Oase Bagi Setiap Kegelisahan
Buku ini diinisiasikan oleh teman-teman muda Asmara Nababan yang berada di DEMOS, KONTRAS, ELSAM, INFID, dan KOMNAS HAM sebagai kejutan, yang kala digagas akan dipersembahkan pada saat ia merayakan ulang tahunnya ke 65 (2 September 2011). Kejutan itu untuk memberi penghargaan dan menghormati Bang As. Sayangnya beliau berpulang pada tanggal 28 Oktober 2010.
Inisiatif penulisan dan penerbitan atas perjalanan hidup Asmara Nababan diharap dapat memberi inspirasi bagi gerakan sosial dalam mengembangkan masyarakat sipil yang lebih kuat. Dengan memotret kembali perjalanan Bang As di berbagai komunitas aktivis KSPPM, Infid, Elsam, Kontras dan Demos, dimana Bang As berada di dalamnya, memungkinkan adanya refleksi atas perjalanan gerakan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Bercermin melalui Bang As, yang ruang lingkup jaringannya begitu luas, aktivis hak asasi manusia maupun civil society Indonesia termasuk akademisi diharap dapat memetik pembelajaran dalam menggapai cita-cita akan masyarakat demokratis dan berperikemanusiaan.
Dikutip dari http://bit.ly/BukuOasediNeliti
Buku ini dapat dikutip sebagai berikut: Anto, J., and P. Hasudungan Sirait. Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan. Edited by Hartiningsih, Maria, and Stanley A. Prasetyo, 2nd ed, Indonesian Centre for Democracy and Human Rights, 2011.
Pengantar
Jika demikian apakah kemudian buku yang berpusat pada seorang tokoh yaitu Bang As, demikian Asmara Nababan biasa dipanggil, ini dapat memberi sumbangan bagi kita semua, setidaknya dalam memajukan demokrasi dan hak asasi manusia?
Buku ini memang tidak berpretensi untuk menangkap kedalaman hati Asmara Nababan. Jika itu yang dicari tentu kemungkinan terbesar jawaban “tidak”. Karena buku ini juga tidak ingin meng hadirkan Asmara Nababan sebagai manusia yang sempurna—meski tidak bisa dielakan sahabat-sahabat atau murid-muridnya akan lebih banyak mengungkapkan pengalaman positif bersamanya. Buku yang mengisahkan Bang As, justru mengandaikan Bang As sebagai manusia biasa yang terbatas.
Buku ini awalnya diinisiasikan oleh teman-teman mudanya yang berada di DEMOS, KONTRAS, ELSAM, INFID, dan KOMNAS HAM sebagai kejutan, yang kala digagas akan dipersembahkan pada saat ia merayakan ulang tahunnya ke 65 (September 2011). Kejutan untuk memberi penghargaan dan menghormati Bang As. Seperti diungkapkan oleh Stanley, mbak Magda—istri almarhum—kemudian mempercayakannya untuk merealisasikan gagasan pembuatan buku ini dan saya menawarkan diri untuk terlibat di dalamnya, yang kemudian didaku sebagai koordinator pelaksananya.
Di luar itu, buku ini diletakan dalam konteks kondisi hak asasi dan demokrasi di Indonesia 10 tahun terakhir yang mengalami stagnasi dan regresi di beberapa aspek. Kemerosotan kebe basan berkeyakinan dan beragama sangat terasa sebagaimana perlindungan dan pemajuan hak-hak sosial ekonomi. Terdapat potensi kembalinya pemerintahan otoriter atau pemerintahan yang menolak fakta akan keragaman. Proses demokrasi juga ditandai dengan buruknya kualitas penegakan hukum yang berkeadilan (rule of law). Situasi yang bisa dibandingkan dengan perjalanan negara pasca jatuhnya Orde Lama.
Di luar itu, buku ini diletakan dalam konteks kondisi hak asasi dan demokrasi di Indonesia 10 tahun terakhir yang mengalami stagnasi dan regresi di beberapa aspek. Kemerosotan kebebasan berkeyakinan dan beragama sangat terasa sebagaimanaperlindungan dan pemajuan hak-hak sosial ekonomi. Terdapat potensi kembalinya pemerintahan otoriter atau pemerintahan yang menolak fakta akan keragaman. Proses demokrasi juga ditandai dengan buruknya kualitas penegakan hukum yang berkeadilan (rule of law). Situasi yang bisa dibandingkan dengan perjalanan negara pasca jatuhnya Orde Lama.
Sementara itu dinamika gerakan sosial dan masyarakat sipil vibrant namun tidak cukup memberi pengaruh pada proses demokrasi. Masukan dan kritik-kritik masyarakat sipil tidak memberi pengaruh signifikan pada kebijakan publik. Kekuatan warga secara umum lemah dan elit politik lama membajak berbagai lembaga demokrasi. Rendahnya kekuatan warga/ masyarakat sipil semakin menjadi karena tingginya fragmentasi di antara mereka. Dengan konstelasi demikian, inisiatif penulisan dan penerbitan atas perjalanan hidup Bang As diharap dapat memberi inspirasi bagi gerakan sosial dalam mengembangkan masyarakat sipil yang lebih kuat.
Dengan memotret kembali perjalanan Bang As di berbagai komunitas aktivis KSPPM, Infid, Elsam, Kontras dan Demos, dimana Bang As berada di dalamnya memungkinkan adanya refleksi atas perjalanan gerakan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Bercermin melalui Bang As, yang ruang lingkup jaringannya begitu luas, aktivis hak asasi manusia maupun civil society Indonesia termasuk akademisi diharap dapat memetik pembelajaran dalam menggapai cita-cita akan masyarakat demokratis dan berperikemanusiaan.
Sebuah harapan yang kami pikir tidak berlebihan mengingat beliau merupakan salah satu figur penting dalam peta gerakan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia sejak menjadi mahasiswa pada awal 1970-an. Hal ini dilanjutkan dengan pilihannya untuk ‘berada di luar lingkar kekuasaan’ dalam berbagai organisasi non pemerintah. Saat itu organisasi non pemerintah merupakan alternatif dari ketiadaan ruang politik, ketiadaan partai politik yang merepresentasikan masyarakat, ketiadaan keragaman politik. Pada masa-masa penting—yaitu proses menjelang kejatuhan rezim Soeharto—ia memilih berada di Komnas HAM sebuah lembaga negara yang sebagian besar masyarakat sipil masih ‘emoh’ berada di dalamnya. Di sanapun kontribusinya diakui baik oleh kelompok masyarakat sipil maupun masyarakat politik.
Kalimat pertama diatas itu sering pula dikatakan oleh Asmara Nababan. Saya menduga sikap ini melandasi berbagai sikap tindak lainnya, seperti kecenderungannya untuk memberi perhatian besar pada hal-hal detil. Karena yang nampak tidak selalu nyata. Yang nyata dipengaruhi oleh persepsi dan keadaan internal kita. Oleh karenanya ketelitian dan detil menjadi penting dalam kerja hak asasi untuk mendekati pada kenyataan yang sesungguhnya. Sebuah sikap yang kemudian memperoleh pujian dari berbagai pihak termasuk ketika mengungkapkan kebenaran kasus Mei 1998. Ia tidak semata percaya pada data-data yang diperoleh dari kawan kawannya di LSM atau dari pemerintah. Kerincian juga selalu ia desakan pada rekan-rekan kerjanya bukan hanya menyangkut persoalan keuangan tapi juga dalam beradvokasi dan persoalan lainnya.
Sikap ini pula yang kiranya melandasi ia untuk tidak mudah menghakimi orang lain dan ingin mendengar. Bacalah pengalaman bu Ade dan solusi yang ditawarkan bang As padanya ketika menemukan seorang stafnya melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Atau ketika seorang temannya diragukan kemampuannya melakukan investigasi pelanggaran hak asasi semata dan semata karena tidak memiliki latar belakang hukum.
Mungkin ini pula yang memungkinkan ia menjadi oase bagi banyak orang. Tempat bertanya, berdiskusi, berdebat, atau memperoleh peneguhan. Tentu bukan hanya itu yang menjadi sikap dasarnya. Apapun, sikap-sikap yang diambilnya telah banyak memberi inspirasi dan dapat pula menjadi pembelajaran bagi masyarakat umum.
Penerbitan buku ini bukan tanpa halangan. Kesulitan terbesar dalam pembuatan buku ini terletak pada memastikan adanya tulisan. Tidak mudah mendapatkan coret-coretan tulisan, atau sketsa atau puisi dari sahabat-sahabat Bang As. Berbagai cara kami lakukan termasuk mewawancarai dan terus menerus mengingatkan baik melalui sms, telepon maupun email. Akhirnya tulisan-tulisan itu terkumpul. Tentu karena kerja sama dan pengertian para penulis mengingat kesibukan mereka. Untuk itu tentunya rasa hormat dan terima kasih sebesarnya kami haturkan atas kontribusi sahabatsahabat Bang As.
Terima kasih pula pada dua penulis utama yang bertugas menggali perjalanan Bang As dari usia muda hingga tuanya, J. Anto di Medan yang secara khusus bertugas untuk menggali perjalanan hidup Bang As selama di Sumatera Utara, baik saat muda maupun saat membangun civil society di sana. Dan Hasudungan Sirait untuk menelusuri perjalanan Bang As di Jakarta dan sekitarnya.
Terima kasih pula kami haturkan pada Maria Hartiningsih yang mengedit berbagai tulisan sehingga lebih enak dibaca. Demikian pula pada Stanley yang mengedit akhir dan menyelaraskan berbagai tulisan, foto dan sketsa dalam buku ini. Tak lupa kami ucapkan terima kasih pada HIVOS yang telah mendukung penelitian dan penerbitan buku ini.
Akhir kata selamat membaca dan menikmati buku ini. Semoga sebagian potret jejak Asmara Nababan ini berguna bagi pemajuan masyarakat sipil, hak asasi dan demokrasi di Indonesia.
Antonio Pradjasto H. Direktur Eksekutif Demos
BAGIAN SATU
SELAMAT JALAN
ASMARA NABABAN
Mereka mengisi kursi-kursi lipat yang ditata dua lajur, dengan lorong di tengah. Di bagian depan terletak meja dengan foto dan karangan bunga kecil di atasnya. Lilin besar menyala mengapit rangkaian bunga. Lelaki di foto itu rambutnya agak gondrong. Usinya sekitar 50-an tahun. Badannya condong ke kiri, berjas dan berdasi, sedang tertawa lepas.
Tempat itu adalah sebuah ruang terbuka, berukuran sekitar empat kali enam meter, terletak di lantai tiga, yang menjadi teras Kantor Demos. Di salah satu ujungnya dipenuhi pot-pot tanaman membentuk huruf U. Pun sebuah menara air. Tenda berwarna putih dipasang karena hujan sedang mengusik Jakarta, terlebih di sore dan malam hari. Penerangan yang ala kadarnya membuat cahaya di bawah tenda menjadi agak temaram.
Kamis 28 Oktober 2010, hari itu. Menjelang pukul 19.00 wib kursi di ruangan sudah dipenuhi sekitar 50 orang. Beberapa bahkan tak kebagian kursi lagi, dan duduk di ruang kantor. Sejumlah aktivis terkemuka LSM, dan mereka yang dekat dengan dunia pergerakan, sudah mengambil tempat duduk. Abdul Hakim Garuda Nusantara, Zoemrotin, Chalid Muhammad (mantan Direktur Walhi), Sidney Jones, Usman Hamid (Koordinator Kontras), Saut Sirait (sekarang anggota KPU), Maria Hartiningsih, di antaranya. Acara perkabungan malam itu diselenggarakan oleh Demos untuk mengenang Asmara Nababan yang meninggal beberapa jam sebelumnya (pukul 11.30 waktu Guangzhou, Cina).
Acara dimulai tepat pukul 19.00 WIB. Direktur Demos, Antonio Pradjasto, memberi sambutan selamat datang dan mempersilakan Maman, seorang anak muda berpeci dan berbaju koko dari pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membaca doa. Dengan berurai air mata ia membacakan doa sambil berulang kali menyebut Asmara sebagai ’guru, kawan, sekaligus bapak bagi kami’. Doa yang panjang dan lirih itu sekaligus menjadi testimoni. Nama Baharuddin Lopa dan Munir termaktub di dalamnya.
Doa itu seperti menjadi katarsis bagi semua yang hadir. Isak tangis tertahan terdengar, memenuhi ruangan.
Setelah Maman, Pendeta Lies Marantika, mantan Komisoner Komnas Perempuan (1999-2004) memimpin doa dengan cara Kristen. Dilanjutkan wakil Jamaah Ahmadiyah yang menyatakan rasa belasungkawanya. Ia menyebut Asmara senantiasa memperjuangkan pluralisme dan membela korban kekerasan yang mengatasnamakan agama. Ahmadiyah adalah salah satu korbannya. “Kami sangat merasakan jasa beliau dalam penegakan HAM di negeri ini….. Beliau telah meninggalkan rangkaian mutiara kebaikan untuk kita semua,” kenangnya.
Acara berlanjut dengan testimoni oleh teman-teman dekat, dimulai oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara. Ia sudah bekerjasama dengan Asmara sejak tahun ’80-an, antara lain di INFID dan ELSAM. Bagi Hakim, Asmara sangat kuat memegang prinsip, menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, dan tegas dalam mengelola organisasi. Asmara mampu menempatkan dirinya melampaui golongan, etnis, dan agama.
“Banyak yang berprasangka ke Asmara, tetapi saya tak melihat prasangka itu berdasar,” ucap Hakim. Menurut Hakim, Asmara tak pernah menyimpan dendam. Ia tetap bisa mengajak bicara orang yang paling berprasangka terhadap dirinya. “Ia selalu bilang, orang boleh berprasangka tapi kita tidak boleh memusuhi.” Hal menarik lain yang dilihat Hakim pada diri Asmara adalah kesederhanaan hidup serta kesejalanan antara pikiran, sikap dan perilaku. “Kalau ada yang disebut manusia seutuhnya, menurut saya, dialah contohnya.”
Pegiat HAM yang bergulat dengan permasalahan HAM di Indonesia sejak 1980-an, Sidney Jones, menyatakan rasa kehilangan yang mendalam atas berpulangnya Asmara. Perempuan yang jejaknya jelas dalam sejarah perjuangan HAM dari Aceh, Timor Timur sampai Papua ini berkawan akrab dengan Asmara sejak 1995. Ia menyebut Asmara sebagai pribadi yang iklas, jujur, dan sangat menghargai fakta dan detil.
Sidney berkisah, tatkala Komnas HAM dibentuk pemerintah Soeharto pada 1993, ia termasuk satu dari sekian banyak orang yang meragukan kemampuan Asmara berperan sebagai wakil LSM di lembaga itu. Ketika keraguan itu ia utarakan, Asmara mengatakan, biarlah dirinya mencoba dulu melakukan sesuatu dari dalam sistem. Ternyata, Asmara benar. Ia bisa berbuat banyak. Salah satu yang ia lakukan adalah membangun kredibilitas Komnas HAM lewat pengungkapan fakta lapangan.
Sidney menyontohkan bentuk penghormatan Asmara pada fakta dan detil. Seusai penyerbuan kantor PDI di Jl. Diponegoro, Jakarta, pada 27 Juli 1996 misalnya, pemerintah mengumumkan jumlah korban di markas pendukung Megawati itu. Asmara, ucap Sidney, tak percaya pada perhitungan ‘di awang-awang’. “Ia kemudian membuat riset yang rinci dan terpercaya,” kenang Sidney.
Hal serupa dilakukan ketika status Aceh sebagai DOM (Daerah Operasi Militer) berakhir di Aceh tak lama setelah Soeharto tumbang. Asmara tak mau begitu saja menerima jumlah korban DOM yang diumumkan pemerintah dan berbagai lembaga. Ia dan kawan-kawannya di Komnas HAM membuat riset. “Angka yang keluar dari Komnas sangat terpercaya waktu itu,” lanjut Sidney.
Tak lama setelah Soeharto jatuh pada Mei 1998, Sidney mengingatkan, di Indonesia ada survei pendapat. Menurut hasil survei tersebut Komnas HAM merupakan lembaga terpercaya. “Asmara adalah satu dari sekitar lima orang paling berjasa di Komnas,” tegas Sidney.
Sidney Jones mengenang perjumpaannya yang terakhir dengan Asmara. Kala itu Asmara hendak berangkat berobat ke Guangzhou. Kondisinya sebenarnya sudah tidak baik. Tapi ia masih melontarkan joke, dengan mengatakan dirinya ingin tetap mengetahui perkembangan politik agar bisa berkomentar dan bertukar lelucon nanti. ”Luar biasa…. dalam kondisi seperti itu ia masih tetap bisa bercanda,” kata Sidney.
Pada ujung tuturannya, Sidney mengusulkan agar para pegiat HAM membentuk sebuah intership untuk mengabadikan nama Asmara Nababan.
Seorang perempuan berumur 40-an bangkit dari kursinya dan melangkah ke dekat meja. Ia Suciwati, isteri Munir, yang menjadi lebih dekat dengan Asmara sejak suaminya meninggal karena diracun dalam penerbangan ke Belanda, pada 7 September 2004. Ia mengatakan, banyak orang tergerak untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir, sehingga terjadi friksi soal pendekatan yang akan digunakan. Asmara muncul di saat friksi itu kian tajam. Berkat keterlibatan Asmara, ungkap Suciwati, friksi pun berakhir. Asmara, menurut Suciwati, adalah seorang teman berdiskusi yang selalu siap dengan tawaran jalan keluar. Pun, seorang yang asyik untuk diajak bercanda.
Testimoni datang dari beberapa lainnya, termasuk dari Komnas Perempuan dan Demos sendiri. Mereka menggarisbawahi Asmara Nababan yang baik dan penyayang. Tak hanya baik kepada sesama tapi juga ke tanaman.
Perkabungan malam itu diakhiri dengan lagu: Indonesia Raya. Saut Sirait yang meminta hadirin berdiri dan bernyanyi. Ia menjadi pemandu lagu. Menurut pendeta-aktivis yang dekat dengan keluarga besar Nababan, lagu kebangsaan ini merupakan salah satu nyayian favorit Asmara. Sungguh, Asmara adalah nasionalis tulen.
Penghormatan di Kantor Komnas HAM
Tak sampai lima menit setelah kemunculan mereka, terdengar raungan sirene. Kian lama raungan itu bertambah keras. Mobil voreijder abu-abu masuk. Mobil jenazah menyusul. Puluhan orang yang menunggu sembari bercakap di bawah tenda putih besar —nada bicara mereka terdengar sendu dan atmosfirnya sarat kenangan—bubar. Mereka bergerak mendekati mobil jenazah yang diparkir persis di bawah tenda.
Hiruk pikuk terjadi beberapa saat. Seorang perempuan muda berbaju putih berteriak. Tampaknya dia adalah otoritas pengatur lapangan. Ia berseru meminta para fotografer dan juru kamera televisi mundur karena petugas yang akan menurunkan jenazah terhalang oleh para pengabadi momen yang saling berebut tersebut. Peti jenazah coklat tua mengkilap tampak menyembul dan keluar dari belakang mobil jenazah. Sejumlah lelaki bukan pe
Sejumlah lelaki bukan petugas mengusung peti mati itu ke sebuah ruangan di kanan tenda. Keluarga almarhum telah menanti di sana. Orang banyak yang mencoba masuk ruangan tertahan di pintu yang terbuka lebar di sisi kiri. Petugas yang berjaga di mulut pintu menyatakan ruang berisi kursi lipat dengan formasi L itu khusus untuk keluarga.
Agar orang bisa melihat ke dalam ruangan, jendela di samping kanan ruangan sengaja dicopot. Ke sanalah beberapa orang begerak. Ternyata tak leluasa juga, sebab para juru foto dan kamera televisi telah menguasainya.
Jenazah diletakkan dekat sudut kanan dalam, kalau dilihat dari pintu. Ruangan luar dan dalam serba putih. Dari Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, kita tahu bahwa bilik yang ukurannya tak sampai sebesar dua ruang kelas yang disatukan itu adalah ruang pengaduan sehari-hari. Pendingin udara kehilangan dayanya. Ruangan terlalu padat, lagi pula hampir dua pertiga sisi kirinya terbuka, sementara suhu di luar panas. Di luar, orang berjubel.
Prosesi perkabungan ini sungguh tak biasa, dihadiri tak kurang 200 orang dari berbagai usia dan kesamaan latar belakang sebagai penentang rezim otoritarian Soeharto dan aktivis pro-demokrasi. Di antaranya, Abdul Hakim Garuda Nusantara, MM.Billah, Teten Masduki, Emmy Hafid, Ita Nadia, Beathor Suryadi, Agung Putri,Hilmar Farid (Fay), Ayu Utami, dan Liston Siregar tampak di antara mereka. Pun sejumlah mantan tahanan dan narapida politik, termasuk Tedjabayu. Terlihat juga Suciwati (isteri alm. Munir) dan Adian Napitupulu. Dari keluarga besar Komnas HAM hadir antara lain HS Dillon, BN Marbun, dan Johny Nelson Simanjuntak. Sebagian dari mereka juga hadir saat malam duka di kantor Demos di bilangan Cikini atau di rumah duka di Jl. Rasamala.
Kawan-Guru
Mereka menyatakan salut dan respek pada Asmara. Sandyawan Sumardi melantunkan lagu perlawanan berjudul Syair Sunyi. Usman Hamid berbicara sambil mengacung-acungkan tangan. Ifdhal Kasim—mantan Direktur Elsam yang kini menjadi Ketua Komnas HAM—menggarisbawahi arti keberadaan Asmara selama di Komnas. Di tengah kontroversi Komnas sebagai bentukan Soeharto dan pesimisme gerakan, Asmara bergabung. Ternyata pesimisme itu tak berdasar. Peran Asmara sangat penting kala itu. Sebagai Sekretaris Jenderal (Sesjen), Asmara memrakarsai pengadilan bagi para pelanggar HAM di Timor Timur. Di luar Komnas, Asmara terus berjuang, termasuk memrakarsai dialog Indonesia Masa Depan dan mendorong transitional justice. “Semua itu ia kerjakan melampaui tugasnya, beyond the duty,” kata Ifdhal.
Sebagai sesama anggota Komnas HAM angkatan pertama tentu Albert Hasibuan tahu persis peran Asmara di lembaga yang berdiri pada 1993 itu. Di mata Albert, Asmara adalah seorang yang serius bekerja, rendah hati, dan tak suka menonjolkan diri. Tatkala terjadi penyanderaan di Mapenduma, Papua, kedua kawan sekerja ini ditugasi Komnas ke sana. “Saya melihat betapa kuatnya hubungan dia dengan teman-teman LSM, sehingga kami mendapatkan banyak data,” ungkap Albert. Hal seperti itu juga yang terjadi ketika mereka menjadi bagian dari Komisi Penyidik Pelanggaran (KPP) HAM Timor Timur.
Ade Sitompul yang selama 25 tahun lebih berkawan dengan Asmara ikut mengungkapkan isi hatinya. Relawan kemanusiaan yang meraih penghargaan YapThiam Hien dan penerima medali penghargaan dari Pemerintah Timor Leste pada 2009 itu menyebut Bang As sebagai teman kerja dan kawan dengan pribadi yang hangat. Asmara adalah orang yang kerap ia telepon, ketika membutuhkan nasihat. Bu Ade mengenang, setiap ketemu tentara, Asmara akan kontan berucap, “Aku tak mau mati sebelum tentara kembali ke barak.”
Apakah saat ini tentara sudah kembali ke barak? Bu Ade tidak memberi jawaban. Barangkali karena masih belum jelas betul. Yang pasti adalah Bang As sudah tutup usia.
Seorang pastor yang mencuat namanya karena berani menyembunyikan anak-anak PRD yang sedang diburu penguasa pasca Peristiwa 27 Juli 1996 juga membuat testimoni. Romo Sandi panggilan akrabnya dulu; sekarang Sandyawan saja atau lebih lengkap, Sandyawan Sumardi. Belakangan ia menghabiskan waktunya mengurusi anak-anak keluarga miskin di bantaran Kali Ciliwung. Sebagai sesama pegiat HAM yang mengurusi mereka yang terpinggirkan, pimpinan Sanggar Ciliwung ini punya pertautan batin dengan Asmara. Dalam kalimat awalnya Sandyawan mengatakan, ia menemukan arti ‘abang’ yang sesungguhnya dalam diri Asmara, yang terus menemani mereka yang terpinggirkan—termasuk mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM Orde Baru. Ia melantunkan sebuah puisi yang dilagukan
George Junus Aditjondro tampil tenang. Sehelai ulos (kain Batak) menggantung di pundak kanannya. George mengenang, ia berkenalan dengan Asmara pada awal ’70-an. Persisnya waktu Asmara menjadi aktivis penentang proyek Taman Mini-nya Ny. Tien Soeharto dan George sebagai wartawan majalah Tempo.
Mereka menjadi akrab pada paruh pertama 1980-an karena samasama aktif di Kelompok Studi Penyadaran dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang bermarkas di Siborong-borong, Tapanuli Utara. Sewaktu di sana, lanjut George, visi plural Asmara telah nyata. Apalagi di masa itu, Asmara juga telah mencurahkan perhatian pada kawasan Indonesia Timur, termasuk Papua. Wujudnya adalah pertukaran aktivis yang dilakukan KSPPM; dari barat ke timur dan sebaliknya.
KSPPM, menurut George, menjadi lintasan Asmara menuju posisi Sesjen JK-LPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen). Di lembaga baru itu komitmen Asmara pada pluralisme dan Indonesia timur, menguat. Pun setelah di Komnas HAM. Sosiolog penulis buku Gurita Cikeas ini menyebut Asmara sebagai anggota Komnas HAM yang paling mengerti orang-orang yang dicap penguasa sebagai kaum separatis, di Aceh, Papua, atau di mana pun itu. George mengibaratkan Asmara ‘buku yang terbuka untuk dibaca anak-anak muda’.
Jenderal pensiunan dari korps baret merah, Samsudin, yang menjadi sejawat Bang As di Komnas HAM angkatan perdana, mengatakan, ia sering ditugasi Sesjen Asmara Nababan ke daerah rawan, termasuk ke Ambon saat kerusuhan di Kebun Cengkeh dan ke Timor-Timur. Ia memuji kepemimpinan Asmara kala itu. “Bang As tidak tercela…tak ada yang bisa menandingi dia di masa-masa sulit itu,” kenangnya.
Sedangkan Hendardi bersentuhan dengan Asmara sejak lama di dunia gerakan. Yang digarisbawahi tokoh PBHI ini adalah fase terakhir pertautan mereka yakni ketika sama-sama di Komite Solidaritas untuk Munir. Di komite itu, Bang As orang paling tua, kemudian Hendardi. Sisanya, anak-anak muda. Namun Bang As tidak pernah tinggi hati. Ia selalu menganggap yang lain setara. Dalam rapat kecil yang membahas soal teknis sekalipun, ia senantiasa hadir. Kalau berhalangan ia akan selalu memberitahu sebelumnya. ”Di Kontras dan di tempat lain dia selalu seperti itu. Dia guru untuk kita semua,” kata Hendardi lirih.
Seperti Niagara
Adalah Asmara, yang menurut dia, mengajari dia dan kawankawan untuk tidak takut menghadapi teror, sekaligus menjadi seperti air terjun Niagara. “Orang yang meludah ke dasar Niagara merasa dirinya hebat padahal Niagara tak merasakan ludah itu sama sekali,” ujar Usman, menirukan Bang As.
Ketika di Komnas HAM, Asmara mengupayakan agar kasus Talangsari (Lampung) yang melibatkan Hendropriyono dibuka. Asmara juga berusaha menyibak tabir gelap kasus Tanjung Priok. “Dia yang pertama sekali membongkar kasus penembakan di Freeport,” ujar Usman Hamid lantang.
Ketegasan Asmara menjadi bagian lain dari cerita Usman. Suatu waktu, tutur dia, seorang jenderal yang disuruh mantan Kepala BIN Hendropriyono mendatangi Asmara. Oleh Bang As orang itu disuruh pulang sebab yang ia panggil bukan dia melainkan Hendropriyono. Kali berikutnya, Hendropriyono mempengaruhi Bang As dengan uang yang dititip melalui Panda Nababan (nanti, saat berbicara sebagai wakil keluarga, Panda mencoba mengklarifikasi hal ini).
Usman juga menceritakan apa yang pernah diungkapkan Asmara kepada Munir. Di masa KPP HAM Timor -Timur, seorang jenderal mengingatkan Asmara agar bersepatu. Masalahnya Asmara akan memeriksa Panglima TNI, Wiranto. Ucapan Asmara waku itu, menurut Usman Hamid, adalah “jenderal itu mau saya periksa dengan sepatu saya atau dengan mulut saya?”
Kebersahajaan Asmara menjadi perhatian Usman Hamid. Asmara, menurut dia, tak pernah mengeluh walaupun diberi fasilitas sederhana. Seperti waktu mereka berdua di Eropa, tinggal di penginapan murah. Bang As enjoy saja kendati penginapan itu sesungguhnya tak layak untuk tokoh sekaliber dia.
Di akhir tuturannya Usman Hamid menyatakan kiranya sangat pantas kalau Asmara dijadikan ‘Bapak Komnas HAM’, seperti halnya Hoegeng ‘Bapak Polisi’ atau Soeprapto ‘Bapak Kejaksaan’.
Seperti menyahuti Usman Hamid, Ifdhal Kasim kembali bersuara. Ia menyatakan orang Komnas HAM telah sepakat untuk menamai ruang pengaduan itu sebagai ruang Asmara Nababan. Pernyataan itu disambut tepuk tangan para hadirin.
Prosesi diakhiri dengan acara penghormatan jasad Bang As, sambil menyalami keluarganya, diiringi lantunan paduan suara keluarga korban pelanggaran HAM Orde Baru. Mereka membawakan lagu-lagu perlawanan dan tembang yang mengapresiasi negeri ini. Sesudah itu, peti jenazah kembali dimasukkan ke mobil ambulans untuk dibawa dan disemayamkan di gereja HKBP Hang Lekiu, sebelum dimakamkan di Tanah Kusir.
Prosesi itu memperlihatkan betapa Asmara sangat dicintai para aktivis pro-demokrasi dan aktivis HAM yang berkiprah di jaman Soeharto. Peristiwa itu seperti menjadi acara reuni bagi mereka.
Tumbangnya Soeharto tahun 1998, membuat mereka kehilangan musuh bersama. Mereka berpencar. Masing-masing mencari kesibukan sendiri di jalur lama atau di lintasan baru. Seseorang mengatakan, untuk waktu yang lama tak akan ada lagi perkabungan kaum pro-demokrasi dan HAM Indonesia seperti itu karena pejuang dengan kualitas seperti Bang As sudah sangat langka.
Meski demikian, selalu ada keyakinan munculnya ‘AsmaraAsmara’ baru, karena demokrasi dan HAM tetap merupakan wilayah perjuangan serius pada masa transisi menuju demokrasi ini.
Bagian Dua
BIOGRAFI ASMARA NABABAN
Dari gerakan mahasiswa ke gerakan civil society
Si Tongkar Dan Kawan-Kawan
Sekitar 200 meter dari ujung Jalan Jogja, terdapat Jalan Cut Nyak Dien yang menghubungkan Jalan Jogja dengan Jalan Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol). Dulunya Di ujung utara jalan Cut Nyak Dien yang mempertemukan dengan Jalan Jogja, waktu itu terdapat sebuah sebuah tembok setinggi kurang lebih 1,5 meter.
Di seberang tembok itu, berdiri gedung Kantor Keuangan RI Wilayah Sumut. Persis di sebelah kantor itu, terletak jalan Kartini, yang memisahkan gedung Kantor Keuangan RI Wilayah Sumut dengan Gedung Kantor Gubernur Sumatera Utara.
Di atas tembok ujung jalan Cut Nyak Dien itulah sekelompok remaja SMP dan SMA yang menyebut diri mereka Geng Simpang Cut Nyak Dien, duduk-duduk sembari kombur atau ngobrolngobrol membuang waktu sore hari selepas pulang sekolah.
Topiknya beragam. Mulai dari soal pelajaran sekolah, soal guru yang galak, sampai soal politik. Terkadang, obrolan mereka juga berkisar hal remeh temeh seperti soal pacar atau perlakuan orangtua di rumah.
Terkadang, satu dua orang di antara mereka dijumpai tengah asyik meluncur di atas Jalan Jogja di atas sepatu roda mereka. Sementara remaja lain yang duduk-duduk di atas tembok sembari menyoraki mereka yang tengah menari-nari di atas sepatu roda. Pada waktu itu, Jalan Jogja memang kerap dijadikan ajang untuk bermain sepatu roda para remaja. Tak terkecuali yang tergabung dalam Geng Simpang Cut Nyak Dien.
Mereka sebagian besar adalah anak-anak SMP, dan sebagian lagi anak-anak SMA yang rumahnya berada di seputaran Jalan Sudirman, jalan Jogja, Jalan Jakarta, dan jalan Padang Bulan. Kawasan itu merupakan kawasan perumahan elit, dan di era tahun 1990-an telah berubah menjadi kawasan perkantoran, hotel dan perumahan elit di Medan.
Di Medan waktu itu tengah bermunculan geng-geng remaja yang anggotanya berasal dari kalangan anak-anak sekolah setingkat SMP dan SMA. Geng-geng itu punya ciri khas, misalnya penggunaan embel-embel boys di belakang nama geng, yang terkenal di antaranya adalah Tarantula Boys, Jim Boys, dan sebagainya. Sedangkan di kalangan anak-anak muda yang tak bersekolah, dan mereka yang tak punya pekerjaan alias pengangguran, mengorganisir diri ke dalam organisasi kepemudaan. Geng-geng anak muda pengangguran ini sering dijuluki sebagai preman, dan umumnya masih eksis sampai sekarang.
Geng anak-anak sekolah kerap terlibat perkelahian dengan geng lain karena soal-soal sepele seperti karena saling ejek di antara mereka, atau karena iri tak diundang ke pesta ulang tahun anggota geng lain. Sedangkan di kalangan geng preman penyebabnya adalah faktor ekonomi, misalnya rebutan lahan untuk menjaga keamanan gedung bioskop atau pusat keramaian lainnnya.
Anggota Geng Simpang Cut Nyak Dien adalah anak-anak SMP Negeri I yang waktu itu terletak di Jalan Tunsri Lanang (sekarang di depan Hotel Tiara Medani). Ada juga anak-anak yang berasal dari SMP Nasrani di Jalan Candi Biara, dan anak-anak SMA Nasrani di Jalan Padang Bulan. Selain beragam asal sekolahnya, sukunya juga beragam. Ada yang berasal dari suku Batak, Sunda, Tionghoa, dan Jawa.
Di antara anak muda itu, ada sosok yang paling mudah dikenali. Selain postur tubuhnya yang tinggi, rambut ikal, wajah ganteng, dan kulit lebih terang, sosok anak muda itu juga dikenal jago debat dan jago berkelahi. Ia juga dikenal jago bermain sepatu roda. Kakinya yang panjang, membuatnya mahir meluncur mundur.
Teman-temannya sering memanggilnya “Si Tongkar”. Tongkar adalah istilah dalam bahasa Batak, artinya kurang lebih keras kepala. Terkadang mereka juga memanggilnya Viktor. Julukan Si Tongkar diberikan karena Viktor memang tergolong anak muda berdarah panas. Jika berdebat dengan teman-temannya, ia dikenal teguh dan gigih dalam mempertahankan pendapatnya. Ia tak gampang mengalah. Bahkan jika perdebatan memuncak, dan tak ada titik temu, alias kedua belah pihak tak ada yang mau mengaku kalah, tidak jarang diselesaikan lewat adu jotos!
Suatu hari, si Tongkar, terlibat perdebatan dengan kawannya. Karena sama-sama ngotot dan tidak ada yang mau mengalah mereka menjadi bersitegang, bahkan sudah hampir siap berantem. Untung berhasil dicegah Ucok, anggota geng lain. Oleh Ucok, si Tongkar dan temannya kemudian dibawa ke rumahnya yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari tempat mereka kongkow-kongkow. Rumah Ucok atau Dimardi Abas Harahap1 memang terletak di Jalan Cut Dien. Oleh Ucok, keduanya kemudian digiring ke garasi mobil rumahnya. Nah, di garasi mobil itulah pemenang adu debat ditentukan lewat adu jotos!
“Tapi usai berkelahi, mereka saling salaman, dan masalah selesai di situ,” tutur Ucok mengenang kejadian sekitar 40-an tahun lalu itu. Si Tongkar menurut Ucok memang dikenal sebagai remaja yang suka ribut. Pernah suatu hari mereka tengah berjalan bersama menikmati udara sore kota Medan. Waktu itu mereka tengah menyusuri jalan Abdul Rifai. Dari arah belakang mendadak sebuah Vespa tanpa sengaja menyenggol bahu si Tongkar. Hampir saja si Tongkar jatuh. Meledaklah amarahnya. Ia langsung berteriak sembari menggulung lengan bajunya.
“Ayo, buka baju!” tantang si Tongkar.
Kebetulan di sekitar lokasi kejadian ada sebidang tanah lapang. Karena, pengendara vespa juga anak muda, maka perkelahian pun tak terhindarkan. Cuma Ucok tak ingat siapa pemenang perkelahian itu.
Pernah juga waktu orang tua si Tongkar mendiami rumah di Jalan Sudirman yang bersebelahan dengan rumah dinas Gubernur Sumut, ia terlibat perkelahian dengan tetangganya. Waktu itu, Ucok dan Santoso, anggota geng lainnya, sudah janjian hendak menjemput si Tongkar untuk berlebaran ke rumah-rumah anggota geng lain yang merayakan lebaran. Mereka bertiga sudah siap berangkat dengan mobil milik temannya ketika si Tongkar mendadak bilang, “Tunggu…. tunggu, ini ada yang kurang ajar ini,” kata si Tongkar dan langsung berantem dengan tetangganya.
Karena tetangga si Tongkar membawa anggota gengnya, maka Ucok dan Santoso pun akhirnya ikut membantu berantem. Rencana hendak melakukan “safari lebaran” pun jadi berantakan.
Banyak kenangan Ucok terhadap si Tongkar. Selain dikenal sebagai remaja yang suka ribut, Tongkar juga dikenangnya sebagai pemuda yang romantis.
“Bersama abangnya, ia suka dansa-dansa di pesta-pesta ulang tahun temannya,”ujar Ucok. Pesta dansa memang sangat digemari anak-anak muda waktu itu. Maklum, saat itu, sarana hiburan memang masih terbatas. Karena itulah, jika ada remaja yang mengadakan pesta dansa, dan si Tongkar dan abangnya tidak diundang, mereka akan mengajak remaja lain yang tak diundang untuk melempari rumah yang berpesta itu. Akibatnya terjadi keonaran dalam pesta. Polisi pun turun tangan. Sebagai hukumannya si Tongkar cs dinaikkan ke mobil polisi dan diturunkan di desa Sunggal. Di tengah malam buta, mereka disuruh pulang jalan kaki sepanjang kurang lebih 10 Km.
Selain gemar pesta dansa, sebagaimana remaja umumnya, si Tongkar juga dikenal gemar nonton film. Nah, anak-anak Geng Simpang Cut Nyak Dien ini kalau malam Minggu biasanya mengayuh sepeda mereka ramai-ramai ke gedung bioskop Metropol di Kampung Keling (sekarang Kampung Madras). Gedung bioskop Metropol terletak di ujung Jalan Kalkuta (sekarang Jalan Taruma), persis berseberangan dengan ujung Jalan Tjik Di Tiro. Selain film perang, koboi dan Indonesia, gedung bioskop itu juga kerap memutar film-film India dan Jepang. Selain di gedung bioskop Metropol, mereka juga kerap nonton di gedung bioskop Astoria di Jalan Iskandar Muda.
Karena waktu itu batas usia menonton film 17 tahun, mereka mengelabui penjaga bioskop dengan memakai celana panjang agar kelihatan sudah dewasa. Dengan cara begitu, mereka bisa menyaksikan film perang, atau cowboy kegemaran mereka.
Si Tongkar menurut Ucok juga suka membaca cerita silat karya Asmaraman S. Koo Ping Ho dan OKT (Oey Kim Tiang). Ia sangat karib dengan nama-nama aliran silat seperti Kun Lun Pay, Bu Tong Pay maupun Siaw Lim Pay. Biasanya buku cerita silat itu mereka pinjam ramai-ramai dari tempat persewaan buku. Bacanya secara bergiliran. Hobi lain si Tongkar adalah melukis komik, seperti Flash Gordon, Gatotkaca atau tokoh-tokoh wayang karya Sri Kosasih yang waktu itu populer di kalangan anak-anak sekolah setingkat SMP dan SMA. Salah satu teman karib si Tongkar waktu membuat komik adalah Boy Harjo, putra komikus Taguan Harjo yang terkenal dengan komik bersambungnya Mentjari Musang Berdjanggut (1958) itu.
Hiburan lain jika hujan atau gerimis mengguyur Kota Medan adalah berenang dengan naik rakit menyusuri Sungai Babura. Mereka juga sering berenang ke Sungai Sunggal yang jernih airnya. Karena hulu Sungai Sunggal cukup jauh, mereka ramairamai menggunakan sepeda melewati Jalan Darussalam dan Sei Serayu yang waktu itu masih berupa jalan setapak milik perusahaan perkebunan. Mereka juga harus melewati sawah-sawah penduduk. Nah, kenakalan khas anak remaja sering muncul waktu itu.
“Kami suka mencuri jambu klutuk,” ungkap Ucok. Karena kegiatan mandi dan berenang di Sungai Sunggal dilakukan dari pagi sampai sore hari, mereka biasanya membawa bontot (bekal nasi dari rumah). Lauknya ikan teri. Nah, setelah puas mandi dan berenang, mereka kemudian ramai-ramai memancing. Banyak ikan di situ. Biasanya jenis ikan yang didapat adalah ikan gabus.
“Begitu dapat, langsung dibersihkan dan dipanggang sebagai penambah lauk,” kenang Ucok.
Si Tongkar kebagian tugas membersihkan dan memanggang ikan gabus. Menurut Ucok si Tongkar memang jago memanggang ikan. Terkadang si Tongkar juga membawa pulang ikan “cencen” atau yang di Medan dikenal sebagai ikan aduan.
Jika tak mandi dan berenang ke Sungai Sunggal, Ucok, si Tongkar dan anggota geng lainnya, sering menyisir sungai Babura, mulai dari jembatan Titi Kuning dekat Gedung Johor, sampai ke Pulo Brayan. Jembatan Titi Kuning dipilih sebagai titik awal, karena dari sana si Tongkar dan anggota geng lainnya, dapat melompat bebas ke bawah setinggi 20 meter ke Sungai Babura. Nah, di bantaran sungai sudah tersedia rakit, terbuat dari beberapa batang pohon pisang yang ditusuk dengan kayu. Begitulah rakit batang pohon pisang itu membawa mereka sampai ke Pulo Brayan, sekitar 20 Km dari Titi Kuning menuju arah Pelabuhan Belawan.
Satu rakit dinaiki 6 orang. Di atas rakit mereka melompatlompat. Kalau air sungai Babura tengah pasang, maka sepanjang perjalanan mereka bolak-balik terjatuh ke dalam air. Terkadang terminum juga air sungai yang warnanya kecoklatan. Nah, jika sudah sampai di Pulo Brayan, mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing dengan naik hondi atau angkutan umum, yang di Medan dikenal dengan sebutan sudako. Rambut sudah kering, pun celana dan baju. Alhasil mereka sampai ke rumah dengan selamat tanpa omelan orangtua.
Tempat lain yang kerap disambangi anggota Geng Simpang Cut Nyak Dien adalah Taman Beringin, terletak di ujung Jalan Cik Di Tiro yang mempertemukan dengan Jalan Sudirman, persis di depan rumah dinas Gubernur. Taman itu juga berada di pinggir Sungai Babura. Menurut ingatan Ucok, di taman itu dulu banyak belalang. Dari si Tongkar, Ucok dan anggota geng lain belajar tentang nikmatnya menyantap sate belalang.
“Memang rasanya kayak ikan dibakar,” tutur Ucok. Sejak itu rupanya si Tongkar dan saudara-saudaranya kerap menyantap sate belalang.
Dikejar-Kejar Polisi
Suatu hari si Tongkar mengajak Ucok dan beberapa anggota Geng Simpang Cut Nyak Dien ikut berdiskusi di warung Bang Jurim, di belakang SMA Nasrani. Si Tongkar bilang mau diskusi soal situasi ekonomi negara yang terus memburuk, dan kesenjangan kaya-miskin yang semakin melebar. Itu sekitar tahun 1963. Minum kopi pun dengan gula merah. Gula pasir sangat susah diperoleh di pasar. Hidup rakyat saat itu sangat susah.
Waktu itu si Tongkar, menurut Ucok, sudah bergabung dengan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI). Para peserta diskusi sepakat hendak melakukan protes menuntut pemerintah agar memperbaiki keadaan ekomomi. Ternyata bukan hanya diskusi dan protes, tetapi juga disertai aksi lempar batu ke beberapa rumah orang kaya, yang membuat mereka akhirnya dikejar-kejar polisi karena dianggap membuat keonaran.
Selain aktif di GAMKI, si Tongkar juga aktif pada organisasi pemuda di gerejanya, yaitu Naposobulung. Kegiatannya, selain berlatih koor atau paduan suara, juga melakukan pembinaan rohani di kalangan remaja.
Begitulah sepotong kenangan Ucok tentang si Tongkar, yang kelak kemudian hari lebih dikenal dengan panggilan Asmara Nababan, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) terkemuka di tanah air.
Perlakuan Tidak Adil
Nama Victor diberikan karena orangtuanya terinspirasi cerita dalam Alkitab tentang Victory, kepala malaikat yang memenangkan pertarungan dengan sekelompok malaikat yang jahat. Semula nama yang dipersiapkan pasangan suami-isteri Jonathan Laba Nababan dan Erna Intan Dora Lumban Tobing adalah Gusti. Tapi urung diberikan karena ternyata sudah ada famili mereka yang bernama Agustina.
Asmara berumur dua tahun saat gejolak revolusi muncul di tanah air, yang ditandai dengan terjadinya agresi militer Belanda I pada 1948. Ayahnya Jonathan Laba Nababan bermukim di Medan karena bekerja pada sebuah perkebunan milik pengusaha Belanda sebagai laison officer. Ihwal pekerjaannya itu dilatarbelakangi gaji sebagai tentara yang tak cukup untuk membiayai kehidupan keluarga, karena anak-anak sudah semakin besar, dan semakin banyak kebutuhannya.
Ibunya seorang guru, yang terlibat dalam pergolakan revolusi sebagai relawan di dapur umum. Karena itu, ketika kecil, Asmara praktis diasuh dan dijaga oleh saudara-saudaranya di rumahnya di Siborong-borong. Pergolakan bersenjata antara tentara Belanda dengan laskar rakyat di berbagai daerah, membuat Asmara dan saudara-saudaranya lebih banyak tinggal di rumah. Karena itu Asmara dan abang di atasnya persis, Panda Nababan, relatif terjaga masa kanak-kanaknya. Tubuh mereka tumbuh lebih bongsor dibanding saudara kandungnya yang lain.
Masa kanak-kanak Asmara tidaklah semuram masa kanakkanak saudara-saudaranya yang harus ikut mengungsi dari satu daerah ke daerah lain. Sandang pangan sulit. Susu sangat susah didapat, padahal dibutuhkan untuk pertumbuhan anak.
Walau sempat mengonsumsi air purik atau air tajin dari rebusan beras, namun itu hanya untuk sementara waktu. Tak berselang kemudian, tulangnya (paman) di Medan rutin mengirim susu bubuk cap “Klim” sebagai pengganti air tajin. Ketika menginjak usia 2 tahun, ada satu kejadian yang membuat pipi kanan di bawah pelupuk mata Asmara muncul bintik kecoklatan yang terus berbekas sampai ia tua. Waktu itu, Asmara kecil digendong salah satu abangnya yang tengah menggerak-gerakkan boneka sawah untuk mengusir burung-burung pemakan bulir-bulir padi. Secara tidak disengaja, waktu tangan abangnya menarik tali untuk menggerakan boneka sawah, ujung batang rokok yang menyala di bibirnya menyentuh bagian bawah pelupuk mata kanan Asmara.
Pertengahan 1953, Asmara bersama saudara-saudaranya pindah ke Medan. Waktu itu ia sudah duduk di kelas dua sekolah rakyat (SR) Nasrani di Jalan Seram, sekelas dengan Akbar Tanjung.
Selama di Medan, orangtua Asmara pindah rumah empat kali. Maklum, selain bekerja di perusahaan perkebunan Belanda, sang ayah, Jonathan Laba Nababan, juga dipercaya pemerintah RI sebagai pendiri sekaligus pengelola Lembaga Penambah Pengetahuan Umum (LPPU). Itu adalah sekolah khusus bagi anggota laskar yang baru turun dari hutan setelah revolusi berakhir dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Para anggota laskar disekolahkan agar bisa mengejar ketertinggalan karena perang membuat mereka tak sempat menikmati pendidikan formal. Jonathan Laba Nababan juga banyak menerjemahkan teori-teori perang dan diajarkan pada anggota laskar. Atas jasanya itu, Jonathan Laba Nababan diberi pangkat Letkol Tituler.
Pada 1954 mereka menempati rumah di kompleks Perusahaan Jawatan Kereta Api Indonesia di Jalan Durian. Pernah juga mereka tinggal di Jalan Jogja, Jalan Jakarta, dan terakhir di Jalan Sudirman. Ketika menempati rumah di Jalan Jogja (sekarang Jalan Diponegoro) ada kejadian yang tak pernah dilupakan seluruh anggota keluarga Nababan.
Peristiwa itu terjadi berkisar pada 1962. Rumah bernomor 44 yang mereka tempati itu berstatus VB. Artinya rumah itu boleh ditempati sebuah keluarga yang memegang ijin VB karena rumah telah disewa oleh perusahaan perkebunan Belanda. Waktu Belanda pergi dari Indonesia akibat nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing oleh militer, muncul kebijakan dari militer, rumah VB itu bisa dibeli oleh mereka yang menempatinya. Namun Jonathan waktu itu tak punya tabungan. Gajinya tak sempat ditabung karena sebagian digunakan untuk membantu membiayai sekolah keponakankeponakannya.
Oleh karena itu, mereka diperintahkan segera mengosongkannya, karena rumah itu akan segera ditempati oleh tentara yang sudah membelinya. Perintah pengosongan datang dari markas KMKB (Komando Militer Kota Besar), harus dilakukan dalam tempo 1 x 24 jam.
Merasa diperlakukan sewenang-wenang, salah seorang kakak Asmara Nababan, Dumasi Nababan mendatangi markas KMKB (Komando Militer Kota Besar, sekarang Korem). Kepada Kolonel Djafar, Komandan KMKB, Dumasi memprotes perintah pengosongan rumah yang dilakukan mendadak.
“Pokoknya kami dapat perintah dari tentara yang akan menempati rumah kalian. Karena kami kenal sama bapakmu, maka barangbarang kalian tidak kami campakkan!“
Begitu kurang lebih jawaban Kolonel Djafar. Sungguh jawaban yang menyakitkan. Begitu Dumasi sampai di rumah, ia melihat barang-barang mereka telah dikeluarkan dari dalam rumah.
Seluruh anggota keluarga Nababan merasa shock dengan kejadian tersebut. Mereka merasa tidak puas akan perlakuan militer. Namun sebagai kepala keluarga, Jonathan behasil meredam gejolak ketidakpuasan anak-anaknya sehingga tidak muncul halhal yang berujung pada perlawanan fisik.
Rapat di Meja Makan
Menurut kakaknya, Dumasi Nababan, Asmara dan Panda memang memperoleh perhatian lebih dari ayahnya. Kepandaian mereka berdebat menurun dari ayah mereka, yang selama era pergerakan telah memiliki pergaulan luas dan terbiasa bertukar pikiran dengan beberapa tokoh seperti Soekarno, Gatot Subroto, M Simbolon, Maraden Panggabean, dan Nasution.
Walau secara materi hidup berkecukupan, Asmara dan saudarasaudaranya tidak hidup manja. Jonathan Laba Nababan menerapkan filosofi bahwa “pekerjaan adalah undang-undang”. Oleh karena itu setiap anak-anak wajib mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Asmara misalnya terbiasa membantu ibunya berbelanja kebutuhan rumah tangga ke pasar. Jika berbelanja, ia boleh membeli udang, makanan favoritnya sejak kecil. Pekerjaan lain yang kerap dilakukan adalah melipat selimut.
Sejak kecil sampai usia SMA, orangtua mereka juga memberi uang saku yang cukup untuk Asmara dan saudara-saudaranya. Uang saku itu bebas digunakan untuk membeli apa saja sesuai kebutuhan mereka. Namun Asmara termasuk salah satu yang rajin menggunakan uang saku untuk mengoleksi bahan bacaan. Kegemaran Asmara membaca buku diturunkan dari ibunya yang semasa hidupnya memang banyak mengoleksi novel-novel petualangan berbahasa Inggris. Di antaranya adalah kisah petualangan Tom Sawyers.
Selain berprofesi sebagai guru, ibunya juga dikenal suka mengarang lagu, menyanyi, dan bermain sandiwara. Bahkan pada 1950-an ia pernah menyutradarai suatu sandiwara bernuansa religius. Barangkali itulah yang mempengaruhi Asmara sehingga dalam penggal hidupnya ia pernah aktif di dunia teater, bahkan pernah bermain dalam sebuah film yang diproduksinya sendiri.
Belajar ke Jakarta
Panda sempat kuliah di fakultas ekonomi Universitas Nommensen, Medan, setamat SMA tahun 1962. Belum setahun di sana ayahnya menyuruh dia pindah ke Jakarta. Di tanah Betawi tahun 1963 ia mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Bung Karno yang baru dibuka.
Seperti Panda, kuliah merupakan tujuan Asmara setiba di Jakarta. Ke Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) ia mendaftar. Tiga semester saja ia di sana. Tak kerasan ia berkutat dengan pelajaran anatomi, fisiologi, dan yang lain yang senantiasa membuat kening berkerut. Kepindahannya juga dipicu alasan tak tahan melihat darah ketika melakukan praktek di laboratorium.
Asmara memutuskan pindah ke jurusan yang lebih longgar, ia pindah ke Sastra Inggris, masih di perguruan tinggi yang sama. Ternyata tak jenak juga. Dia lelaki satu-satunya di kelas sehingga dirinya yang selalu ditugasi dosen menghapus papan tulis berlumur kapur. Entah karena itu ia angkat kaki, tak jelas.
Ke Lembaga Kesenian Jakarta (LKJ), sekarang menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ia berpaling. Apalagi Asmara memang berbakat seni. Mulai dari menulis cerita serta lakon, beracting, dan melukis akan rutin ia lakukan nantinya pada saat menjadi Direktur Yayasan Komunikasi Massa Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (Yakoma-PGI). Sebelum menjadi motor teater di Sanggar Bahtera milik Yakoma-PGI ia sempat juga berniat main film. Ke Teguh Karya ia datang untuk casting suatu waktu. Namun ia tiba terlambat sehingga urung menjadi pemain film.
Kendati suka dan berbakat seni, di Lembaga Kesenian Jakarta pun ternyata Asmara tak betah. Pada 1967, ia memutuskan keluar dari Fakultas Kedokteran, dan pindah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di sana ia mendalami ilmu hukum. Akan pindah lagikah dia? Ternyata tidak. Sekali ini ia kuliah sampai tuntas. Kendati lama, memang.
Pada 1975 Asmara lulus. Saat itu ia sudah punya anak satu. Kendati tamat, ijazah sarjana hukum tak pernah ia ambil. Bukan untuk sementara, tapi selamanya. Alasan dia asing di telinga orang banyak: ijazah tak begitu penting. Ada banyak hal yang lebih penting dari itu. Lagi pula kuliah bukan untuk ijazah.
Selama kuliah Asmara juga terjun ke dunia aktivis mahasiswa. Seperti Panda waktu kuliah di Medan, Asmara bergabung ke Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Di sana ia kemudian dikenal sebagai pegiat yang tekun, tak banyak lagu, dan ramah. Banyak teman-temannya menganggap Asmara memilikliu sikap cool.
Dalam mapram atau masa orientasi mahasiswa baru di lingkungan GMKI ke-cool-an dia senantiasa menarik perhatian para plonco. Alhasil, anak bungsu dari 11 bersaudara ini berkalikali terpilih sebagai senior terfavorit. “Ia menjadi senior saya waktu di GMKI di awal ’70. Kami kemudian sama-sama bergiat di sana. Para junior suka dia karena pembawaannya selalu apa adanya,” ucap Magdalena Sitorus, ibu keempat anak Asmara.
Lingkup organisasi kampus saja tak cukup lagi bagi anak muda kelahiran Siborong-borong, Tapanuli Utara ini. Masih sebagai mahasiswa, tahun 1971 ia menjadi anggota pengurus di Yakoma-PGI. Kelak, tahun 1978, Asmara berhenti dari pengurus dengan posisi terakhir sebagai wakil ketua. Mundur karena dirinya dipercaya menjadi direktur lembaga yang sama. Saat itu usianya baru 32 tahun.
Tatkala memulai debut sebagai aktivis ranah Kristen-lah tempat Asmara berpijak: GMKI. Dari sana ia berpromosi ke PGI.
Tak perlu heran mengapa domain Kristen yang menjadi titik tolak Asmara. Dia berasal dari keluarga Protestan yang taat. Kedua orangtuanya mendidik mereka bersebelas menjadi Kristen yang devoted sejak lahir. Ayahnya, Jonathan Laba Nababan (lulusan sekolah guru Hollandsch Indlandsch Kweekschool, Solo) dan ibunya, Erna Intan Dora Lumban Tobing (tamatan Meisjes Normal School, Padang Panjang) mengajari mereka berdoa dan membaca Alkitab sejak dini. Nanti , dua abang Asmara akan menjadi pendeta. Salah satu dari mereka, Soritua Albert Ernst Nababan menjadi Ketua Umum PGI (1984-1989), ephorus atau orang nomor satu di gereja Huria Kristen Batak Protestan (1987-1998), dan Presiden Dewan Gereja-Gereja se-dunia sejak 2006.
Ranah gereja pun akhirnya tak cukup luas lagi bagi seorang Asmara. Seiring waktu ia lantas menapak ke jagat yang jauh lebih lapang dan menantang. Beranjak dari gerakan mahasiswa ia bergerak jauh memasuki alam perjuangan untuk membumikan demokrasi dan menegakkan hak asasi manusia di Indonesia yang sangat ia cintai ini. Memperjuangkan civil society yang kokoh, itulah kata lainnya.
Aksi-Aksi Protes
Pertumpahan darah terjadi menyusul pembunuhan sejumlah jenderal angkatan darat. Massa yang dikerahkan militer proJenderal Soeharto memburu mereka yang dianggap pendukung Soekarno. Pembersihan secara sistematis kaum ’kiri’ berlangsung di seluruh negeri. Operasi berdarah ini masih berlanjut setelah Soekarno dilucuti kekuasaannya lewat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Salah satu yang menjadi korban pembersihan ini adalah Panda, abang kandung Asmara. Dia bukan orang kiri melainkan aktivis mahasiswa yang Soekarnois. Merupakan anak ke-10, Panda paling dekat secara emosional dengan Asmara. Bertaut dua tahun, sejak kecil mereka seperti kawan saja. Panda pernah tinggal kelas waktu SMP sebab ikut mengeroyok guru. Sejak itu di sekolah mereka berdua bukan bertaut dua kelas lagi, melainkan satu kelas. Keduanya jadi kian dekat lagi secara psikologis. Kedekatan itu berlanjut ketika mereka sudah di Jakarta. Mereka tinggal bersama untuk beberapa lama.
Panda yang merupakan Ketua Departemen Organisasi Gerakan Mahasiswa (Gema) Bung Karno kemudian diculik dan dijebloskan ke tahanan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di Lapangan Banteng pada April 1966. Di penghujung 1966 Panda baru dibebaskan. Panda tak pernah diadili, ia dibui semata karena Soekarnois.
Pada awal 1967 Panda ikut abangnya, Johannes yang jadi pebisnis di Manado. Baru setahun di sana ia dijemput petugas dari CPM Jakarta dan dijebloskan kembali ke Rumah Tahanan Militer Budi Utomo. Baru pada akhir 1968 ia menghirup udara bebas dan memulai karir sebagai wartawan.
Apa yang dialami Panda tentu mempengaruhi alam batin dan pikiran Asmara. Di sisi lain dia juga menyaksikan bagaimana pertarungan politik di paruh ke dua tahun 60-an yang berbuntut pada berbagai aksi penumbangan Soekarno dan pembersihan terhadap para pendukungnya yang menelan begitu banyak korban, termasuk korban jiwa. Selain dibantai, begitu banyak orang yang kemudian menjadi manusia bubu di seluruh negeri. Penjara-penjara sontak sesak dan keluarga pun begitu banyak yang mendadak berantakan. Pulau Buru akan menjadi monumen abadi yang identik dengan mereka yang dibubukan itu.
Pada masa yang sama, Asmara juga melihat glorifikasi orangorang kampus dan para aktivis yang dianggap berjasa dalam penumbangan Soekarno. Pergeseran power ditandai dengan terbukanya akses bagi para aktivis mahasiswa, yang dikemudian hari dikenal sebagai Angkatan ’66, ke tangga kekuasaan. Beberapa dari mereka kemudian menjadi anggota parlemen dan kelak menjadi menteri juga. Sebuah fase yang kemudian melahirkan friksi di lingkungan mereka sendiri. Muncul pertanyaan: apakah mahasiswa masih merupakan sebuah moral force.
Merapat ke kubu yang kritis terhadap penguasa baru, itulah yang dilakukan Asmara kemudian. Kubu tersebut berunsurkan cendekiawan-budayawan. Sebagian dari mereka dikenal sebagai pegiat Balai Budaya. Antara lain Mochtar Lubis, kakak-beradik Soe Hok Djin (kelak lebih dikenal sebagai Arief Budiman)-Soe Hok Gie, Goenawan Mohamad, dan lain-lain.
Sebenarnya para cendekiawan-budayawan ini tadinya masuk dalam barisan penentang Soekarno. Mochtar Lubis, Arief Budiman, dan Goenawan Mohamad misalnya bagian dari kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang berkonfrontasi secara terbuka dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang kiri. Kesadaran kritislah yang membuat mereka lekas mengakhiri bulan madu dengan Orde Baru. Masih pagi-pagi mereka sudah mengambil jarak. Pasalnya mereka melihat rezim baru ini lekas lupa komitmen dan mulai mengulangi kesalahan rezim yang dicela dan ditumbangkannya. Dari kelompok Balai Budaya, Soe Hok Gie lah yang tampil sebagai pengritik kekuasaan yang paling vokal. Tulisannya acap muncul di mediamassa utama.
Kekuasaan Orde Baru yang mulai korup dan konsolidasi kekuasaan yang mereka lakukan dengan menghalalkan segala cara menjadi pokok perkara pertama yang disoal kalangan oleh para pengritik. Asmara Nababan merupakan salah satu pengritik itu dan ia kemudian ikut muncul di berbagai forum.
Komite Anti Korupsi
Sebagai eksportir, Indonesia menikmati betul hasil boom atau bonanza minyak ini. Negara beroleh pajak minyak yang berlipat. Pertamina sebagai otoritas perminyakan nasional, pun menjadi kaya raya lalu meluaskan bisnisnya ke mana-mana. Hotel, resort, atau lapangan golf mereka bangun di banyak tempat.
Tapi berkah minyak ini juga sekaligus menjadi bencana: para pejabat mulai giat korupsi. Efek meniru bermunculan. Korupsi berjangkit di Pertamina, Bulog, Departemen Kehutanan, dan tempat lain. Pers secara kritis menyoroti fenomena ini secara intens.
Aksi protes menolak korupsi pun marak terutama di Jakarta dan Bandung, melibatkan para cendekiawan, budayawan, mahasiswa dan pelajar.
Di Jakarta Arief Budiman, Harry Victor, Sjahrir, dan Julis Usman melancarkan gerakan Mahasiswa Menggugat. Selain korupsi, yang mereka tentang adalah rencana pemerintah menaikkan harga minyak di dalam negeri.
Menanggapi aksi protes yang marak, para pejabat termasuk teknokrat yang duduk di kabinet antara lain Widjojo Nitisastro pun mencoba memberi penjelasan di pelbagai forum. Namun sia-sia saja, demo-demo tetap berlanjut.
Aksi protes baru sedikit mereda setelah Presiden Soeharto membentuk komisi khusus untuk memberantas korupsi pada 31 Januari 1970. Komisi ini dinamai Komisi Empat dengan melibatkan sejumlah tokoh terhormat. Ketuanya adalah Wilopo dengan para anggotanya antara lain adalah I.J. Kasimo, Herman Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto. Sekretarisnya Mayjen Sutopo Juwono. Sedangkan proklamator Mohammad Hatta menjadi penasehatnya.
Namun, aktivis mahasiswa beranggapan gerak Komisi Empat terlalu lamban, di Jakarta kelompok Mahasiswa Menggugat bersama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) membentuk Komite Anti Korupsi (KAK). Arief Budiman, Marsillam Simanjuntak, dan Sjahrir termasuk pentolannya. Sedangkan Asmara Nababan, Akbar Tanjung, Thoby Mutis, dan yang lain menjadi pegiatnya.
Asmara dan Akbar yang berkawan sejak masih di SD Nasrani Medan bekerja bahu-membahui untuk membeprkuat gerakan ini. Sewaktu di SD, panggilan Asmara masih Victor sedangkan Akbar adalah Janji Akbar Tanjung.
Komite Anti Korupsi sempat mendatangi sejumlah kementerian di Jakarta untuk meminta laporan tentang korupsi dan penghamburan uang negara. Di Bandung, di masa yang sama, kelompok Bandung Bergerak juga giat memerangi korupsi.
Pada September 1970 parlemen membahas Rancangan UndangUndang Anti-Korupsi. Merasa tuntutannya telah didengar, para pengunjuk rasa lantas cooling down. Tak terkecuali KAK. Ternyata perasaan mereka terbukti tak berdasar. Praktik menilap uang negara berlanjut hingga sekarang, sekitar empat dasawarsa berselang.
Golput
Di masa konsolidasi kekuasaan yang pekat dengan warna de-Soekarnoisasi, Orde Baru bertumpu pada tiga pilar utama yakni militer-birokrasi-Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar). Sekber Golkar merupakan organisasi ’kelompok fungsional’ bentukan Angkatan Darat.
Langkah pertama penguasa Orde Baru adalah menguasai parlemen. Tentara dan orang-orang Sekber Golkar dimasukkan ke MPRS untuk menggantikan mereka yang dianggap pro-Soekarno. Parlemen inilah yang kemudian, pada Maret 1967, mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Setahun berselang mereka pula yang menetapkan Panglima Kostrad itu sebagai kepala negara.
Setelah Soeharto menjadi orang nomor satu, ia menempatkan para perwira loyalis di posisi strategis birokrasi. Lalu, birokrasi pun di-Golkarkan. Agar golkarisasi mulus maka semua kekuatan lama di tengah masyarakat yang dianggap pendukung Soekarno dilumpuhkan secara sistematis. Kekuatan intelijen—Kopkamtib, BAKIN, dan Opsus, khususnya—dikerahkan untuk itu.
Setelah mendapatkan posisi aman, Orde Baru memutuskan untuk menggelar Pemilu. Pada 1971 dilaksanakan Pemilu pertama Orde Baru sekaligus Pemilu ke dua sejak Indonesia merdeka. Pemilu pertama di republik ini tahun 1955. Empat besar peraih suara kala itu adalah Partai Nasional Indonesia (PNI, 22, 3%), Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi, 20,9%), Nadhatul Ulama (NU, 18,4%) dan Partai Komunis Indonesia (PKI, 15,4%).
Menjelang pemilu 1971 konsolidasi Orde Baru berlangsung lebih intens. Keluar Peraturan Menteri Nomor 12 pada 4 Desember 1969 yang melarang wakil Sekber Golkar di parlemen pusat dan daerah ikut partai politik. Pilihannya adalah ikut Golkar atau ke luar dari parlemen. Golkar tak pernah disebut sebagai parpol kendati dalam praktiknya merupakan partai murni.
Presiden Soeharto kemudian menugasi secara khusus Menteri Dalam Negeri Amir Machmud untuk mengenyahkan semua perintang jalan Golkar. Amir Machmud pun membentuk direktorat jenderal khusus di kementeriannya. Tugasnya? Melakukan ’pembinaan politik’. Menjelang pemilu jenderal yang oleh pers dijuluki ’buldoser’ ini membentuk Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri) sebagai wadah tunggal seluruh pegawai negeri. Pada pemilu 1971 setiap anggota Korpri wajib memilih Golkar. Wajib Golkar juga berlaku untuk ABRI (yang mencakup Polri). Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa pewajiban ini berlanjut.
Di saat yang sama operasi intelijen berlangsung di tengah masyarakat. Tujuannya, melumpuhkan kekuatan apa saja yang potensil menjadi perintang bagi Golkar saat Pemilu nanti. Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Jenderal Ali Moertopo dan satuan intelijen lain turun untuk menggembosi partai-partai Islam dan nasionalis yang berjaya waktu Pemilu 1955.
Kopkamtib yang langsung di bawah kendali Jenderal Soeharto memanfaatkan kekuatan teritorial (dari Kodam hingga KoramilBabinsa) untuk melempangkan jalan Partai Kuning. Oleh penguasa, siapa saja yang tak mendukung Golkar dipersepsikan sebagai musuh negara.
Kelompok-kelompok kritis mengecam tindakan penguasa yang kian semena-semena. Menjelang Pemilu, pada 28 Mei 1971, kelompok Golongan Putih (Golput) mendeklarasikan keberadaannya. Jurubicara utama mereka adalah Arief Budiman. Motor gerakannya di lapangan antara lain Imam Waluyo, Julius Usman, Jusuf AR, Marsillam Simanjuntak, Jopie Lasut, dan Asmara Nababan. Kendati secara resmi bukan pencetus atau pegiat, pengacara kawakan Adnan Buyung Nasution secara terbuka juga setia mendukung mereka.
Golput mengkampanyekan gerakan pemboikotan Pemilu. Alasannya, karena ’pesta demokrasi’ itu manipulatif. Golkar dan kontestan lain tidak menghargai prinsip fair play.
Ali Moertopo yang saat itu merupakan asisten pribadi (aspri) presiden secara terang-terangan memperlihatkan ketaksukaannya. Ia menyebut Golput itu seperti kentut: baunya terasa tapi tak kelihatan barangnya.
Golput telah berjuang keras berkampanye. Begitupun, tingkat partisipasi rakyat dalam Pemilu 1971 ternyata sangat tinggi. Hal ini berkat operasi yang sistematis yang melibatkan segenap aparatur kekuasaan. Golkar membukukan sukses yang tak tanggungtanggung. Mereka merebut 62,8% suara. Sementara kekuatan lama yang diperkirakan akan menjadi saingannya—PNI dan NU— jatuh terpuruk.
Melahirkan dan Mengasuh Kawanku
Asmara Nababan memang bersentuhan dengan Kawanku. Majalah mingguan untuk kanak-kanak untuk usia SD hingga SMP itu terbit sejak 1970. Pendirinya, adalah Asmara bersama empat temannya: Julius Siyaranamual, Toha Mohtar, Fadli Rasyid, dan Trim Sutidja. Para penulis cerita anak, itu latar belakang mereka berlima.
Asmara dan Julius kawan karib sebaya. Kegandrungan pada seni dan dunia tulis-menulis mempertautkan mereka. Namun kelak, Julius (alm) lebih konsisten di jalur ini. Pilihan hidup sarjana muda dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta adalah sastrawan sekaligus wartawan. Di hari tuanya ia menjadi aktivis kemanusiaan, mengurusi orang-orang dengan HIV/AIDS, termasuk pekerja seks komersial. Ia memberdayakan mereka, antara lain, dengan melatih mereka berteater. Toha Mohtar dan Fadli Rasyid lebih senior. Selain satrawan serius, keduanya adalah perupa yang sketsa dan ilustrasinya menghiasi berbagai media, jauh sebelum tahun 1970.
Saat itu, bacaan anak di negeri ini, baik buku mau pun majalah, sangat sedikit. Apalagi yang berkonteks Indonesia dan bermutu. Bagi kanak-kanak yang tidak tinggal di kota utama Pulau Jawa, kitab bacaan atau majalah seperti itu langka; berkesempatan membacanya merupakan kemewahan. Terlebih untuk kaum tak berpunya. Padahal bacaan merupakan rabuk bagi otak. Terutama bacaan berkualitas, yang memperluas jagat wawasan dan merangsang kreativitas.
Apa jadinya nanti kanak-kanak Indonesia tanpa rabuk otak semacam itu? Pertanyaan ini mengusik pikiran Asmara dan kawankawan. Pada 1970 itu, sumber informasi yang bisa diakses anakanak kita sungguh terbatas. Bacaan dalam bentuk cetakan itu yang paling mungkin diandalkan. Harap maklum, jangankan internet, sambungan telepon pun masih langka di rumah-rumah pribadi, termasuk di kota-kota utama.
Potret masa depan yang buram membayang sungguh, sebab dunia pendidikan kita tak bisa diharapkan. Saat itu—ternyata sampai sekarang pun demikian—anak-anak tidak dididik untuk kreatif di sekolah. Mereka cenderung membeo, karena dikondisikan lewat pengajaran satu arah. Belakangan pedagog asal Brazil Paulo Freire menamai pendekatan ini sebagai pendidikan gaya bank.
Asmara Nababan dan kawan-kawannya yang prihatin melihat realitas kelam ini berikhtiar melakukan sesuatu. Sebagai upaya mencairkan kebekuan dunia anak Indonesia, mereka lantas menerbitkan bacaan yang bisa merangsang kreativitas anak, Kawanku. Impian mereka sebagai pendiri jelas tergurat dalam motto terbitan itu, yakni untuk meningkatkan akal budi dan pengembangan daya kreasi. Motto terjabar dalam sajian segar berupa cerita bergambar, cerita pendek, profil pelajar, TTS, test evaluasi belajar, dan yang lain.
Tatkala Kawanku terbit, belasan majalah anak-anak yang pernah beredar di Republik ini telah berkalang tanah. Praktis yang masih terbit hanya Si Kuntjung yang diasuh Soekanto SA dkk. Didirikan Sudjadi SA tahun 1959, terbitan ini kelak akan tercatat sebagai majalah penyaji sastra anak terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Oplah Si Kuntjung menurut laporan majalah Tempo edisi 1971 mencapai 92 ribu.
Asmara dan kawan-kawan mengurusi Kawanku sepenuh hati sampai majalah yang mengusung sastra anak ini dapat bertahan lama, bahkan setelah Si Kuntjung tidak terbit lagi. Secara finansial keadaannya terus membaik. Tak heran kalau Asmara menyuruh stafnya meminjam uang ke kantor majalah ini di Jl. Setiabudi, ketika lembaga yang dipimpinnya, Yakoma, krisis dana tunai. Hal ini diungkapkan Melati Rumahorbo, anak buahnya dulu di Yakoma.
“Biasanya Bang As akan telepon tangan kanannya di Kawanku. Suryo namanya. ‘Sur, dua puluh menit lagi Melati akan datang. Kasih uang satu juta. Ambil dulu di bank’. Suryo nanti akan teken cek atas nama Bang As,” kenang Melati. Sebagai pembesar di Kawanku, Asmara punya otoritas, termasuk meminjamkan dana.
Pada boks pengasuh Kawanku edisi 1976, misalnya, Asmara tercatat sebagai pemimpin umum. Toha Mohtar pemimpin redaksi. Adapun Julius R. Siyaranamual, Theresia S. Yansen (seorang penulis cerita anak, isteri Julius R. Siyaranamual), Susilomurti, Fadli Rasyid, dan Trim Sutidja ada di jajaran dewan redaksi. Mereka bermarkas di Asemka. Sedangkan bagian tata usaha berkantor di Setiabudi (kelak pindah ke Cengkareng).
Ketika kelak pada 1983 Asmara pulang kampung ke Siborong-borong untuk menemani ibunya yang sudah sepuh dan sakit. Kawanku ia tinggalkan, seperti halnya Yakoma. Julius R. Siyaranamual melanjutkan perjalanan majalah ini bersama Toha Mohtar dan yang lain. Toha bertahan sampai tahun 1984. Sedangkan Julius hingga 1989. Setahun berselang, cerpenis mantan redaktur Sinar Harapan itu menjual Kawanku ke Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Alasannya, tak ada lagi kawannya untuk mengurusi Kawanku. Ia kemudian mengasuh koran Surya di Surabaya bersama Valens Doy (alm).
Ketika membeli Kawanku, KKG sebenarnya sudah punya majalah anak-anak Bobo, yang didirikan PK Ojong, Tineke Latumeten, Jakob Oetama, dan Adi Subrata pada 1973 dengan membeli lisensi dari Belanda. Oleh KKG majalah Kawanku dijadikan majalah remaja perempuan. Tampaknya agar tak berebut pangsa dengan Bobo. Sebagai catatan, KKG memiliki majalah untuk semua kelompok umur dari usia di bawah tiga tahun (batita) hingga manula. Saat ini di lingkungan KKG, majalah Kawanku dimasukkan dalam grup lifestyle mode. Segmentasi pembaca Kawanku disebut “remaja
Jelas, seorang Asmara Nababan pernah belasan tahun intens mengurusi dunia anak-anak lewat Kawanku. Sejak kembali dari Siborong-borong hari-harinya tersita untuk mengurusi LSM ini-itu. Belakangan ia juga menjadi semacam lokomotif di Komnas HAM. Tak tersisa lagi waktunya untuk menyambangi kanak-kanak di seluruh negeri lewat bacaan kreatif macam Kawanku. Kehilangankah anak-anak Indonesia? Tentu ya, tetapi sesungguhnya tak terlalu. Sebab masih ada kekasih hati Asmara yang mengurusi anak-anak Indonesia dengan cara lain.
Orang itu adalah Magdalena Sitorus. Ibunda dari Juanita, Natasha, Aviva, dan Nathan ini adalah isteri Asmara. Magda sejak lama bergiat memperjuangkan hak anak. Wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia periode 2004-2007, dan 2007-2010 berperan sentral di Jaringan Peduli Anak Bangsa dan di Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan. Kendati tak di Kawanku lagi, lewat Magda, Asmara sebenarnya tetap bersentuhan dengan dunia anak Indonesia.
Anti Taman Mini
Ide membangun semacam Disneyland di Jakarta sebenarnya berasal dari Gubernur DKI Ali Sadikin. Nama yang ditetapkan adalah Taman Miniatur Indonesia Indah (TMII). Lokasinya di bilangan Jakarta Timur. Entah mengapa Ny. Tien Soeharto kemudian yang bertindak sebagai eksekutor proyek yang di masa itu bernilai Rp 10,5 milyar.
Pada 1972 dananya mulai dihimpun. Nyonya Tien meminta uang dari para pengusaha, departemen, dan para gubernur. Mediamassa mengungkapnya. Kritik muncul dari pelbagai kalangan. Nama Ny. Tien pun, oleh para mahasiswa, diplesetkan menjadi ’Madame Ten Percent’.
Berbagai gerakan lantas muncul menolak proyek ini. Di antaranya Gerakan Penghemat, Gerakan Akal Sehat (GAS), dan Gerakan Penyelamat Uang Negara. Asmara Nababan kembali turun ke jalan bersama kawan-kawannya berkampanye menolak proyek Ny. Tien.
Namun seperti anjing mengonggong kafilah berlalu, Proyek Taman Mini jalan terus. Presiden Soeharto secara terang-terangan bahgkan memperlihatkan dukungan kepada sang isteri. Nanti, sehabis Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), proyek ini akan lebih mudah diteruskan karena kaum kritis yang menentangnya sudah dilibas.
Setelah beberapa tahun ’Disneyland Indonesia’ akhirnya rampung. Ada beberapa orang yang berpantang menginjakkan kaki di sana. Asmara termasuk salah seorang di antaranya. Seumur hidup untuk alasan apa pun ia konsisten tak sudi menjejakkan telapaknya di objek wisata favorit Jakarta tersebut.
”Suatu hari anak-anak kami ada kegiatan sekolah di Taman Mini. Orang tua harus mendampingi karena mereka masih kecilkecil. Saya sedang capek sehingga minta Asmara yang nemanin. Eh, dia tetap nggak mau meski saya telah mencoba membujuknya. Akhirnya saya yang nyetir ke sana,” ungkap Magdalena Sitorus, ibu dari keempat anak Asmara.
Atmosfir politik pada 1972 terus memanas. Kelompok kritis yang berunsurkan cendekiawan, budayawan, dan mahasiswa terus mengecam pemerintah yang mereka anggap semakin korup dan otoriter. Mediamassa yang menempatkan diri sebagai watch dog kekuasaan mengartikulasikan suara miring tersebut dengan bersemangat. Pada sisi lain pemerintah juga mengcounter lewat media yang menjadi corong mereka.
Ambisi Orde baru membangun kekuasaan yang hegemonik berlanjut. Pada 1973 pemerintah memaksa semua parpol peserta Pemilu 1971 berfusi. Parpol tunduk kendati sangat tak suka. Tak bisa apa-apa, mereka. Hasil kawin paksa itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia. Untuk selanjutnya selama Soeharto menjadi kepala negara hanya kedua parpol inilah, bersama Golkar, kontestan Pemilu (tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997). Kawin paksa ini menimbulkan ekses berupa konflik tak berkesudahan di tubuh PPP dan PDI. Hal ini wajar mengingat unsur pembangunnya satu sama lain tak pernah akur. Selain itu penguasa juga rajin merecoki.
Masih di tahun 1973, pemerintah juga memberlakukan kebijakan massa mengambang (floating mass). Dalam hal ini PPP dan PDI dilarang berkegiatan di tingkat ranting (desa) dan anak cabang (kecamatan). Teritori terjauh mereka sebatas tingkat kabupaten/kotamadya saja. Jelas kebijakan yang kelak (pada 15 Agustus 1975) menjadi undang-undang ini dimaksudkan untuk membonsai kedua saingan Golkar. Fusi dan pembonsaian parpol di tahun 1973 ini juga menjadi pokok yang disoal oleh Asmara dan kawan-kawannya. Sejumlah mediamassa yang terkenal kritis bersuara mengenai hal ini.
Pada pertengahan Agustus 1973 pemerintah kembali menjadi sasaran kecaman keras. Waktu itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan diumumkan. Penolakan keras kontan datang. Kali ini dari umat Islam. Saat Menteri Agama Mukti Ali membacakan jawaban pemerintah terhadap RUU ini pada 27 Septermber, massa Islam menyerbu dan merusuh di gedung DPR/MPR. Tentu saja pers juga mewartakan hal ini dengan gencar.
Memasuki 1974 kian kental atmosfir pertentangan antara penguasa Orde Baru dengan kelompok-kelompok kritis, termasuk mediamassa yang konsisten menempatkan diri sebagai watch dog. Di masa itu pula telah berkibar seorang jenderal progresif. Oleh para mahasiswa dan pers orang itu dielu-elukan sebagai calon pemimpin yang layak menggantikan Soeharto. Dia adalah Soemitro, Panglima Kopkamtib yang rajin berbicara di kampus-kampus.
Di masa itu Asmara sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Magdalena Sitorus. Sesuai rencana, mereka akan menikah di gereja HKBP Hang Lekiu, Jakarta, pada 20 Februari 1974.
Pertengahan Januari 1974 PM Jepang Kakuei Tanaka akan berada di Jakarta. Kunjungan Tanaka dimanfaatkan oleh beberapa kalangan—terutama mahasiswa—untuk melangsungkan demonstrasi besar-besaran untuk menolak hegemoni Jepang di pasar Indonesia. Banjir produk Jepang memang sudah keterlaluan, tak beda dari saat ini. Mulai dari kendaraan yang menyemut di jalanan hingga alat-alat rumah tangga yang berjejal di dapur atau ruang tamu.
Pada 15 Januari 1974 massa dari mana-mana bergerak menuju beberapa titik di Jakarta. Mereka bukan hanya mahasiswa, rupanya. Dalam waktu singkat aksi massa ini menjadi amuk massa yang luar biasa. Perusakan, pembakaran dan penjarahan terjadi di pusat perbelanjaan Senen, Jl. Sudirman, dan Jl. MH Thamrin, dan tempat lain. Segala yang berbau Jepang mereka sasar. Akibat kerusuhan ini 11 orang kehilangan nyawa, 17 orang luka berat, 120 orang luka ringan, 807 mobil dan 187 sepeda motor hangus. Tak kurang dari 144 bangunan yang terbakar atau porak-poranda. Di antaranya gedung Astra, Coca-Cola, dan Pertamina.
Tak lama setelah peristiwa ini 12 suratkabar dibredel, termasuk Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis dan Harian KAMI. Mereka yang oleh penguasa dianggap sebagai otak kerusuhan ditahan, termasuk Hariman Siregar, Sjahrir, Dorodjatun Kuncoro-Djakti, Adnan Buyung Nasution, Mochtar Lubis, Enggak Baharuddin, Princen, Imam Waluyo, Marsillam Simandjuntak, dan Jusuf AR. Hariman, ketua Dewan Mahasiswa UI, kemudian divonis 6 tahun penjara; Sjahrir 6,5 tahun. Mereka ini adalah sekutu Asmara dalam gerakan-gerakan sebelumnya yang mencoba melakukan koreksi terhadap Orde Baru.
Ketika Peristiwa Malari meledak pada 1974, Ucok alias Dimardi Abbas menyembunyikan Asmara Nababan, ketika menghindari kejaran aparat keamanan.
Sesuai rencana, kurang sebulan setelah Malari, Asmara menikah. Dunia gerakan sedang tiarap sehingga ia berkesempatan merampungkan studinya, kemudian. Beberapa kawan seperjuangannya masih mendekam di bui. Tahun 1975 ia akhirnya lulus dari FH-UI. Satu anak ia sudah punya pula.
Asmara pada kurun ini lebih banyak bergiat di majalah Kawanku. Ia juga aktif di Yakoma. Sejak 1971 ia jadi pengurus Yakoma yang sekaligus harus mengurusi Sanggar Bahtera Yakoma.
Dengan Sanggar Bahtera Mengarungi Samudera Seni
Bunyi mesin ketik senantiasa terdengar meningkahi ucapannya. Bunyi itu akan hilang saban ia mengatakan, ”Eh…coret dulu itu …. Jangan…jangan…yang itu nggak usah”, atau ”Baca dulu kalimat terakhir.” Kalau bukan kata, asap rokok juga terus mengepul dari mulut si pria bertubuh semampai dan atletis itu. Menyeruput kopi menjadi selingan tindaknya. Kata-kata, bunyi tek-tek-tek-tek mesin ketik, asap rokok, dan aroma kopi seperti satu paket penyemarak ruang kerja itu saja.
Kalau saja Asmara mau, ia bisa terus berkata-kata. Sampai dua-tiga jam pun sanggup, tanpa perubahan intonasi yang mengisyaratkan keletihan. Sungguh mencengangkan bagaimana otaknya mampu berproses membangun dan menjalin perkisahan, dan modalnya lebih banyak berupa imajinasi. Apalagi setting ceritanya bisa mundur jauh sekali ke masa sebelum masehi. Tak ragu lagi, ia memiliki kemampuan olah imaji yang tak biasa. Kalau orang yang mengetik tuturannya sudah mulai kedodoran—pertanda kelelahan—barulah lelaki itu berhenti. Istirahat dulu, katanya. Setelah merokok, ngopi, dan berjalan ke sekeliling untuk meregangkan otot, ia akan mencari juru ketik berikutnya. Yang ia sasar, orang yang sedang tak banyak kerja.
Lelaki pencerita itu adalah Asmara Nababan. Posisinya saat itu direktur Yakoma-DGI (Yayasan Komunikasi Massa—Dewan Gereja-Gereja di Indonesia). Yang mengetik bisa Melati, bisa Juli. Kalau keduanya sedang sibuk ya staf yang lain.
”Aku yang sering diminta ngetik. Biasanya dikontrol dulu kita sedang ngerjain apa. Aku kan sudah di bagian pembukuan. Kalau aku dilihat sedang memegang buku besar nggak akan disuruh ngetik,” kata Melati Rumahorbo yang bekerja di Yakoma sejak 1973 sampai sekarang.
Naskah untuk fragmen banyak dikerjakan Asmara. Cerita itu terdiri dari beberapa telep (singkatan dari teleplay)) atau penggalan. Setelah proses pendiktean dan pengetikan selesai, masuk ke penyuntingan. Dia, sebagai si empunya cerita, akan mencoret atau membubuhkan catatan di sana sini. Juga menambahkan sambungan cerita di bagian-bagian tertentu. Tahapan selanjutnya adalah pengetikan ulang oleh sekretaris. Naskah bersih akan diperiksa lagi oleh si pengarang cerita, sebelum menjadi bahan latihan pementasan.
Ada kalanya Asmara menuliskan sendiri ceritanya. Jadi ia tak perlu tukang ketik. Tapi yang paling kerap ia lakukan adalah bertutur lisan seperti tadi. Dalam hal ini ia berbeda dengan Julius R. Siyaranamual. Sobat karibnya ini selalu mengetik sendiri naskahnya. Anak Nusa Tenggara Timur yang satu ini memang sastrawan profesional. Kala itu ia merupakan penulis paling bernas di Yakoma.
Selain mengarang berbagai kisah, Asmara membuat sendiri skets untuk panggung. “Dia itu melukis juga. Sketsnya bagus,” kata Agus Riwajadi. Agus bergabung dengan Yakoma pada 1979 dan pensiun beberapa bulan lalu. Sang direktur juga menyiapkan maket untuk panggung nanti. Menggergaji kayu dan memalu untuk membuat properti macam miniatur rumah dan ruang, biasa ia lakukan. Juga membuat partisi, kursi, atau sofa.
Satu lagi yang selalu ia kerjakan adalah mengarahkan para pemain—dari mulai gerakan dan vokal hingga kostum—serta menyutradarai pementasan. Dia adalah seniman dalam artian yang sesungguhnya selama menakhodai Yakoma.
Memimpin Yakoma
Sedikit catatan ihwal organisasi ini. Yakoma adalah nama pengganti dari Jakoma (Jajasan Komunikasi Massa) setelah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) berlaku sejak 12 Oktober 1972. Jakoma adalah bagian dari Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), organisasi yang berdiri pada 25 Mei 1950. Kelak, setelah Sidang Raya di Ambon tahun 1984, nama DGI berganti menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Nama ‘Jakoma’ baru dipakai belakangan. Sampai 1960 sebutannya adalah KORAVI (Komisi Radio dan Audio-Visual)-DGI. Program utamanya, siaran radio melalui RRI Program Nasional. Nama KORAVI-DGI lantas berubah menjadi KOKOMA-DGI (Komisi Komunikasi Massa)-DGI. Program utamanya meluas seiring pergantian nama. Selain siaran radio untuk RRI, kegiatannya sekarang mencakup poduksi kaset dan mengisi acara mimbar agama (Kristen) di TVRI.
Sejak sidang Raya DGI ke-7 di Pematang Siantar, Sumut, pada 1971 nama KOKOMA-DGI berganti menjadi JAKOMADGI. Kalau tadinya berupa komisi, statusnya kemudian menjadi yayasan. Tujuannya, agar lebih mandiri. Secara eksplisit digariskan bahwa tugasnya menjalankan komunikasi massa lewat Siaran Mimbar Agama TVRI dan Siaran Agama di RRI Program Nasional. Markasnya di kantor DGI Jalan Salemba Raya No.10, Jakarta Pusat, mereka. Tapi sejak 1972 pindah ke tempat sekarang, di Jl. Cempaka Putih Timur XI/26, Jakarta.
Sebelum Asmara menjadi direktur Yakoma pada 5 Juni 1978, manajemen lembaga ini masih berantakan. “Sebelum Bang As, direktur kita sering berstatus pjs (pejabat sementara) sehingga nggak sempat ada pembenahan secara serius,” ungkap Melati.
Wajar kalau pogramnya sedikit. Yang menjadi tumpuan kala itu adalah studio rekaman yang ada sejak 1975. Studio yang didanai World Association for Christian Communication—WACC, berdiri pada 1968 sebagai jaringan komunikator Kristen se-dunia. Markasnya di Toronto. Anggotanya sekitar 1.500 lembaga dan individu dari lebih 100 negara—dipakai untuk rekaman suara pengisi acara di RRI dan TVRI. Bentuk acaranya khotbah dan paduan suara. Disewakan juga studio ini yakni untuk memproduksi kaset rekaman drama dan lagu (penyanyi solo, vokal grup, dan koor gereja). Sedemikian jauh pemanfaatan tempat rekaman ini masih ala kadarnya.
Menurut Melati, sebelum Asmara menjadi direktur, mereka lebih banyak menganggur. Untuk membunuh waktu biasanya mereka akan membaca Kho Phing Hoo. Serial cerita silat seperti Suling Emas, Suling Mas Naga Siluman, Sepasang Pedang Iblis, Pedang Kayu Harum, Pendekar Super Sakti atau Istana Pulau Es berpindah dari tangan ke tangan staf. Tak lama setelah dilantik menjadi direktur, Asmara mengumpulkan staf yang cuma lima orang. Dia bertanya apakah mereka setuju dia menjadi direktur. “Setuju,” jawab mereka. Lalu dia bilang, “kalau begitu nggak ada lagi acara membaca Kho Phing Hoo di sini.”
“Sejak itu kami berhenti ber-Kho Phing Hoo-ria. Padahal kami tahu Bang As itu pelahap Khoo Phing Hoo, Karl May, dan yang lain. Dia suka kok bertukar cerita soal Suling Emas misalnya,” kata Melati.
Fragmen
Fragmen menjadi bagian dari Mimbar Agama Kristen di TVRI. Hadir saban minggu ke tiga dalam setiap bulan. Upaya menyajikan fragmen sekali dalam setiap bulan tentu sangat menyita tenaga dan waktu. Naskah harus disiapkan dan para pemainnya harus direkrut dan dilatih.
Asmara dan Julius R. Siyaranamual bertugas mengurusi naskah. Mereka menulis sendiri dengan mengeksplorasi isi Alkitab dan khazanah luar agama atau mengadaptasi karya asing. Kelak, ketika kian kewalahan memasok naskah cerita, mereka menggelar workshop menulis di Puncak. Lahir juga penulis cerita setelah itu, tapi terlalu sedikit sehingga mereka masih menjadi tulang punggung untuk urusan script.
Sumber rekrutmen pemain fragmen adalah gereja, yang sanggarnya aktif dipantau. Kalau dianggap layak, sanggar itu diundang dan dilatih. Suaranya direkam. Di studio TVRI nanti mereka tampil dengan teknik play back.
Tayangan fragmen di TVRI berhasil mendongkrak popularitas produk Yakoma. Kemasan khotbah, dialog, serta paduan suara yang dihadirkan kian digemari khalayak Kristen. Memang, di sisi lain, Yakoma diuntungkan keadaan saat itu. Sebagai organ DGI, mereka lah provider tunggal sajian Mimbar Agama Kristen di TVRI dan Santapan Rohani di RRI. Otoritas itu didapat DGI dari Departemen Agama. Maka jadilah mereka pemegang monopoli sajian untuk orang Kristen terutama di TVRI. Sebagai catatan, belum ada TV swasta waktu itu sehingga tayangan Mimbar Agama Kristen setiap Minggu pukul 19.15 wib praktis tanpa saingan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Yakoma tak perlu repotrepot mencari pengisi acara, terlebih untuk tayangan televisi. Orang mendatangi mereka, bukan sebaliknya. Khalayak gereja sungguh senang tampil di televisi. Pun para staf DGI, toko buku Gunung Mulia, dan lembaga-lembaga milik atau yang berafiliasi ke gereja. Untuk itu ke Cempaka Putih Timur XI/26-lah mereka merapat.
Produk Yakoma muncul empat kali saban bulan di TVRI, dengan fragmen setiap minggu ketiga. Sebagai perbandingan, jatah untuk Katolik di media yang sama hanya sekali. Jadi kotbah, dialog, koor, dan fragmen menjadi satu paket saja. Sanggar Prathivi yang dibintangi Maria Oentoe acap tampil di acara ini. “Tapi kita lebih aktif dibanding Sanggar Prathivi. Kostum kita lebih lengkap. Dulu mereka sering minjam kostum kita,” Melati mengenang.
Sebelum tampil, calon pengisi acara berlatih secara intensif dan direkam suaranya di studio. Jadi, kantor Yakoma senantiasa berkegiatan. Orang datang silih berganti dari berbagai tempat. Kalau giliran paduan suara berlatih dan rekaman, hiruk-pikuk pun tak terhindari. Ya, tiada lagi hari tanpa kesibukan. Jadi para staf— tanpa dilarang pun—tak akan punya waktu lagi mencumbui karya Kho Phing Hoo.
Kegiatan akan berpuncak setiap dua bulan menjelang Natal. Permintaan ke Yakoma agar menampilkan drama berdatangan dari BUMN, perusahaan swasta, atau lembaga negara. PLN dan Pertamina, termasuk yang rajin mengorder. Drama Natal ini biasanya panjang (45 atau 60 menit).
Jesus Christ Super Star
Mereka lalu mengundang sejumlah orang teater, termasuk Steve Liem yang kemudian lebih dikenal sebagai Teguh Karya. Asmara yang berkawan dengan Slamet Rahardjo pernah datang ke tempat Teguh Karya untuk casting. Tapi ia datang terlambat sehingga urung terlibat dalam teater tersebut.
Teater tentu harus punya nama. Untuk si jabang bayi Yakoma nama apa gerangan yang pas diberikan? Teguh Karya yang pernah kuliah theologi itu mengusulkan nama: Sanggar Bahtera. Hadirin setuju.
Sanggar Bahtera berlatih rutin. Teguh Karya, Pitrajaya Burnama, Franky Rorimpandey, Edward Pesta Sirait (Edo), atau Remy Silado pernah ikut mengurusi. Juga Wahyu Sihombing juga sesekali. Teguh Karya sempat intens terlibat. Ia misalnya pernah menyutradarai drama Dua Abang Adik, dengan pemain antara lain Lena Simanjuntak dan Semmy Pattinasarani (Semmy Patty), Magdalena. Asmara sendiri menyiapkan naskah drama televisi Menjaring Angin. Syutingnya di Manado.
Kelak Yakoma juga melatih para pendeta untuk berteater. Teguh Karya pernah terlibat dalam hajat ini. Dalam sebuah artikelnya yang terbit pada 2005 (Liturgi dan Teater: Pada Dasarnya, Liturgi Itu Memang Sebuah Teater), Julius R. Siyaranamual menyebut pelatihan akting bagi pendeta-pendeta yang ditangani Teguh Karya sangat gemilang.
Pemain sanggar tidak ada yang tetap. Cabutan, istilahnya. Mereka direkrut sesuai karakter yang dituntut oleh naskah. Agama tak menjadi syarat. Seniman yang Muslim pun ikut main. Meski pemain silih berganti, ada saja mereka yang menjadi ‘langganan’. Bambang Suryo dan Magdalena Sitorus, di antaranya. Bambang Suryo yang belakangan dikenal sebagai aktor laris sinetron saat itu bekerja sebagai operator studio Yakoma. Tugasnya mengurusi paket rekaman untuk TVRI. Magda yang pada 1974 menikah dengan Asmara nanti akan dikenal sebagai pemain sekaligus pelatih teater.
Magda yang kemudian dinikahi Asmara mengatakan, dia sebenarnya tak sengaja sebenarnya terjun ke dunia teater. Ceritanya, suatu hari ia ke Yakoma dengan mobil yang ia setir sendiri. Dia tak ingat lagi apakah waktu itu mau mengantar atau menjemput suaminya, Asmara. Yang pasti di Yakoma sedang banyak orang. Teguh Karya tengah casting. Ternyata Teguh Karya memilih dia sebagai pemain. Ia pun disuruh membaca script.
“Waktu itu As juga ragu. Ini kan nggak main-main. Pikirin dulu. Atau lain kali aja ikut main, kata dia. Dibilang gitu saya malah tertantang. Saya coba aja, nanti kalau jelek didrop nggak apa-apa, saya bilang.”
Teguh Karya menganggap Magda, yang nama sebutannya ‘Butet’, layak main. Ia kemudian dipasangkan dengan Asmara dalam hubungan sebagai menantu perempuan dan mertua. Magda suka peran itu.
Fragmen Dua Abang Adik ditayangkan TVRI di malam menjelang pergantian tahun 1979. “Sejak itu saya sering diminta main. Saya main tapi sengaja membatasi diri. Saya sudah berkomitmen untuk fokus pada keluarga. Jadi kegiatan di sanggar saya anggap selingan yang mencerahkan diri saja,” ucap dia.
Produksi paling spektakuler dari Sanggar Bahtera Yakoma tak lain adalah Jesus Kristus Sang Bintang (Jesus Christ Super Star). Rock-opera yang disutradarai Remy Silado ini digelar di Balai Sidang pada 20- 21 Juni 1980. Syair dan musik yang diciptakan Tim Rice dan Andrew Weber di awal ’70-an ini diindonesiakan Julius R. Siyaranamual. Asmara Nababan kala itu bertindak sebagai koordinator. Sejumlah penyanyi terkenal terlibat dalam perhelatan.
Termasuk Berlian Hutauruk sebagai Bunda Maria, Martin Luther Meset—mantan anggota Black Brothers berperan sebagai Yesus, Charles Hutagalung berperan sebagai Herodes. Para bintang ini masih didampingi sejumlah penyanyi lain seperti Christine Panjaitan, Edward Hutapea, Victor Hutabarat, Peter Hehanusa, Yan Berlin Panjaitan. Di luar mereka awak pendukungnya mencapai jumlah sekitar 50 orang.
Tak kurang dari tiga bulan awak Sanggar Bahtera yang dikomandani Remy Silado berlatih keras di Yakoma dan di kampus STT Jl. Proklamasi, Jakarta. Sejarah kelak mencatat inilah satu dari segelintir pemetasan rock-opera oleh para seniman Indonesia yang paling kolosal dan sukses. Hasil pementasan dengan teknik play back ini dipakai untuk pembiyaan Sidang Raya DGI di Manado tahun itu juga.
Sanggar Bahtera menghasilkan uang kendati tak banyak. Itulah yang dipakai untuk membangun pendopo tempat berlatih (pendoponya masih bisa kita lihat saat ini). Pendopo membuat kegiatan bertambah. Para seniman kian banyak bertandang ke Yakoma. Orang musik, teater, film, terutama. Enteng Tanamal, Rima Melati, Lidya Kandou, Meriam Belina, kerap tampak di sana. El Manik, Roy Marten, Ray Sahetapi atau Dewi Yul sesekali muncul. Cempaka Putih Timur XI/26 akhirnya menjadi tempat mangkal lintas komunitas seni.
Kehadiran orang film membuat Yakoma melangkah lebih jauh. Mereka merambah ke film televisi. Di zaman inilah lahir Natal Putih. Kelak, pada 1984, Edward Pesta Sirait membuat Hujan Akhir Tahun yang syutingnya antara lain di Bandung.
Tak cuma seniman yang suka main ke Yakoma, tetapi juga anak-anak muda gereja termasuk mahasiswa. Tetamu dijamu seadanya. Asmara nanam singkong, pisang, dan yang lain. Kalau orang berdatangan itu yang digoreng. Jadi hubungan terjalin bukan karena materi. Para sutradara kalau diundang nggak sulit datang. Padahal kita nggak ada duitnya. Makanan…. cabut singkong, ambil pisang di situ saja.
Kaset Rohani
“Alat perekam kita sudah 24 track waktu itu. Studio kita besar. Di Jakarta saingan kita praktis hanya Remaco,” ucap Agus Riwayadi. Remaco adalah perusahaan milik Eugene Timothy. Berjaringan internasional, Remaco pernah merajai dunia rekaman Indonesia sekian lama.
Tujuan awal pembangunan studio adalah menyiapkan sound siaran rohani untuk RRI dan TVRI. Kapasitas tak terpakai, besar. Lantas studio ini pun dikomersialkan. Salah satunya dengan memproduksi kaset rohani Kristen. Pada masa itu kaset rohani berbahasa Indonesia masih langka.
Pada saat Asmara menjadi direktur, produksi kaset rohani digenjot. Penyanyi-penyanyi ternama diajak membuat album. Mereka ternyata antusias. Antara lain, Henny Purwonegoro, Mona Sitompul, Bob Tutupoly, Broery Marantika, dan Ade Manuhutu. Yakoma melempar kaset mereka ke seluruh penjuru Tanah Air —termasuk ke Papua—terutama melalui sentra industri kaset di Jakarta dan jaringan toko buku BPK Gunung Mulia. Sebelum diedarkan, biasanya diiklankan dulu di koran Sinar Harapan yang di kemudian hari sejak 4 Februari 1987 berganti nama menjadi Suara Pembaruan. Yakoma tak perlu membayar untuk iklan, sebab HG Rorimpandey, bos suratkabar ini, adalah pengurus Yakoma yang banyak membantu.
Pasar yang haus hiburan menyambut hangat album rohani ini. Orang luar juga berproduksi di studio Yakoma. Perusahaan rekaman Gemini misalnya, memproduksi kaset lagu-lagu Ambon dan Timor di sana. Perusahaan lain merekam album lawak. Studio itu mereka pilih karena kualitas suaranya prima.
Perusahaan farmasi yang sudah gencar beriklan masa itu juga memanfaatkan studio Yakoma. PT Darya Varia, misalnya. Produsen Vics Vaporub—balsem untuk penderita gejala pilek dan batuk—ini merekam suara untuk sandiwara radio berjudul Jaka Dilaga. Karya berseri panjang ini bersama Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri dari Gunung Merapi, Butir-butir Pasir di Pantai, Ibuku Malang Ibuku Tersayang dan beberapa yang lain nanti akan tercatat sebagai salah satu sandiwara radio paling sukses di negeri ini.
Seniman Asli
Agus Riwayadi punya cerita lain ihwal sang bos yang suka marah. Pada kebaktian staf setiap Rabu, yang membawakan renungan bergantian. Suatu Rabu giliran Agus sebagai penyampai renungan. Ia sengaja mencari ayat Alkitab tentang orang yang suka marahmarah. Soalnya belum lama ia didamprat sang direktur.
Seusai kebaktian Asmara menghampiri. “Gus, mengapa milih ayat seperti itu…sengaja ya?”
Ternyata ia merasa saya tembak…. Saya nggak jawab, cuma senyum-senyum aja. Dia menggeleng dan pergi,” kata Agus sembari terkekeh.
Pemarah tapi bukan pendendam, itulah Asmara Nababan di mata Agus Riwajadi. Pula, tak seperti Julius R. Syaranamual di majalah Kawanku, ia bukan tukang pecat. Ada contohnya.
Seorang staf yang bertugas sebagai operator studio suka berulah dan mangkir. Suatu hari Asmara berang betul, sampai melempar asbak. Namun orang itu tak ia pecat seketika. Ia memilih cara demokratis. Satu per satu staf ia panggil. Kepada mereka ia tanya sebaiknya diapakan pegawai yang keterlaluan tersebut. Beberapa orang usul agar dikasih dulu masa percobaan tiga bulan. “Karena suara mayoritas, itu yang dijalankan Bang As. Ternyata operator itu tak berubah. Akhirnya ia dikeluarkan setelah masa percobaan habis,” ungkap Melati.
Asmara menjadi seniman dalam arti sesungguhnya selama lima tahun menjadi direktur Yakoma. “Ia benar-benar seniman idealis. Mewujudkan mimpi, itu yang selalu menjadi obsesinya,” kata Agus Riwajadi.
Para staf dengan sendirinya terimbas oleh gaya kerja keras sang bos. Orang-orang berlatih untuk pementasan latihan dari sore sampai malam, sehingga tak mungkin ditinggal. “Saya tiba di rumah rata-rata pukul 23.00. Isteri saya sudah maklum,” kata Agus. Waktu itu ia belum lama berumah tangga. Dia tinggal di Rawasari waktu itu, tak seberapa jauh dari Cempaka Putih Timur.
Sehari setelah pesta pernikahan pun, Melati tetap bekerja. “Nggak ada istilah cuti menikah atau pengantinan. Nggak ada pula istilah uang lembur. Tapi kita enjoy saja karena suasana kerjanya memang enak.”
Kendati job desk jelas, staf terbiasa kerja serabutan. Belakangan, jumlah mereka bertambah, namun jumlahnya tak sampai sepuluh. Pembantu hanya satu. Melati terbiasa turun membantu menyiapkan goreng pisang-singkong dan teh-kopi untuk mereka yang latihan teater atau koor. Hubungan mereka yang menghabiskan banyak waktunya di Yakoma saat itu seperti keluarga. Semua staf selalu makan bersama dengan menyantap hidangan rantangan.
Sekali lagi, fokus Asmara selama menjadi direktur adalah produksi. “Hebatnya Bang As, produksi harus jalan biar pun uang nggak ada sama sekali. Tapi itu juga jadi masalah,” ungkap Agus.
“Dia memang seniman banget. Saya sering jengkel. Nggak pernah ada dana untuk promosi. Tapi, ya, mungkin karena duitnya memang nggak ada,” lanjut Agus. Idealnya, lanjut dia, harus ada dana promosi per bulan setidaknya setara gaji seorang staf.
Sebagai donor, WACC hanya membiayai produksi untuk TVRI dan RRI. Jadi biaya untuk para pemain dan yang lain harus dicari sendiri. Para pemain biasa bantingan atau urunan. Kalau kepepet, mereka datang kepada para pengurus. “Pengurus kita waktu itu orang-orang berduit dan pemurah,” ucap Melati Rumahorbo.
Sponsor dari luar terkadang ikut membantu. Tatkala syuting di Bandung, misalnya, perusahaan kereta api (PJKA) menggratiskan ongkos pulang-pergi seluruh awak. Nanti, sewaktu mementaskan drama Ayub di Sidang Raya DGI di Ambon pada 1984—saat itu Asmara sudah bukan direktur—Leo Lopulisa (jenderal pensiunan, pernah jadi Panglima Kostrad) menanggung ongkos pesawat seluruh crew.
Suatu waktu WACC menghentikan sama sekali bantuannya karena program berakhir. Tentu saja Asmara sebagai bos kelabakan, sebab hasil studio dan honor dari TVRI-RRI tak memadai. Bantuan dari DGI tak pernah ada. “Kami terbiasa dengan kondisi keuangan yang senin-kamis. Terkadang gaji kita terlambat sampai dua bulan. Padahal gaji kecil. Tapi kita betah aja,” ungkap Melati.
Alhasil, uang hasil penjualan kaset rohani pun dipakai. Staf mengambil uang hasil konsinyasi. “Saya sama seorang teman sering ditugasi Bang As menagih ke Blok M, Pasar Baru, Grogol, atau Bogor,” kata Agus sembari tersenyum.
Memperkuat Civil Society
Asmara menulis surat resmi kepada pengurus Yakoma pada 11 Mei 1983, menyatakan mundur sejak 16 Juni 1983. Alasannya, ia akan pulang ke Siborong-borong selama dua tahun untuk merawat ibunya yang sudah 75 tahun dan sedang sakit. Mengingat hubungan yang terjalin baik sejak 1975, ia bersedia membantu Yakoma sepulang dari kampung nanti.
Badan Pengurus Yakoma mengabulkan pengunduran diri itu. Dalam surat jawaban bertanggal 16 Juni 1983 yang ditandai HG Rorimpandey (ketua) dan Julius R. Syaranamual (sekretaris) pengurus mengucapkan terimakasih dan penghargaan karena Asmara telah bertugas sebagai direksi Yakoma sejak 5 Juni 1978 hingga 16 Juni 1983.
Pekerjaan Asmara Nababan sebagai pemimpin umum Majalah Kawanku, di antara para saudaranya, dianggap lebih memiliki banyak waktu luang. Ada juga perjanjian, bahwa Asmara dan keluarganya akan tinggal di Siborong-Borong selama 2 tahun, kemudian akan diganti abangnya, Leo Nababan dan keluarganya.
Selain untuk merawat ibunya, Asmara memang memiliki agenda untuk memfalitasi pergerakan masyarakat sipil. Mimpi Asmara adalah munculnya masyarakat yang kuat, secara individu maupun kelompok. Pada tahun 1980-an, di Sumatera Utara belum tumbuh kekuatan sosial alternatif untuk mendorong perubahan. Memang ada LSM dan lembaga diakonia sosial yang dikembangkan beberapa gereja, misalnya Rumah Sakit Bethesda dan unit pengembangan pertanian yang dikelola Gereja Kristen Protestan Simangulun (GKPS). Namun keberadaan lembaga sosial gereja dipandang belum maksimal.
Hal itu tak dapat dipisahkan dari hegemoni ideologi pembangunan ala rezim Orde Baru yang waktu itu sangat mengutamakan pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional dan pemerataan (yang sering disebut dengan Ideologi Trilogi Pembangunan). Oleh Rezim Soeharto, ketiga hal itu digunakan untuk mengesahkan dan melegalkan semua tindakan yang diambil sekalipun melanggar hak asasi manusia. Trilogi Pembangunan yang dijalin dengan represi militer juga dipakai sebagai perisai untuk mencegah dan menumpas kritik serta perlawanan dari penentang rezim.3 Untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi, rezim Soeharto mengundang masuk modal asing, termasuk utang ke lembaga-lembaga keuangan multilateral.
Ciri lain dari strategi pembangunan ala Orde Baru adalah sifatnya yang teknokratis dan birokratis. Pendekatan yang bersifat teknokratis tercermin lewat pelibatan sejumlah teknokrat UI (Universitas Indonesia) yang umumnya mengenyam pendidikan di Universitas Berkeley di AS, dikenal sebagai ‘Mafia Berkeley’. Tokohtokoh utamanya terdiri atas lima sekawan yaitu Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto dan Mohammad Sadli. Mafia Berkeley ini kemudian diperkuat Sumitro Djojohadikusumo, Radius Prawiro, dan Frans Seda. Para teknokrat utama rezim Orde Baru ini dikenal sebagai penganut dan penganjur pemikiran neo klasik.
Selain membutuhkan dukungan militer sebagai alat pemaksa, model pembangunan yang dirancang para teknokrat kita juga bersifat birokratis. Artinya segala prakarsa pembangunan diambil oleh para birokrat. Rakyat praktis tidak dilibatkan. Tidak heran jika jargon yang diperkenalkan adalah “pembangunan untuk rakyat”. Jargon tersebut memaknakan bahwa negara adalah aktor pembangunan, dan rakyat adalah penerima hasil-hasil pembangunan. Konsep pembangunan untuk rakyat juga mengasumsikan bahwa rakyat bodoh, tidak punya inisiatif dan kurang bisa diandalkan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu proyek pembangunan. Rakyat perlu ditolong dan hanya dibutuhkan untuk dimobilisir sumber daya ekonominya.
Dengan kata lain, ideologi pembangunanisme rezim Orde Baru telah membungkam prakarsa dan suara-suara kritis-alternatif di dalam masyarakat. Mereka mengkooptasi seluruh kekuatan sosial-politik di bawah kendalinya.
Ketika itu, banyak tokoh, akademisi, cendekiawan, masyarakat Batak, yang larut dengan ideologi pembangunanisme ini. Bagi mereka, kemiskinan mesti dijawab dengan modernisasi, industrialisasi, intensifikasi dan diversifikasi pertanian. Kemiskinan bahkan dipahami sebagai akibat dari kemalasan, kebodohan, dan persoalan mentalitas lainnya. Secara sadar atau tidak, mereka semua menjadi agensi pembangunanisme, dan bukan menjadi kekuatan transformatif dan kritis terhadap jalannya pembangunan dan peinerintahan.
Gereja-gereja di Tanah Batak juga demikian. Seperti juga gereja-gereja dan kelompok agama lain di Indonesia, mereka— kecuali sekelompok kecil di dalamnya—bukan menjadi kekuatan kritis atau menempatkan diri sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah yang menindas; sebaliknya justru menjadi kekuatan legitimasi. Mereka menganggap gereja tidak perlu mencampuri masalah sosial dan politik, termasuk pelanggaran-pelanggaran hak asasi yang dialami masyarakat dan jemaatnya.
Situasi masyarakat sipil yang lemah sebenarnya disadari sejumlah aktivis mahasiswa serta pendeta muda dari berbagai gereja di Sumut. Karena itu kedatangan Asmara yang menyumbangkan banyak sekali ide dan gagasan kreatif untuk mentransformasikan model pelayanan gereja yang cenderung berdimensi ‘saleh keagamaan’ menjadi ‘saleh sosial’, disambut dengan tangan terbuka.
Bagi Asmara, transformasi pelayanan ‘saleh sosial’ dilakukan melalui perahu LSM. Dalam kancah orientasi gerakan sosial, Asmara memimpikan tumbuhnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang tak hanya mengembangkan pendekatan community development, tetapi juga community organization. Harus diakui, pendekatan keamanan yang diterapkan rezim Orde Baru, membuat banyak aktivis lebih memilih pendekatan community development karena community organization dianggap beroposisi dengan rezim Orde Baru.
Untuk menumbuhkan LSM transformatif, Asmara aktif melakukan diskusi di berbagai daerah, baik dengan kalangan aktivis mahasiswa maupun dengan para pendeta muda yang memiliki kegelisahan yang sama.
Karena dilandasi idealisme yang sama, pertemuan yang dilakukan kapan pun, bahkan tengah malam sekali pun, tak menyurutkan kehadiran para aktivis. Tempat diskusi diadakan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Bisa di Pematang Siantar, Medan, Siborong-borong, Lubuk Pakam, Sondi Raya, Saribu Dolok, sampai Tanjung Balai. Untuk menuju tempat diskusi, mereka yang punya mobil memberi tumpangan bagi mereka yang tidak punya mobil. Asmara waktu itu sering membawa mobil volkwagen (VW kodok). Karena mobil itu sudah cukup tua, mesinnya sering rewel, akibatnya sempat mogok beberapa kali. Bahkan suatu saat mesinnya pernah hampir terbakar. Selain Asmara, yang kerap memberi tumpangan adalah SM Hutajulu, atau Mansen Purba.
Biasanya disepakati, tuan rumah yang tempatnya dijadikan tempat diskusi akan menyediakan makan siang bagi peserta. Usai diskusi, secara sukarela, peserta diskusi merogoh kocek mereka, dan mengumpulkan uang untuk membantu biaya makan siang.
Topik diskusi sangat beragam, mulai dari hukum tanah ditinjau dari hukum nasional, dari hukum adat, teologi Kristen, masalah industrialisasi dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran Saul Alinsky, Paulo Freire serta ide-ide tentang teologi pembebasan pada waktu itu banyak digumuli peserta diskusi.
Tak sia-sia upaya Asmara memfasilitasi berbagai diskusi. Beberapa aktivis pergerakan “lahir” dan kemudian menjadi aktivis LSM senior di Sumut, misalnya Ned Purba, Johanna Pattiasina, Soekirman, Eliakim Sitorus, Nelson Siregar, Syafir Harahap, Pungki, Irwansyah Hasibuan, Wahyudi, Dina Lumbantobing, Osmar Tanjung, Alamsyah Hamdani.
LSM juga berhasil dilahirkan bersama sejumlah penggagas lainnya pada 23 Februari 1983, adalah Kelompok Studi Penyadaran Hukum (KSPH). KSPH4 didirikan untuk menumbuhkan prakarsa masyarakat—lebih tepat disebut mengembalikan kedaulatan rakyat. Hanya mereka yang berdaulat, dapat mengambiI prakarsa. Berdaulat untuk menentukan masa depannya. Tentu saja prakarsa yang diambil sesuai dengan ruang politik yang ada dan di bidang yang langsung mempengaruhi hidup mereka, yakni pertanian dalam konteks penyadaran.
KSPH memakai istilah pendampingan untuk aksi pendampingan ditengah masyarakat. Dengan itu, KSPH menempatkan posisinya sejajar dengan masyarakat. Posisi ini bertolak belakang dengan posisi penguasa yang berada di posisi atas dan lebih unggul dari masyarakat, oleh karenanya, tindakannya dirumuskan sebagai pembinaan. Advokasi kasus yang dilakukan juga untuk menumbuhkan prakarsa masyarakat dan mempertahankan hak-haknya.
Upaya Menegakkan Benang Basah
Proyek industri pertama di Taput adalah pembangunan Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Inalum yang dirintis sejak 1978. Proyek itu merupakan patungan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang. PLTA Inalum dirancang untuk menghasilkan energi listrik berkapasitas 604 MW, untuk mengoperasionalkan pabrik peleburan bijih aluminium berkapasitas 215.000 ton per tahun.
Untuk membangun PLTA Inalum, Sungai Asahan harus dikeruk, agar aliran airnya dapat menggerojok deras dan memutar turbin-turbin raksasa PLTA di hulu Sungai Asahan. Di sinilah, rakyat dalam terminologi para teknokrat orde baru, menjadi ”pahlawan pembangunan”. Soalnya, kata Soeharto, arsitek utama orde baru, jer basuki itu mawa bea. Kalau mau makmur, ya harus ada pengorbanan. Begitulah filosofinya.
Cuma, yang jadi korban adalah rakyat kecil. Maka ratusan KK petani dari beberapa desa yang turun-temurun tinggal di sepanjang hulu sampai hilir Sungai Asahan di Kecamatan Porsea, dan memanfaatkan air sungai untuk lahan pertanian mereka, diminta untuk mau direlokasi ke wilayah lain. Soalnya, sawah dan desa mereka akan ditimbun dari tanah hasil kerukan Sungai Asahan.
Keseluruhan lahan yang terkena dampak berjumlah 175 hektar. Dari jumlah itu, sekitar 16 hektar atau sekitar 10 persen menolak ganti rugi karena harga yang ditentukan terlalu rendah, yakni hanya Rp 130,00 per meter persegi.
Salah satu Desa yang direlokasi adalah Dolok Martali-Tali, Desa Siantar Tonga-Ronga I, Kecamatan Porsea. Nasib mereka mirip masyarakat Wonogiri yang harus melakukan bedol desa karena desa mereka digenangi air Waduk Gajah Mungkur. Bedanya, penduduk Dolok Martali-Tali yang berjumlah 28 KK itu harus meyerahkan lahan persawahan dan perkampungan mereka karena hendak ditimbun pasir dari Sungai Asahan untuk Proyek Inalum. Oleh Pemda Taput mereka kemudian dipindahkan ke Siomaoma, Kecamatan Pangaribuan, suatu daerah terisolasi yang terletak di perbatasan Tapanuli Utara dengan Tapanuli selatan.
Awalnya mereka menolak karena ganti rugi yang diberikan sangat rendah. Penduduk menuntut ganti rugi tanah Rp 90.000 per meter persegi. Namun karena dihadapi dengan cara-cara kekerasan khas orde baru, mereka terpaksa menurut, dan pindah ke Siomaoma. Pemda Taput waktu itu menjanjikan lahan sawah baru sebagai ganti lahan sawah mereka bagi warga yang mau pindah.
Namun ternyata tanah itu tak bisa diolah menjadi lahan persawahan meski warga telah berusaha keras selama dua tahun (1980- 1982). Bukti tentang kondisi lahan di Siomaoma diperoleh dari hasil penelitian laboratorium, yang dilakukan sejumlah aktivis mahasiswa dan LSM. Mereka adalah Soekirman, Erwin Panjaitan dari Parintal FP USU, Siner Situngkir serta Asmara Nababan, dua yang terakhir berasal dari KSPH (Kelompok Studi dan Penyadaran Hukum), LSM yang berpusat di Siborong-borong.
Saat itu KSPH bersama sejumlah aktivis mahasiswa dan Unit Bantuan Hukum (UBH) Universitas Nomensen, yang diketuai Muktar Pakpahan melakukan advokasi membela sebagian petani Dolok Martali-Tali yang menolak direlokasi ke Sioma-oma. Para petani didampingi UBH bahkan melakukan gugatan ke pengadilan. Hasil uji laboratorium tentang tanah Sioma dijadikan salah satu dasar gugatan KSPH.
Upaya mengambil sampel tanah di relokasi di Sioma-oma bukan perjuangan ringan. Karena merupakan daerah terisolasi, perjalanan menuju Sioma Oma waktu itu harus berputar dari Sipirok, ke Simangimbar, terus ke Silantom dan baru balik ke arah Taput. Medannya cukup berat. Tak ada angkutan umum menuju ke sana. Mereka lalu meminjam Toyota Kijang petak milik Camat Tarutung. Asmara kenal baik dengan si camat.
Warga Dolok Martali-tali di Sioma-oma menyambut antusias kedatangan mereka. Karena perjalanan tidak bisa ditempuh pulang-balik, mereka menginap di gubuk seorang warga, beralas tikar plastik. Mereka hanya makan mie instan yang dibawa dari Siborong-borong, dicampur nasi yang ditanak warga.
Sampel tanah yang mereka ambil dari Sioma-oma kemudian dianalisis di laboratorium tanah Fakultas Pertanian USU. Pengujian dilakukan secara diam-diam. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa tanah di Sioma-oma ternyata tidak cocok untuk budidaya tanaman lahan basah. Tanah di sana hanya cocok untuk budidaya tanaman keras seperti kopi, dan lain-lain. Atas dasar hasil penelitian itulah rakyat Dolok Martali-Tali melakukan unjuk rasa ke Bupati Taput yang dianggap telah menipu rakyat. Sebagai bentuk protes, warga menginap selama beberapa hari di pelataran Gedung DPRD. Sebagian warga yang telah pindah ke Sioma-oma akhirnya memutuskan kembali lagi ke Dolok Martali-tali, mengolah kembali sawah-sawah yang telah ditimbun pasir, dan sebagian pergi ke Porsea.
Pembelaan mereka terhadap warga Dolok Martali-tali, membuat aktivitas mereka kerap menjadi sasaran intel. Mereka berempat juga dituduh sebagai provakator, menghasut rakyat, dan dicap sebagai penghambat pembangunan. Namun semua itu tak menyurutkan keberpihakan mereka kepada rakyat kecil.
Ada suatu kejadian dramatis waktu itu. Saat itu,8 seorang petani marga Siahaan, yang tinggal di pinggiran Sungai Asahan dekat Kota Kecamatan Porsea tengah bersitegang dengan puluhan aparat keamanan disaksikan oleh rombongan Bupati Taput. Siahaan adalah petani terakhir di hulu Sungai Asahan yang menolak dipindahkan. Ketika aparat keamanan hendak melakukan eksekusi secara paksa, Siahaan melakukan tindakan nekad. Di depan aparat keamanan dan rombongan Bupati Taput, Siahaan nekad mengangkat anaknya yang masih kecil dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya memegang parang.
“Saya akan bunuh anak saya jika kalian memaksa saya terus,” teriak Siahaan histeris, sementara sang anak menangis ketakutan. Suasana mencekam. Orang tercekat menyaksikan peristiwa itu.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berambut gondrong dan dagunya dipenuhi brewok mencoba menengahi keadaan. Lakilaki yang mengenakan celana pendek dan kaos oblong itu tiba-tiba mendekati bupati dan rombongannya.
”Kalau sudah begini ceritanya, dan kalian tidak menarik mundur aparat keamanan, kalian sama sekali tidak punya kehormatan lagi,” ujar laki-laki itu.
Nada suaranya terdengar mantap dan sangat meyakinkan. Ekspresi wajah laki-laki itu terlihat sangat tenang. Rupanya, rombongan bupati sadar tentang situasi genting yang tengah dihadapi. Bupati juga sadar siapa laki-laki yang tengah mereka hadapi. Akhirnya Bupati membuat keputusan, aparat keamanan ditarik mundur, penggusuran batal dilaksanakan.
Laki-laki tinggi besar berambut gondrong, berjenggot dan mengenakan kaos oblong serta bersandal jepit itu adalah Asmara Nababan, Sekretaris Pelaksana KSPH waktu itu.
“Memang begitulah gaya bicara Bang As, sangat tenang, teratur dan sistematis. Intonasi suaranya terjaga dan tipe suaranya agak bariton,” kenang Wahyudi, aktivis senior, tentang perjumpaan pertamanya dengan Asmara Nababan pada tahun 1983-an.
”Menegakkan benang basah,” demikian istilah yang pernah diucapkan Asmara Nababan ketika bungsu dari sebelas bersaudara itu pulang dan menetap di kampung halamannya Siborong-borong pada 1983.
Peran Asmara dalam menumbuhkan kekuatan masyarakat sipil di Sumut diakui para aktivis senior LSM Sumut. Menurut Soekirman, Asmara juga ikut membidani lahirnya Wahana Informasi Masyarakat (WIM) bersama teman-teman pergerakan lainnya seperti Ned Purba, Johanna, Syafir Harahap, Eliakim Sitorus, Pungki, Irwansyah Hasibuan, Osmar Tanjung, Alamsyah Hamdani, dan lain-lain. Dialah yang menganjurkan agar LSMLSM di Sumut membuat forum pemersatu LSM. Ide itu dilontarkan Asmara dalam pertemuan dengan sejumlah aktivis di Lubuk Pakam, Desa Pagar Jati, tepatnya di kantor Bintarni.
Walau organisasi ini secara formal baru didirikan pada 29 Februari 1986 di Sei Rampah dalam sebuah pertemuan antar Ornop yang disebut Temu Karya, namun rintisannya telah dimulai oleh Asmara dan kawan-kawannya sejak 1983.
WIM lahir sebagai respon dari politik pembangunan pemerintahan Orba yang telah meminggirkan sebagian warga negara karena akses yang tertutup oleh berbagai sebab. Koreksi terhadap politik pembangunan tersebut mulai dilakukan oleh Ornop melalui pendekatan yang populer disebut “penyadaran”. Seiring dengan fenomena kemunculan Ornop di Sumut pada pertengahan tahun 80-an, ada kebutuhan untuk memperluas spektrum gerakan perubahan secara lebih merata. WIM didirikan sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan jaringan kerjasama sekaligus memelopori tumbuhnya inisiatif untuk mendorong proses perubahan melalui Ornop. Dalam salah satu programnya, WIM mengembangkan kegiatan yang cukup populer pada masa itu yakni arisan LSM kecil; suatu upaya sistematis yang bertujuan melahirkan ornop-ornop baru di beberapa daerah.
Eliakim Sitorus, salah seorang aktivis KSPH, yang mengenal Asmara sejak 1983, melihat, peran Asmara ibarat bidan yang menolong proses persalinan. Yang melakukan persalinan adalah masyarakat, yang diharapkan mampu mereproduksi diri untuk generasi baru. KSPH karenanya ibarat bidan yang mendampingi masyarakat yang tengah hami agar melahirkan bayi-bayi yang sehat, lebih bergizi dan lebih baik dari generasi sebelunya.
Menjelang akhir masa pemerintahan Soeharto, Asmara juga aktif dalam forum ‘scenario building’ yang dilakukan dengan aktivis masyarakat sipil Sumut di Brastagi. Pertemuan itu mengesankan karena diikuti tidak hanya aktivis LSM, tetapi juga aktivis lintas generasi dan agama baik Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik. Banyak aktivis muda yang kemudian terlibat aktif pada masamasa gerakan reformasi seperti Dadang Darmawan dari HMI, dr Sofyan Tan, Taufan Damanik, Dina Lumbantobing dan lain lain. Kegiatan itu diselenggarakan dan difasilitasi Komnas HAM.
Sederhana dan Demokratis
Ketika turun ke lapangan berdialog dengan warga, Asmara selalu memilih menginap di fasilitas penginapan milik gereja atau lembaga keagamaan. Tempat seperti itu tentu saja lebih murah. Bahkan tak jarang, ia menginap di rumah pendeta. Padahal pada 1984-1985 Asmara adalah Sekretaris Eksekutif KSPH. Pada waktu itu juga sudah ada lembaga donor dari Jerman yang membantu kegiatan KSPH. Soal makan, ia dikenal tidak rewel. Dengan ringan ia menyantap makanan yang dijumpai di kedai-kedai di kampung tempatnya berkunjung.
Pernah suatu hari Asmara dan staf KSPH lain, Eliakim Sitorus dan Siner Situngkir melakukan perjalanan ke Desa Idris Siahaan yang tengah berjuang melawan Inalum. Karena desa itu terisolasi dan tidak bisa dilalui dengan mobil, mobil akhirnya ditinggal. Mereka melanjutkan dengan berjalan kaki. Dari siang sampai sore Asmara asyik berdiskusi dengan warga. Hari mulai gelap.
Salah satu prinsip hidup Asmara adalah tidak mau merepotkan warga. Karena itu sewaktu melakukan kunjungan ke lapangan, Asmara tidak pernah mau dijamu oleh warga. Namun waktu itu staf KSPH sudah kelelahan, pun perut sudah keroncongan, sedangkan jarak ke kota Porsea masih cukup jauh. Ditengah kegalauan itu, rupanya ibu-ibu dikampung sudah masak. Tapi yang dimasak ternyata bebek yang sudah tua. Begitulah, ketika hidangan disantap, daging bebek itu terasa keras, alias tidak bisa dimakan.
Kesederhanaan juga tercermin dari inventaris kantor KSPH. Untuk mengetik Anggaran Dasar Kelompok Studi Prakarsa dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM, nama baru KSPH setelah menjadi lembaga berbadan hukum) tahun 1985, masih digunakan mesin ketik tua milik almarhum ayahnya. Tuts-tuts mesin ketik yang sudah karatan dan susah digerakkan itu suaranya ribut dan menyebabkan jari-jari tangan Eliakim sakit.
Untuk menunjang operasional staf, sebuah sepeda motor bekas, CB 125, dibeli seharga Rp 750 ribu, itu pun setelah didesak seorang pendeta yang merasa kasihan karena staf KSPH selama itu harus terus menerus naik angkot.
Ketika melakukan diskusi dengan petani di kampung-kampung, awalnya banyak yang merasa takut melihat penampilan Asmara yang berbadan besar, brewokan, dan tak pernah lepas dari rokok. Tapi pada pertemuan kedua dan ketiga, warga sudah mulai tahu dan berani. Bahasa Batak Asmara yang berpasir-pasir karena sejak SMA sudah langsung ke Jakarta, justru menjadikannya semakin akrab dengan warga.
Dalam diskusi, Asmara lebih banyak memfasilitasi petani untuk lebih banyak berbicara. Ia sangat sadar tentang potensi setiap orang untuk mengungkapkan pengalaman, dan merumuskan masalahnya sendiri. Karena itu ia tidak mendominasi jalannya diskusi.
Meski demikian, pada waktu yang tepat, ia akan memberikan pemikiran-pemikirannya, serta meluruskan pemikiran-pemikiran petani. Dalam berbicara, Asmara tidak meledak-ledak seperti tipologi orang Batak umumnya. Nada suaranya cenderung kalem, tetapi bisa berubah menjadi keras terutama kalau ada orang yang merendahkan kemampuan masyarakat. Asmara juga selalu menyelesaikan setiap persoalan melalui musyawarah.
Selain memperkenalkan pemikiran-pemikirannya, dia juga selalu memperkenalkan kontaknya yang luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Sebagai orang yang selalu tahu menempatkan diri dalam berbagai situasi, Asmara bisa meledak amarahnya jika ada orang, termasuk teman dekatnya, yang tak tahu menempatkan diri. Pada penghujung keruntuhan rezim Orde Baru, ada pertemuan para pendeta di Pesanggrahan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Suka Makmur.
Pada waktu itu, teman karib Asmara, Mochtar Pakpahan, yang sedang berada di Sumatera Utara, hadir di pertemuan itu. Menjelang saat-saat kejatuhan rezim Soeharto, LSM akan malu kalau tidak anti-Soeharto. Maka ketika ada kesempatan, Mochtar pun menyanyikan lagu berlirik ”gantung Soeharto” dengan gaya dangdut di depan podium itu. Asmara sangat marah melihat kelakuan karibnya tersebut. Ia menilai forum itu tak tepat dijadikan acara provokasi.
Zakelijk dan Menumbuhkan Keberanian
Suatu saat seorang staf yang belum mengetahui sifat Asmara mendebat soal sisa uang yang hanya beberapa ratus perak tersebut. Karena Asmara tetap bersikeras dengan prinsipnya bahwa uang lembaga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi, staf tak bisa mengendalikan emosinya, sampai melempar asbak. Beruntung asbak itu tidak mengenai Asmara.
Walau ketat dalam mengelola uang lembaga, Asmara bukan tipe orang yang pelit. Kalau ada staf yang disuruh membeli rokok dan ada uang kembaliannya, Asmara tidak pernah memintanya kembali. Baginya, antara uang pribadi dan uang organisasi harus jelas penggunaannya.
Asmara juga lawan diskusi yang sabar mendengar argumentasi lawan bicaranya. Namun ia juga pandai melihat waktu di mana harus menyampaikan pikiran-pikirannya. Jika memiliki keyakinan mantap didukung fakta-fakta yang dipunyai, ia berani mempertahankan argumennya tanpa peduli siapa lawan bicaranya. Suatu hari, Asmara dan Nelson Siregar, datang ke kantor Bupati Taput dengan membawa foto rakyat yang menjadi korban operasi PT Indorayon, pabrik bubur kertas di Porsea yang banyak menuai perlawanan rakyat karena telah mencemari sawah dan kolam ikan penduduk. Di kantor Bupati, sudah ada aparat keamanan seperti Komandan Kodim (Dandim) dan polisi.
Ketika Asmara memperlihatkan foto-foto itu rakyat yang menjadi korban Indorayon, Bupati marah, Dandim dan polisi mendukung sikap bupati, bahkan menuduh Asmara telah melakukan penghinaan.
”Kenapa kalian buat foto ini, kalian menjelekkan nama saya? Begini yang dinamakan sikap Kristiani ?” ujar bupati dengan nada emosi.
Menghadapi teror bupati dan aparat keamanan, Asmara tetap tenang.
”Pak Bupati, apa yang salah dengan foto itu? Itu kan realitas, kenapa begitu pertanyaannya Bapak?”
Setelah Asmara mengemukakan argumentasinya, Bupati langsung meminta maaf. Keberanian yang ditunjukkan Asmara dalam menghadapi bupati dan aparat keamanan, menumbuhkan kesadaran di kalangan aktivis KSPH bahwa advokasi yang mereka lakukan juga juga membutuhkan keberanian.
Ada cerita tersisa yang ditulis oleh Menteri Penerangan 1968- 1974, Boediardjo9 . Ia menulis, “Pada awal masa Orde Baru, ternyata banyak juga tamu saya. Para mahasiswa masih gemar demonstrasi, termasuk mendemo Menpen, baik di kantor maupun di rumah. Kalau mereka datang berbondong-bondong, hingarbingar, mereka saya ajak masuk. Sesekali saya ajak mereka makan bersama, sekadar meredakan amarah mereka.” Diantara demonstran yang pernah saya ajak makan di rumah Teuku Umar adalah Julius Usman dan Asmara Nababan.
Asmara Nababan protes, “Pak Boediardjo jahat,” katanya. “Kami mau berontak malah dikasih makan. Bagaimana kami bisa marah?”.
Kembali ke Jakarta
Di Indonesia semula anggota lembaga ini LSM-LSM besar saja. Belakangan yang kecil seperti KSPPM pun ikut. Sejak Maret 1992, seiring bubarnya IGGI, INGI pun berubah nama menjadi INFID (International NGO Forum on Indonesia Development).
Pada 1991 Asmara kembali ke lingkungan PGI. Ia menjadi sekretaris eksekutif di Jaringan Kerja-Kelompok Pelayanan Kristen (JK-LPK). Di JK-LPK ada unit bernama Kelompok Kerja Pelayanan Lembaga Permasyarakatan (Pokja PLP) PGI. Di sanalah ia bersama Ade Rostina Sitompul mengurusi para narapidana politik. Ia menjadi ketua pelayanan sedangkan Ade menjadi koordinator program. Napol di penjara Nusakambangan, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur antara lain yang mereka urusi. Sebagian mereka dari kelompok saparatis, termasuk Organisasi Papua Merdeka. Tak hanya napol, keluarganya juga mereka tangani.
Ketika masih berstatus sebagai sekretaris eksekutif JK-LPK, Asmara ikut mendirikan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) pada 14 Agustus 1993. Ia terpilih menjadi sekretaris badan pengurus. Ketuanya adalah Abdul Hakim Garuda Nusantara yang baru keluar meninggalkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Peristiwa Santa Cruz 1991
Sehabis misa pagi di gereja Motael hari itu massa pro-kemerdekaan berunjuk rasa di Dili karena delegasi parlemen Portugal urung datang. Mereka—jumlahnya seribuan dan sebagian besar anak muda—dihadang oleh tentara dan Brimob. Saat konfrontasi, Wakil Komandan Kodim 700/Dili Mayor Gerhan Lantara dan seorang kopral kena tusukan pisau. Mengetahui hal itu massa panik dan kabur. Sebagian besar mereka menuju Santa Cruz. Di pekuburan ini mereka kemudian melakukan acara tabur bunga di pusara seorang pemuda yang tewas oleh peluru TNI setahun sebelumnya. Saat acara tabur bunga tentara muncul dan menembaki mereka. Tak kurang dari 200 orang diperkirakan tewas dalam pembantaian tersebut.
Jakarta jelas terperanjat dan segera mengambil tindakan. Otoritas militer dan Brimob yang dianggap bertanggung jawab dikenai sanksi. Salah satunya adalah Mayjen Sintong Pandjaitan. Perwira tinggi asal baret merah yang karirnya gemilang itu diberhentikan sebagai Pangdam IX/Udayana. Sebagai penguasa militer yang membawahi Timor-Timur ia dianggap lalai.
Tekanan dari dunia internasional terarah betul ke Indonesia. Timor-Timur seketika mendapat garis bawah (high light) sebagai isu politik global. Pemerintah Soeharto sekali ini terdesak sungguh karena dosanya sebagai pelanggar HAM nyata betul. Membuka telinga untuk mendengar kritik dan kecaman dunia internasional menjadi sesuatu yang tak terhindari lagi bagi mereka. Tak seperti sebelumnya, misalnya waktu pembantaian kaum kiri pasca peristiwa G30S, kelompok separatis di Aceh dan Papua, atau kelompok Islam garis keras di Tanjung Priok.
Soeharto Membentuk Komnas HAM
Salah satu inspirasi pembentukan Komnas HAM muncul dari sebuah Lokakarya pada tahun 1991 tentang Lembaga-Lembaga Nasional HAM yang diselenggarakan oleh Komisi HAM PBB. Hasil-hasil lokakarya itu dikenal sebagai Prinsip-prinsip Paris (Paris Principles), yang menegaskan tentang tanggungjawab lembaga nasional HAM.
Lahirnya Kepres No 50 terkait erat dengan beberapa rekomendasi dari Lokakarya Hak Asasi Manusia 21-22 Januari 1991 yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri RI dan disponsori oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.10 Momentum itu disusul oleh Lokakarya hak asasi manusia se Asia Pasifik yang kemudian dilanjutkan oleh pembentukan Tim kecil oleh Departemen Luar Negeri RI untuk menyusun naskah Keppres pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Namun, sejarah terbentuknya Komnas HAM juga bisa ditelusuri dari pertarungan dalam konstelasi kekuatan sosial politik yang berlangsung pada era 1990-an di satu pihak, dan tuntutan masyarakat untuk penanganan korban pelanggaran HAM dan perbaikan sistem perlindungan HAM di Indonesia. Rejim militer yang berkuasa pada era itu diakui telah mendorong banyak terjadinya pelanggaran HAM di dalam masyarakat.
Bahkan dalam hubungan ekonomi politik internasional, masalah hak asasi manusia seringkali menjadi syarat yang “memberatkan” bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam melakukan hubungan di dunia internasional khususnya dengan negaranegara dunia pertama. Situasi ini membuat tuntutan maupun tekanan sangat kuat untuk mendorong pembentukan sebuah lembaga yang dapat mempromosikan dan menegakkan HAM, termasuk untuk mencegah tidak terulangnya kembali pelanggaran HAM.
Soeharto meminta mantan Jaksa Agung Ali Said SH untuk membentuk sebuah tim dan kemudian mencari dan memilih sejumlah orang guna diangkat sebagai anggotra Komnas HAM. Tim yang dipimpin Ali Said ternyata memilih Asmara sebagai salah satu anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang dibentuk di penghujung 1993. Adapun susunan, pembagian kerja, dan bagan organisasi ini baru terbentuk pada 3 Januari 1994. Mereka menerima pengaduan dari masyarakat baru setelah itu.
Awalnya kehadiran Komnas HAM disambut dingin oleh kelompok pro-demokrasi di negeri ini, termasuk para pegiat LSM. Respons mediamassa pun kurang lebih sama. Pesimisme mengemuka. Respons negatif ini memang berdasar. Toh banyak sudah komisi yang dibentuk pemerintah Orde Baru. Katanya untuk kemaslahatan rakyat, ternyata semua dimelempemkan begitu saja kemudian oleh pembentuknya sendiri. Komisi Empat yang bertugas memerangi korupsi, salah satunya. Sekarang pemerintah membentuk Komnas HAM. Lebih mudah lagi dibayangkan nasibnya.
Bagaimana mungkin sebuah rezim totaliter akan mengoperasikan instrumen penegakan HAM yang akan memerangkap dirinya? Seperti seseorang yang memelihara anak macan saja: kelak kalau sudah besar macan itu akan menerkam tuannya. Maukah penguasa bernasib seperti si pemelihara anak macan? Inilah dasar nalar yang melahirkan kesangsian banyak kalangan.
Pesimisme khalayak luas menguat setelah susunan Komnas HAM diumumkan. Ketuanya Ali Said sendiri. Oditur militer waktu Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menangani orangorang PKI ini orang kepercayaan Soeharto. Sebelum menjadi ketua Mahkamah Agung ia lama menjadi jaksa agung (1973-1981).
Sebagian besar dari 24 anggota yang dipilih tim Ali Said berlatar belakang birokrasi atau TNI-Polri. Mereka adalah Baharudin Lopa (mantan Dirjen Pemasyarakatan), Baramuli (mantan jaksa dan gubernur), Djoko Soegianto (mantan hakim agung), Hamid Attamini (mantan pejabat Sekretariat Negara), Hasan Basri (mantan Ketua MUI), Munawir Sadzali (mantan Menteri Agama), Clementino Dos Reis Amaral (mantan wakil bupati Baucau), Gani Djemat (pensiunan Letkol, mantan hakim, jaksa, dan atase militer), Ignatius Djoko Moelyono, Soegiri, dan Roekmini Kosoemo Astoeti.
Tiga yang terakhir ini adalah jenderal purnawirawan. Djoko Moelyono dan Soegiri tentara sedangkan Roekmini polisi. Kalau ditambah dengan Ali Said berarti ada empat jenderal di Komnas HAM angkatan pertama.
Sumber rekrutmen berikutnya adalah parpol dan dunia kampus. Dari parpol dan ormas ada Marzuki Darusman, Albert Hasibuan, Muladi (Golkar), BN Marbun (PDI), Aisyah Amini (PPP), dan Bambang W. Soeharto (Kosgoro). Dari dunia akademisi ada Miriam Budiardjo, Charles Himawan, Satjipto Rahardjo, Soetandyo Wignyosoebroto, Sri Soemantri Martosoewignyo, dan Nurcholish Madjid. Yang dari luar dunia birokrasi, militer-polisi, parpolormas, dan akademisi hanya satu. Dia adalah Asmara Nababan. Asal usulnya adalah jagat LSM.
Loyal kepada penguasa, itulah lazimnya ciri dari mereka yang berlatar belakang sebagai birokrat dan tentara-polisi. Kalau tidak tentu mereka tak akan terpakai. Kalau melihat sekilas memang percumalah orang berharap banyak pada gerbong utama yang dipilih Ali Said dan kawan-kawannya. Bagaimana dengan mereka yang berasal dari parpol-ormas? Golkar dan Kosgoro merupakan pilar Orde Baru. Jadi tinggal PDI dan PPP. Masalahnya, yang terpilih dari kedua partai ini pun bukanlah orang yang dikenal lantang bersuara tentang demokrasi dan HAM.
Lantas, bagaimana dengan mereka yang berasal dari dunia akademis? Kapasitas mereka semua sebagai expert tak perlu diragukan. Masalahnya adalah sejauh itu di antara mereka yang acap bersuara secara terbuka soal demokasi, HAM, atau kemanusiaan Soetandyo Wignyosoebroto dan Nurcholish Madjid saja.
Jadi total jenderal, menurut hitung-hitungan di atas kertas, Asmara Nababan dan sebagian profesorlah yang punya track-record sebagai penyuara HAM di sana. Sekali lagi, itu hitung-hitungan di atas kertas.
Selain komposisi anggotanya tak meyakinkan, dasar hukum lembaga ini pun rapuh. Dasar pembentukan Komnas HAM adalah Keppres. Yang namanya Kepres bisa saja dianulir pembuatnya setiap saat kalau ia mau. Kelak azas legal ini dipertanyakan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Jose Ayala Lasso, saat ia berkunjung ke kantor Komnas. Mengapa dasarnya bukan undang-undang, begitu pertanyaan Jose kala itu.
“Komnas HAM,” jawab Ali Said, “adalah badan yang mandiri; tidak tergantung pada siapa pun.” Jadi, lanjut Ali Said, tak begitu penting kalau pun dasarnya bukan undang-undang. Sebagai catatan, baru pada 1999 dasar hukum Komnas HAM berupa Kepres ini ditingkatkan menjadi undang-undang yakni UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan kondisi seperti yang dipaparkan barusan wajar sebenarnya kalau banyak orang sangsi bahwa Komnas akan bisa berbuat banyak. Ternyata keraguan itu sebagian besar tak berdasar. Waktu kemudian membuktikannya.
Barangkali memang Presiden Soeharto tidak pernah meniatkan institusi ini akan menjadi penjaga gawang HAM yang sesungguhnya. Bisa jadi yang ia maui sesuatu yang artifisial saja—semacam bedak dan gincu—untuk mengurangi tekanan dunia internasional. Apa pun itu kehendak dia, nyatanya lembaga ini telah menjadi semacam bumerang yang menghantam balik kekuasaannya yang tak ramah terhadap HAM. Tak terpungkiri bahwa Komnas HAM—seperti halnya LSM dan gerakan civil society lain—telah berperan dalam penyemaian bibit-bibit perlawanan rakyat terhadap kesewenangan kekuasaan Orde Baru.
Mewarnai dan Membentuk Komnas HAM
Kendati telah sibuk di Komnas HAM, Asmara masih bergiat di INFID. Sejak 1994 hingga 1998 ia menjadi sekretaris eksekutif di sana.
Mengurusi sejumlah organisasi terus dilakukan oleh Asmara. Seperti tak kunjung habis energinya. Di tahun 1998 bersama Munir, Mulyana W Kusumah, MM Billah, Ade Sitompul, Bambang Widjojanto, dan yang lain ia ikut membidani kelahiran Komisi untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan (KontraS). Kelak, ia ikut juga di board-nya.
Asmara juga ikut di Tim Gabungan pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 11-13 Mei 1998 di mana kerusuhan mencakup wilayah Jabodetabek, Solo, Palembang, Lampung, Surabaya, dan Medan. Tim ini dipimpin oleh Marzuki Darusman ini dan Asmara menjadi Wakil Sekretaris II.
Ketika Munir terbunuh, Asmara bergabung di Tim Pencari Fakta Kasus Pembunuhan Munir dengan menjadi wakil ketua. Belakangan pada 2002, ia ikut mendirikan Perkumpulan Demos. Di tempat lain ia ikut juga. Termasuk di Human Rights Resource Center for ASEAN (HRRCA), Yayasan Leuser Indonesia, Yayasan HAK di Timor Leste, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID).
Asmara Nababan rupanya memang seorang yang sangat aktif. “Ia seperti baja, tak bisa dilengkungkan. Hal lain yang istimewa adalah integritas dan kesederhanaannya,” ucap aktivis yang giat memerangi korupsi, Teten Masduki.
Komnas HAM Awal
Serba apa adanya, itulah Komnas HAM di tahun-tahun awal berdiri. Kantornya jauh dari layak. Sebelum menjadi kantor Komnas, gedung berlantai tiga ini dulu dipakai oleh Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg). Merupakan badan intelijen, badan ini bertugas mengamankan informasi rahasia negara serta mendapatkan informasi sejenis dari negara lain. Caranya, dengan memanfaatkan sinyal apa saja.
Seperti markas intelijen yang lain, di masa Lembaga Sandi Negara kantor ini ini tertutup untuk umum. Muram dan seram, itulah kesan yang senantiasa muncul di sana sebab markas ini konon merangkap juga sebagai ajang penginterogasian dan penyiksaan mereka yang dianggap sebagai musuh negara. Sepanjang masa Orde Baru interogasi semacam ini senantiasa berdarah-darah.
Kesan dingin-muram masih mencuat dari gedung berlantai tiga ini sedekade lebih setelah Komnas berkantor di sana. Ruangannya yang serba lempang tetap saja melompong. Hanya kalau ada rombongan pengadu yang datang saja menjadi agak hidup. Sungguh berbeda dengan penampilan sekarang setelah menjadi kantor modern.
Sudah jauh dari mentereng, kantor ini hanya diisi sedikit orang. Sampai tahun 1995 jumlah staf lembaga ini tak lebih dari sepuluh orang. Sebagian mereka bawaan dari komisioner. Lopa, misalnya, membawa dua orangnya dari Direktor Jenderal Pemasyarakatan. Serabutan, itulah model kerja para staf. Maklum, pembagian kerja belum ada. Ada juga untungnya situasi seperti ini bagi staf: hubungan dengan para komisioner dengan sendirinya tak formal. Sepanjang komisionernya tak feodal mereka bisa akrab.
Seperti para staf, para komisioner sendiri pun lebih sering meraba-raba tatkala memulai tugasnya. Naluri yang lebih mereka andalkan. Maklum saja: tak seorang pun dari mereka yang pernah mengikuti pendidikan khusus untuk menjadi komisiner. Jangankan itu, mendalami HAM secara spesifik pun umumnya mereka belum pernah. Jadi ini benar-benar pengalaman perdana. Learning by doing, itu yang mereka harapkan. Dalam kondisi seperti itu komitmen pribadilah yang akan lebih menentukan apakah mereka akan menjadi komisioner yang becus atau komisioner jadi-jadian nanti.
Seperti lembaga bentukan negara lainnya Komnas HAM tentu sangat rawan untuk dikooptasi negara. Berkedudukan sebagai anjing penjaga (watchdog) kekuasaan, ironisnya, seperti telah disebut, sebagian besar anggotanya representasi dari negara. Termasuk beberapa orang sipil yang bukan birokrat tapi pola pikirnya ternyata lebih militer dari tentara.
Institusi yang satu ini, di luar dugaan banyak orang nyatanya lekas menemukan jati dirinya sebagai penegak HAM. Kekuatiran dan pesimisme pelbagai kalangan bisa mereka tepis. Keberadaan sejumlah figur yang berwibawa serta hirau betul pada HAM sangat menentukan dalam proses ini. Tentu saja kepemimpinan Ali Said juga ikut menentukan.
Sebagai ketua, Ali Said sejak awal terbuka terhadap semua komisioner termasuk yang dari LSM seperi halnya Asmara. Dia tak suka mengintervensi atau memaksakan kehendak pribadinya. Singkatnya, ia cukup demokratis sebagai orang nomor satu. “Padahal notabenenya beliau kan terlibat dalam pengadilanpengadilan ideologi sebelumnya. Ada perputaran yang radikal atau mendasar dalam diri Pak Ali Said sehingga beliau kemudian bisa melihat keanekaragaman yang lebih lengkap,” kenang Marzuki.
Keterbukaan Ali Said mempengaruhi dinamika Komnas HAM. Pendapat pribadi mendapat tempat, meski ujungnya nanti ditentukan di sidang paripurna. Berjenjang sidang ini, tapi muaranya adalah sidang pleno atau paripurna. Putusan sidang pleno merupakan kata akhir yang menjadi dasar sikap lembaga. Sejak awal para komisiomer bersepakat bahwa putusan dalam sidang pleno berdasarkan permufakatan. Kalau tak bisa bermufakat, baru dilakukan voting.
Perbedaan pendapat mengemuka di antara komisioner di masa awal. Wajar, mengingat asal-sul mereka yang gado-gado itu. Tapi itu tak melahirkan friksi. Jadi upaya untuk melencengkan arah Komnas tak begitu terasa di masa rintisan ini. Kalau ada yang nekoneko, koreksi akan segera datang dari segelintir figur yang sejak lama dikenal memiliki integritas pribadi. “Ada beberapa komisioner yang, menurut saya, menjaga betul apa yang disebut independensi dan etik itu. Bang As salah satu di antaranya,” ungkap Roichatul Aswidah.
Untuk menjaga independensi, lewat sidang pleno mereka putuskan sejumlah aturan main. Di antaranya tidak boleh ada funding untuk pelaksanaan pemantauan serta gaji pegawai. Yang boleh hanya untuk peningkatan kualitas staf. Funding tak boleh lebih dari satu untuk setiap kegiatan. Aturan inilah yang nanti, selama bertahun-tahun, membuat funding Komnas cenderung itu-itu saja. Salah satu donornya adalah Canadian International Development Agency (CIDA). Karena dana minim maka untuk beberapa waktu gaji komisioner dan staf kecil saja.
Para komisioner juga bersepakat bahwa kalau ada uang pemberian dari orang luar itu harus dikembalikan dalam amplop yang tetap tertutup saat rapat pleno. Nanti oleh sekretariat akan dikirimkan kembali ke si pemberi.
Jadi Penjaga Gawang
Suatu ketika, misalnya, orang yang datang mengadu ternyata membawa serta pisang. Buah matang yang baru dipetik dari kebun itu mereka kasih ke orang Komnas HAM sebagai buah tangan. Lekas santapan ranum itu berpindah tangan ”Pak Lopa suruh kembalikan,” kata Roichatul.
Lopa tak hanya tegas pada orang lain; pada dirinya juga. Suatu ketika, saat bertugas di Kuala Lumpur, ia dan Asmara menginap di sebuah hotel. Saat hendak check-out petugas hotel mengatakan rekening mereka telah dibayar seseorang. Mereka mencari tahu siapa orang itu. Ternyata duta besar Indonesia untuk Malaysia. Sang Dubes adalah teman Lopa. Waktu dikontak Dubes itu tak mau uangnya dikembalikan. Setelah berdiksusi panjang, Lopa dan Asmara pun bersepakat: sesampai di Jakarta nanti uang hotel akan mereka kirim ke sang Dubes. Itu memang mereka lakukan.
Di Makassar, hal seperti itu juga terjadi. Waktu itu anggota Komnas HAM yang lain, BN Marbun, ikut. Rekening mereka ternyata telah dibayar teman BN Marbun. Lopa menyuruh Marbun mengembalikan uang kawannya tersebut.
Sejak awal Lopa dan Asmara memiliki sikap yang sama soal etik yang harus ditegakkan di lingkungan Komnas HAM. Mereka sama-sama jujur dan tegas dalam prinsip, itulah elemen yang utama yang merekatkan keduanya. Untuk seterusnya mereka akan menjadi pasangan tak terpisahkan yang paling bersemangat menjaga Komnas HAM tetap di rel atau senantiasa on-track.
Satu lagi unsur kesamaan mereka adalah serupa pekerja keras. ”Mereka sama gilanya.Terlebih Pak Lopa. Kalau kerja ya kerja. Tidak ada staf, tidak ada aturan, tapi dia jalan terus,” kenang Roichatul.
Kesepakatan lain komisioner yang berkaitan dengan etika adalah senantiasa tidak partisan ketika sedang menangani kasus. Untuk itu mereka yang punya kepentingan (vested interest) tak boleh ikut dalam pembahasan kasus; apalagi dalam voting.
Begitulah, Asmara misalnya tak ikut dalam sidang-sidang yang membahas kasus konflik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Masalahnya, abang kandungnya, SAE Nababan, sebagai ephorus atau pimpinan tertinggi menjadi parapihak dalam sengketa itu. Miriam Budiardjo pun demikian dalam kasus Freeport. Suaminya, Boediardjo, merupakan pembesar di perusahaan tambang tersebut. BN Marbun juga tak ikut menangani kasus 27 Juli 1998. Sebab sebagai pendukung Soerjadi melawan kelompok Megawati ia terhitung sebagai para pihak.
Berani
Lopa, seperti kata Roichatul, akan membuka omongan. Menendang bola, tujuannya. Sebagai pemimpin sidang Marzuki akan menyambut bola dan membagikannya kepada para profesor. Memainkan bola dari kaki ke kaki, itulah yang akan dilakukan para guru besar. Karena bukan orang lapangan, mereka akan berkutat di ranah ilmiah saja dengan tujuan mencari dasar atau landasan ilmiah dari sebuah keputusan nanti.
Sesudah keputusan diambil, Lopa, dalam sidang pleno itu akan meminta Asmara menyiapkan statemen yang akan disampaikan ke mediamassa. Sebelum pernyataan dibuat biasanya Lopa, Marzuki, dan Asmara akan menggodok dulu. Begitulah Baharudin Lopa, Marzuki Darusman, Asmara Nababan, dan para profesor sejalan pikiran menjadi skuad yang kompak di sidang-sidang pleno. Merekalah yang gigih memperjuangkan agar pengungkapan demi pengungkapan dilakukan.
Pada 1994, tak lama setelah Komnas HAM dibentuk, misalnya, Asmara Nababan ditugasi ke Aceh. Di sana ia dan kawan-kawannya berhasil meyakinkan Kapolda setempat untuk membebaskan tahanan (orang GAM) yang tak pernah diadili. “Pak Asmara-lah yang pertama kali ke Aceh untuk mulai pembongkaran otoriterisme. Dalam hal ini penahanan warga negara Indonesia yang dikaitkan dengan GAM. Hasilnya, pelepasan 11 anggota GAM yang ditahan,” kata Marzuki Darusman.
Kelak, pada 1998, Lopa dan anggota timnya mendatangi Aceh. Di sana mereka membongkar kuburan massal. Setelah itu mereka mengumumkan lewat media hasil temuannya.
Pengungkapan jumlah korban selama Aceh berada dalam status daerah operasi militer (DOM, 1989-1998) membuat Menhankam/ Pangab Jenderal TNI Jenderal Wiranto jengkel. Kepada pers ia menyatakan dirinya meragukan hasil temuan tim Komnas HAM. Seperti hendak berkelit, dia menyebutkan yang dibongkar Komnas itu mungkin kuburan orang-orang PKI. Menanggapi Wiranto, Lopa menyatakan kuburan itu belum tua. Itu terlihat dari pakaian, ikat pinggang, atau alas kaki korban yang belum berumur betul. Ia mempersilakan siapa pun yang tak percaya—termasuk Wiranto— untuk melihat sendiri.
Komnas HAM kembali bersitegang dengan penguasa tak lama setelah Peristiwa 27 Juli 1996. Soeharto marah ketika Komnas HAM mengumumkan hasil temuannya tentang jumlah korban dalam peristiwa penyerbuan markas pendukung Megawati di Jl. Diponegoro, Jakarta, tersebut. Menkopolkam Soesilo Soedarman kemudian secara tak langsung menuding Komnas HAM telah ke luar dari jalur.
Saat itu Soesilo Soedarman menyatakan, “ada kesan bahwa Komnas HAM cenderung secara operasional menyelesaikan sengketa hukum yang terjadi di masyarakat.”
Lewat mediamassa juga, Komnas HAM menepis tudingan itu.
Dalam rapat koordinasi tiga bulanan pada Desember 1996 pihak Menkopolkam akhirnya bertemu dengan tim Komnas HAM. Soesilo Soedarman waktu itu didampingi antara lain oleh Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung, Menhankam Edi Sudradjat, Mensesneg Moerdiono, dan Kapuspen Syarwan Hamid. Sedangkan delegasi Komnas terdiri dari Ketua Munawir Sjadzali, Wakil Ketua Marzuki Darusman, Sesjen Baharudin Lopa, AA Baramuli, Sugiri, dan Miriam Budiardjo.
Moerdiono dan Feisal marah-marah kala itu. Kemungkinan karena bos mereka, Soeharto, juga marah. Di sisi lain, Lopa juga sempat melabrak Syarwan Hamid dalam pertemuan itu. Pasalnya sang Kapuspen menyatakan dirinya telah mengamati gerakan PRD sejak tujuh bulan sebelumnya. Lopa jengkel karena menurut jalan pikirannya, Syarwan telah menjebak anak-anak muda radikal tersebut. Seharusnya, tegas Lopa, kaum muda tersebut disadarkan dan dibina dalam arti yang sebenarnya.
Setelah bersitegang Menkopolkam dan rombongannya kemudian bersepakat dengan orang Komnas HAM bahwa mereka akan lebih saling menghormati di masa mendatang.
Jembatan Dunia Komnas HAM
”Mau meliput apa kalian ke sini,” ucap Lopa.
Hari itu tak bermaksud meliput mereka, melainkan mau memberitahu akan datang dengan rombongan besar. Tujuannya, silaturahmi. Lopa yang terkenal saklak, sejenak berpikir.
”Silaturahmi untuk apa?” tanya dia.
Delegasi itu menjelaskan. Lopa pun manggut-manggut.
”Ya, saya tunggu kalian,” ujar Lopa setelah salah satu dari wartawan itu menyebut hari, tanggal, dan pukul kedatangan nanti.
Pekan depannya, persisnya pada 20 Oktober 1994, rombongan wartawan bergerak secara bergelombang ke Gedung Komnas HAM di Jl. Latuharhari Nomor 4B, Menteng. Sekitar pukul 09.30 sebagian mereka mulai tiba di sana. Silaturahmi akan mulai pukul 10.00 wib. Ternyata rombongan lain sudah mendahului, yaitu para petugas intel dari pelbagai kesatuan. Di kursi tamu lantai 2, dekat tangga, para spy menunggu. Ruang silaturahmi sepelemparan batu saja dari sana.
Seorang wartawan kontan mengenali intel-intel itu. Dengan berbisik ia lantas memberi tahu kawan-kawannya supaya awas. Secara refleks, tapi tanpa grasa-grusu, para jurnalis itu berkoordinasi.
Begitu melihat Baharudin Lopa muncul di lantai dua, para wartawan menyongsong. Percakapan akrab berlangsung. Menjelang pukul 10.00 wib menapak bersama ke ruangan. Seperti ruang kursus model ruangan itu. Ukurannya sekitar 7×5 meter, dengan dinding abu-abu muda berbahankan partisi sebagian. Dua meja kantor kayu berpelitur coklat muda ada di depan dan dua puluhan kursi lipat disusun dua baris.
Ternyata para mata-mata sudah mengambil tempat di deretan belakang sebelah kiri. Mereka mengangguk begitu melihat Lopa memasuki ruangan. Beberapa wartawan tampak berbisik-bisik. Keberadaan para intel yang mereka percakapkan.
Tanpa membuang waktu Lopa mengucapkan selamat datang dan mempersilakan hadirin mengutarakan maksud. Pimpinan rombongan wartawan maju. Ia bertukar salam dan memperkenalkan diri. ”Kami dari Aliansi Jurnalis Independen atau AJI,” katanya. Ia menjelaskan AJI resmi berdiri pada 7 Agustus 1994 sebagai bentuk perlawanan terhadap pembredelan Detik, Tempo, dan Editor pada 21 Juni 1994.
Mendadak seorang rekannya berdiri dan menginterupsi. Ke Lopa ia bicara. ”Bukankah pertemuan ini tertutup sesuai kesepakatan kita minggu lalu?” kata dia.
Lopa membenarkan. Orang tua itu balik bertanya apakah bukan wartawan saja yang hadir. Spontan para jurnalis mengatakan bukan.
Lopa tertegun sebelum memandangi wajah hadirin. ”Ini pertemuan tertutup antar-Komnas dengan wartawan. Saya minta yang bukan wartawan keluar,” ucapnya tegas. Intel-intel itu pun saling memandang sebelum beringsut dengan kecut.
Lopa menggeleng. ”Mengapa kalian tidak bilang tadi ada intel masuk,” ujar dia ke hadirin.
Silaturahmi mulai. Setelah menjelaskan apa itu AJI juru bicara tadi mengatakan ingin berhubungan baik dengan Komnas HAM di masa mendatang. Lopa menyambut baik. Selanjutnya adalah acara curhat. Sejumlah anggota AJI melaporkan tekanan yang mereka alami di kantor redaksi masing-masing. Mereka tak boleh meliput lagi atau, kalau pun masih meliput, tak dapat menggunakan nama sendiri (by-line). Banyak wartawan terpaksa hanya menggunakan inisial. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat telah memperingatkan para pemimpin redaksi agar tak mempekerjakan wartawan yang bukan anggotanya.
Di zaman itu setiap wartawan wajib menjadi anggota PWI. Sang ketua tak main-main. PWI telah mencabut rekomendasinya untuk pemimpin redaksi Simponi sehingga koran mingguan ini tak boleh terbit lagi. Dosa Simponi? Telah memperkerjakan bekas wartawan tabloid Detik. Hal lain yang dilaporkan AJI adalah tak jelasnya nasib permohonan SIUPP majalah Berita yang diajukan Yayasan Kesejahteraan Tempo.
Lopa meminta AJI tidak konfrontatif agar tak dianggap penguasa mengganggu stabilitas negara. Ia berjanji akan mendekati Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika (PPG).
Para anggota AJI ini tahu Komnas HAM, sebagai lembaga baru yang tanpa kekuasan pemaksa, tak akan bisa berbuat banyak untuk meredam kesewenangan rezim—dalam hal ini Deppen dan PWI. Begitupun mereka tetap lega saat meninggalkan gedung lawas di Jl. Latuharhari ini. Ya, paling tidak Sesjen Komnas HAM, Baharudin Lopa, telah mendengar dan memahami aspirasi mereka.
Beberapa bulan berselang utusan AJI akan menemui Baharudin Lopa lagi. Kali ini di rumah dinasnya yang bersahaja di dekat LP Cipinang. Tujuannya, meminta bantuan mantan Dirjen Lembaga Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman (1988-1993) itu agar Danang Kukuh Wardoyo—staf rumahtangga AJI ini bersama dua jurnalis anggota AJI, Ahmad Taufik dan Eko Maryadi, yang ditangkap aparat negara pada 16 Maret 1995—tidak digabung dengan kaum kriminal di penjara anak-anak Tangerang.
Tatkala AJI datang bersilaturahmi, Komnas HAM belum berumur setahun. Sebagai lembaga baru tentu mereka belum bisa berbuat banyak. Sementara di masa itu rezim Orde Baru masih sangat tangguh. Kendati demikian orang AJI dan para pencari keadilan yang menjadi korban dari kekuasaan tetap saja berharap kepada mereka. Kaum miskin kota, buruh, dan petani, di antaranya. Sebenarnya sia-siakah mereka berharap ke lembaga yang umurnya baru seumur jagung dan kelahirannya seperti mendadak dan terpaksa tersebut?
KPP HAM Timor Timur
Hassan Wirayuda yang menjadi pimpinan delegasi Indonesia kemudian berdiskusi lewat telepon dengan Marzuki Darusman di Jakarta. Apa yang harus dilakukan, itu intinya. Komnas, lewat Marzuki, menawarkan diri sebagai penyelidik kasus pembumihangusan. Mereka akan membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Azasi Manusia (KPP HAM). PBB setuju sebab Komnas mereka anggap bisa dipercaya.
Pemerintah Indonesia mengambil langkah. Presiden Megawati pada 1 Agustus 2001 mengeluarkan Keppres Nomor 96 Tahun 2001 tentang pengadilan HAM ad hoc. Hakekatnya, menggarisbawahi locus kejadian beberapa pelanggaran HAM berat. Pasal 2 Kepres ini berbunyi, “Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, dan Soae pada April 1999 dan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada September 1984.”
Sebelum bergerak Komnas HAM mengajukan sejumlah syarat. Salah satunya, jika KPP HAM terbentuk, maka para jenderal yang menjadi tersangka harus mau dimintai keterangan. Kalau dipanggil mereka harus datang. Hassan Wirayuda menyampaikan syarat ini ke Mabes TNI di Cilangkap. Tentara tak punya pilihan, Cilangkap menyatakan setuju.
Saat pembentukan KPP HAM Timor Timur, Asmara mengajukan diri sebagai anggota. Dia terpilih menjadi sekretaris. Selain untuk Tim-Tim KPP HAM juga dibentuk untuk Aceh dan Papua. Penyingkapan yang dilakukan tiga KPP inilah yang kemudian menegakkan citra Komnas HAM sebagai lembaga independen. Marzuki Darusman menggarisbawahi dengan tebal pencapaian istimewa ini.
Dalam Kebersahajaan
Sang jenderal rupanya perduli betul pada kerapihan. Ia menganggap cara berpakaian Asmara tak sopan. Seorang yang bersandal, menurut dia, tak patut memeriksa jenderal.
Alih-alih goyah, Asmara malah balik bertanya. “Saudara mau saya periksa dengan mulut atau dengan sepatu?” ucap dia, seperti ditirukan Zoemrotin.
Ucapan keras itu ternyata efektif. Untuk seterusnya, selama pemeriksaan, jenderal itu berubah menjadi ‘anak manis’.
Berpakaian necis? Itu bukan kebiasaan Asmara. Dunianya jauh dari jas, dasi, dan sepatu kulit. Sejak masih muda ia gandrung segala sesuatu yang serba casual. Ia suka kaos oblong dan sandal jepit, di kemudian hari berubah ke sepatu sandal. Magdalena Sitorus yang menikah dengan Asmara tahun 1974 masih ingat bagaimana penampilan lelaki kelahiran Siborong-borong itu kalau bertandang ke rumah orang tuanya di Jakarta.
“Rambutnya gondrong. Ia berkemeja ala kadarnya dan bersepatu sandal. Tidak rapih….sampai keluarga saya bingung orang ini siapa,” ungkap Magda. ”Penampakan” Asmara berbeda dengan lelaki yang berdatangan ‘menembak’ Magda atau kakak-kakaknya, kala itu.
Magda sejak awal tak pernah menyoal cara berpakaian Asmara. Ia malah suka karena tidak dibuat-buat. Namun sewaktu keduanya hendak menikah di gereja pakaian akhirnya menjadi perkara serius juga. Asmara ogah memakai jas. Padahal itu standar, terutama di gereja HKBP tempat mereka akan diberkati. Tak hanya di gereja perlu jas tapi di tempat resepsi juga. Pakaian barat ini merupakan standar dalam perhelatan resmi orang Batak, terutama pernikahan.
Asmara baru luluh setelah ibundanya yang membujuk. Jas ia kenakan dengan berat hati. Jauh hari kelak, ketika akan menikahkan anak-anaknya, pakaian tebal itu juga menjadi persoalan, meski sikapnya tak sekeras waktu pernikahan pada 1974 itu.
Tatkala menjadi direktur Yayasan Komunikasi Massa (Yakoma) pada 1978, tak ada perubahan yang berarti. Ia tetap gemar beroblong dan besandal jepit. Ketika bermitra dengan Ade Rostina Sitompul di Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JK-LPK) PGI di Salemba pada 1980-an, ia sudah rajin berkemeja. Ia selalu memakai kemeja lengan pendek yang di dalamnya ada kaos lengan panjang. Kemejanya selalu kotak-kotak.
”Saya sampai bilang sambil bercanda, he…anda beli hem kotakkotak berapa lusin? Ia hanya bilang, ah..kau…..yang begitu aja diurusin,” kenang Ade Rostina Sitompul sembari tertawa.
Pengacara yang juga pegiat HAM Johnson Panjaitan selain melihat kesederhanaan pembawaan yang menonjol dari diri Asmara juga kedalaman isi pikiran. “Siapa pun yang bercakap atau berdiskusi dengan dia akan segera merasakannya. Orang akan mendapatkan sesuatu setiap berbicara dengan dia. Itu yang saya rasakan selama ini. Kita bisa mendebat dia karena orangnya terbuka. Saya sering berdebat dengan dia. Kesederhanaan dan kedalaman pikiran itu yang membuat posisinya istimewa di dunia gerakan. Jarang orang seperti dia,” ujar Johnson.
Banyak hal yang bisa kita catat ihwal Asmara sebagai pengawal civil society. Apa pun yang lain itu, yang pasti kualitas semacam itu makin langka saja di negeri kita ini. Ia orang baik, bersahaja, lurus, dan berkomitmen penuh pada demokrasi dan HAM. Sudah jarang aktivis seperti dia di republik tercinta ini. Tak heran kalau banyak orang yang sontak merasa kehilangan sebaik tahu ia sudah tiada.
Tetap Bersahaja
”Sering saya sembunyikan karena sudah kumal dan baunya nggak enak. Tapi besoknya ia pakai tas seperti itu lagi. Berarti dia punya stok banyak,” ujar Zoemrotin.
Kebersahajaan Asmara tak hanya dalam soal penampilan. Tak lama setelah bergabung dengan INFID, ia membawa sendiri kursinya dari rumah. Masalahnya lembaga ini belum punya perabotan. ”Menurut saya kursinya sudah butut banget. Tapi dia selalu ngomong, “Ini kursiku,….ini kursiku. Sebenarnya udah nggak pantas lagi dianggap kursi lagi. Kenapa nggak beli? Ya, karena dia sangat sederhana,” lanjut Zoemrotin.
Suatu waktu rombongan INFID bertolak ke Australia untuk menghadiri pertemuan NGO internasional. Asmara ikut. Sebagai Sesjen INFID dia harus berbicara di forum penting tersebut. Zoemrotin dan Ita Nadia tak mau Sesjen mereka tampil kurang ’pantas’ di podium.
”Diam-diam Ita pergi ke pasar loak membeli jas bekas. Kalau beli yang baru As pasti nggak akan mau pakai,” tutur Zoemrotin sambil tersenyum.
Meski demikian, Zoemrotin dan Ita Nadia khawatir Asmara tak sudi memakai jas itu. Mereka ingat pengalaman Emmy Hafild. Suatu saat Emmy yang saat itu menjabat Direktur Eksekutif Walhi periode 1996–1999 beserta Fauzi Abdullah (Oji) dan beberapa aktivis berangkat ke Eropa untuk mengikuti pertemuan NGO. Oji yang memang sangat bersahaja dan kesederhanaannya lebih ekstrim dibandingkan Asmara, tak membawa jas atau baju hangat padahal sedang musim dingin. Tak mau sang kawan sakit akibat kedinginan, Emmy Hafild spontan membeli jas baru.
Ketika pakaian itu diserahkan, Oji marah. Jas ia buang ke sungai. Akankah Asmara melakukan hal yang sama? Ternyata tidak.
”Ia mau memakai jas itu, karena tahu sudah bekas,” tutur Zoemrotin.
Setelah menjadi Sesjen Komnas HAM penampilan Asmara ‘agak membaik’. Hemnya sudah dimasukkan, tidak terjurai lagi. Tapi ia masih tetap bersepatu sandal bermerek Bata. Kalau alas kaki putus atau sobek, ungkap Roichatul Aswidah—yang waktu itu menjadi staf Asmara di Komnas HAM—Asmara akan minta office boy Komnas membawanya ke seberang jalan. Di trotoar markas polisi militer Guntur ada tukang sol sepatu.
”Itu langganannya. Kacamata yang selalu menggantung di dadanya juga dibeli di pinggir jalan sekitar Jl. Guntur. Saya ingat, harganya Rp 15.000,” lanjut Roichatul.
Kebersahajaan ini terkadang ada juga ongkosnya. Sewaktu dilantik sebagai anggota Komnas, Asmara tidak hadir sebab ia tak mau berpakaian resmi. Ia berkali-kali tak ikut rombongan Komnas HAM ke istana karena alasan serupa. Namun dia tak menganggapnya masalah serius. Bagi dia, yang lebih penting adalah sikap konsisten yang tidak dibuat-buat. Wajar, alamiah.
Soal Rokok
Zoemrotin bercerita, suatu hari teman-teman mereka merencanakan pesta untuk Asmara yang akan berulang tahun. Perhelatan itu akan digelar di hotel mewah. Uang tak masalah sebab kawankawan Asmara yang sudah makmur akan menyumbang.
”Ketika saya mendengar rencana mereka saya langsung bilang As pasti tidak akan setuju. Akhirnya rencana itu kandas,” ungkap Zoemrotin.
Cerita tentang ulang tahun Asmara datang juga dari Stanley Adi Prasetyo, wakil ketua Komnas HAM saat ini. Sekitar lima tahun silam kawan-kawannya sesama aktivis berniat merayakan ulang Asmara. Perhelatannya akan dilangsungkan di kantor Demos. Kalau Asmara diberitahu rencana ini niscaya dia tak akan datang. Apalagi acaranya nanti Sabtu, hari untuk keluarga bagi Asmara.
Stanley dan kawan-kawannya pun merancang skenario. Seorang perempuan aktivis Kontras, Indri, Mbak Suci, Papang, Usman, yang dekat dengan Asmara, diminta mengontak. Ia bilang ada informasi penting berkaitan dengan Munir. Teman-teman sekarang menunggu anda di kantor. Tanpa berpikir panjang Asmara bilang akan segera datang.
“Sesampai di kantor Demos bukan korban yang menunggu tapi kue ulang tahun. Merasa dikerjain sempat ngomel-ngomel juga dia,” ucap Stanley sambil terbahak. “Tapi tak lama, apalagi keluarganya kemudian juga datang bergabung.”
Selain bersahaja, Asmara juga berdisiplin tinggi, termasuk dalam mengelola uang. Sejak kecil ia sudah demikian. Kalau orang tuanya mengirim uang, sampai satu rupiah pun akan ia catat sehingga semua terlacak.
Hanya dalam satu hal saja ia jauh dari disiplin, yaitu soal rokok. Ia—meminjam istilah sastrawan utama Pramoedya Ananta Toer —adalah perokok berantai. Merokok menjadi semacam katarsis bagi dia. “Kalau sedang marah atau tegang pasti dia akan merokok dan merokok. Pernah suatu kali asbaknya penuh puntung rokok. Sebagai Sesjen Komnas ia sedang menghadapi masalah berat waktu itu,” kata Roichatul Aswidah.
Dalam keseharian, di dalam tas kain Asmara, lanjut dia, selalu ada rokok. Bukan satu bungkus tapi satu slop sekaligus. Magda menyebut Asmara baru berhenti merokok tahun 2004 setelah ia terjatuh di kamar mandi.
Banyak orang tak kunjung mengerti jalan pikiran seorang Asmara. Termasuk kawan-kawannya di gerakan. Mereka misalnya tak mengerti mengapa Asmara tak mau mengambil ijazah sarjana hukumnya dari Universitas Indonesia; juga mengapa ia masih saja enggan menginjakkan kaki di Taman Mini kendati Ny. Tien dan suaminya telah lama meninggal.
Mereka sebenarnya tak perlu heran. Itulah Asmara, yang selalu konsisten dalam ucapan, sikap dan tindakannya; Asmara, yang mengabaikan segala hal yang bersifat artifisial.
Menguatkan Jejaring
Basis data Komnas HAM dibangun Asmara dengan memanfaatkan akses ke dunia civil society. Orang-orang LSM ia tarik untuk memperkuat bagian data dan riset. Di sisi lain ia senantiasa mempromosikan Komnas ke dunia luar. Berada di dua pijakan sekaligus kakinya. Dengan kedudukan in-between ia menjadi jembatan dunia Komnas HAM. Isu lapangan pun mengalir deras ke Komnas. Dengan modal penting kemampuan mengakses data serta memainkan kontak dia menjadi tumpuan Lopa dan Marzuki dalam investigasi di lapangan.
Kendati posisinya strategis Asmara lebih suka berada di belakang layar. Meminjam istilah Roichatul Aswidah, ia selalu menahan diri untuk tak menjadi cover boy. Sesekali ia muncul juga di permukaan, tapi di saat yang tepat. Prinsipnya, the song, not the singer. Seperti yang telah disebut, dia yang selalu menyusun pernyataan Komnas HAM. Kalau sudah rampung, ia akan meminta Marzuki atau Lopa menekennya dan membacakannya di depan wartawan. Waktu itu belum ada mekanisme di Komnas HAM. Jadi Asmara bisa memainkan peran sebagai pembisik (whistle blower) yang memberi inside kepada wartawan. Alhasil dia menjadi sumber informasi yang selalu dicari jurnalis. Sampai waktu menjadi sesjen-pun wartawan masih saja mengandalkan dia sebagai pemberi inside.
Roy Pakpahan, aktivis mahasiswa yang kemudian menjadi wartawan di harian Suara Pembaruan, termasuk yang menjadikan Asmara narasumber utamanya untuk bidang HAM. Roy punya alasan untuk itu. “Komitmen Bang As pada HAM sangat jelas. Kalau komisioner Komnas yang lain mungkin perlu menunggu korbannya teriak-teriak atau mati dulu baru mau ngomong,” ucap Roy yang delapan tahun menjadi wartawan Suara Pembaruan.
Capacity Building
Di awal menjadi Sesjen ia berupaya memperbaiki sistem penggajian. Gaji yang semula kecil akhirnya menjadi jauh lebih baik. Asuransi kesehatan untuk para staf diadakan. Hampir bersamaan pembenahan staf (staffing) dilakukan Asmara. Resource Management and Development Consultant (Remdec) yang menjadi bagian dari INSIST Yogyakarta, misalnya, terlibat dalam proses ini sebagai konsultan.
Hal lain yang Asmara perjuangkan adalah pelibatan semua staf dalam semua proses kerja dan pelatihan tanpa mengindahkan tingkat jabatan. Parsipatoris kata kuncinya, pendekatan ini sesuatu yang jamak di dunia LSM tapi asing di lingkungan pemerintahan. Hierarki senantias menjadi penentu di jajaran state. Yang terakhir ini tak mudah bagi Asmara sebab yang menjadi Ketua Komnas, Djoko Soegianto, bukanlah orang LSM atau akademisi melainkan pensiunan hakim di Mahkamah Agung.
Untuk memperkiat lini Komnas Asmara memasukkan orangorang dari LSM. Salah seorang yang ia ajak bergabung, misalnya, adalah Anton Pradjasto, yang sekarang menjadi direktur Demos. Anton waktu itu baru keluar dari INGI (Inter NGO Forum on IGGI). Ia dipercaya menjadi kepala biro riset Komnas HAM. Warna LSM kemudian mengental di Jl. Latuharhari Nomor 4B.
“Setelah Bang As jadi Sesjen unsur civil society banyak memegang pimpinan. Dari pimpinan pleno, subkomisi, hingga biro. Bu Saparinah Sadli di Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan HAM. Pak Albert Hasibuan di Subkomisi Pemantauan Pelaksanaan HAM. Pimpinan untuk biro pendidikan itu Mansour Fakih. Biro pemantauan MM Billah. Saya kepala biro riset. Subkomisi Pengkajian Instrumen HAM saja yang nggak kita pegang,” ucap Anton Pradjasto.
Asmara berupaya memainkan peran yang optimal sebagai Sesjen. Kala itu sesjen dan komisioner belum dipisahkan. Jadi sebagai sesjen ia juga komisioner. “Saat dia menjadi sesjen kalau ada hal yang urgen akan segera ia tangani. Kalau toh belum ada uangnya dia akan jalan dulu,” ucap Zoemrotin. Asmara, lanjut dia, menjalankan Komnas seperti sebuah gerakan. “Kebetulan di situ anggotanya ada Albert Hasibuan. Dia itu bisa dianggap kasirnya. Banyak kegiatan yang utang dulu ke Albert. Tahu persis saya,” lanjutnya.
Zoemrotin membandingkan masa Asmara dengan masa dirinya sebagai komisioner Di zaman dia menjadi wakil ketua, Sesjennya sudah pegawai negeri. “Tidak ada terobosan. Mau gerak, apa aja yang menyediakan anggaran sesjen. Yang punya kewenangan untuk deal dengan departemen keuangan, mengeluarkan keuangan kan sesjen.”
PNS-isasi di Komnas HAM
Dalam Pasal 81 ayat 3 UU Noi 39 Tahun 1999 disebutkan “Sekretariat Jenderal dijabat oleh seorang pegawai negeri yang bukan anggota Komnas HAM.” Asmara menyebut PNS-isasi Komnas ini sebagai pengebirian. Asmara menegaskan Sesjen harus independen sebab posisinya sangat strategis. Staf Komnas pun, menurut Asmara, sebaiknya bukan PNS. Contoh yang baik adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bila sesjen dan semua staf PNS maka kontrol negara nanti akan bisa dijalankan lewat mekanisme anggaran. Misalnya, sesjen akan bisa menghentikan sebuah investigasi terhadap aparat negara dengan alasan tak ada anggaran. Sepanjang kultur birokrasi masih seperti sekarang, menurut dia, korupsi akan tetap membayang.
Kelompok yang pro-pemerintah di jajaran komisioner berpandangan lain. Mereka menganggap UU Nomor 39 Tahun 1999 bukan ancaman bagi Komnas HAM, melainkan peneguhan. Djoko Soegianto termasuk yang beranggapan demikian.
Keretakan terjadi di tubuh Komnas HAM begitu UU ini berlaku. Dua blok terbentuk. Oleh mediamassa kemudian disebut sebagai blok birokrat-militer dan blok akademisi-LSM.
Kesepian
Kursi ketua kosong. Asmara berharap Saparinah Sadli yang akan mengisinya. Ia melobi guru besar psikologi itu lewat orang kepercayaannya. Ternyata, Pak Sadli yang mantan menteri dan guru besar emeritus tak setuju isterinya maju menjadi ketua Komnas HAM.
Begitulah, Asmara masih terus mencoba meyakinkan Saparinah. Saat pemilihan, hanya dua calon yakni Saparinah dan Djoko Soegianto. Voting berlangsung. Soegianto menang satu suara. Ternyata Saparinah sendiri ikut memilih Pak Djoko.
Amaral pun diam-diam hengkang ke Lisabon, Portugal, pascareferendum Timor-Timur 30 Agustus 1999. Di sana Amaral tinggal beberapa lama sebelum pulang ke Dili untuk mendirikan partai menjelang pemilu. Setelah ia hengkang posisi Sesjen Komnas lowong. Asmara yang mengisi posisi ini sejak tahun 2000. Waktu voting dulu ia urutan ke dua dan BN Marbun ke tiga.
Asmara sendiri sebetulnya mulai merasa kesepian setelah Lopa dan Marzuki ke luar. Tak hanya kesepian, bahkan terkadang frustasi. Saat dia sudah menjadi Sesjen, misalnya, Komnas membentuk dua tim untuk menangani kasus Abepura dan Aceh. Tim Abepura dipimpin Albert Hasibuan. Asmara membantu Albert waktu menyiapkan laporan. Tim Aceh dipimpin oleh Mohammad Salim. Ternyata Tim Aceh tak berjalan. Asmara menyoal hal ini di sidang pleno. Begitupun, pleno tak kunjung mendesak agar kasus Aceh ditindaklanjuti. Asmara yang frustasi memilih meninggalkan sidang pleno.
Media kemudian mengeritik Komnas HAM karena Komnas HAM dianggap tak becus mengurusi kasus Aceh. ”Saya ingat: waktu itu sejumlah media, termasuk media Islam, mengatakan kegagalan Komnas di Aceh itu karena Asmara hanya mengurusi orang Kristen,” ungkap Roichatul Aswidah. Asmara kian masygul.
Kala itu di Komnas HAM kawan Asmara tinggal Albert Hasibuan, Soetandyo, Saparinah Sadli, H.S. Dillon, dan Emil Salim. Kelompok progresif ini pun sudah mulai malas hadir di pleno sebab menganggap pembicaraan di sana sudah tak substantif dan bermutu.
Wacana di pleno yang kehilangan mutu dibenarkan oleh Anton Pradjasto. “Kita kan sering hadir di pleno. Kita dibolehkan ikut, tapi tanpa hak bicara. Nah, di situ kelihatan bagaimana perbedaan pendapatnya itu lebih dalam soal prosedur daripada substansi. Kadang-kadang usul yang tidak jelas yang dipersoalkan. Atau mereka hanya mempersoalkan yang remeh-temeh,” tutur Anton.
Kasus Aceh membuat Asmara merasa tak berguna lagi di Komnas HAM. ”Ke saya, sambil banting-banting rokok, waktu itu ia bilang mau ke luar saja dari Komnas. Tidak ada lagi gunanya. Ia merasa Komnas HAM sudah seperti tempat gelap,” lanjut Roichatul Aswidah.
Masalah silih-berganti muncul sehingga Asmara kian merasa kian termarjinalisasi. Sebagai Sesjen ia harus mengurusi banyak hal di dalam. Alhasil selama di posisi itu ia tak pernah lagi ke luar negeri. Ke luar kota pun terbatas. Begitupun, ia merasa diby-pass dalam banyak hal. Misalnya ia tak tahu-menahu ihwal Kepres Nomor 48 Tahun 2001 tentang Sekretariat Jenderal Komnas HAM. Kepres yang ditandatangani Abdurrahman Wahid ini—merupakan pengganti Kepres Nomor 50 Tahun 1993 yang sebelumnya menjadi landasan hukum Komnas HAM. Isinya tentang kedudukan, tugas, fungsi, organisasi, kepangkatan, pengangkatan, dan pemberhentian, tata kerja, pembiayaan, dan ketentuan lain.
Disebutkan di salah satu ayatnya bahwa “rincian dan rumusan tugas, fungsi dan susunan organisasi, serta tata kerja Sekretariat Jenderal Komnas HAM ditetapkan oleh Sesjen Komnas HAM, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.” Jelas, Komnas telah dijadikan instrumen negara yang tak independen.
Zoemrotin menyebut, apa yang dikuatirkan Asmara sejak awal memang beralasan. “Sejak PNS-isasi Komnas HAM tak bisa lagi membuat kegiatan yang bersifat terobosan atau improvisasi. Pasalnya setiap kegiatan harus dianggarkan dulu dananya. Kalaupun sudah dianggarkan, jika Sesjen tidak meneken, dana tidak akan turun.”
Kalau bukan anggaran, tenggat waktu juga bisa dimainkan untuk menghambat. Zoemrotin mengisahkan pengalamannya sewaktu menjadi komisioner pada periode 2002-2007. Menurut dia komisioner yang bekas pejabat umumnya tak suka kalau Komnas HAM menyelidiki pelanggaran HAM berat.
“Biasanya,” lanjut Zoemrotin, “kalau sidang pleno memutuskan harus jalan, mereka akan tunduk. Tapi mereka akan mengupayakan supaya batas waktu penyelidikan pendek saja. Tiga bulan saja, misalnya. Kalau tenggat waktunya habis akan diperpanjang satu-dua bulan lagi. Sesudah itu, selesai tak selesai mereka akan minta presentasi.“
“Ah, pasti disetujui sama yang lain. Jadi tidak ada tantangan. Satu warna. Kalau di jaman Asmara dulu memang keras. Dia memegang peran yang cukup besar. Saya kira kasus penyelidikkan pro justisia Timor-Timur, Semanggi I, Semanggi II yang lead dia. Memang, Timor-Timur itu juga bisa sampai ke pengadilan tidak terlepas juga dari peran Gus Dur sebagai presiden,” kenang Zoemrorin.
Konflik
Jenderal Wiranto yang sedang menjadi target KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) pernah mengungkap dengan sinis perpecahan ketua dan sesjen ini ke wartawan. “Ada faksi ketua umum, ada faksi sesjen. Terbelah di situ, semuanya saling potong. Salahsatunya saat menghadapi KPP ke presiden, harusnya sepengetahuan ketua, tapi ini tidak, surat ditandatangani Sesjen dan tidak didaftar di buku tamu Sekretariat Negara lagi,” ucap dia waktu itu. Ia menyebut itulah salah satu alasannya mengapa dirinya menolak menghadiri pemeriksaan KPP HAM TSS. Alasan lainnya, adalah KPP HAM TSS itu bermasalah secara hukum. Selain sudah lewat tenggat waktunya, KPP itu juga tidak netral lagi. Dengan pernyataan ini jelas Wiranto memihak kubu Djoko Soegianto.
Konflik kubu Djoko Soegianto dengan kubu Asmara Nababan berlanjut. Menajam akhirnya. Di lingkungan Komnas HAM sendiri. Menurut Anton Pradjasto, “hal ini menjadi pembicaraan di lorong-lorong atau dimana saja.”
Paling tidak, menurut Anton, ada tiga pokok perkaranya. Pertama, menyangkut soal bagaimana Komnas ke depan diatur. Ke dua, tentang independensi Komnas HAM. Ke tiga, soal penanganan kasus. “Kami di staf ikut terbelah. Kubu terbesar setuju dipegawai-negerikan. Saya, Roichatul, Atikah, dan Bismo menolak karena ingin Komnas HAM independen. Kami juga mendukung Sesjen dari anggota komisioner,” ungkap Anton.
Pihak Anton akhirnya menganggap tak perlu lagi permasalahan ini ditutup-tutupi. “Akhirnya kita ke DPR mengadukan persoalan dan kita diadili sama anggota komisioner. Kami angkat persoalan ini ke publik,” ucap Anton. Untuk memperkuat posisi, ia dan staf lain yang menentang PNS-isasi menggunakan hasil penelitian Cornelis Lay dan Pratikno tentang kinerja Komnas HAM sebagai legitimasi akademik. Semangat para anggota komisioner untuk otonom, menurut Cornelis Ley dan Pratikno, merupakan nilai positif dari Komnas HAM.
Saat seleksi calon anggota Komnas HAM periode berikutnya, yaitu periode 2002-2007, kedua blok kembali berbenturan. Puncak dari ketegangan ini adalah Asmara oleh kelompok penentangnya kemudian didemisionerkan sebagai Sesjen. Caranya, dengan memberlakukan segera UU Nomor 39 Tahun 1999 yang mewajibkan Sesjen Komnas HAM adalah seorang pegawai negeri. Tak hanya itu. Tuduhan korupsi pun digelindingkan.
Asmara dan beberapa staf sampai diadukan ke Kapolda Metro Jaya. Tuduhannya telah terjadi penyimpangan pembukuan di masa dia menjadi Sesjen. “Saya waktu itu mendatangi Kapolda Makbul Padmanegara. Kesepakatannya, auditor independen akan memeriksa pembukuan. Saya sangat tahu karakter Asmara. Nggak mungkin dia akan menggunakan duit,” ungkap Zoemrotin.
Berbulan-bulan Zoemrotin bolak-balik ke Polda untuk urusan ini. Ia menepis tudingan bahwa dirinya mau melindungi Asmara. “Bukan mau menyelamatkan dia. Masalahnya saya di sekretariat waktu itu; jadi harus mempertanggungjawabkan. Saya harus tahu persis posisi keuangan seperti apa sebenarnya,” lanjut dia. Zoemrotin masuk Komnas setelah periode Asmara berakhir.
Audit ulang oleh auditor terkemuka akhirnya dilakukan. Hasilnya? Ternyata salah pembukuan. Mata uang dolar Amerika yang sudah dirupiahkan rupanya tetap dihitung sehingga double counting. “Auditor yang menyatakan pembukuan menyimpang kemudian mengakui kesalahannya,” kata Zoemrotin.
BAGIAN TIGA
Foto Kenangan Asmara Nababan
Keramik dan lukisan karya Asmara.
Keluarga Besar Nababan 1952
Siborong-borong
Pernikahan 20 Februari 1974.
Natal 1975 bersama orangtua.
Bersama ibu di Siborong-borong
Anak pertama, Juanita
Saat wisuda, Jakarta
Kumpul keluarga di rumah Indra Nababan, Klender-Jakarta.
Kamboja, 2009
Bersama istri dan anak-anak
Mendampingi pernikahan anak
Septermber 1999
September 1999
Bersama istri dan anak- anak
Ulang tahun Aviva
Bersama Magdalena dan Juanita
Mengantar anak lomba menggambar di Ancol, 1985.
Bersama istri dan anak-anak
Redaktur Kawanku, 1976
Kembali ke Jakarta dari Siborong-borong, 1985
Kembali ke Jakarta dari Siborong-borong, 1985
Bersama Magdalena di Kamboja, 2009
Bersama Magdalena di Kamboja, 2009
Hawaii, 2003
Hawaii, 2003
Jerman, 2003
Jakarta, 2001
Hawaii, 2003
Hawaii, 2003
Hawaii, 2003
Menjenguk anak di Jerman, 2003
Kartu saat ikut program East-West di Hawai 2003.
Jerman, 2003
Konferensi Infid, 2002.
Jerman, 2003
Narasumber favorit media
Konfrensi Demos, 2005
Bersama Arifin Panigoro, Sjahrir, Akbar Tanjung, pada acara talkshow di TVRI soal korupsi, 1970.
Sebagai pembicara pada diskusi yang diselenggarkan Elsam.
Konferensi yang diselenggarakan Demos, 2005.
Acara perkenalan Direktur Eksekutif Demos 2009-2012, di Cemara Galeri Februari
Kantor Demos, Jl Borobdur, ulang tahun Asmara ke-61
Rapat kerja Demos, 2009.
Rapat kerja Demos, 2007.
Bersama keluarga besar Elsam.
BAGIAN EMPAT
KENANGAN ISTRI TERCINTA DAN PARA SAHABAT
He is My Idol, in My Life
- Magdalena Sitorus -
“Asmara itu mesra banget,” kata Magdalena Sitorus.
Saya kenal Asmara sewaktu di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada sekitar 1970 atau 1971. Dia senior saya. Jaman mahasiswa dulu ada acara mapram-mapram. Sebe narnya semula saya tidak terlalu punya perhatian khusus ke dia. Cuma saat saya perhatikan kok dia selalu terpilih jadi senior favorit. Orangnya juga nggak banyak bicara. Eh….tersimpatik. Kata teman-temannya, hal itu bukan yang pertama kali dia terpilih dengan predikat itu.
Sewaktu itu dia sudah kuliah di UI. Ada sebuah acara penutupan atau apa, saya sudah lupa… Saya ajak dia mengobrol, lalu kami pulang bersama. Ya, begitu saja awalnya. Saya waktu itu, ya, nama nya juga umur belasan tahun. Dia juga disukai banyak orang. Kami jalan. Begitu saja.
Kebetulan teman saya yang di GMKI, ada juga yang sama-sama saya kuliah di LPK Tarakanita. Mereka juga berteman dengan Asmara. Dia kadang nonton film sama mereka. Kadang sama saya. Jadi tidak jelas buat saya. Pacar saya, bukan. Saya tidak tahu juga. Semuanya berjalan begitu saja. Kadang dia datang pada malam Minggu, kadang tidak juga. Tapi lama-lama saya jatuh hati padanya.
Saya tertarik karena di mata saya dia ini tidak seperti kebanyakan orang Batak. Awalnya, saya pikir Batak itu galak-galak banget. Saya berpikir seram juga kawin sama orang Batak. Padahal itu kan pikiran anak-anak. Belum tentu juga seperti itu. Kawin sama suku lain bisa saja tidak benar. Tapi hal yang saya lihat, dia itu tidak berpura-pura, tidak pakai bumbu banyak-banyak. Jadi gamblang-gamblang saja. Misalnya, kalau dia tak bisa mengantar saya, dia katakan, “ya sudah, kamu jalan pulang saja.”
Ternyata alam khayal Asmara itu luas sekali. Ketika saya ber teman, yang kami kunjungi antara lain pertunjukan W.S. Rendra. Kalau Rendra bikin pertunjukkan pasti kami menontonnya. Pasti saya dibawa Asmara. Ke pertunjukan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noor pun saya selalu dibawa. Itu membuat saya makin kenal teater. Tentu saya senang sekali. Sebelumnya bakat seni saya tidak bisa berkembang karena pemahaman keluarga tentang seni agak berbeda.
Selain teater, kami berdua senang nonton film. Dia sebetulnya tak asing dengan dunia perfilman. Dia berteman dengan Slamet Rahardjo jauh sebelum dia saya kenal. Dia juga kenal Teguh Karya. Ceritanya As—panggilan saya untuk dia—pernah mau ikut casting tapi tidak jadi karena dia datang terlambat. Saya lupa casting untuk film apa. Memang As itu punya banyak ketertarikan di dunia seni. Sebetulnya banyak bakatnya. Dia juga suka melukis. Bakat melukisnya menurun pada anak saya yang paling besar.
Saya sendiri sebetulnya sejak kecil senang dunia seni. Cuma banyak hambatan. Saya anak paling kecil, sama dengan As. Keluarga saya menganggap seni itu tidak terlalu positif. Padahal, waktu itu saya suka nari. Dulu cita-cita saya jadi bintang film. Saya suka itu. Bahkan dulu kalau nari, diam-diam. Saya suka latihan drama.
Barangkali saya dan As dalam seminggu bisa nonton film dua-tiga kali. Di Jakarta Theater, misalnya. Ini terus berlanjut sampai kami menikah. Baru setelah punya anak hobi ini agak dikurangi karena saya harus mengasuh anak dan mengatur keuangan. Tidak bisa lagi nonton sebanyak itu karena saya harus membeli susu dan yang lain. Jadi, dunia seni seperti itu yang As yang perkenalkan ke saya. Habis nonton film kami berdiskusi. Dari hal itu saya mendapatkan banyak hal.
Itu yang saya maksudkan dengan As itu adalah orang yang berbeda. Berbeda dengan kebanyakan orang Batak. Saya dibiarkan berkembang liar untuk berpikir. Jadi tidak dibatasi dalam ruangan.
Saya termasuk yang tidak terlalu strik pada pakem-pakem.
Walaupun saya dibesarkan dengan nilai-nilai itu, pada akhirnya dalam banyak hal yang saya tidak setuju. Waktu dia mulai suka datang ke rumah—biasalah—orang Batak: ini siapa, ini siapa. As bukan tipe orang yang suka mengambil hati supaya dilihat baik. Rambutnya gondrong dan acak-acakan, dia bersepatu sandal. Bajunya dulu, ya model begitu saja. Paling pakai sweater. Ciri khas dia: suka pakai selendang; maksud saya syal-syal yang dari NTT itu. Bersyal karena naik motor. Sampai sekarang masih terus pakai sepatu sandal dia.
Jadi awalnya keluarga saya heran: ini siapa yang datang dengan tampilan seperti itu, mau apa dia. Sekelebat penampilan dia terlihat kurang pantas. Kalau datang ke rumah tidak pernah rapi.
Dulu ada yang menaksir saya. Dia bisa mengambil hati keluarga dengan main catur bersama anggota keuarga. Kalau As sama sekali tak bisa diharapkan. Kalau diajak mengobrol, dia malah bercerita balik. Tidak ada kamusnya pada As untuk mengambil hati. Dia tidak pernah berusaha untuk itu. Dia akhirnya diterima mungkin lebih karena saya yang bersikeras bahwa itu pilihan saya. Lebih karena saya yang bersikeras. Dia tidak berusaha mengambil hati. Sopan sih sopan, baik. Saya lebih suka orang seperti itu. Dia belajar acting tapi tidak untuk tujuan itu. Saya begini, supaya bagus dilihat orang: dia tidak seperti itu. Itu yang saya lihat: dia berbeda.
Sebetulnya, pada awal-awal banyak juga yang mendekati saya. Tapi saya lihat mereka kok kolot-kolot ya… aduh tidak jadi deh. Misalnya, ada yang datang seperti melihat barang saja. Itu barang bagus atau tidak. Saya juga paling tidak suka kalau mau dijodohkan. Misalnya, orang itu datang sudah bawa saudara-saudara perempuannya untuk melihat orang yang ditaksir seperti apa. Saya merasa risih betul. Kok saya seperti dijadikan objek; mereka seperti melihat barang. Ini barang bagus apa tidak.
Ada lagi orang dari Papua. Dia bilang sedang cari jodoh karena targetnya tahun sekian harus menikah. Kalau sudah mulai dengan perbincangan itu saya sudah tidak bersimpati. Saya tidak tahu apa sikap saya salah atau tidak. Dari dulu saya tidak suka hal seperti itu. Itu yang saya katakan: As itu berbeda.
Menikah
Pada 1974 kami akhirnya menikah. Dia sudah bekerja di majalah Kawanku. Saya bekerja sebagai sekretaris eksekutif di Krakatau Steel. Memang gaji saya lebih besar, tapi saya tidak pernah berpikir bahwa gaji saya jauh lebih besar dari gaji As. Yang penting, kami kawin tidak membebani orangtua atau siapa pun secara finansial.
Kami pun mulai mencicil beli barang; uangnya sharing sedari awal. Bahwa apa yang kami miliki sangat sederhana atau bahkan tidak ada bukan problem bagi kami. Saya tidak pernah menuntut atau meminta ini meminta itu. Kami mengontrak rumah untuk tempat tinggal. Saya waktu itu sama sekali tak memiliki beban meski tidak punya rumah.
Saya suka bilang sama As: sebetulnya kau yang mestinya lebih eager agar penghasilanmu lebih besar. Tapi saya tidak begitu. Tapi pernah As bilang: kalau kau dulu orangnya seperti itu mungkin aku tidak sama kau.
Keluarga tidak mempersoalkan kami. Terlebih keluarga Nababan; mereka jauh lebih moderat. Dulu ada kekuatiran pada kakak-kakak dan orang tua saya. Panggilan saya dulu Butet. Kata mereka, Butet, kalau dapat keluarga yang kolot bagaimana ya. Saya kan orangnya cuek sekali. Saya bahkan tidak tahu cara berpakaian; sesuka hati saya saja. Memang saya terlihat lebih pembangkang dibanding kakak-kakak saya. Namun bukan pembangkang sebetulnya, lebih pada suka mempertanyakan banyak hal. Misalnya, kalau abang saya bawa teman perempuannya ke rumah, keluarga saya welcome. Beda perlakuan pada saya. Lalu saya bertanya kenapa kakak boleh, tapi kalau saya tidak boleh bawa teman laki-laki. Pada jaman itu pertanyaan seperti ini kan sulit untuk dijawab.
Saya mendapatkan kebebasan berpikir justru ketika mulai berteman dengan Asmara. Dia menggiring tapi tidak dengan pemak saan. Saya pernah berbuat salah misalnya. Itu tak dia utak-atik lagi sekarang, tahun depan, atau lima tahun lagi. Tidak pernah. Tidak pernah dia mengatakan dulu kan kamu begini, dulu begitu. Tidak pernah. Sesalah apa pun saya, ya salah, itu saja yang dilokasir. Dan tidak pernah berkata kamu begini-begini. Makanya saya katakan, kepergian dia ini berat sekali buat saya. Saya katakan, saya kuat
apa ya. Karena dia bisa perankan semua. Bisa sebagai teman saya, pacar saya, bapak saya… dan memerankannya tidak kaku.
Di rumah As itu mau bekerja. Dulu saya tidak ada pembantu, padahal sudah ada anak. Jadi jika saya mengasuh anak-anak; mengganti popok dan sebagainya, dia mau membantu saya. Ba yangkan: dulu saya tidak bisa bikin susu. Waktu bikin susu botol harus campur ini-itu. Saya tidak tahu bagaimana cara membuat susu yang dicampur air dingin. Justru tahu dari As. Dia mengajarkan hal itu pada saya.
Saya juga bukan orang yang bisa memasak. Lebih pintar dia dalam hal memasak. Lebih enak masakan dia dari saya. Tapi saya juga tidak memanfaatkan keadaan. Saya diajari cara bikin susu, bukan dituntut melakukan. Itu malah mem-push diri saya untuk belajar dan harus bisa. Memasak juga kalau tidak enak, tidak pernah dibilang itu tidak enak. Paling nanti waktu membahas dia bilang, ya good luck deh, tapi terus terang kurang ini, kurang itu. Kalau saya memasak tergantung moodnya. Kalau enak dia bilang enak. Tapi pernah juga dimana dia memasak sama kok rasanya lain.
Jadi ya begitulah: saya merasa tidak ada ikatan di antara kami yang bersifat adat sekali. Itu yang saya dapatkan. Orang Batak kan umumnya sering diikat oleh adat, tapi saya memanggil dia Asmara atau As, dan dia eanggil saya Magda atau Butet. Dia orang yang tidak suka ke pesta adat. Katanya, ini kok lama sekali. Seharian penuh. Tapi kalau anak abang-abangnya kawin, dia selalu ikuti. Tapi keluarga dia sih tidak terlalu menuntut Asmara harus ini atau harus itu. Di keluarga dia, kalau yang satu iramanya lain, ya sudah, di-backing aja. Tak pernah masalah. Ya kalau gayanya Asmara begitu ya sudah. Itu dianggap gayanya dia.
Tapi justru dari pihak keluarga saya yang bilang mesti begini-begitu. Kalau saya ke pesta adat sebetulnya hanya dalam mengimbangi As saja. Itu juga tidak semua pesta adat saya datangi. Keluarga yang dekat-dekat saja yang saya datangi. Tapi kalau pesta kawin di gereja, dia semangat datang. Jadi misalnya saudara saya kawin, dia mau datang pas di gerejanya. Yang penting gerejanya, itu. Kebetulan waktu itu dia memang sibuk. Jadi saya ada alasan. Keluarga besar biasanya bertanya, mana si Nababan. Saya suka joke, Nababan yang mana, Nababan kan jutaan. Ya suamimu. Suamiku, namanya Asmara. Nah, biasanya orang bertanya segera mengeluarkan pernyataan, “susah nih si Butet ini kalau diajak ngomong.” Jadi saya bawa joke saja. Mereka bilang, jangan cari duit terus. Suamiku cari duit apa? Terus saya bilang, ingat deh waktu kasih nasihat perkawinan. “Kalian sudah satu. Dua jadi satu. Jadi kalau lihat aku, aku ini dua.” Saya begitukan saja. Tetapi saya sambil ketawa-tawa. “Kan kalian yang bilang dua jadi satu”. Ya, anggap aku ini sekarang dengan suamiku.
Teater
Saya isteri yang tidak pernah dibawa kalau ada acara. Kalau pun dibawa, pasti ada relevansinya. Kalau di Yakoma lebih pada teaternya. Meski awal keterlibatan sebetulnya secara tidak sengaja. Jadi saya ikut karena kadang harus mengantar dia. Kami kan tidak punya sopir, sedangkan mobil cuma punya satu, ya VW kodok itu.
Pada awal 1976 saya berhenti kerja. Saya yang memutuskan untuk berhenti. Mungkin kalau As yang bilang kamu harus berhenti kerja, saya malah tidak akan berhenti. Tapi itu keputusan dari saya. Dia bilang kalau keputusanmu, ya oke. Saya memang ingin mengasuh anak-anak sendiri.
Waktu itu kadang saya yang menyetir dan menjemput dia. Satu kali Yakoma mau bikin acara malam tahun baru, dan ada acara casting. Saya disuruh sutradara, Teguh Karya, untuk ikut membaca naskah. Sebetulnya waktu itu banyak yang sudah sering main drama di Yakoma. Termasuk Meri Sihombing. Ternyata saya dipilih oleh Teguh Karya.
Waktu itu Asmara juga ragu karena saya kan tidak pernah terlibat teater. “Pikirkan lagi, lho,” katanya. Ini tidak main-main. Atau kau lain kali saja, next time saja. Jangan kali ini. Karena dia bilang begitu, saya malah tertantang. Ya, aku coba saja. Kalau nanti hasilnya jelek, ya hapus saja. Tapi akhirnya dia lihat saya, dan dia setuju. Kebetulan dalam casting dia menjadi mertua saya. Saya suka juga. Lakonnya berjudul Dua Abang Adik dan ditayangkan TVRI ke seluruh Indonesia pada malam tahun baru pukul 24.00 pada pergantian tahun 1979.
Saya tidak terlalu terlibat di Sanggar Bahtera Yakoma. Saya sengaja mengalokasikan waktu untuk anak-anak kami yang masih kecil. Kalau mau latihan sore, saya bereskan dulu pekerjaan di rumah. Karena kami juga punya komitmen, yaitu kalau ada acara ke luar kota tidak dua-duanya pergi. Harus ada di antara saya atau As yang tinggal untuk menjaga anak-anak. Dalam hal ini dia sama sekali tidak patriarkis.
Setelah Dua Abang Adik, saya sering diminta lagi. Habis Dua Abang Adik ada garapan Pitrajaya Burnama, ada Ayub karya Julius (Julius R. Siyaranamual). Terus saya ke Ambon ikut pementasan di Sidang Raya PGI. Kemudian saya juga ikut melatih pemuda berteater. Mereka saya bawa ke Sidang Raya Surabaya. Saya juga jadi melatih buruh. Ceritanya pada 1983 kan kami ke Siborong-borong dan tinggal di sana. Lalu pada 1984, saya ke Jakarta sebentar membawa ibu mertua. Kebetulan waktu itu rombongan Yakoma sudah mau berangkat ke Ambon. Jadi saya ikut ke Ambon untuk main Ayub. Kemudian saya melatih pemuda dan membawa mereka ke Sidang Raya Surabaya. Sesudah itu saya main juga untuk Pertamina di Cirebon dengan membawa anak-anak muda. Lalu saya melatih pemuda dan anak pada sekolah minggu.
Tapi itu semacam selingan saja, karena saya sudah putuskan menjadi ibu rumahtangga. Saya merasa bukan artis tetapi sekadar mengekspresikan diri di mana kebetulan saya dapat tempat di situ. Hal itu sangat mencerahkan buat diri saya. Saya senang karena saya merasa lebih berkembang. Saya diberi kebebasan untuk memilih. Saya merasa bersekolah lagi. Saya bisa begini-begitu, justru sesudah kawin.
Siborong-borong
As pernah bilang ingin balik kampung. “Ngapain?” tanya saya. “Nggak-lah”. Niat itu lebih ditekankan lagi ketika bapak mertua saya meninggal pada tahun 1983. Terus As bilang, kan dulu aku pernah janji mau kasih sepatu emas buat ibu. Ibu mertua, ketika bapak mertua masih hidup, memang sudah sakit-sakitan. Malah kami tidak menyangka bapak mertua yang lebih dulu meninggal, padahal beliau sehat sekali. Bapak mertua meninggal sewaktu tidur mungkin karena serangan jantung. Kalau ibu mertua saya, bolak-balik sakit. Beliau juga punya diebetes. Artinya kalau sakit, datang ke Jakarta untuk opname. Tapi sesudah bapak mertua meninggal, As malah ingin pulang.
Terus dia juga pernah berkata ke saya. “Dulu ibu pernah bilang kau satu waktu kembali ke Sumatera”.
As kembali ke Sumatera bukan untuk tinggal menetap, tetapi mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan di sana. Jadi waktu bapak mertua meninggal, dia ungkapkan lagi niatnya itu. Tapi orangnya waktu itu bagaimana ya….
Saya katakan, “kalau mau pulang, ayo aja. Tapi anak-anak bagaimana?”
“Ya, sekolah di sana,” kata As.
Yang paling besar masih kelas 4 SD. Yang ke dua naik kelas dua, yang kecil malah belum sekolah waktu itu. Anak kami baru tiga perempuan waktu itu. Justru keluarga saya yang bertanya, “lho, kok pulang?”
Memang tidak terpikir saat itu. Kenapa begitu. Keluarga saya yang lebih kuatir: lha pulang kampung bagaimana, bahasa Batak juga tidak begitu lancar. Terus juga tidak terlalu mengerti adat. Cuma bagaimana lagi, waktu itu saya tidak banyak berpikir sebetulnya. Kalau mau pulang, ya, ayo saja.
Memang, saya waktu itu juga berpikir tentang rumah yang saat itu kami tinggali. Ini kan rumah di kampung, di Cipulir. Siapa yang mau mengontrak. Rumah ini dibangun pada 1976, saat anak saya yang ke dua itu lahir. Sebetulnya saya tidak tahu waktu itu, easy going saja. Sekarang kalau dipikir, kok mau gitu ya….
Akhirnya kami pulang. Barang-barang saya titipkan ke Donald Hutabarat (staf Yakoma), ada juga yang dititip ke pegawai As di majalah Kawanku. Semuanya terpisah-pisah. Akhirnya saya pusing juga karena masih tinggal satu lemari. Saya tidak tahu lagi mau dikemanakan. Akhirnya saya bilang kepada yang mengontrak rumah kami: tidak apa-apa ya, titip lemari. Ini saya kunci saja. Satu lemari karena tidak tahu lagi harus saya bawa ke mana. Pokoknya barang itu terpencar-pencar. Saya punya catatan barang ini di rumah Donald, ini di rumah siapa. Harus disebar, karena tidak tahu bagaimana.
Di Siborong-borong saya betah saja. Apakah memang saya suka, tidak tahu juga. Waktu itu saya juga tidak terlalu memikirkannya. Mungkin itu yang dibilang bahwa saat itu saya naif.
Tinggal bersama ibu mertua saya juga exciting. Ada dunia baru. Sebelumnya saya sudah pernah ke sana. Ayah mertua saya orangnya friendly. Gaya Belanda tetapi friendly sekali. Anak-anaknya ada dua karakter. Jadi tipe bapak mertua, sama tipe ibu. Kalau Asmara dan Soritua lebih ke ibu. Kalau Panda lebih ke bapak.
Ibu mertua saya lebih pendiam. Tapi yang saya lihat dia moderat. Moderat dalam arti, dia kan orang dulu tapi tidak menuntut kami harus pakai kebaya, harus modis. Itu tidak pernah. Yang ditakutkan keluarga saya, kalau saya kelak dapat keluarga yang konservatif. Bagaimana si Butet kalau dapat keluarga yang kolot? Dia bisa diceraikan karena tidak mau pakai pakaian adat. Ibu mertua saya tidak kolot cara berpikirnya. Ia lebih banyak diam.
Selama dua tahun di sana saya dan As konsentrasi mengurus mertua. Waktu kami datang sudah ada yang mengurus. Maka ada transisi. Waktu itu ibu masih bisa berjalan walau pun harus dipapah. Tapi lama kelamaan, kesehatannya menurun dan hanya di tempat tidur. Jadi kami lah yang harus mengurus.
Ketika kami baru datang, ibu mertua sedang menulis buku tentang Nommensen. Dia mendikte dan saya yang menyalin. Saya ingat kami waktu itu kebetulan membawa mesin tik dari Jakarta. Saya masih sempat mengetik apa yang dia sampaikan. Tapi lama-lama kesehatannya menurun dan tidak bisa lagi. Akhirnya harus terapi juga di Balige.
Saya lama-lama berani juga menyetir dari Siborong-borong ke Balige. Bahkan kalau lagi tidak ada orang, ya kami cuma berdua di mobil. Nanti, sesampai Balige, kalau tidak ada suster untuk menolong, ya saya juga yang mengangkat beliau. Kalau dipikir sekarang, berani betul saya ya. Artinya di jalan, jalan yang seperti begitu. Tapi mungkin waktu itu karena usia masih muda ya. Jadi saya masih ayo saja. Memang saat itu saya lebih berkonsentrasi mengurus ibu mertua. Kemudian anak-anak harus sekolah. Mereka masuk SD negeri di sana.
Waktu itu saya sempat shock juga karena banyak orang yang tidak bersepatu. Anak-anak sama sekali tidak bisa berbahasa Batak. Saya kalau berbicara sama Asmara juga memakai bahasa Indonesia. Nah, kadang-kadang dia praktek menggunakan bahasa Batak, sekalian belajar. Saya mencoba menjawab menggunakan bahasa Batak.
As sendiri kemudian terlibat di Kelompok Studi dan Pengem bangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Saya tidak begitu mengerti prosesnya bagaimana kemudian dia dan kawan-kawannya bikin KSPPM. Ya, tiba-tiba orang datang. Lalu dia bilang harus ketemu bupati. Saya jadi sering ditinggal juga.
Kadang saya mengeluh juga. “As aku bukan malaikat lah, aku takut juga kalau ibumu memarahi aku.”
Tetapi As mencoba menetralisir. “Ibu mertua yang sakit tentu punya pikiran yang berbeda dengan orang sehat,” kata As.
Penghasilan kami selama di sana praktis dari majalah Kawanku saja. Kawanku masih mengirimkan uang ke As. Saya memang tidak tahu banyak. Ada isu Asmara pulang ke Siborong-borong mau bikin disertasi. Disertasi apa, saya juga bingung. Ada lagi komentar, As mempersiapkan abangnya jadi ephorus (pimpinan tertinggi gereja HKBP). Rupanya banyak juga politik yang berkelebat di sekitar kami.
Waktu itu, keadaan mertua up-and-down. Kalau ditanya mengapa dua tahun kami di sana, terus terang kami tidak tahu jawabannya. Tapi planning Asmara memang dua tahun. Tuhan memberi jalan: ada orang mau mengontrak rumah dan ini orang yang kami kenal pula. Dikontrak dua tahun. Jadi pas-lah. Walaupun waktu kami balik, itu kayak pengantin baru lagi: harus mengumpulkan semua barang bahkan sampai kompor pun tidak ada.
As enjoy. Juga saya yang melihatnya mengurusi KSPPM itu. Saya sendiri tidak punya pengalaman membangun organisasi. Cuma saya jadi tahu: banyak rapat digelar. Dari situ saya belajar melihat persoalan orang. Kalau mereka datang, saya harus bikin minum. Sementara mertua saya sakit. Kadang-kadang di rumah sakit pun saya temui ada orang yang mau datang ke rumah. Kadang muncul kasus yang As harus urus. Waktu itu saya belum terjun di pergerakan, hanya sebagai ibu rumahtangga. Tapi selama di situ, secara langsung ataupun tidak, saya jadi terlibat juga. Kadang-kadang saya harus menerima orang kalau mereka datang ke rumah.
Enam bulan pertama, banyak juga mengalami cultural shock. Kadang-kadang saya menangis. Kenapa menangis? Karena kadang datang tetangga lalu mulai membanding-bandingkan kami dengan bapak mertua. Atau tiba-tiba saya lihat ada orang masuk, tidak mengucapkan selamat pagi, atau selamat apa pun. Padahal saya lagi menyapu. Terus ada orang pinjam uang dan tidak balik-balik, bahkan ketika ditagih ia lebih galak. Aduh, ini bagaimana ya. Terus, kadang-kadang bapak-bapak menganggap saya tidak pintar, ada kecenderungan mereka membodoh-bodohkan saya. Bahkan anak-anak kecil pun saya lihat ada upaya untuk membodoh-bodohkan saya. Tapi it’s ok. Lama-lama hal ini jadi pengalaman yang tak bisa dibeli.
Saya menjadi lebih banyak berkenalan dengan berbagai karakter yang berbeda. Itu saya tulis dalam buku harian saya. Masih ada buku harian tersebut. Waktu itu saya tulis tangan, belum ada komputer. Semuanya tulisan tangan. Jadi ada dua buku saya selama periode 1983-1985. Berapa bulan sebelum As meninggal, entah kenapa saya membacakan diary tersebut karena ada yang lucu-lucu. Bak ibu mendongeng pada anak, dia ada sewaktu saya membaca. Dia mengetahui bahwa saya menulis diari itu.
Dua tahun kami di Siborong-borong. Asmara memang beren cana dua tahun. Saya tidak tahu kenapa dua tahun. Asmara cuma bilang ingin menemani ibu. Nah, kebetulan juga kemudian ada yang menggantikan kami.
Kembali ke Jakarta
Kami kembali ke Jakarta pas tahun ajaran baru. Jadi tepat sehabis kenaikan sekolah. Kami pulang pada Juli 1986. Abang Leo yang meninggal kemarin, hanya beberapa hari setelah As, bersama keluarga pulang dari Jakarta untuk menemani ibu mertua saya.
Sekembali dari Siborong-borong As tidak ke Yakoma lagi. Masa kerjanya di sana memang sudah berakhir. Dia lebih banyak mengurusi majalah Kawanku.
Waktu itu memang masa sulit juga. Kawanku juga sudah memiliki banyak saingan. Generasi sudah berganti, sehingga oplah turun. Kemudian dia mencoba membuat majalah yang lebih berfokus untuk anak sekolah minggu. Saya ingat itu nama adalah majalah Pelangi. Dengan Julius R. Siyaranamual dan Ronny Hara hap mereka buat majalah tersebut. Oplah Kawanku terus turun sehingga saham Kawanku kemudian dijual ke kelompok Gramedia. Kemudian Julius menjual sahamnya, Ronny kayaknya menjual juga. Tinggal As yang tidak menjual.
Waktu itu saya juga termasuk orang yang mengusulkan supaya saham As dijual saja. Kan nantinya bisa dibelikan sesuatu . “Oh, jangan,” katanya. Dia tetap bersikeras. Jangan potong ayamnya. Karena kalau mati, dia tidak akan bertelor lagi. Itu saja yang saya bisa ingat. Benar juga. Sampai sekarang Kawanku masih mengirim uangnya. Tak seberapa memang. Saya tak tahu hal ini setelah Asmara meninggal. Saya belum dikontak lagi.
Setelah tak mengurus Kawanku, ia aktif di Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK). Di JKLPK dia termasuk pendiri juga rupanya.
Jadi sebetulnya banyak juga kegiatan dia yang saya tak tahu. Seperti dia jadi pengurus di KontraS, saya baru tahu kemudian. Suatu waktu saya bilang ke Eliakim Sitorus bahwa saya mau cari kegiatan. Seorang teman, Ara Tampubolon, bilang ini JKLPK lagi buka. Lamar aja.
“Oke, aku mau melamar,” saya bilang begitu.
Saya sudah bikin surat lamaran. Sewaktu Ara bilang, yakin deh kak diterima, orang Bang As kok ketuanya.
“Hah! Nggak jadi deh.” Saya malah tarik diri.
Kenapa? Ya, tidak lah. Kalau As tidak di situ mungkin saya lanjutkan.
Lalu, waktu As sakit orang KontraS datang. Saya tidak tahu persis mengapa mereka besuk. “Bagaimana sih Kak Magda? As kan ketua pengurus,” kata seorang dari mereka.
Jadi ada hal-hal yang saya tidak tahu. Dia tidak pernah cerita. Buat dia mungkin tidak penting juga untuk mengatakan pada saya
kenangan istri tercinta dan para sahabat
143
bahwa dirinya mendirikan ini atau itu. Yang HRRCA itu, saya hanya tahu dia di sana jadi sekretaris. Saya tidak tahu kalau dia ikut mendirikan juga. Dia tidak pernah bercerita. Saya baru tahu saat dia telah meninggal, saya tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Pada waktu As aktif di Komnas HAM, saya masih bekerja di Salemba. Saya ke kantor Komnas HAM sebatas menjemput dia. Kadang dia bilang, ini bukan kantormu. Lalu saya menunggu saja di bawah. Waktu saya ke Demos, As juga mengatakan, “Ini bukan kantormu.” Itu yang banyak orang tidak tahu. Banyak yang bilang, ”ah, Kak Magda gampang lah cari funding, sebab ada Asmara.”
“Saya tidak bisa bilang, As, bagaimana dong… rekomendasikan ini.” Saya tahu persis karakter As.
Saya kan di Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan. Awalnya pun belum ada gambaran akan memulai dari mana. Saya sendiri jadi banyak belajar. Saya mencoba mendengarkan pendapat yang lain. Saya datangi organisasi lain. Saya banyak mendengarkan. Belajar juga dari orang-orang yang sudah lebih lama bergelut di bidang itu. Lama-lama saya suka dengan pekerjaan itu. Saya punya kebebasan berpikir. Ya, Asmara kan orangnya selalu mendukung.
“Kamu mau itu, ya silahkan aja,” ucap As. Itu aja. Tapi untuk yang cari funding sebetulnya saya berjuang sendiri dengan teman-teman. Artinya tidak mengandalkan Asmara.
Dia akan marah kalau saya minta tolong untuk menghubungkan ke funding. Dia mau saya berusaha sendiri. Paling konsultasi, kalau begini bagaimana. Jadi saya lebih dilepas. Prinsipnya adalah saya harus mencoba, berjuang. Jadi saya dan teman-teman, ya betul-betul cari funding sendiri. Jadi salah kalau orang bilang kan ada Asmara. Dalam hal ini As memisahkan antara urusan organisasi dan urusan pribadi, apalagi rumahtangga.
Terhadap anak-anak, As juga begitu. Saat Avi dulu bergabung masuk ke Elsam. Dia malah tidak tahu bahwa bapaknya adalah salah satu pendiri Elsam. Setelah dia masuk, katanya kok bapak tidak kasih tahu. Dia marah-marah. Asmara bilang, ya kau kan usaha sendiri. Tapi itulah yang terjadi.
Ketika saya masuk sebagai komisioner di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dia mengritik dan memberi masukan pada saya. “Kamu harus lebih sistematis kalau bicara, tidak mengulang-ngulang, artikulasi yang jelas.” Dia lebih ke situ. Lebih mengarahkan, tetapi tidak intervensi. Saya harus bisa berdiri sendiri. Jadi kalau ada orang yang saya kenal dan kebetulan dia itu teman Asmara, bukan karena Asmara saya mengenal orang itu. Saya lebih memikirkan kapasitas sendiri. Bahwa itu masih kurang, saya harus belajar. Itu yang saya dapat dari As.
Saya tidak pernah juga minta ini atau itu. Saya tahu karakter As dari dulu. Dulu, waktu dia kerja dia tidak punya buku tabungan. Jadi, apa yang dia dapat dia kasih ke saya dan itu saya kelola. Saya tahu dia itu orang, ibaratnya, ya sudah kalau tidak punya uang ya mau apa lagi. Dan saya tahu kelemahan dia itu. Jadi saya harus belajar memanage sedapat mungkin. Kalau ada kelebihan uang, saya akan coba melakukan saving. Kalau mengharapkan As, bagaimana lagi kan dia sudah percayakan semuanya ke saya.
Kalau dulu itu semua uang dikasih ke saya, apa saja yang dia dapat. Selesai dari Komnas HAM, dia bilang, hebat juga ya kayak kamu, punya buku tabungan. Nah, sesudah itu baru dia bilang bahwa dia ingin juga punya buku tabungan. Sebelumnya memang dia tidak pernah punya buku tabungan, dan itu baru terjadi tahun 2005.
Saat As mulai punya buku tabungan, saya tidak pernah ikut campur. Demikian juga dia. Biar pun buku diari saya menggeletak di situ, dia tidak akan membacanya. Jadi surat-surat buat anak-anak, surat untuk saya, tidak akan pernah dibukanya. Demikian pula sebaliknya, dompet As tergeletak, saya tidak akan menyentuhnya.
SMS yang ada di HP-nya saya juga tak pernah membacanya. Saya juga tidak memiliki keinginan untuk memeriksa SMS dia. Karena sejak awal sudah kami membangun kepercayaan. Dia menghargai bahwa saya mempunyai privasi. Itu yang saya lihat: jarang sekali ada pasangan seperti itu. Walaupun hubungan suami-isteri, kami sangat menjaga privasi masing-masing. Kalau kamu tidak mau bilang, ya sudah tidak dipersoalkan.
Ke anak-anak sikapnya sama saja. Malah orang sering melihat kami terlalu liberal. Anak-anak lebih diajak untuk berpikir. Ketika
misalnya, anak-anak memutuskan mengambil jurusan ini, kami coba sampaikan pendapat. Tapi kalau anak-anak tetap pada keputusannya, ya silakan. As Cuma berupaya mencarikan uang se kolahnya. Kami tidak pernah memaksakan anak-anak untuk ambil jurusan apa. Kalau As sikapnya sih, it’s oke sepanjang kau tahu pilihanmu itu. Tidak pernah ada tekanan. Tapi kami katakan: kami sanggup membiayai pendidikanmu, dengan berjuang mati-matian, agar kalian bisa lulus S-1.
Inilah misalnya: anak saya nomor tiga sempat mau di drop-out (DO) dari Atmajaya. Saya sebagai ibu lebih worried. Padahal sudah mau skripsi. Kalau As malah bersikap enteng saja. Dia cuma bilang, tidak apa-apa, dia pindah saja, cari sekolah baru. As rasanya tidak ada stressnya. As beranggapan, itu kan juga pelajaran. Asmara melihat itu bagian dari perjuangan. Saya mungkin yang lebih kuatir: aduh tinggal skripsi, kok DO, bagaimana ya. Buat Asmara tidak pernah ada kata ‘jangan’. Cara dia bicara dengan anak saya ketika pacaran sama orang, misalnya, juga dengan cara yang sama. Anak-anak bisa bercerita tentang pacarnya ke As, seperti ke temannya.
Kalaupun kurang berkenan, caranya bukan dengan kata jangan. Tapi misalnya dengan mengatakan, kalau menurut saya, kan masih bisa dapat yang lebih baik. Lain kan? Saya kasih contoh lagi. Anak saya kan punya anjing. Saya juga memelihara burung dan bertambah dari telor yang menetas. Suatu saat burung itu mati akibat dimangsa anjing anak saya.
“Bagaimana ya, Pak?” kata anak saya salah tingkah. “Bagaimana ya, misalnya bapak memelihara buaya di belakang, lalu anjingmu mendekat dan disambar buaya itu, bagaimana perasaanmu?”
As tidak marah. Saya banyak belajar dari dia. Makanya saya katakan, he is my idol, in my life. Dia idola saya. Saya dapat banyak hal dari dia. Saya merasa tidak dipressure. Saya bersyukur pada Tuhan. Makanya saya suka bilang aduh, kalau saya dapat suami yang kolot, saya sudah duluan mati.
Saya selalu bilang As nggak pernah buka-buka kesalahan saya. Tidak pernah mengingat-ingat kesalahan saya. Tidak pernah. Itu yang kadang saya pikir, kok bisa ya. Bukan memuji Asmara, tapi itulah yang saya dapat.
Ketika Kawanku drop oplahnya secara finansial hidup kami ngos-ngosan juga. Tetapi itulah yang saya dapat: dia tidak pulang ke rumah dengan membawa stress. Tidak membawa hal itu menjadi suatu kesusahan. Jadi dia selalu bilang, dan itu yang selalu saya quote: cukuplah kuatir hari ini saja. Besok punya kuatir sendiri. Kadang-kadang dia pakai Bahasa Batak. Anak-anak jaman sekarang kan beda. Kadang-kadang dia bicara sama anak saya, kau baca Injil Matius itu: burung-burung di langit saja dipelihara oleh Tuhan.
Lalu anak-anak bercanda, “kan kita bukan burung, Pa.” Asmara bukan orang yang rajin ke gereja. Tapi saya salut, dia lebih devoted (saleh) dari saya. Dari kata-katanya itu, dia jauh lebih devoted dari orang yang rajin ke gereja. Jadi saya sangat setuju ketika jenazahnya disemayamkan di geraja. Dia tidak ikut punguan (perkumpulan, seperti persekutuan atau arisan) tapi tetap mengerjakan pekerjaan gereja. Dia orang yang tekun berdoa. Itu sejak dulu. Tapi dia bukan tipe yang suka bicara bahwa firman Tuhan mengatakan ini-itu dan sebagainya. Itu tidak pernah ke luar dari mulutnya.
As tidak rajin ke gereja. Kecuali tugas ke luar kota/negeri Sabtu-Minggu seluruh waktu dihabiskannya untuk keluarga. Ia selalu mengusahakan hal itu. Kadang-kadang kami jalan ke luar, kalau di rumah biasa saja, kami mengobrol. Kami nonton TV berdua. Karena kami sudah tinggal berdua saja di rumah. Anak-anak semua sudah keluar. Saya sama dia masih suka dansa di rumah. Kami memutar lagu. Saya kan bisa berdansa. Kalau saya pas berdansa, dia memfoto saya. Malah suka kasih asukan, “Kalau dansa itu, yang lepas aja”. Kalau ada acara dengan teman-teman, lihat ada dansa, saya sama dia yang turun duluan. Makanya di rumah, walaupun hanya berdua, ya bisa ramai juga. Nanti dia putar lagu. Katanya, ini lagu kesayanganmu. Dia tahu tuh lagu-lagu kesayangan saya.
Jadi bersama dia, saya jarang merasakan kehidupan ini sebagai sesuatu yang berat. Ia tidak pernah melarang jangan ini, jangan itu. Saya pun tidak melarang-larang dia. Kalau rokok saya bilang, As hadiahmu buat aku: berhenti merokok. Nah, memang dia berubah. Pada 2004 itu dia sakit. Dia jatuh di kamar mandi. Sejak itu dia tidak merokok. Dia langsung berhenti total. Tapi itu dari dirinya ya, saya hanya mengingatkan.
Nah, misalnya kebetulan saya ada konflik dengan dia, As akan bilang: “Kan aku sudah kasih hadiah paling besar. Ini sudah berhenti merokok, kau masih mau marah lagi?”
Saya diam saja, tapi dalam hati saya tertawa-tawa.
Jadi kami di rumah itu bisa tertawa ngakak-ngakak berdua. Kadang dia jemput saya ke kantor. Padahal saya ada mobil dari kantor. Jangan harap kalau dia mau naik mobil kantor. “Kau tidak kenal aku ya, berapa lama kau kawin sama aku. Kau harus bisa membedakan barang publik dan barang pribadi. Makanya rusak negeri ini, banyak yang tak bisa membedakan barang publik dan barang pribadi. Apalagi kalau sudah punya kekuasaan, dari situ mulai terjadi penyalahgunaan kekuasaan.”
Sederhana
As itu orang sederhana. Selama berumahtangga dengan saya, As itu kalau tidak dibelikan celana ya tidak beli celana. Hanya kalau saya lihat sudah celana panjangnya sudah tidak benar saya ke tukang jahit. Saya bawa celana panjang yang lama, saya membeli bahan lalu ke tukang jahit. Kalau saya ajak dia, pasti tidak mau. Ya, dia kalau tidak dibelikan ya menerima saja.
Dalam soal makanan dia juga sederhana. As suka ikan teri yang biasanya digoreng lalu disimpan di botol. Kalau menggoreng ikan asin atau ikan kepala batu, saya harus menggoreng hingga kering. Terus saya taruh botol, nanti diambil sedikit-sedikit. Saat makan kami ambil, sedikit. Saya belajar dari dia: katanya dimasukkan ke botol biar tidak bau. Dia suka sangsang (makanan khas Batak). Tapi tidak yang demanding, atau harus ada. Yang penting buat dia makanan itu segar saat dimakan. Entah tahu goreng, tempe, dan sayur harus baru dimasak. Kalau saya agak berbeda. Saya orangnya tidak terlalu sulit makan. Cuma saya, karena mungkin besar di sini, doyan makan gudeg juga. Terus dia bilang, apa sih yang kau makan, sampah-sampah. Kau tidak mahal juga untuk dipelihara. Karena saya orangnya juga tidak banyak menuntut.
Saya suka bercanda begini: As, kau belum pernah deh membelikan aku emas. Beli emas atau berlian kek. Eh, jawabnya? “Kalau modelmu seperti itu dulu tidak jadi aku kawin sama kau.
Tidak pernah, kalau kau yang seperti itu.
As itu bisa berbahasa Batak. Tapi di rumah dia lebih memilih berbahasa Indonesia. Kadang-kadang dia suka paksa saya memakai bahasa Batak. Saya harus belajar, sampai tua harus belajar. Dia suka menghibur saya: kamu harus belajar. Kan karena saya penatua HKBP di Hang Lekiu.
Dimana saya dari kecil di situ. Saya kan belum berani membawa kan liturgi dalam bahasa Batak. Saya masih tetap belajar, bukan apa-apa, saya tak mau membawa orang lain ke dalam percobaan, tapi membawa ke kebaikan.
Berpikir Positif
As itu sangat asyik sebagai teman berdiskusi. Tapi kalau dianggap pembicaraan tidak ada mutunya dia tidak akan meneruskan. Dia lebih suka kalau diskusi itu ada manfaatnya. Pembicaran selalu diarahkan ke soal bagaimana ke depannya. Dan dia tidak pernah melibatkan saya ke pembicaraan soal pekerjaannya. Dia sangat memisahkan antara urusan pribadi dengan pekerjaan. Barangkali itu yang sering orang tidak tahu. Banyak orang mengira saya tahu persoalan, padahal tidak semua hal saya ketahui apalagi urusan kantor.
Saat berat-beratnya di Komnas HAM—kan banyak sekali masalah saat itu—dia cuma bilang, “aku lagi berat, tolong doakan ya.” Itu saja kalimatnya. Dia tidak pernah menceritakan ini-itu ke saya. Ia juga tak suka bergosip. Dia akan langsung cut. “Kamu tidak usah ikut-ikut,” katanya.
As itu suka bercanda. Kalau bercanda lepas sekali. Dia tahu betul, kalau dia bergaya Batak buat saya itu lucu sekali. Dia tahu betul itu. Biasanya saya akan tertawa terpingkal-pingkal. Dia sebenarnya suka banget melucu, bisa seperti teman, kadang sering juga kayak pacar. Kadang kayak bapak saya. Saya sama dia bisa bersikap manja sekali. Kadang minta ditotok atau dipijat, juga dikeramasi.
Ya, ada kalanya kami bertengkar. Saya pikir, bohonglah kalau dalam rumah tangga tidak ada pertengkaran. Dia bukanlah tipe orang yang kalau bertengkar terus mendalami pertengkarannya. Kalau dia sudah marah sekali akhirnya saya memilih diam. Dan dia tahu, kalau saya sudah tidak bicara berarti lagi marah. Nah, biasanya dia akan bikin yang lucu-lucu.
Memang dia tidak memperdalam persoalan. Dia orangnya tidak suka dendam. Dia tahu, saya orang yang kalau dimarahi akan shock. Dia jarang marah ke saya. Sekali marah akan serius. Tidak akan saya lawan. Saya akan memilih diam. Tapi kadang saya lawan kalau beralasan, misalnya, bahwa argumen saya tidak pas.
Dia juga tak pernah memaksakan kehendaknya. Tidak pernah ke saya. Sampai dia meninggal, itu tidak pernah terjadi. Justru karena dia tidak pernah memaksakan keinginannya, saya sangat berhati-hati. Saya tidak mau menyalahgunakan kepercayaannya. Bayangkan: dulu kalau saya latihan teater, kebanyakan teman teater yang jemput saya. Saya pergi dengan lawan main. As tidak gundah atau cemburu membabi-buta.
Artinya, saya dikasih kepercayaan, tidak dipaksa. Saya justru lebih berhati-hati. Mungkin akan berbeda kalau sikap dia mengatur-atur: kamu harus begini, begitu. Mungkin saya akan justru meng-counter dia. Dan dia tahu persis kalau saya dipaksa, maka saya akan melawan. Ketika saya tidak dipaksa, saya jadi berpikir ulang. Hal itu yang saya dapatkan.
Saat di Komnas HAM dulu, misalnya harus pakai jas, pakai ini, itu, bagi dia ya tidak pergi juga tidak apa-apa. “Tidak penting itu,” katanya. Dan bagi dia tidak ada beban. Dia tidak sedih. Dia bukanlah orang yang… oh jadi harus rapi karena presiden yang mengundang. Hal itu tidak ada sedikit pun pada dirinya.
Kalau berada di satu organisasi dia bukan tipe orang yang ber tahan walau misalnya dia suka. Kalau masih dibutuhkan, ya terus. Tapi ada waktunya. “Saya kan sudah selesai,” katanya. Dia bukan orang yang akan mempertahankan posisinya. Sewaktu di Komnas HAM, masih ada yang mengusulkan dia lagi. “Oh nggak, sudah selesai,” katanya.
Kadang-kadang saya berpikir benar kali ya, semua punya waktu. Dia selalu bilang: aku sudah selesai. Itu yang saya pelajari. Saya juga banyak sekali belajar untuk tidak menghakimi orang. Mencoba positive thinking. Kadang-kadang saya juga tidak positif dalam menilai. Saya selalu di-warning. Kalau saya sampaikan kabar atau berita miring ke dia akan bilang, “jangan ikut gosip, kau kan tidak tahu yang sebenarnya.” Jadi saya dilatih begitu. Dia tidak akan terpaku ke situ atau membumbui. Tidak. Saya bisa langsung di-cut. “Jangan ikutan. Kau dapat kabar dari mana? Tidak tahu kan?” Untuk yang satu itu dia memang ketat sekali.
Dia juga tidak pernah membawa cerita orang yang jelek ke saya. Ya, mungkin saja di kantornya ada banyak masalah. Ya, namanya bekerja. Pasti ada yang tidak suka, ada yang suka. Itu kalau dalam hidup biasa saja. Tapi dia tidak pernah membawa hal itu ke saya. Tidak pernah bilang, “saya tidak suka sama orang ini.”
Sama adat, bukannya dia tidak menghargai, tapi kalau sudah melenceng hal itu yang dia tidak suka. Abang-abangnya itu bilang As terlalu liberal.
Yang selalu diajarkan As pada anak-anak, “kamu tidak boleh tergantung sama orang lain. Tidak ada gunanya kamu pintar. Sepintar apa pun kalau hidupmu tidak berguna buat orang lain, buat apa.” Itu terus ia ajarkan. Bertanggung jawab, tangan mencencang bahu memikul.
Orang mungkin melihat anak saya sekolah ke luar negeri dan beranggapan pasti banyak uang. Salah lho. Saya tahu Asmara kurang waktunya untuk mengurusi ini-itu. Tapi untuk anak-anak, pasti dia membantu saya. Dia sibuk sekali. Anak saya kalau sekolah ke luar negeri dengan biaya sendiri, impossible. Dari mana. Itu adalah usaha saya.
Waktu anak saya nomor dua masih SMA, sebagai ibu, saya meng-apply sekolah SMA di luar. Saya melamar banyak sekolah atas nama saya. Dan yang menolak aplikasi ya banyak. Tapi saya tidak bosan-bosan mengirim. Akhirnya ada juga SMA di Australia yang membalas, dia ikut tes AFS. AFS itu kan kalau dia sudah setahun SMA di sana. Eh, dia diterima.
Terus saya kirim lagi surat kepada kepala sekolah SMA itu. Saya katakan bahwa anak saya dapat AFS tapi saya tidak mungkin membiayainya. Saya akhirnya dibantu oleh kepala sekolah itu. Itu juga berkat Tuhan. Anak saya diterima, padahal saya tidak punya uang untuk membayar uang setiap bulannya. Akhirnya dia bersekolah dan mendapat orangtua angkat.
Kalau anak saya yang paling kecil di Australia dia sebetulnya menyambung apply kakaknya. Saya apply lagi. Karena saya tahu Asmara tidak mungkin membiayai. Jadi, kalaupun anak-anak saya dapat sekolah di luar negeri itu karena beasiswa.
Bisa Didebat
Banyak yang mengira As sebagai orang galak. Tapi sebetulnya tidak masalah bila As didebat. Dia bukan tipe orang yang memaksakan keinginan. Karena hal itu dipraktekkan juga di keluarga. Itu yang saya katakan, bahwa saya tak pernah dikomando harus ini harus itu atau jangan ini jangan itu. Tapi justru saya diberi ruang untuk memilih dan harus berpikir sendiri. Saya yang mungkin lebih emosional. Dia kan yang lebih bisa mengurai benang kusut. Saya yang lebih emosional biasanya kemudian dia arahkan. Apa jalan pikiranmu itu benar? Atau dia bilang, itu kan tidak jelas. Kau begini…. dan setrusnya. Nah, saya yang lebih banyak dididik dalam hal ini.
Kalau saya emosional dia akan bilang, “yang kamu omongkan itu tidak jelas. Ke utara, ke selatan, ke barat, ke timur….coba dulu.”
Lalu dia ambil kertas. “Oke,” katanya, “satu apa, dua apa…. Terus maunya apa.” Hal itu dipetakannya.
Kadang-kadang saya jengkel juga. “Uh, gini gini lagi.” Tapi lama-lama saya lihat, ada benarnya. Dia akan membetulkan: oh, yang itu tidak kau tempatkan di situ. Itu di nomor sekian dan seterusnya. Jadi itulah yang saya dapatkan sebagai isteri.
Saya ingat dulu, ada orang yang bicara ke bapak mertua saya: bapak, perlu kau ingat ya, anakmu yang paling bijaksana ya siampu danmu (bungsumu) itu. Memang Asmara itu akan diam dulu, mendengarkan dulu, baru dia berbicara. Yang namanya hidup, pasti punya persoalan. Keluarga pun punya persoalan. Tapi dia bisa memetakan persoalan di atas kertas sampai terurai. Ilmu itu yang akhirnya saya tiru untuk dipakai.
Check-Out
Asmara itu mesra banget. Kalau untuk ukuran orang Batak, itu aneh. Baru saya perhatikan sekarang: banyak sekali foto saya yang nggelendot sama dia. Misalnya, dia suka ke kebun belakang. Pernah kita gandengan di sana, tidak lazim kan. Dia tanya: ini kau tulis tidak di diary-mu waktu aku payungi kau.
“Nanti aku tulis deh As.” Dia suka nanya itu. Beberapa bulan sebelum dia meninggal, saya buka buku itu lagi.
Ketika Jenazah As disemayamkan di Rasamala (rumah SAE Nababan), saya tidak menyangka yang datang akan sebanyak itu. Tidak seujung kuku pun saya pernah bayangkan hal itu. Karena dia juga tidak banyak bercerita bahwa dia mengerjakan ini-itu, apalagi membanggakannya di depan saya. Waktu itu SAE Nababan yang menawarkan: di sini saja rumah dukanya; kan kalian dulu kawin di sini. Memang waktu menikah dulu kami berangkat dari Rasamala.
“Lagi pula,” kata Bang SAE, “selain jauh Cipulir juga susah tempat parkirnya. Sementara As pernah bilang: aku kalau meninggal mesti berangkat dari rumahku. Tapi itu bicara sambil bercanda.”
Pesan ini terpenuhi. Saya mendampingi sejak perawatan hingga kepulangan jenazah As, mulai dari Guangzhou. Jenazah As kami semayamkan semalam di rumah dan esoknya dibawa ke rumah SAE Nababan di Rasamala.
Sesudah dia pergi baru saya sadar bahwa dia mempraktekkan “apa yang diberikan tangan kiri, tak perlu diketahui tangan kanan”.
Pernah juga ada perbincangan antara As dengan Bang Panda.
“As kalau check-out lu dikubur di mana?” Itu kata Bang Panda.
Mereka kan kalau berbicara seperti teman.
“Kalau aku sih langsung ke Siborong-borong, aku sudah ada tempat di sana,” kata Bang Panda.
“Kalau aku di Jakarta dulu deh. Setelah berapa tahun baru rangkanya dibawa,” kata As. “Eh, ngerepotin As. Lu, dulu bilang dikremasi!”
Apa jawaban As? “Ya, kan orang bisa berubah.”
Pikirannya Soal HAM Tajam
- Marzuki Darusman -
Saya dan Pak Asmara berteman sangat akrab. Kami bergaul sejak lama. Memang kami ini lahir dari suatu konteks perpolitikan: transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Kami mengalami apa yang disebut Demokrasi Pancasila, demokrasi yang sentralistik. Kami mengalami 30 tahun sistem politik yang sangat restriktif, sangat membatasi. Jadi kami berdua tidak lepas dari sejarah perpolitikan sebuah rezim politik yang otoriter. Pengalaman itu mengikat kita satu sama lain dalam satu orientasi bersama. Itu latar belakang kita secara umum.
Sejak 1993 kami bersama di Komnas HAM. Momen ini lebih mendekatkan kami satu sama lain dan penuh solidaritas dalam menghadapi aneka persoalan. Baik di Komnas HAM maupun di luar kami berdua selalu berhubungan erat. Sewaktu Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi Mei 1998 misalnya, Asmara menjadi wakil ketua dan saya ketuanya. Belakangan kami bersama yakni di Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Beliau sebagai sekretaris yayasan, saya sebagai ketua. Yayasan ini kami dirikan untuk mendukung badan HAM ASEAN yang terbentuk 2010 lalu. Kami angkatan pertama di Komnas HAM. Kami bagian dari 23 orang dengan latar belakang macam-macam. Ada akademisi, birokrast, pebisnis, organisator, orang pers. Bambang W. Soeharto misalnya orang ormas. Asmara mewakili aspirasi masyarakat sipil dan LSM. Dia itu mungkin satu-satunya yang berlatar belakang LSM, karena itu posisinya unik. Sekali lagi, kami majemuk betul. Ada dari PDI, Golkar, dan PPP. Ada pengusaha seperti Pak Bara muli almarhum. Ada tentara. Ada dari kaum perempuan. Ada dari daerah. Ada segala macam. Mikrokosmos Indonesia lah waktu itu. Sebagai orang LSM Pak Asmara tentu tak mudah menempatkan diri di Komnas HAM pada waktu itu. Sebab di antara anggota ada yang berlatarbelakang tentara. Tentunya mereka perlu membiasakan diri menghadapi orientasi terbuka dari orang LSM, yang menghargai individu dan tidak lagi semata menganut paham kolektivisme, dan melihat kehidupan masyarakat sebagai suatu lingkungan di mana kemajuan perorangan itu sekurang-kurangnya setara dengan kemajuan bersama.
Sebagai anggota masyarakat sipil, kami menyambut pandangan itu sebagai suatu kecenderungan yang sehat dalam pembentukan pandangan hidup bangsa dalam demokrasi. Bagi orang seperti Pak Munawir Sjadzali juga tidak sulit karena keterbukaannya dalam wawasan keagamaan.
Dengan latar yang majemuk itu friksi kita tentu besar. Ada perbedaan persepsi dan kepentingan. Tapi di situlah kekuatan Komnas HAM yang lalu. Walaupun ada orang partai, misalnya, tidak ada kepentingan partai di situ. Melebur semua. Memang tidak bisa dijelaskan kenapa terbentuk integrasi kerja dari kami yang 23 orang dan bagaimana relasinya bisa cukup baik.
Berkat Asmara, orientasi LSM kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari orientasi politik nasional. Jadi posisi LSM mulai diakui sebagai bagian dari pandangan kebangsaan. Itulah jasa Asmara. Posisinya unik betul di tengah orang-orang yang dikumpulkan oleh Pak Ali Said. Pak Ali Said sendiri perlu kita beri pengakuan terkait dengan keterbukaannya sebagai pimpinan. Padahal notabenenya beliau kan terlibat dalam pengadilan-pengadilan ideologi sebelumnya, antara lain sebagai oditur untuk orang-orang PKI yang diadili. Ada perputaran yang radikal atau mendasar dalam diri Pak Ali Said sehingga beliau kemudian bisa melihat keanekaragaman secara lebih lengkap.
KPP HAM
Kami menyelidiki berbagai peristiwa kekerasan. Yang terpenting adalah Aceh, Timtim, dan Papua. Asmara-lah yang pertama kali ke Aceh untuk mulai pembongkaran otoriterisme. Dalam hal penahanan warga negara Indonesia yang dikaitkan dengan GAM, misalnya. Hasilnya, pelepasan 11 anggota GAM yang ditahan. Yang terlibat di Papua, kasus Abepura, Pak Albert Hasibuan. Kami yang di Timtim. Ketiga kasus ini membangun citra Komnas sebagai suatu gerak, upaya, prakarsa yang mandiri. Seolah berada di luar atau berhadapan dengan sistem yang berlaku saat itu – suatu sistem yang sangat restriktif, sangat membatasi hak-hak sipil dan sebagainya. Jadi dalam dinamika menyelidki masalah Aceh, Papua, dan Timtim itulah lahir apa yang disebut Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM).
Sumbangan Komnas HAM awal adalah penguatan atau pember dayaan lembaga itu sendiri. Undang-Undang Komnas HAM itu lahir dari kancah pergumulan Komnas HAM generasi pertama dengan dinamika politik dan ideologi nasional, di mana justisiablisitas diwujudkan juga dengan hak panggil. Memang mulanya Komnas HAM menghadapi tantangan sehubungan dengan penerapan hak panggil ini. Ketika memanggil Pak Wiranto misalnya, itu tidak begitu serta-merta diterima sebagai sesuatu yang semestinya. Apalagi ada pembelaan oleh Buyung Nasution, Pak Muladi, dan sebagainya. Itu kami anggap suatu kejanggalan.
Sejauh ini hasil Komnas HAM yang utama menurut saya ada tiga. Pertama, mematahkan impunitas. Impunitas menjadi mitos sejak kita mulai menyelidiki pelanggaran HAM di Timtim, di mana TNI tersangkut di sana. Ke dua, justisiabilisitas, yaitu dimungkinkannya menuntut secara hukum para pelanggar HAM. Ke tiga, penegakan hak asasi manusia universal. Tiga inilah tonggak yang diletakkan Komnas HAM generasi awal. Bobot ketiganya sebetulnya lebih pada universalitas.
Warisan Asmara
Legasi atau peninggalan Asmara di Komnas HAM antara lain adalah prinsip bahwa kepentingan satu orang, kepentingan indi vidu, setara dengan kepentingan kolektif. Namun di sisi lain dia bisa menerima adanya kepentingan nasional; sesuatu yang jarang diterima para pegiat LSM yang sudah tidak lagi melihat batas-batas nasional.
Asmara masih melihat pertalian antara hak-hak asasi manusia yang universal dengan kepentingan bersama secara nasional. Karena itu dalam menyimpulkan tindakan terhadap atau rekomendasi untuk pemerintah terkadang dia berbeda pendapat dengan rekan-rekannya yang di LSM. Sikapnya bukan zero sum game atau yang satu unggul yang satu kalah. Banyak contohnya. Dalam penanganan kasus Aceh, Abepura, maupun Timtim, misalnya. Di situlah sebetulnya diuji bagaimana penglihatan seseorang itu dalam kerangka Komnas HAM.
Sampai selesai bertugas di Komnas HAM angkatan pertama mungkin satu kali saja Asmara berbeda pendapat dengan kese luruhan anggota Komnas HAM. Saya tidak ingat lagi secara persis waktu itu apa masalahnya. Tetapi umumnya dia bisa menerima bahwa rekomendasi untuk melakukan tindak lanjut suatu penye lidikan tidak dipusatkan hanya pada satu sisi dari masalah. Berlainan dengan pegiat LSM lainnya, dia melihat bahwa kerja sama dengan pemerintah sangat bermanfaat. Manfaat itu terasa sewaktu menyelesaikan masalah pelanggaran HAM.
Ranah Pemikiran
Sekarang soal buah pemikiran Pak Asmara yang menarik yang berkaitan dengan HAM. Menurut saya pikirannya tajam. Soal universalitas HAM itu misalnya. Saya kira kita perlu mematangkan pemahaman soal yang satu ini. Kita melihat banyak negara yang mengalami transisi politik ke arah demokrasi sulit menerima konsep universalitas, ketika universalitas dilihat semata-mata sebagai nilai, tepatnya, nilai yang kemudian dihubungkan dengan sejarah kebudayaan tertentu. Kebudayaan di Asia, misalnya.
Sebetulnya sekarang ini universalitas tidak saja dipandang sebagai nilai tapi juga sebagai pengetahuan. Tepatnya, akumulasi pengetahuan. Orang tidak bersedia disiksa bukan hanya karena dia berhak untuk tidak disiksa, melainkan menjadi sesuatu yang universal di mana pun orang tidak mau disiksa.
Fakta ini bisa lebih diterima di mana-mana kalau diperlakukan sebagai pengetahuan yang berlaku dimana-mana. Tapi kalau dirumuskan semata sebagai nilai moral, mudah sekali dibalikkandengan alasan “itu tidak berlaku bagi masyarakat kita ini, berlaku bagi masyarakat lain”.
Inilah perkembangan yang disumbangkan oleh Komnas HAM awal, yakni pengakuan yang sepenuh-penuhnya terhadap nilai-nilai universalitas. Kita bergerak dari pemahaman yang partikularistik kepada pengakuan bahwa Indonesia menganut paham HAM yang universal.
Terus terang, sebagian besar orang di Komnas HAM tadinya masih memandang dengan kacamata nasional, atau kacamata Asia. Dalam kacamata seperti ini ada pertentangan antara hak dan kewajiban. Lalu itu dikaitkan lagi dengan agama dan sebagainya.
Komnas HAM berhasil menyelesaikan kontroversi ini. Sekarang, di kita, hak asasi manusia sudah dipandang sebagai nilai-nilai yang melekat pada diri seseorang semata-mata karena dia manusia. Baru itu kemudian dihubungkan dengan kewajiban; merupakan kewajiban seseorang untuk memperjuangkan haknya. Pergumulan kita dalam penyelidikan dan sebagainya itu pada akhirnya membuat kita merasa pasti bahwa negara dan bangsa kita ini menganut paham hak asasi manusia yang universal.
Dia Selalu Memikirkan Universalitas HAM
– Harbrinderjit Singh Dillon –
Banyak kesamaan kami bertiga—saya, Asmara, dan Kiki (Marzuki Darusman). Kami sudah begitu memahami posisi masing-masing, sehingga apa pun prakarsa yang diajukan oleh siapa pun di antara kami, tidak pernah menimbulkan curiga. Tidak ada lagi salah sangka. Kalau tiba-tiba Asmara telepon atau Kiki bilang, “Eh, kita ketemu dulu, ini ada gini-gini,” tidak ada yang perlu dipertanyakan. Masing-masing tahu persis, Kiki nanti apa tugasnya? Apa permasalahan yang dibawa Asmara? Tinggal bagi tugas: Asmara apa, Dillon apa…. Sudah alamiah.
Kami seperti punya kesamaan jiwa. Bisa dikatakan seperti mendengarkan drum atau genderang yang sama, yang tak didengar orang lain. Masing-masing kami, dalam berbagai jalan, tetapi dipandu genderang besar.
Saya masuk Komnas HAM pada periode ke dua. Jadi, setelah Asmara dan Kiki. Saya masuk pada 1998. Setelah dipecat dari departemen, terus saya menulis. Kalau tidak salah saya bicara dengan BN Marbun (anggota Komnas HAM periode 1993-1998 dan 1998-2002). Mungkin Marbun yang mengatur. “Dengar pandangan Dillon ini. Dia sering nulis tentang petani,” katanya.
Jadi saya masuk ke Komnas HAM bukan dari segi legal atau human rights korban kekerasan politik praktis, tetapi dari segi yang sangat sederhana dan membumi: petani. Mereka adalah kelompok terpinggirkan dan perlu diberi ruang bersuara.
Saya bertemu Asmara baru setelah di Komnas HAM. Saya merasa, kami sejalan. Asmara, Kiki, Albert (Albert Hasibuan), dan saya, sejalan. Dua orang Kristen, satu Islam, satu orang Sikh. Para politisi bilang, kami ini awalnya meeting of mind yang belakangan menjelma menjadi meeting of heart. Termasuk Ibu Sap (Saparinah Sadli) sebenarnya. Orang-orang seperti Marbun, ada kalanya bisa kita ajak, ada kalanya dia lari juga ke segi yang lain.
Merangkul Petani
Di Komnas HAM, kami semakin akrab ketika melakukan pertemuan dengan petani. Waktu kita lihat, kekuatan Orde Baru mulai habis. Kami merasa inilah momentum untuk bisa memicu dan mulai memberikan sesuatu kepada ke petani. Suatu kekuatan awal agar mereka mulai bergerak menuntut hak-haknya. Kami meminta bantuan, kalau tidak salah, kepada Friedrich Neuman Stiftung (FNS). Saya kebetulan mengenal beberapa orang dari mereka. Demikian juga Asmara.
Waktu itu para petani masih begitu traumatis. Dalam ingatan kolektif mereka masih jelas yang terjadi pada 1965-1966. Mereka kami rangkul, dan mulai mendapat harapan, bahwa mereka sudah bisa bergabung sendiri, tanpa diatur serikat-serikat seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan segala macam. Kami tidak mengundang orang HKTI dan orang pemerintah. Yang membuka Asmara, yang menutup saya.
Kegiatan ini masih dalam koridor Komnas HAM. Dengan payung Komnas HAM kami melakukan banyak hal yang bersifat inovatif, dan tak ada yang mempersoalkan kegiatan kami. Memang itulah awal implementasi demokrasi: mulai dari orang-orang yang haknya dilanggar.
Hal yang kami kerjakan waktu itu adalah mempertemukan petani aktivis dan aktivis. Kami kumpulkan mereka—petani-petani aktivis dan mereka yang dikenal sebagai aktivis yang mengurusi petani. Kegiatan itu berlangsung tiga hari, dengan persiapan yang jauh lebih lama. Selama acara itu, mereka saling membantu, mulai dari membuat perumusan sampai mengeluarkan deklarasi. Hendri Saragih, adalah satu dari mereka. Mereka kemudian saling berinteraksi, kita mundur dari kegiatan itu. Hal itu sejalan dengan tugas Komnas HAM untuk selalu menjadi pemicu, bukan pemilik.
Hal ini penting untuk diungkapkan, kami dulu diserang dalam sebuah perdebatan—termasuk oleh penasihat presiden sekarang— kenapa kami tinggalkan gawe itu. Pandangan kami sejalan dengan Kahlil Gibran, bahwa anakmu bukan anakmu. Jadi, kami biarkan dia maju menemukan jalannya sendiri. Begitulah seharusnya menghormati HAM. Kami membantu, tetapi tidak menentukan arah mana yang hendak dia akan tempuh.
Meski dibantu yang lain, pada dasarnya hanya kami berdua yang mengurusi masalah petani. Kami tinggal meminta persetujuan ketua dan melaporkan kegiatan kami dalam rapat pleno.
Transitional Justice
Setelah mengurusi petani, kami kembali berduet dalam Indonesia Masa Depan. Keadaan transisi menuju demokrasi di Afrika Selatan mengilhami kami. Ada dua kegiatannya. Saya memimpin tim yang berkunjung ke Afrika Selatan, menggantikan Emil Salim yang tiba-tiba diundang ke Brussel oleh dutabesar Indonesia di sana. Saya sebenarnya juga diundang, tetapi Emil memilih ke Brussel karena banyak menyangkut soal ekonomi. Saya juga ekonom, dan kalau ditanya, tentu saya lebih senang duduk di bar minum bir di Brussel. Birnya enak di sana. Tetapi karena kedekatan saya dengan Asmara, saya memutuskan tidak berangkat ke Brussel. Saya jarang menolak apa yang diminta oleh Asmara.
Dari caranya mendesak, saya mengerti betapa pentingnya kunjungan ke Afrika Selatan itu. Dia bilang, “Kalau you tidak ikut, Dillon, tak akan ada jenderal-jenderal kita ini yang bisa berbahasa Inggris dengan menyakinkan.”
Saya jawab, “kan ada Bang Samsudin (mayor jenderal purna wirawan).”
“Iyalah Syamsudin bagus, tapi tidak bisa dia nanti menyakinkan. You-lah yang pergi.” Begitulah cara As mau pun Kiki. Baik As maupun Kiki ‘memerosokkan’ saya.
Kunjungan ke Afrika Selatan itu ternyata menarik. Di dalam rombongan ada angkatan darat dan angkatan laut. Ulil Abshar-Abdala juga ikut. Setiap pagi, seusai makan pagi, kami mendis kusikan apa yang kami lihat kemarin, dan bagaimana kesan kami.
Lalu kami diskusikan juga apa yang mau kami lihat hari ini. Kami terus bekerja. Ini bukan kunjungan DPR atau kunjungan enak-enak. Kami pelajari betul bagaimana kemungkinan transisi terjadi. Saya katakan, “Ini transformasi elit.” Ulil menyahut, “Pak Dillon ada bukunya itu, Elite Transformation.”
Sepulang dari sana, saya ceritakan semuanya pada Asmara. Dia menganggap pelajaran yang kami petik itu penting sekali. Menurut dia, penting sekali orang dari berbagai kalangan, termasuk militer, untuk bersama-sama melihat pengalaman suatu negara yang begitu lama dizalimi. Politik apartheid di Afrika Selatan itu sangat mengerikan, tetapi mereka bisa menemukan kembali martabatnya tanpa melalui kekerasan.
Itulah transitional justice. Kami mau belajar soal itu dari Afrika Selatan. Kami melihat general justice system di sini tak mungkin berjalan baik, sehingga transtitional justice menjadi lebih masuk akal, meski akhirnya ternyata kita tidak berhasil juga.
Yang paling mendasar di Afrika Selatan adalah sebelum menja lankan transitional justice, para pelaku pelanggaran sudah diadili melalui criminal justice system. Pesan yang hendak disampaikan melalui sistem itu adalah memberi contoh, bahwa pelaku tindak kejahatan tak bisa bebas begitu saja. Di sini hal itu tak berhasil kita lakukan. Dulu kita ingin Wiranto kena, supaya yang lain bisa lebih mudah.
Keberangkatan saya dan Hasballah (Hasballah M.Saad, Menteri Urusan HAM periode 1999-2001) ke Korea, juga soal transitional justice juga. Kami berangkat ke Korea Selatan selama empat hari untuk mempelajari bagaimana sipil bisa mengambil-alih pemerintahan dari rezim militer, dengan jalan yang justru menya tukan kembali bangsa. Dua mantan presiden, mantan panglima angkatan bersenjata, mereka tangkap, lalu diadili, dihukum dan kemudian diampuni. Mengirim kami ke Afrika Selatan dan Korea Selatan, adalah cara Asmara mempelajari langkah-langkah negara lain dan menemukan dan mengenali elemen-elemen strategis. Dia berharap semua itu bisa kita pakai di sini.
Masalahnya waktu itu, Presiden Habibie tidak mau membongkar kasus Soeharto. Sebetulnya bukan dia saja, tetapi orang-orang yang di sekitar Soeharto, karena tali-temalinya sudah begitu ruwet, sehingga semua orang khawatir kalau kita mulai bongkar, akhirnya mereka juga akan kena. Nah, itu sebetulnya: mereka bukan membela Soeharto tetapi membela diri sendiri. Padahal tujuan kami, bukan menyerang mereka. Tujuan kita adalah menangkap Soeharto, mengadilinya, menghukumnya dan kemudian mengampuninya. Kalau dia sudah dihukum, turunannya, anak-anaknya, kroni-kroninya semuanya bisa kita kejar.
Universalitas HAM
Satu hal lagi yang sangat menjadi perhatian Asmara adalah universalitas HAM. Asmara juga yang mengirim saya dan kawan-kawan ke luar negeri untuk mempelajari masalah itu atas biaya The Asia Foundation. Asmara juga bisa, tiba-tiba bilang, “Dillon, bisa tidak you pergi ke Vatikan?”
Saya bilang, saya agak malas terbang begitu jauh kalau naik pesawat ekonomi.
“Oke, oke. Aku cari, aku cari,” katanya. Lalu dia mengatakan, “Sudah ada tiketnya. You berangkat. Bisa kan?”
Saya pun terbang ke Vatikan, dengan dibekali bahan, mungkin ada 20 halaman yang dibuat Anton (Antonio Pradjasto, sekarang Direktur Demos) bersama kawannya. Bagus sekali. Di Vatikan itu berlangsung Forum Duta Besar Asia. Menarik sekali. Setiap tahun mereka mengangkat topik yang berbeda, dipimpin secara bergantian. Kali itu topiknya human rights, dikaitkan dengan konsep Asian value-nya Lee Kwan Yew. Kami ingin menunjukkan bahwa tidak ada Asian values, yang ada universalitas.
Sebelum ke Vatikan, saya bermalam di Boston. Di sana saya membeli buku Development as Freedom yang ditulis Amartya Sen (pemenang Nobel asal India). Dalam perjalanan ke Vatikan saya membaca buku itu. Pas ada satu bab mengenai human rights di sana. Bagus sekali buku itu.
Di Vatikan kami tinggal di rumah duta besar Indonesia di Vatikan, Pak Widodo (lama menjadi juru bahasa Presiden Soeharto). Saya membuat empat-lima halaman catatan, bertolak dari bahan yang disiapkan Anton dan kawannya.
Yang memimpin forum waktu itu dutabesar Filipina. Oh, cantik betul dia. Umurnya sudah 50 tahun lebih, lebih cantik dibandingkan anaknya yang berusia sekitar 20-an. Yang hadir waktu itu antara lain dari Keuskupan New York. Cukup tinggi posisinya, mungkin sekretaris uskup. Ada juga orang Iran dan Taiwan. Ramai, karena Menlu Vatikan sangat berpengaruh di dunia.
Dubes Filipina itu terpesona ketika membaca catatan yang saya buat. Dia langsung memanggil saya profesor. “Prof, sepakat ya, Anda pembicara terakhir. Kita ubah semua jadwal,” katanya.
“Mengapa,” tanya saya.
“Because you have the answer to everything.”
Dalam catatan itu kita buktikan bahwa HAM bukan konsep Barat. Memang baru mulai mendunia pada tahun ‘70-an, dalam masa gerakan sosial di Amerika Serikat. Bahkan di Swiss, perempuan tidak diberi hak suara sampai sekitar tahun ‘70-an. Kami memberi contoh Asoka (maharaja Asoka atau Asoka yang Agung, penguasa anak benua India pada 273 SM-232 SM), yang melakukan begitu banyak perang setelah berkuasa. Suatu waktu ia merasa dirinya salah. Lalu dia bicara mengenai hak asasi manusia. Tablet-tablet yang dipasangnya di seluruh bekas kerajaannya, sampai sekarang masih bisa kita lihat. Jadi dia sudah membicarakan HAM jauh sebelum wacana ini mulai berkembang tahun ’70-an. Jelas konsep ini sudah sangat lama tetapi mendapat banyak resistensi. Apalagi Lee Kuan Yew sendiri kemudian berdiri di depan menentang. Showmanship-nya hebat.
Dalam catatan tadi kami katakan, bahwa Asian values itu alasan yang dipakai negara-negara yang ingin menjadi otoriter. Cerita tentang Asoka kita pakai untuk menafikan adanya Asian values. Saya menjadi ujung tombak di satu tempat di Vatikan. Orang-orang yang menjadi mendengarkan akhirnya ikut berpikir juga. Kami berhasil meyakinkan mereka.
Asmara ada di balik keberhasilan ini. Di antara kami, dialah yang selalu memikirkan universalitas HAM.
Asmara yang Saya Kenal
-Albert Hasibuan-
Pada mulanya saya tidak begitu kenal dengan Asmara kecuali namanya saya sekali-sekali dengar waktu saya aktif dalam gerakan mahasiswa ’66. Saat itu dia adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tingkat berapa, saya tidak tahu.
Saya perkirakan saya lebih senior dari Asmara.
Ketika saya dilantik menjadi sekretaris Lembaga Bantuan Hukum (LBH), bersama Adnan Buyung Nasution sebagai ketua pada 28 Oktober 1970, saya dengar Asmara telah mengorganisir demonstrasi dan unjuk rasa mahasiswa yang tergabung dalam Komite Anti Korupsi (KAK). Demonstrasi itu berlangsung pada Januari 1970 dengan tujuan memprotes maraknya korupsi pada waktu itu.
Banyak yang mengatakan, selama 25 tahun sejak berdirinya Republik Indonesia, unjuk rasa anti korupsi dari para mahasiswa itu adalah yang kedua terbesar dan mengancam stabilitas politik pemerintahan Presiden Soeharto. Unjuk rasa pertama adalah tahun ’66 yang menggulingkan Orde Lama dan memberi kuasa pada Soeharto.
Salah satu respons Soeharto terhadap demonstrasi mahasiswa itu adalah membentuk Komisi IV, diketuai Wilopo. Komisi ini bertugas mempelajari dan meninjau masalah korupsi itu beserta usul-usul konkrit perbaikannya.
Dalam suatu rapat dengar pendapat di Komisi IV DPR-RI, penasihat presiden, mantan Wakil Presiden Moh. Hatta, menya takan bahwa ‘korupsi telah menjadi seni dan bagian dari budaya Indonesia.’ Pernyataan ini, didasarkan pengamatan Bung
Hatta bahwa, waktu itu, korupsi sudah sedemikian marak di masyarakat.
Seorang kolumnis dalam suratkabar Djakarta Time pada 1970 dengan nada humor mengusulkan agar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membentuk bagian korupsi dalam Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Sehari sebelum memperingati Hari Kemerdekaan pada 16 Agustus 1970, di depan sidang pleno DPR, Presiden Soeharto menyatakan “Tidak usah diragukan lagi. Saya sendiri akan memim pin perjuangan melawan korupsi.” Oleh masyarakat, pernyataan itu dianggap sebagai pertanda keteguhan hati dan kemauan politik melawan korupsi. Semua itu antara lain berkat Asmara yang telah bercita-cita memberantas korupsi.
Kalau sekarang kita mempunyai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—karena korupsi semakin menjadi-jadi, termasuk politik uang dan korupsi politik melalui sogokan terhadap anggota DPR, korupsi para pejabat pemerintah, dan sebagainya—saya teringat pada Asmara Nababan, seorang idealis yang anti-korupsi. Saya rasa Asmara menentang keras bahwa ‘politic is the main route to power, which, in turn, is the main route to wealth’. Ia menentang politik sebagai jalan utama kekuasaan, dan kekuasaan adalah jalan utama kekayaan.
Setelah kejadian KAK pada Januari 1970, saya tahu, ternyata Asmara adalah adik dari SAE Nababan. Kalau SAE Nababan adalah pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan khotbahnya, bagi saya, selalu menarik, maka Asmara menambah nama baik keluarga Nababan. SAE bersama Pak Simatupang, aktif di Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), LPPM, Yayasan UKI. Saya ikut aktif di Yayasan UKI, LPPM pada tahun ’80-an.
Terus Bersama
Ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibentuk pada 7 Desember 1993, dipimpin Ali Said, saya dan Asmara diangkat menjadi anggota. Waktu rapat-rapat awal Komnas HAM, antara lain di salah satu ruangan di Bali Room Hotel Indonesia, saya lihat Asmara tidak banyak bicara. Rupanya, ia diam karena mau mempelajari dasar kegiatan Komnas HAM.
Asmara mulai aktif bicara setelah Komnas HAM mempunyai tempat berkumpul sementara di kantor Baharudin Lopa, Dirjen Pemasyarakatan, dan di jalan Pemuda. Saya ingat, Asmara bersama Baharuddin Lopa, Marzuki Darusman, Prof. Saparinah Sadli, dan lain-lain, diangkat menjadi anggota Tim Pencari Fakta Marsinah pada bulan Maret 1994. Hasil investigasi tim, yang kemudian diumumkan mendapat apresiasi dari masyarakat waktu itu.
Saya mengenal Asmara lebih baik ketika dia menggantikan Baharudin Lopa sebagai Sekretaris Jendral Komnas HAM. Asmara adalah sosok yang sabar dan tidak ingin menonjol. Daya analisisnya tajam, dan, yang utama, dia sangat bersemangat dalam mempromosikan dan menegakkan HAM.
Sebagai Sesjen (Sekretairs Jenderal) Komnas HAM dia ada di kantor setiap hari. Kalau saya memerlukan dia untuk urusan Komnas HAM, dia selalu ada ditempat. Kami sering berdiskusi untuk menyelesaikan urusan HAM. Begitu kerasnya ia bekerja dan begitu setianya pada tugas yang diembannya, suatu hari, di kantor Komnas HAM jalan Latuharhary, saya menemukan Asmara yang kelelahan berbaring di kursi panjang.
Pada Januari 1996, bersama Asmara saya ditugasi menyelidiki kasus Mapenduma di Papua. Waktu itu saya baru sembuh dari sakit. Setiba kami di Jayapura kami berusaha mengumpulkan informasi tentang kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Yudas Kogoya dan Kelly Kwalik yang menyandera 24 orang tim peneliti yang tergabung dalam Tim Lorenz 1995 dan World Wildlife Fund (WWF). Di Jayapura ini saya menyaksikan koneksi Asmara dengan berbagai LSM di Jayapura.
Saya ingat, kami mengunjungi Panglima Trikora Mayjen Dunidja dan menyewa pesawat kecil Mission Aviation Fellowship (MAF) untuk terbang ke Mapenduma. Di sana, di rumah seorang misionaris kami mendengarkan laporan penduduk Mapenduma. Kami sepakat membuat laporan lengkap kepada Komnas HAM yang diketuai Sugianto.
Waktu saya menjadi pimpinan suratkabar Suara Pembaruan, pada Januari 1999, saya mengajak Asmara bersama beberapa orang intelektual Kristen lainnya seperti Sumartana, Albert Wijaya, Benny Giay, Manase Mallo, Bert Supit, Sutarno, ke negeri Belanda. Kepergian itu diprakarsai Pendeta Jaspert Slob dari misi gereja di Belanda untuk membicarakan hubungan antara agama Islam dan Kristen di Indonesia dan bagaimana membangun jembatan-jembatan antara kedua warganya. Saya ingat, diskusi dipimpin Prof. Nico Schulte Nordholt seorang ahli tentang Indonesia.
Pada waktu Marzuki Darusman menjadi Jaksa Agung, September 1999, saya diangkat menjadi ketua Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Timor Timur, menggantikan Marzuki, dan Asmara menjadi sekretarisnya. Komisi ini menyelidiki pelanggaran HAM di Timor Timur akibat referendum pada 30 Agustus 1999.
Bersama Asmara, kami menuju Darwin, Australia, untuk menemui Commission of Inquiry on East Timor (CIET) yang dibentuk PBB. Komisi PBB ini diketahui oleh Sonia Picaso Sorela dari Costa Rica. Maksud kepergian kami adalah untuk membi carakan koordinasi antara KPP HAM dan CIET.
Tak Ingin Menonjol
Kami berangkat tengah malam dari Jakarta dan menunggu di Bandara Ngurah Rai di Denpasar Bali untuk penerbangan selanjutnya ke Darwin. Karena sudah sekitar jam 1 pagi, kami merebahkan diri dibangku ruang tunggu bandara. Ketika bertemu para anggota CIET di Darwin, saya lihat Asmara lancar berbicara dalam bahasa Inggris.
Kembali dari Darwin kami menginap satu malam di Denpasar untuk keesokan harinya menuju Jakarta dan langsung bekerja menangani masalah di Timor Timur. Selama penyelidikan saya dan Asmara menghadapi para demonstran. Mereka mengatakan, kami melibatkan anggota milisi dan TNI. Mereka berkumpul di muka pintu masuk kantor Komnas membawa berbagai spanduk yang berbunyi antara lain ”Albert dan Asmara menerima uang puluhan ribu dolar”, ”Ketua KPP HAM dan sekretaris antek asing”, dan lain-lain.
Pada waktu menyusun laporan KPP HAM di Hotel Millenium di jalan Tanah Abang pada akhir Januari 2000, Asmara sangat aktif. Laporan itu disusun semalam suntuk oleh para anggota KPP HAM, termasuk Munir, Ketua Kontras. Namun, saat melapor kepada Jaksa Agung, keesokan harinya, 31 Januari 2000, Asmara tidak hadir. Saya pikir Asmara tidak ingin menonjolkan diri kepada wartawan dan pers asing yang memadati konferensi pers tersebut.
Keesokan harinya, Asmara, Dillon dan saya bertemu Jaksa Agung Marzuki Darusman di Hotel Regent, sekarang Four Seasons, untuk meminta Gus Dur, yang pada waktu itu berada di Davos Swiss, memberi sanksi kepada Menkopolkam Wiranto. Dalam laporan KPP HAM terdapat nama Jendral Wiranto sebagai yang bertanggungjawab berdasarkan komando, ‘command res ponsibility.’ Setelah Marzuki menghubungi Gus Dur, Wiranto dibebastugaskan dari kabinet.
Saya juga ingat, ketika saya menjadi ketua KPP HAM Papua/ Abepura dan Trisakti, Semanggi I dan II, Asmara dengan aktif membantu sepenuhnya pekerjaan saya. Mulai dari pemilihan anggota tim sampai menyiapkan sekretariatnya, menyusun serta merumuskan laporan. Ia menyediakan seluruh fasilitas yang dibutuhkan saat itu.
Pada 2002, Asmara, Ibu Saparinah Sadli, Prof. Emil Salim dan saya mengundurkan diri dari Komnas HAM. Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada yang lebih muda untuk menggantikan kami di Komnas HAM, setelah kami bertugas sejak tahun 1993. Walaupun belum ada rencana Komnas HAM tentang pengunduran diri para anggotanya, kami dengan konsekuen mengumumkan pengunduran diri tersebut.
Waktu saya bersama kawan-kawan seperti Marzuki Darusman, H.S.Dillon, Harry Tjan Silalahi, mempunyai rencana membentuk Forum Papua, saya mengikutsertakan Asmara. Forum Papua yang terdiri dari orang bukan Papua, bertujuan membantu Papua memperoleh keadilan dengan cara menyusun dan memberi masukan, agar Pemerintah Pusat membuat kebijaksanaan yang tepat tentang Papua. Dalam rapat-rapat Forum Papua, Asmara selalu hadir dan memberi masukan yang konstruktif.
Selain sebagai anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (TGPF), Asmara juga aktif di International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Direktur Eksekutif Demos (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi). Semua kegiatan itu menunjukkan betapa Asmara Nababan mencintai demokrasi, keadilan dan hak asasi manusia.
Dia Orang yang Apa Adanya
-Arief Budiman-
“Orangnya terus terang, enak diajak omong, nggak main politik, apa adanya,” kenang Arief Budiman tentang Asmara Nababan. Selebihnya tidak banyak. Arief merasa kekaribannya dengan Asmara lebih cenderung intelektual ketimbang personal
Arief masih ingat pertemuan pertamanya dengan Asmara, sekitar 40 tahun lalu di Balai Budaya. Waktu itu Arief adalah direktur Yayasan Indonesia. Ia mendapat satu ruangan kecil di situ tersebut sebagai kantornya. “Balai Budaya itu menjadi tempat diskusi. Jadi, di samping demo kita diskusi. Diskusi tentang Taman Mini misalnya. Nah, si Asmara sering datang. Dia tahu kita ada pertemuan-pertemuan, ngumpul, datang pribadi maupun datang kelompok. Kelompok kita nggak resmi. Siapa aja yang datang diterima.”
Kelompok diskusi Balai Budaya inilah yang kemudian menjadi motor gerakan anti-TMII, golput, hingga protes terhadap pela rangan becak di Jakarta. Arief menyebut gerakan-gerakan ini sebagai “gerakan moral” untuk membedakannya dari gerakan politik. “Kita menentang Soeharto, tapi tidak ikut partai politik dan tidak mau jadi anggota DPR. Hanya memprotes gagasannya,” kata Arief. Orang-orang gerakan moral membanggakan diri dengan mengatakan bahwa mereka tidak punya kepentingan apapun selain menyatakan kebenaran.
Karena sama-sama berada dalam gerakan moral, Arief merasa lebih akrab dengan Asmara ketimbang Panda Nababan, kakaknya, yang memilih masuk partai politik. “Panda dari Universitas Bung Karno kalau nggak salah. Jadi dia dulu bicara membela Bung Karno.
Tapi sesudah keadaan berbalik dia berbalik juga. Berbaliknya dia cukup pinter. Dia bilang ajaran Bung Karno ada yang nggak cocok lagi jaman sekarang. Jadi Panda saya kira dari dulu memang sudah berpolitik dari sekolahannya juga. Kalau Asmara memang akademis. Akademis yang menjadi aktivis.”
Berarti Asmara lebih idealis? “Lebih idealis,” jawab Arief. “Panda juga idealis, cuma dia memperjuangkan idealismenya mela lui kekuasaan politik.”
Arief menyederhanakan pandangannya tentang gerakan politik dan gerakan moral. Bagi mereka yang berada di gerakan politik, kekuasaan harus diperjuangkan sebelum kebenaran. Kekuasaan menjadi nomor satu dan kebenaran bisa datang belakangan. Seba liknya, bagi mereka yang bergelut dalam gerakan moral, kebenaran harus diperjuangkan dengan atau tanpa kekuasaan. Mereka percaya, kebenaran menaklukkan semuanya.
“Ini bukan berarti orang politik itu jahat, antikebenaran,” sambung Arief, “Tapi untuk melaksanakan kebenaran yang dia percaya, harus melalui kekuasaan negara. Kalau yang moral force, dia memperjuangkan kebenaran yang dia percaya melalui kekuatan kebenaran itu sendiri. Karena dia benar maka dia dipercaya akan menang, dan akan dipercaya oleh orang lain.”
Meski Arief adalah orang gerakan moral, ia tetap mengakui bahwa gerakan politik dan gerakan moral sama-sama dibutuhkan. Kalau semua orang cuma bicara moral, kata Arief, tujuan per juangan tak dapat tercapai karena kekuasaan politik yang tidak memungkinkan. “Misalnya jaman Pak Harto gitu. Orang ada yang memperjuangkan supaya ada demokrasi. Kalau yang moral force, dia langsung minta Pak Harto mendemokratisasikan diri melalui sistem-sistem politiknya. Nah, nggak berhasil kan? Pak Harto bilang nggak mau. Dia punya ambisi yang lain. Orang yang political force, kalau dia bukan oportunis, dia masuk Golkar dulu. Dia cari posisi di Golkar. Dalam posisi itu nanti dia bisa memperbaiki apa yang menjadi tujuannya, apa yang mau dia capai.”
“Jadi,” lanjut Arief, “Saya bisa menghargai, tetapi saya tidak bisa mengikuti tindakan itu. Kita bisa bertentangan dengan orang politik, tapi bukan berarti kita bermusuhan. Kita bisa mengerti, posisi politiknya memang mengharuskan dia begitu. Karena dia sebenarnya idealis juga, cuma untuk mendapatkan hal itu dia harus memperjuangkannya melalui kekuasaan. Jadi harus taktis.”
Karena perbedaan itulah, menurut Arief, Panda dan Asmara cukup sering terlibat perdebatan. Asmara tidak segan-segan mengritik Panda di depan publik. Arief sudah lupa isunya. “Tapi saya kira secara pribadi mereka tetap kakak-adik.”
Semua orang tahu bahwa demonstrasi adalah hal terlarang pada masa Orde Baru. Menentang Soeharto dapat mengantar si pembangkang ke perut bui, bahkan “hilang dari peredaran”. Tapi gerakan moral Arief dan Asmara tidak surut. Meski jumlah mereka sedikit, gerakan mereka populer karena liputan media-mediamassa nasional.
“Jadi kita demonya demo media,” kata Arief. Ia berpendapat, media mau meliput gerakan mereka karena media butuh alasan untuk menyatakan pemerintahan Soeharto korup. “Akhirnya demo kita yang jadi alasannya.”
Bagi Arief Budiman, orang-orang yang terlibat dalam gerakan moral waktu itu adalah pemberani, dan Asmara Nababan adalah salah satunya. Kenapa bisa berani? “Ya, udah terlanjur berani aja,” jawab Arief sambil tertawa.
Ia juga mengatakan, “Sudah jadi hobi buat melawan arus.” Kini arus waktu sudah bergeser puluhan tahun. Sejak kepergiannya ke Australia sekitar 12 tahun lalu, Arief tak pernah lagi bertemu atau berkontak dengan Asmara. Saya tak tahu apakah dalam hati Arief ada terselip rindu; entah untuk teman karibnya itu, maupun hobinya yang dulu.
Jerman, 2003
Bang As
Soetandyo Wignjosoebroto
Walaupun sudah dikabari tentang sakitnya yang agak serius, dan walaupun telah pernah dikabari ia harus berobat ke sebuah rumah sakit di Guangzhou, China, tetapi aku terkejut juga ketika membaca sms yang dikirim Mbak Roichatul Aswidah, pagi Kamis, 28 Oktober 2010. Kondisi Bang As menurun, begitu isi pesannya. Aku langsung berdoa untuk kesembuhannya, dan ingin segera menulis di status akun di facebook untuk mengabarkan keadaan Bang As, berharap para sahabat yang pernah mengenal
Bang As ikut memanjatkan doa.
Aku baru mau menulis ketika ada susulan berita dari Mbak Sandra Moniaga bahwa Bang As meninggal dunia di kamar ICU rumah sakit tempat ia dirawat. Allah telah menurunkan kehen dakNya. Oleh tanganNya takdir manusia ditentukan. Aku berucap dalam bahasa dan ungkapan yang diajarkan kepadaku, innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Mataku basah.
Siapakah Bang As? Bang As adalah panggilan akrab Asmara Nababan, yang diberikan oleh pekerja-pekerja HAM usia muda —seperti Roichatul Aswidah, Atikah Nur’aini, Sriyana, Roni Giandono, Anton Pradjasto—yang berkhidmat di Komnas HAM antara tahun 1993-2002. Aku mengenalnya sebagai sejawat dan sahabat sepanjang masa, termasuk pada masa kami berkhidmat di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, antara tahun1993 sampai ke tahun 2002. Terhanyut dalam pergaulanku dengan para staf Komnas HAM yang biasa ceria itu, aku ikut-ikutan memanggil dia Bang As, walau semula aku memanggil dia dengan sapaan formal Pak Asmara, seperti dia selalu memanggilku dengan sapaan Pak Tandyo.
Bang As lahir sebagai anak bungsu di Siborong-borong Tapa nuli Utara, pada tanggal 2 September 1946. Setamat studinya dalam ilmu hukum, dia terjun ke dalam berbagai kegiatan yang mentahbiskan dirinya sebagai aktivis hak-hak asasi manusia. Aku mengenal Bang As pertama kalinya ketika pada 1993, ketika sama-sama menerima tawaran Pak Ali Said untuk menjadi anggota Komnas HAM Indonesia.
Di pandangan mataku, Bang As adalah sosok yang tampan, yang wajah dan perawakannya mengecoh usianya yang sudah mencapai 47 tahun waktu itu. Nama ‘Asmara’ yang berkesan feminin telah melekat sepanjang umurnya, pun mengecoh segala sepak terjangnya yang tak sefeminin namanya. (Pernah dia bilang padaku, dia sendiri tak pernah tahu alasan apa yang membuat orangtuanya memberi nama ‘Asmara’ kepadanya)
Beraktivitas semula di Yayasan Komunikasi Masyarakat (Yako ma), dia adalah satu-satunya anggota Komnas HAM angkatan 1993-1998 yang berasal dari NGO. Sepanjang perkenalanku dengan Bang As, sejak dia menjadi anggota biasa di Komnas HAM sampai saatnya dia menjadi Sekretaris Jenderal Komisi Nasional ini, aku terkesan dengan kepribadian dan ulah lakunya yang serba informal, terbuka dan populis, jauh dari watak elitis dan birokratik. Ini kepribadian yang aku suka, karena bisa selalu beriring jalan dalam setiap aktivitas kerja.
Dia seorang nasionalis, lebih dari itu dia seorang humanis dan populis. Dalam banyak dialog dan debat, tatkala suatu kebijakan dan sebuah sebuah keputusan harus diambil oleh sidang pleno, aku hampir selalu bisa menerima argumen Bang As dan bersedia mendukungnya. Ketika ada silang pendapat, aku (hampir) selalu berpihak kepadanya.
Aku banyak sependapat dengan dia. Misalnya, menjelang dibentuknya “Komnas baru” menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (menggantikan dasar hukum Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993), terjadi silang pendapat tentang apakah Sekretariat Komnas HAM yang baru itu harus dipegang PNS karier yang ditunjuk dan diangkat pemerintah, atau dipegang salah satu anggota Komnas yang dipilih oleh sidang pleno. Perbedaan pendapat ini merefleksikan kebijakan perkembangan Komnas di masa depan: apakah Komnas akan tetap bisa menjaga independensinya dari intervensi kebijakan pemerintah yang akan membirokratisasikan Komnas, ataukah tidak.
Mengapa silang selisih pendapat itu harus dianggap serius? Apa pasalnya?
Setelah ketua, sekretaris jenderal Komnas sebenarnya meme gang peran penting dalam upaya menjaga independensi Komnas HAM dari kebijakan pemerintah, yang dalam banyak peristiwa acapkali dituduh sebagai state actor yang melanggar HAM. Sekretaris Jenderal dalam tubuh Komnas HAM tak hanya diharapkan kemampuannnya secara teknis sebatas membukukan dan mempertanggjungjawabkan keluar-masuknya dana. Lebih dari itu, seorang Sekretaris Jenderal diharapkan peka secara politik dalam persoalan budgeting.
Keluasan pemahaman dalam persoalan anggaran ini akan sangat menentukan keleluasaan Komnas HAM membuat rencana kerja yang tak terlalu dikontrol oleh kebijakan eksekutif atau legislatif melalui “permainan” anggaran. Dalam persoalan keleluasaan perencanaan dan mencari sumber pendanaan inilah Komisi Nasional —apabila menempatkan diri sebagai mekanisme HAM nasional yang bisa bekerjasama erat dengan International Commission of Human Rights berikut mekanisme HAM internasionalnya—akan dapat lebih leluasa pula melaksanakan fungsinya.
Maka, perselisihan paham menyusul perdebatan pada waktu itu pada dasarnya mencerminkan perdebatan antara kelompok nasionalis yang etatis, sekaligus legal-formalis dengan kelompok humanis-populis yang nasionalis.
Sejak tahun 2002 Sekretaris Jenderal Komnas HAM dipegang seorang pegawai tinggi yang cakap memperlancar arus masuk-keluarnya dana yang berlebih dibanding masa-masa sebelumnya. Namun banyak orang tahu, bahwa pada banyak kasus, prakarsa inovatif Komnas HAM dalam perencanaan dan pelaksanaan implementasinya, sedikit banyak telah diperlambat.
Menolak Lanjut
Ketika diputuskan pemilihan anggota baru menggantikan anggota lama—sesuai UU No. 39 Tahun 1999—dengan catatan anggota lama bisa diangkat kembali tetapi diharuskan melamar dan ikut seleksi, Bang As menolak mendaftarkan diri.
“Saya nggak mau. Ini kan melamar untuk jabatan periode ketiga. Dulu saya menentang Pak Harto yang mencari jabatan ketiga, kok sekarang saya melakukan perbuatan yang dulu kutentang,” begitu jawabnya.
Dalam hal itu aku setuju dengan dia. Aku pun tak berniat melamar jabatan ketiga. Kami berdua tak ikut melamar karena sama-sama takut. Hanya saja, kalau Bang As takut terpilih, aku justru takut tak terpilih. Kalau sampai tak terpilih, apakah itu berarti aku selama ini sebenarnya tak qualified sebagai anggota Komnas HAM? Lalu, apakah prestasiku di Komnas selama hampir 10 tahun itu harus dinilai sebagai hasil kerja orang yang tak qualified?
Alkisah, seakrab apapun aku ini dengan Bang As sepanjang tahun-tahun 1993-2002, toh ada satu hal yang aku tak suka padanya. Selalu, dalam setiap kesempatan, aku selalu menghindar kalau dia mencoba mendekat dan duduk di sampingku. Bukan karena aku tak menyukai isi pembicaraannya, tetapi karena satu alasan saja: rokok!
Bang As ini perokok berat; tidak kurang dari 4 pak sehari. Tiada waktu berlalu tanpa asap rokok. Begitu rokok disulut dan asap mulai mengepul dari mulutnya, aku mulai tersedak dan terbatuk-batuk. Mula-mula aku menyatakan ketidaksukaannku ini karena alasan kenyamanan diriku, tetapi lama- kelamaan aku mulai mengingatkan dia untuk alasan yang lebih altruistik; yaitu kesehatan dia. Dia seperti tak mengacuhkan apa yang kukatakan berkali-kali padanya. Seperti tahu diri, setiap kali mau merokok, dia selalu menjauh dariku.
Sampai …..
Sampai pada suatu hari dia khusus bilang kepadaku, “Pak Tandyo, aku sudah berhenti merokok. Kasih ucapan selamat, dong”.
“Enggak”, tukasku, “Nanti aja kalau sudah genap setahun benar-benar berhenti merokok, nanti kuberi ucapan selamat.” Syahdan genap setahun kemudian Bang As menemuiku lagi, seraya ketawa dia bilang, “Ini, sudah setahun aku tak merokok. Ada ucapan selamat?”
Seperti kena tagih, aku menjawab, “Iya dong. Selamat, ya”
Kujabat tangannya. Kami tertawa berdua.
Kejadian ini mungkin akan lewat begitu saja dari hidupku sebagai pengalaman tak berarti, sampai saat aku mendengar kabar sakitnya; sesuatu bersarang di parunya. Aku jadi selalu mengingat kesediaan Bang As menghentikan rokoknya dan menagih ucapan selamat dariku.
Tak Berhenti
Sama-sama berada di luar keanggotaan Komnas HAM, tidak berarti kami absen dari kegiatan yang terkait hak-hak konstitusional rakyat, isu-isu kemanusiaan dan hak asasi manusia, serta isu demokrasi. Sekali-dua kali aku masih diikutsertakan dalam kegiatan Komnas HAM, dan bertemu teman-teman lama, baik yang duduk kembali sebagai komisioner maupun yang anggota staf yang mulai di”PNS”kan. Tapi aku tak pernah menemui Bang As di sana.
Aku baru ketemu Bang As lagi ketika dua-tiga kali diundang ikut dalam kegiatan ‘Demos’, sebuah LSM yang dibidani Bang As. Juga ketika Bang As diminta menjadi ketua sementara KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi). Aku adalah anggota KID sejak awal. Aku juga membaca berita dari kawan, Bang As juga menggantikan Gung Tri di Elsam ketika Gung Tri ikut sebagai calon legislatif Pemilu 2009. Tampaknya tiada waktu yang dibiarkan berlalu begitu saja oleh Bang As.
Setelah agak lama tak bertemu, aku mendengar kabar Bang As sakit. Bu Magda mengabarkan sendiri kepadaku waktu bertemu di ruang kuliah program magister ilmu hukum Universitas Dipo negoro. Bu Magda kuliah di situ, dan aku memberi kuliah di situ. Pada pertemuan kuliah berikutnya, Bu Magda minta izin tak masuk karena … Maka tahulah aku bahwa Bang As menderita sakit yang agak serius.
Aku menyesal tidak segera ke Jakarta menjenguknya, sampai suatu saat aku mendengar kabar bahwa sakitnya itu telah membawa Bang As berobat ke Singapura dan ke Ghuangzhou. Benar-benar aku menyesal tak menjenguk dia tatkala sakit. Tetapi mungkin itulah yang terbaik.
Dalam kenangan, aku tak pernah melihat bayangan Bang As dalam keadaan sakit. Dalam kenangan, Bang As yang aku kenal, sehat walafiat dengan tawanya yang lepas ketika kuberi ucapan selamat setahun tak merokok.
Sampai jumpa, Bang!
Benar-Benar Dia Membantu Kami
Ade Rostina Sitompul
Saya mengenal Asmara pada pertengahan tahun 1980-an, ketika saya bekerja di Yayasan Hidup Baru. Bersama Jopie Lasut, kami mengurus narapidana politik di seluruh Indonesia. Waktu itu saya sering diundang ke pertemuan Yakoma dan bertemu Asmara di situ. Perjumpaan demi perjumpaan dalam berbagai pertemuan atau acara Natal bersama narapidana politik, semakin mendekatkan kami.
Namun ada satu peristiwa yang kemudian membuat kami menjadi lebih kenal, yaitu Peristiwa Santa Cruz, tanggal 12 November 1991. Setelah peristiwa yang menggegerkan dunia internasional itu terjadi aksi unjuk rasa mahasiswa Timor Timur di Jakarta dan di seluruh Indonesia. Di Jakarta, unjuk rasa itu berlangsung di depan Kedutaan Jepang dan Kantor PBB.
Waktu kami mengadakan perayaan Natal di Sekolah Tinggi Teologia, Jakarta, Asmara datang bersama Pendeta Sumurung Samosir. Saat itu saya sudah mendengar bahwa setelah kejadian di depan Bundaran Hotel Indonesia itu, gerak-gerik saya sudah dipantau aparat. Karena itulah saya kemudian meminta Pendeta Betan untuk berkhotbah atau memimpin ibadah. Beliau itu adalah pendeta tentara dari Nusa Tenggara Timur.
Waktu itu kawan-kawan panitia memberitahu saya bahwa di luar ada orang yang terus bertanya tentang saya. Lalu saya berbisik kepada Pendeta Betan, meminta dia mengatakan ketika khotbah, bahwa ini ibadah Natal, tolong intel jangan mengganggu. Kami memang tidak diganggu waktu itu, tetapi kemudian Yayasan Hidup Baru yang diganggu. Mereka terus mencari saya, sementara Jopie
Lasut sedang berada di Belanda.
Saya mengeluhkan keadaan itu kepada Pendeta Arie Brouwer.
Dia mengatakan, “Sudah, ke luar saja dari Yayasan Hidup Baru.
Saya tidak mau kamu di situ terus,” katanya.
Lalu bagaimana dengan narapidana politik yang kami layani? “Saya akan bicara dengan PGI,” ucapnya.
Beliau lalu bicara dengan PGI. Maksudnya supaya saya ditarik PGI untuk mengurusi narapidana politik. Di PGI sudah tidak ada lagi program itu. Sebelumnya ada Badan Koordinasi Pembukaan Hidup Baru (BKPHB) Dewan Gereja-gereja di Indonesia, tetapi sudah berhenti. Program itu lalu dihidupkan lagi pada 1992. Saya dan Asmara ditarik ke situ.
Nama lembaganya menjadi Kelompok Kerja Pelayanan Lem baga Permasyarakatan (Pokja PLP) Persekutuan Gereja gereja di Indonesia (PGI). Selain saya dan Asmara Nababan, yang dilibatkan termasuk FW Raintung, Gustaf Dupe, Sutomo, Karel Erari, Deetje Tiwa, dan Luhut Pangaribuan. Kantor kami berada di seberang PGI. Pokja ini di bawah naungan Jaringan Kerja-Lembaga Pelayanan Kristen atau JK-LPK. Bidang kerjanya adalah pelayanan narapidana politik; bukan pelayanan rohani, tapi pelayanan kemanusiaan, tanpa membedakan kasus dan agamanya.
Kerja kami mengupayakan beasiswa untuk anak-anak nara pidana. Untuk narapidana sendiri, kami mengusahakan makanan sehat. Kami menyumbang kacang hijau dan gula ke rumah sakit di Cipinang, tentu itu bukan hanya untuk narapidana politik karena di rumah sakit itu orangnya campur. Kami memberikan tabung oksigen juga. Untuk menyalurkan bantuan, saya mendatangi penjara Nusakambangan, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan awa Timur.
Sepengetahuan saya, setelah selesai urusan narapidana ‘65, PGI tidak pernah lagi melakukan pelayanan rohani di penjara. Jadi ini menjadi titik awal lagi bagi PGI untuk melakukan pelayanan untuk narapidana politik. Posisi saya di Pokja PLP adalah koordinator program. Asmara menjadi bos saya. Jabatannya adalah sebagai Ketua Pelayanan PLP. Kami satu ruangan, sehingga banyak cerita lucu. Kami juga banyak bercanda. Kalau marah tak lebih dari lima menit. Dia sangat baik dan penuh perhatian.
Waktu itu uang transport saya kecil sekali. Mungkin karena rumah saya dekat dengan PGI. Asmara membuat rapat, supaya uang transport saya naik. Berhasil, uang transpor saya ditambah.
Saya juga ingat, suatu waktu sepulang saya dari Belanda, saya memeriksa keuangan kami, dan menemukan, ada uang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan seorang staf. Tidak besar sih jumlahnya. Tapi itu tanggungjawab saya, dan harus saya laporkan ke PGI. Saya membicarakan hal ini dengan Asmara.
Jawaban Asmara waktu itu, kira-kira, “Kau jangan tanya dia di depan orang banyak. Kau panggil bicara berdua di ruangan. Kau jangan menuduh dulu. Kau tanya, apa anak ini punya kesulitan. Biarkan dia cerita terus terang. Kau jangan marah. Kalau sudah cerita jangan kau laporkan ke PGI supaya dia tidak dikeluarkan.”
Anak itu mengaku. Uangnya untuk bayar kuliah. Lalu saya ceritakan hal itu kepada Asmara.
“Ya sudah. Apalagi untuk bayar kuliah,” katanya.
Kebebasan
Sebagai atasan, Asmara memberi saya kebebasan, tetapi harus bilang terus terang sebelumnya agar kalau ada apa-apa dia tahu. Program kami bisa berbelok, tergantung situasi. Di bawah panji layanan penjara itulah saya bebas berkomunikasi dengan narapidana politik. Kerjasama dengan Jopie Lasut berlanjut. Kami terus melayani narapidana politik, terutama dari Timor-Timur.
Di PGI itu saya memberi laporan sebulan sekali kepada Asmara. Kalau menerima laporan saya gaya Asmara lucu. “Apa ini?” Saya bilang, laporan keuangan.
“Kau kasih aku pekerjaan tambahan ya. Aku ini lagi sibuk. Ini kau periksalah. Kau langsung saja lapor ke PGI.”
Menurut saya, Asmara sangat memperhatikan aktivis muda. Dalam rapat, dengan sabar ia mendengarkan mereka satu persatu, sampai selesai. Kadang-kadang kan ada senior yang kalau didebat marah. Asmara tidak. Dia sangat demokratis. Dia selalu minta pendapat kami .
Setelah Asmara masuk Komnas HAM pada 1993, Pokja PLP mati. Tidak banyak lagi orang yang datang. Tadinya kan orang seperti Gus Dur dan Aritides Katoppo sering berkumpul di Salemba. Orang datang dari mana-mana, juga dari daerah.
Kira-kira sebulan setelah dia di Komnas HAM, saya tanya sama dia. “Gimana sih ini?”
“Kenapa?”
“Ini kok kantor seperti mati. Bang As-nya saja tidak datang lagi.”
“Kau jangan bikin aku lemah….aku jadi ingin kembali balik lagi,” katanya.
Saya bilang, begitulah kenyataannya.
Dia itu orang yang fair. Ketika akan masuk Komnas HAM dia kumpulkan teman-teman. Dia tanya satu per satu, setuju atau tidak. Ketika itu saya setuju. Dia tanya kenapa saya setuju. Saya bilang, selama ini kita hanya di luar. Kita tidak tahu isi Komnas HAM seperti apa. Kita kan hanya dengar cerita-cerita burungnya. Sekarang kalau Anda di dalam kita akan bisa dengar sendiri. Tapi dengan satu catatan: Anda di Komnas untuk mewakili kami.
“Ya, kalau itu aku janji dan kalian harus percaya itu,” katanya. Memang kami menjadi bisa mendapat banyak informasi ketika dia di Komnas HAM. Dia benar-benar membantu kami.
Pada 1994 kami kembali bersentuhan saat di ELSAM. Di sana ada divisi yang namanya Komite Bersama untuk Masyarakat Timor-Timur. PGI, KWI, dan ELSAM tergabung di situ. Sekretariatnya di Elsam. Wilayah kerjanya advokasi. Jadi ada pengacaranya. Saya bagian bantuan kemanusiaannya; yang wilayah kerjanya antara lain, mengurus beasiswa. Saya mengurusi mereka yang beasiswanya dihentikan karena dianggap mendukung kemerdekaan. Saya juga mengurusi narapidana politik di Timtim. Jadi saya mondar-mandir ke Timtim.
Saya dekat sekali dengan Asmara waktu itu. Saya itu ‘bandel’. Untung dia tidak pernah marah ke saya. Kalaupun marah, cuma sebentar. Misalnya, kalau ada anak Timtim atau mahasiswa Timtim yang dikejar dan melarikan diri, bagaimanapun saya harus menyediakan uang untuk transport mereka. Selama bersembunyi mereka juga harus makan. Saya berpikir tidak ada di program Komite Bersama untuk mengurus hal seperti itu. Terus bagaimana?
Saya tidak sampai hati. Saya keluarkan saja uang untuk mereka.
Pernah sampai 10 orang yang bersembunyi.
Lalu saya katakan ke Asmara. “Bang As, aku mengeluarkan uang untuk ini-ini. Nanti aku bilang ya ke Hakim (Abdul Hakim Garuda Nusantara), Abang yang ambil uangnya….”
Terus dia bilang, “Kau enak saja ya jual-jual nama aku.” “Ya, habis bagaimana lagi dong. Kan aku tidak sampai hati.” “Ya, sudah…bilang sama Hakim, aku yang nanti mengambil.” Waktu laporan keuangan, Hakim bertanya, “Bu Ade ini uang untuk apa?”
“Tidak tahu Asmara yang ngambil,” itu jawab saya.
“Untuk apa? Bu Ade tidak tanya?”
“Tidak,” jawab saya.
Hakim diam. Dia paling segan sama Asmara. Bukan hanya sekali itu saya jual nama Asmara. Berkali-kali. Tapi dia tidak pernah marah karena tahu tujuan saya baik.
Teluk Gong
Ada satu pengalaman lucu. Waktu itu saya membantu seorang pastor Institut Sosial Jakarta. Namanya Romo Sudrianta. Dengan lembaganya Azas Tigor Nainggolan, FAKTA, kami mendampingi beberapa ribu keluarga yang tanahnya akan digusur. Lokasi tanah di Teluk Gong, persisnya di jalan bandara sebelah kiri. Kami mengurusi selama 1,5 tahun. Sering pulang malam karena berkali-kali terjadi pembakaran, dan berkali-kali pula warga membangun lagi.
Asmara masih di Komnas HAM waktu itu. Jadi saya selalu pergi ke kantor Komnas HAM. Saya salut pada komitmen Asmara untuk memperjuangkan atau membantu teman. Saya cerita ke dia apa yang terjadi. Dia datang ke lokasi. Eh, akhirnya kami diundang ke Komnas HAM.
“Apa program kalian selanjutnya,” tanya dia.
Ya, kami minta kasus ini diblow-up oleh Komnas HAM. “Kenapa?”
“Karena tampaknya rumah-rumah ini akan digusur, lahannya akan dijadikan apartemen,” jawab saya.
Di ujung rumah penduduk waktu itu sudah berdiri rumah bertingkat yang mengambil areal sungai. Alasannya banjir, padahal pembangunan rumah itu yang membuat banjir. Akhirnya Asmara mengundang kami semua termasuk LSM-LSM lain. Dia minta masukan. Keputusannya, kami minta bertemu gubernur.
Asmara lalu melobi gubernur, sampai kami bisa diterima di kantor gubernur. Sebelumnya, waktu terjadi gusur paksa, ada seorang warga tertembak. Kena peluru karet. Kami bawa dia ke rumah sakit Pluit untuk dironsen. Hasil ronsen itu kami bawa serta.
Gubernur Sutiyoso bicaranya baik, tapi muluk-muluk. “Setuju damailah,” katanya. Padahal sebelumnya, waktu bertemu Zoemroe tin dan Wardah Hafidz, dia sampai menggebrak-gebrak meja. “Saya tidak mau lagi menerima aktivis LSM,” katanya. Tapi kami diterima dengan baik. Waktu itu juga ada Ibu Saparinah Sadli. Memang Sutiyoso kemudian ingkar janji. Moratorium 100 hari. Ternyata baru 30 hari sudah dibongkar. Tapi kami tidak meninggalkan warga Teluk Gong. Saya dan Tigor mengatur strategi lagi untuk meminta bantuan Asmara.
Waktu itu sudah diputuskan, warga dievakuasi ke kantor Komnas HAM. Rupanya rencana itu terdengar oleh pihak Komnas HAM. Ketika warga datang, sekitar pukul tujuh malam, pintu gerbang Komnas dikunci dan digembok. Lampu dimatikan semua. Satpamnya tidak ada. Yang ada cuma polisi. Saya minta polisi membuka gerbang. Polisi mengatakan itu urusan Komnas HAM, bukan urusan mereka. Kami berusaha menelepon sekuriti di dalam tapi tidak diangkat. Tigor minta saya menelepon Asmara.
“Kok saya yang telepon?”
“Kalau Bu Ade yang telepon dia pasti percaya. Katakan saja kalau tidak dibuka warga Teluk Gong akan marah. Mereka sudah bawa gergaji besi segala.”
“Jadi kau suruh saya bohong?”
“Ya, berbohong demi kebaikan.”
Saya lalu menelepon Asmara.
“Nanti aku telepon,” jawabnya dari seberang.
Saya belum bilang soal gergaji itu.
Terus dia telepon. “Besok aja, siang, kita bicara,” katanya. Saya bilang, “Bang As, aku tidak menjamin.” “Kenapa?”
“Mereka sudah bawa gergaji besi.” “Mau apa?”
Gemboknya itu mau digergaji.
“Itu kriminal, tindak pidana!”
“Ya, rakyat bawah. Mana mengerti tindak pidana.” “Tunggu dulu. Kau hambat dulu.”
Saya bilang, “ya, akan saya hambat.” Padahal saya tidak me nyampaikannya sama warga. Kami bertiga saja—saya, Romo Sudri, dan Tigor, di warung Indomi di depan Komnas HAM itu.
Agak lama dia baru telepon.
“Aku sudah sampaikan. Sebentar lagi dibuka oleh sekuriti,” ujarnya.
Benar dibuka. Semua warga masuk. Masuk warga semua.
Ada yang tidur di dalam ruangan. Ada yang di tempat melapor.
Sebagian di teras.
Besok paginya Asmara bilang, “Kau aturlah mereka. Jangan di tempat melapor. Kalau orang-orang datang mau melapor, bagaimana? ”
Komnas HAM waktu itu belum seperti sekarang. Tempat melapor masih di depan, di lantai bawah. Masih di lantai bawah, di depan. Tidak lama Asmara telepon lagi.
“Suruh mereka membersihkan lantai segala dan toiletnya. Kan kami juga di situ.”
Saya lalu bicara dengan para ibu. Saya membelikan pembersih lantai. Warga ini mau diatur.
Di situ Asmara benar-benar bijak. Dia tidak mengusir orang-orang itu, termasuk ketika ada banyak protes dari Komnas Perempuan. Katanya, di situ jadi kotor, bau. Warga kan bawa anak-anak kecil.
Asmara telepon saya. “Kau uruslah mereka baik-baik,” katanya.
Saya salut pada Asmara.
Terakhir kami berhasil mengembalikan warga. Saya melobi ke sana ke mari. Sampai sekarang ada yang masih bertahan di Teluk Gong. Ada yang tinggal di apartemennya Budha Suci di Tangerang. Sebagian pindah ke tempat lain
Saya mengenang seluruh kebaikan Asmara melalui berbagai peristiwa, khususnya peristiwa itu.
Asmara, Sahabatku
Zoemrotin K.S.
Bersama Magdalena, Ta Phrom-Siem Reap, 2009.
Saya mulai mengenal Asmara pada 1987 dalam forum Inter-NGO Conference on IGGI Matters (INGI) yang kemudian menjadi INFID (International NGO for Indonesia Development) Dari situ interaksi berjalan terus. Waktu itu sebenarnya saya masih aktif di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Entah kenapa, setiap kali anaknya mau mendaftar untuk dapat beasiswa,
Asmara selalu meminta rekomendasi untuk anaknya.
Saya memberikan rekomendasi pada dua anaknya, dan kebetulan mereka bisa mendapat beasiswa untuk sekolah di luar negeri.
Hubungan kami semakin intens pada tahun ‘90-an, ketika Asmara menjadi Sekretaris Jendral (Sesjen) INFID dan saya menjadi Ketua INFID. Kami bekerja bersama menjalankan dan mengelola organisasi, selain juga untuk lobi-lobi internasional. Beberapa kali juga saya bekerja dengan Asmara di forum lain. Meskipun saya belum duduk di Komnas HAM waktu itu—dan saya bukan ahli hukum—tetapi setiap kali dia membuat tim penyelidikan pro-justisia, dia selalu melibatkan saya.
Pernah suatu saat, ada teman wartawan bertanya, “Kan dia bukan sarjana hukum kok dilibatkan.”
Saya jadi merasa dilecehkan. Kepada Asmara saya bilang, “Saya bukan sarjana hukum. Kalau kamu masukkan ke tim saya cuma akan dilecehkan orang. Mengapa kamu memilih saya?”
Jawabannya kira-kira begini, “Ada hal lain yang saya butuhkan dari Mbak Zoem saat investigasi. Mbak Zoem menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi waktu memeriksa orang. Nah, itu kelebihan Mbak yang tidak kami miliki. Coba lihat waktu Mbak
Zoem sama Munir memeriksa Eurico Gueterres. Munir memang keras, seperti interogator. Tetapi rupanya karakter itu kurang pas. Sampai malam Eurico tidak mau makan, tidak mau bicara, sampai akhirnya Munir ke luar. Sesudah itu kan bagian Mbak Zoem, dan berhasil.”
Saya ingat, saat memeriksa Eurico itu saya bilang, “Waktu anda masih kecil kakek anda kan pejuang. Orang tua anda juga pejuang…”
Dia tergugah.
Lalu saya katakan, “Saya membutuhkan keterangan Anda.” Eurico akhirnya dia berbicara.
Asmara mengingatkan saya pada kekuatan yang saya miliki, membuat saya tidak perlu merasa minder. Itulah kelebihan Asmara. Saya menjadi percaya diri karena cara-cara Asmara.
Kedekatan dengan Asmara, dilandasi oleh kesamaan ideologi. Kami demokratis dan tidak takut terhadap penguasa, khususnya di tahun-tahun yang penuh tekanan. Kondisi saat itu membuat orang sulit berbicara tentang ketidakadilan, jadi terasa seperti dibungkam. Kesamaan kami lainnya adalah ketegasan. Asmara adalah sosok yang sangat tegas, apalagi kalau menyangkut prinsip. Saya juga demikian. Saat itu YLKI diperhitungkan karena ketegasan-kete gasan semacam itu. Kami juga sama-sama punya integritas.
Kesamaan-kesamaan itu yang terus mendekatkan kami, bahkan sampai di KontraS sekarang. Sebagai sesama pengurus, kami sangat kompak. Kita sudah sama-sama tua waktu ikut mengelola organisasi ini. Asmara tak suka membanding-bandingkan seperti umumnya terjadi pada pengurus senior.
Asmara selalu bilang, “Ah, sudah capeklah kita berorganisasi. Adik-adik kita ini yang harus kita antar.”
Kedekatan saya dengan Asmara sampai ke ranah pemikiran. Dari dia saya belajar mengelola kegelisahan agar menjadi energi untuk mendorong orang muda. Kita punya cara yang sama, yaitu selalu mendorong dan berada di belakang untuk memperkuat anak-anak, dan memberi apresiasi kepada mereka. Kalau mereka salah melakukan sesuatu, kita tidak pernah mengecam. “Salah adalah proses belajar.” Itu yang selalu dikatakan Asmara. “Proses belajar… besok pasti lebih baik, meski pun kalau salah terus, ya keledai kan.”
Kami berdua punya cara yang sama dalam membesarkan organisasi, dan dalam bergaul dengan anak-anak muda. Anak-anak KontraS itu seusia anak-anak kami. Usman Hamid (Koordinator KontraS) seusia anak bungsu saya. Kami masih selalu dibutuhkan oleh mereka. Asmara punya karakter, dan itu sangat dihargai anak-anak.
Pasca-Orde Baru
Asmara juga yang mendorong saya masuk Komnas HAM. Sekali lagi, saya bilang, saya tidak punya latar belakang hukum atau pun hak asasi manusia. Tapi kemudian dia mengingatkan saya, bahwa hak asasi manusia tak hanya hak sipil politik. Latar belakang saya di YLKI adalah hak ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya).
“Hak ekosob itu harus terus diperjuangkan, Mbak. Di tataran global sekarang hak ecosob ini mendapat banyak perhatian karena begitu banyak terjadi pelanggaran. Mbak Zoem nanti mengurusi soal ini,” kata dia.
Saya menjadi komisioner Komnas HAM para periode 2002 sampai 2007, setelah periode Asmara berakhir pada September 2002.
Asmara terus mendorong saya, karena mungkin merasa sangat mengenal saya dan mempercayai integritas saya setelah bertahun-tahun bekerja bersama. Ketika pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM, Asmara mendorong saya agar menjadi wakil ketua, mendampingi Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Pernah suatu hari saya mengeluh padanya tentang kawan lama nya, yang juga kawan lama saya. “Aduh dia jalannya sudah lain. Jalannya sudah lain, Mbak Zoem. Sudah susah mendengarkan dia,” begitu jawabnya.
Kami juga semakin sering berdiskusi tentang demokrasi, yang menjadi mimpi Asmara sejak lama. Diskusi tentang demokrasi sebenarnya sudah dilakukan secara terbatas pada waktu Orde Baru berkuasa. Karena masih di bawah tekanan, kalau INFID mau mengadakan pertemuan, undangannya tiga, dengan alamat pertemuan yang berbeda-beda supaya susah dilacak. Misalnya, dalam undangan ditulis di Puncak, padahal pertemuannya di Sukabumi. Kami mengalami kelelahan-kelelahan yang luar biasa menghadapi tekanan seperti itu dan bermimpi untuk segera terbebas dari situasi itu.
Asmara meyakini demokrasi akan mengubah kondisi ini, meski tak pernah terbayangkan bahwa demokrasi yang terjadi selama bertahun-tahun kemudian masih dipahami sebatas suara mayoritas. Demokrasi jenis itu lebih berkutat di ranah prosedural, belum menyentuh substansinya, sehingga tekanan terhadap suatu kelom pok dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi.
Berakhirnya Orde Baru, ternyata meninggalkan banyak masalah. Kelihatannya bebas tapi kesejahteraan rakyat tidak membaik. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terus dilanggar. Kita lihat, di antaranya, tenaga kerja kita di luar negeri hanya dijadikan seperti mesin devisa, tanpa perlindungan yang memadai. Banyak sekali pelanggaran, bahkan kematian buruh migran, dan kasus-kasusnya jarang berakhir dengan tuntas. Juga banyak terjadi perebutan tanah yang melibatkan militer, sehingga represi terus berlangsung.
Semua hal itu terungkap dalam era kebebasan informasi, suatu kondisi yang membedakan pasca-Orde Baru dengan rezim sebelumnya. Di masa lalu, informasi tentang berbagai hal sulit didapatkan. Kita tidak tahu banyak hal tentang pembantaian di Santa Cruz, Timor Timur, sampai melihat filmnya saja kita harus menonton di Jepang. Pada masa Orde Baru semua terbuka. Misal nya di Medan, kita tahu apa yang terjadi dengan teroris yang ditangkap.
Tetap Bersahaja
Asmara tidak pernah berubah cara dan gaya hidupnya. Ia tetap pribadi yang bersahaja. Saya pernah ke rumahnya yang sederhana, dan menungguinya makan siang. Semua serba seadanya. Ulang tahun ia rayakan sering dengan membagi nasi bungkus. Ia tak pernah menghamburkan uang untuk keperluan pribadi. Gaya hidup mewah bukanlah karakternya.
Kalau pergi ke luar negeri, ia tetap menyandang tas kain yang butut itu sampai saya sering bilang, “As… , mbok ganti, tas itu udah bau…” Dia hanya tertawa.
Sejak anak-anaknya masih kecil, Asmara tak pernah membe likan oleh-oleh apa pun kalau pergi ke luar negeri. Warisan yang ia tinggalkan buat anak-anaknya bukan harta atau materi, tetapi pendidikan dan kemampuan untuk hidup baik dan melihat berba gai persoalan secara kritis. Melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari, dia mewariskan nilai-nilai yang ia kukuhi kepada anak-anaknya.
Saya yakin, konsistensi Asmara dalam menjalani hidupnya itu ditopang oleh dukungan yang kuat dari keluarganya. Suatu saat saya pernah bilang sama dia, “As, kamu itu orang yang paling berbahagia karena istri dan anak-anakmu hebat . Mereka tidak pernah menuntut apa-apa darimu,” kata saya. Ia menjawabnya dengan senyum.
Hidupnya sangat hemat dan hati-hati. Sepanjang pertemanan kami, saya menengarai, betapa kuatnya ia memegang prinsipnya, terutama dalam soal uang. Jangan harap bisa menyogoknya, meski pun dalam bentuk yang sangat halus, seperti membayari hotel. Bagi saya, prinsip yang kuat dalam soal itu adalah ukuran integritas terpenting.
Maka, ketika Asmara didiskreditkan komisioner lain yang tidak seideologi dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan korupsi, saya tahu, ini adalah permainan. Sebagai Sesjen Komnas HAM waktu itu (saya pernah menjabat Sesjen Komnas HAM selama tiga bulan, menggantikan Asmara), saya langsung ke Polda, dan meminta agar hasil audit keuangan Komnas HAM dari auditor yang ditunjuk itu diperiksa ulang, apakah sudah benar-benar valid.
Kapolda Makbul Padmanegara bersedia memeriksa kembali hasil audit itu, dan menyarankan agar saya menunjuk auditor lain. Saya menolak dengan alasan netralitas.
Lalu Polda meminta BPKP untuk memeriksanya. Audit BPKP tidak menemukan kecurangan apa pun. As bersih. Saya lalu minta digelar sidang paripurna untuk mempertemukan dua auditor dengan argumennya masing-masing tentang hasil auditnya. Auditor pertama lalu meminta maaf pada Asmara. Buat As, semuanya menjadi jernih.
Sampai lama kemudian saya masih terus mengingat tentang kejadian itu dan membatin, “kok bisa ya ada orang yang begitu jahat sama As….”
Kalau banyak orang punya mimpi hidup enak di masa tua bersama keluarga, Asmara tidak demikian. Ia punya definisi tentang ‘hidup enak’ yang berbeda dari orang kebanyakan. ‘Hidup enak’ bagi dia adalah terus berkarya, terus memberi dorongan bagi yang muda untuk memberikan keyakinan bahwa demokrasi substansial bisa diwujudkan. Ia terus memegang keyakinan itu melalui berbagai survei rumit yang dilakukan Demos. Meski saya menganggapnya ia bermimpi, tetapi saya yakin, obsesi besar tentang demokrasi susbtansial itu yang membuatnya ia bertahan sampai di ujung kesakitannya, sebelum akhirnya ia menyerah.
Dua hari sebelum berangkat ke China, saya menjenguknya di RS Gading Pluit, Minggu sore. Dia kelihatan tegar, tetapi saya tahu ia sangat kesakitan. Saya ingin memangis, tetapi saya tidak mau dia melihat saya menangis. Waktu itu ada kebaktian dan saya tetap di situ. Saya berdoa apa saja yang saya harap bisa meringankan penderitaan Asmara dan untuk mengurangi rasa kepedihan di hari saya.
Saat itu, dia menatap saya terus. Tatapan yang sungguh tidak biasa. Saya tiba-tiba tersadar, waktu bersama kami sudah sangat terbatas.
Air matanya menetes. Saya memegang tangannya. Saya bilang, “As, kamu sembuh ya. Kita akan bersama-sama merayakan ulang tahunmu ke-65 di Jakarta.”
Saya terus memegangi tangannya, seperti tak ingin melepaskan.
Tangis saya pecah. Saya tahu, saya akan segera kehilangan dia.
Kepergian Asmara menyisakan rasa kehilangan yang sangat dalam. Memang masih ada beberapa orang yang seusia, tetapi mereka sibuk dengan urusannya sendiri. Mereka bukan orang-orang dengan ketahanan seperti Asmara.
Saya sadar saya tak akan bertemu dengan orang seperti dia lagi, seseorang yang terus konsisten dengan perjuangannya dan tetap bersahaja sampai di akhir hidupnya. Saya menyimpan banyak pengalaman tentang ketulusan-ketulusannya sebagai pribadi dan sebagai sahabat sejati.
Selamat jalan, As…
Asmara yang Saya Kenal
Eliakim Sitorus
Ketika Otto dari ELSAM menyampaikan pesan kepada saya, agar ikut ambil bagian berkontribusi menyumbangkan tulisan dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Asmara Nababan, saya bingung. Bingung tidak tahu harus menulis apa, dan bingung mau mulai dari mana. Lebih bingung lagi, tatkala Sdr. J. Anto meminta waktu bertemu saya di Medan, dia akan mewawancarai saya tentang hubungan pertemanan, hubungan kerja dan persahabatan dengan Asmara.
Ternyata Anto—seperti saya—mendapat tugas dari panitia penulisan buku untuk menuliskan cuplikan kisah hidup Asmara, yang saya ketahui. Kesempatan itu akhirnya tiba juga, Anto mewa wancarai saya seputar pengenalan saya atas Asmara, dan saya tidak beritahu dia, bahwa sesungguhnya saya juga akan menulis secuil riwayat perjumpaan saya dengan Asmara. Dalam kebingungan itu, maka tugas ini hampir lupa. Lalu, kemudian saya diingatkan oleh Sdr. Anton dari Demos. Maka jadilah tulisan ringkas ini.
Awal Perjumpaan
Paroh pertama tahun 80-an, tatkala saya masih mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara di Medan, saya mendengar ada sekelompok warga negara, yang kebetulan warga jemaat dan pekerja berbagai gereja di Sumatera Utara membentuk satu perkumpulan bernama Kelompok Studi dan Penyadaran Hukum, lazim disingkat KSPH. Permulaan 1984, saya berke sempatan berjumpa dengan orang-orang itu dalam sebuah pertemuan di Sondi Raya, Kabupaten Simalungun. KSPH menjadi salah satu tuan dan nyonya rumah penyelanggara Forum Refleksi dan Inspirasi (FRI), yang dilaksanakan oleh Yayasan Bimbingan dan Kesejahteraan Sosial (YBKS) dari Surakarta, Jawa Tengah.
Di situlah saya melihat seorang lelaki jangkung agak kurusan, rambut gondrong tanpa kumis, bercelana pendek, sepatu sandal merek Bata, jemari tangan selalu mengepit rokok Dji Sam Soe. Itulah Asmara Nababan yang bertugas sebagai Sekretaris Pelaksana KSPH, yang bersekretariat di Siborong-borong, Tapanuli Utara. Di situ juga saya bertemu George Junus Aditjondro yang hadir sebagai salah seorang narasumber. Pun Jhonny Simanjuntak SH, sebagai utusan YBKS Solo, yang saya jumpai pertama kali dalam kegiatan FRI. Para pengurus dan anggota KSPH yang hadir ketika itu antara lain Mochtar Pakpahan, Ned Riahman Purba, Pendeta Selamat Baru, Pendeta Sahat Rajagukguk, Bungaran Simanjuntak, Pendeta Adelbert Sitompul, Visman Hutajulu dan banyak lagi yang lain. Ada juga puteri Ambon yang tangguh Yohana “Jo” Pattiasina yang sudah aktif di Yayasan Bina Insani. Jo menikah dengan orang Batak dan tinggal di Simalungun. Bagi saya, mereka adalah orang-orang hebat.
Khusus untuk Asmara, saya sudah pernah membaca namanya di sebuah majalah anak-anak “Kawanku”, terbitan Jakarta. Tadinya saya duga itu nama samaran, ternyata bukan. Ada kawan yang menjelaskan, bahwa Asmara pindah dari Jakarta ke kampung halamannya di Tapanuli Utara, hanya untuk sementara, kelak dia akan kembali lagi ke Jakarta. Kepindahannya dari Jakarta ke kampung adalah dalam rangka menemani dan menjaga ibundanya yang sudah tua, sendirian, sepeninggal ayah Asmara.
Dari Tapanuli dia mengelola penerbitan majalahnya, selaku pemimpim umum, tentu bersama dengan rekan-rekannya di Jakarta, terutama Julius Siyaranamual, selaku pemimpin redaksi. Saat Asmara berada di Tapanuli Utara itulah dia bersama dengan teman-temannya membentuk KSPH. Oleh karena itu, ketika pertama kali bertemu Asmara, saya berfikir akan bisa bersahabat, sebab dia adalah seniman yang bisa menggeluti penulisan, pener bitan dan kesusasteraan atau kebudayaan.
Sesudah perjumpaan di Sondi Raya itu, saya intip kembali ruang kolom pengasuh majalah anak-anak Kawanku, guna memastikan, bahwa dialah orang yang pernah saya temui. (Kelak awal 1985, saya bertemu juga dengan pemimpin redaksi-nya, Julius Siyaranamual, ketika dia dari Jakarta ke Sumut, untuk program kerjasama mem buat slide show “Desa Sikeben”. Studi awal saya kerjakan bersama Erlina Ch Pardede, kemudian Julius menulis skripnya. Pemotretan digotongroyongkan antara Asmara dan Julius, tim kami dibantu Pendeta Borong Tarigan. Itulah karya perdana pembuatan media alternatif pembelajaran oleh KSPH/KSPPM).
Setelah itu, seolah terpikat dengan tujuan KSPH, saya pun men jadi sering ikut serial diskusi yang diselenggarakannya berpindah-pindah tempat dari Medan, Tanjungbalai, Pematang Siantar dan Siborong-borong. Saya juga ikut dalam sebuah Pelatihan Pokrol yang rutin dua kali setahun dilaksanakan oleh KSPH. Oleh karena saya masih mahasiswa, sering saya nebeng ke mobil para pengurus dan anggota KSPH yang berangkat dari Medan ke tempat di mana pertemuan dan kegiatan dilakukan, dan makan gratis, setelah membantu sebagai panitia pelaksana kegiatan.
Saya akhirnya bertemu dan bersahabat dengan sesama maha siswa yang ikut di KSPH seperti Jinner Sidauruk, Lesson Sihotang, Mangaliat Simarmata dan Diapari Marpaung. Mereka adalah mahasiswanya Mochtar Pakpahan di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan. Juga aktif di Unit Bantuan Hukum (UBH) universitas tersebut.
Sementara itu saya sudah aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Putera Puteri Pencinta Alam (PARINTAL), yang kami—mahasiswa FP USU angkatan 78—dirikan untuk menjadi wahana pengimplementasian hobi kami mencintai alam dan lingkungan hidup, karena kami merasa terkekang di organisasi mahasiswa pencinta alam di kampus, yang sangat dikungkung oleh pimpinan universitas ketika itu.
Pada awal-awal tahun itulah juga sudah ada kejasama antara PARINTAL FP USU dengan Bintarni (Yayasan Bina Taruna Tani, kelak berubah menjadi BITRA, pimpinan Ir. Haji Soekirman) dengan KSPH untuk meneliti kondisi dan keadaan kusuburan tanah di daerah trasmigrasi lokal Sioma-oma. Penduduk dari tepi Sungai Asahan dipindahkan ke sana, karena sawah mereka di tepi sungai ditimbuni pasir hasil pengerukan dari sungai, agar air sungai (yang sudah dikeruk) secara konstan masuk ke turbin PLTA Asahan – PT Indonesia Asahan Aluminium.
Mulai Januari 1985, saya diterima menjadi staf baru di KSPH, setelah selama tiga bulan, akhir Nopember 1984, saya melakukan studi banding tentang pemberdayaan masyarakat, tentang organisasi non-pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) ke Jakarta dan pulau Jawa segera sesudah saya menyelesaikan ujian akhir di kampus. Itulah pertama sekali saya mengunjungi Jakarta. Tiket pesawat Mandala Medan—Jakarta—Medan dan transportasi lokal disediakan oleh KSPH dan jaringannya.
Kesempatan jalan ke Jakarta dan Solo, Yogyakarta dan Surabaya itu saya manfaatkan untuk membangun jaringan dengan NGO lain yang sudah lebih dahulu eksis. Saya merupakan staf penuh waktu kedua di KSPH. Sebelumnya sudah ada staf bidang hukum Siner Situngkir, yang merangkap sebagai tenaga administrasi.
Saya dan Siner tinggal di kantor KSPH, yang popular disebut sebagai Sopo, dalam bahasa Batak Toba berarti rumah kecil di ladang atau sawah (dangau) tempat berteduh atau istirahat setelah lelah bekerja. Sopo juga berarti salah satu jenis rumah tradisional Batak, yang pada zaman dulu sering dipakai sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah oleh warga kampung guna membicarakan berbagai hal untuk kepentingan bersama. Makna diskusi dan mencari solusi bersama dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat itulah yang menginspirasi para tokoh pendiri KSPH menyebut sekretariat atau kantornya sebagai sopo, hingga sekarang.
Sopo atau kantor KSPH itu terletak di Jalan Sisingamangaraja No. 156 Siborong-borong Tapanuli Utara, sebuah rumah tua milik camat yang dikontrak secara periodik. Bagian depannya ber panggung dan di situlah kantor. Sedangkan bagian belakang tidak. Di sana ada kamar buat tempat saya dan staf lain menginap.
Saya dan Siner sempat bayar makan di rumah keluarga Asmara. Tetapi kemudian kami masak sendiri karena tidak tega isteri Asmara memasak makanan buat kami. Beliau sudah cukup sibuk untuk mengurus rumah tangganya. Kami pernah juga bayar makan di rumah Lumbantoruan, satu keluarga tetangga di Jalan Siswa Siborong-borong.
Gaji kami sebagai staf KSPH, selanjutnya KSPPM relatif kecil. Namun itupun sudah kami syukuri ketika itu. Semangat pengabdian membela dan melayani masyarakat desa, itulah yang menjadi penuntun kami bekerja. Itu jugalah yang membentuk sejarah hidup saya hingga hari ini. Petuah dan penguatan dari Asmara terutama dan juga dari pengurus lain membuat kami akhirnya betah bekerja di desa saat itu.
Di bawah pimpinan Asmara, KSPH yang sudah berubah menjadi Yayasan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), sejak 23 Februari 1985, saya membidangi pengembangan pertanian, sesuai dengan latar belakang pendidikan formal saya. Beberapa orang staf program dan pegawai administrasi kami rekrut kemudian.
Kenangan: Menanamkan Kesederhanaan.
Banyak kenangan manis dan pahit selama bersama-sama mengawali gerak KSPPM di Tapanuli Utara khusus dan Sumatera Utara umumnya. Setiap kali kami bepergian, baik ke kota atau ke desa-desa Asmaralah yang menyetir mobil pribadinya (sebab ketika itu Yayasan KSPPM belum memiliki mobil dinas atau kenderaan operasional), saya dan staf lain belum ada yang bisa menyetir. Mobil Falcon, milik keluarga Asmara menjadi satu tanda khusus di Tapanuli Utara akan kehadiran kami, pekerja sosial yang bernaung di bawah Yayasan KSPPM di satu tempat, waktu itu. Harap dicatat ketika itu belum demikian banyak Ornop di Sumut
Tidak berapa lama setelah saya bergabung dengan KSPPM, berkat hubungan baik antara Asmara dengan Pendeta Simorangkir di Tarutung, maka kami membeli sepeda motor bekas sang pendeta. Itulah kenderaan operasional pertama KSPH/KSPPM. Saya dan Siner menggunakannya ke mana pun kami pergi mengunjungi desa-desa di Tapanuli Utara.
Sebagai pimpinan organisasi baru waktu itu, Asmara sangat rileks dan fleksibel, tetapi ketat dan tegas untuk urusan duit. Nggak bisa macam-macam. Setiap rupiah yang kami terima dari organisasi, harus dipertanggungjawabkan secara detil, tidak bisa ada yang tersembunyi. Semua harus transparan. Asmara selalu bilang, ”Uang ini kita terima dari Tuhan Yang Maha Kuasa melalui orang lain. Karena itu harus kita pertanggungjawabkan kembali kepadaNya dengan baik-baik”.
Artinya, jauh sebelum hiruk pikuk anti korupsi di negeri ini dan di masyarakat, kami sudah tanamkan pada diri kami dan organisasi kami sikap anti korupsi dan membiasakan diri transparan dan pengelolaan keuangan organisasi. Asmara berperan sejak dini di KSPPM.
Saya sudah lupa, tahun berapakah akhirnya Asmara dan keluar ganya (isteri dan tiga orang puteri yang cantik-cantik) mening galkan Siborong-borong kembali ke Jakarta. Tinggallah kami meneruskan roda hidup organisasi KSPPM. Asmara bukan lagi Sekretaris Eksekutif, dia duduk di jajaran pengurus, sehingga mau tidak mau terus berhubungan dengan KSPPM, terutama saat Rapat Badan Pengurus dan Rapat Badan Pendiri Tahunan Yayasan KSPPM, sekali satu tahun, dia selalu hadir.
Suatu ketika saya ikut Asmara dari Wisma Tamu PGI di Jalan Teuku Umar, Menteng menuju kantornya (Majalah Kawanku) di Kalideres, Jakarta Barat. Saya tidak menduga, jika mobil pribadi Asmara seperti itu. Sebuah mobil minibus, mungkin mereknya Daihatsu atau Suzuki. Saya lihat kepala Asmara pas menyentuh langit-langit mobil tersebut, ketika menyetir.
Di tengah jalan, salah satu ban depan kempis alias bocor. Di bawah teriknya matahari Jakarta, di pinggiran jalan yang ramai entah di mana itu, saya sudah lupa, kami ganti ban tersebut dengan ban serep. Untunglah perlengkapan seperti dongkrak dan kunci roda lengkap di mobil sederhana itu. Ketika itu, air kemasan botol belum banyak diperdagangkan seperti sekarang, maka Asmara meminum air putih yang dia bawa dari rumah dan dibagi sebagian buat saya. Itu untuk mengurangi rasa haus dan panas.
Saya tidak tanya dia, mengenai mobilnya begitu buruk (tepatnya sederhana), karena sebab saya sudah tahu jawabannya. Saya tak membutuhkan jawaban verbalnya lagi. Asmara sangat sederhana. Saya yakin, bahwa dia, dari segi ekonomi, bukan tidak mampu membeli mobil yang lebih memadai. Tetapi itulah Asmara dengan kesederhanaannya. Ini kelanjutan dari pengalaman saya menyaksikan dengan mata dan hati, kesederhanaan lelaki ini. Sebab ketika kami sama-sama di Siborong-borong pun, Asmara selalu mengajarkan kesederhaan, bukan dengan ucapan tetapi dengan sikap.
Sesekali, saya dan staf KSPH yang lain ingin juga masuk restoran atau rumah makan yang mewah sehabis melaksanakan kegiatan di mana saja. Toh itu bukan korupsi. Tetapi sang Sekretaris Pelaksana kami belum tentu setuju. Kami akan memasuki rumah makan sederhana, yang penting memadai sumber nutrisi di situ buat kami santap. Tidak mahal, tetapi juga tidak terlalu murah harganya. Yang penting bersih.
Oleh karena itu ada saja staf yang mengeluh mengatakan bahwa Sekpel kita ini kikir, terlalu hemat. Demikian pula selanjutnya, ketika dia masih menjabat Ketua Badan Pengurus KSPPM, sekali empat bulan dia akan datang ke Siborong-borong memimpin rapat badan pengurus. Maka sopir atau staf yang mendampinginya akan tahu bahwa ketua ini sederhana, karena itu tidak perlu macam-macam.
Bukan hanya pakaian yang melekat di badannya (kemeja, celana dan sepatu sandal khas Bata warna hitam atau coklat) yang sederhana, apa adanya, melainkan juga mobil yang dikendarainya untuk bekerja ke kantor dan bepergian ke tempat lain. Begitu juga ketika dia menjadi Sekretaris Pelaksana Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK) di Jalan Salemba Raya No. 49 Jakarta, semuanya di sekitar Asmara sederhana, termasuk kondisi dan situasi kantor.
Hal yang sama pun saya lihat ketika Asmara menjadi Sekretaris Eksekutif INFID, dia tetap sederhana. Saking sederhananya, kalau bepergian ke luar negeri, tetap menggunakan sepatu sandal merek Bata, sehingga jari jemari kaki kedinginan. Untungnya dia memang sudah sedia dengan kaus kaki. Saya percaya selama 10 tahun Asmara di Komnas HAM, dia tetap sederhana.
Terakhir, selama Asmara di Demos, saya haqul yakin dia tetap sederhana. Karena kesederhanaannya, maka banyak aktivis muda yang mengenal Asmara dari dekat akan mengekang diri untuk tidak bermewah-mewah dengan uang yang diterima dari lembaga donor. Berbeda dengan banyak aktivis LSM yang pernah saya jumpai, jika sudah terkenal, maka penampilan pun berubah dari sederhana menjadi gemerlapan. Sekarang pun, setahu saya mobil keluarga Asmara ”cuma” merek Suzuki AVP.
Walaupun penampilan Asmara selalu tampak sederhana, tetapi berbincang dengan dia tentang banyak hal, mulai dari soal sosial, ekonomi, politik dan agama tentulah sangat kaya dan bisa rumit. Bagi saya, Asmara satu dari sedikit aktivis sosial di negeri ini yang bisa menguraikan hal-hal yang rumit terjadi dan bakal terjadi di negeri ini dengan bahasa sederhana sehingga relatif lebih mudah kita pahamai. Hanya saja Asmara kurang rajin menulis. Butuh seseorang untuk menuliskan, apa yang dipikirkannya tentang usaha memperbaiki negeri yang dicintainya ini—Indonesia.
Seorang Sabahat Bernama Asmara
Johny Nelson Simanjuntak
Panggilan itu menginterupsi saya yang sedang menulis laporan hasil kerja di lapangan. Seseorang memanggil dan meminta saya menemui pimpinan lembaga. Saya bergegas menuju ruangannya. Tanpa panjang lebar, dia mengeluarkan perintah, ”Bung, tanggal sekian pergi ke Sumatera. Ada pertemuan penting. Saya sudah dihubungi, dan mereka mengatakan setuju. Ini TOR-nya, pelajari dan segera persiapkan materi.”
Kalau tidak salah, terjadi pada sekitar tahun 85-an.
Gedung pertemuan di Silangit, Siborong-borong adalah tujuan perjalanan saya. Lokasi pertemuan ini jauh dari perkotaan dan hampir–hampir tidak menjadi sorotan penguasa. Gedung dan lokasi itu rupanya tempat retreat dan kursus kerohanian untuk warga gereja. Acara dibuka dan berlanjut dari sesi satu ke sesi lain. Sore hari, tiba giliran saya untuk mendiskusikan topik ”Refleksi Perjuangan Melawan Ketidak adilan”.
Diskusi berlangsung sangat dinamis, bukan karena kemampuan saya menyajikan presentasi, tetapi karena pesertanya yang memi liki latar belakang akademik yang sangat memadai bahkan melebihi kemampuan. Peserta terdiri dari pendeta, dosen, aktivis maha siswa. Diskusi berlangsung hampir tiga jam dan merambah ke subtopik yang sangat menggairahkan seperti; rejim militerisme yang menindas, budaya patron–client, Pancasila sebagai penting pemerintah untuk menghabisi pemrotes dan sebagainya. Moderator menghentikan sesi dan mengatakan istirahat sejenak, kemudian akan berlanjut pada sesi berikut.
Di luar sana tampak sebuah mobil sedan VW warna putih abu-abu. Seorang bertubuh tinggi memakai mantel (baju hangat panjang dan biasa dipakai kalau musim dingin di Eropa) berwarna kehitaman dengan rambut agak sedikit gondrong keluar dari mobil dan melangkah menuju ruang pertemuan. Peserta yang memanfaatkan jeda pergantian sesi untuk merokok dan bercanda, menyambut sosok itu.
“Horas bah!” sambut kami.
Kemudian terdengar panggilan panitia, ”Peserta silahkan masuk ruangan, Bang As sudah datang.”
Baru saya tahu bahwa sosok tersebut adalah Asmara Nababan. Orang yang kemudian dalam perjalanan karier saya sebagai aktivis LSM, menjadi sahabat juang saya.
Diskusi dimulai, moderator langsung mengatakan, ”Tak usahlah saya kenalkan lagi pembicara ini, karena semua pasti sudah kenal bukan ?”
Saya malu tunjuk tangan karena sesungguhnya baru kali itulah saya mengenal sosok tersebut, meski dalam banyak pertemuan saya telah lebih dahulu mengenal sosok Nababan yang lain, yang ternyata mereka kakak beradik.
Dengan suara sedikit parau tetapi jelas, ia mengurai topik pem bahasannya, mengenai Realitas Politik dan Penindasan Rakyat. Kadang ia duduk, kadang berdiri sesekali mengisap rokoknya. Pernyataannya meledak ledak. ia menjelaskan sepintas tentang bagaimana praktek penindasan telah berlangsung sejak rezim Bung Karno yang berlanjut ke rezim Soeharto. Secara lebih khusus ia menjelaskan apa yang terjadi dalam Peristiwa 1965 dan Peristiwa 1974. Rupanya ia sudah terlibat dalam beberapa kegiatan mahasiswa ketika itu.
Diskusi yang banyak menyita waktu adalah membahas perta nyaan peserta tentang respon terhadap praktek penindasan yang berlangsung. Apakah pemberontakan, apakah revolusi atau apakah yang lain? Pernyataan yang menarik dari Bang As ketika itu adalah, bahwa perlawanan terhadap penindasan tidak bisa dilakukan secara individual tetapi harus dengan kekuataan terorganisasi. Rakyat menjadi basis utama perlawanan, mulai dari yang kecil dengan lingkungan tertentu kemudian membesar dan meluas.
Pernyatan itu kemudian saya ketahui sebagai salah satu inspirasi bagi peserta untuk membentuk sebuah lembaga perlawanan ketidakadilan yang kemudian dikenal orang dengan nama KSPPM. Lembaga ini berbasis di Siborong-borong dan merupakan LSM yang sering membikin penguasa berang karena aktivitas mereka membela rakyat, misalnya dalam kasus PT Indorayon.
Dalam pergaulan kemudian, saya tidak pernah memanggil nama nya langsung dengan Bang As atau menyebut nama lengkapnya. Saya selalu memanggilnya ”Sintua” atau ”Katua”. Kata “sintua” adalah sebutan untuk predikat warga gereja yang diangkat menjadi pelayan jemaat gereja. Sebutan ini lumrah di ucapkan diantara mereka yang biasa aktif di gereja. Saya memanggilnya dengan sebutan itu berdasarkan pertimbangan saya sendiri. Panggilan akrab saya yang ke dua kepadanya adalah ”Katua”. Untuk masyarakat Sumatera Utara panggilan ini lumrah diucapkan kepada siapapun meski tidak menjabat sebagai ketua organisasi apapun.
Jadi itulah panggilan akrab saya kepada Asmara. Akan tetapi dalam tulisan ini saya menggunakan panggilan umum yang biasa dipakai oleh hampir semua yang mengenalnya, yaitu Bang As.
Harus Bersama-Sama
Menyadari pentingnya kebersamaan dalam memperjuangkan keadilan, muncul gagasan di kalangan aktivis berbasis gereja untuk membentuk jaringan antar lembaga pelayanan umat; yang kemudian dikenal dengan nama Jaringan Lembaga Pelayanan Kristen Indonesia. Salah satu tokoh penggagasnya, Asmara, diper caya memimpinnya. Salah satu tugas utama jaringan tersebut adalah membawa anggota jaringan untuk melawan ketidak-adilan yang terjadi di manapun di kawasan Indonesia tanpa memandang bulu, siapa korban dan siapa pelaku. Siapapun korban harus dibela, tanpa memandang agamanya, ideologinya atau sukunya.
Melalui jaringan ini, Bang As berinteraksi dengan para aktivis di seluruh nusantara. Aktivis anggota jaringan di lokal selalu mengharapkan kehadirannya dalam pertemuan membahas masalah yang sedang ditangani. Aktivis yang dikejar otoritas militer, polisi atau otoritas lokal, meminta bantuan Bang As untuk mengusahakan perlindungan terhadap mereka. Dengan Bang As, saya yang bekerja di bidang pengorganisasian buruh, petani dan korban kebijakan pemerintah, mendiskusikan topik pengembangan aktivis lokal, perlindungan terhadap aktivis dan masa depan aktivis.
Saya dan Bang As sependapat untuk membahas lebih dalam topik ini sambil melakukan apa yang bisa dilakukan tanpa menung gu menunggu ada rumusan atau program khusus. Fakta mem perlihatkan, aktivis lokal butuh bantuan pengembangan agar memahami masalah lokal dalam konteks global, dan tahu di mana harus berlindung bila terjadi benturan dengan kekuasaan. Mereka juga harus punya gambaran masa depan bila harus meninggalkan lembaga atau kelompok yang didampinginya.
Memang, yang kami bicarakan tak sempat kami konkritkan secara terprogram. Walaupun demikian, dalam praktiknya, telah menjadi bagian dari pekerjaan dan kegiatan keseharian kami. Gagasan itu kemudian dilaksanakan oleh pengganti Bang As. Ketika seorang aktivis di kejar-kejar karena peristiwa buruh yang terjadi di Sumatera, Bang As menitip pesan agar kami melakukan sesuatu untuk keamanan aktivis itu. Kami pun melaksanakannya.
Solidaritas Untuk Semua
Ketika Menteri IGGI, Pronk mengritik habis-habisan penindasan terhadap rakyat oleh rezim pembangunan Orde Baru, Soeharto membalasnya dengan membekukan bantuan IGGI. Semua bantuan Belanda, baik melalui pemerintah maupun melalui LSM dihentikan. Waktu itu saya memimpin lembaga bantuan hukum yang mendapat bantuan dari Belanda melalui sebuah lembaga geraja. Praktis, dana lembaga ini terhenti dan tentu saja berpengaruh pada aktivitas kami. Saya lalu menemui Arief Budiman dan Bang As, serta beberapa teman lain di Salatiga untuk mencari jalan keluarnya.
Mereka bertanya tentang kondisi lembaga dan kelanjutan pembelaan yang kami lakukan terhadap masyarakat. Waktu itu, saya merasa mendapat dukungan moral yang tak ternilai untuk melanjutkan perjuangan, meski dengan liku-liku yang tak mudah dilewati. Pertemuan itu memang tidak mampu merumuskan skema pasti untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Tetapi ada beberapa alternatif yang bisa dilaksanakan, misalnya penyaluran dana melalui lembaga perantara di negara lain. Misalnya, donor Belanda mengirim ke lembaga di Filipina, kemudian mereka mengirim ke mitra donor Belanda di Indonesia. Atau melalui kerja sama antara negara donor untuk menyalurkan dana donor Belanda ke mitranya di Indonesia. Apapun pilihannya, diperlukan orang yang akan menjalankan skema tersebut.
Bang As membantu lembaga tampat saya bekerja untuk menyampaikan permasalahan kami ke beberapa lembaga yang mungkin bisa membantu. Solidaritas seperti itu tidak saja dituju kan kepada saya, melainkan juga kepada banyak teman lain. Rasa solidaritas yang kental ditunjukkannya dalam berbagai kasus lain. Ketika saya ke Jakarta untuk mendampingi petani korban dari sebuah perkebunan di Jawa Tengah, saya menghadapi krisis dana. Saya sungkan meminta bantuan Bang As, tetapi ketika pamit pulang ke Solo, Bang As bertanya soal anggaran saya. Langsung saja saya katakan bahwa kami kekurangan dana.
Akhirnya kami mendapat bantuan yang sangat cukup untuk naik kereta api Jakarta—Solo, bahkan ada dana untuk makan di warteg bagi kami berlima. Kesalehan semacam itu, saya dengar juga dilakukannya kepada beberapa teman aktivis yang lain. Bagi saya, bukan jumlah dana yang diberikan, tetapi moral solidaritasnya yang membahagiakan.
Mempromosikan Para Aktivis
Bang As sangat memahami pentingnya pengembangan aktivis, baik dalam gerakan pro demokrasi mau pun gerakan HAM. Karena banyak peristiwa pelanggaran terjadi di luar Jakarta, maka aktivis di luar Jakarta harus mendapat perhatian. Dengan pengembangan kapasitas, diharapkan gerakan itu akan memberi makna pada perkembangan demokrasi dan HAM di Indonesia.
Senada dengan komitmen tersebut, Bang As sangat getol melan carkan kritik terhadap gerakan yang orientasinya sebatas kegiatan projek atau sekedar kegiatan mencari nafkah. Ada persoalan sangat serius yang tidak dapat direspon dengan orientasi proyek; yakni penghancuran masa depan manusia penghancuran hutan, eksploitasi pertambangan, degradasi lingkungan hidup, perampasan kebebasan, dan sebagainya. Pengembangan kapasitas aktivis, kata Bang As, dimaksudkan untuk melawan itu semua.
Dasar berpikir seperti itulah yang membuat saya mengerti mengapa dia merekomendasikan saya untuk mengikuti beberapa pertemuan internasional. Saya tidak perlu menyebut nama mereka yang telah mendapat kesempatan seperti saya, bahkan untuk men dapat kesempatan studi lanjut. Mungkin saya termasuk dalam daftar Bang As untuk dimajukan atau dipromosikan. Ini bisa saya rasakan betapa besarnya dukungan yang ia diberikan ketika saya berkompetisi untuk masuk di Komisi Yudisial dan di Komnas HAM.
Menghargai Independensi
Meski banyak sekali sumbangannya terhadap kemajuan saya, Bang As selalu menghargai pilihan saya. Dalam beberapa hal, kami acapkali berbeda pendapat bahkan berbeda sikap. Satu contoh adalah ketika saya harus menangani satu kasus konflik di perguruan tinggi berdasarkan pengaduan dugaan pelanggaran HAM mahasiswa, saya memutuskan melakukan pemantauan. Kegiatan itu berlangsung sesuai standar kerja.
Saya sudah menduga, Bang As akan mengajukan pertanyaan kepada saya tentang pemantauan tersebut. Dugaan ini muncul dari pembicaraan saya dengan salah satu subyek yang harus saya tanya tentang peristiwa pelanggaran HAM tersebut. Pertanyaan senada muncul juga dari banyak teman saya yang lain. Oleh karena itu, tak salah juga jika saya memberi penjelasan detail tentang itu. Saya menjelaskan dengan rinci tentang apa yang saya lakukan dan arah pemantauan/penyelidikan tersebut. Kami memang berbeda melihat masalah, tetapi, di ujung pembicaraan, Bang As menghargai pen dirian saya. Ini saya rasakan sebagai satu sikap hormat terhadap yuniornya.
Menjaga Moral Perjuangan
Sejak pertemuan pertama di Silangit, saya banyak mendapat masukan dari Bang As. Salah satu yang masih saya ingat adalah penegasannya tentang moral perjuangan. Dia berkata, kita tidak boleh berkompromi dengan penindas. Menghianati kaum tertindas akan menamatkan perjuangan dan menuai laknat Tuhan, karena doa orang tertindas pada umumnya akan didengar Tuhan. Pernyataan teologis yang amat mendalam. Moral seperti itulah, menurut saya, selalu menjadi pedomannya dalam melaksanakan aktivitasnya.
Praktik tidak mau kompromi terlihat, antara lain, dalam aktivitasnya membela keluarga korban pelanggaran HAM, seperti korban PT Indorayon, yang sekarang dikenal dengan Toba Pulp Lestari (TPL). Menurut masyarakat dan LSM, perusahaan itu banyak melakukan pelanggaran, antara lain penebangan kayu pinus di wilayah hutan Toba yang berakibat longsor dan banjir. Pengolahan pulp menimbulkan pecemaran sungai, sedangkan pengangkutan kayu melebihi tonase mengakibatkan kerusakan jalan. Contoh lain adalah pembelaannya yang tiada henti terhadap keluarga Munir, dan terus berupaya untuk mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan, tanpa kompromi.
Dalam kasus lain, Bang As sangat marah ketika ada sejumlah teman yang bermaksud mendirikan serikat buruh padahal mereka bukan buruh. Menurut Bang As, mendirikan serikat buruh harus ada persiapan, dan buruh sendiri yang memegang kendalinya. Bang As mengatakan, masalah yang dihadapi buruh tidak sederhana, dan membutuhkan perjuangan panjang dan berliku. Serikat buruh yang tidak dikendalikan buruh telah terbukti menghianati buruh. Para pemimpin serikat buruh zaman Orba banyak menikmati fasilitas negara dan perusahaan, sementara buruh tetap menderita.
“Hal kedua,” katanya, “Selama buruh masih belum cerdas, organisasi buruh yang akan dibentuk, tetap menjadi alat bagi pe mimpinnya untuk kepentingan pemimpin itu sendiri.”
Tentang hal ini, saya sependapat dengan Bang As. Pendirian saya mengacu pada pengalaman keseharian ketika saya di Solo. Salah satu aktivitas pokok lembaga kami antara tahun 80-an sampai 90-an adalah melakukan pengorganisasian buruh. Untuk itu kami melakukan pendidikan hukum perburuhan, pelatihan organisasi buruh, kepemimpinan buruh, penanganan kasus, mobilisasi buruh yang wilayah operasinya tidak saja di Jawa Tengah tetapi juga di daerah lain dengan mengandalkan jaringan dan alumni pelatihan buruh yang kami lakukan. Kelemahan mendasar yang kami temui di lapangan saat itu, antara lain, adalah masalah internal, seperti kepemimpinan terkait dengan pengetahuan buruh dan penataan organisasi buruh.
Selama masalah itu tidak tertangani, permasalahan buruh selalu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan para pecundang. Sebagai contoh, di wilayah Surakarta ketika itu, ketua serikat buruh ada lah pensiunan TNI berpangkat letkol. Maka, masalah apapun dalam perburuhan selalu dikaitkan dengan keamanan. Bila ada tuntutan buruh untuk hak-hak normatif, sang ketua bertindak aktif menghentikan gerakan buruh tersebut. Ia melakukan berbagai cara agar gerakan buruh tidak berkembang, dan tidak mencapai kemenangan apapun. Berbagai permasalahan tidak pernah dise lesaikan untuk kepentingan buruh, melainkan untuk mengaman kan kepentingan penguasa dan pengusaha.
Kesamaan pandangan dengan Bang As mendorong kami untuk banyak mendiskusikan nasib buruh dalam perspektif perubahan Indonesia. Pertanyaan dasarnya adalah; akankah nasib buruh akan beranjak baik dalam sistem politik yang dikembangkan Orba? Diskusi yang berlangsung di banyak tempat itu menghasilkan pendapat bahwa agenda penting yang tidak dapat diabaikan adalah perubahan politik menuju rezim demokrasi.
Mengembangkan Demokrasi
Demokrasi dipilih Bang As sebagai sistem yang pas untuk mengembangkan Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan. Hal ini saya ketahui ketika teman-teman mendiskusikan pertanyaan saya tentang lembaga Demos, di mana Bang As sebagai direkturnya. Akan tetapi, menurut dia, sistem demokrasi tidak akan pernah berjalan efektif jika pilar-pilarnya tidak dibangun oleh budaya demokrasi, kebebasan dan keterbukaan informasi. Saya setuju dengan pendapatnya.
Salah satu nilai yang terkandung dalam demokrasi ada nilai kesetaraan antara semua orang. Kamus demokrasi tidak mengenal ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan kasta juga berada di luar makna demokrasi. Demikian juga perbedaan agama dan suku. Predikat seseorang tidak memberikan hak istimewa (privelege) kepadanya, juga tidak menegasikan keberadaannya dalam tata kehidupan masyarakat dan negara demokrasi.
Akan tetapi, budaya yang berkembang dalam banyak suku di Indonesia justru terbalik. Fakta memperlihatkan, budaya di masyarakat suku-suku Indonesia, belum bahkan tidak senafas dengan demokrasi. Praktek budaya yang kita saksikan adalah ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, perbedaan antara kawulo ageng dengan kawulo alit, dan lain sebagainya.
Budaya demokrasi tak bisa diharapkan tumbuh dengan sen dirinya. Untuk mengatasi praktek budaya seperti itu, sukses pendidikan demokrasi adalah salah satu kunci untuk menjamin demokrasi di Indonesia. Melalui pendidikan demokrasi, nilai kesetaraan diinternaliasikan. Pendidikan itu mencakup formal dan non-formal, dan seharusnya dilakukan semua pihak secara simul tan di semua tingkat masyarakat. Keterlibatan Bang As di Demos adalah untuk melaksanakan gagasan tersebut.
Nasionalis Religius
Meski lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masya rakat yang sangat relijius, Bang As, sejauh yang saya ketahui, mampu merealisasikan karakternya sebagai sosok yang tidak pri mordial, tidak parochial dan tidak sektarian. Saya menyebut ini sebagai cerminan dari sikap nasionalis. Sikap ini adalah salah satu modal dasar perjuangannya dalam gerakan HAM, demokrasi dan keadilan di Indonesia. Dalam penanganan kasus pelanggaran HAM, Bang As memastikan, siapapun yang melakukan pelanggaran harus bertanggungjawab. Dalam pergaulan kesehariannya, ia lebih meng utamakan kesamaan visi dan perjuangan.
Karakter lain yang direalisasikan dalam praktek hidupnya adalah religiusitasnya. Religius tidak saya maknai sebagai ketaatan beribadah formal saja, tetapi terutama menginternalisasikan sub stansi dari ajaran agama dalam praktek hidup keseharian, yaitu beretika, bermoral, bersusila dan solidaritas.
Sebagai warga gereja, Bang As selalu menyempatkan untuk memberi ceramah kepada warga gereja, meski tempatnya nun jauh di sana, dan jadwalnya amat padat. Dia percaya, gereja tidak boleh jadi penonton, atau hanya menjadi penikmat hasil perjuangan. Oleh karena itu, warga gereja harus dibantu mencapai tingkat pemahaman tertentu. Hal yang sama juga mestinya dilakukan selu ruh umat beragama.
Banyak gereja yang berharap kehadirannya dalam seminar, diskusi atau pelatihan, untuk mendengar pendapatnya tentang per soalan HAM dan Demokrasi di Indonesia. Menurut warga gereja yang telah mendengarkan ceramah Bang As, pendapat Bang As sangat melegakan, sekaligus menjadi tantangan untuk berbuat dan bertindak bagi kemajuan HAM dan Demokrasi.
Dalam kasus rumah ibadah, terutama masalah mendirikan gereja, tanggapannya tidak emosional. Ia justru mengajukan banyak pertanyakan kepada komunitas Kristen yang menurutnya sering lalai melaksanakan tanggung jawabnya sebagai warganegara. Dalam satu pertemuan ia mengatakan, “Jangan hanya kalau gereja dibakar atau dirusak lantas umat Kristen marah, tetapi kalau rumah ibadah agama lain dibakar atau dirusak umat Kristen diam seribu bahasa. Atau ada pelanggaran peristiwa HAM, umat Kristen diam.”
Menurut Bang As, umat Kristen harus tanggap dan kritis pada peristwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Umat kristen menempatkan diri sebagai berkat bagi semua orang. Gereja harus menjadi promotor HAM. Hal yang sama juga seharusnya dilakukan oleh semua umat beragama di Indonesia, sehingga agama akan menjadi penangkal utama pelanggaran HAM.
Meski pernyataan semacam itu sering tidak disukai, tetapi Bang As tetap pada pendiriannya; bahwa perjuangan demokrai dan HAM harus menjadi tanggung jawab semua umat manusia tanpa ada perbedaan apapun.
Perjuangan untuk penegakan HAM dan demokrasi membu tuhkan basis moral, setidaknya seperti yang saya dapat dari Bang As. Terima kasih Bang As…
INSPIRATOR dan MOTIVATOR
S. Lery Mboeik
Kalau boleh menominasikan aktivis Hak Asasi Manusia dalam integritas perjuangan dan melayani sepenuh hati kepada kami di daerah, pilihan saya jatuh pada Asmara dan almarhum Munir.
Ada hal penting yang membedakan antara Asmara dan teman aktivis lain dalam menanggapi berbagai kegelisahan teman-teman didaerah, yaitu totalitasnya.
Saya mengenal Bang Asmara lebih lama dibanding mengenal teman-teman aktivis HAM lainnya. Sejak bergabung dengan Yayasan Alfa Omega (YAO) dan belajar bersama rakyat di daratan Timor pada 1988, saya melihat komitmen dan penghargaan Bang As yang luar biasa bagi kami yang jauh dari akses infomasi dan berbagai akses lain.
YAO adalah NGO di bawah Gereja Masehi Injili di Timur yang bermitra dengan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) yang dipimpin Bang Asmara. Di situlah perkenalan saya dengan Bang As, yang kemudian berlanjut sampai Bang As memimpin berbagai lembaga separi INFID, Sesjen Komnas HAM dan kemudian memimpin Demos. Bangs As memberi saya banyak pelajaran bagaimana menghargai HAM
Bagai Oase
Seandainya ada yang bertanya siapakah orang yang sungguh-sungguh menolong keluar dari berbagai dari ancaman ketika melakukan advokasi, jawaban saya adalah dua sosok itu: Munir dan Asmara Nababan. Bukan berarti saya mengabaikan bantuan dan pertolongan dari teman-teman lain, tetapi dalam situasi darurat, di tengah malam dan di belantara Kabupaten Belu, Munir dan Bang As lah yang memberi saya nafas cadangan untuk tetap hidup. Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi bagi kami, Leo Simanjuntak dan saya, dalam advokasi HAM soal Pelanggaran HAM Timor Timur, tanpa dukungan mereka.
Asmara adalah aktivis yang teguh menyuarakan penegakan dan perlindungan HAM saat negara tidak membuka ruang bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Bang As membuat Komnas HAM yang didirikan dengan Keppres No 50 tahun 1993, sebagai oase.
Pembentukan Komnas HAM waktu itu, menurut saya, lebih merupakan kosmetika politik Orde Baru. Banyak anggota yang ditunjuk adalah bagian dari status-quo. Meski demikian, di tengah kekuatan yang begitu represif, masih ada sedikit ruang, yang bisa dimanfaatkan Bang As untuk menciptakan Komnas HAM sebagai oase bagi pencari keadilan.
Bang As mencoba meletakkan posisi Komnas HAM dalam konteks negara menyelesaikan masa transisinya; apakah melalui demokrasi, atau menuju destruksi total, atau disintegrasi. Disintegrasi bukan berarti separatisme, tetapi bahkan lebih parah dari itu, adalah disintegrasi sosial akibat ketidak percayaan kepada institusi dan kepada sesama anggota masyarakat. Saya kebetulan terlibat dalam proses bagaimana Transtitional Justice menjadi agenda Komnas HAM
Asmara adalah aktivis yang tangguh dan tanpa lelah. Saya kagum pada cara Bang As mendidik kami; bukan hanya metodenya, tetapi terutama sikap dan perilakunya yang bersahaja dan konsisten. Ketika pertama kali kami mendiskusikan soal KPP-HAM Timor Timur pada 1999, saya diberi kesempatan belajar dengan menjadi salah satu asisten dalam investigasi KPP-HAM. Saat itu, banyak peristiwa (khususnya ancaman) yang tak bisa diterima akal sehat, tetapi lagi-lagi Bang As dan Munir lah yang selalu mendorong dan memberi kekuatan untuk membuang rasa takut. Asmara menjadi orang yang selalu memberikan dukungan politik bagi para aktivis yang terancam.
Ketika terjadi konflik horisontal serius di Kupang pada November1998, saya bingung, karena isu itu sangat sensitif. Lagi-lagi Bang As menunjukkan jalan bagaimana membuat jejaring dan membangun kapasitas investigasi HAM kelembagaan. Saya kemudian dipercaya menjadi Ketua Tim Kemanusiaan dan Pencari Fakta Kerusuhan Kupang 30 November 1998 dan Desember 1998. Lembaga baru kami itu akhirnya memiliki jaringan kerja dengan Komnas HAM dan selalu dilibatkan dalam kegiatan pengembangan kapasitas maupun investigasi berbagai kasus kekerasan di NTT.
Konsistensi dan integritas Bang As patut menjadi panutan banyak aktivis HAM, khususnya saya, yang pada waktu itu baru belajar bagaimana menginternalisasikan nilai HAM dalam berbagai kegiatan. Beberapa aktivis HAM di NTT kemudian bersepakat meminta Bang As menjadi pendiri dalam Perkumpulan Pengembang Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT. Dalam lokakarya strategi perencanaan PIAR 1999, Bang As mengatakan, PIAR adalah suatu arus baru, yang secara nasional beriringan dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi politik Soeharto, dan sejalan dengan sentimen tokoh-tokoh oposisi dan gerakan mahasiswa di kota-kota lain di Indonesia. Mungkin Bang As bahkan sudah lupa peristiwa ini, tetapi hal itu sangat berarti bagi perjuangan kami.
PIAR NTT adalah lembaga kecil yang dibangun sejak 1996. Satu-satunya keadaan yang hendak dicapai oleh perkumpulan PIAR adalah Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia serta pengelolaan lingkungan yang adil dan lestari.
Saya juga ingin mengutip pernyataan Bang As dalam diskusi untuk merumuskan laporan akhir penelitian Demos yang ke dua di Jakarta. ”Bagaimana menyambung apa yang dilihat dan dialami masyarakat grassroots dengan apa yang menjadi perhatian para pengambil kebijakan? Bagaimana memastikan bahwa informasi dan aspirasi warga Negara gagal dilihat dan dipahami oleh DPRD, Bupati dan Gubernur? Bagaimana meyakinkan elit-elit politik dan pemerintahan bahwa mereka dipilih dan bekerja untuk rakyat?”
Pernyataan itu cukup mengganggu saya karena waktu itu karena masih banyak aktivis melihat dunia politik sebagai dunia yang tidak ramah, bahkan menjijikan. Temuan Demos ini menantang dan mendorong saya untuk melakukan eksperimen dengan masuk ke dunia politik.
Saya masih pertanyaan Bang As pada akhir tahun 2003. “Lery, apa benar kamu mau maju DPD RI?” Secara spontan saya jawab, “Benar Bang. Saya ingin mengimplementasi hasil penelitian Demos, Bang.”
Saya mengungkapkan pengalaman saya selama melakukan advokasi, yang sebenarnya sudah ditengarai Demos; yakni keke cewaan, frustrasi dan kegeraman. Melihat semangat saya, Bang As tak hanya tersenyum, tetapi malah memberi sumbangan yang bisa saya pakai untuk mencetak kartu.
Satu Kata, Satu Perbuatan
Dukungan Bang As meyakinkan saya pada konsistensi antara kata dan perbuatan Bang As. bahwa teman-teman Demos mengajak saya mendiskusikan strategi pemenangan, walaupun kemudian gagal waktu itu. Namun pada Pemilu legislatif pada 2009-2014, saya berhasil menjadi anggota DPD. Pengalaman ini meyakinkan saya dan banyak teman tentang gagasan dan obsesi Asmara mengenai demokrasi yang diyakini akan mengubah Indonesia menjadi lebih sejahtera, karena terpenuhinya hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Di masa kekuasaan Orde Baru yang sangat represif, posisi politik PIAR adalah sebagai bagian dari kekuatan rakyat. Fungsi lainnya adalah mengelola prakarsa-prakarsa untuk membangun posisi tawar rakyat yang setara melalui pengorganisasian dan pendidikan kritis rakyat, advokasi dalam mempengaruhi kebijakan publik. Itulah artikulasi kedaulatan rakyat.
Tak heran kalau intimidasi dan ancaman datang silih berganti. Tantangan terberat bagi PIAR waktu itu adalah bagaimana mem bangun legitimasi bahwa PIAR adalah organisasi masyarakat sipil yang kuat. Teman-teman di Jakarta, YLBHI, KontraS, INFID, LBH Jakarta turut membantu membesarkan dan membangun legitimasi PIAR. Melalui berbagai aktivitas Komnas HAM, Bang As terus memberdayakan dan mendampingi supaya kami kuat danlebih berani menyatakan kebenaran martabat manusia. Peran Bang As waktu itu semacam ‘juru bicara masyarakat sipil dan rakyat’ di tengah kondisi yang represif. Berbagai kerja nyatanya di INFID, Komnas HAM dan Demos memperlihatkan upayanya mendobrak dan membongkar kebobrokan.
Bang As telah memberikan inspirasi tentang keberanian dalam mengungkapkan ketidakadilan di masyarakat. Hal itu menjadi dasar pembagian posisi dan peran diantara kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lembaga lain yang mengambil jalan “tidak sekeras” PIAR, membantu mencari data-data yang dibutuhkan PIAR untuk menyelesaikan kasus. Sebaliknya, PIAR pun membantu kerja lembaga lain.
Pergulatan kami melawan korupsi mengalami banyak sekali tantangan. Pada tahun 2005, saya sempat terancam menjadi ter sangka pencemaran nama baik akibat laporan PIAR tentang dugaan korupsi mantan Walikota Kupang. Anehnya, polisi tidak menindaklanjutin laporan PIAR, sebaliknya malah menanggapi laporan Walikota. Dalam kekalutan dan ketidakberdayaan itu, melalui teman-teman ICW dan Bang As, saya didampingi bertemu anggota komisi III. Padahal waktu itu kondisi kesehatan Bang As menurun.
Pada Desember 2009, saya menerima pesan singkat dari Bu Florence, INFID, yang mengabarkan, bahwa Bang As dioperasi. Saya sangat terkejut. Namun saya yakin, semangat pelayanan yang besar pada sesama itu akan membuatnya cepat sembuh. Ketika PIAR melakukan evaluasi tentang blok-blok politik, pertengahan Juni 2009 di Kupang, saya ingin Bang As bisa hadir, tetapi permintaan saya ditolak teman-teman Demos karena Bang As baru sembuh dan masih butuh istirahat. Sungguh mengejutkan ketika akhirnya Bang As hadir ditengah-tengah lokakarya kami.
Secara fisik, Bang As sudah tidak ada lagi. Namun bagi kami, semangatnya akan selalu menjadi inspirasi dan motivasi kami. Terimakasih Bang.
Perjumpaan dengan Bang As
Lies Marcoes
Saya bukanlah kawan dekat Bang Asmara Nababan (Bang As) meskipun pernah sama-sama duduk sebagai board di ELSAM bahkan ketika itu ia sebagai ketua board dan saya anggota. Oleh karena itu sejumlah perjumpaan kerap terjadi dalam kapasitas kami sebagai bagian dari ELSAM. Itupun tak sering terjadi karena saya termasuk board yang kerap absen.
Namun di antara pertemuan yang langka itu saya mencatat ada momen-momen yang sangat personal yang membuat saya sempat terpana ketika mendengar Bang As menderita sakit yang cukup parah dan kemudian wafat. Kabar wafatnya Bang As hanya dapat saya ikuti dari FB karena saya sedang menghadiri konferensi feminis Muslim di Spanyol. Saya masih ingat dalam status FB saya tertulis,” Tuhan terima kasih Engkau telah meminjami kami lelaki terbaik, dan kini kami ikhlas mengembalikannya kepadaMu.”
Perjumpaan paling mengesankan terjadi ketika ia hadir dalam ulang tahun Komnas Perempuan 2002 atau 2003. Saya tak ingat kapan itu. Tapi saya ingat pasti itu terjadi beberapa waktu setelah Peristiwa Bom Bali. Malam itu di bawah temaram lilin saya membaca doa. Setelah turun dari panggung sejumlah teman menghampiri. Salah satunya Bang As.
”Ah, doamu itu luar biasa. Kau buat saya menangis saya sampai celingukan takut dilihat orang…,” ujarnya yang disambut tawa Mbak Zoemrotin dan Mbak Tini Hadad yang berdiri di sekitar kami.
Tangis Bang As saya kira tak terbawa suasana. Sebab pada ke nyatannya doa itu saya bacakan secara datar saja. Dalam doa itu saya mencoba menyuaraan sesal, kesal dan perih kami sebagai perempuan. Kami adalah pemilik rahim, kami mempertaruhkan nyawa dengan darah dan air mata untuk melahirkan generasi baru. Jadi betapa menyesalnya kami manakala anak peradaban yang lahir dari rahim kami menjadi penyebab darah orang lain yang tak bersalah tertumpah oleh amarah dan kebencian. Padahal setiap ibu mengandung mereka dengan cinta dan harapan. Bang As, agaknya tersentak dan hatinya tersentuh.
Perjumpaan lain terjadi beberapa sesaat setelah Peristiwa Keru suhan Mei 1998. Lamat-lamat saya masih ingat, ketika itu Bang As menjadi anggota TGPF untuk memverifikasi peristiwa kekerasan seksual dalam kerusuhan itu. Saat itu ada acara di TIM, dan di sana Bang As hadir. Lagi-lagi saya lupa itu acara apa, tapi saya masih ingat ketika itu saya diminta Melani Budianta dan Debra Yatim untuk bicara. Seingat saya, saya hanya bicara 5 sampai 10 menit, tidak lebih.
Dalam waktu yang singkat itu saya mencoba menjelaskan dengan cara sederhana bagaimana kekerasan seksual dapat terjadi dalam struktur masyarakat yang timpang baik akibat ketimpangan dalam hubungan antar kelas, suku, ras, dan agama. Di dalam setiap elemen itu selalu ada kekerasan lain yaitu kekerasan berbasis gender. Semua kekerasan ini semakin parah manakala negara memanfaatkannya untuk kepentingan kekuasaan.
Saat itu saya menyampaikan pandangan tentang cara kerja kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender sebagai alat penundukan oleh tentara. Harap diingat pada masa itu pemahaman atas konsep serupa itu belum cukup dikenal banyak orang. Referensi masih sangat terbatas.
Setelah acara itu, saya menyingkir ke samping ruangan karena telah ditunggu wartawan TV untuk wawancara. Dari jauh saya melihat Bang As berdiri mengamati pembicara lain. Selepas wawan cara saya masuk kembali ke ruang pertemuan. Bang As tepat berdiri dihadapan saya di persimpangan pintu. Lalu dengan spontan dia menyalami sambil tangannya yang satu menggenggam tangan saya yang lain.
”Terima kasih, Lies. Penjelasan Anda sangat membantu pemahaman saya, serius…!”.
Bang As mungkin berlebihan, tapi mungkin dia memang serius soal itu. Sebagai aktivis perempuan, saya sering bertemu dengan aktivis HAM yang memiliki empati luar biasa pada perempuan, tapi kesulitan untuk memahami bagaimana cara kerja kekerasan berbasis gender. Dibutuhkan penjelasan panjang lebar untuk menunjukkan bagaimana kekerasan berlapis bisa terjadi; bahwa dalam suatu kekerasan berbasis apapun ada kekerasan yang lain yang berbasis prasangka gender dengan korban perempuan.
Demikian pula untuk kekerasan seksual, atau kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi bagi orang seperti Bang As yang terpikirpun mungkin tidak bagaimana lelaki bisa dengan biadab menganiaya belahan jiwanya.
Ketika itu Bang As adalah salah satu anggota TGPF. Saya yakin, tak mudah baginya menjadi bagian dari satu tim yang harus membuktikan kekerasan seksual terjadi di tengah-tengah arus pemikirian yang cenderung menolak fakta itu akibat sulitnya mencari bukti dan propaganda yang hendak mementahkan temuan.
Bagi pendekatan feminis tak melihat bukti bukan berarti tak ada kejadian. Persoalannya terletak pada metode dan cara pembuktian yang tepat untuk menggali fakta kekerasan seksual. Di sisi ini dispute yang menegangkan baik dalam tim TGPF maupun dalam masyarakat yang menanti hasil kerja tim pencari fakta. Begitu juga barangkali yang dialami Bang As sebagai anggota tim yang katakanlah pemain baru dalam isu ini.
Untuk tulisan ini saya bertanya kepada Ibu Saparinah Sadli soal peran Bang As dan TGFP. Menurut Ibu Sap, Bang As, bersama 4 orang yang lain, termasuk Ibu Saparinah Sadli, merupakan anggota TGPF mewakili Komnas HAM Anggota yang lain dari unsur Komnas HAM adalah Pak Marzuki Darusman (yang jadi ketua).
Betapapun kuatnya cara pandang seseorang tentang paradigma HAM, belum tentu orang itu dapat mencerna cara kerja kekerasan berbasis gender dalam kerangka HAM. Bang As ketika itu ba rangkali termasuk yang mencoba bekerja sekuat tenaga untuk ”mengerti” persoalan itu. Karena dia merupakan kawan bagi teman-teman aktivis perempuan, maka dapat dimengerti jika Bang As kerap menjadi sasaran kemarahan mereka yang tak cukup sabar dengan cara kerja TGPF atau jika mendengar pernyataan TGFP yang ”ngawur” dilihat dari sudut pandang kami kaum feminis. Oleh karena itu, dapatlah dimengerti, setiap pembicaraan sekecil apapun terkait dengan kekerasan berbasis prasangka gender baginya mungkin sebuah pencerahan.
Setelah Komnas Perempuan berdiri, menurut Ibu Sap lagi, Bang As memang tidak terlibat langsung dengan Komnas Perem puan. Tetapi adalah berkat Bang As, Komnas Perempuan bisa memperoleh gedung belakang Komnas HAM saat ini. Ketika itu Bang As merupakan anggota KPP HAM Timtim yang tadinya berkantor di kantor belakang itu.
Bersama Ibu Sap, Bang As meminta kepada Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman untuk mengizinkan ruang kerja KPP HAM Tim-Tim itu untuk Komnas Perempuan. Usulan Bang As dan Ibu Sap ternyata diterima. Sekretariat Negara kemudian memugarnya sehingga menjadi gedung Komnas Perempuan sebagaimana sekarang ada. Jadi bagaimana mungkin kami bisa melupakan Bang As?
Perjumpaan yang lain adalah di RSUD Ciawi beberapa tahun lalu. Dalam perjalanan pulang dari kantor, saya mendapat telepon dari Amanda Suharnoko yang mengabarkan bahwa Pak TH Sumarthana wafat. Di tangga rumah sakit beberapa teman yang sedang menunggu proses pemeriksaan jenazah berdiri di sana. Satu di antara mereka berdiri dengan kuyu, adalah Bang As. Ia terus merokok sambil berkomunikasi lewat telepon genggamnya.
Saya hanya menyalami karena sadar dia sedang sibuk meng hubungi atau dihubungi orang. Saya lalu menuju ruang jenazah bersama teman-teman disusul Bang As. Jenazah telah dimasukkan ke dalam peti. Dengan cermat Bang As merapihkan jas yang dipakai Mas Ton. Lalu sambil menepuk bagian dadanya ia berujar, ”Ok, sampai jumpa ya..”
Janji itu ia tunaikan sudah….
Ilham Bagi Banyak Orang
Stanley Adi Prasetyo
Saya pertama kali mengetahui Asmara pada saat saya mahasiswa. Saat itu saya sedang kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Pada 1981, Arief Budiman yang pulang dari Amerika memilih menetap di Salatiga dan mengajar di kampus Satya Wacana. Saya kerap datang ke kantor dan rumah Arief Budiman untuk meminjam buku atau sekadar berdiskusi.
Suatu saat saya tertarik untuk melakukan riset tentang gerakan mahasiswa pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Untuk itu saya datang menemui Arief dan meminjam bahan-bahan tentang hal ini yang banyak dia miliki. Dia menyodorkan setumpuk bahan berupa guntingan koran dan kliping yang antara lain tentang Komite Anti Korupsi, Golongan Putih, dan Gerakan Anti-Taman Mini. Lembar demi lembar bahan tersebut saya baca dan saya temukan nama tokoh-tokoh gerakan. Salah satunya adalah Asmara Nababan.
Ada beberapa nama tokoh yang sudah saya kenal sebelumnya, tapi ada pula beberapa nama yang baru saya ketahui. Saya men catat nama-nama itu untuk kepentingan riset kecil yang saya laku kan saat itu. Dan ketika saya mengembalikan bahan, kepada Arief saya tanyakan beberapa nama aktivis yang belum saya ketahui sebelumnya. Arief Budiman menjelaskan dengan baik tentang mereka satu persatu, termasuk peranan mereka saat gerakan dan aktivitas terakhir yang mereka lakukan. Asmara termasuk figur yang disebut Arief.
Saat lulus sebetulnya saya berencana untuk bekerja menjadi wartawan di Jakarta, namun saat itu—pasca gerakan menentang pembangunan Waduk Kedung Ombo—ada banyak teman meminta agar untuk sementara saya bertahan di Salatiga. Termasuk Arief, yang mengatakan, “untuk pengkaderan.” Untuk itu, Arief mengusulkan sambil “bekerja” di Salatiga saya sebaiknya menu liskan pengalaman saat membangun gerakan menolak pemba ngunan waduk Kedung Ombo.
Akhirnya rencana itu saya jalankan dengan bantuan dana dari International NGO Forum for Indonesia (INGI). Draft tulisan ini di kemudian hari terbit dalam bentuk buku dengan judul Seputar Kedung Ombo. Saat itu sekretaris INGI masih dijabat oleh Fauzi Abdullah yang kemudian digantikan oleh Agustinus Rumansara. Di kemudian hari Asmara menggantikan Rumansara. Saya diundang dalam sejumlah acara yang dibuat INGI di Jakarta dan di sinilah untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan Asmara dan sejumlah aktivis lainnya. Kalau tak salah di Wisma PKBI di Jl. Hang Tuah.
Pada Januari 1990 saya betul-betul meninggalkan aktivitas saya di Salatiga dan ke Jakarta. Saya bekerja sebagai wartawan maja lah Jakarta-Jakarta yang berada di bawah Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Pekerjaan saya sehari-hari adalah memburu dan menuliskan berita, namun saya tak pernah meninggalkan kegiatan saya sebagai aktivis. Saya terus berhubungan dengan dunia ini dan banyak bertemu dengan sejumlah orang, baik berkaitan dengan pekerjaan wartawan maupun kegiatan sebagai aktivis. Sebagai wartawan saya seriungkali nongkrong di sejumlah kantor Ornop. Salah satunya kalau tidak di LBH, ya di INFID.
Saat inilah saya sering bertemu dengan Asmara. Kalau tidak untuk melakukan wawancara dalam kapasitas Asmara selaku pengurus INFID (nama baru INGI), ya di kemudian hari sebagai anggota Komnas HAM. Pada era-era ini pula INFID menghubungi saya dan meminta agar saya bersedia mengedit kembali sejumlah bahan dan tulisan mengenai bahaya pembangunan pusat listrik tenaga nuklir untuk dijadikan bahan kampanye dan pembelajaran masyarakat. Waktu itu Asmara melalui Maria Pakpahan menghubungi saya. Saya langsung mendukung rencana tersebut. Apalagi sejak mahasiswa memang saya memberi perhatian mengenai hal ini dan pernah meninjau lokasi Ujung Watu di Gunung Muria, Jawa Tengah, yang konon akan dijadikan sebagai lokasi pembangunan PLTN Pada 1993 Adnan Buyung Nasution kembali dari Belanda. Ia kembali ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan menyatakan akan menjadikan YLBHI sebagai lokomotif demokrasi. Abdul Hakim Garuda Nusantara yang masa jabatan nya sebagai direktur YLBHI mendirikan lembaga baru yang dinamakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Hakim (panggilan Abdul Hakim) sering menelepon, kadang untuk mengundang datang berdiskusi kadang mengajak makan siang saya di kantor barunya di Jl Masjid II di kawasan Pejompongan. Di tempat ini lah saya kerap bertemu dengan Asmara dan juga Ibu Ade Rostina Sitompul. Rupanya Asmara selain jadi bendahara ELSAM juga jadi pengurus sebuah organisasi untuk membantu para aktivis asal Timor Timur. Selain itu Asmara juga masuk menjadi anggota Komisi Nasionakl Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Selanjutnya saya sering bertemu dengan Asmara. Ketika terjadi Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) staf Komnas HAM menghubungi meminta data-data sehubungan korban yang mati tertembak maupun yang hilang. Kebetulan saat itu saya bersama dengan sejumlah teman wartawan dan aktivis sibuk mengumpulkan laporan dan melakukan investigasi mengenai hal tersebut. Rupanya data saya sangat membantu Komnas HAM, meski data pembunuhan terhadap sejumlah orang yang baru mendarat di Tanjung Priuk dan testimoni seorang saksi mata yang saya sodorkan sama sekali tak digunakan. Mungkin ada kendala dalam penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM.
Beberapa kali Hakim meminta saya masuk menjadi anggota board Elsam, tapi baru pada 1997 secara resmi saya bergabung menjadi anggota board. Di Elsam Asmara juga anggota board. Kami jadi sering bertemu lagi. Keterlibatan Asmara di Elsam cukup intens. Belakangan Asmara menjadi ketua dewan pengurus selama dua periode. Saya menjadi sekretaris dan kemudian bendahara. Sama-sama dua periode seperti Asmara. Dalam semua hal dia selalu bertanya. “Ini kok ada yang nggak beres menyangkut pelaksanaan. Tolong kamu kontrol. Kamu harus lebih masuk untuk membantu pengurus melakukan pembenahan….”
Asmara memang selalu concern dengan masalah keuangan, sekecil apapun. Untuk laporan-laporan, dia selalu memberi waktu untuk eksplorasi. Memang belakangan dia rupanya lebih mem percayai saya ketimbang mengurusi keuangan secara langsung yang memang rumit. ”Stanley, menurut kamu ada yang bermasalah tidak? Apa pendapatmu terhadap laporan ini? ” Biasanya kalau saya menyatakan tidak ada masalah, ya sudah, dia tidak akan bertanya lebih lanjut.
Di Komnas HAM, Asmara beberapa kali meminta saya untuk membantu. Antara lain untuk menjadi fasilitator penyusunan rencana strategis Komnas HAM, fasilitator seminar internasional dan lokakarya nasional. Juga melakukan evaluasi dan membenahi sejumlah terbitan Komnas HAM, antara lain buletin Wacana dan majalah Suar.
Demos
Pada 2002 saya melihat Asmara tidak punya pekerjaan tetap, setelah keluar dari Komnas HAM. Waktu itu saya memimpin sejumlah riset untuk Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang merupakan proyek Universitas Oslo, Norwegia. Sebelumnya proyek ini merupakan proyek penelitian ISAI yang bekerja sama dengan Swedish Agency for Research Cooperation (SAREC). Penelitian ini disupervisi oleh Prof Dr. Olle Tornquist dari Universitas Oslo dan Prof Dr. Arief Budiman dari Universitas Melbourne. Saya merasa proyek ini agak keluar dari core bussiness dan mandat ISAI, karena riset ini perihal aktor demokrasi, bukan media.
Saya juga melihat ada sedikit mismanajemen di ISAI, di mana dana-dana untuk riset dipakai terlebih dulu untuk menutupi dana kegiatan yang lain. Namun pada waktu dana riset diperlukan, dananya belum bisa dikembalikan ke kas riset. Hal ini meng akibatkan risetnya kacau. Saya memutuskan untuk membikin lem baga riset sendiri terpisah dari ISAI. Hal ini saya komunikasikan kepada Goenawan Mohamad dan pimpinan ISAI lainnya serta Olle. Usulan saya disetujui. Dengan demikian penelitian ISAI-SAREC dipisah dari kelembagaan ISAI yang lebih banyak berkonsentrasi di bidang media
Pada 2002 berdirilah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi manusia, Demos. Saya pribadi meminta Asmara menjadi Direktur Eksekutif Demos. Ada tiga lembaga penopang Demos yaitu ISAI, KontraS, dan Interfidei. Saya mewakili ISAI, Munir mewakili KontraS, dan TH. Sumartana mewakili Interfidei. Secara kelembagaan Demos berbentuk perkumpulan dengan anggota antara lain Dr. Th. Sumartana, Dr. Nasikun, Dr. Arief Budiman, Munir SH, Dra. Maria Hartiningsih, Anton Pradjasto SH, Emanuel Lalang S. Bio, dan lain-lain. Untuk kebutuhan kantor, saya sediakan sebuah ruangan di kompleks Komunitas Utan Kayu. TH Sumartana menjadi Ketua Badan Pengurus Demos, Asmara menjadi menjadi Direktur Eksekutif, dan saya menjadi sekretaris Badan Pengurus.
Asmara paham betul dunia Ornop, meskipun terkadang yang dia pahami belum punya konteks. Dia terus belajar. Kalau ada orang yang menjelaskan tentang fenomena NGO yang baru, dia mendengarkan dan menyimak. Karena bagaimanapun dia generasi tua. Misalnya, NGO saya menggunakan teori yang lebih modern dan berangkat dari analisis mengenai kesehatan lembaga. Ilmu ini saya ajarkan kepada teman-teman Ornop dalam berbagai kesempatan pelatihannya. Asmara ternyata juga mengikuti. ”Oh…
kayak begitu ya…” Asmara kadang menjelaskan juga. ”Oh.. kalau dulu begini.”
Asmara memberi wawasan tambahan, tetapi sekaligus dia belajar. Menurut saya, itu kelebihan Asmara. Dia juga suka betul membaca. Jadi belajar dari bahan bacaan. Dia terkadang bertaruh dengan Tamrin Amal Tomagola. Taruhannya berbentuk buku. Siapa yang menang berhak mendapatkan buku yang sedang jadi perbincangan publik. Buiku itu kadang harus dibeli di luar negeri, karena tidak ada di sini.
Saya melihat Asmara kuat di manajemen. Manajemennya ketat. Cenderung cerewet, sehingga kadang menimbulkan konflik di antara teman-teman pelaksana. Tapi, menurut saya, maksud dia baik. Cuma cara dia kadang kaku dan keras. Mungkin karena kesenjangan umur saja. Itu seringkali menimbulkan kesulitan. Dia sangat menguasai soal kelayakan. Misalnya, dia sangat menguasai perhitungan berapa persen margin antara dana untuk supporting sama dana untuk kegiatan.
Dibanding teman-teman yang di badan pekerja INFID, ia jauh lebih senior, sehingga tampak ada dominasi dalam proses pengambilan keputusan. Sebenarnya dia sangat demokratis; men dengar pertimbangan dari banyak orang. Kalau dia cenderung mengambil keputusan atau mengarahkan ke keputusan, itu karena teman-teman muda segan sama dia. Itu juga yang terjadi saat dia menjadi Direktur Elsam sementara, atau Ketua Badan Pengurus Demos. Mungkin itu tadi: kesenjangan usia dan pengalaman. Ada sejumlah orang yang seperti mengalami mental block bila berha dapan dengan Asmara. Kalau saya sih tidak. Saya biasa bercanda dan beberapa kali malah sengaja mengusili dirinya.
Dia kuat sebagai administratur di kantor. Sebagai pelaksana di lapangan dia juga tangguh. Sebabnya? Pertama, dia menguasai substansi. Kedua, dia menguasai manajemen. Jadi dia kuat dua-duanya. Itu bisa kita lihat ketika dia menjadi sesjen Komnas HAM. Menjalankan organisasi Komnas HAM itu rumit, karena di jaman dia separuh orang Komnas HAM berasal dari birokrasi. Untuk mengendalikan mereka sulit. Apalagi separuh komisionernya waktu itu banyak yang militer-polisi, orang yang memang dimasukkan pemerintah untuk ngerecokin lembaga.
Asmara bisa memadukan dan bisa membikin semacam simbiosis mutualistis di antara para anggota untuk hal-hal yang prinsipil. Jadi nggak perlu perdebatan lagi, karena komitmen sudah jelas. Tapi untuk hal tertentu memang tidak demikian. Ketika membentuk tim penyelidikan pelanggaran yang dilakukan oleh TNI, misalnya, kemungkinan proses pengambilan keputusannya akan panjang.
Asmara terlibat di sejumlah organisasi sekaligus. Itu karena memang diminta. Dia selalu ragu-ragu. “Apakah saya bisa menye diakan waktu?” Biasanya dia meminta pertimbangan ke orang-orang terdekat. Misalnya, ketika saya menjadi ketua perkumpulan di Demos dia selalu tanya ke saya, ”Stan, saya diminta kayak gini…. Menurut kamu boleh tidak?”
Meskipun secara senioritas dia itu jauh di atas saya dan secara hierarki dia punya kewenangan untuk memutuskan sendiri, dia selalu meminta pertimbangan. Hal itu membuat saya respek kepadanya.
Teman-teman yang hendak berunding dengan lembaga dana umumnya selalu mengajak Asmara karena dia bisa menjelaskan posisi kelembagaan dan posisi politik di Indonesia. Biasanya yang bisa menyakinkan ya dia.
Kalau terlibat di sebuah organisasi dia tidak main-main. Kalau rapat selalu on time. Dengan segala keterbatasannya dia pasti selalu berupaya tepat waktu. Itu yang kemudian mendorong saya untuk on time juga, meskipun teman-teman yang lain kesulitan. Dia mengilhami banyak orang, terutama saya. ”Asmara bisa, kenapa kita tidak bisa.” Dia orang yang sibuk. Kenapa kita yang kesi bukannya nggak lebih tinggi dari dia, nggak bisa tepat waktu. Dia mengilhami dalam hal-hal yang seperti itu. Soal kedisplinan dan komitmen pada waktu, pada janji.
Kalau sudah punya janji, dia akan tepati. Kalau sudah punya janji ke isteri atau keluarganya, misalnya, dia akan minta maaf ke kita sebab tak bisa ikut jadwal organisasi. Buat dia keluarga adalah prioritas. Dia mengagendakan agar Sabtu dan Minggu tidak digunakan untuk aktivitas kerja. Bagi dia itu waktunya berkumpul dengan keluarga.
Keakraban dan Kesedihan
Sejak pagi Kamis 23 Januari 2003, semua anggota board, pengurus, dan staf Demos berkumpul untuk melakukan evaluasi dan menyusun rencana strategis tiga tahun kerja di Wisma GG, di kawasan Gadog, Puncak. Saat itu Th. Sumartana yang adalah ketua board datang bergabung. Ia mengenakan baju putih lengan panjang, seperti biasanya jika menghadiri acara penting. Setelah menyapa semuanya, ia langsung duduk dan bergabung bersama kami. “Makan dulu kau, Ton,” kata Asmara Nababan, pemimpin rapat, yang duduk di sebelah Pak Ton—panggilan akrab Th. Sumartana. Belakangan kami baru tahu bahwa dalam perjalanan dari Jakarta ke Puncak, Pak Ton mampir di warung sate kambing “Pak Kadir” dan menyantap sate dan gulai kambing kegemarannya.
Siang itu, kami yang antara lain adalah Asmara, Sumartana, AE Priyono, saya dan beberapa teman lain siang itu hingga malam hari terus bercanda. Asmara dan Sumartana saling mencerita masa muda masing-masing. Tentu saja yang lucu-lucu. Kami semua melihat keakraban yang luar biasa antara mereka berdua. Bahkan ketika Sumartana meminta orang hotel untuk membelikan rokok sebanyak satu sloop, Asmara ikut menimpali, “Aku juga belikan, ya Ton.” Sekitar setengah jam kemudian, orang hotel datang dengan membawa 2 sloop rokok dengan merk yang sama. Sumartana menerima dan memberikan yang satu kepada Asmara. Kami berdua baru sadar bahwa jenis dan merk rokok yang diisap keduanya adalah sama. Mereka merokok sambung menyambung, tiada henti. Mirip kereta api tua dengan asap tebalnya.
Keesokan harinya, saat istirahat sehabis makan siang, kami terlibat perbincangan ringan kembali. Sumartana kali ini yang banyak bercerita soal hal-hal yang irasional dari dunia supernatural. Ia sempat bertanya, “Stanley kamu percaya tidak? Saya tidak percaya, tapi ingin mengalaminya.”
Lantas Sumartana bercerita tentang pengalamannya pada April 1988 saat sedang mengambil doktor di Belanda. Saat itu ia mendengar Yap Thiam Hien meninggal dunia di Belgia ketika sedang mengikuti delegasi International NGO Forum for Indo nesia (INGI). Bersama Parakitri Tahi Simbolon, ia kemudian menunggui jenazah Pak Yap di kamar jenazah sebuah rumah sakit kota Ysermonde, tempat Pak Yap meninggal. Menurutnya praktis hanya dia sendiri yang akhirnya menemani sang jenazah karena Parakitri tidak cukup berani melakukannya. Ia menungguinya selama 3-4 jam, sendirian. Malam dan dingin membuatnya lelah dan mengantuk, tetapi ia sama sekali tidak takut.
Setelah pengurusan jenazah untuk diterbangankan ke Jakarta, Sumartana pulang ke Belanda dan langsung menuju apartemennya untuk istirahat dan tidur. Tak lama Sumartana tertidur, ia dibangunkan sebuah ketokan pintu. Ketika dibuka, ia melihat Yap Thiam Hien dalam penampakan yang bersifat sangat fisik, kasat-mata. Pak Yap mengucapkan terima kasih dan berpesan agar ia melanjutkan pekerjaan yang dilakukannya selama ini. Pak Ton mengakui itulah pengalaman gaib satu-satunya selama hidupnya. Dan ia sendiri tak mempercayainya. “Mungkin karena saya kelelahan. Itu anggapan saya,” ujar Pak Ton.
Tak lama kemudian Pak Ton masuk kamar dan tidur. Kami melanjutkan proses perencanaan strategis. Sorenya saat kami istirahat, saya sambil membawa cangkir teh pergi ke depan televisi yang berdekatan dengan kamar Pak Ton. Pak Ton tak lama kemu dian bangun dan keluar kamar. Ia mengambgil secangkir kopi dan kemudian duduk di belakang saya sambil membaca koran. Sebatang rokok dinyalakannya dan diisapnya dalam-dalam. “Eh, Stanley, jangan lupa ya nanti malam kita nonton pertandingan Ultimate Fighting Championship (UFC)!” kata Pak Ton.
Saya jawab, “oh, ya saya sampai lupa kalau nanti ada UFC.” Saya lantas pamit untuk rebahan di kamar. Jarum jam menunjuk sekitar pk 17.15 wib.
Tak lama saya rebahan di kamar di lantai atas, saya mendengar kegaduhan di bagian bawah. Wiratmo Probo dengan napas ter sengal masuk ke kamar dan agak berteriak, “Ley, tolong bantu. Pak Ton semaput.” Tanpa pikir panjang, saya langsung loncat dan lari ke lantai bawah lantas masuk ke kamar Pak Ton. Di kamar teman-teman mengelilingi ranjang Pak Ton. Asmara dengan balsem menggosok kaki Pak Ton, sambil berkata, “Ton, bangun, Ton.”
Menurut teman-teman Pak Ton yang sedang membaca koran jatuh merosot saat duduk di sofa menghadap tivi. Menurut AE Priyono yang melihat Pak Ton, posisi duduk Pak Ton agak aneh. Koran yang dipegangnya jatuh menutupi tubuhnya, sementara tangan kirinya terkulai di lantai. Sesaat kemudian AE Priyono mendengar Pak Ton mengerang dan kepalanya terkulai pula ke kiri. Mata Pak Ton terpejam, seperti menahan sakit. AE dibantu sejumlah teman lantas mengangkat Pak Ton ke kamar.
Saya lihat mulut Pak Ton agak terbuka. Sebagian bibir dan wajahnya tampak kehitaman. Saya mencoba meraba denyut nadi tangannya. Saya tak merasakan ada detak nadi. Saya kembali meraba nadi di bagian leher ternyata hasilnya sama. Saya berkali-kali mencoba memberikan goncangan di bagian dada Pak Ton untuk melihat reaksi yang ada sebelum mencoba memberikan nafas buatan. Tapi tak ada tanda-tanda kehidupan. Asmara terus mencoba membangunkan Pak Ton dengan, “Ton, bangun, Ton.”
Semua mata memandang ke saya. Beberapa teman yang lain menelepon rumah sakit dan meminta agar segera dikirim ambulans.
Saya sendiri dengan mengangkat pundak dan tangan, saya katakan, bahwa Pak Ton telah pergi. “Tak ada yang bisa kita lakukan lagi,” kata saya. “Perkiraan saya, Pak Ton telah meninggalkan kita semua sdekitar 10 menit lalu,” sambung saya. Hal ini saya lihat dari reaksi tubuh Pak Ton.
“Kau jangan bercanda, ah,” ujar Asmara tak percaya.
Tak lama kemudian mobil ambulans datang. Kami segera mengangkat Pak Ton masuk ke mobil dan langsung meluncur ke RS Ciawi. Dokter piket yang menjemput ke luar halaman, langsung memeriksa Pak Ton dan mengonfirmasi bahwa Pak Ton memang benar-benar telah tiada. Saya bertanya kepada dokter sudah berapa lama Pak Ton meninggal. “Kira-kira 30 menit yang lalu,” ujar dokter. Saya melihat jam tangan dan memastikan bahwa konfirmasi dokter sama dengan perkiraan saya sebelumnya.
Saya lihat Asmara betul-betul terpukul. Ia tampak bingung. Pandangannya melompong. Saya coba kontak keluarga Pak Ton di Salatiga, tak ada jawaban. Akhirnya saya mengontak kantor Interfidei di Yogya. Si penerima telepon tak percaya dengan kabar yang saya sampaikan. Karena Pak Ton harus dibawa ke Jawa Tengah sambil menunggu keputusan apakah akan dibawa Salatiga atau Yogyakarta, saya mengambil keputusan agar jenazah Pak Ton segera diformalin. Saya melihat Asmara kali ini tak bisa diharapkan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai pengawetan tubuh Pak Ton. Ia tampak betul-betul berduka.
Beberapa jam kemudian, setelah Asmara menyampaikan sam butan untuk mengantarkan pemberangkatan jenazah Pak Ton. Kami kembali ke Wisma GG. “Jadi kita akan kembali melanjutkan penyusunan rencana strategis Demos malam ini?” tanya saya sekadar untuk memecahkan kesunyian, karena semua orang tampak dalam kedukaan dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Ah, kau gila mau lanjutkan malam ini. Lebih baik pertemuan ini kita akhiri sampai di sini dan kita balik ke Jakarta. Dalam suasana kegundahan seperti ini tak mungkin kita bisa berpikir jernih lagi,” kata Asmara. Malam itu kami berkemas dan memutuskan pulang dengan agenda yang belum selesai.
Hingga beberapa waktu kemudian saya masih melihat wajah Asmara masih diliputi mendung. Bahkan ia tampaknya tak mau lagi ikut acara bila diselenggarakan di Wisma GG. Bahkan saya dengan bercanda berkata kepada Asmara bahwa ia perlu segera melupakan kepergian Pak Ton dengan kembali ke datang ke Wisma. “Pemilik Wisma GG menanyakan, kapan batu undakan yang Bang As pesan dulu akan diambil? Batunya sudah ada,” kata saya. Tapi setahu saya Asmara memang menghindari acara-acara di Wisma GG, meski batu pesanannya telah diambilnya. Saya tak tahu bagaimana cara ia mengambilnya.
Tentang Rokok
Kalau datang ke kantor Demos di kawasan Menteng saya melihat Asmara lebih banyak tenggelam dalam asap rokok. Ada banyak teman-teman yang komplain bila Asmara merokok di ruangan dalam yang merupaklan ruangan kerja bersama. Maklum ruangan nya ber-ac. Asmara sendiri rupanya tak tahan dengan udara sejuk ac. Jadi ia lebih banyak memilih berada di ruangan kebun binatang. Begitu saya lebih suka menyebutnya. Karena ruang ini tadinya adalah halaman yang direnovasi dan diberi kawat sebagai pembatas dinding-dindingnya.
Melihat rokok yang tak putus-putus diisap, saya katakan kepada Asmara, “Bang, berhenti dong merokoknya. Minimal kurangi. Kan Pak Ton sudah meninggalkan kita semua. Beliau dulunya kan juga perokok berat.”
Nah, kalau sudah begini jawaban Asmara pasti ketus, “Kau macam dokter saja.” Dan, dia kembali menghembuskan kepul asap rokoknya yang tebal.
Saya katakan kepada Asmara, bahwa tadinya saya adalah perokok berat. Sehari bisa empat bungkus itupun rokok merk Dji Sam Soe. Apalagi ketika bekerja jadi wartawan di mana semua teman-teman adalah perokok berat. Rokok tak terlalu berpengaruh pada kesehatan saya, apalagi tubuh saya memang tergolong kuat dan nyaris tak pernah sakit. Suatu saat saya jatuh sakit dan harus dioperasi. Sebelum oparesi saya harus menjalani cek kesehatan secara detil. Tim dokter menyatakan bahwa paru-paru saya berkabut. “Itu karena rokok, Bang,” kata saya. Asmara agak sedikit tercenung, tapi ia kembali memilih mengisap rokoknya kembali sambil menyeruput kopi hitam kendal di cangkirnya.
Belakangan setelah Asmara terjatuh di kamar mandi dan dirawat di RS Cikini, tampak ia berjuang untuk berhenti merokok. Tapi tampaknya rokok memang menjadi salah satu kebutuhan utamanya. Saya masih sering menemukan Asmara tengah merokok setelah itu. Hingga suatu saat saya membawakan buku kecil tentang cara menghentikan kebiasaan merokok. Asmara menerima buku itu sambil tersenyum, tapi ia memilih bergeming dengan kebiasaannya. Namun secara perlahan saya menyaksikan ada tahapan Asmara untuk mencoba menghentikan kebiasaan merokok. Dia juga mulai membawa bekal makan siangnya yang pasti berupa beras merah dan dedaunan. Asmara rupanya telah memilih hidup sehat dengan cara berhenti merokok dan makanan diet.
Dalam sebuah pertemuan di Demos, kalau tak salah ingat pada 2005, saya katakan bahwa kalau kita cermati satu persatu pendiri Demos meninggal dunia. Pak Ton pergi meninggalkan kita pada 2003 disusul Munir pada September 2004. “Siapa yang akan menyusul nih?”
Tak kita sangka, pada 28 Oktober 2010, Asmara pergi mening galkan kita semua di Guangzhou, Cina. Ia pergi di tengah kese hatannya yang sebetulnya terus membaik pasca-pengangkatan sebagian jaringan paru-parunya akibat kanker.
Berkali-kali saya masih melihat foto Asmara di ranjang di rumah sakit di Cina yang dikirimkan ke ponsel. Wajahnya masih bersinar, tangan kanannya mengangkat dan menunjukkan huruf V (dari victory).
Ya, hingga saat-saat terakhir, Asmara tampak optimis dalam menjalani apa yang harus dijalaninya. Sama optimisnya dengan saat ia mengikuti semua jungkir balik dan akrobat politik yang terjadi di negeri ini.
Dia Konsisten dan Profesional
Roy Tumpal Pakpahan
Saya pertama kali kenal dengan Bang As sekitar 1986. Ketika itu saya masih menjadi mahasiswa fakultas hukum yang ikut menerbitkan media kampus. Aktivis pers kampus, sebutannya. Kami bertemu dalam sebuah training jurnalistik untuk pers mahasiswa di Jakarta. Sebagai pimpinan majalah Kawanku dia menjadi trainer.
Saya salah satu peserta.
Setelah itu beberapa kali lagi kami bertemu tapi tidak intensif. Di antaranya dalam rapat-rapat yang membahas kasus Kedung Ombo. Koalisi LSM berkumpul waktu itu. Aktivis kampus juga ikut. Tujuannya menyiapkan demo besar-besaran. Kami biasanya rapat di LBH Jakarta. Di sana Bang As ikut memberi masukan.
Saya tahu, di tempat lain dia juga ikut menggerakkan beberapa kegiatan koalisi masyarakat sipil. Tujuannya, membela rakyat yang menjadi korban kebijakan pembangunan. Itu dari 1986 sampai 1990.
Pada 1988 kami para mahasiswa merancang demo untuk menuntut penurunan tarif listrik. Kami menamakan diri KMPTL atau Komite Mahasiswa Penurunan Tarif Listik. Setahu saya sepanjang sejarah Orde Baru itulah aksi pertama mahasiswa menentang tarif listrik.
Saat demo kita bergerak menuju istana negara. Tetapi di jalan Sudirman sudah dicegat dan ditangkap. Kami sebanyak 30 orang dijebloskan ke tahanan Polda Jaya sekitar sebulan. Nah, salah satu yang ikut mengadvokasi kami dari luar adalah Bang As. Dia juga sarjana hukum kan.
Pada 1991 saya menjadi intens bertemu dengan Bang As.
Ceritanya, waktu itu saya baru selesai kuliah dari fakultas hukum. Kebetulan waktu itu ada iklan lowongan kerja. Di Kompas atau Suara Pembaruan saya sudah tidak ingat, diumumkan bahwa sebuah LSM membutuhkan beberapa tenaga paralegal untuk pendampingan di kantor pusat mereka, Siborong-borong. Tidak disebutkan bahwa LSM dimaksud adalah KSPPM—Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat.
Saya melamar dan ikut test. Beberapa tahap testnya sebelum wawancara. Setelah lulus tes tertulis, saya diinterview langsung oleh Bang Asmara. Saya baru tahu direkturnya dia. Ada juga Mochtar Pakpahan waktu wawancara itu.
Beberapa hari kemudian diumumkan bahwa dari sekitar 40 orang yang ikut tes, empat saja yang diterima. Sarjana hukum semua. Saya salah satunya.
Seminggu sebelum diberangkatkan ke Siborong-borong kami berempat dipanggil. Bang As ngomong. Kalian dibutuhkan di Tapanuli. Kalau di sini sudah banyak sarjana hukum. Nggak ada yang perlu di sini. Tapi di sana kalian tidak akan enak. Kalian akan berhadapan dengan alam bebas. Di hutan kalian. Jadi udah siap nggak. Jangan ke sana hanya mau cari kerja. Kalau mau cari kerja di sini (Jakarta) saja.
Dia tegas mengatakan begitu. Kalau kalian memang betul-betul ingin mencoba melakukan pelayanan, mencoba hal yang baru yang kalian belum pernah tahu di sanalah tempatnya.
Saat itu saya menilai Asmara bukan orang biasa. Dia punya pride dan bisa menyakinkan orang bukan dengan hal-hal yang muluk. Tapi dengan hal yang pahit-pahit dulu. Dia bilang jelas perikatan ini profesional. Kalian digaji. Bukan ditelantarkan begitu saja. Cuma tantangannya bukan seperti kerja biasa. ”Siap tidak berangkat ke sana?”
Kami jawab, ”siap!”
Saya sendiri memang siap. Saya pun melepaskan pekerjaan yang jelas-jelas sudah di depan mata. Bapak saya kan dokter. Teman bapak di sebuah BUMN dari lingkungan departemen kesehatan sudah menyiapkan tempat untuk saya. Tapi, menurut saya tantangan di Tapanuli akan jauh lebih menarik.
Saya berangkat. Kalau orang malas pulang kampung ya saya pulang kampung. Rencananya setahun di sana. Bapak saya marah-marah. Bapak bilang: orang datang dari Siborong-borong ke Jakarta cari kerja. Kau sebaliknya. Mau kerja apa di sana? Saya sudah memilih dan saya siap mempertanggung jawab pilihan saya.
Pada 1991 itu sedang ramai-ramainya kasus Indorayon. Rakyat menentang keras pabrik pulp punya Sukanto Tanoto di Porsea yang memang sangat bermasalah secara lingkungan. Saya berhubungan secara intensif dengan Bang Asmara sebab dia direktur KSPPM dan saya paralegal.
Kegiatan kami sebagai paralegal adalah penyadaran hukum dan pendampingan masyarakat di kitaran Tapanuli. Kita bikin training-training paralegal untuk masyarakat dampingan. Bukan hanya di wilayah konflik tapi juga di kawasan lain yang masyarakatnya belum mengerti hukum. Termasuk Parapat, Siborong-borong, Lagoboti, Porsea, dan Tarutung.
Selama di KSPPM dalam seminggu kami harus ke kampung. Jadi praktis hanya Sabtu di Siborong-borong; selebihnya kita di kampung. Tahu sendirilah kampung-kampung Tapanuli masa itu: kalau kita buang air besar di porlak-porlak (ladang) saja. Sangat mungkin tiba-tiba babi udah nyeruduk dari belakang. Jadi kita harus pegang tongkat atau pentung. Benar waktu Bang As bilang waktu pengarahan dulu: kalian di sana tidak enak.
Dalam acara semacam itu saya sering bertemu Bang As. Saya semakin merasa dia itu profesional. Saya ingat waktu kami bertemu saat wawancara sehabis test tertulis dulu. Ternyata saat itu dia langsung ingat saya.
“Oh, kau aktivis yang dulu di penjara itu ya?” katanya.
”Iya, Bang,” jawab saya.
Waktu itu saya bilang dalam hati: abang ini profesional juga. Sebenarnya kalau mau dia tidak perlu bikin iklan-iklan di koran. Rekrut saja yang ia sudah dikenal kalau memang mau KKN. Toh kenalannya banyak sekali.
Di situlah saya melihat dia berbeda. Dia mau, kita ini pilihan yang betul. Bukan karena teman maka direkrut. Profesionalisme yang ia tekankan. Jadi kita harus punya kompetensi. Punya kapabilitas dan komitmen. Selama bekerjasama dengan dia saya lihat dia memang profesional.
Bang As itu disiplin. Bagi dia semua pekerjaan terencana. Semua program jelas ketika dievaluasi. Dan dia tak suka orang yang cengeng. Dia juga paling tidak suka kalau ada klik-klikan: si itu orangnya si anu; si itu orangnya si ini. Ribut, lalu meminta orang berpihak ke sini atau ke sana. Ending-nya pakai pecat-memecat. Dia tidak mau seperti itu.
Di KSPPM saya tak sampai setahun. Enam bulan saja. Sebenarnya saya tidak punya masalah. Tidak ada masalah dengan Bang As dan kawan-kawan sekerja. Menurut saya konsep pendam pingan atau paralegal yang Bang As tawarkan ke KSPPM sudah tepat. Hanya saja, menurut saya, sinerginya perlu diperbaiki. Maksud saya sinerginya dengan para organiser atau aktivis-aktivis lokal—mereka yang selama ini memang sudah lebih dulu melakukan advokasi di Tapanuli.
Para aktivis tersebut tahu betul konten lokal. Jadi, tanpa harus belajar lagi mereka sudah tahu situasi lokal seperti apa, menghadapi masyarakat lokal bagaimana. Kami paralegal ini kan orang luar. Orang yang datang ke sana dan kami hanya mengerti soal hukum dan aspek-aspek hukum yang konkrit. Pengetahuan kami tentang situasi lokal masih minim.
Sinergi, menurut saya, perlu dibangun. Pun relasi yang berda sarkan garis profesional. Misalnya, betul-betul ada job description yang jelas. Yang goal-nya semua orang tahu secara persis.
Waktu itu organiser KSPPM kebanyakan orang Batak. Saat bekerja mereka merasa KSPPM itu semacam paguyuban. Padahal sebenarnya LSM itu bukan paguyuban apalagi kalau lembaganya semacam KSPPM. Saya rasa kerja harus serba profesional seperti halnya di kantor-kantor lain.
Saya juga ingin LSM itu tidak dilihat sebagai lembaga charity: lembaga yang hanya memberi derma saja sehingga membuat ketergantungan rakyat. Apa anggapan bahwa KSPPM itu badan charity. Karena tahu LSM ini dibiayai asing. Bahwa uang dari luar. Mereka bilang: ya, uang itu untuk kita rakyat miskin. Padahal konsepnya bukan seperti itu sebenarnya.
Saya mau iklim kerja yang lebih profesional. Namanya juga masih muda ya. Kami ingin mencoba tantangan-tantangan lain. Ya sudah, saya pindah dari sana. Sekali lagi, tidak ada masalah antara saya dengan Bung As maupun dengan teman-teman di sana. Di KSPPM, saya menikmati pekerjaan.
Di sisi lain, walau pun saya orang Batak, baru kali itu saya pulang ke tempat leluhur dalam waktu yang lama. Di sana bekerja untuk orang kampung benar. Dari yang mulai buta huruf dan tidak mengerti apa-apa hingga tokoh berpengaruh dalam adat maupun masyarakat. Yang terakhir ini terkadang tidak bisa baca-tulis tetapi sangat berpengaruh. Itu menarik kan. Mereka berpengaruh tapi tidak bisa membaca. Apa yang mereka katakan didengarkan rakyatnya. Nah, kita tetap membutuhkan mereka sebab pengikutnya banyak. Mereka akan membantu kita dalam kerja-kerja menyadarkan masyarakat bahwa hukum itu salah satu elemen penting. Setelah enam bulan di KSPPM kebetulan ada tawaran pekerjaan dari harian Suara Pembaruan di Jakarta. Saya ingin mencoba tantangan baru sebagai wartawan. Kan waktu mahasiswa saya ikut mengelola pers kampus. Jadi saya pikir ini kesempatan bagi saya untuk terjun sepenuhnya ke dunia pers.
Narasumber
Pada awal 1991 awal saya kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Suara Pembaruan. Sekitar delapan tahun saya di sana. Setelah menjadi wartawan saya sering lagi bertemu dengan Bang As. Dia salah satu narasumber saya untuk liputan kasus-kasus HAM dan perlindungan masyarakat sipil. Saya menjadikan dia narasumber dengan alasan yang jelas. Profesionalisme juga dasarnya
Waktu itu Bang As bergiat di Yapusham, lembaga yang bergerak di bidang hukum dan HAM. Dia juga salah satu pimpinan INFID. Selain itu dia terlibat di beberapa koalisi LSM di Asia yang bergerak di bidang human rights. Di Asia Forum dia ikut. Jadi yang ia urusi bukan hanya kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia tapi juga Asia Tenggara.
Network-nya luas. Dia banyak terlibat dengan kelompok indigeneous people: masyarakat asli terutama yang sering jadi korban pelanggaran HAM. Seperti di Timor-Timur dan Papua.
Bang As ini menurut saya merupakan salah satu sumber yang paling berani dan konsisten membela para korban pelanggaran HAM. Itu sebabnya saya selalu menginterview dia.
Kalau bukan Bang As, narasumber saya di Komnas adalah Marzuki Darusman dan Benyamin Mangkudilaga. Baharudin Lopa sekali-sekali. Pemimpin umum Suara Pembaruan, Albert Hasibuan kan di Komnas juga. Dia waktu itu wakil ketua Komnas. Saya jarang mewawancarai dia. Kalau saya sering wawancara dia kesannya kan KKN. Juga tak ada tantangannya.
Bang As, Lopa, Marzuki, dan Benyamin menurut saya merupakan tokoh penggerak Komnas HAM. Mereka sangat konsisten. Kalau anggota Komnas yang lain, mungkin korbannya harus berteriak dulu atau mati baru mereka mau bersuara ke pers.
Tomat di Majalah Kawanku
Rahmat Riyadi
Tomat lahir tak lama setelah majalah anak-anak Kawanku terbit. Awalnya, untuk cover belakang, Pak Toha Mochtar memilih kartun strip dari luar negeri. Tapi mereka lebih cenderung untuk lebih mementingkan kartun strip produk dalam negeri.
Saya kebagian untuk menjajal kartun strip dalam negeri. Dan akhirnya, Tomat mulai nongol di majalah Kawanku sekitar awal atau pertengahan t1976. Persisnya, saya lupa. Dan selalu setia setiap minggunya menemui pembaca Kawanku.
Saat itu saya hanya kenal anggota redaksi Kawanku yang berkantor di Asemka. Ada pak Toha Mochtar, Pak Trim Suteja, ada Julius Sirajanamual dan ilustrator Ambar Indrasto dan mas Iman Sutopo. Juga beberapa illustrator langganan, maupun pengarang cerita langganan Kawanku, seperti Darto Singo. Boleh dibilang saya tidak pernah bertemu muka dengan Asmara Nababan, meskipun saya tahu dialah bos Kawanku.
Pertemuan pertama dengan Asmara Nababan terjadi saat saya sedang butuh sekali uang. Waktu itu kantor Kawanku sudah di kilometer sekian ke arah Tangerang. Asmara tahu saya sedang kesulitan, dan Asmara berusaha untuk mendapatkan uang, honor saya, meskipun saya tahu, kantor Kawanku waktu itu juga sedang kesulitan uang.Tapi ia tidak mau berkilah atau menunda, ia tahu “hak asasi” saya, seorang pengirim naskah yang meminta haknya.
Majalah Kawanku akhirnya diambil alih oleh Kelompok Kompas Gramedia. Pada awalnya, ia masih majalah anak-anak. Tapi akhirnya ia harus “berganti kelamin”, menjadi majalah remaja perempuan. Mulai saat itu, pada 1990-an, Tomat pensiun. Ia sudah tidak cocok lagi menghuni majalah itu.
Hari ini, Tomat hidup lagi, untuk mengenang pendiri majalah anak-anak Kawanku. Selamat jalan, Bang! Tomat, Turi dan seisi hutan akan selalu mengenang seseorang yang membuat mereka hidup selama 14 tahunan!
Semangat Jaman Asmara Nababan
Usman Hamid
Di tengah khidmatnya peringatan hari Sumpah Pemuda 1928 yang diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, dari Guangzhou, Republik Rakyat China, terdengar kabar
Asmara Nababan wafat. Rasa kehilangan segera menghampiri kerabat dekat, para aktivis hak asasi manusia dan semua delegasi 33 propinsi yang hadir. Sedih, sepi dalam takdir.
Bernama lengkap Asmara Victor Nababan, lahir di Siborong-borong, 2 September 1946, dalam usianya yang ke-64 tahun, Asmara masih sangat aktif dalam berbagai kegiatan advokasi hak asasi manusia, penguatan konsolidasi demokrasi, hingga reformasi politik di semua sektor strategis seperti peradilan dan keamanan.
Asmara dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM). Kiprahnya mengemuka pada saat menjadi Direktur International NGO Forum for Indonesia Development (INFID), sebuah organisasi yang menjadi simbol oposisi atas konsep pembangunanisme ala Orde Baru. INFID memimpin setidaknya 94 kelompok pro-demokrasi untuk melakukan advokasi nasional dan internasional berkenaan dengan proyek-proyek pemerintah yang dibangun melalui dana utang luar negeri hingga pengerukan sumber-sumber kekayaan alam.
Asmara kian mendapat tempat di hati publik saat berkiprah sebagai Sesjen Komnas HAM. Ada sejumlah kalangan yang merasa khawatir bahwa kiprahnya akan tenggelam setelah bergabung dalam institusi yang dibentuk Presiden Soeharto tersebut. Hampir tak ada satu pun aktivis pro-demokrasi yang percaya Komnas HAM akan efektif. Awal pembentukan Komnas HAM ketika itu lebih diyakini sebagai taktik politik pemerintah dalam meredam reaksi internasional atas penembakan di Santa Cruz, Timor Timur 1991.
Kenyataannya, Asmara membuat capaian luar biasa. Ia mengubah Komnas HAM yang semula hendak dijadikan sebagai alat pencitraan kekuasaan Orde Baru, malah menjadi lembaga kontrol efektif terhadap jalannya kekuasaan pemerintahan Suharto. Asmara yang pertama kali membongkar keterlibatan satuan elite militer dalam pelanggaran HAM di wilayah tambang Freeport pada tahun 1995-1996. Terbentuknya TGPF Kerusuhan 13-14 Mei 1998 di era Presiden BJ Habibie juga tak lepas dari peran Asmara.
Bersama Baharudin Lopa, ia memegang peranan vital saat mem bongkar kekerasan politik dan pelanggaran HAM yang terjadi selama Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Ia secara lugas menjelaskan kepada pemerintah dan juga ABRI mengapa Komnas HAM perlu membuka kembali apa yang dirasakan rakyat Aceh sebagai ketidakadilan. Ia juga yang mengendalikan penyelidikan bersama Lopa yang turun ke lapangan untuk menggelar investigasi forensik atas lokasi-lokasi tempat ditemukannya tengkorak korban pelanggaran HAM selama DOM. ABRI menolak temuan itu, tapi Komnas HAM terus bekerja hingga tuntas penyelidikan.
Menyadari temuan-temuan penting penyelidikan Komnas HAM, sebuah Panitia Khusus dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta memanggil sejumlah petinggi militer yang bertanggungjawab atas operasi militer di Aceh. Anggota Pansus tersebut, Tengku Nashiruddin Daud, diculik dan ditemukan tewas dalam kondisi menggenaskan. Bersama Munir, Asmara mendorong pengusutan kematian politisi asal Aceh tersebut.
Belum reda pro dan kontra atas Aceh, tekanan publik kembali mengemuka atas inisiatif penyelidikan Komnas HAM atas pelang garan HAM yang terjadi pasca jajak pendapat di Timor Timur pada 1999. Bersama aktivis di luar Komnas HAM, Asmara mengatur strategi agar peristiwa Tanjung Priok 1984 juga diusut secara projustisia pada tahun 2000. Beberapa kelompok garis keras mene kan Komnas HAM, menuding Asmara memiliki kepentingan politik serta mempersoalkan Asmara hanya karena ia penganut Kristiani. Berangkat dari keberhasilan penyelidikan-penyelidikan tersebut, kalangan mahasiswa dan aktivis mendesak Komnas HAM mem bentuk Komisi Penyelidik atas rentetan penembakan mahasiswa pada 1998, khususnya tragedi Trisakti, Semanggi I dan II. Bersama sahabat dekatnya Albert Hasibuan, Asmara mengumumkan terbentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I dan II (KPP HAM TSS) lengkap dengan formatur anggota penyelidik di tengah keraguan pimpinan Komnas HAM menerbitkan Keputusan. Berbagai maneuver menjegal kiprahnya selalu ada. Saat itu, sejumlah elite sipil dan militer memobilisir massa dengan menggunakan sentimen agama. Tanpa penjelasan yang masuk akal, isu-isu miring dikembangkan untuk menjegal kerja-kerja Komnas HAM termasuk sisi personal Asmara. Ia tak pernah gentar sekalipun menghadapi risiko kematian.
Menjelang akhir masa bhaktinya, Asmara berhasil mendorong lahirnya Komisi Penyelidik untuk Peristiwa Talangsari 1989. Seorang jenderal senior mempengaruhi Asmara dengan uang ber jumlah besar. Dengan lugas, pemberian itu ditolaknya. Dalam sepucuk surat, si jenderal meminta maaf. Itulah terakhir pengaruh besar Asmara selama menjadi Sesjen Komnas HAM. Selanjutnya, Asmara memutuskan untuk tidak melanjutkan masa kerjanya di Komnas HAM, justru di saat pemerintah dan DPR membekali Komnas HAM landasan hukum yang lebih kuat.
Bahkan kiprahnya tetap terasa setelah keluar dari Komnas HAM, dengan memprakarsai terbentuknya Demos, sebuah think tank para aktivis pro-demokrasi. Dari prakarsa Demos, Asmara membawa banyak perubahan atmosfir kelompok pro-demokrasi untuk terjun ke dunia politik. Asmara juga selalu berusaha berada di tengah-tengah korban-korban. Saat Kongres Korban dan Pejuang HAM di Depok, 17 Maret 2009 lalu, Asmara mengatakan bahwa komitmen politik elite untuk memajukan HAM hanya pemanis bibir, padahal penegakan HAM ditentukan oleh komitmen politik Negara, terutama komitmen politik pemerintah. Tanpa komitmen politik yang kuat, kata Asmara, maka penegakan HAM akan berjalan di tempat, atau bahkan mundur.
Terkini, bersama sahabat karibnya Marzuki Darusman, yang juga mantan Ketua Komnas HAM dan juga mantan Jaksa Agung, Asmara membidani lahirnya Pusat Sumber Daya Hak Asasi Manusia ASEAN (Human Rights Resource Centre for ASEAN-HRRCA) yang berbasis di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Sesungguhnya, Asmara adalah aktivis veteran yang memberikan energi dan sumbangsih terbesar kepada dunia perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia, baik pertumbuhan gerakan, juga dalam menelurkan dan mengembangkan berbagai konsep-konsep HAM.
Dalam keseharian, Asmara adalah sosok aktivis yang bersahaja, senantiasa sederhana, menggunakan sandal dan membawa tas yang terbuat dari kain. Ia menjadi pembeda di tengah aktivis senior seusianya yang bergelimang kemewahan.
Suatu hari, Asmara masuk ke Istana Negara hanya menggunakan sandal dan membuat petugas keamanan Ring 1 bahkan Presiden terlihat terheran-heran. Di lain kesempatan, saat hendak mendam pingi korban pelanggaran HAM masa lalu ia tak berhasil meyakinkan petugas istana untuk kembali bisa masuk ke dalam.
Para sahabat kerap menyarankan Asmara agar mengurangi intensitas kegiatannya mengingat kondisi kesehatan yang menurun. Tetapi Asmara tak bisa diam. Ia resah dengan masalah-masalah pokok di Indonesia dewasa ini, yakni ketiadaan konsep “citizenship”. Baginya mungkin, kita hidup dalam negara setengah-modern, kulitnya modern tapi tulang dan dagingnya masih pra-modern alias feodal. Ciri pentingnya adalah tak ada equal citizenship. Orang tetap tidak dianggap setara, sama dan sederajat hak dan kewajibannya sebagai warga (citizen), apa pun yang mereka lakukan. Banyak dari kita yang menjadi warga republik ini, terutama korban-korban pelanggaran HAM, masih diperlakukan seperti bukan manusia, juga karena absennya konsep citizenship ini. Ia ingin mentransformasi relasi korban dan Negara menjadi setara.
Kini Asmara telah pergi. Sosoknya menjadi artefak symbol pejuang kemanusiaan sejati. Kesederhanaan dan keteguhannya membela keadilan orang-orang yang tertindas serta terpinggirkan tetap ‘kan dikenang sepanjang masa. Bang As, selamat jalan! Beristirahatlah dalam kedamaian.
Bagian Lima
Sumbangan
Pemikiran
Sinur Napinahan, Gabe Naniula
Junpiter Pakpahan dan Eliakim Sitorus
Isi buletin tersebut memberitahu pembacanya, bahwa sejak 1987, KSPPM berteman dengan rakyat (petani) menyikapi isu-isu yang berhubungan dengan petani dan kebijakan pertanian, baik dalam perjuangan mempertahankan tanah adat (reclaiming) mau pun pengembangan ekonomi rakyat. Semua kegiatan itu adalah dalam kerangka penguatan hak-hak rakyat dari jeratan penguasa dan pemodal (kapitalisme).
Dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat, KSPPM mengajak atau mengampanyekan konsep pertanian organik16 kepada petani di wilayah pendampingan dan pelayanannya di Tapanuli Utara, sebuah daerah di Propinsi Sumatera Utara dan kala itu ber-predikat sebagai “peta kemiskinan”.
Petani pedesaan baik perempuan dan laki-laki, usianya relatif tua-tua, bahkan banyak yang sudah renta, harus membanting tulang, mulai terbit matahari dan pulang ke rumah setelah matahari condong ke ufuk barat. Hasil panennya dihargai sangat murah oleh pengijon atau tengkulak untuk membayar hutang, ditambah persoalan lahan sewa yang besarnya kadang mencapai setengah hasil panen. Pemilik tanah kadang tak peduli, hasil panen baik atau tidak. Ini masih ditambah persoalan pupuk dan pestisida yang harus dibeli dengan harga mahal, berikut benihnya. Jadi, mereka menjadi miskin bukan karena malas, tetapi karena dimiskinkan.
Bagi KSPPM, pilihan pengembangan program pertanian organik adalah sebuah ideologi “perlawanan”17 terhadap sebuah sistem pertanian global dan massif, bernama revolusi hijau.18 Pada masa itu juga, pertanian organik digunakan sebagai upaya untuk melestarikan alam dan lingkungan sekitar. Kami bisa merasakan betapa susahnya perjuangan para pendahulu di KSPPM dalam upaya menyadarkan petani untuk kembali memakai pupuk kandang dan kompos, serta melestarikan kearifan lokal Batak Toba “Sinur Na Pinahan Gabe Naniula”. Ditambah lagi, ide pertanian organik saat itu dianggap ide gila karena melawan arus sistem pertanian pemerintah yang gencar menjual pupuk dan pestisida kimia. Media informasi, baik cetak dan elektronik, tidak semudah dan selengkap saat ini.
Mari kita bandingkan sekarang. Pertanian organik menjadi trend dan meluas saat ini. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhono pun mencanangkan Go Organic 2010. Kampanye Go Green terus digalakkan, Apalagi dengan isu perubahan iklim (climate change). Produsen pupuk kimia mulai turut serta memproduksi pupukpupuk organik dengan berbagai label dagang. Dengan kampanye konsumsi sehat, masyarakat di berbagai negara juga mulai mengkonsumsi produk sehat. Pasar mulai beralih ke organik, lihat saja produk organik sertifikasi mudah ditemukan super market. Seolah-olah dunia ini mulai diajak untuk peduli dengan isu pemanasan global.
Apa yang ditakuti dikampanyekan para pendahulu di KSPPM agar mengurangi bahkan menghentikan pupuk kimia seperti disambut baik oleh petani dan pemerintah lewat kebijakannya. Namun, dari pengalaman kami dalam mendampingi petani di daerah Tapanuli Utara, sangat susah untuk meyakinkan petani agar beralih meninggalkan pemakaian asupan luar dan kembali ke sistem pertanian nenek moyang yang mampu menciptakan lumbung beras. Tidak seperti saat ini, petani terus dipacu untuk berproduksi, namun yang menikmati adalah tauke-tauke atau para agen yang meminjamkan pupuk kimia di awal musim tanam dan harus dibayar ketika panen dengan rente tinggi. Memang, petani telah terjerat dalam ketergantungan. Tidak mudah untuk melepaskan lingkaran jeratan revolusi hijau ini.
Bencana itu bernama Revolusi Hijau
Awalnya, revolusi hijau dianggap sebagai “juru selamat” sektor pertanian, khususnya di negara berkembang, yang kala itu dicirikan oleh produktivitas rendah, umur tanaman panjang, pertumbuhan rendah dan kesejahteraan petani yang minim. Revolusi hijau direstui oleh pemerintah Orde Baru melalui program bimbingan massal (Bimas), intensifikasi massal (Inmas), intensifikasi khusus (Insus), supra insus dan seterusnya. Melalui revolusi hijau, wajah pertanian di Indonesia berubah dari pengimpor utama hingga berhasil swasembada beras pada 1994/1995.
Ciri yang sangat menonjol adalah penggunaan benih (varietas) unggul. Pada 1967/1968 diluncurkan benih PB 5 dan PB 8 yang dikenal sebagai bibit ajaib karena hasilnya spektakuler. Kemudian disusul benih-benih unggul seperti IR 36, IR 48, IR 54, IR 64, dan lain-lain menggantikan bibit lokal seperti bengawan, rajalele, unus, mentik, cianjur, dsb. Benih baru membawa konsekuensi baru dalam penggunaan bahan kimia secara besar-besaran seperti pupuk urea, TSP, KCL dan pestisida.
Pemerintah mendukung penuh keberhasilan revolusi hijau. Lembaga-lembaga riset di bidang pertanian digalakkan. Banyak jenis varietas baru dan konsep kebijakan dihasilkan oleh perguruan tinggi. Masa “kejayaan” revolusi hijau memang berhasil menggenjot produksi. Namun masa kejayaan swasembada beras Indonesia hanya berlangsung sangat singkat, yaitu pada 1985, 1986, 1988 dan 1993. Setelah itu, Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. (Lihat Tabel 1)
Tabel 1. Perkembangan Impor Beras Indonesia (1960–2006)
Sistem pertanian petani yang sebelumnya arif terhadap alam — bisa dikatakan cara bertani sebelumnya punya kalkulasi dalam tawar menawar dengan alam—kemudian berubah dengan kekuasaan negara dan kebutuhan modern yang digerakkan industrialisasi. Semuanya harus dibayar petani, kecuali tenaga mereka. Bibit unggul, pupuk dan pestisida kimia harus dibeli dari toko-toko besar yang menjadi penyalur produk perusahaan transnasional milik bangsa-bangsa Utara. Setiap tahun, belanja petani untuk membeli berbagai pestisida cukup besar; US$ 1.105 juta untuk insektisida, US$ 1.170 juta untuk herbisida, dam US$ 840 juta untuk fungisida. Sebagian besar pestisida itu digunakan petani padi di Asia.
Selain itu, petani juga harus mengeluarkan biaya untuk upah buruh tenaga kerja, membayar sewa lahan, bahkan ada yang membayar penggunaan air irigasi Di samping itu, asupan kimiawi yang melewati ambang batas serta pola tanam monokultur menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Musnahnya predator hama alami, hilangnya bibit-bibit lokal dari tangan petani ke tangan perusahaan transnasional, hilangnya budaya gotong royong, menyebabkan pemiskinan keanekaragaman hayati. Revolusi hijau telah mengakibatkan erosi keanekaragaman hayati dan kearifan lokal petani.
Part IV
Dampak secara ekonomi:
- Berkurangnya kepemilikan lahan petani
- Petani dililit hutang karena meminjam untuk beli pupuk
kimia - Kesenjangan antara si kaya dan si miskin (Hutang negara
miskin semakin tinggi) - Ketergantungan
Dampak secara budaya:
- Munculnya budaya instan (serba cepat)
- Hilangnya rasa gotong royong
Hilangnya kearifan lokal petani
Dampak secara politik:
- Import semakin meningkat
- Ketergantungan terhadap negara asing
- Dominasi perusahaan asing di Indonesia yang merupakan agenda Neoliberalisme (Transnational Corporation)
- KetergantunganbibitGMO(Genetically Modified Organism), bibit rekayasa genetika atau transgenik
Dampak secara ekologi:
- Merusak ekosistem dan keragaman hayati
- Pemanasan global
- Hama dan penyakit yang semakin resisten
- Lahan semakin tandus/gersang
- Hilangnya bibit lokal
Kepemilikan tanah/lahan petani
Tanah adalah awal untuk memenuhi kebutuhan pangan yang berkelanjutan. Petani mutlak harus mempunyai tanah. Namun, sejarah mencatat, konflik tanah secara terus menerus berlangsung dan jumlahnya cenderung meningkat. Konflik-konflik yang terjadi adalah konflik perebutan lahan rakyat oleh penguasa (kapital) yang diberi ijin oleh penguasa (negara).
Berbagai tekanan yang dialami petani mulai dari masa penjajahan sampai pemerintahan Orde Baru telah menempatkan petani sebagai objek kebijakan kepemilikan lahan. Posisi rakyat lemah karena belum adanya pengakuan terhadap hukum tanah adat. Hal ini selalu dihadapi KSPPM dalam melakukan pendamping rakyat (petani) untuk berjuang mempertahankan hak atas tanahnya.
Misalnya, kasus perjuangan rakyat dari rampasan Indorayon (sekarang PT. Toba Pulp Lestari). Mulai dari kasus Sosor Ladang, lokasi pabrik sampai kasus perjuangan ibu-ibu Sugapa23. Juga perlawanan masyarakat desa Pandumaan, Pollung yang mempertahankan hutan kemenyan, dan banyak kasus lain. Yang terakhir adalah kasus Parlombuan—Sipahutar. Warga desa merusak jembatan agar truk PT TPL tidak bisa lewat, sebagai reaksi atas perusakan tanaman kopi milik warga desa oleh pekerja TPL.
Sejarah mencatat, perlawanan petani sudah terjadi sejak masa penjajahan Belanda, mulai dari pemberontakan Diponegoro 1830 sampai permulaan pergerakan nasional 1908. Pemberontakan Petani Banten 1888, bahkan oleh sebagian sejarawan ditandai sebagai puncak pemberontakan petani di Nusantara terhadap pemerintahan kolonial.
Perlawanan berlanjut pada masa penjajahan Jepang berupa pendudukan tanah eks perkebunan terlantar sampai lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, meskipun pada perjalanannya, UUPA 1960 tidak sepenuhnya direalisasikan. Di sisi lain, penambahan penduduk menyebabkan tekanan terhadap lahan meningkat dan semakin menyulitkan upaya perbaikan.
Petani terus tertindas. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya kasus-kasus struktural konflik tanah. Data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) sejak 1979 hingga1999 menunjukkan ada sekitar .679 kasus sengketa dan konflik tanah yang struktural. Di masa Orde Baru, revolusi hijau sebagai program utama pembangunan pedesaan telah menyebabkan polarisasi sosial-ekonomi yang mengakibatkan terusirnya kelompok petani yang tidak punya tanah dari pedesaan.
Program pembangunan perkebunan berskala besar dengan lahan yang luas, kurang mempedulikan petani yang sangat membutuhkan lahan. Ketimpangan kepemilikan lahan yang mengakibatkan kesenjangan yang kaya dan miskin dapat dilihat dari Sensus Pertanian (SP) 1973, 1983, 1993, dan 2003. Klaim pemerintah tentang meningkatnya produksi pangan tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Hasil SP 2003 menunjukkan jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar (baik milik sendiri maupun menyewa) meningkat 2,6% per tahun, dari 10,8 juta rumah tangga pada 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada 2003. Kenaikan ini mengindikasikan semakin miskinnya petani dan terjajah di lahannya sendiri.
Pemenuhan tanah bagi petani sangat mutlak untuk mengangkat petani dari kemiskinan dan mewujudkan kedaulatan pangan suatu bangsa. Untuk mewujudkan refoma agraria, dibutuhkan kemauan politik pemerintah. Reforma agraria juga membutuhkan organisasi rakyat/petani yang kuat. Data keagrarian mutlak diperlukan, di samping pemisahan elit penguasa dengan elit bisnis.
Ketergantungan Akan Pupuk dan Bibit Hibrida
Selain itu, benih rekayasa genenika ini secara sistematis juga telah melenyapkan hama tanaman yang sebenarnya adalah ”teman petani”. Akibat bibit transgenik, hama wereng mengalami mutasi dan membentuk biotipe baru, yang lebih ganas dan memiliki intensitas serangan yang sangat tinggi, di kawasan yang sangat luas.
Kepentingan perusahaan penghasil bibit hibrida seperti Monsato telah menghilangkan hak-hak petani dalam menghasilkan bibit lokal rawan. Seperti terjadi di Kanada, seorang petani kanola dituntut oleh Monsanto karena dianggap menggunakan benih jagung yang dikembangkan perusahaan dan tanpa seizin mereka. Demikian juga kasus di Kediri, Mojokerto, dan banyak lagi daerah di Jawa Timur di mana petani terpaksa berurusan dengan hukum karena dianggap memperbanyak dan memperdagangkan benih mereka tanpa seizin PT. Bisi.27 Hukum paten telah mengabaikan proses evolusi yang dilakukan oleh petani untuk menghasilkan benih maupun teknologi yang selaras alam dan budaya mereka.
Saat ini, di beberapa kabupaten pendampingan KSPPM, pemerintah juga menggalakkan tanam jagung secara besar-besaran. Hal ini mengindikasikan, perusahaan-perusahaan besar benih transgenik mulai mengembangkan sayapnya. Dengan kekuatan modalnya, mereka (perusahaan) menggunakan tangan pemerintah untuk memberikan bantuan pupuk gratis, benih gratis dan modal pendampingan sampai pemasaran kepada petani. Kebijakan ini sebenarnya harus dikritisi oleh petani, karena dampak jangka panjangnya yang bisa membunuh daya kreatif petani.
Belajar dari Kuba dan Kembali ke Pertanian Nenek Moyang
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, tak ada cara lain, sistem pertanian harus berubah. Sudah saatnya petani kembali ke sistem pertanian nenek moyang. Sinur napinahan, gabe naniula; petani mencapai kedaulatan jika telah berdaulat atas tanah, pupuk dan pasar. Dulu, orang batak juga punya konsep yang disebut pargodungan atau pertanian sistem rumah kebun. Konsep ini sangat arif dan mudah dilakukan.
Pengggabungan antara sinur napinahan, gabe naniula dengan pargodungan adalah langkah ideal untuk mengajak petani keluar dari jerat kemiskinan. Dengan sistem rumah kebun, meskipun di atas lahan yang sempit, petani bisa menanami berbagai tanaman yang bisa dikonsumsi keluarga seperti sayuran, cabe dan sebagainya. Pupuknya diperoleh dari ternak berskala kecil dan cukup untuk tanamannya. Petani bisa memproduksi pupuk kandang/kompos buatannya sendiri. Bahkan, bila dihitung, belanja kebutuhan rumah tangga selama satu tahun ternyata bisa menutupi biaya kuliah satu orang anak.
Mari belajar dari sejarah, yang telah membuktikan bahwa kearifan lokal dan keseimbangan alam lewat keanekaragaman hayati adalah unsur yang mampu menjaga ketahanan pangan suatu bangsa, menjaga kemakmuran dan ketersediaan pangan.
Contoh lain bisa dilihat dari masyarakat Bali. Petani di sana paham melestarikan puluhan spesies buah salak dengan cita rasa yang beraneka ragam. Di hutan kawasan Banten, penduduk Baduy mengetahui khasiat obat penyembuh yang terdapat dalam macammacam jenis tumbuhan.
Kuba telah membuktikan bahwa mengembangkan pertanian nenek moyang menjadi pertanian alternatif membawa mereka surplus pangan. Mereka menganggap pertanian nenek moyang adalah pertanian modern. Malahan, Kuba menyebut sistem pertanian revolusi hijau adalah sistem pertanian kuno dan harus ditinggalkan.
Sekarang, tergantung kepada petani, pemerintah dan semua elemen lainnya, apakah masih tetap mempertahankan sistem pertanian konvensional/kuno (revolusi hijau) atau beralih ke sistem pertanian nenek moyang (modern/PSA)? Hal ini adalah tugas dan pekerjaan rumah bersama.
Tubuh Perempuan dalam Pertarungan tentang kebangsaan DAN NEGARA ’indonesia’: tantangan dari gerakan fundamentalisme
Kamala Chandrakirana
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi: Politisasi Tubuh Perempuan
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) ini merupakan sebuah naskah sepanjang 56 halaman yang sungguh luar biasa: berisi 93 pasal, di mana 32 pasal layaknya sebuah daftar panjang larangan-larangan, sedangkan 34 pasal lainnya merupakan daftar sanksi bagi mereka yang melanggar larangan-larangan tersebut. Melalui pasal-pasalnya tentang pornoaksi, RUU ini mengarahkan negara untuk mengkriminalisasikan orang-orang (baca: perempuan) yang menunjukkan bagian tubuh dan gerakan yang sensual. Sebuah badan nasional khusus akan dibentuk, menurut RUU ini, untuk menjalankan penerapan ke-32 larangan-larangan tersebut, antara lain, melalui pendirian satuan-satuan tugas anti pornografi dan pornoaksi yang bisa menyebar ke segala penjuru bumi nusantara. RUU menyatakan ini semua diperlukan untuk melindungi moralitas masyarakat.
Pada laporan tahunannya untuk 2006, yang disampaikan sehari menjelang Hari Perempuan Sedunia, Komnas Perempuan menyatakan RUU ini sebagai satu diantara beberapa naskah kebijakan yang membatasi kedaulatan perempuan atas nama moralitas. Demonstrasi kelompok perempuan di sepanjang Jalan Thamrin, Jakarta, pada keesokan harinya menyatakan penolakannya terhadap RUU ini dalam konteks penolakan terhadap politisiasi seksualitas dan pelecehan terhadap keberagaman budaya Indonesia. Mediamassa menangkap suasana unjuk rasa yang penuh warna dan aneka wajah perempuan Indonesia.
Sebulan setelah Hari Kartini, Jalan Thamrin kembali dipenuhi manusia, kali ini yang menundukung RUU APP. Lautan manusia yang memenuhi jalan protokol nasional ini menunjukkan agendanya yang lebih luas dan lebih mendasar dari RUU APP itu sendiri, yaitu: penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Reposisi Peran Negara sebagai Pengatur Perilaku Perempuan: Perda-Perda Atas Nama Moralitas dan Agama
Di Kota Tangerang, Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran Tanpa Pandang Bulu menyasar ’setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan anggapan bahwa ia/mereka pelacur’. Selain mengingkari asas praduga tak bersalah yang menjadi salah satu pilar utama sebuah negara hukum, perda ini menjadikan semua perempuan rentan terhadap kriminalisasi hanya atas dasar kecurigaan. Secara khusus, perda ini terbukti merugikan perempuan miskin yang bekerja pada malam hari, sebagaimana yang dialami oleh Ibu Lia yang ditahan oleh aparat penertiban Pemda Tangerang ketika ia hendak pulang dari kerja malamnya.32 Tekait dengan ini, aksi-aksi penyerangan dan tindak kekerasan oleh kelompok-kelompok pemuda terhadap perempuan pekerja seks di tempat-tempat lokalisasi juga semakin banyak terjadi di berbagai daerah.
Di Aceh pada masa pasca-konflik dan pasca-tsunami, kaum perempuan harus berhadapan dengan tantangan baru, yaitu penerapan Syariat Islam oleh negara (pemerintah NAD). Kepala, lengan dan kaki perempuan telah dijadikan barang terlarang di area publik, sebagaimana kebersamaan antara perempuan dan laki-laki yang belum menikah di tempat-tempat yang dianggap ’sunyi’, baik di area publik maupun privat. Atas nama Islam, institusi negara di NAD menjalankan sistem pemberian sanksi yang baru untuk Indonesia, yaitu hukum cambuk, bagi mereka yang melanggar aturan-aturan tentang khalwat (perempuan dan laki-laki bersunyi-sunyi tanpa muhrim), khamar (minum/jual alkohol) dan maisir (judi). Dalam rangka mensosialisasikan aturan-aturan baru di Aceh pasca-konflik ini, tersebar spanduk-spanduk yang menyatakan bahwa perempuan yang berpakaian ketat adalah sama dengan syaitan!
Gejala RUU APP dan perda-perda yang dibuat atas nama moralitas dan agama merupakan agenda-agenda besar dari gerakan fundamentalisme. Bahwa sasaran pertama gerakan fundamentalisme adalah perempuan merupakan suatu hal yang terjadi bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang sedang mengalami proses yang serupa. Dalam konteks ini, tidak banyak pilihan bagi gerakan perempuan di Indonesia selain untuk membangun kekuatan dan mengembangkan strategi yang komprehensif untuk menghadapi tantangan dari kaum fundamentalis ini.
Gerakan Perempuan vs Fundamentalisme: Sebuah Keniscayaan?
Konperensi Perempuan di Beijing pada 1995 merupakan salah satu puncak dari upaya mengarus-utamakan gender ke dalam agenda lembaga-lembaga multilateral dan negara-negara anggotanya. Duabelas ’landasan aksi’ yang dihasilkan dari konferensi dunia tersebut telah dijadikan alat ukur yang digunakan sebagai acuan hampir di seluruh dunia. Pada tahun sebelumnya, di Wina, komunitas global telah secara resmi memberikan pengakuan khusus bahwa ’hak-hak perempuan adalah hak-hak asasi manusia’ dan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Sebagai mekanisme untuk menjamin pelaksanaan dari komitmen dunia tersebut, Komisi Tinggi HAM PBB kemudian mengangkat seorang Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan yang secara kontinyu memberikan pelaporan sistematik tentang persoalan ini. Pada tahun 1998, tribunal-tribunal HAM internasional untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda membuat sejarah dengan memutus kasus-kasus perkosaan dan kekerasan seksual sebagai bagian dari kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida.
Pada 2005, ketika para pemimpin gerakan perempuan membahas kemungkinan memperingati 10 tahun Konperensi Beijing, mereka akhirnya memutuskan untuk tidak menyelenggarakan pertemuan besar kembali. Pertimbangan utamanya adalah untuk menghindar dari upaya pemangkasan terhadap capaian-capaian Bejing 1995 oleh kaum fundamentalis dari semua agama. Tanda-tanda backlash dan serangan balik telah jelas terbaca pada saat itu, seperti penolakan terhadap program-program tentang hak reproduksi perempuan, khususnya yang menyebarlkuaskan alat kontrasepsi, oleh kekuatan fundamentalis yang menempatkan posisi strategis dalam pemerintahan, seperti di Amerika Serikat.
Di Indonesia, 10 tahun yang sama merupakan tahun-tahun bersejarah juga, bukan hanya bagi perempuan tetapi juga bagi seluruh bangsa. Rejim Orde Baru berakhir pada 1998, yaitu 3 tahun setelah Konperensi Beijing, dan 4 tahun setelah Konperensi HAM di Wina. Bukanlah suatu kebetulan bahwa pembentukan Komnas Perempuan dalam konteks tuntutan masyarakat atas pertanggungjawaban negara menyangkut perkosaan massal yang terjadi di tengah kerusuhan Mei 1998 mengacu pada perkembanganperkembangan baru yang terjadi 3-4 tahun sebelumnya di dunia internasional. Keberadaan Komnas Perempuan dibingkai dalam kerangka kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM dan hak perempuan sebagai hak-hak asasi manusia. Pada tahun yang sama, Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan, yang baru beberapa tahun sebelumnya diciptakan oleh Komisi Tinggi HAM PBB, bahkan melakukan kunjungan resmi ke Indonesia untuk menyikapi kekerasan yang terjadi pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta di daerah-daerah operasi militer pada saat itu (Aceh, Papua, Timor Timur).
Pada masa ’reformasi’ sejumlah peraturan-perundangan memberikan terobosan-terobasan penting bagi perempuan korban kekerasan dalam mengakses keadilan. Pada 2000, UU Pengadilan HAM menggunakan definisi internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, di mana di dalamnya tercakup perkosaan dan berbagai bentuk kekerasan berbasis jender lain. Dengan demikian, perkosaan yang terjadi dalam penyerangan sistematik atau meluas di bumi nusantara ini sesungguhnya sudah dapat diadili oleh sistem hukum nasional. Pada 2004, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU P-KDRT) disahkan. Saat ini, sebuah RUU tentang penghapusan perdagangan perempuan sudah mencapai tahap akhir pembahasan.
Gerakan perempuan di Indonesia jelas memanfaatkan peluangpeluang baru yang muncul di masa ’reformasi’ untuk kepentingannya dan membumikan terobosan-terobosan internasional ke dalam konteks sosial politik Indonesia. Tak heranlah bahwa, sebagaimana kekuatan fundamentalisme di kancah internasional melakukan penghantaman balik terhadap gerakan perempuan di tingkat global, di Indonesia pun hal serupa terjadi. UU P-KDRT, misalnya, senantiasa menjadi sasaran hujatan di berbagai mediamassa yang diterbitkan oleh kelompok-kelompok fundamentalis di Indonesia.
Pada saat ini, gerakan perempuan tertantang untuk sekaligus mempertahankan kemenangannya, misalnya dengan memastikan penerapan UU P-KDRT dan pasal-pasal tentang kekerasan terhadap perempuan dalam UU Pengadilan HAM, sambil memperluas cakupan perjuangannya ke persoalan kebangsaan dan kenegaraan serta segala aspek dari proses transformasi sosial yang komprehensif.
Ketika Negara-Bangsa Dipertaruhkan: Apakah Cukup Dengan Demokrasi Saja?
Pada tahun-tahun awal era ’reformasi’, Indonesia sibuk dengan ’pesta’ demokrasi yang dimaknai sebagai pemilihan umum dan politik kepartaian. Hal ini menuntut para elit politik untuk mencari jalan tercepat untuk menggalang dukungan masyarakat agar mereka dapat memasuki lembaga-lembaga kekuasaan negara, baik badan legislatif maupun pimpinan tertinggi pemerintahan eksekutif. Lahir dari 30 tahun strategi ’mengapungkan massa’ (floating mass) rejim Orde Baru, para elit politik era reformasi tidak mempunyai kompetensi dalam merumuskan dan mengkampanyekan suatu agenda politik yang utuh. Dalam kondisi ini, sarana yang paling banyak digunakan oleh para elit politik untuk memobilisasi dukungan massa adalah identitas, bukan gagasan. Politisasi identitas agama dan etnis dijadikan jalan pintas untuk memenangkan suara dalam era demokrasi pasca-rejim otoriter Orde Baru.
Politik identitas telah terbukti merupakan alat yang dasyat untuk memobilisasi massa. Apalagi karena suara kritis terhadap agenda-agenda yang dijabarkan dalam kerangka agama atau etnis dapat begitu cepat dibungkam dengan penghakiman bahwa para pengkritik adalah pengkhianat komunitasnya sendiri. Para aktivis perempuan Aceh yang mengkritisi penerapan Syariat Islam di wilayahnya serta-merta dituduh mengingkari jati diri komunitasnya sendiri. Demikian juga, para ulama yang menentang interpretasi yang diskriminatif dari ajaran Islam dicap sebagai ’musuh dalam selimut’ oleh sesamanya.
Perilaku berpolitik semacam ini, yang berlaku di tingkat nasional maupun lokal, telah menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan fundamentalisme agama dari akar-rumput ke atas, dan bagi formalisasi Syariat Islam menjadi aturan negara dari isu ke isu (seperti prostitusi, pornografi, moralitas).
Kekuatan dari fundamentalisme agama juga berasal dari rasa ketidakberdayaan yang dialami mereka yang telah dikalahkan oleh sistem ekonomi global. Juga mereka yang merasa ditinggalkan oleh pemerintahan sekuler dan dikhianati oleh sistem peradilan yang korup.
Gerakan fundamentalisme mungkin tidak akan mampu melahirkan sebuah negara Islam di bumi Indonesia, tetapi dampaknya yang terbesar justru akan terasa dalam kehidupan bermasyarakat, baik di lingkungan komunitas miskin/marjinal maupun di lingkungan kelas menengah yang sedang sibuk berpacu dalam roda ekonomi. Keberhasilan gerakan fundamentalisme dapat diukur dari sejauhmana mereka telah mampu menjadi acuan bagi imajinasi dan aspirasi generasi muda. Keberhasilan gerakan fundamentalisme diukur dari sejauhmana mereka telah merasuki institusi-institusi sosial masyarakat yang menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari para warga biasa, seperti sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga publik lain.
Jadi, di balik pertarungan tentang tubuh perempuan, baik melalui perdebatan tentang RUU APP ataupun perda-perda tentang moralitas, adalah sebuah upaya yang sistematis untuk menguasai sendi-sendi kehidupan sosial politik di Indonesia. Di balik pertarungan tersebut juga sebuah upaya untuk menantang kontrak sosial yang telah dibuat dalam proses pembentukan bangsa ’Indonesia’, yaitu untuk bersatu dalam keberagaman. Bahkan institusi negara—terutama di tingkat daerah—mau dijadikan sarana untuk menjalankan hegeomoni satu agama tunggal, antara lain dengan mempromosikan salah satu simbol terpilihnya, yaitu sosok perempuan beragama yang serba tertutup dan tersembunyi dari publik.
Dengan demikian, upaya untuk mempertahankan kedaulatan perempuan di hadapan desakan-desakan kelompok fundamentalis juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses mempertahankan dasar-dasar kehidupan berbangsa di tengah realitas kemajemukan masyarakat. Upaya tersebut juga tidak terpisah dari semangat menanamkan prinsip-prinsip HAM dalam pembaruan kontrak sosial antara negara dan warga pasca Orde Baru.
Untuk ini semua, demokrasi saja—apalagi yang dimaknai secara terbatas sebagai pemilihan umum dan politik kepartian—tidak cukup. Sudah saatnya kita mengembalikan agenda transformasi sosial yang komprehensif ke aras depan dari perjuangan kita.
Melangkah Maju: Tantangan bagi Gerakan Perempuan
Untuk menghadapi tantangan baru ini, gerakan perempuan perlu membangun kapasitas untuk mengartikulasikan sebuah visi yang utuh tentang kehidupan masyarakat, untuk mengajukan solusi-solusi nyata untuk persoalan kemiskinan dan ketidakadilan, dan juga untuk menyentuh dan menggerakkan imajinasi sebuah komunitas, bahkan seluruh bangsa. Hal ini menuntut perluasan cakupan engagement dari kelompok-kelompok perempuan dengan isu-isu yang tidak spesifik perempuan; mensyaratkan pengembangan dan pendalaman relasi dengan konstituensi yang tidak lagi terbatas pada kaum ’aktivis’; dan mewajibkan upaya-upaya khusus untuk menamankan cara berpikir feminis yang sangat transformatif itu —tentu, melalui berbagai bahasa yang berbeda-beda – ke dalam benak institusi-institusi budaya dan agama yang bercokol di tengah masyarakat.
Beberapa langkah dan strategi yang dapat diambil pada saat ini, antara lain:
• Menyangkut agenda pemberdayaan: Jika faktor pendukung bagi kebangkitan fundamentalisme agama adalah kondisi hidup yang penuh ketidakadilan dan ketidakcukupan, maka upaya untuk meyakinkan publik dengan gagasan-gagasan tentang hak-hak asasi yang universal tidak bisa dipisahkan dari kerja pemberdayaan ekonomi bagi komunitas yang miskin dan termarjinalkan. Gerakan perempuan berada pada posisi yang baik untuk membongkar pemisahan yang selama ini terjadi antara kerja-kerja untuk peningkatan penghasilan dan pengembangan aset di satu pihak, dan kerja-kerja di bidang wacana dan nilai-nilai baru tentang keadilan dan hak dasar, di pihak lain. Para filosof yang hidup di tengah masyarakat pun perlu senantiasa membumikan nilai-nilai dan visi yang mereka siarkan – termasuk tentang keadilan dan penghargaan terhadap keberagaman – ke dalam realitas perjuangan sehari-hari dari para warga biasa untuk bisa mendapatkan sesuap nasi. Persoalan kemiskinan tidak bisa diselesaikan terlepas dari proses peneguhan nilai-nilai sosial, dan sebaliknya.
• Menyangkut kerangka pengarus-utamaan gender: Jika tantangan yang diajukan oleh kaum fundamentalisme menyentuh landasan negara-bangsa itu sendiri, maka gerakan perempuan harus memainkan peran yang lebih mengemuka dalam membangun kembali imajinasi berbangsa. Wacana tentang partisipasi politik perempuan, misalnya, terlalu sempit jika hanya terbatas pada soal perolehan suara dan jumlah keterwakilannya di meja pengambilan keputusan. Gerakan perempuan perlu memainkan peran kepemimpinan dalam proses penataan kehidupan bermasyarakat, dalam pemaknaan terhadap landasan dan pokok-pokok kehidupan bernegara, serta dalam penulisan sejarah perjalanan bangsa, berdasarkan pengalaman spesifik perempuan yang penuh keberagaman. Upaya pengarus-utamaan gender dalam lembaga-lembaga negara dan masyarakat tak bisa lepas dari tuntutan-tuntutan ini.
• Menyangkut penghapusan kekerasan terhadap perempuan: Jika dampak terbesar dari gerakan fundamentalisme adalah untuk mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat, maka gerakan perempuan dituntut lebih untuk merasuk ke dalam keseharian kehidupan masyarakat. Dalam menangani kekerasan terhadap perempuan, organisasi-organisasi perempuan banyak terfokus pada pemberian layanan konseling dan bantuan hukum untuk korban. Tetapi, keberhasilan yang berkesinambungan tak mungkin tercapai tanpa keterlibatan aktif dari komunitas di mana korban berada yang, pada gilirannya, mensyarakatkan perubahan nilai yang sangat mendasar dari komunitas tersebut. Pendekatan yang berbasis komunitas seperti ini berarti harus ada kesiapan dari gerakan perempuan untuk berinteraksi dalam ruang budaya yang hidup di tengah masyarakat dan untuk mengintegrasikan soal kekerasan terhadap perempuan dalam mekanisme-mekanisme akuntabilitas negara di tingkat lokal dan nasional.
•Agar semua ini bisa terjadi, gerakan perempuan perlu menjelajah arena-arena keterlibatan baru sambil senantiasa mengembangkan bahasa-bahasa yang baru, dan berbeda-beda, untuk menyampaikan gagasan, analisis dan perjuangannya. Mungkin inilah modal bagi perempuan untuk memaknai ulang kehidupan berdemokrasi dan mengembangkan sebuah model berpolitik yang khas perempuan.
Negara Demokrasi Berdasarkan Hukum Berkeadilan
A. Patra M. Zen
Dalam praktiknya, tidak sesederhana seperti ditulis diatas kertas. Individu dan kelompok miskin, marjinal dan minoritas kerap tak menikmati persamaan dimuka hukum dan tak dapat menikmati keadilan. Oleh karena itu, prinsip ”the rule of law” adalah kata kerja. Prinsip ini mesti terus menerus diperjuangkan dan diupayakan perwujudannya oleh siapa pun.
Prinsip the rule of law, dalam bahasa sehari-hari dapat diartikan prinsip ”berdasarkan hukum”. Prinsip ini mempunyai makna, semua orang terikat dengan dan diatur oleh hukum yang berlaku. Prinsip ini merupakan uraian prinsip utamanya, yaitu prinsip supremasi hukum: bahwa aturan hukum adalah aturan yang paling tinggi yang mesti dipatuhi siapapun; yang ditetapkan melalui prosedur legislatif yang demokratis. Konsekuensinya, sekali aturan hukum ini ditetapkan, semua orang—tanpa memandang posisi dan jabatan —termasuk presiden sekalipun mesti tunduk pada hukum ini.
Pelanggaran terhadap aturan main, tidak saja dilakukan para pejabat dan elit dalam masyarakat, namun pelanggaran prinsip ”berdasarkan hukum” dapat juga dilakukan kelompok-kelompok dimasyarakat.
Di bawah prinsip tersebut, setiap individu menikmati kebebasan-kebebasan dasar dan hak asasinya, dimana hukum—mulai dari konsitusi hingga peraturan perundang-undangan dibawahnya— memberikan jaminan untuk pemenuhannya. Para penganut doktrin ini, percaya standar-standar universal berkaitan dengan persamaan setiap orang, keadilan dan sebaliknya ketidak adilan.
Jadi, walaupun sebuah peraturan sudah ditetapkan berdasarkan prosedur legislatif yang berlaku atau putusan hakim sudah ditetapkan berdasarkan perundang-undangan, masyarakat masih dapat mempertanyakan berdasarkan standar-standar universal itu, atau berdasarkan ”rasa keadilan masyarakat”. Karenanya, ”negara berdasarkan hukum” saja tidak cukup, seharusnya ”negara yang berdasarkan hukum yang berkeadilan”.
Seorang Asmara, yang saya tahu, adalah seorang yang optimis dan percaya prinsip ”the rule of law” suatu saat dapat sempurna diterapkan di negeri ini. Oleh karena itu, ia tak bosan ia terus mendorong perwujudannya. Dari gerak dorongnya, dapatlah dilihat dan dirasakan hambatan pemenuhan prinsip ini. Tulisan ini akan mendeskripsikan dan menganalisis sejumlah isu dan masalah pemenuhan rule of law dalam aktivitas yang dilakukan Asmara.
Asmara Nababan menjadi individu yang aktif dalam beragam aktivitas promosi dan pembelaan hak asasi manusia (HAM), sebelum ditunjuk menjadi anggota dan Sekretaris Jenderal (Sesjen) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan setelah ia mundur dari lembaga ini. Ia terus mendesakkan penuntasan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
Dalam sebuah jumpa pers, Asmara sempat menyampaikan adanya ketidakjelasan komitmen penyelesaian dan pengungkapan kasus Munir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal (Pol) Sutanto.33 Dalam Keppres No. 111/2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir, Asmara ditunjuk sebagai Wakil Ketua TPF.
Perhatiannya juga tidak berkurang terhadap institusi yang cukup lama dijalankannya. Ia mengaku prihatin terhadap penilaian minor terhadap Komnas HAM.34 Setelah pergantian komisioner, langsung atau tidak langsung berkaitan dengan lowongnya peran yang dimainkan individu-individu di lembaga ini.
Pada 2001 hasil pooling sebuah media menunjukkan hasil yang cukup menyengangkan. Sejumlah 80% responden dari total 865 orang menyatakan Komnas HAM sudah tidak diperlukan keberadaannya. Sementara hanya 16% yang masih menilai perlunya lembaga ini, sementara sisanya menjawab tidak peduli.
Pooling semacam ini tentu dapat disanggah dengan penyelenggaraan pooling lainnya. Namun, jika dibandingkan jajak pendapat, yang juga dilakukan media pada 1999, Komnas HAM malah menduduki tempat teratas sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat (44,5% responden), di atas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang dipilih 24,5% responden.
Fenomena itu, tentu saja, menguatkan argumen pentingnya peran individu-individu di lembaga-lembaga negara yang semestinya turut menjalankan dan mendorong perwujudan ”rule of law” yang berkeadilan. Kala itu, Komnas HAM diisi individu macam Baharuddin Lopa, Nurcholish Madjid, Soetandyo Wigjosoebroto, termasuk Asmara Nababan.
Ia secara resmi mengundurkan diri dari Komnas HAM pada 1 Oktober 2002 dan mendapat persetujuan Rapat Pleno Komnas HAM dua hari setelah itu.
Pangkal Problem
Karena hukum merupakan produk politik, maka sangat biasa peraturan perundang-undangan termasuk konstitusi tidak memuaskan jika diukur dengan parameter universal – norma dan standar internasional hak asasi manusia misalnya.
Selanjutnya, tentu saja persoalan bertambah rumit, jika terdapat penafsiran hukum yang berbeda dilevel aparat penegak hukum; hakim, jaksa, polisi dan dalam skala tertentu, advokat, empat elemen yang malah tidak sedikit yang tidak patuh pada hukum yang telah ditetapkan. Para hakim penting mendapatkan perhatian, bukan saja sebagai pelaksana hukum, hakim juga dalam praktik menjadi pembuat hukum, dengan putusan-putusan yang ditetapkan dalam persidangan. Tuntutan masyarakat ke 4 elemen ini tentu saja, independensi dan integritas individu yang tinggi. Tanpa keduanya, prinsip ”the rule of law” tentu saja jauh panggang dari api.
Di tingkat eksekusi dan penerapan hukum, muncul problem lainnya: hukum ditetapkan dengan pilih-pilih orang dan pandang bulu. Hukum tidak akan pernah berdaya dan tidak akan tercapai persamaan hukum, jika proses pembentukannya, aparat penegakan hukumnya memang tidak berniat untuk menjadikan hukum untuk cita-cita mulia: mewujudkan keadilan dan menjadi aturan main dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kelompok Kerja Indonesia Masa Depan (Pokja IMD)—yang dimotori antara lain oleh Asmara Nababan, sempat menghasilkan puluhan skenario Indonesia mendatang hingga tahun 2010, termasuk skenario di bidang hukum (supremasi hukum). Menarik jika ingin membuka hasil pertemuan Pokja ini. Salah satunya, diprediksi pada 2010, Indonesia menjadi negara demokratis, kebebasan pers dijamin dan supremasi hukum ditegakkan.
Dalam skenario ini juga dijelaskan, pada mulanya, masih ditemukan kesenjangan dan ketidakadilan, namun karena terwujudnya supremasi hukum dan kemerdekaan pers, maka ketidakadilan lambat laun dapat diselesaikan dan masyarakat bersama-sama mewujudkan kesejahteraan. Skenario ini diberi nama ”Bergegas Menuju Puncak”. Sebaliknya, dapat saja skenario terbalik, pada 2010, justru kebebasan pers dibungkam, dan supremasi hukum tidaklah terwujud!
Hambatan Bagi Skenario ”Bergegas Menuju Puncak”
Sinyal apa yang kita dapatkan? Susahnya mengadili orang yang berkuasa atau mantan penguasa. Contoh yang paling prudent adalah kontroversi SKPP Soeharto. Gerakan Masyarakat Adili Soeharto, memprotes keras penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan mantan Presiden Soeharto. Asmara yang melibatkan diri dalam gerakan ini menyatakan,”sebagaimana disebutkan dalam konstitusi, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Dengan dasar itu, tidak ada seorang warga negara pun yang dapat diperlakukan istimewa di depan hukum”.
Tentu berdasarkan aturan yang berlaku, pihak kejaksaan sah secara hukum mengeluarkan SKPP itu. Masalah muncul akibat perbedaan penafsiran rasa keadilan masyarakat dengan aturan hukum yang berlaku, ditambah secara faktual masyarakat dapat menyaksikan Soeharto segar-bugar dalam sebuah acara keluarga. Sampai saat ini, yang menyatakan Suharto sakit hanya dokter kepresidenan yang ditunjuk. Ada baiknya, jika Pak Harto diperika oleh dokter ”independen”, termasuk dokter dan tenaga medis lain, dengan skema kerjasama internasional.
Sinyal terang juga dapat ditemukan di area penegakan hukum yang berkaitan dengan kejahatan hak asasi manusia. Sinyal terang ini menunjukan masih sulitnya para korban kejahatan HAM berat mendapat keadilan. Asmara sempat berpendapat, “pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan adalah “utang yang harus dibayar.38 Semua warga negara, termasuk dirinya, ikut bertanggungjawab untuk menyelesaikan utang itu dengan beragam cara.
Upaya untuk melunasi “utang” itu, sangat menonjol ketika ia menjadi Sesjen Komnas HAM dan Sekretaris KPP HAM (Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM) Timor Timur. Perannya penting dalam mendorong peristiwa kejahatan berat HAM ini diproses dalam pengadilan HAM ad hoc untuk pertama kalinya di Indonesia, termasuk rumusan pasal dalam Undang-undang Pengadilan HAM yang memungkinkan ketentuannya berlaku surut (retro-aktif).
Saat menjabat menjadi Sesjen Komnas HAM, Asmara terus berpegang pada keyakinannya atas prinsip ”rule of law”, ia sempat menentang keras upaya intervensi TNI kedalam tubuh Komnas HAM. Dalam kasus KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS), pada 9 Februari 2002, Kolonel AB Setiawan selaku ketua tim penasihat hukum personel TNI mendesak Komnas HAM mencabut SK pembentukan KPP HAM TSS. Desakan ini, dimentahkan dengan lantang oleh Asmara.
Menurut Asmara, ”Dia (maksudnya TNI-Red) sudah melakukan intervensi ke tubuh Komnas HAM. Itu bertentangan dengan jaminan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999, dan UU No 26/2000 bahwa Komnas HAM independen. Ini mengindikasikan, TNI mau kembali ke paradigma lama—memosisikan diri di atas hukum. Kami akan abaikan desakan seperti ini”.
Bukan itu saja. Asmara sempat menyatakan perlunya perombakan terhadap kebijakan dan kelembagaan yang dianggap telah melakukan pelanggaran HAM, seperti pembubaran Kodam.42 Asmara agaknya punya perhatian sendiri terhadap institusi TNI.
Ia sempat menjadi salah seorang penggagas dikeluarkannya ”Maklumat Demokrasi”, sebagai respon dari munculnya fenomena militer kembali ingin berpolitik di era 2001 lalu. Maklumat ini menyatakan penolakan ”… setiap usaha militer untuk kembali berpolitik dan menyerukan kepada rakyat untuk bekerja sama mencegahnya”. 43 Ketika itu, kalangan LSM menilai TNI secara langsung dan tidak langsung, dengan beragam retorika, menunjukkan diri bahwa militer adalah kekuatan yang otonom. Saat itu, para pejabat militer juga kerap menyampaikan penilaiannya tentang dekrit, posisi DPR serta isu kepemimpinan nasional.
Bang As—panggilan akrab Asmara Nababan—yang saya kenal tak lelah merespon peristiwa dan fenomena yang muncul sebagai ancaman bagi rule of law. Termasuk kritiknya terhadap aparat penegak hukum dan fenomena ”pengadilan jalanan” yang menjadi cermin kritisnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak hukum dan keadilan, sehingga memicu aksi main hakim sendiri.44 Sepanjang 2000, merebaknya tindakan massa terhadap tersangka pencurian sangat mengerikan: sejumlah tersangka bahkan dibakar hidup-hidup. Problem ini, merupakan salah satu contoh tidak diindahkannya ”rule of law”.
Selain fenomena pengeroyokan dan pembakaran semacam itu, pembakaran gedung Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri di Larantuka, menurut Asmara, akibat masyarakat bosan menonton ketidakadilan di depan mata namun tidak bisa berbuat apa-apa, lalu merebut keadilan dengan caranya sendiri.
Bagi Asmara, TNI atau kelompok masyarakat yang tidak menghormati hukum yang berkeadilan merupakan problem yang mesti dicarikan solusinya. Masalah semacam ini adalah beban, yang mengganduli ide reformasi total untuk perwujudan Negara berdasarkan hukum.
Keadilan Transisional: Sebuah Konsep yang Dihambat untuk Diterapkan
“Keadilan yang dimaksudkan di sini bukan hanya keadilan hakim, tetapi juga moral justice dan sosial justice. Kalau kita memakai peraturan perundangan yang dibuat oleh rezim Soeharto dan Habibie, memakai sistem peradilan kita yang masih warisan Orde Baru—dengan 99% orang-orang yang dulu mendukung rezim Soeharto dan Habibie—jelas tidak ada keadilan, sebagaimana kita saksikan di pengadilan Soeharto. Tetapi, di pihak lain, menyetujui pengadilan rakyat juga tidak cocok dengan asas-asas kemanusiaan. Oleh karena itu, harus dibuat instrumen-instrumen yang transitional, yang dapat memberikan keadilan pada saat transisi”
Namun, rasanya kok judicial corruption belum tersentuh? Inilah yang diistilahkan hasil survey Demos, lembaga nirlaba yang dipimpin Asmara, sebagai ”lagu lama, kaset baru” ala Yuni Shara. Selain itu, survai Demos, menurut Asmara, menunjukan masalah paling serius dalam demokrasi yakni sistem kepartaian dan representasi politik yang buruh, yang tidak menawarkan cara demokratis dalam perbaikan kepastian hukum, penciptaan tata pemerintahan yang baik dan perbaikan taraf hidup.
Problem yang menjangkiti Mahkamah Agung saat ini, mulai dari masalah Pedoman Perilaku Hakim yang memperbolehkan menerima hadiah dan pujian hingga sosok ketuanya yang saat ini mendapat perhatian tajam – berkaitan dengan rekening pribadi, kebijakan memperpanjang masa pensiun, penolakan hadir ke persidangan untuk menjadi saksi, dan seterusnya.
Semua itu merupakan bukti bahwa reformasi ditubuh Mahkamah Agung tidak dapat diharapkan hanya pada seorang Bagir Manan. Semestinya, konsep dan skema keadilan transisional yang diterapkan pada awal-awal reformasi, seperti memberhentikan semua hakim agung, untuk selanjutnya digantikan oleh para hakim agung yang baru dengan prosedur seleksi secara ketat. Dinegara lain pemberhentian semua hakim agung bukan tidak pernah dilakukan, antara lain pengalaman Meksiko.
Namun, dalam praktik, tidak saja perlu orang-orang baru: namun konsep keadilan transisional mesti didorong oleh individuindividu yang ”adiluhung”. Tanpa preferensi ideologi kerakyatan dan keadilan, maka tentu saja konsep ”keadilan transisional” akan mendapat kesulitan untuk mencapai tujuannya.
Penutup
Meminjam pendapat Asmara, para pejuang hukum dan pembela hak asasi manusia, masih berhadapan dengan “dengan 99% orangorang yang dulu mendukung rezim Soeharto dan Habibie”.
Hanya waktu juga yang dapat menjawab, apakah presentasi ini mengecil di kemudian hari dengan bertambahnya dan munculnya generasi yang mendorong “perwujudan negara demokrasi berdasarkan hukum berkeadilan, yang menjamin pemenuhan keadilan sosial, kebebasan masyarakat dan prinsip non-dominasi”. Semoga terwujud dalam waktu yang tak terlalu lama.
NEOLIBERALISME ATAU PEMBANGUNAN: MEMAHAMI LEBIH JAUH PIKIRAN DANI RODRIK
Sugeng Bahagijo
(Untuk Asmara Nababan, salah satu putera terbaik Indonesia,
yang tanpa kenal lelah menularkan cita-cita kemanusian bagi
Indonesia yang lebih baik dan lebih adil)
Sebaliknya, negara-negara yang menggabungkan peran pasar dan negara, terus tumbuh seperti Cina, India dan Korea dan Taiwán. Mereka ini bukanlah anak-anak asuh neoliberal (foster children for neoliberal), karena mereka banyak melanggar resep-resep kebijakan ortodok dalam strategi pembangunannya. Keberhasilan pembangunan di Korea Selatan dan Taiwan melibatkan banyak campur tangan dan peran negara dengan mendukung industri tertentu, memberikan kredit murah dan memberikan proteksi kepada banyak pemain dalam negeri. Ini semua adalah jurus-jurus yang melanggar banyak rumus-rumus kebijakan neoliberal.
Rodrik menyatakan, ”.. It is time to abandon neoliberalism and the Washington Consensus. But the challenge is to provide an alternative set of policy guidelines for promoting development, without falling into the trap of promulgating yet another impractical blueprint, supposedly right for all countries at all times.” (“After Neoliberalism, What?” Project Syndicate, September 2002)
Siapa Dani Rodrik dan apa gagasannya tentang pasar dan negara? Apa usulannya tentang strategi pembangunan di negaranegara berkembang, di tengah arus deras globalisasi ekonomi dan doktrin neoliberal yang melanda berbagai negara?
Tulisan ini berupaya memahami dan mengenal lebih jauh tentang pikiran-pikiran Dani Rodrik, seorang ekonom pembangunan yang mengajar di John F Kennedy School Government, Universitas Harvard.
Berbeda dengan Stiglitz yang lebih tersohor, di Indonesia, nama Rodrik belum banyak dikenal. Tetapi di kalangan ekonom, sarjana pembangunan dan lembaga-lembaga pembangunan internasional, Rodrik bukan orang asing.
Karya-karya tulisnya banyak menjadi acuan dan bahan perdebatan di tingkat dunia. Satu karyanya yang paling banyak dikutip dan menjadi bahan perdebatan luas adalah buku Has Globalizations Gone Too Far? (1997). Bersama Stiglitz dan sedikit ekonom dan ahli ilmu politik tingkat dunia, artikel-artikelnya dimuat oleh Project Syndicate,51 suatu konsorsium Mediamassa dunia. Dani Rodrik juga telah menjadi Koordinator Penelitan untuk kelompok negaranegara berkembang (G-24).
Tulisan ini akan dibagi ke dalam 3 bagian. Bagian pertama akan meringkaskan pandangan tentang kaitan antara negara dan pasar, dan sejauh mana pandangan Rodrik atas peran keduanya dalam menciptakan dan mendukung pembangunan ekonomi, khususnya bagi negara-negara berkembang. Bagian kedua akan memaparkan pandangan nya tentang bagaimana sebaiknya negaranegara berkembang menghadapi dilema-dilema globalisasi, terutama globalisasi ekonomi. Bagian ketiga akan meringkas dan menyimpulkan uraian terutama dengan menarik relevansi dan arti penting pemikiran Rodrik dengan kasus Indonesia.
Negara dan Pasar
Di kemudian hari, konon buku tersebut menjadi buku bacaan favorit Margaret Thatcer, Perdana Menteri Inggris yang secara radikal, mengubah haluan kebijakan ekonomi Inggris, bahkan disebut revolusi. Revolusi kanan. Isi revolusinya adalah tiga kosa kata yang sudah sering kita dengar: debirokratisasi, deregulasi, privatisasi dan lain-lain.
Buku ini patut disebut karena nama FA Hayek, bersama Milton Friedman, yang kini guru besar di Hoover Institution, Stanford University, dianggap sebagai bapak kebijakan neoliberal. Intinya adalah penolakan ideologis atas peran negara, karena hanya akan merusak mekanisme pasar dan pandangan bahwa pasar mampu mengoreksi dirinya.
Neoliberal dalam berbagai bentuknya, tidak lain adalah kepercayaan yang membabi buta atas keunggulan pasar, keunggulan usaha-usaha swasta dalam semua bidang kehidupan ekonomi dan sosial. Karena itu peran negara harus dikurangi, lantaran mendistorsi pasar. Sentralisme peran negara dalam eknomi harus dirombak, diganti berbagai haluan ekonomi yang membiarkan mekanisme pasar bekerja lebih leluasa dan bebas.
Berbeda dengan para pendukung paham neoliberal itu atau pasar bebas laissez-faire yang mengharamkan peran negara, Dani Rodrik menilai, peran negara sungguh penting. Apalagi jika tujuan dari pemerintahan dan kebijakan ekonomi bukan sekadar menarik investor dan investasi, tetapi terutama untuk tujuan dan maksudmaksud seperti penanggulangan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja.
Bagi Rodrik, pembangunan yang berhasil memerlukan peran pasar dan negara. Pasar tanpa negara akan menghasilkan kekacuan. Negara ada untuk menjinakan “nafsu binatang” dari pasar. Jika Abad XIX menemukan kapitalisme, maka Abad XX menjinakkan kapitalisme. Itulah ekonomi campuran antar negara dan pasar, yang menurut Rodrik, menjadi resep bagi kemakmuran luar biasa di AS, Eropa Barat dan sejumlah negara-negara Asia Timur. Dia menulis,
”The nineteenth century had discovered capitalism. The twentieth learned how to tame it and render it more productive by supplying the institutional ingredients of a self-sustaining market economy: central banking, stabilizing fiscal policy, antitrust and regulation, social insurance, political democracy. It was during the twentieth century that these elements of the mixed economy took roots in today’s advanced industrial countries. The simple idea that markets and the state are complements—recognized in practice if not always in principle—enabled the unprecedented prosperity the United States, Western Europe, and parts of East Asia experienced during the second half of the century” (Development Strategy for Next Century, 2000).
Menurut Rodrik, pasar justru berkembang bukan karena suasana yang bebas tanpa batas atau persaingan sempurna (laissezfaire) akan tetapi justru dibawah pengawasan dan supervisi negara. Rodrik mengutip narasi Jacques Barzun tentang keadaan kota Venesia yang memiliki aparat pengatur yang demikian luas pada masa keemasan kota itu sebagai pusat perdagangan dan pelayaran dunia pada sekitar 1650. Ada otoritas yang memeriksa berat dan panjang barang, ada semacam pengacara yang mengadili sengketa antara pihak, ada hakim yang mewakili kreditor. Mereka semua adalah birokrat yang dilatih dengan seksama dan setiap tindakannya diawasi oleh badan lain.
“There were inspectors of weights and measures and of the Mint; arbitrators of commercial disputes and of servants and apprentices’ grievances; censors of shop signs and taverns and of poor workmanship; wage setters and tax leviers; consuls to help creditors collect their due; and a congeries of marine officials. The population, being host to sailors from all over the Mediterranean, required a vigilant board of health, as did the houses of resort, for the excellence of which Venice became noted. All the bureaucrats were trained as carefully as the senators and councilors and every act was checked and rechecked as by a firm of accountants [Feasible Globalization, 2002].
Rodrik percaya bahwa pasar hanya akan berjalan jika berpaut dan berakar pada institusi-intitusi sosial. Rodrik menyatakan ada 4 institusi yang mendukung berjalannya pasar: hak milik (property rights), badan-badan pengatur (regulatory institutions); lembagalembaga untuk stabilisasi ekonomi (institutions for macroeconomic stabilization); institusi-institusi jaminan sosial (institutions for social insurance), dan insitusi-institusi penyelesaian konflik (institutions of conflict management).
Institusi-institusi itu bagi Rodrik sangat penting. Di AS, kita mengenal berbagai singkatan lembaga-lembaga negara yang menunjukkan peran negara mengatur (regulatori) seperti SEC (pengawasan lembaga keuangan), FAA (penerbangan), EPA (lingkungan hidup), FDA (pengawasan makanan), dan seterusnya. Rodrik bahkan menyimpulkan, semakin bebas pasar, maka semakin berat beban badan-badan pengatur. Itu sebabnya AS memiliki pasar yang paling bebas sekaligus tingkat penegakan hukum anti monopoli yang paling keras. Contoh kasus gugatan Departemen Kehakimam atas perusahaan Microsoft karena perilaku Microsoft yang monopolistik.
Rodrik menulis, “the lesson that market freedom requires regulatory vigilance has been driven home recently by the experience in East Asia. In South Korea and Thailand, as in so many other developing countries, financial liberalization and capital-account opening led to financial crisis precisely because of inadequate prudential regulation and supervision.”
Salah satu institusi sosial atau lembaga sscial yang penting adalah institusi jaminan sosial. Ini penting karena karena ekonomi pasar bersifat dinamik, naik dan turun, dan berpotensi menimbulkan berbagai risiko besar, seperti pengangguran, ketimpangan social, kenaikan harga dan kemiskinan. Juga karena mekanisme pasar mencerabut ikatan-ikatan sosial yang sebelumnya berfungsi sebagai penyangga dan pendukung terhadap berbagai risiko, apakah itu keluarga, kerabat, gereja dan berbagai kelembagaan yang bersifat menolong satu sama lain.
Lebih lanjut Rodrik menulis, “one of the liberating effects of a dynamic market economy is that it frees individuals from their traditional entanglements—the kin group, the church, the village hierarchy. The flip side is that it uproots them from traditional support systems and risk-sharing institutions. Gift exchanges, the fiesta, and kinship ties–to cite just a few of the social arrangements for equalizing the distribution of resources in traditional societies— lose much of their social insurance functions. And the risks that have to be insured against become much less manageable in the traditional manner as markets spread. (Development strategy for Next Century)
Perluasan jaminan-jaminan sosial (kesehatan, pensiun, pengangguran dan dukungan dana bagi kaum miskin) di AS pasca-depresi besar pada 30-an dan di Eropa pasca-Perang Dunia II merupakan upaya keluar dari krisis. Oleh karena itu, meskipun bertubi-tubi diserang dan dipojokkan secara politik, program-program jaminan sosial dan negara kesejahteraan di Eropa dan AS, tetap bertahan.
Berbeda dari banyak ekonom mainstream lainnya, termasuk ekonom-ekonom Indonesia yang gemar mengkritik negara-negara welfare state, Dani Rodrik memiliki penghargaan tinggi dengan kapitalisme model Eropa dengan welfare state nya. Menurut Rodrik, ekonomi pasar pada kenyataannya menuntut adanya daya tawar sosial.
Jubah Emas
Apa yang terjadi sesudah itu? Rodrik menyatakan bahwa ”Golden Straitjacket” ternyata membelenggu kebebasan bagi suatu negara untuk mengatur ekonominya, dan cenderung tidak memberikan ruang bagi aspirasi-aspirasi kebijakan lain di luar kebijakan neoliberal.
Mengutip ungkapan Friedman, Rodrik menunjukkan bahwa, “as your country puts on the Golden Straitjacket, two things tend to happen: your economy grows and your politics shrinks…. (The) Golden Straitjacket narrows the political and economic policy choices of those in power to relatively tight parameters. That is why it is increasingly difficult these days to find any real differences between ruling and opposition parties in those countries that have put on the Golden Straitjacket. Once your country puts on the Golden straitjacket, its political choices get reduced to Pepsi or Coke—to slight nuances of tastes, slight nuances of policy, slight alterations in design to account for local traditions, some loosening here or there, but never any major deviation from the core golden rules.” (Feasible Globalization, 2001)
Maka, jika politik dalam negeri, Pemilu dan lembaga-lembaga yang secara sosial-politik menyalurkan dan menyuarakan aspirasi warga negara tidak relevan dan tidak berguna, apakah globalisasi dan integrasi ekonomi berarti lonceng kematian bagi negara bangsa dan demokrasi?
Sejauh mana pengalaman negara-negara maju sendiri? Benarkah small government adalah bentuk dari mundurnya negara dalam ekonomi dan menjadi ciri khas pemerintahan negara-negara maju di era pasca-Thatcer dan Reagan?
Menurut Rodrik, data-data menunjukkan bahwa negara-negara maju menanggapi arus globalisasi dan integrasi ekonomi dengan memperkuat peran negaranya. Hasil studinya menunjukkan, semakin negara-negara itu terbuka pada ekonomi global, semakin besarlah pemerintahnya. Peran dan belanja pemerintah yang besar ini diperlukan untuk menjadi semacam jaminan sosial apabila terjadi krisis.
Data-data OECD menunjukkan bahwa pendapatan dan belanja pemerintah negara-negara maju jauh lebih besar ketimbang ratarata negara miskin. AS misalnya, membelanjakan sekitar 305 PDB. Inggris 40% PDB dan Swedia dan Denmark membelanjakan lebih dari 50%.55 Bandingkan dengan Indonesia yang belanja dan pendapatan pemerintah hanya sekitar 20% dari PDB.
Intinya, resep neoliberalisme yang menganjurkan pada pemerintahan yang ramping/small government (pengurangan pajak, pengurangan peran) adalah tidak benar karena bertentangan dengan fakta empiris yang telah dan sedang dilakukan oleh negaranegara maju. Selain itu juga bertentangan dengan tantangan yang harus dihadapi suatu negara apabila negara itu masuk dalam kancah ekonomi global.
Bagaimana dengan pengalaman negara-negara berkembang dalam menghadapi globalisasi? Apakah mereka mengikuti saja resep-resep neoliberal? Apa yang kita tahu dari pengalaman dan fakta yang terjadi selama ini?
Berdasarkan data-data dan studi yang bisa dipercaya, Rodrik menuturkan, sepanjang 40 tahun sejak 1960 sampai 2000, pendapatan per kapita negara-negara berkembang tumbuh sebesar 2,3%. Tingkat pertumbuhan ini merupakan prestasi yang tinggi, apapun patokannya. Sebagai perbandingan, pertumbuhan pendapatan per kapita Inggris pada Abad XIX, antara periode 1820 sampai 1870 hanyalah 1,3%. Sedangkan AS, 50 tahun sebelum perang Dunia Pertama, tumbuh hanya sekitar 1,8%.
Apa yang terjadi jika pertumbuhan pendapatan per kapita negara-negara berkembang sebesar 2,3 persen? Pendapatan akan meningkat dua kali lipat setiap 30 tahun (setiap generasi) dan standar kehidupan generasi selanjutnya akan dua kali lebih tinggi dari generasi sebelumnya. (Growth Strategies, 2003, hal 4).
Di mana rahasianya sehingga negara-negara berkembang itu berhasil meskipun dengan berbagai ragam sistem politik dan latar belakang sejarahnya? Apakah memang mereka bulat-bulat menelan pil dan resep neoliberal?
Rodrik menemukan tiga strategi. Antara lain: (i) strategi ISI, atau substitusi impor. Meskipun pada 80-an dan seterusnya, strategi ini banyak dianggap gagal dan ditinggalkan, namun fakta menunjukkan bahwa kinerja ekonomi negara-negara ini sebelum krisis minyak pada 1973, baik.
Mengutip data-data Collins dan Bosworth 1996, ditemukan, TFP (Total Factor Productivity) di Timur Tengah mencapai 2,3% dan di Amerika Latin mencapai 1,8. Angka ini melebihi TFP Asia Tenggara dan Asia Timur (1,3%). Tidak heran jika negaranegara seperti Brazil, Republik Dominika, Ekuador, di Amerika Latin dan Iran, Maroko dan Tunisia di Timur Tengah mengalami pertumbuhan TFP yang lebih tinggi.
(ii) Strategi model Asia Timur seperti yang ditempuh oleh Korea Selatan, dan Taiwan. Model ini, seperti juga ditempuh oleh Indonesia pada 1970-an dan awal 1980-an, tidak lain adalah peran negara yang aktif dan kuat dalam memupuk industri-industri penting dan hanya membuka diri dengan persaingan internasional sesudah mereka kuat. Rodrik menulis, “yet these are economies where the state has played a critical coordinating role in fostering industrial transformation and diversification. (Here is only one quantitative indicator: state enterprises constituted a larger share of the Korean and Taiwanese economies during their take-off in the 1960s than they do in India, an economy commonly thought to be weighed down by such enterprises.) In both countries, domestic markets were opened up to international trade only gradually and over a period of three decades.”
(iii) Strategi ke tiga adalah strategi yang dijalankan Cina, yang oleh Rodrik disebut sebagai strategi “dual track” (dua jalur), karena reformasi yang dilakukan sekaligus untuk mengandalkan peran pasar dan peran negara. Di pedesaan dan pertanian dengan melonggarkan sistem pertanian komunal dan membebaskan para petani untuk menjual hasil panennya ke pasar bebas sepanjang mereka telah memenuhi kuota produksinya. Jalur yang kedua adalah membolehkan pembukaan perusahaan-perusahaan di tingkat desa dan di perkotaan, serta pendirian zona-zona industri untuk menarik investasi asing.
Reformasi neoliberal yang dianjurkan lembaga-lembaga internasional, sepanjang tahun 80-an sampai tahun 2000-an secara seragam ke seluruh negara-negara miskin dan berkembang, menurut Rodrik, telah mengabaikan fakta-fakta pembangunan selama 40 tahun terakir ini, dan mengabaikan keragaman institusi serta ciri khas masing-masing negara.
Jurus-jurus kebijakan atau paket kebijakan neoliberal yang sering disebut Washington Consensus terbukti gagal, sebagaimana terlihat dari (i) kemandegan pertumbuhan ekonomi di Amerika Latin; (ii) kegagalan reformasi ekonomi di Rusia dan negaranegara bekas Uni Soviet, dan (iii) krisis keuangan Asia 1997-1998. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan di Washington merevisi jurus Washington Consensus dengan berbagai menu tambahan yang disebut Rodrik sebagai Augmented Washington Consensus. Namun paket kebijakan itu tidak berubah dari sebelumnya. Hanya saja paket kebijakan baru ini lebih memperhatikan dan memperkuat sisi kelembagaan-institusi.
Sayangnya, kata Rodrik, pilihan-pilihan institusi ini juga sangat mencerminkan insitusi-institusi model kapitalisme Anglo Saxon, ketimbang ragam yang ada, misalnya kapitalisme Jepang ataupun kapitalisme model Eropa kontinental.
Di sisi lain, satu bentuk globalisasi yang menguntungkan dua belah pihak (negara maju dan negara miskin) tidak terjadi. Rodrik menulis, misalnya kelonggaran bagi tenaga kerja dari negara berkembang/miskin bisa bekerja di negara maju, dalam bentuk program visa kerja sementara 3-5 tahun, dan dalam jumlah tidak lebih dari 3% dari jumlah tenaga kerja negara-negara kaya, dan yang akan diganti oleh tenaga kerja baru jika masanya sudah selesai.
Skema ini akan menghasilkan pendapatan sebesar 200 milyar dolar per tahun bagi warga negara di negara berkembang. Suatu jumlah yang luar biasa besar; 5 kali jumlah total bantuan per tahun negara maju ke negara-negara miskin (ODA, official development aid, 50 milyar dolar) dan jauh lebih besar dari manfaat perdagangan bebas di bawah WTO yang menjanjikan proteksi negara maju dihapus (100 milyar dolar per tahun).
Mengapa hal itu tidak dijalankan? Jawabannya sederhana, yakni politik. Rodrik menyatakan bahwa meskipun skema ini baik (desirable), tetapi secara politik hal ini akan berupa ”bunuh diri politik”, sebab para penentang tenaga kerja asing dan penentang kelonggaran imigrasi di negara-negara maju, telah mengorganisasi diri secara kuat dan secara politik sangat berpengaruh, juga melalui partai politik, media massa dan sebagainya.
Dani Rodrik: Dari Washington Consensus ke Augmented
Washington Consensus :
Di Indonesia, neoliberalisme sudah cukup jauh merasuk dalam berbagai wujud. Salah satu wujudnya adalah apa yang disebut sebagai “emoh negara”, yang menurut I. Wibowo (2003), telah mencampur adukkan dua pengertian antara “emoh negara” sebagai demokratisasi dengan “emoh negara” sebagai liberalisasi ekonomi (marketization). Lebih dari itu, “emoh negara” ini telah dikampanyekan lewat berbagai wacana dan pendapat berbagai pakar dan suratkabar, yang tujuannya tidak lain melucuti negara (kebijakan publik) dan pemenangnya adalah sekelompok kecil elit politik dan pelaku bisnis.
Di Indonesia, kebijakan-kebijakan neoliberal sudah disemai sejak tahun 80an dengan paket-paket kebijakan liberalisasi keuangan dan perbankan. Termasuk membebaskan konglomerat meminjam dana luar negeri. Ketimbang menanam modal dan tenaga pada pertanian dan infrasturktur, kebijakan ekonomi Indonesia lebih diarahkan pada liberalisasi keuangan dan investasi.
Krisis ekonomi Indonesia pada 1997-1998 tidak lain adalah pembiaran (ommission) dan arahan (commission) terhadap lalulintas modal baik jangka pendek dan jangka panjang (FDI). Dikatakan pembiaran karena pembebesan dan keleluasan lalu-lintas modal terutama modal jangka pendek, berjalan tanpa regulasi, supervisi dan kendali oleh negara. Dikatakan arahan, arena kebijakan negara secara sengaja melepas campur tangan negara terhadap lalulintas modal dan operasi-operasinya.
Layak dinyatakan gagal
Pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, menurut Rodrik, seharusnya tidak ikut-ikutan trend yang belum tentu berhasil, dan didikte dari luar. Sebaliknya, strategi pembangunan sebaiknya bertolak dari aspirasi-aspirasi dalam negeri dan para pembuat kebijakan di negara berkembang percaya diri. Ia mengatakan, ”… economic development ultimately derives from a home-grown strategy, and not from the world market. Policy makers in developing countries should avoid fads, put globalization in perspective, and focus on domestic institution building. They should have more confidence in themselves and in domestic institution building, and place less faith on the global economy and blueprints emanating therefrom.” (Development Strategies for the Next Century, 2000, hal 36)
Arti penting karya-karya Rodrik bagi problem pembangunan di Indonesia pasca krisis ekonomi 1997—ekonomi yang masih didera oleh kemiskinan, pengangguran yang tinggi di atas 10 %—adalah memberi jalan keluar lain dari kebuntuan dan kemandegan yang terjadi akibat resep neoliberal, dan memberi dukungan teoritis dan empiris bagi kemandirian kebijakan pembangunan.
Hal itu tampak pada kepekaan dan simpati dia dengan upayaupaya pembangunan di negara berkembang. Kepekaan itu ditunjukkannya dalam posisinya yang membela keragaman kelembagaan /institusi yang mendukung pembangunan di berbagai negara; menolak penyeragaman institui pembangunan dan membela kebebasan negara berkembang memilih model-model pembangunannya sendiri.
Kepekaan dan simpati kepada negara-negara berkembang itu juga diperlihatkan Rodrik melalui sikapnya yang menolak penyeragaman model pembangunan sebagaimana yang dianjurkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional IMF dan Bank Dunia. Penyeragaman berbasiskan pada model tunggal yang dipasok dari Washington DC yang ternyata gagal.
Dua pikiran Rodrik yang hari hari ini sangat relevan bagi Indonesia adalah; pertama, semakin perekonomian suatu negara terbuka pada pasang surut ekonomi global, tidak saja dalam hal ekonomi riel tetapi juga dalam ekonomi finansial, semakin diperlukan pemerintah yang kuat agar mampu meredam dampak negatif internasionalisasi ekonomi.
Kekuatan itu misalnya dalam soal kemampuan menegakkan berbagai regulasi. Kasus-kasus penghindaran perpajakan dalam berbagai bentuknya seperti transfer pricing, baik oleh perusahaan dalam negeri maupun perusahaan MNC, adalah satu contoh yang menunjukkan pentingnya kapasitas dan kesanggupan pemerintah untuk menjadi kuat.
Kedua, pikiran Rodrik soal institusi jaminan sosial. Intinya, penting sekali Indonesia memiliki sistem jaminan sosial yang memadai karena ekonomi yang terbuka akan terpapar pada berbagai guncangan. Ada yang kalah, ada yang menang. Oleh karena itu, perlu sistem jaminan sosial. Sudah terlalu lama elite Indonesia mengabaikan soal jaminan sosial ini. Selama ini, jaminan sosial dianggap sebagai pemborosan dan lebih dianggap sebagai tanggungjawab keluarga dan tanggungjawab individual. Dalam hal itu tanggungjawab negara sangat minimal.
Belanja sosial yang rendah dalam bidang kesehatan dan jaminan sosial Indonesia sudah lama menjadi rahasia umum. Meski sudah ada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2004, tetapi realisasinya masih tersendat dan jalan di tempat. Hingga hari ini, sebagian besar warga negara Indonesia tidak memiliki jaminan kesehatan. Pun jaminan pensiun dan tunjangan pengangguran. Upaya pemerintah dengan program Jamkesmas dan Program Keluarga Harapan (conditional cash transfer) merupakan kemajuan tetapi pendekatannya masih mengarah untuk kelompok miskin saja, bukan merupakan pendekatan universal untuk semua pekerja dan warganegara sebagaimana diamanatkan UU SJSN 2004.
Pikiran dan gagasan Rodrik relevan dengan kebutuhan Indonesia, yang sedang mencari cara untuk menjadi negara kelas menengah (middle income country) yang berupaya meminimalkan kemiskinan dan ketimpangan.
[paper Dani Rodrik dapat dilihat dalam wesbitehttp://ksghome. harvard.edu/~drodrik/papers.html]
- Dani Rodrik, 1998, Debate over Globalization : How to Move Forward by Looking Backward
- Dani Rodrik, 2004, Rethinking Growth Policies in Developing Countries
- Dani Rodrik, 2000, Development Strategies For the Next Century
- Dani Rodrik, 2003, Growth Strategies
- Dani Rodrik dan Ethan Kaplan, 2001, Did The Malaysian Capital Control Work?
- Dani Rodrik, 2002, After Neoliberalism, What? Project Syndicate (September 2002)
- Dani Rodrik, 2002, Feasible Globalization
- Dani Rodrik, 2006, Goodbye Washington Consensus, Hello Washington Confusion?
- Dani Rodrik, 1997, Has Globalization Gone Too Far? Washington DC; Institute for International Economics
- Dani Rodrik, 1998, Why Do More Open Economies Have Bigger Governments?
- I Wibowo, 2003, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara” dalam Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas
- B. Herry Priyono, 2003, “Dalam Pusaran Neoliberalisme” dalam Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
- FA Hayek, 1944 (1976), The Road to Serfdom, London: Routledge and Kegan Paul Ltd.
- Ernesto Screpanti dan Stefano Zamagni, 2005, An Outline of the history of Economic Thought (second edition). Oxford: Oxford University Press.
Tentang Penulis dan Kontributor
Albert Hasibuan lahir di Bandung, Jawa Barat, 25 Maret 1939. Aktif sebagai advokat & Wakil Ketua Komisi Konstitusi, lulus dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Jakarta (1966) dan S3 Bidang Hukum UGM 1992. Pernah menjabat sebagai anggota MPR (1972-1977) dan anggota DPR-FKP (1977-1988). Menjadi advokat dan pengacara sejak 1973. Selain itu juga pernah menjadi pemimpin Umum Harian Suara Pembaruan (1987-2002) dan menjadi anggota Komnas HAM periode 1993 – 2002.
Patra M. Zen, penerima the Chevening Scholarship Award: LL.M in International Human Rights Law at University of Essex (2001/02); Political Shortcourse (University Birmingham, Civil Service Colloge (2000)). Sarjana Hukum Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Sriwijaya. Penulis: Tak Ada Hak Asasi yang Diberi (2005). Co-writers: Reformasi Birokrasi (2006); Pelayan (Bukan) untuk Publik. Malang (2006); Inkonsistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergolak? (2005); Sengketa Konsti tusional Lembaga-Lembaga Negara (2005); Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembentukkan Perundang undangan yang Partisipatif (2005); Refleksi dan Penyusunan Strategi Mewujudkan Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Buku Pintar. 60 Menit Memahami (Mengawasi) Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2004); Considering General Election in Aceh under the Martial Law (2004); Koalisi Partisipasi (2003). Co-editors: Instrumen Pokok Internasional Hak Asasi Manusia (2006); Buku Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (2006); Hukum Perdata di Indonesia (2001). Kontak patra.m.zen@gmail.com
Arief Budiman lahir di Jakarta 3 Januari 1941, sejak 1997 mengajar ilmu politik sekaligus menjadi Ketua Program Indonesia pada Universitas Melbourne. Sejak meraih gelar PhD untuk bidang sosiologi dari Universitas Harvard pada 1981, Arief terkenal sebagai intelektual kiri pengkritik paham pembangunan (modernisasi) yang berkembang di negeri-negeri sedang membangun, terutama Indonesia. Beberapa buku yang telah dia tulis antara lain Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia (1989), Negara dan Pembangunan (1991), dan Teori Negara (1996).
Eliakim Sitorus, menjadi staf pertama KSPPM (dahulu KSPH) Bidang Pertanian, sejak tahun 1985. Pernah menjadi Direktur Program KSPPM. Pindah dari Sumut ke Jakarta tahun 1997. Menjadi Direktur Program Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) dari Oktober 1997–September 1999. Lalu antara tahun 2000–2002, sebagai programm officer Biodiversity Support Program (BSP) Keanekragaman Hatai (KEMALA). Tahun 2003–2005 bekerja pada Search for Commond Ground Indonesia (SfCGI). Pernah bekerja pada United Evangelical Mission (UEM) untuk menangani program-program Justice, Peace and the Integrity of Creation (JPIC). Menyelesaikan pendidikan dari Fakultas Pertanian USU Medan, 1984 dan Program Pascasarjana Univesitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1994. Saat ini menjadi Ketua Badan Pengurus Perhimpunan KSPPM (2006–2012). Bersama keluarga berdomisili di Jakarta. Kontak elisitorus@yahoo.com
Harbrinderjit Singh Dillon atau lebih dikenal dengan nama H. S. Dillon lahir di Medan, 23 April 1945. Saat ini ia menjabat sebagai Direktur Kemitraan untuk Reformasi Pemerintahan. Ia pernah meraih penghargaan Global Award dari Priyadarshni Academy, India sebagai orang keturunan India di luar negaranya yang memberikan kontribusi di negara yang ditinggalinya. Tercatat sebagai Country Representative, International Association of Agricultural Economists dari 1988 hingga sekarang.
Johny Nelson Simanjuntak, lahir 1 Mei 1956 Sidikalang, Sumatera Utara. Lulus dari Fakultas Hukum UGM Yogyakarta pada 1982 dan tahun 2004 mengambil Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pendiri dan anggota pengurus Yayasan ATMA Solo dan YSAM (Yayasan Sosial Abdi Masyarakat). Anggota Steering Committee Urban Rural Mission Indonesia sejak 1998 hingga saat ini. Penerima Yap Thiam Hien Award 1992 (Penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Jakarta kepada Pejuang Hak Asasi Manusia di Indonesia). Saat ini menjadi anggota komisi hak asasi manusia periode 2007–2012 untuk subkomisi pemantauan dan penyelidikan.
Junpiter Pakpahan, lahir 26 Juni 1980, di Medan, Sumatera Utara. Pendidikan dasar hingga menengah atas diselesaikan di Medan. Kemudian menyelesaikan sarjana di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (FP-USU) tahun 2003. Selama mahasiswa aktif di Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian USU. Sejak 2005, bergabung di sebuah organisasi non pemerintah (Ornop), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Parapat, Sumatera Utara, mendampingi petani di pedesaan Sumatera Utara, khususnya kawasan Tapanuli. Mengikuti banyak seminar, kursus, workshop dan training yang menyangkut hak-hak petani dan pengembangan pertanian. Pada 2008, pernah mengikuti pelatihan Rural Leaders Traning di Asian Rural Institute, Jepang, selam 9 bulan. Pernah menjadi tim peneliti dalam penulisan buku Orang-Orang yang Dipaksa Kalah, Perjuangan Rakyat Porsea melawan PT Indorayon (IIU) yang diterbitkan KSPPM dengan Yayasan Obor Indonesia yang terbit Februari 2010. Kontak email: pakpahanjun@yahoo.com.
Kamala Chandrakirana Lahir di Jakarta, 2 Oktober 1960. Pendidikan Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia (1979-1981) Lulusan Sosiologi Pembangunan di Cornell University, Ithaca, New York. Pernah menjadi Sekretaris Jenderal Komnas Perempuan (1998- 2004) lalu ketua Komnas Perempuan (2004-2009), juga sebagai Pendiri dan Dewan Pengurus Rahima.
Magdalena Helmina Maniara Sitorus, Lahir 27 Oktober 1952; Pendidikan SMA Tarakanita, S1 Sosiologi; Sedang menyelesaikan tesis Magister Hukum di UNDIP; Pendiri dan Direktur Eksekutif SIKAP (Solidaritas Aksi Korban Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan) 1996-2004; Anggota Komnas Perlindungan Anak Indonesia 2001–2003 dan 2004–2010; Pengurus di Jaringan Peduli Anak Bangsa (2009–2014) Saat ini Ketua dari Perkumpulan Sahabat Perempuan dan Anak Indonesia. Marzuki Darusman lahir di Bogor, 26 Januari 1946. Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung (1974). Karir Politik: Ketua DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia, Sesjen Pemuda ASEAN, Wapres Pemuda Asia, Komda Golkar Jabar (1970), Golkar Pusat (1974), Anggota DPR (1987–1992), Anggota Komnas HAM periode 1993-1998. Pernah menjabat sebagai Jaksa Agung untuk periode 1999–2001, saat ini aktif sebagai Direktur The Human Rights Resource Centre for ASEAN (HRRCA).
Rahmat Riyadi, kartunis. Menggarap strip kartun TOMAT di majalah anak anak Kawanku dari 1976 sampai dengan 1990. Menggarap strip kartun TIMUN di Kompas Minggu sejak 1981 sampai sekarang. Membuat storyboard KBO (Kabar Bang One) untuk animasi di stasiun televisi TV ONE, sejak 2008 sampai sekarang.
Sarah Lery Mboeik lahir di Rote, 20 Februari 1965. Lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana–Kupang, Jurusan Budidaya Pertanian, pada 1988. Aktif dalam gerakan advokasi hak atas lingkungan dan tanah adat sejak 1995. Pada 1999 meraih penghargaan Yap Thiam Hiem Award dan Agustus 2003, mendapat penghargaan dari Gubernur NTT sebagai LSM yang berhasil dalam melakukan proses advokasi HAM dan membangun Demokratisasi di NTT. Saat ini tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah mewakili Propinsi NTT dan membidangi Komisi 4 (RAPBN, Audit BPK, Koperasi dan lembaga keuangan lainnya) serta alat kelengkapan lain: Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) dan Panitia Akuntabiltas Publik (PAP-DPD RI). Soetandyo Wignjosoebroto, lahir 19 November 1932. Gurubesar Emiritus. Salah satu pendiri Perkumpulan HUMA dan juga Pusat Pembelajaran Hukum ‘Epistema’. Belajar Ilmu Hukum di Unair, Government Study dan Public Administration di University of Michigan. Dosen sejak tahun 1963 dan purna tugas pada 1997. Menjadi anggota Komnas HAM periode 1993-2003. Sekarang masih aktif mengajar dan menulis.
Stanley Adi Prasetyo, alumni teknik elektro Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini dulu lebih dikenal sebagai aktivis mahasiswa. Selain berkecimpung di dunia akademisi dan pergerakan, ia juga lama berpengalaman di dunia jurnalistik sebagai wartawan, redaktur, pelatih wartawan, dan ombudsman di sejumlah media cetak. Sekarang menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, sebelumnya pernah menjadi direktur di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan di PT MELIN yang membawahi KBR 68H dan Radio Namlapan. Ia salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Anggota Dewan Pakar INTI dan ikut mendirikan berbagai organisasi non-pemerintah. Pernah mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta. Sejumlah penelitian pernah dilakukannya, termasuk penelitian yang dilakukan bersama Profesor Dr. Olle Tornquist dari Universitas Oslo, Norwegia. Sebanyak 65 buku telah ditulis dan dieditnya. Kontak stanley@komnasham.go.id
Sugeng Bahagijo, akhir 1990an bekerja di INFID ketika Asmara Nababan menjadi Direktur Eksekutif/Sesjen INFID. Kini Bekerja di Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID). Pernah menjadi Tenaga Ahli Bappenas dan Associate Director Perkumpulan Prakarsa, Jakarta”
Usman Hamid lahir di Jakarta, 6 Mei 1976. Alumni Fakultas Hukum Universitas Trisakti 1999, Usman Hamid adalah mantan ketua Senat Mahasisawa Fakultas Hukum Trisakti 1998-1999 yang kini bergabung dengan KontraS (Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang aktif mempertanyakan penculikan aktivis oleh militer. Ia juga adalah perwakilan mahasiswa dalam Tim Delegasi Polisi dan Militer untuk misi uji balistik ke Montreal Kanada pada tahun 1999. Pada 2001 ia ditunjuk Komnas HAM menjadi sekretaris Komisi Penyelidik Pelanggran HAM Trisakti, Semanggi I dan II untuk mengusut insiden penembakan mahasiswa pada 1998-1999. Serta menjadi sekretaris Tim Pencari Fakta kasus Munir yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Desember 2004.
Zumrotin K. Susilo, lahir 18 Desember 1949 di Babat. Sejak 1976 bergabung di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan kemudian menjabat ketua YLKI pada 1989–1995. Sebelum menjadi Wakil Ketua Komnas HAM periode 2002–2007, dia bergabung di International NGO’s Forum on Indonesian Development (INFID). Zumrotin juga menjabat Direktur Eksekutif Program Pemulihan Keberdayaan Masyarakat, yang merupakan koalisi dari 27 LSM yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat korban krisis ekonomi.