan hukum dan hak asasi, sekaligus lembaga-lembaga demokrasi yang tersedia. Sebab seperti dikatakan Asmara, “Pemajuan HAM itu persoalan politik bukan soal hukum semata.” Dengan itu ia ingin menegaskan bahwa ‘ruang politik’ yang tersedia ‘jangan dibiarkan begitu saja didominasi oleh elit oligarki’.
Asmara mengajak kita agar ‘kelompok-kelompok yang selama ini terabaikan’, termasuk para petani dan nelayan harus didukung untuk merebut ruang politik yang ada dari elit oligarki. Dengan demikian, kata Asmara, kita dapat mengharapkan ada pemajuan atau penegakkan HAM di masa depan (Kongres Korban, Maret 2009). Sebuah keadilan dalam arti sepenuhnya, dari mulai adanya kejelasan atas peristiwa kejahatan, penghukuman pelaku hingga jaminan ketidakberulangan di masa depan.
Tercermin pula pikiran kritisnya soal Pemilu, sebuah ajang politik yang selama ini disebut oleh banyak orang sebagai ‘pesta demokrasi’. Bagi Asmara, Pemilu memang ajang periodik lima tahunan untuk rakyat memilih pemimpin beserta wakil-wakil yang mengawasi pemerintahan. Tapi yang lebih penting baginya adalah Pemilu berbeda dengan demokrasi. Dia menolak jika Pemilu dianggap pesta. Pemilu bukanlah pesta, katanya. Pemilu adalah ‘hari penghakiman’.
Di hari itu, dalam imajinasi Asmara, rakyat harus bisa menjadi jaksa penuntut sekaligus hakim yang mengadili mereka yang menyalahgunakan kepercayaan rakyat. Inilah yang tampaknya ditinggalkan Asmara sebagai “pekerjaan rumah” kepada kita semua.
Bersama Bang As Melawan Impunitas
Oleh: Mohammad Choirul Anam
Saya baru tahu pertama kali tentang orang bernama Asmara Nababan dari cerita Cak Munir ketika bercerita tentang komunitas hak asasi manusia. Namanya sangat harum dan salah satu tokoh penting. Sepak terjangnya di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) juga saya dengar. Kalau orang bicara mengenai Komnas HAM, ya pasti itu terkait Asmara Nababan, bukan yang lain.
Saya sendiri baru bertemu dengan Asmara setelah Cak Munir meninggal dunia. Saat itu saya bergabung dengan Kesatuan Solidaritas untuk Munir (KASUM). Saya baru mengerti mengapa ia memiliki nama besar itu. Saya dan teman-teman di KASUM rata-rata masih unyu- unyu. Jarak usia kami dengan Bang As sangat jauh, bahkan lebih jauh dari jarak usia kami dengan Cak Munir. Dalam relasi, kami yang jauh lebih muda dengan Bang As antara lain saya, Panca, dan Asmin dan lain-lain merasakan bahwa ternyata Bang As tidak seformal dan seseram yang kami bayangkan sebelumnya. Kami bayangkan bahwa Bang As itu orang sepuh yang kalau berhubungan dengannya pasti merepotkan. Ternyata tidak. Bang As bisa menempatkan dirinya dalam berhubungan dengan siapa saja, termasuk kami.
Pada saat awal saya tidak terlalu dekat dengan Asmara, tapi ketika intensitas di KASUM semakin tinggi, kami menjadi sangat dekat dan hubungan menjadi cair. Hal ini yang membuat saya pribadi merasa bahwa Asmara memang besar bukan karena pengetahuan dan soal sepak-terjangnya di bidang hak asasi manusia saja, tapi ia dapat melihat dan mendengarkan orang muda yang mungkin saja salah langkah, seperti halnya saya.
Memang ada perbedaan strategi antara kami yang ada di KASUM. Bahkan di tengah-tengah perbedaan itu, yang menurut Bang As, mungkin kurang strategis, atau mengambil pilihan yang kurang tepat, atau agak terlalu keras, atau sama sekali tidak praktis. Menghadapi hal-hal seperti ini, bukan teguran langsung yang kami peroleh dari Bang As, melainkan diajak ngobrol.
Bang As tahu betul bahwa kami ini anak muda yang mungkin pertimbangannya pendek, tidak sepanjang beliau yang memiliki pengalaman panjang. Tapi kami sama sekali tidak merasa dimarahi, kami justru merasa dirangkul dan didudukkan kembali serta diajak mengobrol. Pengalaman semasa di KASUM sangat membekas hingga kini.
Kebetulan saya dan Bang As sama-sama suka merokok. Suatu kali Bang As bertanya kepada kami, para perokok, “Kalian masih merokok? Aku sudah berhenti nih tapi gara gara kalian bolak-balik merokok, aku jadi mencium bau rokok. Ya sudah sini saya pinjam rokoknya.”
Batang rokok itu dipegang dan dicium-ciumnya saja, terutama rokoknya Panca yang merk Dji Sam Soe.
“Dulu ini rokok aku ini, rokok berat,” kata Bang As.
Terus dicium-ciumnya rokok tersebut sambil membayangkan dan berkata, “Ooo.. dulu aku perokok, tapi ya janganlah! Jangan merokok terus kalian, biar sehat”.
Ada beberapa kisah lain. Misalnya soal laporan tim pencari fakta (TPF) Munir. Hasil TPF Munir tiba-tiba diberikan kepada sebuah media, langsung kepada pemimpin redaksinya. Di internal KASUM hal tersebut menimbulkan keributan. Bang As menyikapi kasus itu dengan santai. Mungkin saat itu Bang As marah, tapi kemarahannya tidak sampai menunjukan hubungan kami menjadi patah arang, tapi justru Bang merangkul kami semua. Ia menyadarkan kami, mengajak mengobrol dan bersantai. Cara berkomunikasi Bang As juga sangat enak dan tidak terlalu formal.
Itu sosok Bang As, yang menurut saya, pribadinya menembus ruang dan waktu. Ada saja obrolan dibicarakan di luar konteks substansi yang ada. Itulah cara Bang As untuk menciptakan komunikasi yang lebih intim. Meski demikian, kalau persoalan disiplin memang Bang As sangat ketat. Kalau rapat terlambat sewot juga dia. “Kenapa sih kalian terlambat?”
Tapi di luar soal-soal itu, misalnya ketika berjumpa, berdiskusi, dan lain-lain, Bang As bersikap sangat cair. Yang tidak kalah penting, kami yang muda-muda selalu diberi kesempatan untuk ikut membuat keputusan termasuk sejumlah keputusan penting. Walaupun orang lain mungkin menganggap keputusan kami kurang tepat, tetapi Bang As tetap menghargainya. Mungkin itu cara Bang As melihat kami yang muda-muda ini. Kadang-kadang sambil tersenyum, kadang sekadar iseng meminjam rokok kami hanya sekedar untuk dihirup baunya tetapi tidak dihisap. Mungkin itu cara beliau untuk meyakinkan kami semua bahwa kita bisa mengatasi masalah (untuk tidak merokok).
Suatu waktu Bang As berkata, “Kalau saya salah, minta maaf ya. Saya tuh pada titik tertentu senang melihat dinamika anak muda, saya tuh enak menjadi orang tua.”
Dinamika KASUM yang kadang-kadang membuat di antara kami muncul ketegangan biasanya selalu bisa diselesaikan dengan baik. “Wah, asyik juga kalian ini ya, kami para orang tua membuat kalian anak muda jadi tenang,” ujar Bang As.
Pernyataan Bang As itu menurut saya bukan agitasi, propaganda, atau membabi buta tapi lebih untuk mendorong kami lebih maju. Hal itu untuk melecut kami agar belajar semakin tekun dan terus berusaha keras menemukan ruang-ruang advokasi, dan alternatif lain. Menurut saya, dalam hal ini Bang As keren sekali.
Contoh lain adalah pembicaraan soal Sahabat Munir sebagai sebuah upaya konsolidasi. Bang As menerangkan pentingnya langkah ini sebagai sebuah gagasan besar yang bisa menjadi hal yang lebih bermakna. Itulah sosok Bang As yang menonjol. Ia adalah sosok yang bijak yang tidak menggunakan sepatu, tapi selalu dengan kebijakan.
Di Komnas HAM orang juga dapat melihat sosok Bang As sebagai orang yang jeli dalam melihat persoalan. Ia tidak akan bergeser terhadap apa yang dia yakini sebagai hal yang benar. Ia berkomunikasi dengan masyarakat pengadu dengan cara yang baik. Ada kalanya ia menyampaikan sesuatu yang pahit didengarkan, tapi dengan cara yang baik dan memberikan harapan yang besar karena yakin bahwa nilai itu adalah sesuatu yang benar.
Konsolidasi
KASUM merupakan konsolidasi berbagai organisasi non-pemerintah. Meski telah disadari sejak awal, bahwa persoalan konsolidasi ini sejak lama tidak pernah dibicarakan dengan sungguh-sungguh. Setelah advokasi panjang dilakukan, berbagai persoalan publik lain terus muncul silih berganti. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan, bagaimana dengan persoalan terkait pembunuhan yang dialami oleh Cak Munir agar tidak tenggelam ditelan waktu.
Problem konsolidasi terkait pembunuhan Munir baru serius dibicarakan dalam sebuah pertemuan di Bogor. Bang As sebagai Ketua KASUM saat itu terus berusaha membimbing kami. Dalam rapat, Panca mengatakan tentang pentingnya membuat program Sahabat Munir untuk keperluan mengonsolidasikan lebih banyak aktor agar kami tidak hanya bermain sendiri. Konsolidasi diperlukan bukan hanya dengan mereka yang berhubungan langsung dengan Munir, tetapi dengan memperlebar keterlibatan para aktor.
Gagasan tersebut mendapat peneguhan dari Bang As yang mengingatkan kembali kesadaran bersama bahwa persoalan hak asasi manusia adalah persoalan bersama. Asmara mengingatkan bahwa kematian Cak Munir bisa menimpa siapa saja, karenanya merupakan ancaman bagi kita semua. Ia menyadarkan kami semua bahwa kasus serangan kepada human right defender ini problem kita semua. Ancaman pembunuhan, ancaman kekerasan, dan ancaman dalam berbagai bentuk lain terhadap aktivis asasi manusia, demokrasi, korupsi dan sebagainya adalah ancaman bagi kita semua, umat manusia. Oleh karena itu advokasi ini harus mengonsolidasi berbagai kekuatan, bukan hanya kekuatan tradisional seperti yang ada selama ini. Dengan berbagai pertimbangan strategis dan taktis, maka tag line Sahabat Munir pun kami pilih.
Kehadiran Bang As sebagai Ketua KASUM yang sosoknya bisa diterima oleh banyak orang, ternyata bisa menjembatani semua pihak dan membantu proses konsolidasi. Ia menggaris bawahi dan menerangkan pentingnya gagasan Sahabat Munir bagi konsolidasi.
Pembicaraan perihal konsolidasi sejak awal di KASUM memang sudah ada. Dalam kasus pembunuhan Munir, konsolidasi dilakukan dengan cara memperlebar wacana, memperlebar keterlibatan aktor, memperlebar sasaran dan lain sebagainya. KASUM mengajak berbagai artis untuk membuat komik, lomba komik, lomba menyanyi dan sebagainya. Bukan hanya artis, KASUM juga mengajak semua kalangan masyarakat. Dengan demikian gerakan konsolidasi yang umumnya hanya mengandalkan para aktivis dan korban kini menjadi gerakan yang lebih luas. Hal ini bisa ditunjukkan dari bergabungnya grup band Efek Rumah Kaca, Melani Subono dan lain-lain.
Sosok dan kharisma Bang As di KASUM rupanya diterima dengan baik oleh semua orang, Hal ini memudahkan kami untuk mengonsolidasikan lebih banyak dukungan ketika mengkonsolidasi orang lain. Selain itu Bang As adalah sosok yang bisa menjembatani kami semua. Termasuk dengan istri almarhum Munir, Mbak Suci ataupun pun para aktor lain yang lebih senior seperti Mbak Pungki, Bang Hendardi, Usman, Panca, Asvinawati, Jhon, dan lain-lain. Sosok Bang As itu sepertinya sebuah sosok bapak yang benar bagi kami semua. Ia bisa mendengarkan semua orang dan bisa diterima semua orang. Ketika dia bicara sesuatu, kami semua yang sedang berpolemik, pada akhirnya akan bersepakat dan patuh. Kepatuhan yang diciptakan oleh Bang As itu bukan karena kami takut, tapi lebih dikarenakan kami percaya bahwa Bang As itu seorang yang bijak. Mungkin saja ada yang menggerundel tapi ia akan tetap patuh.
Bila kita melihat kembali target advokasi KASUM, maka sebagai sebuah role model advokasi jelas yang dikerjakan KASUM melampaui target yang ada. Memang dari segi rentang waktu kerja-kerja model advokasi KASUM membutuhkan sebuah nafas panjang, ketahanan mental dan kesabaran mental . KASUM beruntung memiliki figur nakhoda seperti Bang As. Isu Munir kalau kita lihat bisa bertahan lama di tengah gempuran berbagai isu lain. Memang isu Munir belum berhasil secara terang-benderang diungkapkan, tapi kian lama kasus pembunuhan Munir tidak diungkapkan justru kian banyak aktor terlibat di dalam konsolidasi yang dilakukan KASUM.
Peran Bang As sejak menjadi akil ketua di TPF kasus Munir memiliki peran penting dalam upaya konsolidasi yang dilakukan KASUM. Ia meletakkan fondasi yang kuat dalam upaya mengungkapkan kebenaran. Mulai dari pengungkapan para pelakunya hingga menyeretnya ke pengadilan. Siapa pelaku semakin terang dan juga bagaimana peristiwa pembunuhannya juga semakin terlihat terang.
Melawan Impunitas
Ada 2 pertanyaan penting. Yang pertama adalah melampaui batas, yang ke dua apa ada hubungannya dengan impunitas. Terkait dengan impunitas, awalnya memang seperti umumnya yang dipikirkan orang, bahwa berbagai kasus HAM itu macet. Bukan tak mungkin upaya membunuh Munir adalah bagian yang paling ampuh untuk melanggengkan impunitas karena di jaman itu, salah satu yang paling menonjol adalah Cak Munir yang paling berupaya mengungkapkan para pelaku pelanggaran HAM yang harus bertanggungjawab. Kita semua patut memahami bahwa pembunuhan Munir sebagai bagian dari sebuah upaya untuk memastikan agar kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada terkubur dan tidak terus dibicarakan di ruang publik.
Sosok Bang As di KASUM membantu kami untuk tetap jernih dan konsisten memikirkan upaya pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Upaya melawan impunitas harus tetap bisa bertahan di ruang publik. Tanpa Bang A mungkin banyak di antara kami yang menyerah karena merasa capai, emosional, atau lainnya.
Bagi kami semua jelas, impunitas bukanlah semata problem teknis hukum. Impunitas adalah sebuah problem politik di mana dalam ruang-ruang politik itu umumnya memang memiliki waktu yang panjang. Impunitas itu lahir akibat adanya kompromi dengan kekuasaan dan tidak mungkin kami masuk ke ruangan kompromi tersebut. Kami harus menciptakan ruangan itu sendiri dan adu kekuatan dengan penguasa. Upaya melawan impunitas adalah meneguhkan kesadaran bahwa yang kita lawan adalah sesuatu yang bukan teknis hukum di mana kita harus memiliki kesadaran bahwa yang kita kerjakan bakal memakan waktu panjang dan membutuhkan ketabahan.
Belajar dari pengalaman kasus Munir, secara sadar paham bahwa gerakan melawan impunitas adalah sebuah gerakan yang membutuhkan waktu panjang. Untuk itu kita harus memiliki modalitas agar tidak mudah berputus asa. Kita membutuhkan kecerdasan dalam memilih strategi yang tepat. Mungkin kita perlu mencontoh pengalaman perjuangan mama-mama Plaza de Mayo yang memakai popok anaknya merupakan simbol perlawanan. Kita tidak bisa berjuang hanya dengan menggunakan jargon demokrasi karena kadang jargon demokrasi itu justru dapat memanipulasi orang. Kalau berbicara hak asasi manusia, pilihannya hanya satu yaitu prinsip HAM itu sendiri. Perjuangan mama-mama Plaza de Mayo di Argentina merupakan pembelajaran penting yang harus didistribusikan bagi generasi muda saat ini untuk belajar dari pengalaman masa lalu.
Kita bisa melihat bahwa ancaman impunitas itu masih akan terjadi hingga sekarang, namun akan lebih terbuka dan tantangan menghadapinya juga semakin berat. Namun di level masyarakat sipil perlawanan juga akan lebih menguat akibat semakin terbukanya ruang berbicara dan dukungan teknologi yang semakin canggih ditambah lagi dengan adanya media sosial. Hambatan di depan kita semakin besar, tapi peluang juga kian besar.
Sebenarnya kita memiliki modalitas untuk melawan impunitas. Saat ini kita sudah memiliki Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Dewan Pers, Komisi Pemberantasan Korupsi dan sebagainya, yang sebelumnya tidak ada. Mengapa bisa demikian? Kalau kita narasikan dengan baik sebetulnya semua itu adalah bagian dari produk melawan impunitas, walaupun tidak langsung pada kasusnya.
Bila gerakan melawan impunitas hanya fokus menyelesaikan kasusnya, pasti tidak menghasilkan apa-apa kecuali membuat kasusnya semakin lama dan bahkan tidak terselesaikan. Jadi sebetulnya gerakan melawan impunitas itu ibarat kita berkelahi dengan tubuh sendiri. Yang membuat impunitas adalah kekuasaan dan yang berharap menyelesaikan impunitas adalah kekuasaan juga. Padahal bila kita telaah lebih detail, sebenarnya kekuasaan yang ada sedang kita kritik dan tidak kita percayai. Melawan impunitas adalah melawan lupa dan merawat harapan. Suatu saat bila waktunya tiba, ketika matahari sudah hangat di tubuh, burung-burung sudah berkicau dengan lincahnya dan kebun kita sudah dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran serta semerbak baunya, apa yang tidak bisa kita lakukan.
Saya berharap di refleksi 10 tahun almarhum Bang As ini, ia dapat tersenyum di alam yang bahagia di sana ketika melihat banyak anak muda yang menggunakan haknya berani bersikap, berani bersuara, dan dia semakin tersenyum manis, senang dan bahagia dari alam sana yang mendambakan negaranya semakin lama semakin baik. .
Pengalaman Indonesia dengan “Transitional Justice”: Mengulang Jalan Spanyol?
(Mengenang Prakarsa Asmara Nababan)
Oleh: Ifdhal Kasim
Salah satu masalah pelik yang dihadapi Indonesia pasca-Soeharto adalah menjawab masalah ketidakadilan atau pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) yang diwariskan oleh rejim sebelumnya. Mulai dari 1965 hingga Mei 1998. Mereka yang menjadi korbannya, hingga saat ini masih terus berjuang menagih penyelesaiannya oleh negara –yang memang memikul kewajiban menyelesaikannya (state responsibility).
Selagi masalah ini belum ditangani dengan tuntas, maka ketegangan dan disharmoni antara para korban (dan masyarakat pada umumnya) dengan negara masih terus mewarnai hubungan keduanya. Masalah ini akan terus membayangi masa depan politik Indonesia, apabila masalah ini dibiarkan mengambang, atau dilupakan begitu saja.
Hal ini tentu akan membawa akibat pada terhambatnya proses penyelesaian masalah-masalah bangsa lainnya, yang juga tak kalah pentingnya pula untuk dijawab, seperti masalah ekonomi dan seterusnya. Karena itu diperlukan langkah terobosan dan visioner menuntaskan penyelesaian ketidakadilan di masa lalu tersebut.
Salah seorang tokoh hak asasi manusia yang menawarkan gagasan bagaimana menyelesaikan masalah pelik itu adalah Asmara Nababan. Sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) saat itu, Asmara mengajak komunitas aktifis hak asasi manusia belajar dari negara-negara yang baru keluar dari sistem otoriter dalam menyelesaikan masa lalu mereka yang kelam dengan menerapkan apa yang disebut dengan “transitional justice”.
Asmara kemudian memprakarsai penyelenggaraan “Konferensi Keadilan Transisi” pada konferensi tahunan Komnas HAM di Surabaya, yang mendatangkan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia saat itu, yaitu Marie Robinson. Sejak saat itu ide “transitional justice” menjadi perbincangan publik. Tulisan ini ingin membahas ide yang diwariskan oleh Asmara Nababan tersebut, dan perkembangannya hingga sekarang, yang menurut saya telah membawa kita ke “jalan Spanyol”.
****
Marilah kita mulai dengan terlebih dahulu menjernihkan apa yang dikatakan dengan istilah ‘transitional justice’. Istilah ini mulai menyeruak dalam suatu kajian-kajian peralihan politik, yakni peralihan dari sistem politik otoriter/totaliter (atau dalam konflik) ke tatanan politik yang baru –yang demokratis, yang belum sepenuhnya terbentuk. Dalam konteks interval waktu dari yang lama menuju yang baru inilah dicoba menghadirkan “keadilan” atas kesalahan di masa lalu.
Hal inilah yang melahirkan apa yang disebut Prof. Ruti Titel sebagai “transtional jurisprudence”; apabila di masa politik yang normal, hukum lebih mengedepankan berfungsinya yang tradisional, yakni memelihara tatanan dan stabilitas, maka pada masa politik yang bergejolak (seperti situasi transisi politik), hukum tidak boleh berhenti pada fungsi tradisionalnya tersebut. Tetapi pada saat yang sama harus pula memainkan fungsi transformatif. Hukum harus ke luar dari kotaknya yang nyaman. “Transtional Jurisprudence” kata Prof Titel, “emerges as distict paradigmatic form of law responsive to and constructive of the extraordinary circumstances of periods of substantial political change”.
Saya ingin mengambil pengertian yang diberikan oleh masyarakat internasional, PBB, atas istilah ‘keadilan transisi’ itu. Seperti kutipan di bawah ini:
“the full range of processes and mechanisms associated with a society’s attempts to come to terms with a legacy of large-scale past abuses, in order to ensure accountability, serve justice and achieve reconciliation. These may include both judicial and non-judicial mechanisms, with differing levels of international involvement (or none at all) and individual prosecutions, reparations, truth-seeking, institutional reform, vetting and dismissals, or a combination thereof”
Maka dalam pengertian yang demikian, terlihat dengan benderang bahwa mekanisme untuk menyelesaikan warisan kekerasan masa lalu merentang mulai dari tuntutan pidana, pemulihan, pencarian kebenaran, reformasi kelembagaan, hingga pada pensiun dini atau vetting. Bukan melulu mentok pada mengajukan ke pengadilan. Artinya, dalam konteks ini, tanggung jawab negara (state responsibility) lebih luas dari sekedar memastikan kesalahan seseorang (individual criminal responsibility). Tanggungjawab negara juga meluas pada apa yang disebut dengan “state’s duty to remember“ atau “state’s duty to preserve memory” (kewajiban negara untuk mengingat atau kewajiban merawat ingatan) sebagai bagian dari pemenuhan dari “victim rights to know the truth” (hak korban atas kebenaran).
Mengelaborasi lebih jauh tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak atas kebenaran tersebut, PBB kemudian memberi mandat kepada Louis Joinet, special rapporteur pada Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas PBB, menyusun sebuah panduan bagi negara-negara untuk melawan impunitas, yang terumuskan dalam Set of Principle for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity. Prinsip-prinsip ini kemudian diperbaharui (Update) oleh Dianne Orentlicher, yang menggunakan istilah ‘state’s duty to preserve memory’. Dengan perkembangan ini, maka sekarang perhatian masyarakat internasional lebih tertuju pada bagaimana pemenuhan hak tersebut di negara-negara transisional.
Dalam konteks tanggung jawab inilah, direkomendasikan pada negara-negara agar aktif mengambil langkah-langkah merawat dan melindungi memori kolektif warganya. Sebagaimana direkomendasikan oleh Utusan Khusus PBB Louis Joinet dan kemudian diperbaharui oleh Orentlicher, wujud dari tanggungjawab itu adalah dengan membentuk suatu Komisi Kebenaran (Truth Commission) –sebagai upaya nyata untuk mengungkapkan (inquiry) tentang kebenaran masa lalu sebuah negara. Pemenuhan hak atas kebenaran secara penuh dan efektif sangatlah penting untuk mencegah keberulangannya di masa depan. Komisi-komisi ini berdiri dengan mandat, wewenang, dan tujuan yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
Meskipun namanya berbeda-beda, komisi ini dipersatukan oleh satu pola umumnya, yaitu menemukan dan mengungkapkan “kebenaran” (to tell the truth) atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis yang pernah terjadi di masa lalu –yang sebelumnya telah disanggah, disangkal dan ditutupi oleh rezim yang berkuasa ketika itu. Seperti dikatakan oleh Aryeh Neir, pengacara hak asasi manusia kenamaan, kebutuhan untuk menemukan kebenaran ditentukan oleh seberapa tersembunyi kekejaman yang terjadi. “Apabila penipuan menjadi inti pelanggaran, maka kebenaran mempunyai nilai yang sangat tinggi. Pengungkapan kebenaran dalam kondisi ini sungguh memiliki power yang sangat besar”, tambah Neir.
****
Di Indonesia sendiri gagasan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu muncul di tengah ramainya publik Indonesia berbicara mengenai pentingnya “Rekonsiliasi Nasional”. Di tengah berbagai gagasan mengenai rekonsiliasi itulah lalu Komnas HAM yang diprakarsai oleh salah seorang anggotanya, yakni Asmara Nababan, muncul dengan gagasan “transitional justice” –sebagaimana wacana yang berkembang secara global. Secara spesifik Komnas HAM mendorong pemerintah membentuk “Komisi Kebenaran” –sebagai salah satu instrumen dari konsep transitional justice itu, ketimbang mendorong “rekonsiliasi nasional” atau “rembuk nasional” yang masih simpang siur gagasannya. Maka Komnas HAM menyampaikan gagasan ini secara formal kepada Presiden BJ Habibie –presiden pertama di awal Reformasi.
Hal yang telah dimulai oleh Komnas HAM ini kemudian diartikulasikan lebih lanjut oleh kalangan aktivis dan pembela hak asasi manusia, yang memandang gagasan itu sebagai salah satu mekanisme pertanggungjawaban untuk melengkapi pengadilan. Muara dari seluruh usaha tersebut adalah lahirnya Ketetapan MPR No. V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. MPR (sebagai institusi yang merupakan representasi dari kedaulatan rakyat) telah mengeluarkan suatu keputusan politik –yang sekaligus menandakan dicapainya “konsensus nasional” di antara kekuatan-kekuatan politik di dalam masyarakat tentang apa yang harus dilakukan berkaitan dengan pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu– yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah dan DPR.
Salah satu langkah yang digariskan adalah pembentukan KKR. Dalam amanah TAP MPR itu, KKR dipandang sebagai prerequisite bagi langkah-langkah selanjutnya, yakni berupa: (i) pengakuan kesalahan, (ii) permintaan maaf, (iii) pemberian maaf, (iv) perdamaian, (v) penegakan hukum, (vi) amnesti, (vii) rehabilitasi, atau alternatif lainnya.
Inilah “national policy” yang sudah ditetapkan MPR sebagai jawaban terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan kekejaman di masa lalu. Menurut wakil-wakil rakyat di MPR saat itu, sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru, telah timbul bahaya yang kini kita rasakan bersama, yakni ancaman integrasi berbangsa (persatuan dan kesatuan RI) dan konflik horizontal yang meluas. Pembentukan KKR dipandang urgen sebagai salah satu jalan mengatasi masalah nasional tersebut (di aras makro), sekaligus diharapkan dapat menjawab ketidakadilan individual yang dialami para korban (di aras mikro). Amanat inilah yang kemudian ditindaklanjuti dengan lahirnya UU No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
****
Tetapi eksperimen Indonesia dengan “transitional justice” itu gagal. Dalam proses pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini, yakni pada tahap menunggu seleksi anggotanya oleh presiden, tak disangka Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan secara keseluruhan Undang-Undang tersebut. Maka “bayi” yang sudah lahir tersebut pun mati di usianya yang sangat dini. Tetapi bukan berarti MK tidak setuju dengan misi yang terkandung dalam UU No. 27 Tahun 2004 tersebut, tetapi oleh karena terdapat inkonsistensi ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya, yang pada gilirannya nanti akan menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid).
MK memberi dua pilihan kepada pemerintah setelah menyatakan UU KKR tidak memiliki kekuatan hukum lagi, yaitu: (i) mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal; atau (ii) melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum. Inilah opsi yang dibuka oleh MK yang harus ditindaklanjuti dalam usaha menyelesaikan bagian-bagian gelap di masa lalu bagi kepentingan masa depan.
Presiden Joko Widodo mewarisi permasalahan yang belum terselesaikan ini. Dalam visi dan misinya sebagai calon presiden, Nawacita, presiden mengemukakan komitmen politiknya untuk menyelesaikan masalah yang sudah tertunggak bertahun-tahun itu. Masalah ini dikatakan dalam Nawacita, telah menjadi beban sosial politik bagi bangsa, dan oleh karenanya perlu ada penyelesaian yang dilakukan secara berkeadilan.
Tekad politik presiden ini kemudian dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, melalui Perpres No. 2 Tahun 2015. Kebijakan ini merupakan perwujudan dari pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi dan mandat TAP MPR No V Tahun 2000. Dalam rencana pembangunan jangka menengah itu dipaparkan arah dan strategi penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia dengan mengutamakan mekanisme non-judisial, melalui pembentukan suatu komite bersifat ad hoc yang langsung berada di bawah presiden, yaitu Komite Kepresidenan untuk Penyelesaain Pelanggaran Hak Asasi Manusia Masa Lalu. Terlihat dengan gamblang, bahwa melalui RPJM diletakkan arah kebijakan dalam menjawab tunggakan kewajiban yang belum dilunaskan tersebut.
Tetapi hingga berakhirnya periode pertama Presiden Joko Widodo realisasi kebijakan tersebut belum berjalan. Begitu juga dengan jalan pengadilan atau judisial, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah diselidiki pro-justicia oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hingga kini belum ditindaklanjuti dengan penyidikan oleh Jaksa Agung. Ibu-ibu yang mengelar aksi setiap kamis, “aksi kamisan”, masih terus menuntut pertanggungjawaban negara atas apa yang mereka alami.
****
Sebelum menutup tulisan ini, perlu diperjelas pelanggaran hak asasi manusia masa lalu seperti apa yang hendak dicari penyelesaiannya melalui pendekatan “transitional justice” itu? Yang hendak dicari penyelesaiannya adalah pelanggaran-pelanggaran yang kuat diduga sebagai pelanggaran yang terpola dan sistematik, yang tak bisa dilepaskan dari watak rezim politik saat itu (state-sponsored) –yang dalam istilah tehnisnya dikenal sebagai ‘gross violation of human rights’.
Pelanggaran yang dimaksud, kuat diduga tampak pada celebrete cases ini: (i) pembunuhan massal 1965-1967; (ii) pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983); (iii) pembunuhan misterius (1983-1986, pembunuhan terhadap kaum kriminal di berbagai kota); (iv) pembantaian kaum Muslim Tanjungpriok (Jakarta, 1984); (v) penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap aktivis-aktivis politik Islam (kelompok Usro’ 1985-1988, terutama di daerah Jawa); (vi) pembantaian kelompok Warsidi yang dituduh mendirikan Negara Islam Indonesia (Lampung, 1989); (vii) penyiksaan dan pembunuhan terhadap Jema’at HKBP (1992-1993); (viii) pembantaian kelompok Muslim Haur Koneng, Majalengka, Jawa Barat (1993); (ix) pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993); (x) operasi militer di Aceh II (1989-1998); (xi) pembunuhan di Irian Jaya (1994-1995); dan seterusnya. Serangkaian peristiwa ini bukanlah berdiri sendiri (kasuistik), tetapi memiliki karakter yang “terpola” dan “sistematis”. Inilah yang telah menjadi “memoria pasionis” masyarakat kita.
Seperti diketahui beberapa dari peristiwa yang disebutkan di atas sudah diselidiki secara pro-yustisia oleh Komnas HAM. Beberapa yang sudah selesai penyelidikan pro-justicia oleh Komnas HAM, antara lain, adalah: pembunuhan massal 1965-1967, Tanjung Priok (1984), Penembakan Misterius (1983-1986), kelompok Usroh Warsidi (Talangsari,1984), Penculikan Aktifis Pro-Demokrasi (1997-1998), Tragedi Mei (1998), dan peristiwa Semanggi I dan II (1998). Tetapi hingga kini, penyelidikan atas kasus-kasus itu belum ditindaklanjuti ke tahap penyidikan oleh Jaksa Agung.
Tidak ada kejelasan mengenai status hasil penyelidikan pro-justicia Komnas HAM tersebut: apakah akan diteruskan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia, atau Jaksa Agung menghentikan penyidikan kasus-kasus tersebut karena alasan tidak cukup kuat untuk diajukan ke pengadilan? Sampai sekarang tidak ada jawaban yang pasti. Pada serangkaian kasus-kasus tersebut, baik korban maupun masyarakat pada umumnya, belum mendapatkan “the rights to know the truth” maupun “victim rights to reparation”. Apalagi “victim rights to justice”.
Maka, kalau Presiden Joko Widodo masih ingin melaksanakan misi politiknya yang tertuang dalam Nawacita, saya kira ia bisa mengambil langkah politik sebagaimana pernah dilakukan oleh pendahulunya, yaitu Presiden BJ Habibie. Menjawab tuntutan publik yang mendesak dilakukan pencarian-fakta atas peristiwa Tragedi Mei 98, Presiden BJ Habibie mengambil keputusan politik membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), yang dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung pada tanggal 23 Juli 1998. Yang kedua adalah kasus pelanggaran hak asasi manusia selama penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan pembunuhan Teungku Bantaqiah dan pengikutnya. Presiden Habibie mengeluarkan Keppres Nomor 88 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. Melalui Keppres ini Habibie memberikan mandat kepada komisi untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung di Aceh selama penerapan DOM dan sekaligus menyelidiki peristiwa pembunuhan Teungku Bantaqiah dan pengikutnya di Beutong Ateh, Kabupaten Aceh Barat pada 23 Juli 1999.
Apakah kita akan menempuh “jalan” Spanyol? Yaitu menyerahkan penyelesaiannya pada waktu: biarlah waktu yang membuat kita lupa! Pilihannya sepenuhnya berada di tangan presiden.
Arti Penting Rekonsiliasi di Indonesia
Oleh: Agung Putri Astrid
Rekonsiliasi menjadi perbincangan politik terkemuka sepanjang masa reformasi 20 tahun lalu. Gagasan ini belum sempat berkembang penuh dan terburu tenggelam ketika MK membatalkan UU KKR tahun 2006. Pada April 2016, sebuah simposium tentang tragedi 1965 diselenggarakan atas inisiatif Menkopolhukam Luhut Panjaitan, untuk mencari penyelesaian masa lalu. Namun tidak terdengar tindak lanjutnya hingga sekarang.
Sepintas rekonsiliasi bukan hal yang urgen saat ini. Pemerintahan cukup solid dengan dukungan masyarakat melalui kemenangan sebesar 54% pada Pilpres 2019. Integritas para menteri cukup tinggi dengan beberapa terobosan serta langkah cepat dan responsif pemerintah menjawab kebutuhan masyarakat. Pembangunan infrastruktur cepat, meluas dan mengutamakan kepentingan mereka yang terpinggir, terluar, tertinggal, dan termiskin. Kepuasan masyarakat pada kerja pemerintah berada di sekitar angka 65-74% hingga terakhir pada Mei-Juli 2020 (Kompas.com, 2019).
Sekalipun pemerintahan pasca-reformasi semakin kokoh, terutama sejak 2004, ini belum mencerminkan sustainability atau keberlanjutannya. Reformasi sistem hukum memang telah berjalan sehingga banyak ketegangan politik bisa disalurkan melalui mekanisme hukum terutama sengketa pilkada, pileg dan pilpres. Namun dengan besarnya masalah kekerasan masa lalu yang belum bisa diselesaikan, maka politik Indonesia boleh dibilang masih rapuh. Terutama ketika pemerintah harus menangani guncangan-guncangan besar seperti aksi terorisme berupa Peristiwa Bom Kantor BEJ Jakarta (2000), bom kedutaan Autralia (2004), JW Mariott (2009), Bali (2002, 2005), Starbuck-Sarinah (2016), Surabaya (2018).
Sementara itu terus terjadinya kriminalisasi petani, kekerasan terhadap warga Papua, penangkapan aktivis, diskriminasi terhadap Ahmadiyah dan kelompok agama lainnya melemahkan kepercayaan pada pemerintah dan merupakan benih perpecahan. Masuknya jendral purnawirawan yang memiliki catatan kelam hak asasi manusia seperti Jendral Wiranto, Hendropriyono dan sekarang Prabowo ke dalam pemerintahan sipil semakin memperdalam sikap skeptis masyarakat akan masa depan demokrasi.
Untuk membuat demokrasi benar terkonsolidasi, masyarakatnya memerlukan semacam pemulihan trauma yang didalamnya terdapat proses pengakuan, penghargaan pada kenangan, penyesalan dan permaafan serta pemulihan dan reintegrasi. Dengan demikian, rekonsiliasi sebagai cara untuk membangun tujuan bersama, tetap relevan. Rekonsiliasi bukan sebatas perdamaian, negosiasi dan kompromi, melainkan proses yang dimaksudkan untuk menumbuhkan relasi baru dengan tujuan bersama yang baru. Pada dasarnya rekonsiliasi memiliki tiga dimensi yaitu rekonsiliasi konstitusional, institusional dan relasional (Madison 2016).
Dalam hal rekonsiliasi konstitusional dan institusional, Indonesia sudah menempuh banyak jalan melalui program reformasi politik pemerintahan. Namun untuk dimensi yang ketiga tampaknya itu belum selesai.
Gelombang Panas
Dunia internasional juga dalam suasana yang sangat tegang penuh pertikaian. Sejak runtuhnya Gedung WTC New York 11 September 2001 oleh aksi terorisme sesungguhnya dunia tidak lagi sama. Konsensus HAM yang bergema sejak konperensi dunia HAM tahun 1993 untuk menyambut kembalinya abad hak asasi manusia semakin sayup terdengar. Sepanjang dekade kedua Abad XXI gerakan rakyat di negara-negara Arab bangkit menjungkirkan rejim otoritarian. Diawali di Tunisia, gelombang aksi ini menyebar ke Mesir, Suriah, Libya, Yemen, Bahrain. Demonstrasi jalanan berlangsung di Iraq, Maroko, Aljazair, Lebanon, Jordan, Kuwait, Oman, dan Sudan. Kebangkitan ini dikenal dengan sebutan Arab Spring.
Namun gerakan itu justru sekarang berjalan menuju Arab Winter, menuju krisis, terutama di Mesir, Irak, Yemen, Suriah dan perang saudara di Libya, Lebanon dan Suriah. Di Irak bahkan terbentuk ISIL atau ISIS yang menyebarkan teror ke negara-negara Arab, Afganistan, Turki, Pakistan dan kawasan Eropa Barat. Gerakan ekstrimisme beragama dan aksi terorisme mengemuka dalam dua dekade ini, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia percikan-percikan konflik rawan berkembang menjadi krisis sosial politik. Pemilu tetap merupakan area kontestasi kekuatan politik yang mudah meledak menjadi kerusuhan, chaos dan instabilitas politik nasional. Ini mengemuka dalam Pilpres 2014, Pilkada DKI dan Pilpres 2019. Dalam masa kampanye pilkada DKI, kampanye paslon berubah menjadi gerakan politik, yaitu gerakan aksi bela Islam III yang menuntut Jokowi untuk menahan Ahok. Aksi yang dikenal dengan nama Aksi 212 (2 Desember 2016) berkembang menjadi sentimen agama yang meluas hingga ke berbagai kota di Indonesia. Gerakan berbasis sentimen agama ini bangkit kembali dalam bentuk aksi penolakan hasil pilpres di depan Gedung Bawaslu yang berakhir ricuh pada 2019.
Keadaan yang tetap rawan ini oleh beberapa kalangan dipandang bahwa Indonesia masih dalam proses transisi menuju demokrasi (Agus Wijoyo, 2017). Ini ditandai dengan rendahnya trust kepada pemerintah dan lembaga-lembaga demokrasi sehingga orang menempuh jalan non-demokratik untuk mencapai keinginannya. Partai politik belum kokoh, penegakan hukum lemah dan korupsi masih belum mampu dihilangkan (Nadjib, 2019).
Transisi politik menuju demokrasi pada dasarnya adalah upaya menciptakan sistem politik di mana terdapat ruang konstitusional untuk melakukan perubahan pemerintahan (Lipset 1959). Indonesia cukup konsisten menjaga ruang demokratis ini dengan terjadinya lima kali perubahan pemerintahan sejak 1999 hingga akhir 2019 secara konstitusional dan damai. Ini mencerminkan bahwa salah satu dimensi transisi menuju demokrasi yaitu kompetisi politik yang efektif, telah berjalan baik.
Demikian pula pada dimensi lain dari transisi menuju demokrasi, yaitu partisipasi politik yang inklusif dan jaminan kebebasan sipil dan hak politik oleh penegakan hukum (Diamond, et.al., 1990), Indonesia juga telah jauh bertransformasi, dengan melakukan antara lain amandemen konstitusi yang memasukkan prinsip hak asasi manusia, reformasi sistem pemilu, otonomi daerah, dan juga pencabutan peraturan perundangan yang membatasi kebebasan sipil. Lembaga-lembaga demokratik lainnya dibentuk, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Ombudsman, Otoritas Jasa Keuangan dan Komisi Pemilihan Umum dan lainnya.
Namun ketika konsolidasi demokrasi berusaha diperluas dan diperdalam, Indonesia menghadapi tembok tebal konstruksi kekuasaan sosial politik warisan otoritarian. Segera setelah dilantik menjadi Menkopolhukam, Machfud MD (2019) menyatakan pemerintah berniat menangani 11 tragedi pelanggaran HAM masa lalu yaitu Peristiwa 65, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Rumoh Geudong, Penghilangan Secara Paksa, Penembakan Mahasiswa Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Tragedi Simpang KKA, Peristiwa Wamena-Wasior, Tragedi Jambu Keupok Aceh Selatan. Namun tidak ada kelanjutan dari niatan tersebut sampai sekarang.
Belum tunainya penyelesaian masa lalu sesungguhnya telah ikut memelihara ketegangan struktural antar kelompok politik, antar ras, suku dan agama, yang rawan bagi keutuhan bangsa. Menguatnya intoleransi dalam 15 tahun terakhir juga dimungkinkan karena adanya dukungan dari kelompok yang memiliki cukup kekuasaan dan tanpa memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan akibat-akibatnya.
Rekonsiliasi
Untuk membangun suatu mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu membutuhkan kepercayaan seluruh komponen politik. Oleh karenanya mengambil langkah rekonsiliasi bukanlah suatu dosa terhadap demokrasi, bukan pula suatu impunitas bagi keadilan. Rekonsiliasi justru diperlukan untuk mengokohkan demokrasi.
Rekonsiliasi dapat dimengerti sebagai tujuan sekaligus sebagai proses. Rekonsiliasi bertujuan memulihkan hubungan di antara pihak yang bertikai. Sedangkan dalam proses, rekonsiliasi hadir memperkuat keadilan. Rekonsiliasi bersumber dari semangat biblikal yang artinya berubah dan atau saling berubah, change dan exchange (William J. Woodruff, 1996). Seseorang melakukan rekonsiliasi dengan Tuhan dan dengan sesama. Rekonsiliasi dengan tuhan berarti orang siap mengubah dirinya. Rekonsiliasi antar manusia berarti kedua belah pihak siap berubah, bersepakat menjadi satu dan tidak ada pihak yang asing atau diasingkan lagi. Sebagai konsep spiritual, rekonsiliasi memiliki fungsi politik yang penting, yaitu membangun kembali komitmen masyarakat untuk tumbuh bersama. Sudah sejak abad 16 rekonsiliasi digunakan untuk memulihkan hubungan antar kekuasaan dalam keluarga monarki Eropa (Collindictionary.com).
Rekonsiliasi diperkenalkan kembali dalam politik modern pasca perang dingin untuk pertama kalinya di Afrika Selatan pada 1989. Jalan rekonsiliasi Afrika Selatan telah mengejutkan dunia. Saat itu negeri-negeri sejawat seperti Chile, Argentina, Brazilia, Korea Selatan, Philipina, Guatemala juga di Cyprus, Armenia dan bekas Yugoslavia, yang juga sedang bertransisi dari pemerintahan otoritarian, justru menempuh jalan pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintahan sebelumnya atas pelanggaran HAM. Di Chile dan Argentina, proses ini dibarengi dengan suatu penyelidikan publik. Sedang Hungaria, Cekoslovakia, Jerman dan negara Eropa Timur lainnya melakukan pembersihan pemerintahan atau lustration.
Rekonsiliasi Afrika Selatan memiliki dua dimensi. Yang pertama adalah dimensi politik, yaitu langkah Nelson Mandela dan Presiden D. Klerk memulai perundingan yang dikenal dengan nama CODESA (Convention for a Democratid South Africa). Pada tahap I, CODESA hanya membahas satu soal saja yaitu bagaimana pihak-pihak yang berkonflik selama ini dapat berunding: talk about talk. CODESA berlangsung tiga kali dan akhirnya sampai pada kesepakatan membentuk pemerintahan bersama dan menghapus pemerintahan apartheid, untuk pertama kalinya di Afrika Selatan.
Pada perundingan tahap akhir, Nelson Mandela menawarkan pemberian amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM berat masa Apartheid. Langkah ini mendorong masyarat menuntut agar ada akuntabilitas dalam pemberian amnesti tersebut. Akhirnya disepakati pemberian amnesti ditempuh setelah pengungkapan kebenaran, pengampunan dan permaafan yang dilakukan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Inilah rekonsiliasi dengan dimensi keadilan.
Strategi rekonsiliasi Afrika Selatan telah menginspirasi negara lain untuk membentuk semacam komisi rekonsiliasi, seperti misalnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Sierra Leone, 1999, equity and reconciliation commission di Maroko, 2004, juga di Colombia, Canada, Congo, Chile, Fiji, Gambia, Gana, Honduras, Kenya, Liberia, Nepal, Peru, Rwanda, Kepulauan Solomon, Korea Selatan, Srilangka, Timor Leste. Demikian pula yang terakhir terbentuk di Tunisia tahun 2014 yaitu Truth and Dignity Commission.
Sekalipun rekonsiliasi Afrika Selatan penuh dengan kritik, tetapi peran yang dimainkan Nelson Mandela pada momen krusial membangun trust di antara pihak-pihak tak bisa dipandang enteng. Ia mengawal masyarakat masuk dalam perundingan dengan pemerintahan kulit putih Apartheid dan sekaligus mengakhiri pemerintahan Apartheid.
Rekonsiliasi memang sering dicurigai sebagai bagian dari impunitas. Namun bila disiapkan dengan baik rekonsiliasi justru bagian dari penciptaan keadilan dan penumbuhan rasa adil atau sense of justice. Dalam hal pemulihan korban yang bersifat psiko-sosial dan ekonomi, untuk mencapainya diperlukan proses penerimaan kembali di tengah masyarakat. Hal ini yang berlangsung di Timor Leste dalam Commission for Reception, Truth and Reconciliation, 2001.
Dengan adanya dimensi rekonsiliasi, maka keadilan memiliki makna yang lebih luas dari penghukuman pelaku tetapi mendalam hingga pada pemulihan keadaan. Ini dikenal dengan nama restorative justice (Linda Radzik and Colleen Murphy, 2015). Hal penting dari praktek rekonsiliasi di berbagai negara adalah semakin dilibatkannya perempuan di dalam keseluruhan proses. Ini telah dimulai di komisi Timor Leste dan khususnya di Tunisia komisi rekonsiliasi telah membentuk women section.
Kembalinya Rekonsiliasi di Indonesia
Upaya Indonesia menyelesaikan masa lalu belum bersifat komprehensif. Pengadilan yang dibentuk untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat seperti pengadilan untuk kasus Tanjung Priok, Penculikan, Timor timur belum memuaskan masyarakat dan memenuhi rasa keadilan korban. Upaya penyelidikan pada berbagai kasus pelanggaran HAM tidak pernah sampai pada suatu kesimpulan. Ini karena antar lembaga negara, Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan Parlemen sebagai pembentuk pengadilan HAM belum bersepakat. Pembiaran, impunitas dan desakan pengungkapan, saling menekan satu sama lain hingga kini.
Penyelesaian pelanggaran ham memang bukan upaya sekali pukul. Dinamika politik dari tahun ke tahun berjalan semakin jauh dari tragedi kemanusiaan tersebut. Demokrasi itu sendiri melahirkan generasi baru para pemimpin yang tidak memiliki ikatan dan beban masa lalu. Tetapi di lain pihak, kerabat dan keluarga para pemegang kekuasaan masa lalu juga tampil di panggung demokrasi. Mereka yang seharusnya bertanggung-jawab atau yang sudah menjalani hukuman, kembali berkiprah dalam politik pasca otoritarian baik sebagai anggota parlemen maupun pejabat eksekutif.
Philipina dalam pemilu terakhir tampil tokoh-tokoh dari kalangan keluarga mantan Presiden Ferdinand Marcos. Korea Selatan bahkan sempat dipimpin oleh perdana menteri yang adalah anak mantan diktator Park Chung Hee. Padahal di kedua negara tersebut, dekade sebelumnya, telah digelar berbagai penyelidikan, pengadilan bagi mereka yang bertanggungjawab atas kekerasan masa lalu.
Di lain pihak, Burma yang oleh pemerintahan militer diubah namanya menjadi Myanmar dan ibukotanya dipindah dari Rangoon ke Nay Pyi Daw, sekalipun mencoba mengubah diri dengan melakukan reformasi politik, baik itu sistem pemilu, lembaga negara, amandemen konstitusi hingga pembebasan para tahanan politik, ternyata masih sulit menggeser fraksi militer ke barak. Myanmar juga masih harus menjalani negosiasi antar partai politik berbasis etnis untuk mengkonsolidasi kedaulatan nasionalnya. Transisi memang berjalan teramat pelan di sejumlah negara, bahkan beberapa proses justru mengarah ke menguatnya otoritarianisme, sehingga proses transisi buntu dan membeku, terjadi frozen democratization. (Zaw Min Oo, 2010)
Akan halnya di Indonesia, reformasi konstitusional dan institusional bergerak lebih jauh dari Myanmar dalam hal reformasi TNI-Polri sehingga institusi tersebut benar berada di luar lembaga eksekutif. Namun memang tokoh dari pemerintahan lama yang seharusnya memperpertanggungjawaban perbuatan di masa lalu, tidak pernah benar meninggalkan panggung politik kekuasaan. Tampilnya Prabowo sebagai calon presiden mendapatkan dukungan penuh dari kekuatan lama yang mencerminkan bahwa kekuatan lama terus berjuang untuk kembali.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia masih membutuhkan energi pembentuk yang lebih besar lagi untuk menghadapi situasi yang kompleks. Pertanggungjawaban atas kekerasan di masa lalu, sebagai upaya membangun norma dan etika yang menyesalkan kejadian harus menemukan langkah terobosan baru. Sekalipun Jokowi berhasil mempertahankan kursi presiden pada pilpres lalu, namun kekuatan Jokowi tidak cukup untuk membawa negara ini menuju demokrasi yang lebih kokoh, tanpa merangkul seterunya. Gelombang protes Aksi Bela Islam III/ aksi 212 tahun 2016 bangkit kembali dalam bentuk demonstrasi menentang hasil pilpres di depan gedung Bawaslu tahun 2019. Pesan politiknya adalah bahwa kekuatan lama tidak dapat diabaikan.
Realitas politik telah menggiring Jokowi menempuh jalan rekonsiliasi. Prabowo dan Jokowi bertemu dan menghasilkan kesepakatan membagi kursi kekuasaan menteri kepada kekuatan yang dipimpin Prabowo, termasuk menyetujui untuk duduk sebagai mentri pertahanan. Rekonsiliasi ini memang tidak dalam mekanisme formal dan bersifat elit. Namun menurut hemat saya secara politik ini adalah suatu peristiwa rekonsiliasi, dan tidak sekedar suatu negosiasi level elit. Pertemuan tersebut dianggap oleh beberapa kalangan, mencerminkan kebesaran jiwa Prabowo. Sedangkan Jokowi dipandang memiliki kreatifitas politik untuk merangkul perbedaan. (Roy Suryo, 2019). Di pihak lain ada kelompok menolak berdamai, dan terus berjuang mengambil-alih kekuasaan, misalnya eksponen 212 dengan tokohnya Habib Rizieq dan Amien Rais.
Perjumpaan para calon presiden di momen pasca pilpres tersebut adalah kenyataan di mana pemerintahan populis yang tidak memiliki beban masa lalu harus berdampingan dengan tokoh-tokoh yang sesungguhnya memiliki peran dalam pelanggaran HAM di masa lalu. Saat ini sangat diperlukan mekanisme penghargaan dan perlindungan martabat manusia di tengah tiadanya pertanggungjawaban.
Rekonsiliasi Sebagai Suatu Saling Ketergantungan
Terlepas dari banyaknya tantangan dan hambatan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, namun tidak berarti kita sedang berhadapan dengan kegagalan. Mengelompokkan orang ke dalam katagori ”mereka yang bertanggungjawab” dan ”mereka yang menjadi korban” memang membutuhkan kekuatan politik yang besar, yang saat ini belum tumbuh. Kehidupan bersama sosial ekonomi berlangsung dengan ditopang oleh mereka yang mengetahui, membiarkan, mendukung hingga melakukan pelanggaran HAM dan mereka yang dirugikan, dikorbankan, disingkirkan. Mereka yang mungkin saling mengetahui peran masing-masing di masa lalu tanpa meniadakan satu sama lain.
Setelah 22 tahun reformasi, kenyataan di depan mata adalah bahwa Demokrasi Indonesia memang sebuah ”pekerjaan rumah” bukan ruang kehidupan yang tenteram dan damai. Demokrasinya bersifat agonistik, di mana setiap kelompok yang saling bertentangan dan bersaing satu sama lain, hidup bersama. Demokrasi menjadi momentum bagi berbagai kekuatan yang hendak mengubah keadaan berada dalam satu platform yang sama bernama kekuasaan konstitusional (Patberg 2015). Masyarakat agonistik hidup berdampingan tetapi bukan dalam kapasitas untuk bisa merangkul satu sama lain (Maddison 2016).
Oleh karenanya rekonsiliasi juga paling tepat dipahami sebagai suatu middle ground di mana semua pihak bisa bertemu. (Fanie, 2018). Melalui rekonsiliasi sesungguhnya konflik ditransformasi. ”To transform actually or potentially violent conflict into non-violent forms of social struggle and social change”. Rekonsiliasi terjadi bukan karena keinginan berdamai dan saling memaafkan, melain karena semua pihak, untuk suatu tujuan bersama, membutuhkan rekonsiliasi.
Demikian di Afrika Selatan, Fanie du Toi menyimpulkan betapa rekonsiliasi Afrika Selatan tidak lain adalah ketika semua kelompok politik berada dalam ketidakmungkinan untuk melepaskan diri satu sama lain. Kondisi saling ketergantungan-lah atau interdependence yang menjadi unsur pertama dan utama, yang mendorong berbagai kelompok yang bertentang-tentangan bertemu dan menyepakati satu tujuan bersama dalam wujud rekonsiliasi.
Rekonsiliasi dengan semangat semacam ini sesungguhnya juga terjadi di Ambon, Maluku. Ketika konflik agama pecah di Ambon pada Januari 1999 hingga 2012, sekitar 6000 orang meninggal dan lebih dari 7000 orang luka-luka, selain 29.000 bangunan hancur dan 500.000 orang mengungsi (ICG, 2000). Dua tahun kemudian, akhirnya pada 13 Februari 2012 perdamaian diwujudkan dengan menandatangani perjanjian Malino II antara kelompok Kristen maupun Islam. Dalam perundingan juga sempat dibahas kemungkinan melakukan pengungkapan kebenaran maupun pengadilan, tetapi tidak sampai pada kesepakatan. Sekalipun demikian rekonsiliasi tetap berlangsung hingga hari ini. Ini karena adanya saling ketergantungan ekonomi, sosial di antara kelompok yang mendorong rekonsiliasi (Kusumaningrum, 2016). Ikatan kekeluargaan menjadi faktor saling ketergantungan yang membuat masyarakat tidak mungkin menghindari diri untuk melakukan rekonsiliasi.
Sebaliknya tantangan cukup sulit terjadi pada rekonsiliasi di Aceh. Rekonsiliasi ditandai dengan Perjanjian Perdamaian Helsinki pada 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia, difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Celah perdamaian di Aceh terbuka ketika politik nasional berubah total pada 1998 dan krisis Timor Timur menghadapkan Indonesia pada ancaman disintegrasi. Sementara itu GAM sendiri telah mengalami kelelahan dan strategi perjuangan mereka menemui jalan buntu (Aspinall, 2005). Kembalinya kedua belah pihak ke meja perundingan terjadi karena bencana Tsunami. GAM tidak mungkin melancarkan perlawanan di tengah kematian ratusan ribu dan pengungsian warga. Pemerintah sebaliknya tidak mampu melakukan aksi tanggap darurat yang membutuhkan dukungan internasional di daerah operasi militer. Kedua belah pihak merasakan urgensi untuk segera memulihkan Aceh dari bencana. Ada saling ketergantungan yang mendorong masuk ke tahap perdamaian.
Selanjutnya suatu pemerintahan Propinsi Nanggore Aceh Darussalam dibentuk melalui pemberlakuan UU Pemerintahan Aceh 2006. Kompetisi fair antar partai politik dan partisipasi politik telah diperluas dengan dibentuknya partai lokal. Landasan konstitusional rekonsiliasi di Aceh telah diletakkan. Pelembagaannya ditempuh dengan pembentukan sistem kebijakan Aceh berupa qanun.
Namun hingga tahun ke-15 perjanjian Helsinki ditandatangani, perubahan konstitusional dan institusional di Aceh belum sepenuhnya menenangkan masyarakat. Pelembagaan perdamaian ini belum menyentuh dan menjangkau komponen masyarakat. Proses reintegrasi masyarakat Aceh belum tuntas. Suara para korban dan masyarakat akar rumput belum didengar sepenuhnya. Kebijakan ekonomi belum mengangkat derajat kemiskinan. Aceh masih menghadapi problem kesejahteraan. Rekonsiliasi relasional, suatu relasi personal yang sehat, belum pulih. Sebagian besar unsur yang memungkinkan pecahnya perdamaian bukanlah ketimpangan, represi atau perbedaan ras etnik tetapi kemiskinan, pendapatan rendah, pertumbuhan ekonomi yang lambat, serta keterbelakangan (Collier, 2006). Keadaan ini membuat perdamaian masih rapuh di Aceh.
Akan halnya di Papua, pada awalnya keluarnya UU Otonomi Khusus telah meningkatkan kepercayaan warga Papua bahwa Papua akan diperlakukan setara dengan warga lainnya. Namun kemudian harapan itu tidak segera terwujud. Diskriminasi sosial ekonomi masih terjadi. Orang Papua masih merasa ditinggalkan dan diabaikan. Di Papua rekonsiliasi baru bersifat konstitusional. Pelembagaan politik kesejahteraan belum berjalan dan saling ketergantungan antar pihak belum kuat. Rekonsiliasi Papua belum mengarah pada lahirnya masyarakat baru, saling mengisi dan memberikan kemajuan bagi Indonesia.
Rekonsiliasi merupakan proses panjang dan bersifat komprehensif menyangkut pembentukan relasi atau hubungan yang meluas, kuat, tak terhindarkan dan saling tergantung (Fanie du Toit, 2018). Rekonsiliasi sebagai proses dapat memperkuat relasi, dan mentransformasi konflik fisik menjadi perundingan. Asmara Nababan adalah sosok yang paling setia pada konflik, perdebatan dan pencarian jalan keluar. Asmara Nababan telah menyaksikan bagaimana Indonesia mendesain rekonsiliasi konstitusional. Sayang, pendekar ini belum sempat melihat bagaimana upaya melembagakan rekonsiliasi ditempuh oleh pemerintahan Jokowi dengan pembangunan kawasan Indonesia timur. Dan bersama semua, Asmara tetap mendorong rekonsiliasi dengan pertanggungjawaban terhadap kekerasan di masa lalu.
Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM dan Proses Demokratisasi: Sebuah Diskusi Imajinatif Masa Lalu untuk Masa Kini
Oleh: Galuh Wandita
Asmara Nababan mempunyai kontribusi khusus dalam upaya mendorong pengakuan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia dan Timor-Leste (dahulu Timor Timur). Pada saat konflik masih berkecamuk di Propinsi ke 27 pada saat itu, ia berperan dalam membangun mekanisme untuk pembelaan orang-orang yang terdakwa akibat demonstrasi 12 November 1991. Sebagai Sesjen Komnas HAM, Asmara terlibat langsung dalam investigasi kasus-kasus pada tahun 1990-an; dan kemudian menjadi bagian dari KPPHAM yang menginvestigasi pelanggaran HAM berat pada masa jajak pendapat 1999. Asmara jeli melihat hubungan antara pertanggung-jawaban atas pelanggaran HAM dan proses panjang membangun negara demokratis yang sehat, yang dapat mengatasi tantangan global yang semakin rumit.
Saya beruntung karena menyimpan dua dokumen penting. Pertama, wawancara Asmara dengan Komisi Kebenaran, Penerimaan dan Rekonsiliasi (CAVR) circa 2003, di mana saya bekerja pada waktu itu. Ke dua, keynote speech di Melbourne pada 2009, memperingati 10 tahun jajak pendapat—sebuah tulisan yang kebetulan saya diminta Asmara untuk membantu menyunting. Berbekal kedua dokumen, saya membuat sebuah diskusi imajinatif bersama Asmara, berkaitan dengan persoalan-persoalan yang masih membelenggu Indonesia, pada saat ini.
Q: Bang As, dua-dekade plus sejak reformasi, apakah kita semakin jauh dari semangat perubahan yang mendasar gerakan tersebut?
A: Reformasi 1998 pada awalnya memberikan harapan bahwa Indonesia dapat menyelesaikan berbagai kejahatan masa lalu secara adil. Bahwa dalam kerangka politik baru yaitu demokrasi, upaya pemajuan dan perlindungan HAM dapat terwujud. Namun beruntun Pemilu kemudian, demokrasi di Indonesia tetap bersifat prosedural. Meskipun benar bahwa rakyat Indonesia pada tingkat tertentu menikmati kebebasan sipil yang lebih besar, tetapi demokrasi sejati tidak hanya tentang kebebasan sipil.
Pembentukan demokrasi sejati membutuhkan antara lain supremasi hukum, ketundukan militer kepada supremasi sipil, serta transparansi dan akuntabilitas pemerintahan terpilih. Dalam semua aspek yang disebutkan di atas, situasinya tetap buruk. Secara substansial, Indonesia masih jauh dari membangun dan menegakkan demokrasi berbasis hak asasi manusia. Defisit demokrasi di Indonesia ini harus diatasi sebelum negara dapat memenuhi kewajibannya untuk memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia secara efektif, kepada rakyatnya sendiri dan juga kepada korban pelanggaran hak asasi manusia. [Pidato Melbourne, 2009]
Q: Apakah impunitas untuk pelanggaran HAM berdampak pada demokratisasi?
A: Dari sudut pandang Indonesia, sikap untuk “forgive and forget” —memaafkan dan melupakan kejahatan masa lalu telah diambil tidak hanya untuk Timor Leste. Terdapat daftar panjang pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh rezim militer Soeharto, mulai dari pembantaian 65 & 66 hingga kerusuhan 1998, di seluruh wilayah Negara, dari Papua hingga Aceh. Para pelaku menikmati impunitas dan bahkan menduduki posisi publik. Beberapa dari mereka adalah calon Presiden dan Wakil Presiden pada saat Pemilu. Dalam situasi seperti itu, harapan untuk mewujudkan keadilan bagi jutaan korban pelanggaran HAM di Indonesia masih jauh. Viktimisasi korban terus berlanjut. [Pidato Melbourne, 2009]
Pengalaman Timor Timur sebenarnya harusnya menjadi pelajaran bagi penguasa-penguasa Indonesia dimasa depan. Bahwa, hati atau dukungan dari rakyat itu tidak dapat dipaksa dengan alat kekuasaan apa pun, dengan militer dengan ancaman dan lain sebagainya. Hati rakyat dukungan dari rakyat tidak dapat diperoleh kalau sifatnya itu parsial. Artinya seperti bagaimana klaim Indonesia membangun jalan, jembatan, sekolah, pasar, gedung dan lain-lain. Tetapi kebebasan tidak ada. Yaitu kemerdekaan sipil, penghormatan terhadap hak asasi manusia tidak ada. akhirnya juga rakyat itu tidak akan memberikan hatinya dan tidak akan memberikan dukungan. Sebenarnya kalau penguasa-penguasa di Indonesia sekarang dan dimasa depan mau belajar, itu sangat berguna untuk membangun masa depan Indonesia yang adil, manusiawi dan beradab. [Wawancara CAVR, 2003]
Q: Bagaimana dengan peran pengadilan mengadili mereka-mereka yang berteriak menuntut keadilan, dari aktivis Papua yang bergerak menentang rasisme, sampai saat ini dengan demonstrasi kaum buruh dan pemuda berkaitan kebijakan negara pada saat ini?
A: Kita melihat penegakkan hukum melalui (penegak) administrasinya apakah itu polisi, jaksa dan pengadilan itu sangat merupakan alat dari penguasa. Pengadilan tidak bisa kita katakan fair dan imparsial tetapi selalu pengadilan membela kepentingan Jakarta dan mengorbankan keadilan.
Jadi dalam Peristiwa Santa Cruz (demonstrasi di Dili 12 November 1991), itu bisa kita lihat bukanya yang melakukan penembakan yang diadili tetapi yang diadili adalah demonstran yang justru ditangkap dan diadili. Padahal demonstrasi itu adalah sebenarnya bagian dari hak untuk mengungkapkan pendapat, apakah pendapat itu setuju atau tidak setuju itu soal lain tetapi mestinya itu dihargai tetapi pengadilan pada waktu itu dengan sangat pasti menjatuhkan hukuman bagi semua yang berdemonstrasi sebenarnya yang menjalankan haknya tetapi justru dijatuhi hukuman penjara.
Mereka-mereka yang mempunyai suara yang berbeda dengan suara pemerintah itu ditangkap dibawa ke pengadilan dan pasti kena hukuman. Itu dari sejak awal kita tahu bahwa pasti dinyatakan bersalah, tetapi ya namanya kita harus berusaha ya kita tidak melakukan baik itu di Timor Timur maupun di Aceh. Walaupun sejak awal kita tahu pengadilannya tidak jujur dan tidak bebas dari campur tangan penguasa.
Saya terlibat upaya membentuk sebuah komite yang didirikan secara informal oleh PGI dan KWI sesudah kasus Santa Cruz, untuk memberikan bantuan hukum dan juga bantuan sosial. Jadi pengalaman kita di Joint Committee for East Timor waktu itu jelas bahwa pengadilan itu tidak fair tetapi saya juga mengingatkan bahwa itu tidak hanya berlaku di Timor Timur, pengadilan di Aceh, di Papua itu juga sama. [Wawancara CAVR, 2003]
Q: Bisakah kita berkaca tentang peningkatan peran militer dalam konteks kekinian, dar pengalaman Indonesia di Timor-Timur?
A: Pada waktu itu, tidak ada satu kebijakan yang sungguh-sungguh dari Jakarta untuk melindungi hak asasi manusia di Timor. Apakah itu Hak Sipil dan Politik maupun Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Yang terjadi adalah satu situasi represif di mana kehidupan masyarakat itu dikontrol dengan ketat dengan kehadiran dan campur-tangan militer yang sangat luas dan mendalam. Jadi dalam semua bidang kehidupan dan juga bukan hanya di kota-kota tetapi sampai di desa-desa. Nah keadaan seperti ini, itu jelas tidak memungkinkan adanya perlindungan hak asasi manusia yang efektif bagi penduduk di Timor Timur. [Wawancara CAVR, 2003]
Q: Apa pengalaman yang bisa dipetik dari proses investigasi pelanggaran HAM, yang hanya terfokus pada pelaku lapangan?
A: Kasus pertama yang ditangani oleh Komnas Ham kasus Liquica tahun 1995 itu kasus dimana pertama kali Komnas Ham datang ke Timor. Pada waktu itu kita mengirim tim investigasi karena inilah kasus yang agak mencuat pada tahun-tahun sesudah Peristia Santa Cruz 1991. Investigasi kita pada waktu itu menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran berat Hak Asasi Manusia kategori extra judicial killing dan torture dan rekomendasi kita pada waktu itu agar ada penyelesaian secara hukum terhadap kasus itu dan kemudian memang ada penyelesaian melalui pengadilan militer dari RI di mana pelaku itu mendapat hukuman penjara tetapi barangkali hanya di bawah 2 tahun atau begitu jadi hukuman itu dirasakan sangat ringan kemudian juga tidak ada penyelidikan lebih jauh apakah tindakan pelaku itu bagian dari satu rantai komando sehingga yang di bawa ke pengadilan hanyalah pelaku langsung gitu, sedangkan komandan yang bertanggungjawab sama sekali tidak tersentuh.
Ada beberapa kasus di bagian lain Indonesia juga hal yang sama seperti di Papua juga terjadi dan penyelesaiannya juga hanya pelaku lapangan yang diadili dan dihukum berapa belas bulan penjara padahal sudah melakukan penghilangan hak hidup dari orang lain, nah itu gambaran dari militer Indonesia pada waktu itu yang memang menurut hukum pidana militer itu pertanggungjawaban komandan itu tidak dikenal “Command Responsibility” dalam konsep hukum hak asasi manusia internasional itu tidak dikenal oleh hukum pidana militer Indonesia. [Wawancara CAVR, 2003]
Q: Bang As, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat sipil dari Indonesia dan Timor-Leste telah berupaya menemukan anak-anak yang diambil dari Timor-Timur (Stolen Children) pada periode konflik.
Kita terinspirasi oleh perjuangan masyarakat adat di Australia, dan mereka yang telah bekerja dalam solidaritas dengan mereka, memperjuangkan pengakuan resmi dan permintaan maaf dari pemerintah Australia. Kami memahami bahwa ini adalah perjuangan yang berat, bahwa temuan dan rekomendasi dari laporan resmi tentang Stolen Generation (generasi yang dicuri) telah diabaikan selama lebih dari satu dekade oleh pemerintah. Tetapi orang-orang Australia, pribumi dan non-pribumi bersama-sama, menggelar gerakan akar rumput untuk mengatakan “maaf” dengan mengakui bahwa penculikan anak-anak Aborigin dari keluarga mereka adalah tindakan genosida.
Hal ini menunjukkan bahwa tekanan masyarakat secara kolektif dan terus-menerus pada akhirnya akan membawa perubahan. Upaya dan tekanan seperti ini baik di tingkat nasional maupun internasional juga dibutuhkan oleh para korban pelanggaran HAM di Timor Leste dan tempat-tempat lain di dunia agar mereka dapat memperoleh keadilan. Itulah yang dibutuhkan untuk membangun jembatan menuju masa depan yang lebih baik di rumah dan di dunia yang saling terhubung ini.
Oleh karena itu, adalah tanggung jawab kita, di Indonesia maupun di Australia, untuk mempelajari lebih lanjut tentang apa yang terjadi di Timor-Leste, membaca laporan CAVR dan KKP, dan mendorong pemerintah kita, masyarakat kita untuk tidak lepas tangan dari apa yang terjadi. di masa lalu. Impunitas melahirkan kekerasan baru dan kekejaman baru, karena para pelakunya tetap tidak dihukum dan tidak menyesal.
Sudah merupakan kesalahan besar untuk membiarkan ribuan korban menunggu tanpa batas waktu mereka untuk keadilan, dan itu adalah kesalahan yang bahkan mengerikan dalam komunitas yang beradab untuk tidak mengerahkan upaya terbaik kita untuk membantu mereka mencapainya. Untuk mematahkan impunitas dan memberikan keadilan kepada para korban… [Pidato Melbourne, 2009]
Satu dekade sejak wafatnya Asmara Nababan, kontribusi dan pemikirannya semakin relevan berkaitan dengan benang-kusut “demokrasi prosedural” tanpa sedikit pun akuntabilitas. Bukan hanya proses penegakkan hukum yang semakin lemah, tetapi proses pembuatan hukum pun telah terlepas dari kontrak sosial dengan rakyat pemilih.
Salah-satu bagian dari membangun demokrasi yang berbasis hak asasi manusia, menurut pemikiran Asmara, adalah pertanggung-jawaban atas pelanggaran HAM, sehingga orang-orang yang mempunyai catatan kelam tidak bisa lagi memasuki panggung politik. Namun, akuntabilitas tidak hanya berkaitan pelaku pelanggaran HAM, tetapi juga kehidupan bernegara yang sungguh-sungguh untuk menjamin kebebasan sipil, dengan penegakkan hukum yang imparsial dan independen.
Bila kehidupan bernegara bisa seperti itu maka segala persoalan, dari rasisme, kedaulatan atas sumber daya alam, perlindungan pekerja, kekerasan terhadap perempuan, dapat didudukkan dan dibahas dalam proses dialogis, yang mengedepankan suara-suara orang-orang yang paling rentan dalam proses demokratis. Tidak lagi dengan semena-mena menangkap dan mengadili mereka yang ada di garis depan menyuarakan keadilan.
Sudah 10 tahun, Bang As, tetapi suaramu masih tak tergantikan.
Pemberantasan Korupsi dan Demokratisasi
Oleh: J. Danang Widoyoko
Sebagai aktivis sosial senior, almarhum Asmara Nababan bukan hanya berinteraksi dengan berbagai elemen gerakan sosial. Ia juga terlibat secara intensif dalam pergulatan pemikiran gerakan sosial, termasuk gerakan anti korupsi. Almarhum memberikan banyak kontribusi melalui berbagai forum dan dialog, baik formal maupun informal untuk menggalang dukungan bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Salah satu perdebatan penting dalam strategi anti-korupsi adalah perbedaan pemahaman tentang korupsi itu sendiri yang berimplikasi pada strategi pemberantasannya. Berbagai lembaga pembangunan dan keuangan internasional mendorong adopsi berbagai model yang berhasil di negara lain untuk diterapkan di Indonesia. Reformasi sektor publik menjadi strategi penting untuk memberantas korupsi. Lebih jauh lagi, gagasan utama pemberantasan korupsi adalah dengan menerapkan good governance.
Pada dasarnya good governance ini adalah penerapan kebijakan neo-liberal untuk memerangi korupsi, yakni dengan mengurangi peran negara melalui privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Peran negara yang terlalu besar dipandang mendorong maraknya praktik perburuan rente dan korupsi di berbagai sektor, karena itu negara perlu dikurangi. Gagasan ini kemudian menjadi strategi arus utama dalam pemberantasan korupsi.
Pada saat yang sama, setelah Reformasi 1998, sejumlah aktivis mulai menggalang gerakan untuk memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi lahir dan seiring dengan penegakan hak asasi manusia (HAM) dan tidak dilepaskan dari demokratisasi di Indonesia. Organisasi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah salah satu contohnya. Dibentuk oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ICW fokus pada pemberantasan korupsi. YLBHI secara khusus juga mendirikan KontraS pada masa dan konteks yang sama untuk advokasi penculikan aktivis dan pelanggaran HAM.
Koordinator pertama ICW adalah Teten Masduki, Kepala Divisi Perburuhan YLBHI. Konteks dan latar belakang ini membuat gerakan anti-korupsi yang dipilih oleh ICW berbeda dengan kebijakan good governance. Strategi advokasi dan gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh ICW justru dekat dan seiring dengan aktivis HAM, termasuk almarhum Asmara Nababan.
Penerbitan buku dan berbagai aktivitas untuk mengenang almarhum Asmara Nababan memberikan waktu bagi saya untuk memikirkan kembali gerakan anti korupsi di Indonesia. Terutama karena tahun 2019 menjadi titik penting bagi pemberantasan korupsi.
Pada 2019, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di akhir periode pertama menyetujui revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR. Usulan untuk merevisi UU KPK adalah agenda lama DPR sejak masa pemerintahan Presiden SBY, dan pada setiap periode DPR selalu masuk ke dalam Program Legislasi Nasional. Ironisnya, usulan untuk merevisi UU KPK justru mendapat persetujuan dari Presiden Jokowi.
Sungguh ironis karena Jokowi naik ke pentas politik nasional karena dianggap sebagai pemimpin yang berhasil memberantas korupsi, baik sebagai Walikota di Solo maupun Gubernur DKI Jakarta. Presiden Jokowi juga didukung oleh para aktivis sosial, termasuk aktivis anti-korupsi. Presiden yang terpilih karena dianggap berhasil memberantas korupsi justru melemahkan pemberantasan korupsi ketika ia berada di pucuk kekuasaan.
Untuk membahas strategi pemberantasan korupsi, saya mengajukan pertanyaan, mengapa pemerintahan Jokowi yang dianggap sebagai pemimpin berintegritas dan model dalam pemberantasan korupsi justru melemahkan KPK? Guna mendiskusi pertanyaan ini, saya perlu meletakkan pemberantasan korupsi bukan sebagai reformasi kelembagaan. Pemberantasan korupsi pada dasarnya adalah membangun gerakan untuk meningkatkan akuntabilitas pemegang kekuasaan. Memberantas korupsi adalah melibatkan rakyat secara langsung dalam berbagai kebijakan publik dan pada saat yang sama membatasi peran dan pengaruh elit. Dalam kerangka pemikiran ini, pemberantasan korupsi adalah bagian erat dari demokratisasi. Pasang surut demokrasi akan berdampak pada pemberantasan korupsi.
Saya akan menjawab dan mendiskusikan pertanyaan di atas dalam tiga tahap. Pertama saya akan mengulas perdebatan teoritis dan cara pandang tentang korupsi. Ke dua, saya akan mendiskusikan persoalan korupsi di Indonesia, serta kemajuan dan kegagalan pemberantasannya. Ke tiga, secara khusus saya akan mendiskusikan tentang pemberantasan korupsi dan demokratisasi. Terakhir, tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan dan rekomendasi.
Korupsi: Good Governance, State Capture dan Demokratisasi
Strategi arus utama dalam pemberantasan korupsi yang didorong oleh lembaga pembangunan internasional dan lembaga keuangan global adalah dengan mengurangi peran negara yang dianggap sebagai sumber dari korupsi dan perburuan rente. Reformasi good governance pada dasarnya adalah mendorong pasar untuk mengambil peran lebih besar menggantikan negara. Dalam perkembangannya, elit politik dan oligarki dituding menjadi penyebab gagalnya reformasi good governance.
Berangkat dari persoalan ini berkembang gagasan state capture corruption yang menggagalkan pemberantasan korupsi. Akan tetapi, baik good governance dan state capture corruption kurang memadai untuk menganalisis persoalan korupsi di Indonesia. Tulisan ini akan menggunakan perspektif demokratisasi untuk menganalisis pemberantasan korupsi lebih mendalam.
Teori klasik dalam pemberantasan korupsi melihat besarnya peran negara sebagai sumber dari persoalan. Jika negara dikurangi perannya, maka korupsi akan berkurang. Maka kemudian reformasi good governance mengurangi peran negara dalam pembangunan dan ekonomi melalui privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Tetapi reformasi good governance tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Privatisasi dan liberalisasi justru mendorong munculnya oligarki yang diuntungkan dari reformasi good governance. Joseph Stiglitz menyarankan untuk membenahi institusi daripada meminggirkan negara dan mendorong sektor swasta.
Salah satu masalah dari reformasi good governance adalah absennya analisis atas kontestasi politik. Good governance bisa diterapkan sebagai syarat dari bantuan internasional. Tetapi setelah negara tidak lagi membutuhkan bantuan internasional, maka reformasi good governance mulai ditinggalkan. Reformasi good governance tidak cukup memberikan perhatian dan sumber daya untuk membangun basis sosial yang kuat bagi reformasi.
Berangkat dari kegagalan good governance, peneliti Bank Dunia mengamati bagaimana negara diambil alih oleh elit politik dan oligarki di negara-negara eks komunis. Pemikiran state capture corruption yang diformulasikan oleh Joel Hellman, Geraint Jones dan Daniel Kauffman menyatakan, “Kekawatiran atas peran negara yang besar telah digantikan oleh keprihatinan tentang oligarki yang berkuasa dan mampu memanipulasi politisi, membentuk institusi dan mengontrol media untuk menjamin kepentingan oligarki, bukan kepentingan sosial”. Teori ini hendak menjelaskan, korupsi yang gagal dikendalikan bukan karena peran negara yang besar tetapi oleh munculnya oligarki yang sangat berpengaruh.
Tulisan tersebut merujuk pada oligarki beserta kepentingan bisnis mereka yang mampu membeli politisi, membentuk lembaga negara dan kebijakan publik lain untuk kepentingan mereka. Ketakutan pada negara yang kuat digantikan oleh oligarki yang berpengaruh. Negara yang seharusnya melayani kepentingan publik, pada akhirnya justru melayani kepentingan oligarki melalui berbagai kebijakan korup.
Namun demikian, state-capture memiliki sejumlah keterbatasan. Teori ini melihat negara sebagai entitas yang tunggal dan monolitik. Kelompok yang dominan berhasil menguasai negara sehingga kemudian muncul banyak kebijakan korup. Sementara itu, fakta menunjukkan negara bukan lembaga yang monolitik. Asumsi penting di balik teori state capture adalah memandang negara sebagai pelayan oligarki. Gagasan ini serupa dengan marxian klasik yang melihat negara sebagai pelayan kelas borjuis.
Teori tentang negara terus berkembang dan tidak lagi memadai melihat negara hanya sebagai pelayan kelas yang berkuasa. Bob Jessop menawarkan teori tentang negara yang lebih segar dengan melihat negara dalam perspektif relasional bak sebuah ensambel musik yang terdiri dari berbagai manager yang saling terkait. Negara pada dasarnya adalah relasi sosial. Tindakan salah satu manager di dalam negara akan direspons oleh manager lain serta elemen-elemen lain di dalam negara. Cara pandang yang relasional tentang negara ini membuka peluang analisis berbagai kelompok sosial beserta kepentingannya untuk mempengaruhi negara, terutama bagi kebijakan publik yang menguntungkan kelompok tersebut.
Teori state capture juga menafikan dinamika dalam pemberantasan korupsi. Tidak selamanya elit politik secara deterministik mampu mendikte negara untuk mengeluarkan kebijakan tertentu. Dalam berbagai kebijakan, negara harus melakukan negosiasi. Demikian juga kelompok sosial tidak selamanya berada di luar arena. Lembaga penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil memenjarakan sejumlah elit politik dan oligark yang berpengaruh di Indonesia.
Untuk menganalisis pemberantasan korupsi di Indonesia, pendekatan demokratisasi lebih relevan. Pemberantasan korupsi pada dasarnya adalah bagian dari demokratisasi, atau dalam istilah Michael Johnston, pemberantasan korupsi memerlukan demokratisasi yang mendalam (deep democratization). Ia mendefinisikan demokratisasi mendalam sebagai “sebuah proses yang kontinyu untuk menentukan batas bagi kekuasaan, membangun akuntabilitas, dan membangun dasar-dasar sosial dan politik yang mendukung reformasi dengan membawa lebih banyak suara dan berbagai kepentingan ke dalam proses tata kelola pemerintahan”.
Dengan demikian, pemberantasan korupsi pada dasarnya adalah upaya untuk membatasi dan mengawasi kekuasaan, serta membuka partisipasi seluas-luasnya bagi publik. Pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilakukan dengan reformasi teknis-manajerial, apalagi hanya transplantasi reformasi kelembagaan yang dipandang berhasil dan menjadi model. Pemberantasan korupsi harus memiliki fondasi sosial dan politik yang cukup kuat. Dalam konteks ini, melibatkan masyarakat dalam pemberantasan korupsi adalah memperkuat masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya.
Mengutip Acemoglu dan James Robinson, Michael Johnston menyatakan, institusi ekonomi dan politik yang inklusif tidak muncul secara alamiah melainkan hasil dari konflik antara elite dan mereka yang ingin membatasi kekuasaan ekonomi dan politik elite. Terwujudnya institusi yang inklusif itu adalah tujuan dari pemberantasan korupsi. Dengan demikian, perjuangan pemberantasan korupsi adalah perlawanan untuk membatasi kekuasaan ekonomi dan politik elite.
Berangkat dari pemahaman pemberantasan korupsi dalam kerangka demokratisasi, maka perjalanan pemberantasan korupsi akan mengalami pasang surut. Ada situasi di mana pemberantasan korupsi berhasil mencapai beberapa capaian. Tetapi ketika demokrasi surut, maka pemberantasan korupsi akan mengalami kemunduran. Menilai keberhasilan dan kemunduran pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan mengikuti pasang surut demokrasi di Indonesia. Pelemahan KPK, sebagai satu kasus penting, dilakukan oleh pemerintah dalam situasi demokrasi mengalami kemunduran.
Dengan mengaitkan pemberantasan korupsi dengan demokratisasi, maka kemunduran pemberantasan korupsi adalah panggilan bagi seluruh elemen pendukung demokratisasi untuk membangun kembali kekuatan dan menyatukan seluruh kelompok untuk kembali mendesakkan akuntabilitas pemegang kekuasaan.
Kontribusi Asmara Nababan menjadi relevan dengan memandang gerakan anti korupsi sebagai bagian dari demokratisasi. Apa yang dikerjakan oleh Asmara Nababan, baik saat ia memimpin Demos maupun berbagai kegiatan yang dilakukan sebelumnya pada masa lalu, seperti anggota Komnas HAM pada masa Orde Baru dan aktif melakukan advokasi HAM dan demokrasi di International NGO Forum on Indonesia Development (INFID). Kegiatan dan kontribusi besar Asmara Nababan untuk mendorong demokratisasi di Indonesia pada akhirnya menempatkan dirinya sebagai bagian integral dari gerakan anti-korupsi, yakni gerakan untuk meningkatkan akuntabilitas kekuasaan, serta membatasi kekuasaan dan pengaruh elit.
Problem Korupsi di Indonesia
Berdasarkan indeks persepsi korupsi, Indonesia mengalami perbaikan dalam penanganan korupsi. Dalam indeks persepsi korupsi, meskipun skornya kecil, setiap tahun skor Indonesia meningkat secara konsisten. Padahal dalam hal penegakan hukum, Indonesia bisa dikatakan lebih baik dari banyak negara lain. Bahkan negara-negara yang dianggap lebih bersih dari korupsi. KPK berhasil membongkar dan memenjarakan pejabat publik, elit politik, dan bagian dari oligarki. Dengan menelaah secara mendalam Corruption Perception Index (CPI) yang dibuat oleh Transparency International setiap tahun, tampak sejumlah pekerjaan rumah besar dalam pemberantasan korupsi, yakni korupsi politik dan lembaga peradilan.
Dalam dua dekade, pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami perbaikan. Laju peningkatan skor Corruption Perception Index Indonesia menyediakan potret sederhana kemajuan dan stagnasi dalam pemberantasan korupsi. CPI adalah indeks komposit, yakni indeks yang dibuat dari sejumlah survei yang lain. Meskipun ada berbagai kritik dan catatan, CPI relatif memberikan gambaran yang lengkap dan kontinyu tentang korupsi di Indonesia. Tampak pada Gambar 1, Indonesia mengalami perbaikan dalam hal pemberantasan korupsi meskipun angkanya sedikit, dari 28 pada 2009 menjadi 40 pada 2019.
Salah satu kontribusi penting dalam perbaikan skor dan peringkat CPI adalah keberhasilan pemerintah menyederhanakan perizinan bisnis. Korupsi dalam perizinan berhasil ditekan sehingga meningkatkan persepsi investor tentang korupsi di Indonesia. Namun demikian perlu digarisbawahi, peningkatan skor Indonesia dalam CPI ketika KPK belum dilemahkan. Dampak dari pelemahan KPK terhadap CPI perlu dilihat pada CPI tahun-tahun yang akan datang.
Melihat detail dari komponen penyumbang skor CPI, beberapa survey yang menilai perizinan dan kebijakan investasi di Indonesia menunjukkan peningkatan. PRS International Country Risk Guide, IMD World Competitiveness Yearbook, Global Insight Country Risk Ratings, dan World Economic Forum menunjukkan peningkatan skor Indonesia. Survey itu memotret perbaikan birokrasi dan pelayanan bisnis. Selengkapnya bisa dilihat pada gambar 2.
Tetapi jika dilihat lebih mendetail, persoalan justru masih banyak dalam bidang hukum dan politik. Gambar 2 menunjukkan pergerakan skor sejumlah survey yang dipergunakan untuk perhitungan skor Indonesia di dalam CPI dari tahun 2015 hingga 2019. Penyumbang skor terendah adalah survei World Justice Project (WJP) dengan skor 21 pada tahun 2019, meningkat secara fluktuatif dari skor 17 pada tahun 2015.
Berikutnya adalah survei Varieties of Democracy (V-Dem) Project yang menyumbang skor 28 pada tahun 2019, menurun dari 32 pada tahun 2015. Survey PERC Asia Risk Guide memberikan peningkatan skor yang kecil pada Indonesia, dari 32 pada tahun 2015 menjadi 35 pada tahun 2019. Survei World Justice Project memberikan gambaran tentang kondisi hukum di Indonesia, sedangkan V-Dem menilai Indonesia dari sisi politik. Dengan demikian, secara umum, sektor politik dan hukum menyumbang angka rendah dalam skor CPI. Jika Indonesia hendak meningkatkan skor CPI, maka prioritas harus diberikan untuk mengatasi persoalan yang dipotret oleh survei V-Dem, WJP dan PERC.
Analisis dari CPI memberikan gambaran umum yang berguna bagi kita untuk melihat korupsi dalam kaitannya dengan persoalan lain. Dalam bidang politik, korupsi masih menjadi persoalan hingga kini. Berbagai kajian akademis telah menunjukkan fakta dan bukti tentang problem korupsi di dalam politik. Misalnya praktik pembelian suara yang meluas di Indonesia. Studi Burhanuddin Muhtadi menunjukkan, meskipun efektivitasnya rendah, praktik pembelian suara menjadi strategi utama para kandidat legislatif.
Studi Ward Berenschot dan Edward Aspinall menunjukkan bagaimana patronase dan klientelisme menjadi bagian dari politik di Indonesia. Praktik pembelian suara dan distribusi material kepada pemilih memberikan bukti kuat bagaimana korupsi sesungguhnya adalah hal yang inheren dalam sistem politik kita. Bahkan bisa dikatakan, korupsi politik dalam rupa pembelian suara faktor penting yang membuat politik bekerja di Indonesia.
Persoalan korupsi politik lainnya adalah persoalan pendanaan politik. Partai politik tergantung pada pendanaan oleh penyumbang. Partai politik tidak mampu menggalang dana dari iuran anggota dan sumbangan pendukung. Pada saat yang sama, bantuan keuangan dari negara justru menurun. Akibatnya, partai politik sebagai institusi penting dalam demokrasi justru tergantung dan dikuasai oleh pemodal besar dan oligarki. Tidak mengherankan bila dalam banyak kebijakan publik, sikap partai politik justru mendukung elit dan oligarki dan berseberangan dengan kepentingan publik.
Dari sisi hukum, Indonesia juga belum berhasil menekan korupsi peradilan, atau lebih populer disebut dengan mafia peradilan. Pada 2020, publik dikejutkan ketika Djoko Tjandra, terpidana korupsi yang melarikan diri ke luar negeri, ternyata bisa kembali ke Indonesia untuk mengajukan Peninjauan Kembali kasusnya. Kemudian terungkap bagaimana Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia karena menyuap pejabat di Kepolisian dan Kejaksaan. Kasus Djoko Tjandra memberikan bukti, mafia peradilan bukan korupsi kecil-kecilan, tetapi melibatkan para petinggi di lembaga penegak hukum dengan uang suap dalam jumlah besar.
Kasus Djoko Tjandra menunjukkan problem besar praktik korupsi peradilan di Indonesia. Sebelum kasus Djoko Tjandra terungkap, ada sejumlah kasus korupsi peradilan lainnya di mana penegak hukum melakukan korupsi dari perkara yang ditangani. Kasus korupsi BLBI Sjamsul Nursalim misalnya, menyeret jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap. Korupsi peradilan memiliki akar panjang dalam sejarah di Indonesia. Daniel S. Lev merujuk pada ambruknya independensi peradilan ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 1959 dan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Sejak itu, lembaga peradilan bukan hanya berada di bawah kendali kekuasaan eksekutif, tetapi juga mulai permisif terhadap praktik korupsi.
Menutup bagian ini, berdasarkan analisis sederhana terhadap CPI menunjukkan sektor politik dan hukum menjadi wilayah yang masih rentan dalam pemberantasan korupsi. Berbagai kebijakan reformasi yang telah dilakukan oleh pemerintah memang membawa sejumlah perbaikan. Bahkan berbagai survei juga mengkonfirmasi perbaikan tersebut. Tetapi korupsi di bidang politik dan hukum menjadi pekerjaan rumah besar. Jika korupsi di dua sektor ini tidak ditangani, maka korupsi di Indonesia sulit dikendalikan.
Korupsi di bidang politik dan hukum juga mengindikasikan institusi yang inklusif masih jauh dari harapan. Institusi yang terbuka hanya terwujud jika politik bersih dari korupsi. Demikian juga institusi hukum hanya akan memberikan jaminan bagi keadilan jika bersih dari korupsi. Apabila praktik korupsi hukum atau mafia peradilan masih terus dilakukan, maka hukum terancam gagal memberikan keadilan.
Perspektif demokratisasi memberikan kerangka berpikir yang relevan. Pemberantasan korupsi di bidang politik dan hukum tidak cukup dilakukan dengan menerapkan reformasi. Mengontrol korupsi politik dan peradilan membutuhkan dukungan yang kuat serta basis sosial yang kokoh untuk menuntut akuntabilitas sistem politik dan hukum. Pelemahan KPK mengurangi desakan akuntabilitas itu. Selanjutnya, gerakan anti korupsi harus memikirkan strategi baru untuk mendesakkan akuntabilitas di bidang politik dan hukum untuk menekan korupsi. Tanpa itu, korupsi akan terus berjalan dan menjadi norma yang berlaku dalam politik dan hukum.
Pelemahan KPK dan Kemunduran Demokrasi
Salah satu institusi penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dimilikinya, KPK berhasil menyeret sejumlah elit politik dan oligarki Indonesia. Berbagai inisiatif untuk merevisi UU KPK terus dilakukan oleh DPR. Demikian juga inisiatif lainnya, seperti merekayasa kasus untuk memenjarakan pimpinan KPK. KPK menjadi ancaman bagi elit politik dan berbagai kepentingan korup sehingga terancam untuk dilemahkan. Akhirnya, pada periode kedua pemerintahan Jokowi, pemerintah merevisi UU KPK setelah sebelumnya mengajukan calon bermasalah sebagai kandidat pimpinan KPK.
Keberhasilan KPK membongkar banyak kasus korupsi menjadikan KPK menjadi ancaman sehingga muncul perlawanan dalam bentuk revisi UU KPK untuk memangkas kewenangannya hingga kriminalisasi terhadap pimpinan dan pegawai KPK. Tahun 2009, Ketua KPK Antasari Azhar ditahan oleh Kepolisian karena dianggap terlibat dalam kasus pembunuhan. Tetapi kasus itu mencurigakan dan diduga ada upaya rekayasa.
Selanjutnya komisioner KPK lainnya, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah ditahan oleh polisi. Penahanan oleh polisi ini memicu gelombang protes yang dikenal dengan Cicak vs Buaya. Penahanan komisioner KPK dipandang sebagai pembalasan oleh polisi ketika KPK tengah mengusut kasus yang melibatkan polisi. Secara umum, upaya kriminalisasi pimpinan KPK dipandang sebagai pembalasan oleh politisi karena KPK mulai mengusut kasus-kasus korupsi yang melibatkan elit politik.
Upaya kriminalisasi kembali dilakukan pada tahun 2015 setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi. Sebelumnya Budi Gunawan diajukan Presiden Jokowi pada 2015 sebagai calon Kapolri. Polisi kemudian membalas dengan menahan Ketua KPK Abraham Samad dan komisioner KPK lainnya, Bambang Widjojanto dalam perkara yang sumir. Karena protes dari publik, akhirnya Presiden Jokowi membatalkan pencalonan Budi Gunawan dan kemudian Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dibebaskan. Kriminalisasi juga dialami salah seorang penyidik KPK, Novel Baswedan. Ia hendak ditahan oleh polisi dalam perkara pembunuhan di masa lalu. Tetapi investigasi tersebut dianggap sebagai balas dendam polisi atas peran Novel Baswedan yang membongkar sejumlah kasus korupsi yang melibatkan polisi. Karena protes publik yang meluas, akhirnya investigasi kasus pembunuhan tersebut dihentikan.
Tetapi pada 2017 Novel Baswedan diserang oleh orang tidak dikenal. Mata Novel Baswedan disiram air keras sehingga nyaris buta. Pada 2020 polisi mengusut kasus penyiraman tersebut, tetapi pengadilan itu diragukan mampu mengungkap pelaku sebenarnya, apalagi aktor intelektualnya.
KPK kembali mendapat serangan pada 2019. Di akhir masa jabatan periode pertama, Presiden Jokowi menyetujui rencana DPR untuk merevisi UU KPK. Melalui proses yang kilat, tanpa partisipasi publik yang memadai, bahkan KPK pun tidak dilibatkan dalam pembahasan, akhirnya UU KPK direvisi. Revisi kilat ini mengundang protes luas dari publik, terutama oleh mahasiswa di berbagai kota-kota besar. Massa tidak hanya memprotes revisi UU KPK tetapi juga berbagai agenda legislasi pemerintah lainnya yang bermasalah, misalnya revisi UU KUHP, UU Mineral dan Batu Bara, dan berbagai UU kontroversial lainnya.
Secara umum revisi UU KPK mengubah beberapa hal yang mendasar tentang keberadaan KPK. Pertama, posisi KPK bukan lagi sebagai lembaga independen tetapi menjadi bagian dari eksekutif. Kedudukan KPK sebagai lembaga independen membuatnya memiliki otonomi, terutama dalam penegakan hukum yang relatif bebas dari intervensi kekuasaan.
Ke dua, sebagai bagian dari eksekutif, pegawai KPK berubah status menjadi aparatur sipil negara (ASN). Sebagai ASN, maka managemen kepegawaian KPK mengikuti managemen birokrasi pemerintah. Sungguh ironis karena sebelumnya managemen kepegawaian KPK menjadi model bagi managemen sektor publik, dan menjadi contoh bagi birokrasi pemerintah. Melalui revisi tersebut, managemen KPK diubah menjadi sama seperti managemen birokrasi pemerintah.
Ke tiga, adanya badan pengawas dengan kekuasaan besar. Badan Pengawas ini berpotensi menambah panjang prosedur penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Misalnya dalam kasus operasi tangkap tangan dan penyadapan, staf KPK harus mendapatkan izin dari badan pengawas.
Dalam konteks politik makro, pelemahan KPK tidak bisa dilepaskan dari persoalan besar mundurnya demokrasi di Indonesia. Pelemahan KPK mengurangi akuntabilitas pemegang kekuasaan. Kini elit yang berkuasa tidak akan terganggu lagi oleh KPK yang bisa menangkap mereka dan menggagalkan pengaturan kekuasaan transaksional.
Dalam perspektif demokratisasi, KPK bisa bertahan dan menunjukkan kinerja karena memiliki basis sosial yang cukup kuat. Gerakan anti korupsi memberikan dukungan bagi keberadaan KPK sehingga mampu menahan gempuran dalam bentuk kriminalisasi maupun ancaman pelemahan. Tetapi gerakan anti korupsi tidak mampu selamanya mempertahankan KPK. Ketika Presiden Jokowi berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan, ia pun mendukung usul DPR untuk merevisi UU KPK.
Salah satu narasi yang dimunculkan untuk menggalang dukungan bagi revisi UU KPK adalah keberadaan agenda Islam populis di dalam KPK. Dalam beberapa ungkapan yang dilontarkan oleh para pendengung di media sosial yang mendukung revisi UU KPK, lembaga anti korupsi telah dikuasai oleh Islam radikal, “kadrun” atau kadal gurun dan berbagai istilah lain yang merujuk pada elemen-elemen pendukung gerakan Islam populis. Untuk mendukung revisi UU KPK, pendengung pendukung Jokowi di media sosial membangun narasi bahwa KPK telah dikuasai oleh Islam populis, menjadi ancaman bagi pemerintahan Jokowi, dan karena itu perlu direvisi undang-undangnya.
Menggunakan perspektif demokratisasi, revisi UU KPK dilakukan seiring dengan kemunduran demokrasi di Indonesia. Sejumlah peneliti menyebut demokrasi Indonesia mengalami stagnasi pada masa pemerintahan SBY dan kemudian munder dalam pemerintahan Jokowi. Pelemahan KPK bukan hanya indikator, tetapi juga bukti kemunduran demokrasi di Indonesia. Pelemahan KPK sejatinya adalah penurunan akuntabilitas kekuasaan politik di Indonesia.
Presiden Jokowi merespon gerakan Islam politik dengan cara-cara otoriter. Menggunakan aparatus negara, pemerintahan Jokowi memenjarakan oposisi. Bukan hanya mereka yang terlibat dalam Islam politik, tetapi juga seluruh pihak yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Demonstrasi yang menolak revisi UU KPK dan agenda legislasi pemerintah dihadapi dengan cara-cara represif. Bahkan sejumlah mahasiswa meninggal dunia dalam demonstrasi menolak revisi UU KPK itu.
Demikian juga pembajakan jaringan komunikasi dan akun media sosial bukan hanya menimpa elemen pendukung Islam populis, pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah dalam berbagai isu lainnya. Pada akhirnya, pemerintahan Jokowi merespon setiap protes dan pandangan kritis dengan cara-cara otoriter dan represif.
Menggunakan perspektif demokratisasi, mundurnya demokrasi menjadi ancaman bagi gerakan sosial, termasuk gerakan anti korupsi. Cara-cara represif untuk menjawab kritik dan protes, menimpa semua pihak yang mendesakkan akuntabilitas pemegang kekuasaan. Aktivis anti korupsi mengalami hal yang sama seperti halnya aktivis lingkungan, aktivis HAM, dan mereka yang kritis terhadap kekuasaan.
Menutup bagian ini, pelemahan KPK bukan hanya indikator tetapi juga hasil dari semakin mundurnya demokrasi di Indonesia. Ketakutan terhadap agenda Islam politik membuat banyak pihak tutup mata terhadap strategi otoriter dan kebijakan pemerintah membungkam kritik. Tanpa sikap kritis terhadap kekuasaan, maka korupsi akan semakin mudah untuk dilakukan.
Kesimpulan
Muncul pertanyaan mengapa pemberantasan korupsi mengalami kemunduran pada saat pemerintahan Jokowi? Padahal Jokowi adalah model dalam pemberantasan korupsi, terutama saat ia menjadi Walikota Solo dan Gubernur Jakarta. Mengapa KPK dilemahkan di bawah pemerintahan Jokowi, padahal pemerintahan Jokowi mendapatkan dukungan dari aktivis sosial, termasuk aktivis gerakan anti korupsi. Dengan meletakkan pemberantasan korupsi dalam konteks demokratisasi, maka pelemahan KPK dan mundurnya pemberantasan korupsi tidak bisa dilepaskan dari mundurnya demokrasi di Indonesia.
Pemberantasan korupsi adalah bagian dari proses demokratisasi itu sendiri, karena memberantas korupsi sejatinya adalah menagih dan memaksakan akuntabilitas kepada pemegang kekuasaan. Indikasi dari mundurnya demokrasi di Indonesia bukan hanya digunakannya strategi otoritarian, tetapi juga bagaimana pemegang kekuasaan melemahkan lembaga pengawasan, terutama KPK. Keberhasilan KPK membongkar kasus-kasus korupsi yang melibatkan elit politik dan oligarki menjadikannya ancaman. Ketika lembaga pengawasan melemah, maka pengaturan politik di antara elit, termasuk upaya melanggengkan praktik patronase bisa dilakukan dengan leluasa.
Melemahnya pemberantasan korupsi bukan hanya indikator dari mundurnya demokrasi tetapi juga hasil dari mundurnya demokrasi. Kemunduran demokrasi di Indonesia sudah mulai diingatkan oleh para aktivis HAM dan juga pengamat, terutama setelah Pilkada Jakarta 2017 lalu. Penyumbang terbedar dari kalahnya Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta adalah gerakan Islam populis. Gerakan yang dimotori oleh Front Pembela Islam dan berbagai organisasi Islam lain berhasil mengkanalisasi kekecewaan massa, bukan hanya terhadap Gubernur Ahok di Jakarta tetapi juga pemerintahan Jokowi di tingkat nasional. Pemerintahan Jokowi kemudian merespon gerakan Islam populis ini dengan strategi otoriter tanpa secara serius mencari solusi dari akar masalahnya. Ketimpangan ekonomi dan akses pada sumber daya publik yang eksklusif membuat kelompok-kelompok yang tidak puas mencari jalan keluar, salah satunya dengan memberi dukungan bagi Islam populis. Sayangnya, gerakan Islam populis juga tidak memberikan alternatif penyelesaian akar persoalan. Gerakan ini justru memperlebar polarisasi dan mengusung isu identitas yang eksklusif.
Praktis pemerintahan Jokowi tidak lagi menunjukkan komitmen dan dukungan terhadap demokrasi. Bukan hanya pelemahan KPK, tetapi juga agenda legislasi nasional lainnya juga semakin jauh dari demokratis, misalnya pembahasan RUU Cipta Kerja dan pembahasan UU lain yang menutup ruang partisipasi publik. Di tengah situasi seperti ini, gerakan demokratisasi, termasuk di dalamnya gerakan anti korupsi, memiliki peluang untuk menawarkan alternatif agenda dan strategi gerakan. Di satu sisi, gerakan demokratisasi tidak bisa lagi memberikan dukungan kepada pemerintahan Jokowi, tetapi di sisi lain juga tidak mungkin bergabung dengan gerakan Islam populis yang eksklusif.
Untuk merumuskan tawaran alternatif dan strategi mengatasi kemunduran demokrasi di Indonesia, diperlukan upaya terus-menerus dan tanpa kenal lelah untuk membangun dialog dan menyelenggarakan berbagai forum untuk mengumpulkan pengalaman, pemikiran, gagasan, dan tawaran solusi. Saya kemudian teringat pada almarhum Asmara Nababan. Seandainya ia masih ada, tentu almarhum akan mendorong seluruh elemen pro demokrasi untuk mulai membicarakan strategi ke depan seperti apa, bagaimana memperdalam gerakan dan membangun aliansi dengan kelompok-kelompok lain. Persis mengikuti proses yang dulu almarhum lakukan ketika memimpin Demos, yang bukan hanya melakukan studi, tetapi juga secara aktif mencari dan menawarkan jalan keluar.
Dinamika Militer di Masa Reformasi
Oleh : Al Araf
Peran militer dalam kehidupan politik Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Klaim historis militer dalam mengawal republik ini menjadi alasan untuk menjustifikasi dan melegitimasi keterlibatan mereka dalam berbagai urusan kenegaraan dan kebangsaan kita. Militer tidak hanya terlibat dalam urusan pertahanan dan perang, tetapi juga terlibat dalam kehidupan sosial politik. Di masa lalu, kehendak militer itu tercantum dalam doktrin Dwi Fungsi ABRI yang menjadi doktrin politik militer.
Di awal reformasi, desakan masyarakat sipil agar militer “kembali ke barak” memaksa militer untuk mencabut doktrin Dwi Fungsi ABRI. Implikasinya, berbagai anggota militer aktif yang duduk di struktur sipil semuanya ditarik kembali ke barak seperti tidak ada lagi fraksi TNI/Polri di DPR.
Seiring dengan proses demokrasi yang berjalan, tuntutan untuk melakukan reformasi TNI kemudian dilakukan dan diakui memang telah menghasilkan capaian-capaian positif seperti pencabutan doktrin Dwi Fungsi ABRI, pembubaran bakorstranas, pemisahan TNI-Polri dan lainnya. Namun demikian, belakangan ini terlihat ada kemunduran dari proses reformasi TNI yang sudah berjalan dengan masuknya kembali militer ke dalam wilayah sipil.
Ekspansi peran militer di wilayah sipil tentu tidak sejalan dengan fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Perluasan peran itu tidak hanya akan berdampak pada profesionalisme militer, tetapi juga menjadi masalah tersendiri bagi kehidupan demokrasi kita. Di sisi lain, sepanjang proses demokrasi yang berjalan ini, agenda reformasi TNI juga tidak kunjung terselesaikan. Tulisan ini akan mengulas tentang masalah penguatan peran militer di wilayah sipil, reformasi TNI dan penguatan sipil dalam mendorong reformasi sektor keamanan.
Peran Militer di Wilayah Sipil
Menguatnya peran militer dalam wilayah sipil dan urusan keamanan dalam negeri tidak terjadi dalam ruang yang kosong. Penguatan peran internal militer itu sangat dipengaruhi dari doktrin, dinamika politik dan persepsi ancaman yang berkembang. Ketika persepsi ancaman internal menguat, peran internal militer dalam wilayah sipil juga mengalami penguatan. Sebaliknya, ketika persepsi ancaman internal melemah, peran internal militer dalam wilayah sipil dan keamanan dalam negeri juga berkurang.
Di masa Orde Baru, demi menjaga stabilitas politik dan keamanan maka segala tindak dan gerak gerik masyarakat dipantau dan diawasi. Di masa ini, ancaman terhadap pemerintah adalah masyarakat yang kritis terhadap kekuasaan. Konsekuensinya, penguatan peran internal militer menguat di masa ini. Dengan corak rezim politik yang otoritarian, pemerintahan Orde Baru menjadikan militer sebagai alat kekuatan politik untuk menopang rezim kekuasaannya. Apalagi di masa ini doktrin Dwi Fungsi ABRI hadir untuk memperkokoh keterlibatan militer tidak hanya pada fungsi pertahanan tetapi juga fungsi sosial dan politik.
Di masa ini, militer terlibat dalam menghadapi berbagai protes sosial masyarakat seperti menghadapi demonstrasi mahasiswa, buruh, petani dan lainnya. Hal inilah yang berdampak pada terjadinya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai tempat seperti kasus penculikan aktivis mahasiswa 1997/1998, kasus pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah, Peristiwa Talangsari Lampung, Peristiwa Tanjung Priok dan lainnya.
Ketika reformasi bergulir pada 1998, koreksi atas peran militer yang berlebihan di masa Orde Baru itu kemudian dilakukan dengan membentuk berbagai regulasi yang membatasi peran militer. Berbagai regulasi itu diantaranya membentuk undang-undang pertahanan No. 3/2002 dan UU TNI No. 34/2004 yang secara tegas menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara.
Perjalanan di awal reformasi yang begitu baik di dalam menata peran militer kemudian kembali mundur ke belakang ketika pemerintahan Megawati menerapkan status darurat militer di Aceh. Proses perundingan yang sedang berjalan dalam menyelesaikan konflik di Aceh diabaikan dan berdampak pada operasi militer di Aceh. Padahal, sebelumnya di masa Abdurrahman Wahid, DOM baru saja dicabut di Aceh.
Dinamika kembalinya peran internal militer ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi politik ketika Abdurahman Wahid jatuh dari Presiden. Tekanan elit politik di parlemen dan dugaan dukungan militer dalam menjatuhkan Gus Dur berdampak pada politik kompromi pemerintahan Megawati. Alhasil, tuntutan untuk menggunakan pendekatan keamanan melalui operasi militer di Aceh diterapkan di masa ini.
Politik yang pragmatis dan kompromistis sering kali memberi pengaruh besar terhadap penerapan pola pendekatan keamanan yang berlebih, seperti operasi militer di Aceh dan menegasikan pola-pola pendekatan lain yang persuasif seperti melalui jalan dialog. Pada titik ini, realitas kontestasi politik kekuasaan sangat memberi pengaruh besar pada naik turunnya pelibatan militer di dalam negeri. Kontrol sipil yang demokratis akhirnya sulit dilakukan karena elit politik sipil bersikap permisif terhadap pilihan-pilihan pendekatan keamanan.
Di era pemerintahan SBY, keterlibatan militer di dalam negeri juga diakomodasi melalui berbagai aturan dan MOU seperti pembentukan Inpres tentang penanganan keamanan dalam negeri, pengesahan undang-undang penanganan konflik sosial dan berbagai MOU yang memberi ruang keterlibatan peran internal militer.
Di era pemerintahan Jokowi, pelibatan peran internal militer semakin menguat. Hal itu ditandai dari berbagai macam MOU TNI dengan berbagai instansi, penempatan militer dalam jabatan sipil yang tidak diatur dalam UU TNI dan revisi UU anti terorisme. Penguatan peran internal militer di era Jokowi tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial politik yang berkembang. Kontrol sipil di era Jokowi tidak terjadi. Justru yang terjadi, Jokowi bersikap permisif atas tuntutan militer sehingga membawa ruang peran internal militer menguat.
Isu komunisme dan masalah radikalisme serta terorisme telah menempatkan pemerintahan Jokowi memberi ruang yang besar bagi pelibatan militer di dalam negeri dan urusan sipil. Demonstrasi yang masif yang bertajuk gerakan Aksi 212 dan 414 pada Pilkada Jakarta membawa dampak yang besar bagi kemunduran politik Jokowi. Politik yang kompromistis dan pragmatis diterapkan Jokowi demi mempertahankan kekuasaannya. Otoritas sipil kemudian tidak bisa menghindar dari tuntutan militer untuk masuk jauh ke dalam urusan dalam negeri dan urusan sipil.
Hasil catatan Imparsial kurang lebih terdapat empat puluh MoU antara TNI dengan berbagai instansi sipil. Berbagai keterlibatan itu dapat dilihat dari keterlibatan TNI dalam urusan pangan sehingga militer terlibat dalam program cetak sawah; keterlibatan militer dalam penggusuran masyarakat untuk kepentingan pembangunan; keterlibatan militer dalam program KB;; menjaga beberapa objek sipil dan lainnya.
Pembentukan berbagai MOU di era SBY dan Jokowi sesungguhnya bertentangan dengan UU TNI. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI pelibatan militer dalam operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan melalui keputusan presiden bukan melalui MoU TNI. Keterlibatan militer di wilayah sipil juga ditandai dengan penempatan militer aktif di jabatan-jabatan sipil yang tidak menjadi domain yang telah di atur dalam UU TNI. Di sisi lain, parlemen dalam hal ini Komisi I DPR RI tidak menjalankan tugasnya untuk mengoreksi kebijakan yang keliru tersebut.
Kontribusi peran internal militer dapat bersifat negatif apabila digunakan secara berlebihan atau tidak tepat secara kontekstual. Pertama, keterlibatan yang berlebihan dikhawatirkan akan memecah konsentrasi, pengaturan, pelatihan, dan persiapan militer terhadap pelaksanaan peran utamanya, yaitu menghadapi perang. Dengan kata lain, jangan sampai keterlibatan militer ini melupakan raison d’être militer itu sendiri yakni bertugas untuk menghadapi perang. Ke dua, keterlibatan yang tidak tepat secara kontekstual juga dikawatirkan dapat menimbulkan bentuk-bentuk intervensi militer terhadap ranah sipil, di mana hal ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi maupun pembangunan profesionalisme.
Pengalaman negara-negara Amerika Latin pada 1960 dan 1980-an menunjukkan bahwa pelibatan militer dalam berbagai persoalan dalam negeri (atau di ranah sipil) akan berdampak bagi melemahnya kontrol sipil terhadap militer atau bahkan dapat mengarah kepada kudeta militer (Alfred Stepan (2001).
Beberapa tahun belakangan ini, apa yang terjadi di Meksiko, misalnya, jelas menggambarkan bahwa pelibatan militer bukanlah merupakan solusi. Pada 2006, Presiden Meksiko Felipe Calderon mengirimkan 6.500 tentara ke Michoacán dalam rangka “perang melawan narkoba”. Dua bulan kemudian, jumlah tentara yang diterjunkan dalam upaya penegakan hukum di seluruh Meksiko berlipat ganda menjadi sekitar 20.000 tentara. Namun, sejak dimulainya operasi tersebut, angka pembunuhan di Meksiko justru meningkat dan 48% dari penduduk Meksiko merasa tidak aman. Berdasarkan data Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Meksiko, sejak operasi tersebut dimulai pada 2006 juga terdapat sekitar 10.000 pengaduan pelanggaran hak asasi manusia oleh militer, termasuk penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings).
Lebih dari itu, pelibatan militer dalam penegakan hukum di Amerika Latin juga menunjukkan bahwa begitu suatu negara mulai menempuh jalur militerisasi, maka akan menjadi sulit bagi negara tersebut untuk mengubah arah di kemudian hari. Kasus di Meksiko dan Kolombia menggambarkan bahwa ketergantungan pada militer melemahkan dorongan untuk memperkuat kepolisian. Di Meksiko, hal ini terlihat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (La Ley de Seguridad Interior atau Internal Security Law) pada 2017 yang justru melembagakan peran domestik militer dan dengan demikian menormalisasi serta memperpanjang militerisasi. Padahal, ketika Felipe Calderon memulai operasi tersebut pada 2006, penggunaan militer dimaksudkan hanya untuk jangka pendek.
Hal ini jelas bukanlah preseden baik bagi demokrasi di Indonesia, terlebih tentu kita tidak menginginkan upaya reformasi TNI yang sudah dilakukan selama ini sia-sia. Kondisi ini juga akan menyulitkan di dalam membangun kontrol sipil yang demokratis terhadap militer. Michael C Desh berpendapat sipil paling mudah mengontrol militer ketika menghadapi ancaman eksternal, dan sebaliknya paling sulit jika menghadapi ancaman internal. Menurutnya, hubungan sipil-militer yang sehat tampaknya paling banyak di jumpai di negara yang menghadapi ancaman dari luar yang jelas. Sebaliknya, hubungan sipil-militer yang paling buruk pada umumnya dijumpai di negara yang menghadapi ancaman internal yang serius.
Pada akhirnya tesis yang diungkapkan Michael C Desh sangat tepat untuk melukiskan persoalan peran internal militer, problem tugas perbantuan dan dinamika politik militer di Indonesia. Sepanjang persepsi ancaman yang dibangun terus melihat ke dalam maka sepanjang itu pula keterlibatan peran internal militer akan menguat dan bahkan tidak mungkin akan masuk dalam wilayah politik
Stagnasi Reformasi dan Transformasi TNI
Dalam negara demokrasi, proses reformasi TNI merupakan bagian penting dari proses reformasi sektor keamanan. Prinsip utama konsep RSK berpusat pada orang/individu, yakni menekankan keamanan tiap-tiap warga negara daripada pemerintahan atau rezim. Proses RSK menuntut perlunya akuntabilitas dan pengawasan yang demokratis dengan meningkatkan tata kelola dalam sektor keamanan dan memastikan lembaga-lembaga keamanan dan peradilan berada di bawah otoritas sipil yang demokratis.
Upaya melakukan reformasi TNI memang sudah dilakukan dan sudah meraih capaian-capaian positif. Namun demikian, proses reformasi TNI itu belum seluruhnya tuntas karena masih menyisakan beberapa persoalan penting untuk di rubah yakni di antaranya reformasi peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial. Sudah hampir dua puluh tahun lebih proses reformasi TNI mengalami stagnasi. Pemimpin sipil di era reformasi ini belum ada yang memiliki kemauan dan keberanian politik untuk menyelesaikan kedua agenda tersebut.
Pada masa awal Reformasi, merestrukturisasi komando teritorial adalah salah satu agenda yang diusung gerakan mahasiswa dan gerakan demokratis lainnya. Kelompok-kelompok demokratis itu menyuarakan agenda restrukturisasi koter satu paket dengan agenda penghapusan peran sosial politik ABRI—sekarang TNI—yang dikenal sebagai “Dwifungsi ABRI”.
Sayangnya, meski peran politik ABRI dapat dihapus, struktur koter tak kunjung direstrukturisasi hingga kini. Pada masa Orde Baru, keberadaan koter memang sangat terkait dengan Dwifungsi ABRI. Meski cikal-bakal koter ada pada masa Orde Lama, fungsi koter sebagai struktur yang menunjang peran politik ABRI baru dipermanenkan dan diperkuat pada masa Orde Baru.
Jangkauan struktur koter dapat mendistribusikan peran politik ABRI di daerah, juga menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Koter kerap kali digunakan sebagai instrumen merepresi masyarakat yang menentang rezim Soeharto. Hierarki koter menyerupai struktur pemerintahan sipil di daerah yang hierarkinya sampai ke kecamatan dan memiliki babinsa di level terbawah.
Ketika doktrin dwifungsi ABRI, yang menjadi pijakan dasar militer berpolitik, sudah dihapus pada masa Reformasi, sepantasnya struktur koter perlu direstrukturisasi. Restrukturisasi koter bertujuan agar gelar kekuatan TNI (postur TNI) dapat mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Dengan demikian, perlu dipikirkan gelar kekuatan TNI baru yang lebih terintegrasi.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebenarnya mensyaratkan kepada otoritas politik melakukan restrukturisasi koter. Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU TNI menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis. Penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.
Agenda reformasi TNI lain yang hingga kini belum tuntas adalah reformasi peradilan militer. Reformasi peradilan militer melalui perubahan UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer merupakan jantung dari reformasi TNI. Selama reformasi peradilan militer belum dilakukan, selama itu pula bisa dikatakan bahwa reformasi TNI belum selesai.
Selama ini anggota militer yang melakukan tindak pidana umum masih diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, peradilan militer tak jarang menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Kalaupun ada hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana, sanksinya kadang kala tidak maksimal.
Sebagai sebuah sistem peradilan, mekanisme dalam peradilan militer tidak memenuhi kaidah-kaidah prinsip peradilan yang adil dan baik. Padahal, di dalam negara hukum, mekanisme peradilan mutlak bersifat independen, tidak memihak, dan tidak dipengaruhi suatu kekuasaan atau kekuatan apa pun serta harus menjamin due process of law.
Agenda reformasi peradilan militer sesungguhnya dimandatkan dalam UU No. 34/2004 tentang TNI. Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan bahwa ”prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.
Selain itu, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer adalah suatu langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten {Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945}.
Konsekuensi dari asas sama di hadapan hukum yang ditegaskan konstitusi itu adalah bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum perlu diadili dalam peradilan yang sama dengan warga negara lain yang melakukan tindak pidana umum, yakni melalui mekanisme peradilan umum.
Sebagai alat pertahanan negara, TNI bertugas pokok menjaga wilayah pertahanan Indonesia. Ini bukan pekerjaan mudah. Untuk melaksanakan tugas pokoknya itu, TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional. Dengan beban tugas yang berat itu, wajar apabila profesionalisme TNI ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit. Selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim. Terbatasnya rumah dinas anggota TNI adalah satu contoh dari permasalahan kesejahteraan prajurit.
Problematika kesejahteraan prajurit TNI itu merupakan indikator dari belum selesainya proses transformasi TNI menjadi tentara yang profesional. Paling tidak ada empat tolak ukur untuk melihat pembangunan tentara yang profesional yakni tentaranya harus sejahtera (well paid), persenjataannya modern (well equipped), tentaranya harus terlatih (well trained) dan tentaranya harus terdidik (well educated).
Penguatan Sipil
Pembangunan hubungan sipil militer yang sehat juga membutuhkan keharusan di pihak sipil untuk memahami berbagai persoalan di sektor pertahanan. Bagaimana mungkin otoritas sipil akan dapat mengendalikan militer secara obyektif jika pada kenyataannya kapasitas dan kemampuan otoritas sipil untuk memahami persoalan di sektor pertahanan lemah. Oleh karena itu, lembaga eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menentukan anggaran, prioritas dan strategi pertahanan, penambahan peralatan, dan kurikulum serta doktrin militer; dan anggota dewan paling tidak harus memiliki kapasitas untuk meninjau ulang kebijakan ini dan memonitor implementasinya.
Dalam bukunya yang berjudul The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance, Marcus Mietzner menekankan pentingnya aktor politik sipil agar terus diperkuat. Lebih jauh, ia juga mengatakan bahwa konsolidasi partai politik, lembaga legislatif, serta lembaga eksekutif merupakan conditio sine qua non untuk pembangunan sektor pertahanan yang demokratis.
Lebih dari itu, Josep S. Nye, Jr. menilai bahwa iklim yang sehat dalam menjaga hubungan sipil-militer dalam sistem negara demokrasi adalah dengan mempraktikkan tradisi-tradisi liberal; Pertama, angkatan bersenjata harus tunduk kepada peraturan hukum dan wajib menghormati kewenangan sipil; ke dua, angkatan bersenjata tidak memihak dan tetap berada di atas semua kepentingan politik; ke tiga, pihak sipil harus mengakui bahwa angkatan bersenjata merupakan alat yang sah dari negara demokrasi, ke empat, pihak sipil memberi dana dan penghargaan yang layak kepada militer untuk mengembangkan peran dan misi militer; ke lima, pihak sipil harus belajar mengenai isu-isu pertahanan dan budaya militer.
Bangunan hubungan sipil militer yang sehat juga sangat membutuhkan peranan kelompok-kelompok masyarakat sipil (civil society) yang kuat dan aktif untuk melakukan pengawasan terhadap dinamika reformasi sektor keamanan yang berkembang. Kelompok-kelompok masyarakat sipil itu meliputi para akademisi, jurnalis, LSM, mahasiswa, serikat buruh, serikat petani dan lainnya yang memiliki perhatian pada persoalan sektor pertahanan dan keamanan. Tanpa peranan kelompok masyarakat sipil bangunan hubungan sipil yang sehat sulit terwujud.
Di masa awal reformasi, kuatnya gerakan mahasiswa yang mendesakkan isu ”militer kembali ke barak” dan hapuskan doktrin ”Dwi Fungsi ABRI” menjadi salah satu bagian penting dalam mendorong proses reformasi TNI yang berakibat pada larangan TNI untuk berpolitik.
Demokrasi adalah sebuah sistem yang dinamis, dia bisa bergerak maju ke depan tetapi juga dapat bergerak mundur ke belakang. Dalam beberapa kasus negara-negara negara lain, dinamika demokrasi mundur ke belakang manakala hubungan sipil militer berjalan tidak sehat di mana militer kembali masuk dalam politik.
Alfred Stepan mengungkapkan ada lima faktor yang dapat membuat militer masuk kembali dalam politik yakni; Pertama, menurunnya kredibilitas pemimpin sipil; ke dua, Konflik (permusuhan) antara pemimpin politik sipil; ke tiga, Persepsi ancaman lebih dominan ke dalam ketimbang keluar; ke empat, ada masalah keamanan dalam negeri; ke lima, Persepsi diri militer sebagai penjaga dan penyelamat bangsa (doktrin).
Dalam konteks itu, tentu pembangunan hubungan sipil militer yang sehat tidak cukup hanya pada tekanan mendorong reformasi militer tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana elit sipil memperbaiki dirinya sendiri. Sepanjang para elit sipil tidak bisa mewujudkan politik yang otentik dan terus terjebak pada lingkaran praktik korupsi maka sepanjang itu pula bayang-bayang militer kembali dalam politik akan selalu ada. Sudah saatnya para pemimpin sipil melakukan refleksi diri dan salah satu hal utama yang perlu dilakukan adalah melakukan reformasi partai politik agar tujuan dan fungsi utama partai politik benar-benar ditunjukkan untuk membangun demokrasi yang sehat yang membahagiakan rakyatnya.
Penutup
Usaha membangun tentara yang profesional yang bertugas menjaga wilayah pertahanan negara merupakan hal yang esensial dalam kehidupan negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, militer harus tunduk dalam kaidah-kaidah kehidupan negara demokrasi dan negara hukum.
Apa yang dilakukan Bang Asmara Nababan sepanjang hidupnya sesungguhnya berkeinginan untuk membangun tentara yang profesional tersebut. Kiprah Bang Asmara dalam mengungkap praktik kekerasan dan pelanggaran HAM militer di Aceh, Timor Leste dan kasus lainnya sesungguhnya bagian dari usaha untuk memastikan bahwa seluruh aktor pertahanan harus tunduk pada kehidupan negara hukum yang memerlukan adanya pertanggungjawaban hukum aktor yang ada.
Sungguh sulit dibayangkan, di tengah kerasnya rejim masa Orde Baru, Bang Asmara Nababan tak kenal lelah memperjuangkan HAM dan menolak rezim yang militeristis. Bang Asmara Nababan adalah sosok yang teguh untuk memperjuangkan agenda reformasi sektor keamanan dalam perspektif HAM. Dia bukan hanya berpikir tetapi juga bertindak untuk menyuarakan suara-suara korban. Bang Asmara adalah voice of the voiceless yang konsisten menyuarakan suara-suara terpendam dan tak terdengar.
Dalam konteks itu, upaya untuk menjaga agar militer tidak lagi kembali berpolitik, tidak lagi masuk wilayah sipil serta usaha menyelesaikan agenda reformasi TNI merupakan bagian dari agenda demokratisasi yang diperjuangkan oleh Bang Asmara Nababan. Walaupun bang Asmara Nababan sudah mendahului kita, warisan semangat dan nilai perjuangannya akan kita teruskan dan perjuangkan agar kehidupan demokrasi terus dapat terjaga dan terawat.
Selamat beristirahat dengan tenang, Bang Asmara Nababan.
Pers Indonesia di Tengah Kebebasan
Oleh: Stanley Adi Prasetyo
Dua puluh satu tahun pasca-pemberlakuan UU No. 40/1999 menunjukkan secara signifikan bahwa pers di Indonesia menjadi pilar ke-4 demokrasi yang tangguh. Bisa dikatakan ketika kepercayaan kepada negara mulai runtuh, pers mampu memberikan harapan kepada masyarakat bahwa negara ini masih bisa diperbaiki.
Betapa tidak, di Indonesia istilah trias politica telah diplesetkan oleh sejumlah kalangan menjadi trias corruptica dan eksekutif, legislatif serta yudikatif diplesetkan sebagai executhieves, legislathieves, dan yudicathieves. Ketika ketiga pilar utama dalam sistem demokrasi ini digerogoti praktek koruptif, pers sebagai pilar ke-4 bukan hanya berhasil membangun kepercayaan publik tapi juga secara aktif ikut membongkar praktek-praktek korupsi yang ada.
Bila pada tahun 1980-an, di jaman Orde Baru pers di Indonesia tak berani mengungkapkan skandal yang melibatkan para pejabat, kini pers berhasil menjalankan fungsi sebagai watchdog atau “anjing penjaga”. Pers saat ini berhasil menjalankan fungsi pengawasan atas 3 hal yaitu sebagai sarana kontrol publik bagi penyelenggaraan kekuasaan, dinamika sosial, dan praktek bisnis.
Kemerdekaan Pers
Kemerdekaan pers (press freedom) merupakan satu sisi pada keping yang sama dengan kebebasan berekspresi. Kemerdekaan pers diakui merupakan kendaraan yang memastikan hubungan antara kebebasan berekspresi dan demokrasi. Di Indonesia, UU No. 40/ 1999 tentang Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers adalah bagian dari hak asasi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dgn hati nurani dan hak memperoleh informasi (poin menimbang UU No 40/1999). Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa kemerdekaan pers ada untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain berfungsi memenuhi hak untuk tahu dan hak atas informasi, pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Almarhum Profesor Miriam Budiardjo pernah menyatakan, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Pasal 2 Undang-Undang No. 40 tentang Pers menyatakan bahwa pers bertugas mewujudkan kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan. Dalam demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu negara.
Pers merupakan pilar demokrasi ke empat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. Untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. Di samping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan politik. Pers yang tidak sekadar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar.
Wajah demokrasi sendiri terlihat pada dua sisi. Pertama, demokrasi sebagai realitas kehidupan sehari-hari, kedua, demokrasi sebagaimana ia dicitrakan oleh media informasi. Di satu sisi ada citra, di sisi lain ada realitas. Antara keduanya sangat mungkin terjadi pembauran, atau malah keterputusan hubungan. Ironisnya yang terjadi sekarang justru terputusnya hubungan antara citra dan realitas demokrasi itu sendiri. Istilah yang tepat digunakan adalah simulakrum demokrasi, yaitu kondisi yang seolah-olah demokrasi padahal sebagai citra ia telah mengalami deviasi, distorsi, dan bahkan terputus dari realitas yang sesungguhnya. Distorsi ini biasanya terjadi melalui pencitraan sistematis oleh media massa. Demokrasi bukan lagi realitas yang sebenarnya, ia adalah kuasa dari pemilik informasi dan penguasa opini publik.
Proses demokratisasi di sebuah negara tidak hanya mengandalkan parlemen, tapi juga media massa, yang merupakan sarana komunikasi antara pemerintah dengan rakyat, maupun rakyat dengan rakyat. Keberadaan media massa ini, cetak maupun elektronik, memiliki cakupan bermacam-macam, baik dalam hal isu maupun daya jangkau sirkulasi ataupun siaran. Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, yaitu adanya transformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara penganut paham demokrasi, sehingga ada persebaran informasi secara merata. Namun, pada pelaksanaannya, banyak faktor menghambat proses komunikasi ini, terutama keterbatasan media massa dalam menjangkau lokasi-lokasi pedalaman
Kebebasan pers diperlukan untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itulah dalam Pasal 4 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran; pembredelan atau pelarangan penyiaran; untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; dan hak tolak sebagai bentuk pertanggungjawaban pemberitaan.
Pengertian kemerdekaan pers itu mencakup dua hal. Pertama adalah struktur (freedom from) yaitu kemerdekaan pers dipahami sebagai kondisi yang diterima oleh media sebagai hasil dari struktur tertentu. Negara disebut bebas apabila tidak ada sensor, bebas dari tekanan pada jurnalis, bisa independen di tengah pengaruh lingkungan ekonomi termasuk kepemilikan, tak ada aturan hukum yang mengekang kemerdekaan pers, bebas dari tekanan sosial dan politik. Yang ke dua adalah performance (freedom to) yaitu bahwa kebebasan pers juga diukur dari bagaimana cara pers menggunakan kemerdekaan tersebut. Misalnya apakah liputan media telah jujur dan adil (fair), mengungkapkan fakta yang sebenarnya, membela kepentingan publik, dan sebagainya.
Pers Indonesia memiliki peranan penting dalam mewujudkan cita-cita negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 6 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Antara lain memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan HAM, serta menghormati kebinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan, bisnis, kepentingan umum. Dan yang terakhir adalah memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Kebebasan pers memiliki hubungan yang erat dengan fungsi pers dalam masyarakat demokratis. Pers adalah salah satu kekuatan demokrasi terutama kekuatan untuk mengontrol dan mengendalikan jalannya pemerintahan. Dalam masyarakat demokratis pers berfungsi menyediakan informasi dan alternatif serta evaluasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk partisipasinya dalam proses penyelenggaraan negara. Kedaulatan rakyat tidak bisa berjalan atau berfungsi dengan baik jika pers tidak memberikan informasi dan alternatif pemecahan masalah yang dibutuhkan.
Meski demikian, pers tidak boleh menggunakan kebebasannya untuk bertindak “semau gue”. Bagaimanapun juga, kebebasan manusia tidak bersifat mutlak. Kebebasan bersifat terbatas karena berhadapan dengan kebebasan yang dimiliki orang lain. Juga dalam kebebasan pers, pers tidak bisa seenaknya memberitakan informasi tertentu. Pers wajib menghormati hak pribadi orang lain.
Ada tiga kewajiban pers yang harus diperhatikan yaitu menjunjung tinggi kebenaran, menghormati privasi orang atau subyek tertentu, dan menjunjung tinggi prinsip bahwa apa yang diwartakan atau diberitakan dapat dipertanggungjawabkan. UU No. 40/ 1999 tentang Pers menyatakan tanggung jawab pers ada 5 hal. Antara lain pers memainkan peran penting dalam masyarakat modern sebagai media informasi, pers wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat, pers wajib menghormati asas praduga tak bersalah, pers dilarang memuat iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan/ atau melanggar kerukunan hidup antar umat beragama, dan yang terakhir adalah pers dilarang memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya.
Kebebasan pers yang sedang dinikmati sekarang memunculkan sejumlah hal yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan. Suara-suara dari pihak pemerintah Indonesia dan sejumlah pejabat misalnya, telah menanggapinya dengan bahasanya yang khas yaitu kebebasan pers di Indonesia telah kebablasan. Sementara dari pihak masyarakat, muncul pula reaksi komunal yang lebih konkret bersifat fisik.
Organisasi Wartawan Bermunculan
Di jaman Orde Baru hanya ada satu organisasi wartawan yang diakui pemerintah yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Semua wartawan diwajibkan untuk menjadi anggota PWI. Pada saat pembredelan tiga media Tempo, Detik, dan Editor muncul protes dari kalangan wartawan terhadap pimpinan PWI yang saat itu menyetujui dan bisa mengerti langkah pembredelan yang menyebabkan ribuan wartawan dan pekerja pers kehilangan pekerjaan. Kekecewaan itu kemudian berlanjut dengan berdirinya Aliansi Jurnalis Independen yang merupakan antitesis terhadap PWI. Namun AJI dianggap ilegal dan para penandatanganan Deklarasi Sirnagalih tak diperbolehkan bekerja menjadi wartawan di semua media yang ada.
Pasca-Reformasi 1998 dan terbitnya UU 40/1999 bermunculan berbagai organisasi wartawan baru. Pemerintah mempersilakan kepada setiap wartawan untuk memilih bergabung dengan organisasi wartawan yang telah ada ataupun membentuk organisasi wartawan baru. Karena itulah kemudian muncul banyak organisasi wartawan dengan kode etiknya masing-masing.
Dewan Pers dan organisasi konsisten merasa perlu untuk membuat kode etik jurnalistik yang secara umum bisa dijadikan pegangan untuk semua wartawan di Indonesia, dari berbagai organisasi mana pun. Pada 5-7 Agustus 1999 di Bandung, Dewan Pers mengumpulkan semua organisasi wartawan yang ada pada saat itu.
Muncul kesepakatan untuk memberlakukan 7 butir Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Kode etik yang menjadi acuan bersama para wartawan itu ditandatangani oleh 26 organisasi wartawan. Pada 14 Maret 2006 kode etik baru yang disebut sebagai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) disahkan sebagai pengganti KEI oleh perwakilan 29 organisasi wartawan dan asosiasi perusahaan media yang ada pada saat itu.
Pasca pengesahan KEWI dan KEJ, organisasi wartawan baru terus bermunculan. Misalnya dari sejumlah anggota PWI yang memisahkan diri akibat ketidakpuasan saat Kongres PWI di Lampung, muncullah PWI Reformasi. Hingga akhir 2007 tercatat sejumlah organisasi wartawan baru bermunculan antara lain Himpunan Wartawan Muslim Indonesia (HIWAMI), Silaturahmi Wartawan Muslim Indonesia (SWAMI), Asosiasi Solidaritas Wartawan Indonesia, Gerakan Moral Peduli Amanat Rakyat (ASWARI GEMPAR), Persatuan Pers Nasional Indonesia (PPNI), Komite Wartawan Independen Indonesia (KWII), Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI), Persatuan Wartawan Independen Indonesia (PWII), Komite Perlindungan Wartawan Indonesia (KPWI), Komite Jurnalis Indonesia (KJI), Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI), Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI), Gabungan Wartawan Indonesia (GAWANI), Federasi Wartawan Independent Indonesia Baru (FWIIB), Persekutuan Oikumene Jurnalis Kristen Indonesia (PROJUSTISIA), Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-REFORMASI), Aliansi Wartawan Indonesia (AWI), Komite Jurnalis Indonesia (KJI), dan Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAP HAMBA).
Semua organisasi wartawan juga bersepakat untuk menerapkan standar organisasi wartawan sebagaimana ditetapkan melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Pers yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA di Jakarta pada 24 Maret 2006. Dalam aturan ini semua organisasi wartawan bersepakat untuk mendaftar ke Dewan Pers dan bersedia diverifikasi oleh Dewan Pers.
Dan ketika Dewan Pers melakukan verifikasi faktual ke lapangan, setelah sebelumnya beberapa organisasi mengajukan diri untuk diverifikasi Dewan Pers, yang lolos proses verifikasi hanya ada tiga organisasi wartawan. Antar lain Persatuan wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Tiga organisasi wartawan inilah yang kemudian diakui sebagai konstituen Dewan Pers dari unsur perwakilan organisasi wartawan.
Tiga Jenis Media
Secara umum, pasca Pemilu 2019, media saat ini terbagi menjadi 3 kelompok. Antara lain media profesional, media partisan, dan media abal-abal. Pasca-reformasi 1998 dimana Menteri Penerangan M. Yunus Yosfiah mencabut pemberlakuan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), maka semua orang diperbolehkan untuk membuat media. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya mensyaratkan bahwa untuk menerbitkan pers, seseorang cukup mengurus badan hukum dan mendaftarkannya ke Kementerian Hukum dan HAM.
Booming pertumbuhan media sepertinya menumbuhkan peluang bisnis baru. Ada banyak pengusaha tergiur untuk mendirikan perusahaan pers dan merekrut wartawan-wartawan dari berbagai media untuk menjadi pemimpin redaksi di perusahaan pers baru mereka dengan gaji yang lumayan menggiurkan. Peluang ini juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang tadinya adalah para wartawan bodrex untuk ikut mendirikan media sebagai peluang bisnis.
Hal inilah yang membuat ada banyak orang ingin menjadi wartawan dengan cara mudah melalui jalan pintas. Banyak mantan wartawan dan orang-orang yang sama sekali tak punya pengalaman di bidang jurnalistik nekad mendirikan perusahaan pers dengan modal minim. Tanpa legalitas hukum dan juga tak memenuhi standar perusahaan pers. Hal inilah yang menyebabkan maraknya pertumbuhan media yang kemudian lebih dikenal sebagai media abal-abal.
Media jenis abal-abal ini mempekerjakan wartawan secara sembarangan. Tanpa pernah memberikan pelatihan dan pembekalan ketrampilan jurnalistik, pemilik media memberikan kartu pers yang dibuatnya sendiri. Hal ini melahirkan wartawan instan tanpa bekal ketrampilan dan pengetahuan yang memadai. Bahkan kerap tanpa gaji dan malah mewajibkan ang wartawan untuk memberikan setoran bulanan kepada pemilik media. Para wartawan minus kompetensi inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai wartawan abal-abal.
Adapun kategorisasi wartawan sepertinya mengikuti ragam media juga. Secara umum jenis wartawan bisa dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu wartawan profesional. wartawan partisan, dan wartawan abal-abal. Di media profesional yang dominan bekerja adalah wartawan profesional, sedangkan wartawan partisan ada tapi tak dapat tempat dan posisi penting. Di media partisan yang dominan bekerja adalah wartawan partisan, sedangkan wartawan profesional terpinggirkan dan frustrasi, wartawan abal-abal eksis. Di media abal-abal yang bekerja sepenuhnya adalah para wartawan abal-abal.
Dewan Pers sejak 2013 telah berupaya mengatasi praktek “abal-abalisme” ini dengan membuat sejumlah kegiatan media literasi dan mengeluarkan sejumlah surat edaran kepada satuan kerja pemerintahan daerah dan instansi. Akibat langkah Dewan Pers ini dan mudah serta murahnya pengelolaan media online, ada ratusan dan mungkin ribuan media abal-abal memilih migrasi ke media online.
Data media di Indonesia saat ini diperkirakan ada sekitar 47.000 media, 2.000 i antaranya adalah media cetak. Namun dari jumlah tersebut pada 2014 hanya 567 media cetak yang memenuhi syarat disebut sebagai media profesional dan pada 2015 angka ini menyusut menjadi hanya 321 media cetak. Sedangkan media online/siber diperkirakan mencapai angka 43.300, tapi yang tercatat sebagai media profesional yang lolos syarat pendataan pada 2014 hanya berjumlah 211 media online saja. Angka ini menyusut menjadi hanya 168 media online saja pada 2015. Selain itu hingga akhir 2014 tercatat ada 1.166 media radio dan 394 media televisi. Pada 2015 media radio mengalami penyusutan menjadi 674 media radio sedangkan televisi bertambah menjadi 523 media televisi.
Pertumbuhan media yang marak mengakibatkan terjadi perekrutan wartawan dalam jumlah besar dari berbagai latar belakang pendidikan akademis. Perekrutan ini tak diikuti dengan tersedianya sumber daya wartawan yang siap pakai. Kebanyakan dari para wartawan baru ini tak pernah mengikuti pendidikan jurnalistik. Banyak di antara mereka yang lebih memilih bekerja dengan jalan pintas yaitu tak turun ke lapangan, tapi cukup menggunakan bahan-bahan dari publikasi media lain. Cara lain adalah dengan menggunakan sumber media sosial atau kloning.
Saat ini ada sejumlah pemilik media bikin partai politik. Ada orang partai yang memiliki media. Ada juga media yang loyal mencitrakan partainya. Ada pula media loyal membela kepentingan pemiliknya saja. Di media televisi kita bisa melihat ada media yang melalui model framing berita, talkshow, liputan khusus, hingga sekilas info, dan running text atau memersepsikan beritanya untuk kepentingan tertentu,
Pada menjelang Pilpres 2019 tayangan media TV, termasuk pemberitaannya, sepertinya terbelah menjadi 2 kekuatan yaitu mendukung pemerintah (incumbent) tanpa reserve dan lainnya menjadi oposisi yang super kritis. TV tersisa lainnya adalah tetap konsisten memilih gosip, infotainment, opera sabun India/Turki, dangdut, hantu sebagai pilihan utama untuk meraup rating tinggi versi AC Nielsen.
Keberpihakan media akibat polarisasi politik terus berlanjut pada saat Pilkada (kita bisa melihat Pilkada 2015 dan Pilkada 2017). Penyerangan terhadap wartawan pada akhir 2016 dan awal 2017 menunjukkan bahwa ada masyarakat yang menilai beberapa kehilangan netralitas dalam liputannya. Meski ini sebetulnya juga mengundang perdebatan karena massa yang melakukan penyerangan lebih diakibatkan karena media sebetulnya telah bersikap netral dan independen, hanya saja tak mewakili aspirasi atau pendapat kelompok yang melakukan penyerangan.
Memudarnya Media Mainstream
Tugas utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran. Kebenaran yang disampaikan oleh kelompok profesi ini kini dicemari oleh maraknya berita-berita hoax. Fakta kebenaran yang diungkap media arus utama tertutup oleh berbagai berita hoax.
Hampir dua setengah tahun terakhir ini di Indonesia bermunculan berita hoax. Barita hoax ini bukan semata memuat kebohongan, tapi juga menebar kebencian, prasangka SARA, fitnah, dan juga ketidakpercayaan kepada badan-badan publik. Dan menjelang Pilkada serentak 2017 fenomena ini kian menguat.
Ada banyak berita hoax yang diproduksi oleh situs-situs yang mengaku sebagai situs berita tersebut banyak dikutip serta disebarluaskan melalui berbagai media sosial. Masyarakat sulit untuk membedakan mana berita yang benar dan mana berita hoax.
Yang rawan adalah tumbuhnya semacam simbiosis mutualistis di mana ada banyak wartawan menggunakan sumber media sosial untuk mendapatkan ide dan mengembangkan berita, sedangkan media sosial menindaklanjuti berita-berita media yang sebelumnya bersumber dari info di media sosial untuk disebarluaskan. Dengan demikian munculnya efek viral yang luas dan menimbulkan pro-kontra sebuah masalah yang sebetulnya bersumber dari berita hoax yang tak jelas ujung-pangkalnya.
Pada saaat ini media-media terbelah mengusung calon masing-masing. Independensi mengalami peregangan karena adanya tarik-ulur kepentingan antara politik, kue iklan kampanye, dan ideologi. Ada banyak liputan yang sebetulnya berselubung iklan. Mulai dari liputan event, wawancara, hingga penulisan profil. Hampir semua platform media, baik media cetak, media siber (online), televisi maupun radio melakukannya. Pubik pun kehilangan kepercayaan terhadap netralitas pers dan kebenaran isi media, termasuk media nasional yang merupakan media arus utama.
Belakangan masyarakat menemukan percakapan dalam grup media sosial semacam Whatsapp menjadi sarana yang cocok. Dalam grup-grup di media sosial umumnya para anggota grup mengenal satu sama lain dan mula-mula orang saling percaya dan membagikan setiap info yang dimiliki masing-masing. Hal inilah awal muasal munculnya efek viral dari berita-berita hoax. Ada kemungkinan berita terkait sebuah isu berasal dari media sosial, kemudian dikutip oleh media online, dan kemudian karena banyak dibicarakan orang maka media cetak arus utama mengangkat isu tersebut. Efek viral yang muncul menciptakan kebenaran palsu.
Berita hoax yang belakangan muncul ini telah mencapai taraf yang cukup mengawatirkan. Terutama karena berita hoax yang beredar telah bercampur dengan ujaran kebencian, prasangka suku-agama-ras-antar golongan (SARA), paham radikalisme, dan ajakan melakukan aksi kekerasan.
Tentu saja hal ini tak boleh dibiarkan terus terjadi karena yang paling dirugikan adalah hak publik atas informasi yang benar. Otoritas kebenaran faktual harus dikembalikan kepada media arus utama yang terverifikasi di Dewan Pers. Nilai-nilai luhur profesi jurnalis harus dikembalikan kepada wartawan yang memiliki kompetensi dan mengikatkan diri pada nilai-nilai dan etik profesi.
Pers nasional adalah merupakan wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional. Dalam menjalankan profesi, wartawan Indonesia bekerja berlandaskan moral dan etika profesi yaitu Kode Etik Jurnalistik.
Gambaran Umum Kemerdekaan Pers
Dewan Pers sejak 2014 telah menyusun desain indikator kemerdekaan pers. Dan sejak 2017 Dewan Pers telah menyusun Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang meliputi seluruh propinsi di Indonesia.
Selama ini kemerdekaan pers di Indonesia selalu dinilai secara dikotomis dan sangat umum – entah dianggap sudah baik atau dianggap kebablasan. Dari indikator yang berhasil dikumpulkan, tampak kemerdekaan pers cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya campur tangan negara dan pelembagaan akses informasi seperti kebebasan berserikat, kebebasan dari kriminalisasi dan intimidasi, akses atas informasi publik dan keragaman kepemilikan.
Kemerdekaan pers menghadapi dibayang-bayangi persoalan-persoalan kemandirian perusahaan pers dari kepentingan kuat, intervensi pemilik bisnis pers terhadap rapat redakasi, persoalan yang menyangkut rule of law dan tata kelola perusahaan termasuk tingkat kesejahteraan wartawan yang rendah.
Hal lain menunjukkan dalam praktek pers di Indonesia ternyata masih menoleransi wartawan untuk menerima suap atau amplop. Dari sisi etika pers juga belum cukup baik. Hal ini menjadikan pemberitaan berpotensi mengancam profesionalisme wartawan. Hal ini masih ditambah dengan afiliasi media dengan partai politik atau calon kandidat yang memperburuk profesionalisme media. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pengaduan ke Dewan Peras terkait soal pelanggaran etik akurasi dan keberimbangan, di mana media digunakan untuk menyerang kandidat lain atau mendukung kandidat tertentu
Bila dari sisi campur tangan negara kemerdekaan pers di Indonesia sangat baik, namun tidak demikian dari sisi intervensi pemilik. Independensi redaksi merupakan salah satu persoalan yang paling dirasakan. Tekanan-tekanan dari pemilik kepada redaksi sering kali mengakibatkan sulitnya menghasilkan keragaman dalam berita. Pemimpin redaksi kerap tidak bisa menghindari tekanan dari pemilik media terutama karena kepentingan politik. Ada anggota redaksi di media yang terpaksa dipecat karena tidak mengikuti keinginan pemilik media.
Dalam kebebasan berorganisasi dan berserikat meski sudah cukup terlembaga tantangan berasal dari perusahaan pers yang memberi stigma terhadap serikat pekerja dan berusaha menghalang-halangi terbentuknya serikat pekerja. Sebaliknya keinginan di kalangan jurnalis untuk bergabung dalam serikat pekerja rendah.
Secara umum perusahaan media di daerah masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada sumber dana dari anggaran pemerintah daerah dan bentuk-bentuk kerja sama yang saling-tergantung cukup membuat media atau perusahaan media kurang independen. Meski tak tertulis dan terang-terangan, kesadaran pengelola media di level pengambil keputusan (departemen usaha) untuk menjaga hubungan baik dengan pemberi dana, disadari bersama. Di samping itu, tingkat kesejahteraan wartawan yang rendah menjadi tantangan bagi dunia jurnalistik. Di sisi lain toleransi wartawan terhadap suap/amplop masih tinggi.
Pers belum sepenuhnya mampu menyuarakan kaum yang tak bisa bersuara. Tidak semua kelompok masyarakat memiliki akses pada media untuk didengar suaranya dan mendapat informasi dengan akurat. Masalah perempuan, miskin kota, dan penyandang disabilitas adalah sebagian dari kelompok masyarakat yang suaranya sering diabaikan oleh pers. Berbagai perkara yang dihadapi perempuan cenderung memberi stigma pada kaum perempuan. Berbagai isu krusial seperti intoleransi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, diskriminasi terhadap masyarakat adat yang perlu diketahui oleh publik tidak diangkat. Kalaupun diangkat tidak semua perspektif ditemukan dalam media-media mainstream.
Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran menyatakan perusahaan media hanya dapat boleh memiliki stasiun TV/Radio beroperasi di satu kota. Namun dalam prakteknya pemilik stasiun siaran menyiasati peraturan dengan membentuk holding company. Dengan begitu mereka bisa memilik lebih dari satu stasiun pada satu tempat. Dalihnya setiap stasiun dikelola oleh perusahaan yang berbeda; padahal perusahaan-perusahaan tersebut sesungguhnya bernaung di satu atap. Hal inilah yang kemudian menciptakan konglomerasi media elektronik.
Lemahnya keragaman dalam perspektif pemberitaan media terjadi karena sejumlah hal. Antara lain karena wartawan kurang menggali informasi dan mengangkat berita secara berimbang, kebijakan dari redaksi itu sendiri yang perspektifnya pun tidak plural, pengetahuan dan sensitivitas wartawan terhadap korban yang masih terbatas. Sebagian media lebih berfungsi sebagai corong politik untuk pemilik media yang nota bene adalah ketua partai. Sedangkan media publik, tepatnya lembaga penyiaran publik seperti TVRI dan RRI kurang berkembang.
Pertarungan: Politik Gender di Ruang Demokrasi
Oleh: Kamala Chandrakirana
Pada judul tulisan ini saya kembali menggunakan kata yang pernah saya gunakan dalam paparan bersama Yuniyanti Chuzaifah pada 2003 yang kemudian diterbitkan dalam buku rampai Sisters in Islam di Malaysia, yaitu: pertarungan. Buku yang sempat dilarang oleh pemerintah Malaysia ini berfokus pada konteks Muslim, tetapi hari ini, kita perlu dimutakhirkan pemahaman kita dengan menyimak perkembangan-perkembangan yang bersifat transnasional.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menempatkan pertarungan terkait tubuh dan peran perempuan sebagai ruang tarung tersendiri di mana sasaran pokoknya memang adalah untuk membentuk dan menguasai ‘rejim gender’ yang berlaku. Artinya, pertarungan ini terjadi bukan semata sebagai dampak atau pun alat dari pertarungan politik yang lain, melainkan sebagai fokus sasaran pertarungan yang khusus dan tersendiri dan berkait-kelindan dengan dinamika perebutan kuasa di berbagai ranah. Inilah mengapa saya menggunakan istilah ‘politik gender’, yaitu untuk memberi penekanan pada dimensi kuasa dan sumber daya serta aspek kontestasi dan negosiasi politik yang lebih luas dari pertarungan isu per isu. Cara pandang ini penting untuk memajukan analisis kritis tentang capaian dan kegagalan serta struktur peluang dan tantangan yang dihadapi gerakan sosial, termasuk dan tidak terbatas pada gerakan perempuan.
Melalui tulisan ini saya ikut kontribusi untuk menggambarkan posisi sentral dari gerakan perempuan dan politik gender dalam segenap liku-liku dan jatuh-bangun upaya pembaruan Indonesia sejak ‘Era Reformasi’ dideklarasikan pada tahun 1998. Buku yang memperingati 10 tahun kepergian kawan seperjuangan kita, Asmara Nababan, penting sebagai salah satu bangunan bagi memori kolektif gerakan demokrasi, HAM dan keadilan sosial di Indonesia.
Empat Tahun yang Menentukan: Politik Gender di Era Reformasi
Peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 menempatkan politik gender dalam pusaran tengah upaya pembaruan Indonesia. Trauma korban, penyangkalan publik dan mobilisasi gerakan oleh perempuan menjadikan hal ini keniscayaan. Gerakan Suara Ibu Peduli dan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah muara yang berhasil mempertemukan perempuan dari ragam latar belakang, termasuk perempuan dengan kesadaran politik yang baru maupun yang sudah lama berperan sebagai aktivis. Suasana euforia atas ruang demokrasi yang terbuka akan terus jadi bagian dari memori kolektif gerakan perempuan yang penting dirawat dan diwariskan ke generasi penerus.
Pada tahun-tahun awal ini, bentangan (landscape) kelembagaan dalam gerakan perempuan Indonesia mulai berubah wujud corak yang homogen menjadi kaleidoskop yang warna-warni. Semasa Orde Baru, bentuk kelembagaan yang paling rasional adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan ini juga lah pilihan dari aktivis-aktivis perempuan saat itu.
Mulai tahun 1998, organisasi-organisasi perempuan bereksperimentasi dengan bentuk-bentuk kelembagaan baru, seperti ormas keanggotaan dan lembaga layanan untuk korban kekerasan. Saat advokasi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) 6 tahun kemudian, tercatat lebih dari 300 lembaga layanan untuk perempuan korban kekerasan di berbagai pelosok negeri, misalnya. Kongres perempuan yang dihadiri oleh aktivis dari segala penjuru negeri pada Desember 1998 menghasilkan organisasi baru – Koalisi Perempuan untuk Keadilan dan Demokrasi – yang berbasis keanggotaan dan berfokus pada hal yang sama sekali baru bagi gerakan perempuan pasca-Orde Baru ini: hak-hak politik perempuan dalam ruang demokrasi.
Institusi baru lainnya adalah salah satu hasil advokasi Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang didirikan melalui Keputusan Presiden oleh Presiden Habibie pada Oktober 1998. Lahir sebagai buah dari sebuah pertemuan penuh ketegangan pada bulan Juni 1998 yang menuntut tanggung jawab negara atas kekerasan masal yang dialami perempuan Tionghoa, komisi ini sering disebut ‘anak sulung Reformasi’. Selain itu, pada masa kepresidenan Gus Dur, 1999, Kementerian Urusan Wanita diubah nama menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan, mencerminkan pergeseran dari mandat yang netral-gender.
Inilah infrastruktur baru untuk memajukan hak-hak perempuan yang dibangun pada awal era Reformasi. Sejauh mana hal ini jadi fondasi untuk membuat loncatan-loncatan yang dibutuhkan dalam pemajuan hak-hak perempuan?
Tahun 2004 hingga 2008 merupakan periode yang menentukan bagi politik gender di Indonesia. Pada 2004, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disahkan oleh DPR RI setelah upaya konsolidasi besar-besaran melibatkan seluruh elemen dalam gerakan perempuan dan segenap sekutunya. Presiden Megawati mengeluarkan surat Amanat Presiden yang dibutuhkan untuk memulai proses pembahasan naskah RUU antara Parlemen dan Pemerintah setelah desakan selama lebih dari satu tahun dan menjelang jadwal pemilihan presiden. Waktu yang tersisa untuk pembahasan dan pengesahan RUU sebelum para Anggota DPR RI 1999-2004 ini habis masa kerjanya adalah tidak lebih dari 31 hari kerja. Pengesahan UU PKDRT, pada 22 September 2004, merupakan tonggak kemenangan gerakan perempuan Indonesia pada tahun ke enam era reformasi.
Hampir bersamaan dengan proses konsolidasi gerakan perempuan untuk RUU PKDRT, di dalam tubuh Kementerian Agama, sebuah kelompok kerja untuk pengarusutamaan gender menerbitkan sebuah rancangan pembaruan naskah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sejak 1991 jadi rujukan bagi pengadilan-pengadilan agama dalam memutus perkara-perkara terkait hukum Islam tentang keluarga.
Rancangan tersebut dikenal dengan nama Counter Legal Draft (CLD) KHI dan ditulis dengan pendekatan progresif Islam yang memajukan prinsip kesetaraan gender dalam keluarga. CLD KHI cepat mendapatkan pertentangan besar-besaran dari golongan konservatif dan fundamentalis Islam yang sejak tahun 1980-an mulai menguat di Indonesia. Menteri Agama saat itu menerima protes dari Abu Bakar Baasyir dari Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) dan Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) soal ini, misalnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama kemudian juga menyampaikan penolakannya atas CLD KHI ini. Dalam waktu kurang dari dua bulan sejak naskah baru ini diluncurkan, pada tanggal 26 Oktober 2005, Menteri Agama Maftuh Basyuni menarik kembali CLD KHI dan ‘membekukan’ segala bentuk pembahasannya.
Dalam rentang waktu satu bulan, pada 2004, upaya untuk menghapuskan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga mengalami kemajuan dan kemandegan hampir secara bersamaan. Ini langsung diikuti oleh serangkaian produk hukum dan kebijakan yang mengikis kedaulatan perempuan.
Pada awal 2005, segera setelah anggota parlemen hasil Pemilu 2004 dilantik, DPR RI memasukkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi (APP) yang isinya berfokus pada pengendalian seksualitas perempuan dan berpotensi mengakibatkan kriminalisasi perempuan. Saat surat Amanat Presiden dikeluarkan, pada September 2007, untuk memulai proses pembahasan antara Parlemen dan Pemerintah, Presiden menunjuk Kementerian Agama sebagai pemimpin delegasi Pemerintah, sedangkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan berstatus sebagai anggota saja. RUU APP ini memunculkan perdebatan sengit, mengakibatkan demonstrasi kekuatan secara besar-besaran dari pihak-pihak yang pro maupun kontra, dan menjadi pertanda awal atas polarisasi yang sedang berkembang di tengah bangsa Indonesia. UU Pornografi akhirnya disahkan setahun kemudian dan disebut oleh PKS sebagai ‘hadiah terindah bulan Ramadhan’.
Pada paruh akhir 2008, Komnas Perempuan mulai melakukan kompilasi atas kebijakan-kebijakan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan warga dari golongan minoritas. Ternyata, otonomi daerah yang mulai gencar dijalankan pada 2004 menjadi sarana akselerasi penyebaran dan pelembagaan diskriminasi melalui 154 kebijakan daerah (terhitung 1999-2009). Sebanyak 63 dari 154 produk kebijakan ini secara langsung diskriminatif terhadap perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (21 kebijakan mengatur cara berpakaian), pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengriminalkan perempuan (37 kebijakan tentang pemberantasan prostitusi), penghapusan hak atas perlindungan dan kepastian hukum (1 kebijakan tentang larangan khalwat), dan pengabaian hak atas perlindungan (4 kebijakan tentang buruh migran).
Secara khusus, peraturan daerah yang bertujuan melarang prostitusi dinilai melakukan kriminalisasi terhadap perempuan karena definisi prostitusi didasarkan pada pendapat subyektif dan prasangka aparat negara, membuka ruang lebar bagi terjadinya salah tangkap dan menafikan asas praduga tak bersalah. Dari 37 kebijakan tentang pelarangan prostitusi, 23 di antaranya menggunakan agama sebagai landasan pertimbangan untuk pengaturan dan 13 di antaranya secara khusus menyebutkan tujuan kebijakan daerah adalah untuk mewujudkan daerah yang “Islami”.
Dua di antara peraturan daerah tentang larangan prostitusi ini diajukan oleh perempuan korban salah tangkap beserta organisasi-organisasi masyarakat sipil ke Mahkamah Agung untuk diuji materi, yaitu Perda Kota Tangerang No. 8/2005 dan Perda Kabupaten Bantul No. 5/2007, dengan maksud menerapkan sistem uji dan hirarki hukum nasional yang berlaku. Dalam kedua kasus ini, pada 2007, Negara ternyata bersikap lepas tangan saat Mahkamah Agung menolak untuk membuka proses uji materi untuk Perda Tangerang dengan alasan telah memenuhi syarat prosedural pembuatan kebijakan dan bahkan tanpa alasan untuk Perda Bantul.
Sikap Negara yang lepas tangan di tengah upaya masyarakat untuk melakukan koreksi terhadap produk-produk hukum dan kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan bukan menunjukkan netralitas tetapi justru pemihakan dalam pertarungan politik gender. Pihak yang diuntungkan adalah kekuatan sosial politik yang berniat membendung dan menundukkan gerakan yang memperjuangkan hak-hak asasi perempuan dan kesetaraan gender.
Pada tahun ke sepuluh proses pembaruan Indonesia, gerakan perempuan berada di tengah gempuran di tingkat lokal dan nasional. Walaupun gerakan ini terus berkembang dan menguat di berbagai konteks, pengikisan infrastruktur gerakan juga terus berlangsung pada dekade kedua Era Reformasi. Pada 2009, mandat dan nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan diperluas untuk menggabungkan tanggung jawab soal perlindungan anak sehingga kembali membakukan stereotip peran perempuan sebagai ibu. Bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan sendiri, pada 2019, lebih jauh mengusulkan ke DPR RI untuk menghilangkan kata ‘perempuan’ sama sekali dan menggantikan dengan nama kementeriannya menjadi Kementerian Keluarga.
Komnas Perempuan juga terus menghadapi upaya-upaya oleh Pemerintah untuk menempatkannya di bawah wewenang kementerian yang mengancam independensinya sebagai mekanisme khusus HAM untuk perempuan. Pelaksanaan UU PKDRT juga membawa dampak tak terduga di mana lembaga-lembaga layanan yang dibentuk oleh gerakan perempuan justru kehilangan sumber daya akibat pengonsentrasian layanan di tangan pemerintahan daerah. Di bidang politik formal, keberhasilan gerakan perempuan untuk mendapatkan jaminan hukum atas pemenuhan hak politiknya dalam pemilihan umum, melalui mekanisme kuota, ternyata menguntungkan calon-calon perempuan yang masuk arena dalam kerangka politik dinasti.
Pertarungan dalam perpolitikan gender tidak berhenti, tentunya, tetapi perlu dicatat bahwa sikap pembiaran oleh negara telah memberi peluang besar pada gerakan-gerakan yang menentang agenda kesetaraan gender dan merugikan gerakan perempuan. Sikap pembiaran ini berlaku cukup konsisten juga dalam kasus-kasus kekerasan dan persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas, termasuk kaum LGBT. Di satu pihak ini mengembangkan rasa kecewa dan ketidakpercayaan para pembela hak-hak asasi perempuan terhadap Negara, tetapi di pihak lain juga semakin memicu gerakan ini untuk terus mencari jalan dan kiat-kiat baru untuk menguatkan diri dan kapasitasnya di dalam pertarungan yang berkepanjangan ini.
Gerakan Anti-Feminisme Transnasional
Trajektori politik gender di Indonesia tidak bisa sepenuhnya dipahami dalam isolasi dari perkembangan yang terjadi di belahan dunia lainnya. Sebuah jurnal feminis berjudul SIGNS: Journal of Women in Culture and Society menerbitkan edisi khusus pada tahun 2019 kemarin dengan tajuk ‘Gender dan Kebangkitan Kanan Global’. Edisi ini mengumpulkan penulis dari Brazil, Amerika, Jerman, Polandia, Rusia, Turki, India, Filipina yang menunjukkan sifat transnasional dari gerakan Kanan yang kendati dibangun dari konteks politik dan keagamaan yang beragam tetapi sejalan dalam menjadikan penentangan terhadap gagasan kesetaraan gender dan feminisme sebagai salah satu posisi dan strategi pokoknya. Sembari menegaskan kompleksitas relasi antara gender dan gerakan Kanan, para editor menyimak adanya kecenderungan-kecenderungan yang terpola melintasi batas-batas negara dan bersinggungan dengan arus konservatisme dan fundamentalisme agama yang tumbuh subur dalam konteks masyarakat Kristen, Katholik, Hindu maupun Islam.
Hasil pengamatan komparatif yang dihasil melalui edisi khusus jurnal feminis ini menggambarkan adanya kesamaan dalam menyasar kedaulatan perempuan dalam mengungkap dan melakoni seksualitasnya, mereduksi perempuan sebagai sosok rentan yang butuh perlindungan serta membangkitkan wujud maskulintas yang serba kuat dan berani membela komunitasnya dari “ancaman” dari kaum feminis.
Gerakan ini tercatat fasih menggunakan media sosial untuk memproduksi dan menyebarluaskan narasi majoritarian yang bersifat nasionalis, antifeminis, heteronormatif gender, xenophobic dan anti-minoritas. Pengamatan atas konteks di Turki, Amerika dan India menggambarkan bagaimana menguatnya ideologi yang rasialis dan nasionalis yang mengandalkan maskulinitas dari ‘si orang kuat’ dipengaruhi macam-macam pengalaman kerentanan oleh golongan dominan yang sarat persepsi tentang adanya ancaman dari kelompok-kelompok beda (‘the other’) semata karena agama, ras ataupun seksualitasnya. Fenomena ini tidak jauh beda dengan gejala yang sering teramati di Indonesia selama ini di mana penolakan terhadap agenda gerakan perempuan dikaitkan dengan narasi penyelamatan bangsa dan umat Islam.
Kompleksitas dalam relasi perempuan dengan gerakan Kanan antara lain muncul dalam konteks keberhasilan gerakan Kanan menciptakan ruang-ruang pemberdayaan bagi perempuan yang masuk ke dalam gerakan ini. Di India, misalnya, gerakan fundamentalis Hindu, Hindutva, memanfaatkan ketakutan yang dialami kaum perempuan di hadapan maraknya kasus-kasus perkosaan di berbagai pelosok negeri itu. Mereka mereplikasi strategi gerakan perempuan dalam hal pemberdayaan dan menyediakan pelatihan bela diri bagi perempuan sambil membangun pilar militan perempuan dalam gerakan mereka yang juga menentang kekerasan terhadap perempuan.
Gerakan anti-aborsi yang dilancarkan oleh kaum fundamentalis di Amerika Serikat dibingkai dalam narasi yang “pro-perempuan” dan berhasil merekrut pasukan perempuan yang cukup agresif dalam perlawanannya. Di Indonesia, dokumentasi tentang peran perempuan mendukung aksi-aksi kekerasan gerakan ekstrimisme berbasis agama juga menggambarkan bagaimana keterlibatan mereka ini adalah wujud dari rasa keberdayaan mengemban misi ekstrimis ini.
Sebagaimana keberhasilan gerakan perempuan di Indonesia melahirkan penentangan yang dashyat dari kalangan fundamentalis agama, di tingkat global pun terjadi gejala serupa. Tulisan Elizabeth Corredor dalam edisi khusus jurnal SIGNS ini menjelaskan gejala ini sebagai counter-movement yang muncul sebagai reaksi terhadap keberhasilan-keberhasilan yang diperoleh melalui berbagai konperensi dunia yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyangkut pemajuan hak-hak perempuan. Konsolidasi transnasional yang mempertemukan gerakan-gerakan tingkat nasional terjadi melalui, antara lain, Deklarasi Dasawarsa Perempuan (1975-1985), Konperensi Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia di Wina, Austria, tahun 1993, dan Konperensi Sedunia ke-4 tentang Perempuan di Beijing, Cina, pada 1995.
Bersamaan dengan perkembangan ini, perlawanan yang sistematis mulai tercatat pada saat Konperensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, pada 1994. Penentangan yang dilakukan mempersatukan perwakilan dari Vatikan dan negara-negara mayoritas Islam dalam sebuah pernyataan bersama yang menggunakan narasi tentang perlindungan atas keluarga yang, dalam paparan mereka, dibentuk atas dasar perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Gerakan ini terus menguat dan melebar di kancah internasional, termasuk dalam ragam mekanisme yang dikelola oleh PBB, hingga sekarang.
Baik secara ideologis maupun dalam jejak langkah di ruang-ruang negosiasi terkait perumusan kebijakan-kebijakan internasional, narasi tentang agenda perlindungan dan pemajuan kepentingan keluarga – di atas kepentingan kaum perempuan dan minoritas seksual – dijadikan panglima dari gerakan anti-feminis ini dan bendera ini mempersatukan aktor-aktor dari tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Bukanlah suatu kebetulan bahwa, di Indonesia, penentangan politik terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berlangsung dalam bentuk pengajuan dan dukungan atas RUU Ketahanan Keluarga. Inilah wujud dari politik gender yang mengemuka di Indonesia hari ini.
Penutup
Tahun 2020 pasti diingat sebagai tahun penentu bagi masa depan Indonesia. Bukan sekedar karena preseden baru yang diciptakan oleh pandemi Covid-19 dan dampak ekonominya, melainkan juga karena formasi penguasa di negeri ini semakin menampakkan wujudnya yang oligarkis dan represif.
Lahirnya amandemen terhadap UU KPK, UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi dan, baru-baru ini, UU Cipta Kerja menunjukkan jejak langkah proses regresi demokrasi di Indonesia. Sudah sampailah kita pada penghujung akhir dari Era Reformasi yang sekarang tutup buku. Jika RUU Ketahanan Keluarga nanti berhasil disahkan dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual gagal di tengah jalan, maka cukup jelas sekali lagi konvergensi kepentingan yang berjaya dalam era baru ini.
Tatanan kuasa yang ada hari ini, di tengah ruang demokrasi formal yang semakin disfungsional, menuntut adanya perancangan strategi tarung baru yang tepat untuk konteks politik gender yang semakin kompleks. Pengetahuan kita tentang kompleksitas ini masih sangat tipis dan butuh terobosan besar untuk membangun kapasitas penggalian dan pemahaman yang termutakhirkan. Perspektif transnasional dan translokal perlu dipupuk agar analisis kita cakap menyimak keterhubungan antara apa yang terjadi dan apa yang dibutuhkan di lokal hingga global.
Menjadi Gereja Yang Inklusif:
Mengembangkan Pelayanan Berbasis Hak Bagi Penyandang Disabilitas
Oleh: Kamala Chandrakirana
Saya mengenal Pak As – demikian saya memanggil Asmara Nababan – melalui pergaulan di dunia teater. Ketika itu saya baru saja mulai kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Jakarta (dulu Sekolah Tinggi Teologi). Sebelum memasuki STFT Jakarta, saya memang berkecimpung di dunia seni, khususnya sastra. Bergabung dengan teater belakangan, yang mengajak saya adalah Julius Siyaranamual, sastrawan dan salah seorang pendiri majalah anak-anak Kawanku.
Pak As tercatat sebagai salah seorang pendiri Sanggar Bahtera yang dikelola Yayasan Komunikasi Masyarakat – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (YAKOMA-PGI) yang kemudian berubah menjadi Pelayanan Komunikasi Masyarakat – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Pendiri yang lain di antaranya Teguh Karya, Remy Sylado, dan Julius Siyaranamual.
Ketika saya bergabung dengan Sanggar Bahtera, para awak Sanggar tengah merencanakan serangkaian pementasan di Sidang Raya X- PGI pada 1984 di Ambon. Dua judul akan dipentaskan, satu Ayub dan satu lagi Yunus, keduanya merupakan tokoh dalam Perjanjian Lama. Saya diminta berperan sebagai Siti, istri Ayub. Peran yang tidak mudah karena karakternya sungguh berbeda dengan saya. Tetapi begitulah rupanya seni peran, Anda harus bisa menjadi siapa saja termasuk memerankan Frida Kahlo atau Kartini atau Marsinah. Biasanya, istri Ayub diperankan oleh Magdalena Sitorus, istri Pak As sendiri.
Untuk pementasan di Ambon rupanya pengurus Sanggar merekrut anggota-anggota baru untuk regenerasi. Mayoritas mahasiswa STFT Jakarta, di antaranya Jacky Manuputty yang kini menjabat Sekretaris Umum PGI, Dina Hallatu (GPIB), Edwin Sianipar (GKPI Pematangsiantar), Adri Syamsudin (GPIB) dan Edison (GKJ).
Pak As tidak terlibat dalam pementasan, hanya sebagai pengurus dan “kurator”. Saat saya dan kawan-kawan latihan, dipandu oleh Remy Sylado, beliau kerap datang. Saat itu ia menjabat Direktur YAKOMA-PGI selain mengelola majalah anak-anak Kawanku bersama Julius Siyaranamual. Kami tak pernah bercakap-cakap secara mendalam, walau ia juga bergulat dengan pemikiran-pemikiran teologis termasuk melalui naskah-naskah drama. Saya justru lebih banyak berdiskusi dan berdebat dengan Remy Sylado, seniman yang ternyata pelahap buku teologi karya para empu seperti Karl Barth, Johannes Calvin, dan lain-lain.
Percakapan yang lebih intens dengan Pak As justru berlangsung dalam konsultasi nasional gereja dan komunikasi atau pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan YAKOMA-PGI. Entah kenapa, dalam konsultasi nasional Pak As selalu meminta saya untuk masuk ke dalam grup diskusinya kendati panitia sudah menempatkan saya di grup berbeda. “Rainy, kemari,” panggilnya. Lalu dimintanya saya menyusun laporan dari bahan-bahan yang tertulis pada white board atau karton warna-warni di dinding ruang diskusi. Selanjutnya tugas melaporkan hasil diskusi kelompok kami dilimpahkan ke anggota tim yang lain. Pak As mengelola waktu dan sumber daya di kelompok diskusinya: siapa mengerjakan apa dan berapa lama berdiskusi.
Di lingkungan gereja-gereja di Indonesia, Pak As dikenal sebagai sosok yang giat mempromosikan hak-hak asasi manusia khususnya kelompok-kelompok rentan. Ia tercatat sebagai salah seorang pendiri beberapa organisasi non pemerintah (ornop) pendamping kelompok rentan, seperti Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).
Dalam ingatan saya sendiri, Pak As adalah pegiat gereja dan sosial, pekerja media dan seniman yang hidup sederhana, pekerja keras, disiplin dan bertujuan. Jarang aktivis yang berkecimpung di dunia seni. Ia bisa menulis naskah drama, skenario film dan fragmen untuk Mimbar Agama Kristen di TVRI atau RRI — hal yang sulit saya lakukan karena harus menggali gagasan bertolak dari teks-teks Alkitab sementara saya memilih menjadi penulis cerpen-cerpen yang bebas.
Judul tulisan ini memang tak berkaitan langsung dengan isu hak asasi manusia (HAM) yang diperjuangkan Pak As. UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas belum disahkan ketika beliau wafat di Guangzhou, Tiongkok, pada 28 Oktober 2010, pada Hari Sumpah Pemuda. Namun, tulisan ini dapat dilihat dalam kerangka narasi besar HAM yang diperjuangkannya serta pelayanan gereja-gereja bagi kelompok rentan di mana ia salah seorang penggeraknya melalui, antara lain, Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK).
Saya membagi tulisan ini dalam tiga bagian. Pertama, mengulas perubahan paradigma kebijakan berbasis hak. Kedua, kerentanan berlapis perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas terhadap diskriminasi dan kekerasan. Ketiga, mengembangkan pelayanan gereja yang berbasis hak.
Perubahan Paradigma: Kebijakan Berbasis Hak
Kebijakan tentang penyandang disabilitas yang berbasis hak, tergolong relatif baru, tak hanya di Indonesia tetapi juga lingkungan internasional. Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) mulai diadopsi PBB pada 10 Desember 1948 sedangkan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on Rights Persons with Disabilities/CRPD pada 13 Desember 2006. Terentang waktu 58 tahun, atau setengah abad lebih, untuk sampai kepada pendekatan berbasis hak terhadap penyandang disabilitas. Dalam catatan para pakar, pelindungan penyandang disabilitas tak terangkum dalam instrumen penting HAM seperti DUHAM, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Ekonomi (1966), Kovenan Internasional tentang Ekonomi, Sosial, Budaya (1966). Indonesia sendiri mengesahkan DUHAM tahun 1999 dengan UU No. 39 tentang Pengesahan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan CRPD pada 2011 dengan UU No. 19 tentang Pengesahan CRPD disusul pengesahan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas atau 5 tahun setelah ratifikasi CRPD. Rentang waktu yang relatif lama ini mengindikasikan jalan panjang pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi penyandang disabilitas kendati DUHAM lahir sebagai respons Perang Dunia II yang tentu saja mengakibatkan munculnya para penyandang disabilitas sebagai korban-korban perang.
Tercatat, pada 1970-an dalam Deklarasi Orang dengan Terbelakang Mental (1971) dan Deklarasi Hak-hak Penyandang Disabilitas (1975) penyandang disabilitas ditempatkan sebagai subyek deklarasi HAM. Namun, paradigma medis terhadap penyandang disabilitas masih digunakan, bahwa penyandang disabilitas orang bermasalah secara medis dan penanganannya bergantung kepada jaminan sosial dan kesejahteraan yang disediakan oleh negara.
Di Indonesia, perubahan paradigma tentang penyandang disabilitas juga dapat dilihat dari penggunaan diksi dalam perundang-undangan maupun oleh publik. Baru belakangan, istilah penyandang disabilitas atau difabel digunakan termasuk oleh media massa. Namun mayoritas publik masih menggunakan istilah penyandang cacat atau penderita cacat. Draf final UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu, masih menggunakan istilah penyandang cacat yang kemudian diprotes keras oleh organisasi-organisasi penyandang disabilitas. Hal ini mengindikasikan sebutan disabilitas belum dikenal oleh sebagian wakil-wakil rakyat sendiri.
Hingga menjelang milenium ke tiga, istilah penyandang cacat masih digunakan dalam perundang-undangan nasional maupun daerah sejalan dengan paradigma medis dan individual yang berpandangan kondisi disabilitas merupakan kelainan atau penyimpangan dari ukuran normal. UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat mendefinisikan, “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya ……”
Undang-Undang tersebut menyatakan disabilitas sebagai persoalan medis yakni kondisi fisik yang menyimpang dari normalitas dan penanganannya dengan kesejahteraan sosial, sebagaimana tampak dalam Pasal 5 Ayat (2) UU No. 11/2009 Tentang Kesejahteraan Sosial berbunyi, “Penyelenggaraan kesejahteraan sosial…… diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: a. kemiskinan, ketelantaran, kecacatan….” UU No. 16/199 tentang Perkawinan memperkuat anggapan bahwa cacat merupakan persoalan medis dan individual yakni ketidakmampuan dan ketidaklayakan dalam menjalankan peran-peran sosialnya sehingga layak diceraikan atau dipoligami.
Pengesahan CRPD dan UU Disabilitas, mengubah paradigma medis yang bersifat individual dalam merespons penyandang disabilitas menjadi berbasis hak. UU Disabilitas menggaris-bawahi asas-asas yang mendasarinya yakni: penghormatan terhadap martabat, otonomi individu, tanpa diskriminasi, partisipasi penuh, keragaman manusia dan kemanusiaan, kesamaan kesempatan, kesetaraan, aksesibilitas, kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak, inklusif dan perlakuan khusus dan pelindungan lebih.
CRPD tidak mendefinisikan disabilitas namun dalam pembukaan dijelaskan bahwa disabilitas merupakan konsep berkembang yang muncul dari interaksi sosial dan lingkungan yang menghalangi mereka berpartisipasi penuh sebagai warga masyarakat atas dasar kesetaraan dengan sesamanya. Pengertian ini menggarisbawahi bahwa disabilitas merupakan konstruksi sosial yang dilandasi ideologi ableism/normalisme.
Dalam CRPD, disabilitas muncul dari hambatan-hambatan dalam berpartisipasi atau berinteraksi dalam ruang sosial dan ruang fisik dan lingkungan. Paradigma berubah dari medis dan bersifat individual menjadi sosial dan berbasis hak. Persoalan disabilitas adalah persoalan sosial, masyarakat yang menggunakan ukuran ableism/normalisme dan kebijakan-kebijakan yang tidak mengakomodir kebutuhan khusus penyandang disabilitas agar dapat berinteraksi, mengembangkan diri atau berpartisipasi penuh. Diskriminasi, eksklusi dan stigma terhadap penyandang disabilitas berakar dalam ableism/ normalisme.
Dengan paradigma sosial dan berbasis hak, negara dan juga institusi masyarakat termasuk lembaga agama dituntut mengakomodir kebutuhan-kebutuhan khusus penyandang disabilitas untuk menyingkirkan hambatan-hambatan dalam berpartisipasi penuh sebagai warga masyarakat dan negara. Inilah kesetaraan substantif, yakni kebijakan afirmatif bagi kebutuhan-kebutuhan khas penyandang disabilitas.
UU Disabilitas mendefinisikan disabilitas sebagai “setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Dalam definisi ini tidak digunakan istilah “kelainan” melainkan keterbatasan. Tidak ditentukan “permanen” melainkan jangka waktu yang lama. Sebuah definisi yang memberi ruang inklusi bagi siapa saja yang oleh karena suatu hal menjadi penyandang disabilitas dalam perjalanan hidupnya.
Kendati UU Disabilitas telah memberi rentang batasan disabilitas namun di luar cakupan tersebut masih ada jenis disabilitas lainnya, di antaranya albino dan orang mini (dwarfisme). Memang tak semua albino dan orang mini menyebut diri sebagai penyandang disabilitas meski mereka mengalami hambatan-hambatan dalam berpartisipasi dalam kehidupan sosial sehari-hari. Mereka sering mengalami perundungan dan dipandang tak memenuhi kriteria dalam lamaran kerja.
Pengesahan UU Disabilitas tak semerta mengubah paradigma di kalangan publik, institusi agama, swasta maupun pemerintah tentang disabilitas. Paradigma mistis yang memandang kondisi disabilitas sebagai bentuk hukuman atas kesalahan atau dosa masa lampau orang tua, masih melekat dalam keyakinan masyarakat. Tabu-tabu tertentu bagi perempuan hamil agar janinnya lahir “sempurna” masih berlaku, misalnya dilarang memukul kepala ikan lele selama hamil.
Paradigma medis dengan kebijakan belas kasihan dan amal (charity) juga berlangsung dalam pelayanan lembaga-lembaga sosial dan agama, termasuk gereja-gereja.
Di tanah air, masih terdapat perundang-undangan nasional dan kebijakan-kebijakan turunannya yang belum selaras dengan CRPD dan UU Disabilitas. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya, memang sudah tercantum klausul penyandang disabilitas namun hanya untuk pelaku sedangkan korban diabaikan. Istilah yang digunakan juga sejajar dengan penyandang cacat yakni “kurang sempurna atau sakit berubah akal”. Sosialisasi dan pendidikan publik perlu digencarkan agar disabilitas bukan hanya menjadi perspektif dalam kebijakan dan program tetapi juga mengubah paradigma medis menjadi berbasis hak.
Kerentanan Berlapis Perempuan dan Anak Perempuan Penyandang Disabilitas
Bagaimana ableism/normalisme menambah-nambah kerentanan berlapis tampak jelas pada perempuan dan anak perempuan disabilitas. Saya merasa perlu mengangkat soal ini karena jumlah sinode dan gereja yang menyediakan rumah aman bagi perempuan dan anak perempuan korban kekerasan, bisa dihitung dengan jari-jari tangan. Pelayanan berbasis komunitas penting sebagai bentuk keterlibatan gereja dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan termasuk penyandang disabilitas.
Kerentanan berlapis perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas bersumber dari, pertama, disabilitasnya. “Ideologi” ableism/normalisme menempatkan perempuan dan anak disabilitas dalam posisi tak hanya tersingkir tetapi “pariah”. Ke dua, karena mereka adalah perempuan. Ableism/normalisme yang berinterseksi dengan gender menambah lapisan kerentanan terhadap kekerasan dan diskriminasi: sebagai penyandang disabilitas dan sebagai perempuan. Belum terhitung relasi kekuasaan yang muncul dari status sosial ekonomi, pendidikan, suku atau keyakinan.
Ableism/normalisme yang berinterseksi dengan budaya dan agama memandang disabilitas sebagai bentuk hukuman atau kutukan dari suatu kesalahan atau dosa masa lampau. Akibatnya, penyandang disabilitas dilihat sebagai aib bagi keluarganya. Pemasungan penyandang disabilitas psikososial yang banyak terjadi di pedesaaan atau kota kecil, bukan hanya karena ketidaktahuan dan “mengamankan” masyarakat dari gangguan, tetapi juga untuk menyembunyikan aib.
Mereka yang mampu membayar iuran, memasukkan perempuan penyandang disabilitas anggota keluarganya ke panti-panti rehabilitasi yang dilakukan dengan paksaan. Padahal, prinsip inklusi dan partisipasi menuntut proses rehabilitasi berlangsung di tengah-tengah keluarga dan komunitas (mohon dibaca: rehabilitasi berbasis masyarakat), dan bukan dipindahkan ke panti rehabilitasi yang nota-bene sifatnya tertutup.
Hasil pantauan Komnas Perempuan dan Perkumpulan Jiwa sehat terhadap rumah sakit jiwa dan panti sosial milik pemerintah dan swasta, menyimpulkan bahwa kekerasan dan penyiksaan terhadap perempuan terjadi di banyak panti rehabilitasi, di antaranya pengobatan paksa (tanpa sepengatahuan yang bersangkutan), angka kematian tinggi, penggundulan paksa, perampasan hak mengasuh anak, kekerasan terhadap perempuan, pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan sterilisasi.
Temuan Komnas Perempuan mencatat adanya kekerasan dan penyiksaan: kekerasan seksual yang dilakukan oleh sesama penghuni panti dan petugas, depersonalisasi dan perendahan integritas tubuh, pemaksaan kontrasepsi, praktik terapi kejut listrik, dilabur karbol dan belerang untuk pengobatan penyakit gatal kudis, fiksasi dengan tali kain, pengekangan dengan rantai besi, kekerasan fisik, penggunaan obat-obatan yang berisiko pada kerusakan organ lain dan pemasungan perempuan. Fakta ini menunjukkan bahwa panti rehabilitasi dan rumah sakit jiwa bukan ruang aman bagi perempuan penyandang disabilitas. Berbagai pelanggaran HAM membuat kondisi disabilitas semakin parah justru di ruang-ruang yang diharapkan mampu memulihkan.
Ableism/normalisme juga berdampak buruk pada penanganan kekerasan yang dialami perempuan dan anak korban kekerasan. Dalam beberapa diskusi terpumpun yang saya ikuti, tercatat bahwa orang tua, bahkan mediasi aparat penegak hukum dan penyedia layanan, mendorong penyelesaian kasus kekerasan dengan cara-cara di luar ranah hukum, yakni kekeluargaan di antaranya denda adat atau ganti rugi. Ada pula yang dinikahkan dengan pelaku, yang artinya impunitas atau melenyapkan tindak kriminal pelaku, dan pemaksaan perkawinan. Juga ada saksi yang menolak bersaksi hanya karena korbannya perempuan dengan disabilitas.
Stigma juga disematkan kepada perempuan dengan disabilitas korban kekerasan, seakan korban sendiri menjadi penyebabnya karena kondisi disabilitasnya. Dalam konteks seperti ini, keadilan jauh dari jangkauan perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan dan orang tua dan masyarakat tak memandang pengalaman kekerasan yang dialaminya sebagai pelanggaran HAM.
Menjadi Gereja Yang Inklusif: Mengembangkan Pelayanan Berbasis Hak
Kendati gereja merupakan institusi yang melekat dengan teologi dan pelayanan kemanusiaan, tak semerta mengubah paradigma pelayanannya dalam merespons kehadiran warganya dengan disabilitas selaras dengan kebutuhan-kebutuhan khusus. Jika ditelusuri dari dokumen-dokumen oikoumenis di aras nasional, penyikapan gereja secara teologis dan pastoral terhadap penyandang disabilitas sudah relatif lama, bahkan sebelum UU Disabilitas disahkan pada 2016.
Dalam pengalaman dan catatan saya, ketika Pdt. Rosmalia Barus memimpin Departemen Perempuan dan Anak – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (sekarang: Biro Perempuan dan Anak- PGI) pada 2005, penyandang disabilitas mulai dibahas saat mendalami UU Perlindungan Anak dan memprakarsai terbentuknya Jaringan Peduli Anak Bangsa (JPAB) yang salah satu programnya adalah anak- anak dengan disabilitas. Namun isu disabilitas belum dirumuskan dalam Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) PGI saat itu.
Pada 2014 dalam draf Dokumen Keesaan Gereja (DKG) Nias, isu disabilitas sudah tercakup. Selanjutnya dirumuskan dalam PTPB 2015-2019 yakni “Gereja-gereja di Indonesia mencatat bahwa HAM kelompok-kelompok rentan, seperti kaum perempuan, anak-anak, mereka yang berkebutuhan khusus, kaum miskin masyarakat adat, komunitas penghayat kepercayaan, LGBTQ selama ini sering dinafikan. Karena itu mendesak pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi, memajukan dan memenuhi hak-hak asasi mereka” (bnd. UUD 1945, psl 281 ay 4). PTPB 2019-2024 tentang Gereja dan Perjuangan Hak Asasi berbunyi, “Gereja-gereja di Indonesia mencatat bahwa Hak Asasi manusia kelompok-kelompok rentan, seperti kaum perempuan, anak-anak, mereka yang berkebutuhan khusus, kaum miskin, masyarakat adat, komunitas penghayat kepercayaan dan LGBTQ selama ini dinafikan. Karena itu, mendesak pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya melakukan perlindungan, pemajuan penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi mereka (bnd. UUD 1945 psl 28 ayat 4).
Dalam narasi “Gereja dan Perjuangan HAM” tidak dicantumkan UU No. 8/2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang memuat hak-hak khusus penyandang disabilitas sebagai turunan dari hak-hak Konstitusional. Pencantuman penting untuk menggarisbawahi kebijakan dan penanganan berbasis hak.
Pendekatan belas kasihan dan amal (charity) umum digunakan di lingkungan gereja-gereja, bahwa penyandang disabilitas merupakan kelompok rentan yang patut dikasihani. Disabilitas masih dipandang sebagai persoalan medis dan individual dan respons atas persoalan tersebut bersifat belas kasihan, memberi bantuan kesejahteraan meskipun kenyataannya warga penyandang disabilitas tersebut tetap saja tereksklusi dalam ibadah dan kegiatan-kegiatan gereja lainnya. Mereka hadir dalam gereja sebatas warga yang pasif, partisipasi mereka tidak diperhitungkan sebab mereka dipandang sebagai bermasalah, tak mampu dan karenanya tidak penting.
Pengabaian terhadap penyandang disabilitas dimulai ketika gereja tidak melakukan pendataan warganya dengan disabilitas. Hak atas pendataan merupakan hak yang kerap diabaikan. Seberapa banyakkah sinode gereja-gereja maupun jemaat khususnya di perkotaan, yang melakukan pendataan bagi warganya dengan disabilitas? Tak hanya segi jumlah, tetapi juga rincian jenis disabilitas, pemetaan seberapa besar disabilitasnya, apa sajakah kebutuhan khususnya?
Tanpa pendataan, gereja sulit melakukan pelayanan yang menjawab kebutuhan-kebutuhan khusus warganya dengan disabilitas. Sebagai contoh, aksesibilitas penyandang disabilitas belum diperhitungkan dalam pembangunan gedung dan tata ruang umumnya. Ini menunjukkan tidak adanya pendataan warga dengan kebutuhan-kebutuhan khusus. Di Tanah Air, jumlah gedung gereja dan tata ruang yang ramah disabilitas dan lansia, bisa dihitung dengan jari tangan. Misalnya, tangga ke ruang ibadah terlalu tinggi dan akibatnya, penyandang disabilitas dan lansia yang lututnya tak lagi kokoh, tak mampu memasuki gedung gereja secara mandiri.
Untuk hadir dalam ibadah dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan gereja sebagaimana warga lainnya, mereka harus bergantung pada bantuan orang lain khususnya orang tuanya, saudaranya atau seseorang yang digaji sebagai asisten. Pemenuhan kebutuhan khusus penyandang disabilitas fisik, misalnya, tangga landai untuk kursi roda, akan memampukan mereka memasuki ruang ibadah secara mandiri.
Selanjutnya, ibadah gereja-gereja. Seberapa banyak yang mengakomodir kebutuhan khusus disabilitas? Warga berpendengaran kurang, misalnya, membutuhkan layar proyektor yang menampilkan pokok-pokok kotbah. Huruf braille dibutuhkan penyandang disabilitas netra pada lembar tata ibadah atau bahasa isyarat bagi warga yang tuli. Pengabaian terhadap kebutuhan khusus warga dengan disabilitas mengakibatkan mereka tak mampu berpartisipasi penuh dalam kehidupan berjemaat. Saat berada di lingkungan gereja, penyandang disabilitas hanya bersikap pasif, diam saja seakan tak tahu apa-apa dan bergantung pada bantuan orang lain.
Pengabaian terhadap warga dengan disabilitas merupakan bentuk pengucilan atau diskriminasi. Partisipasi warga gereja dengan disabilitas tidak dipandang sebagai modalitas penting dalam pertumbuhan gereja. Jika gereja mengaku sebagai koinonia yang tumbuh dan inklusif, pelibatan warga dengan disabilitas dan lansia dalam pelayanannya, termasuk dalam perencanaan dan pengambilan keputusan serta pendidikan warga jemaat agar menjadi persekutuan yang ramah disabilitas dan kelompok rentan lainnya, merupakan conditio sine qua non.
Dalam pengakuan imannya, gereja-gereja meyakini bahwa penyandang disabilitas, sebagaimana manusia umumnya tanpa kecuali, adalah imago Dei (citra Allah). Sebagai citra Allah, martabat dan hak-hak penyandang disabilitas setara dengan non disabilitas. Pengakuan akan kesetaraan martabat dan hak-hak warga penyandang disabilitas mengisyaratkan suatu paradigma kebijakan dan pelayanan berbasis hak. Inklusi dan partisipasi warga dengan disabilitas menjadi prinsip-prinsip yang mendasari pelayanan marturia, koinonia dan diakonia.
Inklusi berarti menghilangkan hambatan-hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam kehidupan bergereja agar dapat berpartisipasi penuh termasuk dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, dan menempatkannya sebagai bagian dari pengelolaan sumber daya bagi pelaksanaan visi dan misi gereja. Jadi seiring kesetaraan subtantif yang menuntut gereja untuk mengakomodir kebutuhan-kebutuhan khusus warga dengan disabilitas.
Pengesahan CRPD pada konteks internasional dan nasional dan dikeluarkannya UU Disabilitas menunjukkan gerak perubahan – cepat atau lambat – ke arah masyarakat global yang inklusif. Gereja diutus Allah ke tengah-tengah dunia, menjadi warga dunia, warga negara dan sekaligus mitra pemerintah dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia. Sudah seharusnya paradigma pelayanan gereja di semua aras berbasis hak agar kesetaraan substantif terwujud dalam kehidupan gereja-gereja dan warga penyandang disabilitas mampu berpartisipasi sepenuh-penuh.
Asmara Nababan dan Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia
Oleh: Sandrayati Moniaga
Dua tahun setelah Asmara Nababan (selanjutnya saya sebut Bang As) berpulang, beredar satu tulisan yang ditulis almarhum dengan judul “Sekolah Demokrasi Meretas Jalan Menuju Wajah Demokrasi yang Lebih Kuat & Multikulturalisme Yang Nyata”. Dalam artikel tersebut, Bang As menyatakan “Multikulturalisme—didefinisikan secara umum oleh banyak kalangan sebagai sebagai sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip coexistence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain—adalah sebuah tema yang relatif baru dibicarakan di negeri ini’’.
Saya menduga Bang As menulis artikel singkat ini tidak lama sebelum beliau berpulang untuk selamanya. Tulisan yang singkat ini terasa “nyambung” dengan kepedulian dan sikap Bang As atas isu masyarakat adat di mana kami banyak berpapasan dan bergandengtangan sejak akhir tahun 1980-an.
Berawal dari Siborong-Borong
Narasi tentang peran penting perjuangan Nai Sinta boru Sibarani dkk dalam proses pengembangan gerakan masyarakat adat di Indonesia telah dicatat dalam banyak literatur (Situmorang 2003, Moniaga 2010, Silalahi 2020). Nai Sinta adalah istri dari seorang marga Barimbing keturunan dari Raja Sidomdom Barimbing yang bersama sembilan perempuan dan warga Desa Sugapa di Kecamatan Silaen, Kabupaten Tapanuli Utara lainnya merupakan salah satu kelompok pertama masyarakat di Sumatera Utara berjuang melawan PT. Inti Indorayon Utama (sekarang PT. Toba Pulp Lestari) pada akhir tahun 80an. Perjuangan Nai Sinta dkk merupakan salah satu tonggak penting perjuangan masyarakat adat di Indonesia. Sikap kritis, keteguhan hati dan keberanian mereka menginspirasi banyak masyarakat adat di wilayah-wilayah lain di Tapanuli Utara, Sumatera Utara dan wilayah lain Indonesia.
Bagaimana Nai Sinta dkk begitu tangguh berjuang dalam periode pemerintahan yang otoriter? Pada saat itu ada gereja dan Kelompok Studi Penyadaran Hukum/Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPH/KSPPM) yang berinteraksi dengan masyarakat di Sumatera Utara, khususnya di wilayah Kabupaten Toba Samosir (dulu). KSPH didirikan oleh sekelompok orang muda, rohaniwan dan akademisi yang sangat prihatin dan peduli terhadap realitas kemiskinan, pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, serta dampak buruk yang ditimbulkan pembangunan di Indonesia pada 1984.
KSPPM merupakan transformasi dari KSPH (Kelompok Studi Penyadaran Hukum), sebagai lembaga yang menyediakan pendidikan hukum kepada masyarakat, dan menguatkan mereka untuk memperjuangkan adanya kebijakan yang pro terhadap hak-hak rakyat, menghormati hak asasi manusia, khususnya hak-hak atas tanah adat yang didirikan pada tahun 1984. Nai Sinta dkk merupakan salah satu dampingan KSBH/KSPPM.
Bang As adalah salah satu pendiri dan direktur pertama dari KSBH yang awalnya berkantor di Siborong-borong, kota kelahiran dan tempat beliau mendampingi almarhumah ibundanya sampai sang ibu berpulang pada 1985. Pengalaman dan perspektif Bang As mewarnai KSBH/KSPPM sehingga menjadi lembaga advokasi HAM pertama di Kabupaten Toba Samosir yang mayoritas terdiri dari masyarakat adat. Istilah masyarakat adat belum banyak digunakan pada 1980-an namun pada kenyataannya mereka memang masyarakat adat dan kemudian menjadi inspirator dan pendiri gerakan masyarakat adat se-Indonesia. Meskipun saat Nai Sinta dkk bergerak, Bang As sudah tidak menjadi direktur KSPPM, namun kontribusi beliau sebagai pendiri dan direktur pertama KSBH yang kemudian menjadi KSPPM ikut membangun fondasi awal gerakan masyarakat adat, termasuk perempuan adat di Indonesia.
Bersama Mengembangkan ELSAM dan Gerakan Masyarakat Adat
Pada 1993, Bang As, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Hadimulyo, Agus Rumansara dan saya sepakat mendirikan ELSAM dengan Abdul Hakim GN sebagai direktur eksekutif pertama. Pasca dari Siborong-borong, Bang As kembali ke Jakarta.
Perkawanan saya dengan Bang As bermula pada pertemuan kami pada 1988 atau 1989 saat ada diskusi tertutup tentang PLTA Asahan, saya hadir mewakili WALHI dan Bang As mewakili JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen). Perkawanan kami terus berlanjut ketika Bang As menjadi Sekretaris INGI (International NGO Forum on Indonesia) yang kemudian berubah menjadi INFID sesaat setelah Presiden Soeharto membubarkan IGGI pada 1992.
Pembentukan ELSAM pada 1993 semakin mendekatkan kami. Kesibukan Hadimulyo di DPR-RI, Agus Rumansara di Papua dan saya di Kalimantan Barat tidak menghalangi kami untuk mengembangkan ELSAM menjadi organisasi HAM yang kuat. Dalam proses perencanaan strategis pertama, kami sepakat untuk fokus pada program penelitian, pendidikan HAM dan advokasi kasus dengan isu utama buruh, petani dan masyarakat adat.
Bang As, Kak Agus dan saya yang mengusulkan isu masyarakat adat. Selain isu tersebut, sejak awal ELSAM memilih fokus kerja di wilayah-wilayah dengan tingkat pelanggaran HAM yang tinggi, yaitu Aceh, Kalimantan (Barat dan Timur), Papua, Timor Leste dan Jawa.
Pemilihan isu masyarakat adat oleh ELSAM, tidak terlepas dari kedekatan sebagian pendiri dengan banyak masyarakat adat yang telah menjadi korban pelanggaran HAM dan organisasi non-pemerintah (ornop) pendampingnya. Kedekatan tersebut kemudian berlanjut pada dukungan signifikan ELSAM pada berbagai kelompok masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia.
ELSAM terlibat pembelaan hak-hak beberapa kasus masyarakat adat dan penguatan beberapa organisasi pembela masyarakat adat seperti LBBT di Pontianak, LBBPJ di Samarinda, Bantaya di Palu, PtPPMA di Jayapura dan lain-lain. Selain itu, ELSAM menjadi sekretariat dari Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) pada 1997-1999 dan sekretariat panitia Kongres Masyarakat Adat seNusantara (KMAN) pertama yang diadakan pada Maret 1999. Kedudukan sekretariat JAPHAMA dan Sekretariat KMAN membantu mendekatkan gerakan masyarakat adat pada gerakan HAM dan lingkungan dari sejak awal.
Pasca terbentuknya AMAN, ELSAM terus mengembangkan jaringan di wilayah-wilayah prioritas dan mengembangkan program pengembangan kapasitas pendamping hukum rakyat, termasuk masyarakat adat, dalam advokasi hak-hak atas sumber daya alam. Melalui program ini, puluhan pendamping hukum rakyat dari berbagai organisasi lokal difasilitasi untuk terus berkembang agar dapat lebih efektif dalam pendampingan mereka. Dalam masa 1999 sampai 2001, ELSAM terus mendukung AMAN khususnya dalam proses amandemen UUD 1945, proses penyusunan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam dan pembentukan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Pada tahun 2001, ELSAM memfasilitasi pembentukan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis yang disingkat HuMa. Kegiatan pengembangan kapasitas para pendamping hukum rakyat dalam isu hak atas sumber daya alam kemudian ditangani HuMa. Dan, kerja sama dengan Bang As terus berlanjut.
Komnas HAM: Lembaga Negara Pertama Yang Menemui AMAN
Sehari setelah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terbentuk pada 1999, empat atau lima anggota Komnas HAM datang ke Hotel Indonesia di Jakarta untuk menghadiri pertemuan perdana pengurus AMAN dengan lembaga negara. Kehadiran para anggota Komnas HAM tidak terlepas dari peran sekretaris jenderal Komnas HAM saat itu, yakni Asmara Nababan.
Pertemuan perdana ini sangat bermakna bagi para pengurus AMAN yang baru terpilih yang berasal dari tokoh-tokoh adat dari seluruh nusantara. Mereka jadi lebih mengenal tentang Komnas HAM dan merasa mendapat pengakuan dari negara. Pertemuan perdana ini juga bermakna penting bagi relasi Komnas HAM dengan masyarakat adat yang diakui keberadaan dan kekhasannya dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pada tahun-tahun awal berdiri, Komnas HAM lebih fokus dan lebih dikenal dari penanganan yang dilakukan pada kasus-kasus terkait pelanggaran hak sipil, politik dan HAM Berat. Dalam kenyataannya Komnas HAM sudah mulai menangani kasus-kasus terkait hak ekonomi, sosial dan budaya juga. Termasuk penanganan kasus-kasus agraria termasuk hak-hak atas tanah-tanah adat seperti kasus masyarakat adat Batak dan PT Inti Indorayon Utama, masyarakat Amatoa dan PT. London Sumatera, masyarakat Amungme dan Freeport McMoran dan lain-lain.
Pasca penetapan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Komnas HAM membentuk Tim dengan melibatkan Anggota Komnas HAM, akademisi dan aktivis ornop. Bang As sudah tidak menjadi Anggota Komnas HAM tetapi perspektif beliau sudah melembaga dan sejalan dengan pandangan Anggota-anggota Komnas HAM lainnya.
Terima Kasih Bang As
Gerakan masyarakat adat di Indonesia tercatat mulai ‘lahir’ ketika Nai Sinta Boru Sibarani dkk berjuang di Sumatera Utara, Alm. LB Dingit di Kalimantan Timur, Alm. Pak Sombolinggi di Sulawesi Selatan, Alm. Bapak Raja JP Rahail di Kepulauan Kei di Maluku Tenggara, Mama Yosepha Alomang di Papua dan banyak tokoh-tokoh adat lainnya.
Bang As sebagai pendiri KSBH/KSPPM berkontribusi sebagai salah satu bidan atas kelahiran gerakan masyarakat adat tersebut. Bang As ikut terus menguatkan dan merawat gerakan masyarakat adat dari berbagai posisinya. Bang As juga lah yang mewakili Lembaga Negara pertama yang mengakui keberadaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara pada bulan Maret 1999. Tulisan terakhir Bang As, yang menunjukan keyakinannya bahwa multikulturalisme mestinya dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip coexistence, memperjelas semua ini.
Terima kasih, Bang As.
Gerakan Petani di Tapanuli: Dulu, Sekarang dan Masa Yang Akan Datang
Oleh: Delima Silalahi
Perlawanan petani bukan hal baru dalam perjalanan petani di Tapanuli. Gerakan perlawanan pertama kali muncul ketika industrialisasi merambah ke Tapanuli di akhir 70-an. Gerakan yang muncul sebagai akibat dari proses marginalisasi yang dialami oleh kaum petani. Petani tidak tinggal diam menyaksikan tanah dan sumber daya alamnya dirampas demi alasan pembangunan. Mereka bergerak, mengorganisir diri untuk mempertahankan haknya atas tanah dan sumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya sejak dulu kala. Petani sadar bahwa pemenuhan hak-hak mereka tidak sesuatu yang turun dari langit dan bukan given dari penguasa, tetapi sesuatu yang diperjuangkan.
Tentu petani tidak berjuang sendirian, gerakan petani di Tapanuli, sama halnya dengan gerakan petani di nusantara in, terbentuk dan menjadi lebih kuat memperjuangkan hak-haknya karena juga mendapat dukungan dan solidaritas dari berbagai pihak lintas sektor. Bahkan sesungguhnya yang dikenal sebagai gerakan petani adalah jaringan aktivis dan organisasi yang peduli dengan keterpurukan petani.
Tulisan ini akan lebih banyak membahas tentang perjalanan panjang gerakan petani di Tapanuli mengorganisir diri dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam. Termasuk bagaimana gerakan petani ini dibangun dan dirawat oleh unsur-unsur yang ada dalam gerakan, paling tidak, sejak KSPH menyatakan kehadirannya di tahun 1983 untuk turut serta membangun kemandirian petani dan masyarakat adat di Tapanuli.
Memahami Gerakan Petani
Dalam khasanah berbagai studi gerakan sosial, revolusi dan perubahan sosial, gerakan dan perlawanan petani sering dianggap sebagai generasi pertama gerakan sosial. Bersama dengan gerakan buruh yang muncul setelah industrialisasi, gerakan petani dibedakan dari gerakan sosial kontemporer seperti gerakan lingkungan, gerakan perempuan dan gerakan mahasiswa. Sementara gerakan petani (dan juga gerakan buruh) dipandang berkaitan erat dengan perampasan lahan, eksploitasi dan marginalisasi yang terjadi seiring pembangunan; gerakan-gerakan kontemporer melibatkan di dalamnya unsur-unsur seperti martabat budaya, identitas dan pengakuan.
Seperti yang akan ditampilkan dalam uraian-uraian selanjutnya, pemilahan ini semakin sulit dipertahankan. Gerakan petani, termasuk yang berkembang di Tapanuli, jelas selalu terkait dengan berbagai aktivitas pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun sektor swasta. Tapi dalam gerakan petani faktor-faktor seperti identitas dan perlindungan harkat dan martabat budaya juga sangat menentukan.
Bagi gerakan masyarakat sipil di Sumatera Utara, lebih khusus lagi di daerah Tapanuli, pembangunan yang dilakukan pemerintah, terutama sejak masa Orde Baru dan terus berlangsung sampai sekarang, cenderung membawa malapetaka bagi petani. Tapanuli dan Indonesia tidak sendiri, sebab malapetaka serupa menimpa hampir semua petani di seluruh dunia yang diterpa gelombang modernisasi. Menurut Barrinton Moore dalam bukunya The Social Origins of Dictatorship and Democracy perlawanan petani terhadap situasi yang menimpanya secara historis telah berperan penting dalam pembentukan berbagai sistem politik modern, termasuk demokrasi.
Para ahli berdebat untuk menjelaskan kenapa petani melawan. James Scott berpendapat petani melawan karena pembangunan telah membuat mereka tercerabut dari akar sosial budayanya. Sedangkan kehidupan yang baru belum sama sekali berhasil menggantikan peran lembaga-lembaga lama. Ahli lain yang bernama Samuel Popkin memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya para petani tidak selamanya ingin hidup di masa lalu. Perlawanan muncul karena mereka merasa dirugikan secara ekonomi.
Para aktivis gerakan petani di Tapanuli mengetahui dengan baik Scott dan Popkin sama-sama benarnya. Pembangunan secara perlahan meruntuhkan institusi lama dan tidak memberikan panduan dan perlindungan yang cukup bagi kehidupan sosial dan budaya petani. Begitu juga upaya menyulap haminjon menjadi hutan eukaliptus membawa kerugian secara ekonomi sangat besar terhadap petani kemenyan. Tidak mengherankan jika mereka melawan karena kehidupan materialnya sangat terancam. Namun kedua ahli gerakan petani ini lupa menjelaskan bagaimana para petani yang marah dan merasa tersingkir bisa berkembang menjadi satu gerakan bersama.
Berbagai kemungkinan jawaban bisa diberikan untuk merespon pertanyaan terkait pembentukan gerakan. Sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang berjuang bersama petani, tulisan ini tergoda untuk menekankan peran penting organisasi seperti KSPPM dan organisasi-organisasi lainnya yang melakukan mobilisasi dan menyatukan petani. Tapi jawaban seperti ini cenderung mengabaikan inisiatif dan kemandirian para petani. Gerakan petani jadinya terkesan sebagai hasil upaya organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Tampaknya Alberto Melucci menyediakan jawaban lebih baik. Menurut Meluci gerakan sosial pada umumnya membentuk semacam solidaritas di antara para elemen gerakan. Solidaritas dibangun karena memiliki musuh yang sama dan di tempat lebih jauh oleh kesamaan ide dan budaya yang tertempa seiring perkembangan gerakan itu sendiri. Semua proses ini berujung pada terbentuknya sebuah identitas kolektif. Pada gilirannya, identitas kolektif ini yang menjadi basis bagi perlawanan dan semua aksi yang terkait gerakan petani.
Artinya, gerakan petani sudah pasti muncul karena pembangunan telah bukan saja menghancurkan kehidupan lamanya, tapi juga menimbulkan kerugian material yang sangat besar. Tapi gerakan ini bisa muncul dan berkembang melalui proses pembentukan identitas kolektif. Seperti yang akan penulis tunjukan, pembentukan identitas kolektif ini melibatkan semua elemen yang terlibat dalam gerakan petani. Aktivis masyarakat sipil yang terlibat dalam gerakan petani karenanya terlibat dalam pembentukan, dan menjadi bagian dari, identitas kolektif tersebut.
Gerakan Petani Sebagai Gerakan Orang-Orang Tersisih
Perlawanan petani pada umumnya muncul akibat dari pembangunan yang membuat mereka tercerabut dari akar sosial budayanya. Hal ini juga yang dilihat oleh KSPH dari sejak melakukan pendampingan di Tapanuli.
KSPH melakukan pendampingan awal di Desa Dolok Martali-tali, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba (dulu desa ini masuk Kabupaten Tapanuli Utara). Penduduk di desa ini yang mayoritas petani terpaksa harus mengikuti program transmigrasi lokal dari desanya ke Desa Sioma-oma Kecamatan Pangaribuan, akibat pembangunan bendungan Siruar, bagian dari proyek PLTA Asahan (INALUM).
Perlawanan petani sudah muncul kala itu. Mereka menyampaikan protesnya kepada negara karena daerah transmigrasi lokal tempat mereka dipindahkan tidak layak untuk mengembangkan pertanian. Selain itu mereka merasa dibohongi oleh pemerintah. Sebelumnya kepada 36 KK yang dipindahkan dari lokasi pembangunan Bendungan Siruar tersebut selain dijanjikan diberikan ganti rugi tanah Rp.130/meter juga dijanjikan diberikan tanah seluas 2 ha per KK, satu hektar untuk persawahan dan satu hektar lagi untuk perumahan dan pekarangan. Mereka dipindahkan ke Lungguk Sioma-oma, Desa Silantom, Kecamatan Pangaribuan Tapanuli Utara yang berjarak 195 km dari Dolok Martali-tali tempat tinggal mereka.
Namun janji tersebut tak kunjung ditepati, bahkan 36 KK yang sudah sempat pindah ke Sioma-Oma tersebut kembali ke Dolok Martali-tali karena mereka merasa hidup bertani di desa awal mereka jauh lebih menjanjikan daripada melanjutkan hidup di Sioma-Oma yang fasilitas pertaniannya tidak memadai. Kepulangan mereka merupakan bentuk perlawanan yang bisa dilakukan pada masa rejim Orde Baru berkuasa.
Industrialisasi di Tapanuli semakin menunjukkan wajah aslinya. Tanah dan sumber daya alam menjadi aset yang diperebutkan. Sejak awal 1980-an sampai saat ini konflik agraria terus meningkat. Perlawanan petani di beberapa desa di Tapanuli walaupun kecil tapi semakin terorganisir. Bahkan beberapa perlawanan petani di Tapanuli menjadi isu nasional. Pada 1988, sepuluh ibu, pejuang petani dan masyarakat adat dari Desa Sugapa, Kecamatan, Kabupaten Toba (Dulu Kecamatan Sigumpar Kabupaten Tapanuli Utara), melakukan perlawanan terhadap PT Inti Indorayon Utama. Tanah mereka seluas 51.36 ha ditanami eukaliptus oleh perusahaan penghasil pulp and paper milik Sukanto Tanoto tersebut.
Para perempuan tersebut melakukan aksi protes mencabuti eukaliptus yang ditanam di tanah mereka yang berujung pada vonis enam bulan penjara kepada kesepuluh perempuan tersebut di Pengadilan Negeri Tarutung. Vonis tersebut diperingan menjadi 3 bulan penjara di Pengadilan Tinggi Negeri Medan. Tidak mendapatkan keadilan di Sumatera Utara, mereka pun mengadu kepada Menteri Dalam Negri, Rudini. Hasil dari perlawanan yang mereka lakukan, pada 11 April 1998, mereka mendapatkan haknya kembali atas tanah tersebut.
Tak berhenti di kasus Sugapa, perlawanan kembali muncul di Dusun Bulu Silape, Desa Sianipar II, Kecamatan Silaen. Perlawanan ini dipicu oleh bencana longsor yang menewaskan 13 warga Dusun Bulu Silape, tertimbunnya sekitar 36 ha sawah dan ladang dan juga hancurnya lima unit rumah adat milik warga. Namun, pemerintah pada masa itu menganggap ini adalah bencana alam, sehingga tuntutan warga atas ganti rugi yang dialami dan pemulihan sawah mereka tidak terealisasi hingga saat ini.
Masih banyak kisah perlawanan petani di Tapanuli akibat kehadiran berbagai Industri yang merampas ruang hidup masyarakat. Sampai saat ini gerakan-gerakan perlawanan juga masih muncul di beberapa wilayah khususnya di wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari.
Konflik Agraria yang terjadi dari dulu sampai sekarang, pada dasarnya disebabkan oleh tumpang tindih klaim kepemilikan tanah oleh masyarakat adat/masyarakat lokal dengan Negara lama hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan SK 579 /Menhut II-2014 tentang Kawasan Hutan di Sumatera Utara, hampir 60% wilayah daratan di Tapanuli masuk dalam Kawasan Hutan Negara.
Akibat klaim tersebut, masyarakat adat yang tersebar di Tapanuli khususnya di lima kabupaten di atas, sangat berpotensi kehilangan haknya atas tanah dan sumber daya alam. Negara dengan alasan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan devisa negara memberikan ijin-ijin usaha kepada perusahaan-perusaaan yang ingin berinvestasi di Tapanuli. Pemberian ijin tersebut tentu tidak melibatkan masyarakat lokal yang mayoritas adalah petani.
Jika pada 1980-an dan 1990-an, perlawanan terkonsentrasi di Toba, di pertengahan tahun 2000-an, perlawanan petani dan masyarakat adat terhadap kehadiran PT TPL mulai muncul di Kabupaten-kabupaten di mana wilayah konsesi perusahaan tersebut berada. Awal 2007, petani kemenyan di Pollung juga mengorganisir diri melawan tindakan perusahaan tersebut menebangi ratusan hektar hutan kemenyan mereka dan menggantinya menjadi tanaman eukaliptus. Gerakan ini menjadi awal perlawanan di wilayah konsesi perusahaan tersebut. Sampai saat ini ada 16 komunitas masyarakat adat yang sedang berjuang mempertahankan haknya. Mereka merupakan dampingan KSPPM dan anggota AMAN Tano Batak di Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir dan Kabupaten Simalungun.
Dinamika Gerakan Petani di Tano Batak
Dari catatan KSPPM dan wawancara dengan Pendeta Nelson Siregar, salah seorang yang terlibat langsung dalam proses pembentukan KSPH dan juga KSPPM, di awal kehadirannya, tahun 1983, gerakan-gerakan perlawanan sudah muncul di Tapanuli. KSPH sendiri lahir sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian terhadap wacana yang berkembang pada masa itu, di mana Tapanuli disebutkan sebagai peta kemiskinan.
Asmara Nababan pada saat itu berpandangan bahwa wacana Tapanuli sebagai peta kemiskinan merupakan bahasa simbol yang melegitimasi masuknya berbagai industri di Tapanuli.Wacana yang dikembangkan pemerintah tersebut, disambut baik oleh berbagai pihak, termasuk elit Batak dan juga lembaga-lembaga gereja. Pemerintah pada masa ini menyikapi hal ini dengan melihat bahwa persoalan kemiskinan disebabkan oleh kebodohan dan kemalasan. Person blame ini ditentang oleh KSPH. Persoalan kemiskinan menurut KSPH merupakan system blame. Dan menurut Asmara ketika itu bahwa, rakyat Tapanuli tidak miskin, tetapi pemerintah yang tidak pernah mengakui prakarsa masyarakat.
Ada beberapa ide yang disampaikan Asmara Nababan ketika itu untuk menyikapi wacana yang berkembang dan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah pada masa itu:
Pertama, masyarakat di Tapanuli harus memiliki kesadaran hukum. Untuk itu perlu dilakukan diskusi-diskusi hukum di desa-desa yang berpotensi terdampak pembangunan. Dari penyadaran hukum ini, diharapkan masyarakat di Tapanuli mampu mengadvokasi dirinya dan tidak tersisih oleh pembangunan itu sendiri.
Ke dua, bahwa pengorganisasian menjadi sangat penting. Untuk mendukung kerja-kerja pengorganisasian, maka hasil-hasil studi menjadi sangat penting juga. Itu sebabnya, sejak awal KSPH sudah mengundang beberapa akademisi untuk melakukan kajian-kajian terkait kemiskinan dan persoalan pembangunan di Tapanuli. Seperti Prof. BA Simanjuntak, Edward Depari, George Junus Aditjondro dll.
Ke tiga, perlu kolaborasi lintas sektor, sehingga pada waktu itu, hal yang pertama dilakukan oleh Asmara Nababan adalah menjembatani pertemuan-pertemuan lintas sektor, seperti tokoh-tokoh gereja, akdemisi, dan mahasiswa. Berbagai diskusi dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, seperti Prof. BA Simanjuntak, AA.Sitompul, Pdt. Selamat Barus, Soekirman, dan lainnya. Forum-forum diskusi ini melahirkan kesepakatan-kesepakatan bersama untuk turut ambil bagian dalam melawan stigma Tapanuli sebagai peta kemiskinan.
Kehadiran KSPH yang kemudian menjadi KSPPM turut menyumbang dinamika gerakan petani di Tapanuli sejak 1980-an hingga saat ini. Jika di awalnya perlawanan yang muncul sebagai bentuk protes terhadap dampak pembangunan yang menghilangkan akses terhadap tanah, SDA dan ekologi, maka di era tahun 2000-an, gerakan petani di Tapanuli juga mulai memperjuangkan hak-hak kewargaan lainnya.
Pengorganisasian terhadap petani yang dilakukan KSPPM sejak 1980-an, juga memberikan dampak yang lebih baik terhadap peningkatan partisipasi dan keterlibatan petani dalam melakukan perubahan kebijakan di tingkat desa dan kabupaten. Gerakan petani juga merupakan gerakan yang bertujuan memperjuangkan hak-hak kewargaannya. Petani melalui serikat-serikat tani yang ada di Kabupaten, seperti Serikat Tani Tapanuli Utara, Serikat Tani Kabupaten Samosir, dan Serikat Tani Tobasa, juga berjuang untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak sipol dan ekosob petani di setiap kabupaten.
Pendidikan hukum dan politik terhadap anggota Serikat Tani tetap dilakukan oleh Serikat Tani bersama KSPPM sebagai pendamping. Petani juga semakin sadar pentingnya menduduki jabatan-jabatan publik dan jabatan politis di desa dan di kabupaten. Karena hanya dengan partisipasi tersebut mereka mendapat akses untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan memperoleh kebijakan yang pro terhadap petani dan masyarakat adat.
Dalam konteks ini, gerakan petani sudah beranjak lebih jauh dari sekedar perlawanan terhadap keterpurukan kultural dan kerugian material. Gerakan yang tumbuh dan berkembang melalui pembentukan identitas kolektif tersebut telah melangkah lebih jauh, yakni dengan mendorong inklusi politik. Upaya mendorong inklusi politik, seperti yang sudah disinggung di atas, dilakukan dengan dua cara. Cara pertama dengan memperjuangkan hak-hak sipil dan politik dan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Cara kedua dengan mendorong partisipasi langsung petani dalam proses pembuatan kebijakan melalui partisipasi aktif dalam musrenbang dan dalam menduduki jabatan-jabatan publik.
Sejak berakhirnya rezim Orde Baru sekitar dua dekade lalu, upaya memperjuangkan inklusi politik kian meluas. Selain petani, berbagai sektor masyarakat sipil lainnya juga melakukan upaya perluasan apa yang oleh beberapa studi menyebutnya sebagai prinsip-prinsip kewargaan. Secara garis besar prinsip-prinsip kewargaan menekankan bahwa gerakan seperti gerakan petani berorientasi pada tiga hal mendasar. Ketiga hal tersebut adalah kesejahteraan ekonomi, keadilan budaya dan representasi politik. Pengakuan atas hak-hak petani dan peluang yang lebih besar dalam partisipasi politik bisa membuat gerakan petani memiliki posisi tawar yang semakin kuta dalam memperjuangkan ketiga hal tersebut.
Inklusi politik pada dasarnya menjadi ukuran penting demokrasi. Negara seperti Indonesia bisa saja sudah memiliki lembaga-lembaga demokrasi mendasar seperti parlemen dan pemilu. Tapi lembaga-lembaga ini hampir tidak ada gunanya sama sekali jika keberadaan sebagian besar masyarakat diabaikan atau terpinggirkan. Petani adalah sebuah ironi. Sementara jumlahnya masih cukup banyak di Indonesia, sebagian besar dari kelompok ini masih terus mengalamai proses marginalisasi. Sebagai contoh, petani yang melakukan protes untuk memperjuangkan hak-haknya yang terampas akibat proyek pembangunan dengan mudahnya bisa dikriminalisasi. Kriminalisasi merupakan bentuk nyata kehadiran petani dalam kehidupan politik dan sosial masyarakat masih sering dipandang sebelah mata dan mudah menjadi sarana bullying kekuasaan.
Refleksi Terhadap Gerakan Petani Di Tano Batak
Pada 1983, ketika KSPH hadir di Tapanuli, bisa jadi merupakan, fondasi awal kebangkitan gerakan petani di Tano Batak. Keterlibatan para tokoh Batak pada masa itu, termasuk Asmara Nababan menyikapi wacana yang dibangun pemerintah masa itu bahwa Tapanuli merupakan peta kemiskinan, memberi andil yang cukup besar dalam perjalanan gerakan petani di Tano Batak sampai saat ini. Gerakan petani melalui kehadiran serikat-serikat petani dan munculnya gerakan-gerakan masyarakat adat di wilayah pendampingan KSPPM, sampai saat ini masih berbenah diri dan berjuang menggapai mimpi bersama terwujudnya masyarakat sipil yang berdaulat, pemerintahan yang bersih dan demokratis, serta terciptanya ekonomi dan politik yang adil dengan menghargai kemajemukan dan keutuhan ciptaan.
Dalam perjalanan lebih dari tiga puluh tahun ini, perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia juga turut menyumbang dinamika perjalanan gerakan petani di Tapanuli. Jika di awal pembentukan KSPH yang kemudian menjadi KSPPM pada 1985, petani harus berhadapan dengan rezim politik yang menganut pembangunisme yang steril (meminjam istilah Asmara Nababan untuk menggambarkan pembangunan yang dirumuskan tanpa kontrol) dan sentralistik. Situasi politik ini diyakini memberikan dampak yang sangat buruk bagi matinya prakarsa masyarakat.
Dengan situasi politik tersebut KSPPM hadir untuk merevitalisasi prakarsa masyarakat agar kembali berdaulat. Namun, di situasi politik era tahun 2000-an, yang sering kita sebut dengan era reformasi, mengalami banyak perubahan. Era yang digambarkan sebagai era di mana penguasa tidak lagi pemegang kekuasaan mutlak, reformasi hukum dan politik sudah mulai dilakukan, desentralisasi memberi ruang pembagian kekuasaan sampai ke daerah, era di mana strategi gerakan masyarakat sipil termasuk KSPPM harus berubah.
Perubahan situasi politik ini, memberi ruang bagi gerakan petani untuk ambil bagian dalam dunia politik yang sebelumnya dianggap tabu dan tak mungkin. Anggota-anggota Serikat Tani mulai ikut bertarung dalam pemilihan kepala desa di desanya. Selain itu juga mereka mulai ikut bertarung mengikuti jabatan-jabatan publik seperti penyelenggara Pemilu, di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Strategi aksi massa dalam menyampaikan tuntutan walau terus dilakukan juga mulai menggunakan ruang-ruang negosiasi dan lobi dalam mempengaruhi kebijakan yang tidak berpihak kepada petani.
Perkembangan terbaru di atas membawa dua implikasi penting. Gerakan petani seperti halnya gerakan masyarakat sipil lainnya perlu mulai berpikir untuk melakukan engagement dengan negara. Alasannya sederhana saja. Negara di Indonesia saat ini berbeda dengan negara Orde Baru yang otoriter dan menindas. Sekalipun belum sepenuhnya bisa disebut telah menjadi demokratis, setidaknya negara yang ada sekarang jauh lebih terbuka bagi partisipasi masyarakat sipil. Banyak kebijakan yang dibuat tidak lagi selamanya diputuskan oleh birokrat, teknokrat atau para elit politik. Berbagai elemen masyarakat sipil semakin sering dilibatkan secara langsung dalam merancang dan memformulasi kebijakan, termasuk mengeksekusi dan mengawasi pelaksanaannya.
Jika keterbukaan negara tidak digunakan oleh masyarakat sipil untuk “menduduki”-nya dan mewarnai proses politik pada berbagai level, maka peluang tersebut akan digunakan sejumlah kekuatan lain seperti pengusaha, birokrat korup atau politisi yang selalu memiliki kepentingan jangka pendek.
Gerakan petani saat ini tidak cukup hanya dengan demonstrasi, turun ke jalan atau boikot. Berbagai bentuk aksi tersebut perlu dilanjutkan dengan langkah-langkah menerjemahkan tuntutan menjadi agenda politik dan usulan kebijakan. Proses ini lebih jauh memerlukan kapasitas yang berbeda dari pengetahuan dan ketrampilan aksi turun ke jalan.
Gerakan petani perlu melakukan engagement dengan negara dan mengembangkan kemampuan menerjemahkan keluhan dan tuntutan menjadi agenda politik dan kebijakan perlu dilakukan dengan satu alasan penting. Dalam kondisi politik elektoral yang kian menguat setelah dua dekade reformasi gerakan petani perlu mengambil jalannya sendiri.
Jika tidak demikian maka gerakan ini mudah terjerembap menjadi alat atau kendaraan politik elit-elit tertentu untuk kepentingan kekuasaan. Hampir di setiap Pemilu, termasuk di Tapanuli, tak satu pun kandidat yang tidak berbicara atas nama kesejahteraan rakyat, petani dan masyarakat adat. Terutama karena berpihak pada kelompok masyarakat kecil dan terpinggirkan mudah meningkatkan popularitas. Tapi hanya segelintir dari para kandidat yang berhasil memenangkan pemilu benar-benar mewujudkan keberpihakannya pada petani dan masyarakat adat.
Harapan Di Masa Yang Akan Datang
Cita- cita besar KSPPM saat ini masih sama dengan impian para pendiri KSPPM pada 1983. Yaitu agar Gerakan Petani di Sumatera Utara menjadi gerakan yang berdaulat. Namun untuk mewujudkan impian besar tersebut melihat proses politik dan demokrasi yang berjalan saat ini, harapan-harapan kecil harus tetap dibangun dan dipupuk.
Setidaknya, saat ini, proses demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia membawa angin segar bagi masa depan gerakan petani. Proses yang paling tidak menciptakan peluang yang lebih besar bagi petani untuk memformulasikan kepentingannya dan memperjuangkannya melalui jalur politik formal. Kebijakan yang pro petani pada gilirannya akan muncul bukan karena belas kasihan pemimpin politik atau bagian dari politik pencitraan; tapi merupakan hasil jerih payah perjuangan panjang.
Kecenderungan kuat elektoralisme dalam demokrasi juga bisa dimanfaatkan gerakan petani untuk meningkatkan posisi tawar terhadap elit politik. Elektoralisme membuat suara petani memiliki nilai politik yang sangat tinggi; yang jika dikelola dengan baik bisa dimanfaatkan sebagai salah satu jalan. Lebih dari itu, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, elektoralisme bisa digunakan oleh gerakan petani untuk mendudukan aktivisnya pada jabatan-jabatan publik.
Namun harapan besar ini perlu menghindarkan dirinya dari dua jebakan besar. Pertumbuhan gerakan petani di Tano Batak berutang pada proses-proses dasar di level akar rumput dalam bentuk pengorganisasian dan pembinaan kader. Proses yang seringkali tidak tampak di depan publik ini memerlukan waktu yang panjang. Jika dilakukan dengan sistematis dan sungguh menghasilkan gerakan petani yang bukan saja solid, tapi juga berkesinambungan. Upaya enggagement dengan negara dan keterlibatan lebih aktif dalam proses politik dan jabatn-jabatan publik jangan sampai meninggalkan aktivitas basis seperti ini. Kesibukan mengurus politik dan kebijakan tidak harus membuat gerakan petani berhenti melakukan pembinaan kader dan penguatan organisasi.
Selain itu, keterlibatan lebih besar dalam proses politik bisa membawa dampak negatif terkait isu representasi. Seorang aktivis petani yang berhasil menduduki jabatan publik misalnya atau kerap tampil mewakili petani dalam berbagai proses perumusan kebijakan bisa tergoda euforia popularitas dan dengan akibat melupakan akar sosialnya. Dalam dunia pergerakan di luar sektor petani kecenderungan ini sudah tampak dan kian menguat. Banyak (mantan) aktivis yang sudah menduduki jabatan publik dan atau sering tampil di media menjadi lebih sibuk dengan jabatan dan penampilannya di media, ketimbang menjaga komunikasi yang tetap intens dengan gerakan sosial yang menjadi asalnya.
Artinya, keterlibatan yang lebih dalam dengan negara, ikut merumuskan kebijakan dan menduduki jabatan publik akan berkontribusi besar bagi upaya menyejahterakan petani. Namun potensi ini mudah berubah menjadi malapetaka jika gerakan petani meninggalkan aspek-aspek mendasar aktivisme dan para aktivisnya sendiri terbuai manisnya menjadi elit politik.***
Spiritualitas Pembebasan Dalam Perjalanan LSM di NTT, Bersama Bang As
Oleh: Sofia Malelak de - Haan
Demokrasi di Indonesia mengalami pasang-surut seiring situasi sosial politik yang berkembang. Paling tidak ada tiga periode demokrasi yang kita lalui mulai Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Era reformasi ditandai dengan transisi kekuasaan dari Soeharto yang berkuasa kurang lebih 32 tahun,ke BJ Habibie. Peralihan ini menjadi babak baru demokrasi di Indonesia. Ini terlihat pada keterbukaan pemerintah untuk memberi ruang bagi kebebasan pers, sistem kepartaian yang hanya tiga partai beralih ke sistem multi-partai, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebasan menyampaikan aspirasi, menjadi tandanya dari demokrasi era reformasi.
Selain itu rakyat juga dijamin hak-hak politiknya untuk digunakan secara sadar dan mandiri pada semua proses Pemilu. Pada Pemilu 2004 misalnya, rakyat bebas memilih wakilnya di legislatif serta bebas memilih presiden dan wakil presiden.
Di tahun berikutnya, tahun 2005 gubernur, bupati, dan Walikota juga dipilih langsung rakyat, bahkan dalam proses selanjutnya pemilihan langsung juga terjadi di tingkat desa. Ini menunjukkan bahwa di satu sisi demokrasi mulai berjalan pada relnya dengan penegakkan hak-hak sipil di bidang politik, dan sisi lain penegakkan ini sekaligus menunjukkan bahwa negara menghormati hak asasi setiap individu. Ini berarti ketika berbicara tentang demokrasi maka mau tidak mau kita juga berbicara tentang hak asasi manusia. Tanpa itu maka demokrasi hanya menjadi retorika yang tidak memiliki implikasi pada penghargaan atas hak-hak asasi yang melekat pada setiap individu, yang sebenarnya menjadi jiwa dari demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks tersebut, dan dalam rangka memperingati 10 tahun kepergian Asmara Nababan yang biasa kami sapa dengan Bang As, saya diminta menulis tentang Bang As. Berbicara tentang Bang As dalam konteks kerja-kerja lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Nusa Tenggara Timur (NTT), tentu kita bersepakat bahwa Bang As memiliki sumbangsih besar terhadap perjuangan penegakkan demokrasi dan hak asasi manusia di NTT, khususnya melalui kerja-kerja pemberdayaan untuk memperkuat dan membangun kesadaran kritis masyarakat akan hak-haknya, termasuk hak-hak masyarakat adat. Kerja-kerja ini dilakukan secara konsisten, terus menerus dalam bingkai aksi-refleksi-aksi.
Apa yang dilakukan Bang As tentu menjadi relevan dalam setiap proses pendampingan masyarakat, di mana dalam era reformasi ini kita masih dihadapkan dengan soal-soal ketidakadilan dan diskriminasi di masyarakat. Ini seolah menjadi titik stagnan dari pergerakan penegakkan hak asasi dan demokrasi, baik di level nasional maupun level daerah.
Fakta lemahnya penegakkan hukum di berbagai lini kehidupan, kasus korupsi yang tak kujung berhenti, ketidakadilan ekonomi, intoleran yang semakin menjadi-jadi yang merongrong keberagaman dan kekerasan lainnya menjadi gambaran bahwa demokrasi dan hak asasi manusia berjalan di tempat. Walau begitu harus disyukuri bahwa pada saat yang sama amonisi gerakan masyarakat sipil yang dikomandoi aktivis-aktivis LSM untuk memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia tidak pernah habis. Selalu ada generasi baru yang terus menggerakkan perjuangan penegakkan demokrasi dan hak asasi manusia melalui kerja-kerja pengorganisiran masyarakat.
Bang As bukan orang baru dalam lingkungan LSM di NTT. Sejak tahun 1980-an Ia sering ke NTT lebih khusus ke Kupang untuk mendampingi dan memperkuat para aktivis berkaitan dengan isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia, secara khusus yang berkaitan dengan perjuangan pemenuhan hak-hak masyarakat adat, berkaitan dengan persoalan hutan tanaman industri (HTI) yang sering menyerobot tanah-tanah adat serta di blok politik bersama sama teman-teman aktivis akar rumput mempersiapkan masyarakat sipil NTT di masa transisi Indonesia dari era Orde Baru ke era Reformasi menuju Indonesia masa depan.
Yang terakhir, sebelum pulangnya Bang As ke rumah keabadian, masih bersama sama dalam rangka konsolidasi gerakan masyarakat sipil dengan tema besar Quo Vadis LSM. Bang As meletakan dasar advokasi dan keberpihakan yang kuat kepada yang tertindas dan pemulihan alam semesta sebagai keutuhan ciptaan.
Gagasan besar dan idealisme tentang advokasi tertuang dalam bukunya tentang advokasi yang masih dipakai saat ini oleh para aktivis sebagai referensi atau pegangan. Sosok sederhana ini dalam berjuang adalah sesungguhnya aktivis gereja tetapi karena sikap inklusif dengan pendekatan yang humanistik, beliau mampu memperjuangkan nilai- nilai kristiani yang bersumber dari Alkitab tentang kemanusiaan, keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan menjadi nilai universal yang bisa diterima semua orang.
Menurut saya, Bang As adalah aktivis yang inklusif, bergaul dengan semua orang yang datang dari aneka latar belakang dan karena inklusif tersebut ia dianggap sekuler. Bang As tidak sekedar sosok inspiratif bagi aktivis tetapi sebagai kakak yang penuh perhatian kepada kami yang dianggap sebagai adik-adiknya dengan hati penuh cinta kasih Ia mengajarkan kami tentang bagaimana menyeimbangkan antara kerja-kerja kemanusiaan dan perhatian terhadap keluarga.
Sebagai contoh, ketika saya hamil sementara saya harus mengikuti Rapat Pokja Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JK-LPK) pasca-Konsultasi Nasional, Bang As meminta agar jadwal dipercepat agar saya boleh terlibat dan ide, gagasan, pemikiran saya bisa masuk dalam keputusan untuk program kerja JK-LPK di Indonesia.
Juga ketika saya memiliki anak yang berkebutuhan khusus, Bang As selalu mengingatkan saya bahwa anak harus mendapat prioritas perhatian sehingga ia bertumbuh menjadi pribadi yang mandiri, dari bentuk perhatian yang diberikan, saya belajar tentang bagaimana harus ada keseimbangan antara keluarga dan kerja serta kepekaan terhadap hubungan kemanusiaan yang dimulai dari institusi terkecil yakni keluarga.
Kehadiran Bang As di NTT juga selalu dinantikan oleh para aktivis LSM, tak heran kehadirannya bagaikan magnet yang menjadi perekat persekutuan, di mana kerinduan untuk berkumpul dengannya terlihat dari kedatangannya ke NTT baik sebagai nara sumber atau fasilitator pasti semua aktivis akan berkumpul dengannya dan memberi diri untuk dicerahkan melalui gagasan-gagasannya yang selalu baru. Pribadi yang ceplas-ceplos dan kritis ini tak pernah lelah membangun diskusi-diskusi kritis untuk memperkuat perspektif keberpihakan para aktivis kepada masyarakat yang termarginalisasi dan tertindas. Tak terkecuali dengan saya dan teman-teman di Yayasan Alfa Omega atau YAO yang pada saat itu sebagai LSM payung bagi LSM-LSM di NTT yang baru tumbuh dan berkembang.
Bang As orang pertama yang menanamkan nilai perjuangan demokrasi dan hak asai manusia pada kami dan aktivis LSM di NTT. Itu sebabnya di akhir tahun 80-an dan awal 90-an perjuangan kami mendampingi masyarakat untuk kasus-kasus penyerobotan tanah adat atas nama HTI yang berbenturan dengan masyarakat adat mendapat dukungan penuh Bang As, dengan menyuarakannya di tingkat nasional.
Sampai saat ini, ketika bangsa Indonesia sedang bersemangat memperingati kemerdekaan yang ke-75, masyarakat di beberapa wilayah di NTT masih berjuang menghadapi penindasan dan ketidakadilan akan hak-haknya, mereka dipaksa keluar dari lingkungan sejarah, sosial dan budaya di mana mereka berakar. Ini menunjukkan kerja-kerja penegakkan demokrasi dan hak asai manusia tidak pernah selesai dan untuk itu apa yang ditanamkan Bang As, memberdayakan masyarakat untuk sadar dan kritis akan hak-haknya harus terus dikembangkan.
Realita sosial politik memperlihatkan bahwa kita di NTT juga mengalami kemandekan dalam urusan demokrasi dan hak asasi manusia. Bukan hanya masalah tanah rakyat yang diserobot, tetapi juga masalah-masalah kemiskinan, rawan pangan, gizi buruk dan kekeringan berkepanjangan adalah kompleksitas dari tidak adanya penegakkan demokrasi dan hak asasi manusia.
Tentu ini sangat berkaitan erat dengan tanggung jawab pemerintah untuk mengembangkan pendekatan-pendekatan baru untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah ini tidak boleh dilihat hanya sebatas persoalan sosial semata, apalagi menyalahkan masyarakat dengan memanfaatkan ketidaktahuannya. Ini masalah pemahaman serta pemaknaan demokrasi dan hak asasi manusia dalam keseharian masyarakat yang dipersempit hanya sebatas urusan hak suara dalam pemilu dan pilkada.
Itu sebabnya kita selalu dapat melahirkan pemimpin baru dalam pilkada yang hanya memahami jabatan dan kekuasaan tetapi gagal memahami substansi dari demokrasi dan hak asasi manusia yang juga menyentuh kehidupan keseharian masyarakat. Di sinilah peran penting kita sebagai aktivis LSM menjembatani ruang kosong untuk memperjuangkan penegakan demokrasi dan hak asai manusia melalui pemenuhan hak-hak masyarakat seperti harapan Bang As.
Bang As bukan tipe “penonton” yang membiarkan masalah-masalah masyarakat termakan sejarah dan zaman. Bang As adalah pemikir, pendamping dan motivator yang bekerja dan tak lelah memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi kedaulatan rakyat atas hak-haknya. Ia tidak pelit ilmu karena itu saat bersantai menyeruput kopi dan merokok pun ia selalu berdiskusi melalui berbagai cerita yang selalu saja memancing kita untuk kritis.
Tak heran bila tangan dingin Bang As memunculkan banyak kader-kader muda pada saat itu yang concern pada advokasi rakyat, dengan militansi kuat dalam kerja-kerja pengorganisiran memperkuat masyarakat, termasuk saya salah satunya.
Dari tangan dinginnya melahirkan aktivis-aktivis saat itu yang tetap konsisten hingga saat ini meski ada yang sudah berjuang di ranah masing-masing atau dalam syair lagu “anak masing-masing di sudutnya”. Ijinkan saya menyebut beberapa nama yang biasa di sapa manis dengan; Ma’ Sarah Lery Mboeik, Ma’ Rambu Atanau- Mella, Ma’ Tory Ata, Mendiang Om’ Tom Klau, Adik Irma Hattu (saat ini di Jakarta), adik Ana Djukana, adik Yones Pelokilla, Om’ David Taopan, Om’ Arnold Tahu Klau, Om Soleman Dethan, Om Arben Malelak, mendiang Om Johny Riwu, mendiang Om Frans Fanggi dan lainnya.
Para aktivis yang saya sebut tersebut telah turut menyumbang terbangunnya gerakan masyarakat sipil di NTT, Gerakan Perempuan di NTT dan Transformasi Sosial di NTT. Jalan yang dirintis ini telah menjadi pintu masuk bagi generasi aktivis berikutnya di NTT yang hingga saat ini mereka tetap eksis dalam memperjuangkan kehidupan dan kemanusiaan sejati melalui kerja- kerja di basis dalam membangun opini publik dan mendorong kebijakan publik.
Tentu tapak-tapak kebaikan yang telah diletakan para aktivis dari masa ke masa ini menjadi sumber belajar bersama bagi semua orang dan nama -nama mereka tercatat dengan tinta emas dalam lintasan sejarah perjalanan LSM di NTT. Pada saat itu, Jaringan Masyarakat Sipil yang solid dan kuat mulai mengkristal, sehingga tema-tema lokal atau kasus- kasus lokal lewat jejaring Nasional yang difasilitasi Bang As, menjadi tema-tema dan kasus- kasus yang juga dibahas di tingkat Asia dan di tingkat Dunia.
Bang As, tak pernah lelah mendorong untuk selalu dilakukan aksi-refleksi-aksi pada tiap tahapan perjuangan untuk memperkuat dan memperjuangkan hak-hak masyarakat. Aksi dan refleksi menjadi rangkaian pembelajaran yang mengantar kita menemukan strategi-strategi baru dalam proses-proses pendampingan masyarakat. Ini ciri khas Bang As dalam memberi penguatan bagi kami.
Selain aksi dan refleksi, Bang As juga mendorong agar kami tak lupa membangun jaringan atau aliansi pendukung dengan berbagai elemen. Dengan jurnalis, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan stakeholder kunci lainnya untuk mendukung kerja-kerja pendampingan masyarakat yang dilakukan, sekaligus mereka menjadi kekuatan membangun opini publik dan juga kekuatan penekan bagi pemerintah.
Bang As, bagi kami para aktivis, seperti tak henti memberi arahan untuk kerja-kerja penguatan dan pemberdayaan masyarakat. Tentu ini menjadi pengalaman berharga yang melekat kuat dalam diri saya, sebagai teman tetapi juga aktivis yang turut merasakan didikan Bang As. Ia telah hadir sebagai kakak, yang menggembleng adik-adiknya dalam berbagai kerja-kerja perjuangan penegakkan demokrasi dan hak asasi manusia di NTT melalui Yayasan Alfa Omega dan JK-LPK di Indonesia. Saya termasuk di dalamnya, karena konsistensi perjuangan saya di masyarakat.
Kami telah menjadi saudara dalam perjuangan dan persahabatan. Itu sebabnya Bang As pernah memberikan Ulos dan menyatakan rasa hormat dan penghargaannya pada saya atas konsistensi memperjuangkan keberagaman dan inklusifisme melalui pelatihan-pelatihan para calon pendeta/vikaris dan calon pastor/imam secara bersama, dan Bang As menjadi narasumbernya.
Kekentalan persahabatan inilah membuat suatu ketika saya berjanji jika suatu saat Bang As meninggal, saya akan membawa kain tenun NTT untuk menutup jasadnya sebagai tanda bahwa Bang As telah meletakkan dasar perjuangan toleransi di bumi NTT. Bang As telah mengambil peran dari potensi yang ia miliki dan memberi diri menjadi fasilitator dan motivator bagi para Aktivis di NTT.
Ini menjadi catatan penting yang harus diteruskan dalam kerja-kerja perjuangan penegakkan demokrasi dan hak asasi manusia, melalui penguatan dan penyadaran hak-hak masyarakat. Ini juga tetap yang tertanam dan menjadi jati diri saya, termasuk ketika dua periode saya terpilih menjadi anggota dan juga pimpinan DPRD Kabupaten Kupang. Jiwa empati untuk mendengar dan ada bersama masyarakat tetap menjadi jati diri saya dalam membangun NTT, khususnya di Kabupaten Kupang.
Bang As juga menjadi salah satu pelaku sejarah yang merintis lahirnya Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia atau JK-LPK di Regional NTT dalam lingkup Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Gereja Kristen Sumba (GKS). Dan untuk itu pada tahun 1997 dengan mempercayakan YAO untuk menyelenggarakan KONAS JKLPK Indonesia V dengan menghadirkan H. Said Aqil Zirats yang waktu itu selaku sekretaris NU.
Sebagai sahabat, Bang As memberi motivasi bagaimana kami harus terus berada dalam gerakan perjuangan rakyat melawan berbagai bentuk ketidakadilan. Masyarakat harus terus didampingi untuk membangun kesadaran dan daya kritis atas hak-hak yang dimiliki yang dijamin undang-undang. Karenanya pengorganisiran harus menjadi kunci dalam proses-proses penguatan masyarakat agar mereka paham tentang pembangunan sebagai ikut serta dalam berdialog dengan mereka yang terasing, terlupakan, terpinggirkan dan terkebelakang.
Apa yang ditanamkan Bang As ini bagi saya dan para aktivis LSM di NTT telah menjadi sebuah spiritualitas pembebasan. Spiritualitas ini menjadi kekuatan yang membuat kita tetap bersemangat untuk terus belajar memperkuat diri untuk kerja-kerja advokasi yang semakin kompleks, dengan berbagai pengetahuan dan informasi. Tetapi di sisi lain spiritualitas ini juga memperkuat empati kita untuk ada dan berjuang bersama masyarakat. Karena itu spiritualitas ini harus mampu mendorong kita untuk memiliki daya kritis dalam menganalisis berbagai situasi sosial politik yang berkembang agar kita betul-betul memahami konteks perjuangan yang dilakukan. Dengan begitu spiritualitas ini tidak berhenti pada diri kita tetapi dapat diteruskan ke masyarakat, memperkuat mereka untuk secara mandiri berdaya mengadvokasi berbagai masalah sosial yang mereka hadapi.
Terima kasih Bang As. Bagi kami aktivis LSM di NTT, buah pikiranmu adalah inspirasi dan aspirasi kami dalam berjuang tanpa lelah bagi mereka yang terpinggirkan, goresan tanganmu adalah amunisi yang menjadi bekal kami dalam melakukan pendampingan dan pengorganisiran mereka yang tertindas, lelah dan keringatmu telah menjadi nadi perjuangan kami dengan mereka yang tercecer, tapak kakimu adalah kebanggaan kami dalam berjuang dengan mereka yang tersisih, berkat dampinganmu kami telah mampu membuat banyak masyarakat tercerahkah dan berdaya.
Kami mengenangmu, Bang As, dengan penuh kesadaran bahwa kami tegak berdiri sampai saat ini untuk terus berjuang bersama rakyat lintas generasi. Waktu terus berlalu dan sebagian dari kami para aktivis LSM di NTT telah menyusulmu dalam keabadian, tapi pengetahuan, pengalaman, spirit dan semangat perjuangan yang telah ditanamkan dalam diri kami para aktivis, tak pernah lekang oleh waktu.
Di akhir tulisan ini saya ingin katakan bahwa spiritualitas hidupmu, Bang As, adalah spiritualitas pembebasan dalam perjalanan LSM di NTT.
Terima kasih Bang As. Hidupmu telah memberi hidup banyak orang lebih berarti.
Penguatan Gerakan Masyarakat Sipil di Lingkungan Lembaga Pelayanan Kristen
Oleh: Amin Siahaan
Asmara Nababan identik dengan perjuangan hak asasi manusia, tidak hanya di daerah, tetapi juga nasional. Di Sumatera Utara ia terlibat bersama Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Di aras nasional jejak Asmara ada di, antara lain, Infid, Elsam, Komnas HAM, Kontras, Demos, dan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK).
JKLPK merupakan keunikan tersendiri mengingat karakteristik JKLPK berbeda dengan lembaga lainnya. JKLPK adalah lembaga jejaring yang di dalamnya terdiri dari banyak Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) dari berbagai daerah dengan lintas isu. Antara lain advokasi, anak, disabilitas, pendidikan, pertanian, kesehatan, community developmenti, HIV-AIDS, perempuan.
Perbedaan ini bisa jadi mempengaruhi cara kerja Asmara Nababan yang juga turut membidani kelahiran JKLPK akhir periode 1980-an. Bersama aktivis lainnya dari berbagai daerah, Asmara mengikuti inisiasi Departemen Partisipasi Pengembangan PGI dalam Konsultasi Nasional LPK I pada 1988 dan Konsultasi Nasional II 1990, yang juga menjadi momentum lahirnya JKLPK. Setelah itu, Asmara Nababan dipercaya menjadi Kelompok Kerja (Pokja) JKLPK untuk beberapa periode. Di awal masa kepemimpinannya, JKLPK belum mempunyai kantor dan barang berharga yang dimiliki hanya mesin tik.
***
Mengapa Asmara Nababan tertarik dengan lembaga jejaring berbasis agama seperti JKLPK? Bisa jadi ini dipengaruhi pengalaman empiris beliau ketika mengorganisir masyarakat di Toba, Sumatera Utara. Ia melihat semangat oikumene hanya di atas kertas. Pada suatu kesempatan ia melihat dua gereja yang jaraknya berdekatan masing-masing mempunyai pipa untuk mengalirkan air. Padahal, dua gereja itu bisa saja kerja sama membuat satu pipa untuk digunakan bersama-sama. Jika antar-gereja saja masih ada sikap ego seperti ini, konon mau bersinergi untuk membantu rakyat yang termajinalkan.
Kegelisahan ini membawa Asmara untuk merefleksikan teologi lebih tajam. Asmara percaya teologi bukan hanya urusan surga atau penantian akan kehidupan baru setelah kematian. Baginya teologi yang hidup adalah yang kontekstual, teologia yang bisa menjawab masalah kekinian umat.
Teologi seharusnya tidak menjauhkan umat (gereja) dari masalah, utamanya yang menyangkut kehidupan dan kesejahteraan sosial. Contoh teologi yang hidup adalah seperti yang dilakukan oleh Yesus yang tegas membela orang-orang tertindas dan terpinggirkan. Perintah-Nya pun jelas seperti yang tertulis di Kitab Lukas 4:18-19 “Roh Tuhan ada pada-Ku oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitahukan tahun rahmat Tuhan telah datang”.
Dua ayat progresif ini oleh Asmara Nababan, dan aktivis Kristen lainnya, dijadikan landasan teologi bagi visi JKLPK.
Alasan lainnya, seperti dikatakan Asmara dalam satu tulisan lama, Lembaga-Lembaga Pelayanan Kristen membutuhkan satu jaringan yang luas dan lintas sektoral untuk bersekutu, meningkatkan kebersamaan dalam menanggulangi masalah-masalah sosial, ketidakadilan, dan kemiskinan sebagai wujud dari kesaksian, persekutuan, dan pelayanan dari tugas panggilan yang ditetapkan oleh sang kepala gerakan. Jaringan ini dibutuhkan untuk mendukung pelayanan gereja di tengah masyarakat demi hadirnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan merdeka.
Inilah tugas diakonia gereja yang sesungguhnya, yaitu gereja yang berpihak kepada penderitaan jemaat. Pemikiran Asmara ini tidak terlepas situasi jaman (zeitgeist) ketika itu, di mana konsep pembangunan Orde Baru tidak memihak rakyat kecil. Rakyat tidak memiliki ruang gerak (partisipasi). Kebijakan pembangunan adalah top down, rakyat harus menerima dan tabu untuk melakukan protes. Pembangunan Pancasila hanya jargon semata karena hanya memperkaya satu kelompok dan memarjinalkan kelompok masyarakat lainnya.
Tetapi bukan berarti jaringan ini akan mengambil alih tugas pelayanan gereja. Dari aspek teologi, panggilan pelayanan ditujukan kepada gereja seperti yang tertera di Kitab Kejadian 1: 26 (mengelola segala ciptaan) Kitab Yeremia 22: 3, Kitab Amos 14 dan 24, Matius 25: 31-35, Lukas 4: 18-21, di mana semuanya bernapas sama yaitu meminta gereja untuk turut serta mewujudkan kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan. Justru jaringan ini hadir untuk menjalin kerja sama dengan gereja-gereja, bukan hanya di tingkat nasional atau daerah, tetapi sampai di akar rumput. Asmara meyakini kerja sama ini dapat berjalan karena memiliki dasar pemahaman yang sama tentang tugas dan panggilan pelayanan di masyarakat.
Penguatan Gerakan Masyarakat Sipil
Pada masa kepengurusannya, Asmara Nababan menginginkan JKLPK terintegrasi dengan gerakan advokasi organisasi masyarakat sipil lainnya seperti YLBHI atau INFID. Ini tidak mudah. Seperti disebut di atas, JKLPK adalah lembaga jejaring yang terdiri dari banyak lembaga lintas sektoral yang memiliki perbedaan metode pelayanan dan strategi. Setidaknya ada empat kategori lembaga, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (sering juga disebut NGO), Unit Diakonia Gereja, Lembaga Pendidikan untuk Kesejahteraan Sosial, dan Lembaga Perubahan Sosial, Penelitian, Pendidikan, dan Kesehatan.
Organisasi yang terkategori LSM biasanya identik dengan pengorganisasian dan advokasi. Sedangkan mereka yang berada di bawah struktur gereja biasanya bergerak di pemberdayaan masyarakat (community development). Sedangkan lembaga seperti panti asuhan mengandalkan program-program karitatif (charity).
Perbedaan latar belakang lembaga, di satu sisi menjadi kekuatan JKLPK yang dapat merangkul banyak lembaga Kristen, tetapi di sisi lain menjadi “kendala”. Asmara Nababan membawa semangat hak asasi manusia ke JKLPK dengan tujuan lembaga-lembaga Kristen turut ambil peran untuk membela orang-orang tertindas. Semangat ini ia turunkan ke dalam visi-misi dan program kerja. Hanya saja dalam implementasinya tidak mudah. Hal ini karena secara umum, lembaga-lembaga Kristen yang tergabung di JKLPK adalah charity and community base.
Pendekatan struktural untuk menganalisis suatu masalah belum familiar. Karena itu, perlahan Asmara mulai mengenalkan pendekatan struktural sebagai metode analisis. Salah satu caranya adalah dengan membuat pelatihan hak asasi manusia kepada gereja-gereja yang jemaatnya mengalami kasus konflik tanah. Kepada banyak pendeta, Asmara mendorong mereka agar membaca teks ayat secara kontekstual sehingga mengena dengan kebutuhan jemaat. Pun mendorong gereja menyusun program tahunannya yang dapat menjawab permasalahan umat, terutama yang menyangkut kepentingan hidup mereka.
Tetapi cara ini tidak selalu mulus. Lembaga Pelayanan Kristen dengan isu anak, misalnya, berpandangan penguatan capacity building sudah cukup untuk mengatasi persoalan anak. Asmara berpendapat belum. Selain penguatan skill, Asmara mendorong mereka untuk menganalisis kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada anak dan mengadvokasinya. Jika tidak demikian, maka akar masalah di seputar kasus anak tidak terselesaikan secara tuntas. terpecahkan. Meskipun begitu, Asmara Nababan tidak memaksakan cara pandangnya. Ia menghormati lembaga yang masih mengedepankan kegiatan-kegiatan karitatif.
Kontribusi besar Asmara Nababan dalam rangka penguatan organisasi masyarakat sipil di lingkungan lembaga-lembaga pelayanan Kristen adalah mendorong mereka untuk menggunakan pendekatan struktural sebagai alat untuk menganalisis masalah atau kebijakan. Usaha ini perlahan mulai terlihat. Misalnya, Lembaga Pelayanan Kristen yang bergerak di isu disabilitas terlibat dalam advokasi RUU Penyandang Disabilitas.
Selain itu, Asmara Nababan mempunyai impian Lembaga Pelayanan Kristen dan gereja-gereja dapat berjejaring dengan organisasi masyarakat sipil dan organisasi lintas agama. Lembaga Pelayanan Kristen dan gereja harus menjadi bagian perjuangan masyarakat yang terpinggir dan tertindas akibat kebijakan/struktur yang tidak adil. Impian yang masih terus diperjuangkan hingga saat ini.
Kemanusiaan, Misi Utama Dan Terutama Agama-Agama
Oleh: A. Elga Joan Sarapung
“Asmara giat dalam berbagai pergerakan mahasiswa, serta membentuk dan menggerakkan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan nasib orang yang hilang, tertindas dan disingkirkan.”
(Pdt. S.A.E. Nababan)
Pintu Masuk Yang Tepat
Tidak mudah mencari “pintu masuk” untuk menuliskan bahan ini ketika pemikiran yang melatarbelakanginya terbatas pada soal-soal berkaitan dengan pluralisme agama dalam arti yang an sich saja, apa adanya secara jumlah, kuantitas perbedaan, bukan makna dan pemaknaan.
Padahal, apa yang dilakukan, dipraktikkan Bang As selama hidupnya adalah hal-hal yang sangat penting dalam urusan pemaknaan agama, beragama dalam hubungan dengan pluralisme agama, yaitu: “ketika perbedaan agama-agama yang sangat majemuk tidak terbatas pada soal-soal berkaitan dengan jumlah, apalagi dibatasi hanya pada soal mayoritas dan minoritas, tradisi, symbol, sejarah, melainkan pada pemaknaannya bagi kehidupan”. Artinya, perbedaan agama-agama, baik secara fisik, organisasi, tradisi, doktrin, sejarah, bukan sekedar perbedaan, tetapi penting untuk memberi makna atas aspek “so what”-nya. Karena itu, “perbedaan” merupakan kekuatan bersama yang positif dan konstruktif bukan negatif dan dipakai sebagai potensi destruktif.
Apa yang dikatakan oleh kakak Bang As, Pdt. S.A.E. Nababan yang saya sebutkan di atas, memperkuat pikiran saya untuk menjadikan hal tersebut sebagai “pintu masuk” membuat tulisan ini.
Bang As berada pada posisi “aktor” yang patut dijadikan contoh untuk itu. “Aktor” yang mempraktikkannya. Bagaimana sebagai orang beragama (dalam hal ini beragama Kristen) tidak terjebak selain pada eksklusifitas gerejanya, denominasinya, agamanya, tetapi bersama semua yang berbeda dan untuk semuanya.
Lebih dari itu, semangat inklusifisme dan pluralisme Bang As, adalah untuk kemanusiaan. Tentu pertanyaannya, apa yang mendorong, memotivasi Bang As menjadi seorang pembela mereka yang tertindas, yang hilang karena diculik, hilang begitu saja dan diperlakukan secara tidak manusiawi, membela hak-hak asasi mereka yang selalu menjadi korban, menentang ketidakadilan, dan lain sebagainya?
Dari satu-satunya sumber yang saya peroleh adalah buku terbaru dari kakaknya, Pdt. Soritua Nababan yang baru saja terbit, buku “Selagi Hari Masih Siang”. Catatan Perjalanan S.A.E. Nababan (Agustus 2020). Di dalamnya, antara lain diuraikan tentang siapa dan bagaimana kedua orang tua dari ke-11 bersaudara. Pdt. Soritua Nababan adalah anak yang ke-3 dan Asmara adalah anak bungsu, ke sebelas. Ayah mereka seorang aktivis, banyak bergiat di berbagai organisasi pemuda termasuk organisasi pemuda Kristen Indonesia, sementara ibu mereka adalah seorang pejuang hak-hak perempuan.
Dalam sebuah konferensi Pemuda Kristen Indonesia di Yogyakarta (sekitar tahun 1928), di mana ayah mereka hadir, mereka membahas tentang satu pokok penting, yaitu “Peranan Pemuda Kristen dalam Pergerakan Nasional.” Di situ ditekankan bahwa “tugas pemuda Kristen tidak terbatas dalam ruang lingkup kegerejaan saja, tetapi juga panggilan di tengah-tengah masyarakat dan bangsa”.
Boleh jadi, “message” yang penting ini menjadi “message” penting dari seorang ayah kepada anak-anak di kemudian hari mengingat “tradisi lisan” dan contoh praksis dalam kehidupan kekristenan keluarga sangat kuat, di mana orang tua menceritakan secara verbal pengalaman, pemikirannya kepada anak-anak dan anggota keluarga contoh konkrit dalam praktik kehidupan sehari-hari, apalagi Bang As kemudian mengikuti kuliah di Fak. hukum UI-Jakarta. Masa di mana, Bang As banyak bergaul dan bergiat dengan pemuda Kristen pada masa itu. Penting di sini, bahwa sejak dari dalam keluarga, pendidikan inklusif-pluralis sudah ditanamkan, karena itu, baik pemikiran maupun perilaku terbuka, inklusif yang menanamkan pada nilai-nilai sudah menjadi “modal” utama dari sosok seperti Bang As.
Antara Agama dan Beragama Dalam Wacana Dan Praksis
Dalam wacana (teologi dan non-teologi) serta gerakan interfaith yang dikembangkan Interfidei selama hampir 30 tahun (1991-2021), perbedaan agama-agama, tidak hanya dalam rangka perlu diakui, dihargai dan dijembatani dalam rangka membangun sebuah “jembatan damai” atau “jembatan perdamaian”, tetapi juga, bahkan penting sekali adalah, bagaimana mendorong dan menjadikan agama-agama, sekalipun berbeda sebagai kekuatan bersama untuk memaknai akar jawaban dari pertanyaan “mengapa agama ada” atau “mengapa agama yang ada itu berbeda-beda?” “Apa sebenarnya misi agama (-agama)?”
Tanpa harus masuk ke dalam soal “arti kata” secara bahasa, dimengerti bahwa setiap agama tentunya tidak turun begitu saja dari langit atau dari sebuah tempat, apa pun namanya, atas nama “wahyu”, tetapi melalui sebuah “proses ilahi” yang berkorelasi dengan konteks kehidupan di mana manusia ada. Karena itu setiap agama, apa pun, selalu hadir di dunia ini tidak tunggal, melainkan lahir, tumbuh dan berkembang. Konteks yang dimaksud : sejarah, sosial, budaya masyarakat tertentu, yang dipercayai ada campur-tangan ilahi melalui orang-orang tertentu, kemudian lahir, tumbuh dan berkembang, menyebar ke berbagai wilayah dengan konteks kehidupan masyarakat yang baru, lain, berbeda.
Pada saat itulah kemudian berjumpa, berdampingan dengan masyarakat yang beragama lain. Bahkan, umumnya, di berbagai tempat di mana kemudian agama-agama itu hadir dan diperkenalkan sudah ada “agama” atau “kepercayaan lokal” yang dilakoni oleh orang setempat. Dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan hal-hal tersebut lebih jauh, tetapi akan menekankan pada “perbedaan agama sebagai anugerah”.
Dalam agama Islam, biasa dikenal dengan istilah “sunatullah” (perbedaan sebagai rahmat) dan selanjutnya makna kehadirannya adalah “menjadi rahmatan lil-alamin”, menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia. Hal yang sama dipahami di dalam agama Kristen. Agama-agama yang berbeda-beda itu adalah sebagai “anugerah Allah” (bukan semata buatan manusia, tetapi “campur tangan ilahi”) dan karena itu agama memiliki tugas, misi, yaitu : “shalom eleichem” = yang membawa rahmat, kesejahteraan bagi seluruh umat manusia bahkan seluruh ciptaan Allah. Artinya apa? Agama, memiliki misi untuk menghidupkan setiap kehidupan yang ada di bumi ciptaanNya ini, bukan merusak, apalagi mematikan.
Misi agama-agama, tidak dalam arti sekedar menambah jumlah pemeluk agamanya dalam arti kuantitas dan karena itu yang dipentingkan hanya sebatas praktek-praktek ritual, tradisi dan menunjukkan simbol, institusi, tetapi harus sampai kepada pemaknaan substansi, kualitas, nilai-nilai.
Beberapa indikator dari keduanya, antara lain: yang pertama, agama hanya bersifat dan dipraktikkan untuk memenuhi tugas dan kebutuhan rutinitas saja, dan teks-teks, baik dalam kitab suci masing-masing, maupun konsep teologi hanya merupakan “alat penyerang” verbalistis atau bully, provokasi terhadap agama yang lain. Yang ke dua, Mengapa? Karena yang dipentingkan bukan pemaknaan dan relevansinya dalam kehidupan dan konteks kehidupan nyata sehari-hari.
Alhasil, out-come dari keduanya akan sangat berbeda. Yang pertama, akan tampak bahwa yang dipentingkan adalah menghafal ayat-ayat yang ada dalam kitab suci masing-masing, bahkan menafsir secara harafiah saja, dan soal-soal berkaitan dengan jumlah, kuantitas, baik jumlah anggota maupun jumlah rumah ibadah saja (bahkan bila perlu rumah ibadah yang mewah dengan biaya yang mahal), tanpa memiliki sensitivitas sosial dengan masyarakat yang adalah manusia di sekitarnya, mereka yang miskin dan papa. Sebagai efek dari cara beragama seperti ini, sudah pasti dalam kehidupan sosial-budaya akan sulit bergaul, apalagi menerima kehadiran mereka yang berbeda, baik intra maupun antar. Yang ke dua, mengetahui dan memahami teks-teks dalam kitab suci penting, tetapi tidak hanya dengan dan untuk dihafal melainkan diketahui, dipahami dengan baik, benar dan dimaknai dengan hikmat. Misalnya, mempertanyakan tentang, apa artinya, apa maknanya dalam kehidupan sehari-hari. Itu pun tidak dengan cara tafsir yang harafiah melainkan yang kontekstual, yang transformatif, moderat.
Cara seperti ini, dalam Gereja-Gereja Protestan sudah dikembangkan sejak tahun 1970-an. Bagaimana agar nilai-nilai kekristenan relevan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, di mana pun ia berada. Relevan, maksudnya, pemaknaannya bisa cocok, sesuai dengan kebutuhan kehidupan yang ada dalam konteks sosial, budaya masyarakat tersebut. Tidak dalam rangka untuk “mengkristenkan”, tetapi untuk “menghidupkan” apa adanya dia, mereka dengan alam di mana mereka berada sebagai manusia, individu dan sosial yang bermartabat, yang patut dihargai.
Karena itu, mulai pertengahan Abad ke-XX sampai sekarang, banyak terjadi perubahan paradigma dan praktek-praktek dari apa yang disebut “missiologi”, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.
Menurut saya, di kalangan Islam dan agama-agama lain pun, banyak terjadi perubahan paradigma dan praktek-praktek beragama atau keagamaan, selain soal inklusivisme dan pluralisme agama dan moderasi beragama, juga praktek-praktek di mana agama-agama didorong untuk menjadi kekuatan yang mengembalikan maknanya sampai ke akarnya, yaitu kemanusiaan dan perdamaian, di mana keadilan dan mental, semangat, komitmen dan integritas yang menghidupkan kehidupan seluruhnya semakin menguat. Walaupun tentunya tidak bisa dipungkiri, ada saja bermunculan kelompok-kelompok agama yang masih sulit menerima perbedaan, bahkan melihat perbedaan atau yang berbeda dengan penuh kemarahan dan kebencian seperti yang terjadi sekarang ini di Indonesia.
Antara agama dan beragama sebagai teori, konsep menjadi sangat berbeda dengan praktik, baik dalam soal menghargai perbedaan maupun dalam hal memaknainya dalam kehidupan nyata, sekalipun berbeda. Seakan-akan, agama dan beragama tidak memiliki kaitan dengan kemanusiaan manusia atau realitas kehidupan seluruhnya.
Dua hal inilah yang sekarang menjadi orientasi program dan aktivitas Interfidei : a) bagaimana setiap agama dan kepercayaan, dengan umatnya masing-masing dihargai dan saling menghargai, karena itu perbedaan perlu dikelola, membangun jembatan damai secara bersama untuk kebersamaan. b) bagaimana agar agama-agama yang berbeda bisa menjadi kekuatan bersama yang memberi rahmat, memberi hidup dan kehidupan bagi semuanya tanpa diskriminasi dan melanggar hak-hak yang satu terhadap yang lain.
Kemanusiaan Sebagai Titik Temu Demokrasi
Bila ditanya, apa hubungannya dengan praktik yang dilakukan oleh “sang aktivis kemanusiaan” seperti seorang Bang As?
Tanpa menelusuri secara khusus dan komprehensif tentang motivasi, dorongan seorang Asmara Nababan yang kemudian memilih menjadi seorang aktivis kemanusiaan dalam hubungan dengan hak-hak asasi manusia, keadilan dan kebenaran, bisa dipastikan bahwa apa yang dipraktikkan itu, beyond the so called agama dan beragama dan khususnya gereja dan bergereja.
Umumnya dalam praktik sehari-hari terbatas pada soal-soal institusi, organisasi, administrasi, fasilitas, fisik, material, bahkan statistik jumlah, baik rumah ibadah maupun umat. Hampir-hampir tidak memperlihatkan aspek makna dasar dan inti dari makna agama dan beragama, atau gereja dan bergereja, yaitu kemanusiaan, keadilan, kebenaran yang ujungnya adalah perdamaian.
Menurut Th. Sumartana, kawan baik dan seperjuangan bang As sebagai sesama aktivis di Jakarta pada tahun 1970-an, “Asmara Nababan adalah intelektual yang tidak ragu dalam berpihak meskipun kita tidak ragu aktivismenya dilandasi oleh pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk hukum yang dipelajarinya”. Walaupun dalam aktivitasnya, Sumartana lebih banyak pada soal-soal yang terkait dengan wacana intelektual dengan pikiran-pikiran kritis, khususnya Protestantisme di Indonesia dalam hubungan dengan agama-agama lain, terutama agama Islam, sementara Asmara memilih lebih sebagai aktivis lapangan.
Aspek makna dasar, inti, “roh” dari agama dan beragama, atau secara khusus, gereja dan bergereja, sampai saat ini masih menjadi harapan, apalagi di tengah semakin maraknya kepentingan politik yang meracuni agama-agama, tidak terkecuali gereja.
Agama dengan sangat mudah dipolitisasi, dan dipakai untuk kepentingan-kepentingan politik kekuasaan sesaat dan politik uang untuk mencapai harapan sekelompok orang yang dalam berpolitik tidak memiliki prinsip, yaitu nilai-nilai kehidupan : kejujuran, nurani, solidaritas, keadilan, kebenaran, damai. Sehingga, sudah pasti tidak sampai kepada tahap refleksi : apa yang menjadi pembelajaran dan karena itu penting sampai kepada perbaikan, perubahan.
Padahal, dalam konteks Indonesia, di mana masyarakatnya sangat majemuk karena berbeda-beda, tanpa politik yang memiliki prinsip nilai-nilai tersebut, tentunya akan mudah untuk “saling mendukung” dengan paradigma agama dan beragama serta praktek beragama yang dangkal, terbatas pada soal-soal statistik, kuantitas, simbol semata, lalu, aspek pemaknaan menjadi semakin jauh.
Dalam kaitan dengan pemikiran tersebut, jangan-jangan apa yang dilakukan oleh seorang Asmara Nababan dilihat dan dimengerti secara parsial, seakan-akan terpisah dari keseriusannya memaknai agama dan beragamanya, sekalipun secara tidak langsung harus memakai “label“ atau “identitas” agamanya dan memang tidak perlu. Yang diperlukan adalah, apakah perilaku, praktik hidupnya benar-benar menjalankan keberpihakan kepada mereka yang lemah, yang tertindas, yang korban, yang hak-haknya sebagai manusia, sebagai warganegara ditindas dan diperlakukan dengan tidak adil bahkan tidak benar.
Pada titik inilah, kemudian, bersama dengan Th. Sumartana dan teman-teman di ISAI (Stanley dan kawan-kawan) mendirikan DEMOS.
Bagi seorang Asmara Nababan, “demokrasi adalah hak-hak asasi manusia. Tidak ada
demokrasi ketika hak-hak asasi manusia dilanggar. Mengakui hak-hak asasi manusia secara otomatis mengakui, bahwa dalam berdemokrasi, semua warga Negara, tanpa terkecuali berkedudukan setara. Penghilangan atau penyingkiran seseorang atau sekelompok orang semata karena alas an perbedaan agama, suku-bangsa, kelas sosial dan ekonomi, orientasi seksual dan jenis kelamin harus ditentang karena mengingkari hak asasi paling dasar seorang manusia”.
Pada waktu yang sama, Sumartana, dengan paradigma dan pendekatan lain, mengarah dan menyatu pada intinya, yaitu : demokrasi. Tidak ada demokrasi bila tidak mengakui dan menghargai perbedaan, bahkan mendiskriminasi yang lain hanya karena menjadikan “mayoritas-minoritas” sebagai dasar ukuran, lagi-lagi soal “jumlah”, kuantitas. Pada titik inilah, selain karena pertemanan, mereka memiliki keprihatinan, spirit dan karya yang sama : bagaimana kemanusiaan manusia Indonesia, yang adalah warga Negara Indonesia yang majemuk bisa hidup bersama dan menjadi kekuatan bersama yang saling menghargai, tanpa diskriminasi, untuk membangun dan mengembangkan kehidupan berbangsa secara bersama-sama untuk kepentingan bersama.
Pembelajaran Untuk Besok
Demokrasi di Indonesia saat ini dan di masa mendatang (bakal) mengalami tantangan
bahkan ancaman serius. Artinya, soal-soal yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, perbedaan dalam kemajemukan semakin tidak mudah dibela, diperjuangkan, dikelola bila agama (-agama) sekaligus perbedaan agama tidak dilihat, dimengerti, diperlakukan, dihargai dan dimaknai sebagai kekuatan untuk kemanusiaan, untuk keadilan dan perdamaian.
Indonesia adalah sebuah negara, bangsa yang mengakui bahwa agama merupakan “sumber” mental, moral, spiritual bangsa dan kemajemukan agama merupakan kebanggaan sekaligus potensi bangsa, tentu diharapkan tidak hanya sampai pada titik kebanggaan yang diucap karena soal kuantitas, data, statistik – tetapi wujud, makna yang konkret. Apa artinya itu bagi kehidupan sejak dari keluarga, komunitas, masyarakat, bangsa?
Ketika agama dan beragama menjadi kenyataan yang memberi makna substantif, makna nilai-nilai kepada kehidupan, pada saat itu, orientasi perjuangan hak-hak asasi manusia, demokrasi, selalu akan berada pada kepentingan bersama, yaitu kemanusiaan: membela yang lemah, yang terdiskriminasi, yang korban ketidakadilan, ketidakbenaran, ketidakjujuran. Itulah agama dan beragama, tanpa harus dipertunjukkan secara demonstratif dengan menjalankan ritual secara rutin, dan sebatas berbangga dengan menambah statistic umat atau gedung, melainkan praktik, tindakan konkret yang mementingkan nilai-nilai kehidupan.
Pertanyaannya, tantangan dan ancaman yang ada dalam bentuk apa? Pertama, sampai sejauh mana komitmen individu dan sosial bisa konsisten dan bermuara pada integritas yang teguh. Artinya, tidak mudah dipatahkan oleh kepentingan politik kekuasaan dan ekonomi, bahkan politik “mayoritas-minoritas” yang justru diskriminatif dan memecah-belah. Ke dua, tidak hanya bicara, tetapi laku yang konkrit dalam hal keberpihakan kepada yang lemah, yang korban sekalipun ancaman selalu ada.
Ke tiga, di era digitalisasi dan serba milenialis, di mana media sosial sangat berperan penting, dan membuat semakin banyak orang bermental “ketergantungan” pada media sosial, maka daya kritis, positif dan konstruktif semakin penting, yang di dalamnya tidak mudah terprovokasi, dan pada waktu yang sama, tidak mudah menjadi provokator yang merusak kehidupan bersama dengan saling percaya yang terbuka, obyektif. Ke empat, sekali lagi, agama dan beragama, kiranya tidak dibiarkan terjebak pada gurita menjadi komoditas politik, dan karena itu hanya sebagai “media” kekerasan, konflik dan pemecah-belah bangsa, melainkan sebagai “media” yang menjadi pemberi inspirasi positif, semangat konstruktif untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan, membela mereka yang lemah, yang korban, dengan cara-cara damai untuk kemanusiaan dan perdamaian.
Bang As sudah memberi contoh!
TENTANG PARA PENULIS
Agung Putri Astrid adalah seorang sosiolog, pekerja HAM dan politisi. Perhatiannya luas pada masalah HAM, sosial dan budaya. Anggota DPR RI periode 2014- 2019 dan Direktur ELSAM 2006-2010. Saat ini adalah staf khusus menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Menyelesaikan studi S1 di Fisip Unair dan S2 di ISS Belanda dan diploma Transitional Justice di Capetown University. Email: aputri.jakarta@gmail.com; Ig: @3agungputriastrid; FB: agung putri
Al Araf, adalah doktor ilmu hukum adalah Direktur Eksekutif dari Imparsial yang banyak bergelut dalam mengawal reformasi TNI. Pengajar di berbagai universitas seperti Universitas Brawijaya dan Universitas Bhayangkara ini telah memproduksi belasan buku dan esai baik di jurnal-jurnal maupun surat kabar. Di antaranya “Reformasi TNI” dalam buku Alamanak Reformasi Sektor Keamanan 2007, Jakarta: Lesperssi, Federal Republic of Germany Foreign Office dan DCAF, 2007, Penebaran Kebencian: Studi Pengaturan Penebaran Kebencian di Indonesia, Jakarta: Imparsial, 2015, (Bagian dari tim penulis) dan Demokrasi Minim Kontrol, Jakarta: Imparsial, 2018.
Amin Siahaan, lahir di Bogor 1984. Mendapatkan gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU). Pengalaman kerja diawali di Lentera Rakyat, salah satu NGO lokal di Labuhan Batu, Sumatera Utara, yang fokus di isu buruh perkebunan sawit. Sejak akhir 2014 hingga sekarang aktif di Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK), sebuah lembaga jejaring yang terdiri dari berbagai Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) lintas isu seperti advokasi, anak/LKSA, perempuan, disabilitas, kesehatan, HIV-AIDS, pertanian/pangan. Sejak 2019 dipercaya menjadi Direktur Eksekutif dan saat ini tinggal di Jakarta.
Augustinus Rumansara. adalah seorang aktivis gerakan sosial dari Papua alumni dari Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Pada 1986 ia mendirikan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa serta. Ia melanjutkan studi S2 di Belanda (ISS) mengambil studi politik pembangunan alternatif. Sesuai studi ia menjadi Sekretaris Jendral Inter-NGO Conference on IGGI Matters (INGI) yang kemudian berubah menjadi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Ia kemudian menjadi salah satu pimpinan di Asian Development Bank (ADB) meneruskan advokasi mengenai partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan bank-bank dunia termasuk ADB. Setelah itu ia bergabung di British Petroleum.
Elga Joan Sarapung, memiliki nama lengkap Augustina Elga Joan Sarapung lahir di Gorontalo pada 1 Agustus 1961. Menyelesaikan S-1 Teologi di Fakultas Teologi UKIT Tomohon 1985; Ecumenical Study di Ecumenical Institute di Bossey, Geneva, Switzerland pada 1988; S-2 Fakultas Theologia di Universitas Groningen Negeri Belanda pada 1991. Ia mengikuti berbagai kursus tentang conflict resolution, peace building, human rights, dan lain-lain baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ditahbiskan menjadi pendeta pada Agustus 1986 dan menjadi Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo (GPIG), menjadi pendeta Mahasiswa di Universitas Groningen, Negeri Belanda(1989/1990),;Direktur Institut Dialog Antar-Iman di Indonesia (Institut DIAN/INTERFIDEI) di Yogyakarta; Wakil Ketua Board Yayasan YAPPIKA Action AID, Jakarta, Executive Comittee Member dan Governing Board Member dari Religions for Peace-Asia, Tokyo; fasilitator dari Religions for Peace International, New York; dan koordinator Jaringan Antariman Indonesia (JAII), Yogyakarta. Ia juga aktif di berbagai kegiatan dan menulis sejumlah buku. Srjak 2006 hingga sekarang menjadi tenaga ahli dalam POKJA Interfaith di M21, Indonesia dan Gereja- Gereja di Switzerland.
Galuh Wandita, mulai bekerja dan menulis tentang gender, perdamaian dan konflik sejak tahun 1990-an, pada saat ia bekerja dengan Oxfam dan PIKUL di wilayah Indonesia Timur. Pada 1998 ia ikut mendirikan organisasi perempuan pertama di Timor Leste yang bekerja untuk isu kekerasan terhadap perempuan, Fokupers. Setelah menjadi Wakil Direktur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste, ia bergabung dengan International Center for Transitional Justice (ICTJ) untuk Indonesia dan Timor-Leste. Pada 2012, ia ikut mendirikan Asia Justice and Rights (AJAR). Ia aktif sebagai anggota berbagai organisasi HAM, dan menjadi penasehat untuk berbagai komisi kebenaran di Asia. Galuh memegang gelar Masters of International Human Rights Law dari Universitas Oxford (2006).
Gomar Gultom, lahir 8 Januari 1959 di Tarutung. Ia adalah pendeta HKBP yang saat ini bertugas sebagai Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), banyak terlibat dalam kegiatan antar-iman dalam upaya mempertahankan kerukunan yang otentik di tengah kecenderungan berkembangnya intoleransi yang mengancam keberagaman Indonesia. Sejak bergabung dengan PGI pada 2005, banyak terlibat dalam advokasi HAM di aras nasional dan internasional, khususnya yang terkait dengan hak-hak kelompok minoritas, masyarakat marjinal dan pluralisme. Aktif di Indonesia Conference on Religious and Peace (ICRP) dan menjadi anggota Central Board dari Inter Religious Council Indonesia (IRC). Selain itu juga menjadi anggota Dewan Kehormatan Pusat DPP Peradi dan anggota Komisi Dewan Gereja-gereja se Dunia untuk Misi dan Pekabaran Injil (CWME-WCC).
Ifdhal Kasim, menyelesaikan studi hukumnya di Jurusan Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, 1990. Setelah menyelesaikan studi hukumnya, ia memilih berkarir pada profesi hukum. Kemudian mengikuti pendidikan lanjutan, antara lain international human rights advocacy (Montreal, Canada, 1995), international human rights law, (Law School Columbia University, New York, USA, 1997-1998); Training on Economic and Social Rights (Forum Asia and Canadian Human Rights Foundation, Bangkok, 1999); Training on International Convention on the Rights of Child (Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB, Bangkok, 2002); International Criminal Law (Oslo University, Norway, 2006); dan Transitional Justice Course, (New York Law School, New York, USA, 2007). Perjalanan karirnya di bidang hukum dimulai dengan berkecimpung di dunia pembelaan hukum (dengan membantu LBH Yogyakarta) dan membuka law office di Solo (1991); kemudian bergabung ke Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) pada 1993, sampai akhirnya menjadi Direktur Eksekutif di lembaga ini (1999-2006), kemudian bekerja di Reform Institute sebagai direktur program hukum dan legislasi (2005-2007), Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2007-2009), dan Tenaga Ahli Utama Kantor Kepala Staff Presiden (2015-2019).
Danang Widoyoko, menyelesaikan pendidikan S-1 dari Fakultas Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, S-2 sosiologi FISIP UI dan saat ini tengah menyelesaikan program S-3 di Australian National University, Canberra, Australia. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, bagian dari organisasi non-pemerintah global untuk memberantas korupsi melalui promosi transparansi dan akuntabilitas di sektor publik dan swasta. Sebelumnya ia berkecimpung dalam gerakan anti-korupsi sejak 2000. Pada tahun 2009-2014, ia menjadi Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW).
Josef Purnama Widyatmadja, lahir di Kudus, alumni Sekolah Tinggi Teologi Duta Wacana Yogya dan University of Edinburgh. Aktivis, rohaniwan dan pengamat sosial ini tinggal di Surakarta. Pernah menjadi Sekertaris Umum YBKS Solo 1974-1999, sekretaris eksekutif Urban Rural Mission Christian Conference of Asia di Hong Kong 1999-2007, pengurus INGI dan INFID. Saat ini menjadi sekertaris eksekutif Center for Development and Culture (CDC). Menulis beberapa buku dan artikel di media nasional tentang masalah sosial dan pembangunan, di antaranya Kebangsaan dan Globalisasi dalam Diplomasi, The Spirit of Bandung, Asia Africa Spirit Amid Globalization, Yesus dan Wong Cilik, dan Altar dan Latar.
Kamala Chandrakirana adalah seorang feminis pegiat HAM, keadilan sosial dan demokrasi. Ia sempat ikut memimpin Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (1998-2009) dan menjadi bagian dari mekanisme pelaporan independen dari Komisi Hak-hak Asasi Manusia PBB di Jenewa untuk isu diskriminasi terhadap perempuan (2011-2017). Ia juga berperan sebagai koordinator bagi Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) untuk kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan jadi salah satu penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kamala juga berkiprah dalam sejumlah organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal, nasional dan internasional, seperti Tanoker, ELSAM dan Musawah: Global Movement for Equality and Justice in the Muslim Family. Kamala sedang mengembangkan cara-cara baru untuk membangun keswadayaan dan keberlanjutan dari kerja-kerja gerakan sosial melalui lembaga sumber daya ‘Indonesia untuk Kemanusiaan’, organisasi regional pendukung perempuan pembela HAM yang bernama ‘Urgent Action Fund for Women’s Human Rights Asia and Pacific’, serta, jaringan ‘activist funds’- bernama Foundations for Peace – yang bekerja dalam konteks konflik dan pasca-konflik di tempat-tempat seperti Irlandia Utara, Serbia hingga Palestina dan Srilanka.
Lena Simanjuntak Mertes, lahir di Bandung 6 Februari 1957, kuliah di pendidikan teater di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sejak 20 tahun lalu mengembangkan metode Teater sebagai media pendidikan dan penguatan/pemberdayaan rakyat, khususnya perempuan, di Indonesia. Sejak 2013 hingga sekarang, bersama Pusat Latihan Opera Batak, mengadakan pentas keliling Opera Batak di tingkat nasional maupun internasional dengan judul “Perempuan di Pinggir Danau” yang mengangkat isu air bersih di masa depan. Kini tinggal di Köln, Jerman dan aktif di Lembaga Persahabatan Indonesia-Jerman (Deutsch- Indonesische Gesellschaft), sebuah lembaga yang telah berumur 70 tahun.
Masro Delima Silalahi, MA, lahir pada 12 Juli 1976 di Siborong-Borong, Taput, 12 Juli 1976, menamatkan pendidikan dari Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Sumatera Utara (USU) dan S2 Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Gajah Mada ((UGM) pada 2015. Mengikuti berbagai pelatihan dan pendidikan non-formal terkait isu-isu sosial, politik, hukum dan HAM di dalam dan di luar negeri. Sejak 1999 hingga sekarang bekerja di Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Saat ini menjabat sebagai direktur program KSPPM.
Mohammad Choirul Anam, biasa dipanggil Anam, adalah anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2017 – 2022. Sebelumnya ia adalah sekretaris eksekutif Komite Solidaritas Untuk Munir (KASUM). Ia adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang punya pengalaman panjang di bidang hukum dan advokasi berbagai persoalan hak asasi manusia. Berkecimpung di berbagai organisasi hak asasi seperti LBH, YLBHI, VHR, sebagai Plt Direktur Eksekutif HRWG. Ia menyelesaikan studi S1 di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya dan mengikuti sejumlah training internasional.
Pardamean Ronitua Harahap, lahir di Medan 21 Oktober 1958. Ia menjadi redaktur Divisi Penerbitan Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas) serta Redaktur dan kemudian Pemimpin Redaksi Majalah Optimis (Himpunan Masyarakat Pencinta Buku) 1981-1983; Pemimpin Redaksi Penerbit PT Pondok Press 1983-1984; Redaktur PT Pustaka Sinar Harapan 1984-1986; Pemimpin Usaha Majalah Kawanku 1987-1990; Pemimpin Redaksi Penerbit PT Iron Damwin Sentosa 1991-1997; Konsultan pada Asian Business Consultants 1997-2008; Staf Khusus Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2009-2011; dan Staf Khusus Menteri Enerji dan Sumber Daya Mineral 2011-2013. Saat ini menjadi editor free-lance dan penulis biografi serta vlogger (Kanal Youtube “Mendidik Anak Itu Asyik”).
Rainy MP Hutabarat, saat ini adalah Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020-2024, Ketua Tim Advokasi Internasional, Komnas Perempuan.
Dr. Remy J Leimena MHA, bekerja sebagai dokter residen di Jakarta, Indonesia, menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Umum di Rumah Sakit Kristen Swasta Cikini, dan sebagai CEO untuk Rumah Sakit Pendidikan Umum di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen (UKI). Memimpin Program Manajemen Rumah Sakit AusAID khusus untuk Masyarakat Indonesia dan pemegang Cert IV dalam Perawatan Kesehatan (Ambulans). Ia juga anggota layanan paramedis yang memberikan perawatan dan pelatihan pra-rumah sakit. Dedikasinya kepada masyarakat dan kemauan untuk membantu dan melayani sejalan dengan Yayasan Tomorow Start Today (TST) sebagai direktur dalam misi dan visi secara langsung.
Roichatul Aswidah, menjadi Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada periode 2012-2017. Sebelumnya, Roichatul Aswidah menjadi staf Komnas HAM selama 15 tahun (1995-2009) lalu menjadi Deputi Riset pada Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (DEMOS) pada 2009-2012. Saat ini Roichatul Aswidah menjadi Anggota Badan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Roichatul Aswidah menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan pendidikan S-2 pada program MA, Human Rights Theory and Practice, University of Essex, United Kingdom.
Sandrayati Moniaga, saat ini adalah Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM dan satu-satunya perempuan dari tujuh Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Periode 2017-2022. Sebelum bergabung dengan Komnas HAM, Sandrayati bekerja dan mengembangkan beberapa organisasi non pemerintah, antara lain WALHI, LBBT Pontianak, ELSAM, ICEL dan HuMa
Saparinah Sadli, lahir pada 4 Agustus 1927 di Tegalsari, Jawa Tengah. Ia memulai karier di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, di mana ia juga meraih gelar doktornya. Pada 1985 dinobatkan menjadi Guru Besar. Pada 1990 ia mendirikan dan memimpin Program Studi Kajian Wanita, program pascasarjana Universitas Indonesia. Dedikasinya sebagai akademisi maupun aktivis telah membuahkan beberapa penghargaan, di antaranya “Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas” pada tahun 2009, “The Asia Special Lifetime Achievement Award” pada 2008, “Anugerah Hamengkubuwono IX” dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2004, dan Rooseno Award pada 2017. Ia memiliki komitmen pada perjuangan perempuan untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi ditunjukkannya saat merintis bersama-sama dengan gerakan perempuan dan menjadi ketua pertama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 1998-2004. Ia juga merupakan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 1996-2000 dan juga terpilih dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Soekirman, lahir 6 April 1955 di Desa Tualang, Perbaungan Serdang Bedagai, tapi besar Desa Pagar Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang. Tamat SD Negeri Pagar Jati (1968), SMP Negeri Lubuk Pakam (1971), STM Negeri Jurusan Pertanian (1974, kuliah di Fakultas Pertanian USU (1975-1983). Ia sempat menjadi guru di sekolah asal STM Negeri Lubuk Pakam (1980). Setelah itu menjadi dosen di Fakultas Pertanian USU, sambil bergiat di beberapa organisasi LSM. Menikah dengan Marliah boru Panggabean dan dikaruniai 5 anak laki-laki. Ia bersahabat dengan mayoritas orang Batak dan sangat suka mendalami budaya Batak, sehingga ‘Puja Kesuma’ ini, Putra Jawa Kelahiran Sumatra, sering digelari ‘Sijabat’ (Jawa-Batak), Fasih berbahasa Batak, termasuk ‘marumpama dohot marumpasa’. Pada 2017 mendapatkan anugerah Penghargaan Sastra Rancage dalam katagori Kehomatan, karena menulis cerita pendek dalam bahasa daerah (Batak) yang bukan bahasa ibunya. Belakangan sering memakai gelar Soekirman Ompu Abimanyu, gelar seturut dengan nama cucu yang sulung. Ia pernah menjabat Wakil Bupati Serdang Bedagai (5 Agustus 2005 hingga 16 Juni 2013), Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Serdang Bedagai dari 16 Juni 2013 sahat tu 5 Juli 2013. Dilantik jadi Bupati sampai dengan pertengahan tahun 2015. Melalui Pilkada Desember tahun 2015, Soekirman terpilih menjadi Bupati Serdang Bedagai untuk periode 5 taon (2016-2020). Saat ini sedang berkemas kembali menghadapi Pilkada.
Sugeng Bahagijo, lahir 1967 di Tuban, Jawa Timur, menamatkan pendidikan di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM), peneliti magang di Human Rights Watch, IDS Sussex University Inggris dan UCL Belgia Mengenal dan bekerja bersama Asmara Nababan sejak 1994 . Mengedit buku bersama Asmara Nababan Hak Asasi Manusia: Tanggungjawab Negara, Peran Institusi Nasional dan Masyarakat (1999). Kini bekerja sebagai direktur pelaksana di International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Salah satu tugasnya adalah memimpin dan mengembangkan program Kab/Kota HAM, Open Government, pengurangan Ketimpangan sosial ekonomi, dan pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan-2030 (SDG’s 2030).
Sofia Malelak de-Haan, lahir di Kupang pada 28 Desember 1961, lulus dari Fakultas Ilmu Administrasi Undana. Ia memilih meninggalkan profesi dosen di Universitas Nusa Cendana Kupang dan menjadi aktivis LSM pada Yayasan Alfa Omega selama 30 tahun. Pada 2014 menjadi anggota DPRD Kabupaten Kupang dan sekarang dalam periode ke-2 duduk sebagai Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Kupang. Pernah menjadi Anggota Badan Pengurus Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JK-LPK) di Indonesia 3 periode 1995 – 2001, anggota Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja di Indonesia (Mitra MPL PGI utusan Non Pendeta) periode 1996 – 2000, anggota Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor 2 periode 2007 – 2015, Ketua Badan Pengurus Yayasan Alfa Omega sampai saat ini. Berkecimpung dalam berbagai organisasi keagamaan, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan.
Stanley (Yosep Adi Prasetyo), arek Malang alumnus Fakultas Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana (UKS) Salatiga, juga pernah belajar Ekonomi Studi Pembangunan. Selain pernah berkecimpung di dunia akademisi dan penelitian, lama berpengalaman di dunia jurnalistik sebagai wartawan, redaktur, pelatih wartawan, dan ombudsman di beberapa media cetak, serta menjadi mediator. Juga terlibat di beberapa organisasi dan lembaga swadaya masyarakat. Ia juga pernah bergabung dalam kelompok pakar yang menyusun naskah akademis RUU TNI pada tahun 2000 dan penyusunan naskah akademis dan RUU intelijen pada 2002 serta bergabung di kelompok kerja Reformasi Polri. Pada 2007-2012 Yosep Adi Prasetyo terpilih menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan menjadi Wakil Ketua. Selepas dari Komnas HAM menjadi Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Periode 2013-2016 dan kemudian menjadi Ketua Dewan Pers Periode 2016-2019. Juga terlibat di beberapa organisasi, baik Ornop maupun organisasi profesi. Kini, selepas dari Dewan Pers, kini aktif membantu Tim Media Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dan menjadi pembicara di beberapa sejumlah acara.
Usman Hamid, adalah Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dan saat ini mengajar di Indonesia Jentera School of Law. Pada 2016, ia menyelesaikan studi MPhil di Australian National University, Canberra, Australia. Pada 1998, ia adalah aktivis mahasiswa Universitas Trisakti di mana empat mahasiswanya ditembak mati — peristiwa ini memicu protes nasional yang menggulingkan rezim Soeharto. Ia kemudian menjadi koordinator KontraS, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan dan bergabung dengan Federasi Asia Melawan Penghilangan yang berbasis di Manila. Pada 2004, ia menjadi anggota Tim Pencari Fakta Presiden yang menyelidiki pembunuhan tokoh pembela HAM Munir. Dari 2010 hingga 2012, ia adalah penasihat ahli Pusat Internasional untuk Keadilan Transisi dan menjabat sebagai pelatih keamanan untuk Pembela Garis Depan. Pada 2011 ia diangkat ke Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Manajemen Pembangunan, di mana ia meninjau Rencana Aksi HAM Indonesia 2011-2014. Pada 2012 ia ikut mendirikan Public Virtue – Institute for Digital Democracy dan Indonesian Branch of Change.org, platform petisi online terbesar di dunia. Dia memegang fellowship di Columbia University (2003) dan Nottingham University (2009).
Wahyu Susilo, sejak mahasiswa aktif dalam advokasi melawan penggusuran waduk Kedung Ombo, mendirikan ornop Energi untuk Rakyat (GIAT) untuk menentang pembangunan pusat listrik tenaga nuklir (PLTN) di semenanjung Muria Jepara. Pada 1996 bermigrasi ke Jakarta, bekerja di Solidaritas Perempuan (SP)) hingga 2001, aktif di Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia dan KAPAL Perempuan. Pada 2004 mendirikan Migrant CARE dan aktif di INFID sebagai project officer advokasi MDGs. Sejak 2017 menjadi Direktur Eksekutif Migrant CARE.
Zoemrotin K Susilo, sejak 1976 aktif di gerakan konsumen dan ikut membesarkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pada 1994 menjadi Ketua International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Asmara Nababan yang menjadi Sekretaris Jendralnya. Ia terpilih menjadi wakil ketua Komnas HAM Periode 2002-2007. Sejak 2001 hingga saat ini aktif di bidang Kesehatan Reproduksi Perempuan dan sejak 2012 aktif melakukan advokasi Penghentian Pernikahan Anak. Pada 2015 ia ikut melakukan yudisial review terhadap UU Perkawinan No 1/1974.
Tim Kerja Peringatan 10 Tahun Kepergian Asmara Nababan
- Amin Siahaan (JKLPK)
- Antonio Pradjasto (Demos)
- Angela Manihuruk (KSPPM)
- Aviva Nababan (Keluarga)
- Delima Silalahi (KSPPM)
- Eliakim Sitorus
- Florence (INFID)
- Irma Riana (UEM)
- Jacky Manuputty (PGI)
- Magdalena Sitorus (Keluarga)
- Phil ArthaSena (Yakoma PGI/PGI)
- Ridayani Damanik (PGI)
- Ronald Rischardt (PGI)
- Sahat Pandiangan (JKLPK)
- Sugeng Bahagijo (INFID)
- Yohanes da Masenus Arus
- Yosep Adi Prasetyo (Demos/ELSAM)
- Wahyu Wagiman (ELSAM)
- Janrival Adiman Silalahi (PGI)