• Home
  • Tentang Asmara Nababan
    • Awal Kehidupan
    • Pendidikan
    • Riwayat Pekerjaan
    • Kegiatan Lainnya
  • Warisan Pemikiran
    • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
    • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
    • HAM dan Pembangunan
    • Demokrasi dan Tata Negara
    • Pendidikan dan Seni
  • Living Legacy
    • Arsip Video
    • Arsip Foto
    • Doa untuk Bang As & Bangsa
    • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
    • Kirim Tulisan
  • Info Kegiatan
  • id ID
    • id ID
    • en EN
Asmara Nababan
keep your memories alive
Author

Nuwiya Amal

Nuwiya Amal

HAM & Pembangunan

Pantai Indah Kapuk yang Tidak Kapok – Nasib Properti di Pantai Indah Kapuk (Majalah Kontan, Februari 2000)

by Nuwiya Amal 02/10/2020
written by Nuwiya Amal

Kalau Anda sudah memiliki rumah di Pantai Indah Kapuk, atau baru mengincarnya, bersiaplah menghadapi dua kemungkinan mendapat untung lantaran harganya naik atau terpaksa harus menjadi pengungsi karena digusur dari kawasan bekas hutan bakau itu.

Boleh jadi pengusahaproperti kondang Ciputra akhir-akhir ini tidak bisa tidur lelap. Bagaimana tidak? Pantai Indah Kapuk (PIK), proyek propertinya, kini sedang didera persoalan berat. Proyek perumahan mewah itu dituding sebggai salah satu penyebab banjir yang melanda jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta. Memang, sebenarnyaini bukan isu baru. Sejak mulai dibangun, proyek ini sudah mengundang perdebatan sengit. Kala itu banyak yang khawatir pembangunan proyek yang berlokasi di kawasan rawa-rawa di pinggiran pantai itu bisa merusak lingkungan. Kecuali bisa mengganggu kelestarian hewan-hewan yang hidup di sana, para pakar lingkungan pun mengingatkan proyek itu bisa menyebabkan banjir.

Namun, Ciputra tak peduli. Ia begitu yakin, proyek yang ditangani ahli bendungan dan kanal dari Belandaitu tak akan mengancam lingkungan sekitarnya. ”Saya siap digantung jika PIK menyebabkan banjir,” ujar Ciputra waktuitu, seperti dikutip Menko Ekuin Kwik Kian Gie.

Masalahnya sekarang, apakah Ciputra akan menjilat ludahnya sendiri? Soalnya, tahun demi tahun, terbukti proyek tersebut menyebabkan banjir yang sangat mengganggu masyarakat. Tak kurang dari Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengecam keberadaan PIK. ”Memalukan sekali kalau orang yang mau ke bandarainternasional harus naik truk,” kecamnya. Untukitu ia pun melayangkan surat kepada Gubernur DKI Jakarta untuk meneliti pelanggaran lingkungan hidup di sekitar PIK.

Jelas, kondisi ini tak menguntungkan bagi PIK. Sejak banjirjalan tol menjadi sorotan masyarakat, penjualan properti PIK seolah ikut membeku. Padahal, harganya mulai merangkak naik akhir tahun lalu. Sekarang, orang yang semula berniat bertransaksi, baik di pasar primer maupun sekunder, memilih bersikap wait and see. Singkat kata, mereka banyak yang menunda niatnya membeli rumah disana. Padahal harganya merangkak naik akhir tahun lalu. Sekarang, orang yang semula berniat bertransaksi, baik di pasar primer maupun sekunder, memilih bersikap wait and see. Singkat kata, mereka banyak yang menunda niatnya membeli rumah di sana.

Ancaman bagi pembeli kavling: tak dapat IMB

Sebenarnya tidak perlu heran kalau sang pengembang mengotot mendapatkan tanah reklamasi. Pasalnya, biaya pengurukan tidaklah seberapa ketimbang harga jualnya. Untuk harga perdana saja mereka bisa mendapatkan keuntungan sampai empatkali lipat. Jadi, dengan proyek seluas 1.000 hektare bisa dibayangkan berapa besar keuntungan akan dikeruk pengembang.

Lokasi PIK memang bisa dibi lang sangat strategis. Perumahan mewah ini mempunyai lapangan golf yang dekat sekali dengan tol menuju bandara yang juga bakal tembus ke jalan tol lingkar luar Pondok Indah. Ditambah pembangunan fasilitas sosial dengan stan dar kelas satu, membuat banyak orang mengiler ingin memiliki atau  sekadarinvestasi di PIK, kawasan yang dulunya ditentang mati-matian Emil Salim ketika menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup.

”Gangguan” bagi PIK tak cuma datang dari kaum pecinta lingkungan hidup. Sepinya peminat properti karena krismon membuat proyek reklamasi di Sektor Utara Barat, yang sudah setengah jalan, terhenti. Lantas, Mei 1998, tatkala prahara melanda Jakarta, kompleks itu ikut menjadi korban. Massa perusuh ikut merambah PIK. Selain menjarah isi rumah penghuni, mereka pun melakukan pembakaran. Kini, dengan makin tingginya debit air yang merendam jalan tol bandara saat musim hujan, bukan tak mungkin memaksa Pemda DKI mencabutizin pembangunan PIK.

Guna mengantisipasi kemungkinan buruk itu, para pemilik PIK telah menginstruksikan manajemen untuk menunggu perkembangan yang terjadi seraya memberikan informasi bagi konsumen. ”Sekarang kamiharus aktif menentramkan penghuni,” kata Vincent, Pemasar PT Mandara Permai, pengembang PIK yang merupakan konsorsium Liem Sioe Liong, Sudar lbahmnanan bangan yang terjadi seraya memberikan informasi bagi konsumen. ”Sekarang kamiharus aktif menentramkan penghuni,” kata Vincent, Pemasar PT Mandara Permai, pengembang PIK yang merupakan konsorsium Liem Sioe Liong, Sudwikatmono, dan Ciputra.

Menurut Vincent, saat ini banyak konsumen yang ngeri IMB (Izin Mendirikan Bangunan)-nya tidak bisa keluar. Ini bisa dipahami. Sebab, tak sedikit penghuni PIK yang sudah membayar lunas kavling. ”Kalau beli tanpa bisa memiliki atau memakai, lalu bagaimana?” tuturnya ikut gusar. Akibat kekhawatiran itu, beberapa calon konsumen yang semula menyatakan tertarik, menunda pembelian. Bahkan, ada yang sudah menyetor uang muka akhirnya membatalkan dengan menarik uang muka yang telah disetor.

Kekhawatiran initernyata bukan hanya menyerang para pemilik kavling, melainkan juga pemilik rumah. Menurut Vincent, bagaimana mungkin mereka yang sudah membangun rumah bisa tentram kalau IMB kavling lain di sekelilingnya tidak bisa turun. “Mereka waswas juga kalau hidup terpencil dikelilingi ilalang.”

Vincent sendiri mengimbau agar calon konsumen tak perlu resah. Paling tidak, katanya, sampai saat kekhawatiran itu belum terbukti. Nyatanya, “IMB yang sudah didaftarkan tetap bisa keluar,”. Saat ini memang terlihat ada pembangunan beberapa rumah di kavling Sektor Utara Timur PIK (dengan patokan Jalan TolIr Sedyatmo).

Memang, Vincent mengakui, saat ini proyek reklamasi di Sektor Utara Barat seluas 4 hektare sudah diberhentikan. Tapi, pihak pengembang sekarang masih membahas permasalahannya dengan Pemda DKI. Kalau PIK terbukti bersalah, PT Mandara Permai akan bertanggung jawab. Bahkan, untuk membuat jalan tol pun, kalau itu menjadi penyelesaian final, tidak ada alasan untuk tidak dilakukan. ”Yang penting persoalannya tidak berlarut-larut. Kasihan para penghuni PIK,” katanya.

Nasib konsumen ini bukannya tidak mendapat perhartian dari Menteri Sonny. Kendati begitu, ia menyatakan tak akan segan-segan untuk menurunkan timnya jika Pemda DKI tak menangani persoalan ini secara serius. Tim yang disiapkan Sonny meliputi polisi ekonomi dan lingkungan.

Namun, Sonny sendiri tampaknya cenderung memilih jalan tengah. Baginya, yang paling penting adalah mencegah terulangnya banjir. Untuk itu ia mengusulkan agar kawasan hutan bakau ditanami kembali, sistem pemompaan airnya dilaksanakan hingga banjir bisa dicegah. “Jadi, belum tentu izin PIK akan dicabut,” ujarnya. Pencabutan izin, lanjut Sonny, baru akan Sdilakukan kalau memang kerusakan yang ditimbulkannya sangat parah atau kalau PIK memang terbukti menjadi penyebab utama bencana banjir tersebut.

Harga tergantung negosiasi dengan pemda

Jika sampai PIK terbukti menjadi biang bencana banjir, jelas pengembangnya akan mengalami kerugian berlipat ganda. Keuntungan yang sudah di depan mata pun akan terbang. Asal tahu saja, harga-harga perumahan di kawasan utara Jakarta sebenarnya sedang mengalami kenaikan, termasuk juga di PIK. Contohnya di Mediterania, blok utama dengan akses tiga jalan, di pasar sekunder harganya bisa melambung menjadi Rp 2,2 juta permeter persegi November alu. Sebelumnya harga kavling disitu dipatok Rp 1.4 juta per meter per segi. Lonjakan yang cukup tinggi, memang. Apalagi kalau dibandingkan dengan harga terendah waktu kerusuhan terjadi, yakni “cuma” Rp 1.2 juta per meter persegi.

Ramainya pemberitaan mengenai PIK di media masa memang ada pengaruhnya di pasar sekunder. Menurut Evie Irawan, Managing Director broker properti Era Lovina, ada penundaan beberapa pembelian yang sebelumnya kelihatan sudah serius. Calon pembeli menunggu sampai keadi tap. Kebanyakan pembeli di PIK memang lebih suka membeli kavling dan membangunnya sendiri untuk kawasan favorit di Sektor Utara Timur. Para pembeli kavlingini tendaa C3 Tenang AAREag medah serius. Calon pemben menunggu sampai kead: 2 tap. BanaNNAA memang lebih Suka membeli kavling dan membAngunnyasendiri untuk kawasan favorit di Sektor Utara  Timur. Para pembeli kavlingini tentu saja khawatir dengan persoalan  pengembang yang sedang bermasalah dengar/ pemda. Bila pertikaian ini tak mehemui kata sepakat, bisabisa IMB/tidak akan terbit.  

Evie sebenarnya tidak terlalu khawatir tak bisa menjual produknya di PIK saat ini. Walau beberapa minggu ini cukup banyak berita tentang PIK, ternyata tetap saja ada orang yang masih mau membeli di PIK. “Kemarin saja masih banyak yang maubeli, kok.” Para pemilik lahan juga kelihatan menunggu tidak terburu-buru mau melepaskan tanah atau rumahnya yang akan membuat harga bisa jatuh. ”Kebanyakan dari mereka berpikir kalau dijual sekarang dan uangnya disimpan di bank, bunganya terlalu kecil,” tambah Evie yang timnya biasa menjual dua unit per bulan dari PIK beberapabulan ini.

Sementara itu, harga kavling di pasar primer juga sudah mulai bergerak sejak PIK mulai lepas dari trauma kerusuhan Mei 1998. Awal tahun lalu harga tanah di Sektor Selatan, yang mendekati batas perkampungan, berharga Rp 700.000- Rp 900.000 per meter per segi. Adapun di Sektor Utara Rp 800.000-Rp 1,3 juta per meter per segi dengan diskon 304 untuk pembayaran kontan. Mulai Agustus tahun lalu harganya, belum termasuk PPN, sudah menjadi Rp 900.000 – Rp 1,1 juta semester persegi di Sektor Selatan dan Rp 1,1 juta – Rp 1,3 juta permeter persegi di sektor Utaram tanpa ada diskon.

Nah, sekarang Anda tinggal pilih mau membeli pada saat orang lain sedang ragu memilih atau melupakan saja kawasan yang mungkin akan kembali lagi menjadi hutan bakau.

02/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Asmara Nababan: “Wiranto Tak Bisa Membenarkan Kejahatan Ini” (KONTAN No. 19, Tahun IV, 7 Februari 2000)

by Nuwiya Amal 02/10/2020
written by Nuwiya Amal

Posisi Jenderal Wiranto sebagai Menko Polkam benar-benar di ujung tanduk. Senin sore lalu, Komnas HAM, berdasarkan investigasi Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM di Timor Timur, menyerahkan rekomendasiknya kepada kejaksaan Agung. Nah, yang paling mendapat perhatian publik tentu saja soal disebutnya nama Wiranto sebagai pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban karena gagal mengamankan pelaksanaan pengumuman dua opsi dari pemerintah. Seperti mendapat momen yang pas, Presiden Gus Dur kabarnya bakal mencopot Wiranto kembalinya dari lawatan ke luar negeri, 13 Februari ini.

Apakah Wiranto beserta 32 Aana pejabat militer, sipil, dan tokoh milisiitu bakal dijadikan tersangka dan dibawa ke pengadilan, inilah ujian berat bagi pemerintah. Bagaimanapun, reformasi memerlukan penegakan hukum dan HAM yang konsisten. Tapi, kasus ini juga sarat muatan politisnya. Ketika para jenderal diperiksa, banyak aksi dukungan yang bermunculan, sedangkan para petinggi TNI merasainstitusi TNI lah yang kena sasaran tembak. Secara langsung atau tidak, pro-kontra penyelidikan para jenderal ini menambah panasnya gejolak yang meruyak di berbagai daerah. Apa yang melatarbelakangi rekomendasi yang dikeluarkan KPP HAM? Selasa siang itu, wartawan KONTAN Nugroho Dewanto dan Markus Sumartomdjon mewawancarai Sekjen KPP HAM Asmara Nababan. “Sekarang bola ada pada Kejaksaan Agung,” Komnas HAM yang rambut putihnya acak-acakan.

KONTAN: Pekerjaan KPP HAM sudah selesai. Tapi, ada pandangan minor tentang hasil penyelidikan komisiini. Saksi-saksi yang didengar keterangannya, termasuk saksi korban, itu apakah didengar keterangannya langsung?

ASMARA:Ya, saksi korban, bahkan saksi pelaku. Kemudian saksi biasa yang melihat, sehingga kita melakukan ceksilang. Contohnya kasus Syafrie (Mayjen Syafrie Syamsuddin). Kedua saksi yang melihat Syafrie tetap kita konfirmasi meskipun Syafrie membantah. Tapi mereka kukuh pada penglihatan mereka bahwa mereka. Syafrie waktu pembakaran rumah Uskup. Syafrie ada di atas mobil Cherokeehijau. Pada hari yang sama, Syafrie mempunyai alibi pada hari yang sama rapat di Mabes dan ada saksi-saksinya. Sesudah Syafrie membantah,kita ke sana lagi untuk menanyakan apakah kesaksiannya benar atau tidak. Apakah kesaksiannya diubah atau tidak. Mereka tidak mau, karenasi saksi ini kenal baik dan tidak mungkin salah. Tapi dia hanyadilihat di atas mobil beberapasaat, lalu mobil itu jalan. Itu tidak menunjukkan bahwa dia terlihat. Makanya dalam rekomendasi kami, Syafrie tidak ikut.

KONTAN: Sementara itu, yang namanya disebut atau dicantumkan, itu punya keyakinan?

ASMARA:Iya, punya keyakinan. Jadi, semacam testimoni atau bukti- bukti yang mereka sudah kita cek

KONTAN: Kendati mereka membantah?

ASMARA: Membantah boleh saja. Tentu ada even yang tidak pantas seperti Damiri (Mayjen Adam Damiri), tidak ingat istilahnya.. Lupa. Jadi, pertemuan beberapa pimpinan milisi di rumahnya di Denpasar, tanggal sekian dan bulan sekiari, ketika tanya ke Damiri mereka lupa. Jadi, tidak bantah dan tidak mengiyakan.

KONTAN:Apakah pengumpulan bahannya cukup berimbang? Kan ada beberapa nama lain dari yang bukan hanya dari pihak prointegrasi yang melakukan pelanggaran HAM, misalnya dari pihak prokemerdekaan ataupun Interfet?

ASMARA: Namasih memang tidak ada, tapi kita melakukan penyelidikan terhadap tuduhan, umpamanya, yang paling kontroversial adalah pembakaran orang di pelabuhan. Ada dua versi. Versi pertama yang membakar Interfet.

Yang kedua, masyarakat yang membakar orangitu, yang diduga milisi, Interfet membiarkan. Penyelidikan kita tidak menunjukkan bukti-bukti adanya peristiwa itu. Cosgrove (Komandan Interfet) yang memberikan keterangan kepada KPP HAM mengatakan bahwa itu tidak pernah terjadi. Jadi, foto dan lain sebagainya itu efek montase, menurutpenyelidikan labolatorium mereka. Memang, kita tegaskan dari awal, dalam melihat pelanggaran jangan mempedulikan siapa pelakunya. Siapa pun pelakunya tidak ada urusan. Periksa dulu pelanggarannya,baru tahap keduanya siapa.

KONTAN: Bagaimana dengan pertimbangan politis, sebab kasus ini kan sarat muatan politik?

ASMARA: Aspekpolitisnya kita sepakati diabaikan lebih dulu. Kalau mau membuat sungguh-sungguh, mengisi proses perubahan yang ada sekarang ini dengan preseden- preseden yang dapat membangun supremasi hukum, jangan mengharapkan lembagalain, tapi dari lembagakita. Mari kita isi.

KONTAN:Sebetulnya, KPP HAM sendiri bekerja untuk bangsa sendiri atau untuk bangsa lain? Katakanlah ditunggangi kepentingan politik?

ASMARA: Kita bisa pahami kecaman-kecaman semacam itu kalau masih menganggap masalah hak asasi itu sebagai masalah lokal atau nasional, dan belum dipahami sebagaimasalah universal sehingga muncul dikotomi seperti itu. Pada peristiwa atau isu hak asasi manusia, ia universal. Artinya, kita tidak dapat mencegah munculnya kerisauan dan kepedulian dari masyarakat internasional. Kita berusaha mengungkap. kebenaran. dari. pe langgaran hak asasi manusia, itu tidak kita rancang atau tidak kita maksudkan untuk tujuan politis. Memang mudah disalahtafsirkan, karena ada penyederhanaan logika, seperti satu tambah satu menjadi dua. Padahal, sebenarnya pengungkapan itu berimpit dengan kepedulian atau kepentingan internasional. Bukan berarti ada kepentingan internasional, tapi ini berimpitan. Tidak bisa tidak, karena human rights itu masalah internasional.

KONTAN: Meski KPP HAM sudah jalan, yang mestinya bisa menunjukkan kepada internasional bahwa kita sebetulnya mampu mengurusi masalah HAM sendiri, kok-penyelidikan internasional tetap akan jalan?

ASMARA:Itu sah. Karena human rights itu universal. Concern kita tidak membatasi hanya di wilayah Indonesia saja. Kalau ada pelanggaran HAM di Kosovo, kita juga menunjukkan concern kita. Ketika kita mengungkap itu, kita tidak men-set up supaya pihak internasional tidak jalan. Tidak.

KONTAN:Penyebutan namajenderal dalam rekomendasi itu kan dianggap melanggar hak asasi Juga. Kata beberapa petinggi, ini public trial atau trial by society. Bagaimana tanggapannya?

ASMARA:Yang pertama harus dijernihkan dulu. KPP HAM tidak pernah mengumumkan nama-nama itu sampaidi Jaksa Agung. KPP HAM menyerahkan ke Komnas HAM, rapatdi sana, diterima. Bahkan beberapa ditambahi yang lebih keras dari sisi redaksinya. Lalu Komnas menyerahkan ke Jaksa Agung. Selesai penyerahan, dia umumkan kepada publik, karena publik mempunyai hak apa hasil kerja ini. Karena pekerjaan ini dibayar pakai uang publik. Publik tidak bisa menuntuthasil kerja Buyung cs. (tim advokasi perwira TNI), karena mereka bekerja bukan dibayar publik. Bukan dibayar oleh Departemen Keuangan melalui Setneg. Uang siapa itu? Kalau kita kan uang rakyat. Rakyat berhak. Tapi sampai dulu lah ke Jaksa Agung, baru kita umumkan. Sekarang ada yangbilang, trial by society atau public trial, menurut sayaitu terlalu berlebihan. Kalau dilihat, liputan media terhadap kegiatan Buyung dan kawan-kawan itu sangat seimbang. Saya pikir dulunya KPP HAM tidak pernah masuk Dunia Dalam Berita, Pukul 9. Mereka malah tiap malam. Bagaimanaini? Itu hanya tugas dari media untuk memberitakannya secara seimbang. Kalau mereka persepsikan sebagai trial, yang salah mereka Kesalahan terjadi apabila KPP HAM atau Komnas HAM mengatakan bahwa Jenderal Wiranto bersalah atau tersangka dalam pelanggaran HAM. Kalau itu memang melampaui.

KONTAN:Kata-katanya adalah”diduga terlibat”

ASMARA: Didugaterlibat. Nanti Jaksa Agung yang menyidiknya. Kalau tidak ada bukti-bukti yang lebih jauh, memang dibebaskan dari sangkaan.

KONTAN: Apa yang menyebabkan Wiranto disebutkan dalam rekomendasi?

ASMARA:Karena kesimpulannya. Seperti rantai komandonya. Dari keterangan-keterangannya dari dokumen-dokumen yang dia berikan kepiida kita, dari tayangan video kepadakita,itu tidak terbukti bahwa dia mengambil tindakan yang cukup efektif mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan yang dia tahu sebelumnya akan terjadi. Jadi, dia patut mendugga bahwa akan terjadi seperti itu. Tapi dia tidak melakukannya. Ambillah contoh terjadi pembakaran dan sebagainya. Dia malah membeberkan bahwa itu adalah reaksi spontan, karena kecewa kepada Unamet yang tidak jujur. Lho, reaksi spontan itu hanya bisa dibenarkan dalam koridor hukum jika Anda protes, Anda kirim surat, Anda mogok. Tapi, kalau reaksi spontan itu membakar, membunuh,itu kejahatan. Andatidak boleh membenarkan. Sebagai panglima, Anda tidak bisa membenarkan itu. Dan, kalau ada masyarakat Timtim yang kecewa, selama dalam koridor hukum, oke saja. Tapi, kalau mereka main bakar, bunuh-membunuh, dan lain-lain, tidak bisa tidak dia harus menindaknya.

KONTAN:Tapi, Wiranto sudah menerima Timtim dalam keadaan yang sulit. Proses ini sudah puluhan tahun dan kebetulan dia memegang komando di saat klimaksnya persoalan.

ASMARA:Kita menyadari bahwa peristiwa Januari sampai Oktober (kurun waktu penyelidikan KPP HAM itu sesuai mandatnya antara 27 Januari saat diimumkannya opsi sampai Sidang Umum MPR yang mengesahkan hasil jajak pendapat) tidak terlepas dari peristiwa sebelumnya. Makanyasalah satu butir rekomendasi KPP HAM itu jelas, meminta adanya penyelidikan dari tahun 1975. Yang dilakukan KPP HAM ini kan salah satu fragmen dari keseluruhan yang dimulai tahun 1975 kemari. Makanya KPP HAM memberikan rekomendasi ke Komnas HAM. Sebelumnya, susah membidik jendral karena kebijakan mereka itu adalah kebijakan pemerintah.

KONTAN: Bagaimana pembenaran semacam ini?

ASMARA: Tidak ada negara yang membuat kebijakan yang membenarkan pembunuhan pembunuhan, pembakaran, dan lainnya. Tugas asasi dari negara adalah melindungi semua yang ada di dalam kekuasaannya,terlepas dari keyakinan politik, agama, gender, tas, suku, dan lain sebagainya.Itu kewajiban negara. Itu standar onivekea Kalau negara tidak melakukan, itu adalah sekelompok orang-orang perampok atau perompak pemerintah. Kalau mereka berdalih hanya mengimplementasikan kebijakan pemerintah untuk kepentingan negara, harus ada akuntabilitas dari presiden pada waktu itu.Akuntabilitas apa? Akuntabilitasnya hukum atau politik. Kalau akuntabilitas politik, forumnya adalah di DPR/MPR.Tapi, kalau legal atau yuridisnya, jelas pengadilan. Tapi itu harus dibuktikan. Dalam proses penyidikan Kejaksaan Agung atau proses pengadilan, kita akan tiba akan satu tingkat, apakah Habibie yang waktu itu presiden secara legal juga diminta pertanggungjawaban.

KONTAN:Tapi di rekomendasi KPP HAM tidak ada?

ASMARA:Memang tidak ada.

KONTAN: Menurut pembelaan para jenderal, itu merupakan limbah pekerjaan dari kebijakan presiden sebelumnya yang memberikan opsi referendum. Bagaimana ini?

ASMARA: Ketika itu menjadi kejahatan atas kemanusiaan, itu menjadf tanggung jawab individual dan tidak lagi institusional. Bagi Wiranto,itu tidak dapat mengurangi pertanggungjawabannya, karena dia bisa memilih mundur kalau tidak setuju. Iya, dong. Opsiini ia duga akan menimbulkan kerugian bagi bangsa dan negara. Ya, mundur sebagai panglima, ikut-ikut pekerjaan gila Senen itu.” Semestinya begitu. Tapi dia tidak mundur. Kalau dia tidak mundur, berarti dia menyetujui.

KONTAN:Takut tidak berkuasa?

ASMARA:Ha,ha, ha…. Salah sendiri. Nah, sekarang tangan mementang bahu memikul, dong. Kita juga minta kepada mereka, bagaimana kalau kepada Habibie? Kalau mereka mengatakan, sebenarnya kita sudah merencanakan begini-begini, tapi Habibie mencegahnya, kami akan memanggil Habibie. Tapi itu tidak ada dari mereka.

KONTAN: KPP HAM tak menemun kaitannya dengan Habibie?

ASMARA: Iya, tidak dengan Habibie. Yang ada dengan panglima. Tapi kalau sampai ke Habibie, kita akan memanggil Habibie. Tapi kita tdak bisa memanggil Habibie untuk mempersoalkan kenapa dia memberikan opsi itu. Enggak bisa, itu politik. Soal keputusan politik itu ada di DPR/MPR. Memang batasnya tipis. Kita harus waspada. Memangada desakan sangat kuat untuk meanggil Habibie. Tapi jangan itu lebih banyak pertimbangan politiknya daripada hukumnya. Anggota ada yang mengatakan harus sampai Habibie. Boleh saja itu sebagai semangat. Kita rapat, kita berdebat, sampai tidak ke Habibie. Kita ulangi lagi kesepakatan. Pertimbangan politik dikesampingkan. Kita lihat saja faktanya, ada tidak testimoninya Orang-orang ini, jenderal-jenderal yang bisa menuntun ke Habibie. Tiddak ada. Ya sudah, kita drop gagasan beberapa anggota untuk kita ambil.

KONTAN: Waktu KPP HAM ini berapat di Jakarta, banyak delesi yang menanyakan kenapa yang disodorkan dari pihak sana semua, sedangkan mereka yang menyodorkan kok tidak diperiksa. Kenapa?

ASMARA: Pertama, mereka yang datang atas nama Forum Pembela Merah Putih. Mereka datang dan kita sudah selesai tahap tiga dari pekerjaan pemeriksaan kami yang memasuki tahap empat, (text hilang). Namun, mereka datang ke sini dengan menyerahkan banyak bukti yang ada laporan dan dokumen-dokumen. Itu kita pakai, dalam pengertian mengecek laproan yang di berikan Mabes TNI kepada kami.

Kedua, tidak ada keperluan yang mendesak untuk melakukan interview, apa yang mereka katakan sudah kita ketahui. Bahkan, sekarang seat penting, bukan Komnas Kejaksaan dan polisi yang sebenarnya sudah dapat menyidik mereka yang melakukan pembunuhan atau pembakaran. Tidak lagi KPP HAM Apa yang mereka sampaikan bukan hal yang baru. Terutama kejahatan yang dilakukan Fretilin sebelum 27 Januari. Padahal itu tidak untuk penyidikan. Memang, ada hal-hal baru,tapi tidak relevan kesini. Bahkan mereka minta diselidiki ke tahun 1957. Itu kan masih Portugal, bukan Indonesia. Kita tidak punya otoritas, secara legal, politis, sosiologis juga tidak punya. Kita coba jelaskan, mereka ngototsaja harus dari tahun 1959 diperiksa. Itu akan sulit juga kalau kita memeriksa pelanggaran HAM zaman kolonial Belanda di Indonesia.

KONTAN:Apa aspek moralitas dari temuan KPP HAM?

ASMARA:Pertama, dengan memakai bahasa umum, reformasi atau transformasi itu kan cangklung yang harus diisi. Salah satu yang kita isi dalam kerangka penguat adalah supremasi hukum. Kalau hukum itu di atas, siapa pun harus tunduk. Itu sisi moral penyidikan ini. Dan, bukan hanyadia itu bintang empat atau telah berjasa pada masa lampaulalu dia di atas hukum.

Yang kedua, secara lebih konkret, kita harus mulai berani memecah public impunity (kebal hukum) karena sejarah hak asasi kita secara terus-menerus menggambarkan dengan jelas impunity di Indonesia. Orang yang kebal hukum, orang yang terlibat pelanggaran HAM, naik pangkat, jadi menteri, jadi orang kaya. Selama itu masih terjadi, usaha penegakan HAM akan kandas. Ini harus dibreak. Dan itu dimulai dengan dipanggil di sini. Sampai pejabat publik mau tidak dipanggil disini. Mereka sangat sulit menerimanya. Berapa kali tim Yost Mengko (Asisten Intel Kasum TNI) bertemu dengan kita. ”Apa yang kalian minta akan kami usahakan.” Ya, tidak bisa. Saya sudah bertemu berkalikali. Oke, deh, tapi jangan di Komnas, ditempat lain.” Memangnya kenapa di Komnas? Ya, orang kan melihat berbintang empat harus datang ke Komnas HAM, bagaimana keesitu. Itu karena culture of im – (teks hilang)

KONTAN:Tapi, kini tampaknya Gus Dur ingin memecat Wiranto sekembalinya dari luar negeri. Ini bagaimana?

ASMARA:Itu urusannyadia. Itu pertimbangan poltik atau apa. Tapi Gus Dur sudah membuat komitmen bahwadia akan menegakkan hukum. Ke mana-mana dia berkhotbah di luar negeri bahwa pemerintah dia akan menegakkan hukum. Sekarang ujian bagi dia, apakah khotbahnyaitu akan dia ikuti atau cuma khotbah kosong. Dia mau tidak mau, walaupun mungkin suka atau tidak suka kepada Wiranto, itu tidak relevan lagi.

KONTAN:Apa betul KPP HAM berani “menembak” jenderal karena isinya adalah orang-orang yang anti militer?

ASMARA:Saya tidak tahu. Saya tidak bisa berbicara atas teman-teman yang lain. Tapi sebagaidiri sayasendiri, itu jelas dari mahasiswa sampai sekarang saya anti militerisme. Itu tidak bisa tidak. Tapi kalau antimiliter, ya enggak benar juga. Rasional saja, kenapa ada negara? Karena ada militer. Tapi militer yang bagaimana. Kembali kita bicarakan tadi. Kalau ada teman-teman mungkin anggota yang anti militer, kembali ke tahap keputusan adalah rapat KPP HAM. Samaseperti kasus Syafrie. Kalau saya antimiliter, masukkan saja nama Syafrie. Dia juga kita duga terlibat dalam kerusuhan Mei. Saya dulu sebagai anggota TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998) berkeyakinan dia terlibat. Nah, bias-bias itu berusaha dihilangkan melalui rapat.

02/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Konflik Harus diselesaikan Bersama (Majalah Wawasan, 4 November 2002)

by Nuwiya Amal 01/10/2020
written by Nuwiya Amal
PERSPEKTIF WIMAR:
KAI ini, Perspektif Baru akan bicara tentang "resolusi konflik” dan bagaimana mengatasinya, karena konflik di negara kita akhir-akhir ini bukan hanya meningkatdari sudut pandang kuantitas, tapi juga dalam sudut pandang kualitas. Juga, kelihatannya semakin sulituntukdiselesaikan. Konflik sepertiyang kitaketahui bersama, samasekali tidak mem-bantu untuk ke luar dari krisis yang berkepanjangan ini, bahkan cenderung menciptakan krisis baru yang lebih parah.Kita bisa sebutkonflikfisik seperti yang terjadi diAceh, Poso ataupun Maluku yang belum sempurnaproses penyelesaiannya. Sementara, kita juga harus berhadapan dengan berbagai macam konflik, seperti konflik politikantarelit, konflik persepsi, serta konflik kita dengan dunia international misalnya mengenaipersoalan terorisme. Untuk membahas tentang persoalan ini dan bagaimanakita sebagai masyarakat dan sebagaipiiblik bisa mengambil bagian dalam proses penyelesaian konflik ini, Perspektif Baru menghadlirkan Asmara Nababan,Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tentang bagaimanaturut ambil bagian dalam upaya penye-lesaian konflik tersebut, dengan dipandu Ruddy Gobel.
Asmara Nababan

Pandongin Anda tentang konflik di tanah air yang cenderung meningkat kuantitas maupun kualitasnya, bagaimana?

Kita harus menyadari bahwa satu masyarakatitu tidak pernah bebas dari kon-flik. Konflik itu kalau dikelola dengan baik, justru malah memberikan peluang-peluang kemajuan bagi masyarakatitu sendiri. Jadi, Mkitu tetap ada. Yang menjadi keprihatinan adalah, konflik yang keluar dari ineka-nisme-mekanisme penyaluran dan menggunakan kekerasan atau melakukan penyelesaian-penyelesaian yang melanggar hukum. Konflik semacam inilah yang sebenarnya memberikan dampak buruk bagi satu masyarakat, apakah itu menyangkutsolidar-itas masyarakat ataupun menghambat kemajuan dari masyarakatitu sendiri. Ini yang harus dicermati, dan dicari jalan kelu-arnya atau resolusi atas konflik yang menggunakan kekerasan. Juga konflik yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum, apakah itu hukum kebiasaan maupun hukum positif di masyarakat maupundi satu bangsa.

Kalau melihat ciri-ciri kenflik yang ada di Indonesia, bisakah Anda memberikan elaborasi bagaimana karakteristiknya dan kemudian seperti apa yang bisa dikatakan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegaya?

Pertama, secara klasik konflik dibagi dua, yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik vertikal ketika terjadi konflik antara penguasa dan masyarakat, sedangkan kon-flik. horizontal antara kolompok masyarakat dengan kelompok masyarakat. Pemisahan ini sebenarnya hanyateoritis, dalam prak-tiknyaitu saling terkait. Tidak pernah ada yang murni, konflik horizontal atau murni konflik vertikal. Nah, yang patut kita lihat di dalam konflik horizontal, bagaimanapun juga tanggung jawab dari negaraitu tetap tidak hilang. Bila terjadi konflik horizontal, maka sebenarnya yang bertanggung jawab pertama-tama adalah negara, dalam hal ini peme-rintah, Itu hal pertama yangtidak boleh dilu-pakan. Kedua, kalau dilihat konflik yang ada di Indonesia berdasarkan satu pengamatan yang dalam, satu analisis yang dalam akan sampai kepada dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan. Apakah itu di Papua, Aceh, Poso, Maluku, Ambon, dan tempat-tempat lainnya. Pada bottom line-nya atau dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan. Ketidakadilan sosial, ekonomi, moral dan ketidakadilan po-litik. Nah, berbagai ketidakadilan itu dima-nifestasikan dalam konflik. Jadi, kalau ada pemikiran mengenai “esolusi konflik” makapenyelesaian konflik yang fisik itu kalau tidak diikuti dengan penyelesaian masalah-masalah ketidakadilan, makasifat penyele-saian persoalan kekerasan itu sifatnya sementara.

Karena sebagian besar adalah masyarakat umum yang cukup sulit membicarakan perbedaan konflik dari sudut pandang teoritis, mungkin secara praktis, konflik yang terjadi misalnya konflik politik antar elit politik, kemudian perbedaan pendapat sedemikian tajam sampai kemudian mengganggu atau merusakcitra negeri ini. Atau, katakanlan kemudian ada konflik-konflik lain misalnya pelanggaran hukum tapitidak kemudian memberikan dampak langsung terhadap terjadinya kekerasan lain. Apakah ini termasuk konflik yang perlu kita hindari?

Kalau kita lihat konflik antarelit politik, sebenarnya konflik semacam itu bisa memberikan kebaikan kepada masyarakat. Dimana masyarakatkita itu dipaksa harus cerdas untuk mengetahui dan memilah mana yang gabah, mana yangberas. Jadi, konflik antara pemimpin itu sepanjang tidak menggunakan kekerasan, sepanjang tidak melanggar hukum itu bagi saya sesuatu yang wajar yang dapat mencerdaskan masyarakat. Yang harus kita tolak, adalah konflik yang diikuti dengan kekerasan atau konflik yang mem-by pass peraturan-peraturan dan bukan hanya peraturan hukum legal positif tetapi juga kepantasan, atauran-aturan moral, pedoman moral. Masyarakat harus tolak konflik-konflik semacam itu.

Bila kita bicara tentangperan pemerintah, tentu sangat krusial dalam proses penyelesaian konflik. Bagaimana Anda memberikan evaluasi tentang peran yang dilakukan pemerintah dalam upaya untuk pengentasan persoalan yang terjadi misalnya di Aceh, Poso dan lain-lain lewat upaya-upaya yang sudah dilakukan misalnya dengan Malino dan lain lain? Apakah itu sudah cukup sebagaisyarat formal untuk penyelesaian sebuah konflik?

Pertama, kalau kita melihat upaya-upaya yang ada sudah cukup  signifikan. Hanya kita lihat pada Konflik Poso, Maluku dan Ambon dimana ada Malino I dan MalinoII. Itu satu langkah yang kita sambut baik. Namun seperti yang saya katakan sebelumnya, Malino I dan MalinoII ini sebenarnya hanya langkah pertama yang harusnyadiikuti denganlangkah-langkah selanjutnya. Malino I dan Malino II memberikan kondisi kepada masyarakat untuk kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berkonflik itu, untuk membuka diri kepada kemungkinan perdamaian. Memang belum terjadi perdamaian. Dan, kemungkinan itu menjadi terbuka. Nah, di sana sebenarnya saya melihat upamanya kelemahanatau kesungguh-sungguhan dari pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. Langkah langkah berikut itu harus sampai kepada menyentuh dasar dari konflik. Alasan utama dari konflik itu, yaitu masalah-masalah keadilan. Itu makanya, kalau membayangkan penyelesaian Poso dan Ambon,saya bayangkan dalam satu dua tahun terjadi percakapan, negosiasi, perundingan antara kelompok tersebut setidak-tidaknya bagi saya enam sampai delapan kali. Jadi, ada Malino I, MalinoII, Malino III sampai Malino VIII untuk Poso, begitu juga untuk Ambon. Karena tidak mungkin kita harapkan dalam satu negosiasi, dalam satu perundingan yang hanya berjalan dua hari semuapersoalan itu bisa diselesaikan. Hanya sayangnya, waktu itu seakan-akan perjanjian Malino I untuk Poso dan Malino II untuk Ambon dipersepsikan sebagai lampu aladin, yang kalau digosok semua persoalan selesai. Padahal, dia hanya pembukapeluang kepada penyelesaian damai, belum penyelesesaian damai. Untuk penyelesaian damai, diperlukan negosiasinegosiasi yang terus-menerus. Nah, siapa yang berkewajiban, siapa yang berkewenangan untuk mengambil langkah-langkah tersebut? Pemerintah.Itu jelas, konstitusi kita memerintahkan tugas, meletakkan tugas dan tanggung jawab di tangan negara terutama pemerintah.

Kita masih bicara soal Malino yang merupakan prasyarat, atau merupakan satu awal dari proses perdamaian. Langkah langkah yang Anda maksudkan, selain langkah-langkah dialog dan langkah-langkah perundingan. Apakah ada langkah-langkah lain yang lebih konkret yang bisa dilakukan pemerintah?

Kalau kita lihat dari lampiran dari Malino I dan Malino II, itu memuat daftar kegiatan dan time table. Jadi, umpamanya kapan mulai dilakukan, berapa lama dan seterusnya, banyak orang yang tidak tahu bahwa ternyata lampiran dari perjanjian tersebut tidak terlaksana. Ada penundaan-penundaan, dan celakanya penundaan-penundaan itu tidak pernah dikomunikasikan kepada kedua belah pihak berikut alasan-alasannya.Itu, menyebabkan kepercayaan yang mulai timbul di kedua belah pihak merosot lagi. Ini serius tidak sih pemerintahnya? Tadinyakan sudah mulai percaya. Nah, itu umpama kelemahannya. Kalau itu kita tanya mengapa, saya tidak tahu apa komitmen yang mestinya sangat kuat dari pemerintah untuk mengambil langkah-langkah lanjutan itu. Oke, bisa saja time table atau jangka waktu dan waktu disusunnya kurangrealistis. Dikomunikasikanlah kepada keduabelah pihak, ini Iho terpaksa kita tunda, karena begini-begini. Karena tidak ada penjelasan semacam itu, keduabelah pihak bisa mengambil kesimpulan masing-masing yang sifatnya spekulatif, dan itu mengurangi serta memerosotkan lagi kepercayaan yang sudah mulai terbangun baik antarkelompok maupun kelompok dengan pemerintah.

Jadi, kalau bisa kita katakan ini sebetulnya persoalan komunikasi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok yang terlibat atau yang bertikai? Nah bagaimana dengan upaya penyelesaian kalau bisa kita katakan itu sebagai upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk daerah lain, misalnya kon Nik yang terjadi di Aceh dan kemudian di Papua. Bagaimana penilaian Anda?

Kalau kita bicara dalam konteks Aceh maupun Papua, maka sebenarnya sampai sekarang belum jelas. Sikap pemerintahdalam menyelesaikan konflik itu, masih mendua. Di satu pihak mengatakan akan menempuh jalan perundingan perdamaian,tapi di pihak lain juga menonjolkan penyelesaian yang militeristik baik itu di Papua atau di Aceh. Bagi saya, pendekatan semacam ini tidak akan pernah dapat menyelesaikan konflik. Kalau saya melihat sifat dan besarnya konflik sertaakibatnya terutama bagi korban di Papua dan di Aceh, maka pilihan satu-satunya menurut saya adalah melalui negosiasidan jalan perdamaian perundingan dan lain sebagainya. Hanya dengan demikian, kita dapat menyelesaikan masalah Papua maupun masalah Aceh dengan tidak mengorbankan jiwa rakyat yang pada umumnya tidak berdosa tidak tahu soal apapun tapi mereka menjadi korban, baik jiwanya, nyawanya juga harta bendanya. Singkatkata, bagi Aceh dan Papua menurutsaya penyelesaian konfliknya harus ditempuh melaluijalan damai, perundingan negosiasi.

Apakah kita sebagai masyarakat, bisa ikut terlibat dalam upaya untuk menyelesaikan persoalan konflik itu?

Sebenarnya, masyarakat dapat mengambil peranan atau tanggung jawab dalam penyelesaian konflik itu dengan cara yang sangat sederhana. Pertama, mengungkapkan secara terbuka bahwa masyarakat menolak penyelesaian konflik kekerasan, tapi mendorong perdamaian.Ini harus diekspresikan sebagai bukti dari solidaritas kita kepada korban dari konflik, apa pun motivasi alasan konflik itu. Jadi, ini harus kita ekspresikan. Sayang, kita belum begitu terbiasa dengan pengungkapan solidaritas yang peaceful, yang damai. Umpamanya, kebiasaan mengirim surat kepada pemerintah bahwasaya ibu rumah tangga, namasi“ini” menyatakan keperihatinan terhadap konflik umumnya di Poso. Mendesak pemerintah menyelesaikannya secara adil dan damai. Coba bisa dibayangkan kalau adasurat seperti ini tiap hari, tiba di mejanya presiden 50 saja tiap hari. Dalam satu tahun, akan ada ribuan surat. Itu, saya pikir akan mendorong serta mengubah persepsi pemerintah terhadap masyarakat. Jadi, ekspresi itu harus dibiasakan dalam masyarakat, jangan diam. Diam itu bisa ditafsirkan menyetujui. Jadi, dia harus mengekspresikan menolak. “Kami menolak konflik kekerasan, kamipro perdamaian”. Penyelesaian konflik secara damai itu yang pertama. Yang kedua, yang bisa dilakukan masyarakat, adalah melengkapi dirinya untuk tidak ikut dalam konflik. Hemat saya, dua hal tersebutbisa dilakukan semua orang dalam upaya menyelesaikan konflik.

Apakah dua perilaku yang Anda sebutkan tadi sudah ada di kalangan masyarakat kita? Kalau pun kelihatannya masih kurang, bagaimana cara untuk menyosialisasikannya?

Memang masih kurang,tetapijelas sudah ada di berbagai kota secara spontan vestasi dari penolakan terhadap kelompok kekerasan.Umpamanya dalam kasus Ambon, kita tahu ada Baku Bae satu inisiatif dari kelompok masyarakatlepas dari apa pun agamanya yang menolak kekerasan dan mendorong penyelesaian damai. Peranan pendidikan, peranan mediaitu sangat strategis untuk menggalangsolidaritas dan memberanikan masyarakat mengekspresikan dirinya. Saya pikir, itu perubahannya cukup signifikan kalau dibandingkan dengan lima tahun yang lalu. Kalau kita bisa dengar talkshow di radio, di televisi, respon dari khalayak masyarakat sudah makin positif.

Menarik pembahasan Anda, karena sembat tersebut peran media. Dalam situasi pers yang bebas seperti ini, kita tentu merasakan betapa media memainkan peran yang sangai penting, terutama dalam hal-hal yang bersinggungan dengan opini masyarakat. Kalau melihat kondisi pemberitaan media massa selamaini, ada kesan atau barangkali mung kin hanya kesan saya, media itu lebih senang memberitakan hal-hal yangsifatnya kontroversial misalnya begitu ada bom, bom yang dijadikan headline’ bukan tentang bagaimana masyarakat menyikapi ini. Bagaimana penilaian Anda?

Saya membayangkanlima sampai 1C tahun ke depan, media massa kita masih dalam suasana pencarian bentuk keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Selama 30 tahun, tanggung jawab lebih dikemukakan dan kebebasan dihambat. Tiba-tiba pada 1998 kita terbuka. Ada switch, sekarang kebebasan sangat utama dan tanggung jawab sangat sedikit, butuh waktu untuk menyeimbangkan itu. Tetapi saya akan menolak, kalau ada upaya sekarang untuk mengekang media massa. Proses. itu akan berjalan sendiri, dan masyarakatjuga akan semakin cerdas untuk . menerimaberita dari media, tidak mudah lagi berubah karena pemberitaan headline dan lain sebagainya. Itu juga butuh proses waktu. Tetapi tentu masyarakat mengharapkan dan itu wajarsaja, bahwa mediaitu juga disamping suka kepada persoalan-persoalan yang kontroversial perlu juga memberikan perspektif untuk penyelesaian persoalan. Saya pikir, dialog kita saat ini merupakan bagian dari tanggung jawab media untuk masalah masalah yang sangat mendesakdi tengah-tengah masyarakat, yaitu konflik.

Tentu tidak sah, kalau kita bicara tentang penyelesaian konflik tapikita tidak berbicara tentang hukum dan keadilan. Kemudian kalau hukum, kita juga tentu harus berbicara tentang siapa yang berperan dalam proses penegakan hukum tentu mulai dari DPR yang menciptakan undang-undang (UU), kemudian ada aparat-aparat lain ikut serta dalam proses penegakan hukum seperti polisi dan kejaksaan. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, apakah kita sudah cukup siap dari sudut pandanginfrastruktur UU-nya maupun dalam sudut pandang aparatnya?

Ini yang menjadi persoalan, mengapa konflik itu berlarutlarut. Karena, memang sistem penegakan hukum dan keadilan kita itu belum dapat memenuhituntutan dari masyarakat dalam bidang hukum dan keadilan. Kita tahu, bahwa sistem penegakan hukum dan keadilan kitaapakah itu UU-nya, aparatnya, dan seterusnya itu kan selama 30 tahun didisain untuk melayani kepentingan penguasa. Untuk itu, kita membutuhkan satu reformasi hukum, reformasi bukan hanya reformasi perundangundangan, peraturan perundang-undangan tapi juga mereform orang-orang kepolisian, kejaksaan, pengadilan lembaga kemasyarakatan dan seterusnya. Tapi, ini membutuhkan satu generasi, 25 tahun paling tidakbaru satu reformasibisa paripurna. Oleh karena itu, sebenarnya peranan hukum dan keadilan pada masa transisi semacam ini harus dilengkapi dengan apa yang dikenal dengan instrumen-instrumen transitional justice. Jadi, instrumen-instrumen penegakan hukum dan keadilan yang diperlakukan dalam masa transisi.

01/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Konflik Harus diselesaikan Bersama (Majalah Wawasan, 3 November 2002)

by Nuwiya Amal 01/10/2020
written by Nuwiya Amal

Kali ini kita akan bicara tentang Resolusi konflik dan bagaimana mengatasinya karena konflik di negara kita rercinta ini akhir-akhir ini bukan hanya meningkat tapi dalam sudut pandang kualitas. Juga kelihatannya semakin sulit untuk diselesaikan. Konflik tentu seperti yang kita ketahui bersama sama sekalitidak membantu kita untuk keluar darikrisis yang berkepanjanganini bahkan cenderung. menciptakan krisis baru yang lebih parah. Kita bisa sebut konflik fisik seperti yang terjadi di Aceh, Poso ataupun Maluku yang belum sempurnaproses penyelesaiannya. Sementara kita juga harus berhadapan dengan berbagai macam konflik seperti konflik politik antar para elit, kemudian konflik persepsi, serta konflik kita dengan dunia international, misalnya mengenai persoalan terorisme. Untuk membahastentang persoalanini dan bagaimana kita sebagai masyarakat dan sebagai publik bisa mengambil bagian dalam proses penyelesaian konflik ini, kami kedatangan Bapak Asmara Nababan. Beliau adalah Sekejen nomisi Nasionai Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada kesempatanini kita akan tanyakan pada beliau bagaimana kita bisa ikut ambil bagian dalam upaya penyelesaian konflik ini. Saya Ruddy Gobel, pemandu Perspektif Baru kali ini.

Asmara Nababan

Pandangan Anda tentang konflik di tanah dir yang cenderung meningkat kuantitas maupun kualitasnya. Bagaimana pendapat Anda?

Jadi pertama kita harus menyadari bahwa satu masyarakat itu tidak pernah bebas dari konflik. Konflik itu kalau dikelola secara baik, justru malah memberikan peluang-peluang kemajuan bagi masyarakatitu sendiri. Jadi konflik itu tetap ada. Yang menjadi keprihatinan kita adalah konflik yang keluar dari mekanisme-mekanisme penyaluran dan menggunakan kekerasanatau melakukan penyelesaian-penyelesaian yang melanggar hukum. Konflik semacam inilah yang sebenarnya memberikan dampak buruk bagi satu masyarakat, apakah itu menyangkut solidaritas masyarakat ataupun menghambat kemajuan dari masyarakatitu sendiri. Ini yang haruskita cermati dan kita cari jalan keluarnya atau resolusi atas konflik yang menggunakan kekerasan, juga konflik yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum,apakah itu hukum kebiasaan maupun hukum positif di masyarakat maupun di satu bangsa. Ini yang harus menjadi keprihatinan kita.

Kalau melihat ciri-ciri konflik yang ada di Indonesia, mungkin Anda dapat memberikan elaborasi bagaimana karakteristiknya dan kemudian seperti apa yang bisa dikatakan membahayakan kehidupankita sebagai kehidupan berbangsa dan bernegara?

Jadi secara klasik konflik dibagi dua yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik ver-tikal ketikaterjadi konflik antara penguasa dan masyarakat, sedangkan konflik horizontal itu antara kolompok masyarakat dengan kelompok masyarakat. Pemisahan ini sebenarnya hanya teoritis, dalam prakteknyaitu saling terkait. Tidak pernah ada yang murnikonflik horizon-tal atau murnikonflik vertikal. Nah yang patut kita lihat di dalam konflik horizontal adalah bagaimanapunjuga tanggung jawabdari negara itu tetap tidak hilang. Bila terjadi konflik hori-zontal maka sebenarnya yang bertanggung jawab pertama-tama adalah negara, dalam hal ini Pemerintah.Itu hal pertama yangtidak boleh dilupakan. Yang kedua,kalau kita lihat konflik yang ada di Indonesia berdasarkan satu pengamatan yang dalam, satu analisis yang dalam akan sampai kepada dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan. Apakah itu di Papua, Aceh, Poso, Maluku, Ambon, dan tempat-tempat lainnya. Pada bottom line-nya atau dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan, ketidakadilan sosial, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan moral, ketidakadilan politik. Nah, ketidakadilan-ketidakadilan ini dimanifestasikan dalam konflik. Jadi kalau ada pemikiran kita mengenai resolusi konflik maka penyele-saian konflik yangfisik itu kalau tidak diikuti dengan penyelesaian masalah-masalah ketidakadilan, maka sifat penyelesaian resolusi konflik yang menyelesaikan persoalan kekerasanitu sifatnya sementara.

Karena sebagian besarpendengar Perspektif Baru kita tentu adalah masyarakat umum yang agak sulit membicarakan perbedaan konflik dari sudut pandang teoritis. Mungkin kalau kita berbicara praktis, konflik yang terjadi misalnya konflik politik antar paraelit politik kemudian perbedaan pendapat sedemikian tajam sampai kemudian mengganggu atau merusak citra Indonesia. Atau katakanlah kemudian ada konflik-konflik lain seperti misalnya pelanggaran hukum tapitidak kemudian memberikan dampak langsung terhadap terjadinya kekerasan lain. Apakah ini termasuk konflik yang perlu kita hindari?

Kalau kita lihat konflik antara elit politik, sebenarnya konflik semacam itu bisa memberikan kebaikan kepada masyarakat. Dimana masyarakat kita itu dipaksa harus cerdas untuk mengetahui dan memilah mana yang gabah, mana yang beras. Jadi konflik antara pemimpin itu sepanjang tidak menggunakan kekerasan, sepanjang tidak melanggar hukum itu bagi saya sesuatu yang wajar yang dapat mencerdaskan masyarakat. Yang harus kita tolak adalah konflik yang diikuti dengan ke-kerasan atau konflik yang mem-bypass peraturan-peraturan dan bukan hanya peraturan hukum legal positif tetapi juga kepantasan, atauran-aturan moral, pedoman moral. Masyarakat harus tolak konflik-konflik semacam itu.

Bila kita bicara tentang peran Pemerintah tentu sangat krusial dalam proses penyelesaian konflik. Bagaimana Anda memberikan evaluasi tentang peran yang dilakukan Pemerintah dalam upaya untukpementasan persoalan yang terjadi misalnya di Aceh, Poso dan lain-lain lewat upaya-upaya yang sudahdilakukan misalnya dengan Malino dan lain-lain. Apakah itu sudah cukup sebagai syarat formal untuk penyelesaian sebuah konflik?

Pertama kalau kita melihat upaya-upaya yang ada yang dirasa cukup signifikankan. Hanya kita lihat pada konflik Poso dan Maluku, Ambon dimana ada Malino I dan Malino II. Itu satu langkah yang kita sambut baik. Namun seperti yang saya katakan sebelumnya, Malino I dan MalinoII ini sebenarnya hanya langkah pertama yang harusnya diikuti dengan langkah-langkah selanjutnya. Malino I dan Malino II memberikan kondisi kepada masyarakat untuk kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berkonflik itu untuk membukadiri kepada kemungkinan perdamaian. Memang belum terjadi perdamaian. Tapi kemungkinan itu menjadi terbuka. Nah disana sebenarnyasaya melihat upamanya kelemahan atau kesungguh-sungguhan dari Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. Langkah-langkah berikutitu harus sampai kepada menyentuh dasar dari konflik. Alasan utama dari konflik itu yaitu masalah-masalah keadilan. Itu makanya kalau saya membayangkan penyelesaian Poso dan Ambon, saya bayangkan dalam satu dua tahun terjadi percakapan, negosiasi, perundingan antara kelompok tersebut setidak-tidaknya bagi saya enam sampai delapan kali. Jadi ada Malino I, Malino II, Malino III sampai Mali-no VIII untuk Poso, begitu juga untuk Ambon. Karena tidak mungkin kita harapkan dalam satu negosiasi, dalam satu perundingan yang hanya berjalan dua hari semua persoalan itu bisa diselesaikan. Hanya sayangnya waktu itu seakan-akan perjanjian Malino I untuk Poso dan Malino II untuk Ambon dipersepsikan sebagai lampu aladin, yang kalau digosok semua persoalan selesai. Padahal dia hanya pembuka peluang kepadapenyelesaian damai, belum penyelesesaian damai. Untuk penyelesaian damai itu diperlukan negosiasi-negosiasi yang terus menerus. Nah siapa yang berkewajiban, siapa yang berkewenangan untuk mengambil langkah-langkah tersebut? Pemerintah. Itu jelas, konstitusi kita memerintahkan tugas, meletakkan tugas dan tanggung jawab di tangan negara terutama Pemerintah.

Kita masih bicara soal Malino yang merupakan pra-syarat atau merupakan satu awal dariproses perdamaian. Nah langkah-langkah yang dimaksudkan Anda, selain langkah-langkah dialog dan langkah-langkah perundingan. Apakah ada langkah-langkah lain yang lebih konkrit yang bisa dilakukan Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan di Ambon dan Poso?

Kalau kita lihat dari lampiran dari Malino I dan MalinoII, itu memuat daftar kegiatan dan time table. Jadi umpamanya kapan mulai dilakukan, berapa lama dan seterusnya, banyak orang yangtidak tahu bahwa ternyata lampiran dari perjanjian tersebut tidak terlaksana. Ada penundaan-penundaan dan celakanya penundaan-penundaan itu tidak pernah dikomunikasikan kepada keduabelah pihak berikut alasan-alasannya. Itu menyebabkan keper-cayaan yang mulai timbul di keduabelah pihak itu merosot lagi. Ini serius tidak sih pemerintahnya? Tadinyakan sudah mulai percaya. Nah itu umpama kelemahannya. Kalau itu kita tanya kenapa, saya tidak tahu apa komitmen yang mestinya sangat kuat dari Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah lanjutan itu. Oke bisa saja time table atau jangka waktu dan waktu disusunnya kurang realistis. Dikomunikasikanlah kepada kedua belah pihak. Ini Iho terpaksa kita tunda, karena begini-begini. Karena tidak ada penjelasan semacam itu, kedua belah pihak bisa mengam-bil kesimpulan masing-masing yangsifatnya spekulatif dan itu mengurangi serta memerpsotkan lagi kepercayaan yang sudah mulaiter- . bangun baik antar kelompok maupun kelompok dengan Pemerintah

Jadi kalau bisa kita katakan ini sebetul-nya persoalan komunikasi antara Pemerin-tah dengan kelompok-kelompokyangterli-bat atau yang bertikai. Nah bagaimana de-ngan upaya penyelesaian kalau bisa kita katakan itu sebagai upaya yang sudah di-lakukan oleh Pemerintah untuk daerah lain, misalnya konflik yang terjadi di Aceh dan kemudian di Papua. Penilaian Anda sepert iapa?

Kalau kita bicara dalam konteks Aceh maupun Papua, maka sebenarnya sampai sekarang belum jelas ya. Sikap Pemerintah dalani menyelesaikan konflik itu masih mendua. Di satu pihak mengatakan akan menempuh jalan perundingan perdamaian tapidi pihak lain juga menonjolkan penyelesaian yang militeristik, baik itu di Papua atau di Aceh.. Bagi saya pendekatan semacam ini tidak akan pernah dapat menyelesaikan konflik. Kalau saya melihat sifat dan besarnya konflik serta akibatnya terutamabagi korban di Papua dan di Aceh, maka pilihan satu-satunya menurutsaya adalah melalui negosiasi dan jalan-jalan perdamaian perundingan dan lain sebagainya. Hanya dengan demikian kita dapat menyelesaikan masalah Papua maupun masalah Aceh dengan tidak mengorbankanjiwa rakyat yang pada umumnya tidak berdosa, tidak tahu soal apapun tapi mereka menjadi korban, baik jiwanya, nyawanya juga harta bendanya. Jadi singkat kata bagi Aceh dan Papua menurut saya penyelesaian konfliknya harus ditempuh melalui jalan damai, perundingan negosiasi.

Apakah kita sebagai masyarakat bisa ikut terlibat dalam upaya untuk menyelesaikan persoalan konflik ini? 

Pertama-tama sebenarnya masyarakat dapat mengambilperananatau tanggung jawab dalam penyelesaian konflik itu dengan cara yang sangat sederhana. Pertama mengungkapkan secara terbuka bahwa masyarakat menolak penyelesaian konflik kekerasan tapi mendorong perdamaian. Ini harus diekspresikan sebagai bukti dari solidaritas kita kepada korban dari konflik-konflik, apapun motivasi alasan konflik itu. Jadi ini harus kita ekspresikan. Sayang kita belum begitu terbiasa dengan pengungkapan solidaritas yang peaceful, yang damai. Upamanya kebiasaan mengirim surat kepada Pemerintah bahwa saya ibu rumah tangga, namasi “ini’ menyatakan keperihatinan terhadap konflik di Poso. Mendesak Pemerintah menyelesaikannya secara adil dan damai. Coba Anda bisa bayangkan kalau adasurat seperti ini tiap hari, tiba di mejanya presiden saja tiap hari. Dalam satu tahun akan adaribuan surat. Itu saya pikir akan mendorongserta merubah persepsi dari pemerintah terhadap masyarakat. Jadi ekspresi itu harus dibiasakan dalam masyarakat, jangan diam. Diam itu bisa ditafsirkan menyetujui. Jadi dia harus mengekspresikan menolak. “Kami menolak konflik kekerasan, kami pro perdamaian”. Penyelesaian konflik secara damaiitu yang pertama. Yang kedua barangkali yang bisa dilakukan masyarakat adalah melengkapi dirinya untuk tidak ikut dalam konflik. Saya pikir dua hal yang bisa dilakukan semua orang dalam upaya menyelesaikan konflik.

Apakah dua perilaku yang Anda sebutkan tadi sudah ada di kalangan masyarakat kita dan kalau pun kelihatannya masih kurang, bagaimana cara untuk mensosialisasikan ke mereka? 

Ya memang masih kurang tetapi jelas sudah ada di berbagai kota secara spontan muncul, umpamanya bentuk-bentuk manivestasi dari penolakan terhadap kelompok kekerasan. Umpamanya dalam kasus Ambon, kita tahu ada Baku Baesatuinisiatif dari. kelompok masyarakatlepas dari apapun agamanya yang menolak kekerasan dan mendorongpenyele-saian damai. Peranan pendidikan, peranan media itu sangatstrategis untuk menggalang solidaritas dan memberanikan masyarakat mengekspresikan dirinya. Sayapikiritu perubahannya cukup signifikan kalau dibandingkan dengan.lima tahun yang lalu. Kalau kita bisa dengar talkshow di radio, di televisi, respon dari khalayak masyarakat sudah makin positif.

Menarik pembahasan Anda tadi karena sempat tersebut peran media. Dalam situasi persyang bebas seperti ini kita tentu merasakan betapa media memainkan peran yang sangat penting, terutama dalam hal-hal yang bersinggungan dengan opini masyarakat. Kalau melihat kondisi pemberitaan media masa selama ini ada kesan atau barangkali mungkin hanya kesan saya, media itu lebih senangmemberitakan hal-hal yang sifatnya kontroversial misalnya begitu ada bom, bom yang dijadikan headline bukan tentang bagaimana masyarakat menyikapi ini. Bagaimana penilaian Anda?

Saya membayangkanlima sampai sepuluh tahunke depan, media kita masihdalam suasana pencarian bentuk keseimbanganantara kebebasan dan tanggung jawab. Selama 30 tahun tanggung jawab lebih dikemukakan dan kebebasan dihambat. Tiba-tiba pada 1998 kita terbuka. Ada switch, sekarang kebebasan sangat utama dan tanggung jawabsangatsedikit, butuh waktu untuk menyeimbangkanitu. Tetapi saya akan menolak kalau ada upaya sekarang untuk mengekang media. Prosesitu akan berjalan sendiri dan masyarakatjuga akan semakin cerdas untuk menerimaberita dari media, tidak mudah lagi berubah karena pemberitaan head-line dan lainsebagainya.Itu butuh juga proses waktu. Tetapi tentu masyarakat mengharap-kan dan itu wajar saja, bahwa mediaitu juga di samping suka .kepada persoalan-persoalan yang kontroversial perlu juga memberikan perspektif untuk penyelesaian persoalan. Saya pikir dialog kita saat ini, merupakan bagian dari tanggung jawab media untuk mencerdas-kan khalayaknya dalam masalah-masalahyang sangat mendesak ditengah-tengah masyarakat yaitu konflik.

Tentu tidak sah kalau kita bicara tentang penyelesaian konflik tapi kita tidak berbicara tentang hukum dan keadilan. Nah kemudian kalau hukum kita juga tentu harus berbicara tentang siapa yang berperan dalam proses penegakan hukum tentu mulai dari DPR yang menciptakan UU, kemudian ada aparat-aparat lain ikut serta dalam proses penegakan hukumseperti polisi dan kejak-Saan. Kalau dilihat dari sudut pandang ini apakah kita sudah cukup siap dari sudut pandang infrastruktur UU-nya maupun dalam sudut pandang aparatnya?

Ini yang menjadipersoalan kenapakonflik itu berlarut-larut karena memangsistem penegakan hukum dan keadilan kitaitu belum dapat memenuhi tuntutan dari masyarakat dalam bidang hukum dan keadilan. Kita tahu bahwasistem penegakan hukum dan keadilan kita apakah itu UU-nya, aparatnya, dan seterusnyaitu kan selama 30 tahun didisain untuk melayani kepentingan penguasa. Untuk itu kitamembutuhkan satu reformasi ho-kum, reformasi bukan hanyareformasi perundang-undangan, peraturan perundang-undangan tapi juga me-reform’orang-orang kepolisian, kejaksa-an,pengadilan lembaga kemasyarakatan dan seterusnya. Tetapi ini kan membutuhkan satu ge-nerasi, 25 tahun paling tidak baru satu reformasi bisaparipurna. Oleh karenaitu sebenarnya peran-an hukum dan keadilan padamasatransisi semacam ini itu harus dilengkapi dengan apa yang dikenal dengan instrumen-instrumentransisional justice. Jadi instrumen-instrumen penegakan hukum dan keadilan yang diperlakukan dalam masa transisi.

01/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Demokrasi & Tata Negara

Mengenang Bang Asmara: Perekat dan Penyemangat Generasi Muda Demokrasi (Majalah Demos)

by Nuwiya Amal 01/10/2020
written by Nuwiya Amal

Awalnya  saya  mengenal  Bang  Asmara  dari media massa yang menyiarkan kiprahnya sebagai Sekretaris Jendral (Sekjen) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sosok Bang As (begitu biasanya Beliau disapa) yang sangat vokal dalam menyuarakan pelanggaran HAM di Indonesia, terekam kuat dalam memori khususnya pada kasus Mei 1998, penculikan paksa, dan kasus pelang-garan HAM beratdi Timor Timur tahun 1999.

Perkenalan saya secara personal dan langsung dengan Bang As terjadi pada 2001, saat saya menjadi staf di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Saat itu YLBHI dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), bersama-sama dengan Indonesianis asal Swedia Olle Tornguist, sedang menggagas berdirinya sebuah organisasi penelitian yang memfokus-kan pada gerakan demokratisasi di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai DEMOS. Dalam perjalanan pembentukannya, organisasi yang melahirkan DEMOS bertambah dua, yaitu Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) Yogyakarta dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Pilihan para pendiri DEMOSsaatitu persis seragam, yakni mendaulat Bang AS, yang saat itu baru saja menyelesaikan masa tugasnya sebagai Sekjen Komnas HAM menjadi Direktur Eksekutif DEMOS. Dengan antusiasme yang besar Bang As menerima tawaran kami, dan sejak tahun 2002-2009 Beliau berkiprah di DEMOSsebagaiDirektur Eksekutif.

Pada awal berdirinya DEMOS, para pendiri seperti Josep Adi Prasetyo (Stanley-red), Lalang E. Wardoyo, Munir, Pak Ton (TH. Sumartana), dan Pak Nasikun bahu membahu dengan pengurus lainnya seperti Bang As, Shirley Doornik, AE. Priyono dan Antonio Pradjasto. Dengan dukungan Olle Tornguist, UIO Norwegia dan bantuan dana dari Pemerintah Norwegia melalui Kementerian Luar Negeri-nya, DEMOS sukses menyeleng-garakan survey dan penelitian demokrasi di Indonesia mulai tahun 2002. Sayang sekali saya tidak mengikuti secara langsung kiprah DEMOS di masa-masa awal pendiriannya karena tugas belajar di Chicago.

Pertengahan 2003 saya kembali ke tanahair dan bergabung lagi dalam perjuangan bersama Bang As dan kawan-kawan. Dari sinilah saya lebih mengenal Bang As sebagai tokoh yang penuh semangat dan mampu menjadi perekat generasi muda. Ini terjadi ketika 2 kubu gerakan masyarakat sipil yang concern pada persoalan HAM “ngotot” mempertahankan prinsip masing-masing merespon Rancangan Undangan-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang sedang dibahas DPR dan akan segera disahkan di pertengahan 2004. Pada waktuitu terjadi polarisasi antara kubu Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang dikomandani Ifdhal Kasim dengan kubu KontraS yang dikomandani Munir. Ifdhal mendukung pembahasandan pengesahan RUU KKR, sedangkan Munir menentang karena menurut Munir, dengan KKR tidak akan memberikan keadilan bagi para korban dan hanya akan menguntungkan para pelaku. Munir berpendapat para pelanggar HAM harus diproses berdasarkan hukum di pengadilan HAM, bukan di depan sebuah Komisi yang tidak mempunyai kewenangan menjatuhkan hukuman. Menghadapi keributan dua kubu yang sama-sama menjadi kawan seperjuangannya, Bang As turun tangan mempertemukan dan mendamaikan dua kubu tersebutdi kantor DEMOS. Pada kesempatan tersebut, Bang As bercerita bahwa ide KKR pertamakali dia gu-lirkan ketika terjadi peralihan pemerintahan dari Soeharto ke Habibie. Menurutnya, momenitu adalah momen yang sangat tepat bagi Bangsa Indonesia untuk melakukan rekonsiliasi. Bang As-lah yang memberikan ide ini kepada Habibie dan langsung disetujui Habibie. Sayangnya upayaini terhenti karena Habibie hanya menjabat sebagai presiden selama 1 tahun. Tetapi setelah Gus Dur, yang juga kawan seperjuangan Bang As, menjabat sebagai Presiden RI menggantikan Habibie, menyetujui ide pembentukan KKR di Indonesia. KKR pada saat itu kemudian dimasukkan menjadi salah satu RUU dalam program legislasi nasional 2000-2004. Akan tetapi meskipun Soeharto sudah jatuh, kekuasaan militer masih belum sepenuhnya surut dalam politik, sehingga pembahasan RUU KKR di DPR diwarnai tarik-ulur kepentingan militer. Apalagi ketika Megawati berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan Gus Dur, untuk mengambil hati militer, maka Megawati mendisain RUU KKR sedemikian rupa sehingga di dalam RUU KKR terdapat pasal yang memberikan amnesty bagi para pelanggar HAM berat. Setelah pertemuan di kantor DEMOS tersebut, setidaknya pertentangan antara kubu Elsam dan kubu KontraS menyangkut RUU KKR tidak lagi seruncing sebelumnya.

Bang As yang gaya kenal merupakan pribadi yang setia kawan. Setelah Munir mendadak meninggal dunia karena dibunuh di dalam pesawat Garuda yang menerbangkannya dari Jakarta ke Belanda pada tanggal 7 September 2004, Bang As selalu bersama kami dalam rapat-rapat pertemuan menuntut Pemerintah untuk segera mengungkap siapa dalang pembunuh Munir. Bang As hadir sebagai peng-hibur dan penyemangat bagi Suciwati, istri Alm. Munir, dan kawan-kawan Munir yang terkadang merasa patah semangat menghadapi kokohnya kekuasaan. Hanya sedikit dari generasi senior selevel Bang As yang masih mau menghabiskan waktunya untuk mendam-pingi kami. Bahkan Bang As juga bersediaditunjuk sebagai wakil dalam Tim Pencari Fakta Kasus Munir yang dibentukoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan adanya Bang As bersama kami, bahkan di setiap kesempatan sidang pengadilan dan aksi-aksi demo, kami merasakan dukungan nyata dari generasi senior yang memberikan semangat juang kepada kami. Kalau Bang As saja tidak patah semangat, kenapa kami harus patah semangat? Kami harus tetap bersemangat seperti Bang As!

Bang As juga berpikiran maju dengan mendorong kami yang aktif di gerakan masyarakatsipil, untuk tidak tabu berkiprah dalam partai politik. Bang As juga yang menggagas ide pendirian blok-blok politik, yang berisi generasi muda dari masyarakat sipil yang dianggap bersih dari kekotoran partai-partai politik, yang dapat menjadi alternatif pilihan calon dalam pemilu. Salah satu dukungan Bang As antara lain masuknya Sarah Lerry Mboeik, aktivis HAM penerima Yap Thiam Hien Award dan Direktur Pengem-bangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) Kupang – salah satu organisasi yang didukung Bang As, menjadi anggota DPD RI periode 2009-2014. Bagi Bang As, terjun ke partai politik bukanlah hal yang tabu, asal yang bersangkutan mampu melawan godaan menjalankan politik kotor. Masuknya masyarakatsipil yang bersih ke dalam partai politik lambat laun akan menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi yang sebenar-benarnya, bukan hanya demokrasi prosedural seperti saat ini.

Karena lingkungan aktivis HAM yang ber-dekatan (di Jakarta-red), maka di setiap pertemuan HAM, sayaselalu bertemu Bang As, setidaknya dalam pertemuan DEMOS, Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM), dan Human Rights Working Group (HRWG), dimana kami duduk sebagai boardnya. Di dalam setiap pertemuan, saya selalu memperhatikan bahwa Bang As adalah orang yangdisiplin dan tepat waktu. Terkadang dia sudah duduk manis menanti kedatangan anak-anak muda yang terlambat. Bang As juga orang yang selalu mendukung dan senang melihat anak muda maju dan berani bersuara. Dia selalu mendesak agar “yang muda-muda inilah yang harus bersuara!”. Bang As selalu berpe-nampilan sangat sederhana, dengan kemeja anak mudabau kencur sekalipun. Mendengar pendapat yang Muda dan kemudian mengajukan usulan atau tawaran alternatif. Dalam posisi seperti itu Bang As menjadi mentor bagi yang muda. Posisi seperti itu sangat membantu bagi anak-anak muda yang baru terjun menjadi aktivis. Memerlukan arahan dan dukungan yang kuat, agar tidak hanyut dalam pragmatisme gerakan, atau terjebak sekedar hura-hura heroisme. Dalam setiap diskusi, Bang As setia menjaga substansi persoalan agar tetap berada pada relnya yang benar. Rel tersebut tentu saja demokrasi dan hak asasi manusia. Sikap seperti ini saya kira juga bagian dari implementasi konsistensinya Bang As terhadap Demokrasi dan HAM.

Akhir Juni – awal Juli 2010 merupakan kesempatan saya terakhir bertemu dengan Bang As. Pertemuan itu terjadi dalam kegiatan evaluasi perkembangan Blok Politik Demokratik (BPD) yang digagas sejumlah KelompokKerja Jaringan Demokrasi (KKJD) di berbagai daerah. Bang As nampak sangat bersemangat. Dalam pertemuan itu, Bang As seperti membuka simpul-simpul yang selama ini terikat kuat, yang menyebabkan BPD jalan ditempat dan kehilangan urgensinya ditengah demokrasi yang semakin bangkrut. BPD adalah alternatif, BPD adalah intermediary, penghubung antara organisasi massa memiliki basis, dengan Non Government Organization (NGO) yang memiliki data dan organisasi politik yang memiliki kekuatan di parlemen. Ketiga kekuataan tersebut harus dihubungkan satu dengan lainnya sehingga rakyat memiliki saluran dalam politik, terutama kontrol terhadap anggaran, melalui kebijakan anggaranlah kesejahteraan diperjuangkan, dan jangan lupa pada anggaran yang berkeadilan, berbasis hak asasi manusia, demikian Bang As selalu menengahi simpang siurnya persepsi terhadap BPD. Terkadang dia berdiri, bahkan sambil menggambar skema gerakan, dia terus menekankan tentang pentingnya BPD sebelum demokrasi semakin dibajak oleh kelompok aktor dominan. Sebelum demokrasi mengecil menjadi politisasi agama atau praktik politik uang yang haus kekuasaan.

Desember 2010, BPD bermaksud kembali melakukan evaluasi, setelah enam bulan pergumulannya diberbagai wilayah di Indonesia, dengan segala dinamika yang tidak selalu mulus. Tapi Bang As sudah mendahului. BPD seperti amanahnya terakhir kepada anak-anak muda yang juga mungkin tidak terlalu yakin bahwa demokrasi bisa berjalan ideal. Sekalipun tidak terlalu yakin, disadari harus ada upaya untuk terus mengawal dan menjaga demokrasi, wahana untuk mengawal demokrasi tersebut adalah BPD itu sendiri. Ini alternatif, karena partai tidak berfungsi dengan baik. Partai hanya kendaraan, perahu tumpangan untuk kursi kekuasaan, partai tidak menjalankan perannya melakukan pendidikan politik, memperjuangkan kesejahteraan, ataupun menjadi penyambung suara rakyat. Bagaimanapun busuknya partai-partai tersebut, demokrasi harus tetap dijaga, karena kita tetap yakin bahwajalan menuju kesejahteraan tersebut selayaknya melalui mekanisme demokrasi, demikian diskusi terakhir seputar eksistensi BPD saat BangAs masih ada.

Kalau jadi Desember nanti bertemu kembali, tentu semangat, kegundahan dan segala harapan terhadap lahirnya kekuatan alternatif yang disebut BPD tadi akan berbaur dengan duka cita mengenang perginya Bang As. Mudah-mudahan duka cita itu akan memberi kekuatan dan semangat baru, untuk meneruskan amanah terakhir Bang As agar lahir BPD-BPD yang dapat menjalankan fungsinya sebagai alternatif kekuatan demokrasi di tingkat lokal.

Demokrasi dan hak asasi manusia memang jalan panjang Bang As!, karena itu beristirahatlah dengan tenang, kami akan meneruskan apa yang sudah engkau rintis. Semoga kami diberi kekuatan dan ketetapan pendirian. Amin!

-Noorhalis Majid

KelompokKerja jaringan Demokrasi (KKJD)

Kalimantan Selatan

01/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Demokrasi & Tata Negara

Sosok Beyond The Call of Duty (Majalah Demos)

by Nuwiya Amal 01/10/2020
written by Nuwiya Amal
Dok. Demos

Bang As bukan saja sosok yang kharismatik dan sederhana namun juga pribadi yang penuh karakter dan kepeloporan. Bila kepeloporan dan karakternya selama ini banyak diulas dari ‘perspektif Jakarta’, saya akan coba melihatnya dari perspektif lokal. Menilik latar belakang status pendidikan dan keluarganya yang terhormat, sejatinya tidak ada alasan bagi Bang As, berkecimpung di dunia gerakan pem-berdayaan masyarakat yang cenderung dianggap ‘miring’, berbahaya, dan penuh resiko. Modalitas cendekianya sejatinya bisa membuatnya dengan mudah menjadi ‘orang baik dan kaya.

Namun panggilan spiritualitasnya memilih jalan lain. Ketika rekan-rekannya, generasi lanjutan dari Angkatan 66, asyik dengan politik praktis dan tergoda kemilau kekuasaan Orde Baru, Bang As justru memilih pekerjaan yang tidak populer yakni, tekun dalam gerakan mahasiswa dan gerakan pemberdayaan masyarakat yang terpinggirkan. Pilihan BangAs tentu bukan sensasi tak berdasar. Saat itu kekuasaan Ode Baru di bawah Suharto semakin membesar, represif dan otoriter. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kekuatan kritis penyeimbang di tengah masyarakat. Apalagi ketika itu prophetic voice Gereja sedang membisu. Di tengah kebisuan dan ketakutan banyak kalangan, Bang As menjadi salah satu tokoh yang mempelopori gerakan pemberdayaan masyarakat di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara (Sumut).

Tahun 80-an Bang As gerah terhadap stigma elit yang menilai Tapanuli, kampung halamannya, sebagai salah satu daerah yang masuk ke dalam peta kemiskinan. Ia memutuskan ‘mudikke Tapanuli, tepatnya ke Siborongborong. Bersama sejumlah Pendeta dan akademisi lokal ia menginisiasi berdirinya Kelompok Studi Pengembangan Pemrakarsa Masyarakat (KSPPM) di Parapat, Sumut. KSPPM, kemudian dikenal sebagai gerakan kritis front line pertama di Sumut, dan mungkin juga di Indonesia. KSPPM, tak bisa dipungkiri, kemudian menjadi rujukan dan inspirasi gerakan-gerakan Organisasi  Non Pemerintah (Ornop) advokasi lainnya di Sumut. Aneka Ornop yang tumbuh di Sumut, tentu tak bisa menegasikan peran, penga ruh, dan inspirasi seorang Asmara Nababan, secara langsung atau tidak langsung, dalam eksistensi mereka. Tak berlebihan menyebut bila di KSPPM lah jejak pertamahistoritas, kredibilitas dan kompetensi Bang As dituai hingga kemudian menjadi tokoh yang cukup dikenal di kemudian hari.

Pejuang yang Teguh, Lurus, dan Konsisten

Dalam sepakterjangnya di dunia penegakan Demokrasi dan HAM nama Asmara juga cukup diakui dan dihormati banyak kalangan. Ia dikenal sebagai  pribadi yang teguh,  lurus, konsisten, dan pantang menyerah dalam memperjuangkan prinsip-prinsip penegakan HAM. la menjadi satu-satunya aktivis yang diangkat Presiden Soeharto menjadi anggota Komnas HAM pertama kali melalui Kepres No 50/1993. Ketika itu semua anggota Komnas HAM diisi oleh mantan militer, polisi, dan birokrat. Asmara menjadi satu-satunya anggota yang berasal dari kalangan aktivis. Hemat penulis, Komnas HAM menjadi milestone kredibilitas dan integritasnya. Satu torehan yang mungkin akan dicatat sejarah adalah keberaniannya sebagai anggota Komnas HAMdi tahun 1999 membuat laporan lengkap dugaan pelanggaran HAM dalam tragedi perang saudara di Timor Timur pasca referendum. Laporan itu menyebut secara gamblang keterlibatan sejumlah nama Jenderal dalam kerusuhan massal di Timor Timur. Sebuah media nasional yang mewawancarai Asmara ketika itu bertanya mengapa ia berani menghunjuk hidung para jenderal? Asmara menjawab lugas, “Saya tidak takut kepada Jenderal apapun. Saya hanya takut kepada Tuhan!”. Sayangnya, peradilan kasus pelanggaran HAM tersebut kemudiandiintervensi secara politis sehingga sejumlah Jenderal lolos dari jeratan hukum. Namun patut digarisbawahi, laporan yang dibuat Asmara  dan Timnya  kemudian menjadi tradisi dan trade mark institusi Komnas HAM di kemudian hari. Tak pelak lagi bila menyebut Asmara sebagai peletak dasar institusi Komnas HAM.

Makin Tua Makin Menjadi

Sikap pantang menyerah, tidak cepat puas, konsistensi, dan keteguhannya terlihat ketika ia memasuki ‘masa-masa pensiun’ sebagai aktivis. Bukannya semakin kendor, semangat dan produktifitasnya justru makin menjadi. Di saat banyak aktivis tua, mapan dan beristirahat serta menempatkandirinya sebagai ‘bos’, Bang As justru terus meng-geliat. la seperti seorang pengembara, aktivis musafir pencari kebaikan. Di usia tuanya ia justru bergelut dengan kerja berat dan serius dalam studi pendalaman demokrasi dan HAM.

Saat sejumlah kalangan sudah puas dengan perjalanan demokrasi Indonesia, bersama mempelopori riset kolosal untuk memeriksa perjalanan satu dasawarsa demokrasi Indonesia. Hasil riset tersebut kemudian menjadi kerja luar biasa yang berhasil memadukankerja-kerja aktivis dengan kerja akademis. Output-nya adalah serangkaian temuan masalah, tantangan, dan potret buram satu dasawarsa demokrasi Indonesia serta solusi untuk memperkuat demokrasi Indonesia ke depan.

Salah satu output riset tersebut adalah rekomendasi bagi aktivis untuk go politics. Sayangnya go politics yang dihasilkan riset tersebut kemudian dimaknai dan diter-jemahkan secara dangkal dan parsial oleh para aktivis di lapangan. Aktivis ramai-ramai memasukiinstistusi politik formal namun tak membenahibasispolitik di grass root. Asmara kemudian gerah dan marah mengkritik go politics dangkal tersebut. “Politik aktivis tidak ada bedanya dengan politik elit’, ketusnya dalam sebuah pertemuan. “Go Politics aktivis itu harus memiliki karakter. Politik mereka harus memiliki nilai lebih dibanding politik elit”, ujarnya meng-ingatkan perlunya valuedi balik go politics.

Penuh Ikhtiar dan Solider

Dengan modalitas politik dan knowledge yang dimilikinya sesungguhnya Bang As bisa dengan mudah masuk ke kekuasaan formal. Di awal reformasi, penulis pernah bertanya kepadanya tentang hal itu. Di menjawab, “kekuasaan (di era reformasiini, pen) masih akan cenderung korup. Sekarang yang dibutuhkan justru orang berkualitas untuk mengontrol kekuasaan. Kalau masuk kekuasaan, bukan hanyatidak strategis tapi juga tidak etis”. Ketika itu penulis menganggapitu sekadar jawabanjustifikasi. Namun kini, pasca satu dasawarsa reformasi jawabantersebutjustru menjadiikhtiar yang semakin relevan. Ikhtiar pemikirannya acap melampaui zamannya.

Ikhtiarnya yang khas juga terlihat ketika terjadi konflik gereja HKBP akibat intervensi Pemerintah di tahun 1992-1998. Ephorus HKBPversi jemaat ketika itu adalah Pdt. Dr. SAE Nababan, abang kandung Bang As. Saya tahu betul banyak kalangan yang mendesak Bang As lebih progresif menekan pemerintah dalam penyelesaian konflik HKBP melalui Komnas HAM. Namun Bang As justru memiliki pendapat berbeda. Bang As memilih memainkan pendekatan soft, sebagai man of behind the gun di Komnas HAM dalam menyikapi konflik HKBP. Sikap itu kemudian terbukti lebih tepat dan strategis.

Bang As juga memiliki jiwa solidaritas yang luar biasa. Penulis ingat betul saat J. Anto, penulis dan peneliti media di Medan, mengalami serangan stroke beberapa bulan lalu. Bang As justru menjadi inisiator untuk menggalang danasolidaritas bagi pengobatan J. Anto. Dalam sebuah pertemuandi Jakarta, beliau memanggil penulis. Seakan ‘tidak peduli’ dengan sakitnya, Bang As bertanya kepada penulis, ‘Bagaimana kabar si Anto. Kenapatak kalian galang danasolidaritas dari teman-teman untuknya?”. Terus terang penulis terpaku, merasa lalai dan bercampur haru ketika itu. Di saat dirinya menderita sakit, Bang As justru masih rela memikirkan orang lain. Ketika kemudian penggalangan dana untuk J. Anto dimulai, Bang As menjadi orang pertama yang mendonasi.

Ada kesaksian menarik dari J. Anto. Saat J. Anto sedang dalam perawatan di rumah, Bang As bersama beberapa rekan DEMOSternyata sedang ada acara di Medan. Hari itu menjelang siang Bang As memang meng-sms penulis menanyakan alamat rumah J. Anto. Belakangan penulis mendengarcerita J. Anto.

Sosok Beyond the call of duty

Kenangan terakhir yang tak mungkin penulis lupakan adalah kisah dalam diskusi evaluasi Blok Politik Demokratik (BPD) akhir Juni – awalJuli 2010 di Jakarta. Walau sakit, Bang As masih sempat hadir. Saat penulis adu argumen dan berdebat cukup keras dan lama dengan peserta lain tentang sebuahtopik, beliau tunjuk tangan minta bicara. Dia berkata lugas, singkat, dan tegas, “Benget itu, dalam bahasa Batak, artinya sabar, tenang, dan….rendah hati. Semoga Benget yang ini (sambil  melihat ke arah penulis)….tetap rendah   hati!”.   Tidak menyangkut substansi diskusi. Menusuk ke personal namun cukup reflektif dan inspiratif. Setelah itu diskusi kembali berjalan lancar dan fokus. Dalam berbagai diskusi yang ‘ngawur’ dan kehilangan fokus, Bang As memang acapkali hadir memberi arah dan kritik menginspirasi walau kadangkala dengan ungkapan yang menusuk hati.

Dengan perjalanan hidup, kepeloporan, keteguhan sikap, konsistensi, dan solida-ritasnya yang luar biasa penulis sampai pada kesimpulan bahwa Bang As bukan sekedar aktivis. la adalah aktivis pejuang yang beyond the call of duty. Sosok pejuang Demokrasi dan HAM yangtidaksaja anti dengan kemilau uang dan kekuasaan, tetapi juga telah melampaui tugas. Pejuang yang tidak cepat puas dan selalu pantang menyerah, bahkan sampai dengan akhir hayatnya. Sosok langka dan akan dikenang di republik ini. Selamat jalan Bang As. Satu kekuranganmu Bang….kau terlampau cepat. meninggalkan kami. Saya tidak meragukan musaat ini. Tugasmu telah paripurna. Saya justru meragukan kami, generasi yang kau juga turut membentuknya, apakah bisa dan mampu membaca, memaknai, dan mengikuti jejak peradaban yang kau mulai. Damailah berdiskusi bersama malaikat-malaikat…(bgt)

–Benget Silitonga

Sekretaris Eksekutif Perhimpunan BAKUMSU.

Pegiat Demokrasi dan HAM

01/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Demokrasi & Tata Negara

DEMOKRASI SEBAGAI JANJI (Majalah Demos)

by Nuwiya Amal 01/10/2020
written by Nuwiya Amal

In Memoriam Asmara Nababan

(Dok. Demos)

Pada akhirnya Bang As – begitu biasa kami memanggil Asmara Nababan – menyerah. Di Guangzhou, China, ia menghembuskan nafas terakhir pada hari Sumpah Pemuda setelah bergulat dengan kanker yang menggerogoti tubuhnya. la sudah “menyelesaikan pertandingan dengan baik”, memakaiistilah Paulus, dan kembali ke rumah Bapa yang sangatdicintainya.

Sulit sekali bagi saya menuliskan kenangan tentang Bang As. Dibanding banyak sahabatnya, saya termasuk orang yangtidak terlalu dekat dengannya. Selalu ada jarak di antara kami, karena saya melihat dia lebih sebagai figur panutan yang saya kagumidari jauh. Apalagi sepak terjangnya sebagai Sekjen Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Di tangannya, lembaga yang pernah dicibir karena didirikan oleh pemerintahan rezim Soeharto itu, justru berkibar dan menjadi mercu suar perjuangan hak-hak asasi manusia.

Hanya sesekali kami berjumpa di forum diskusi, atau saat menyuarakan sikap menghadapi kasus-kasus tertentu. Dan selalu saya mengambil jarak, mengagumidari jauh lontaran gagasan maupun ketajaman pikirannya, apalagi integritas pribadinya.

Terus terang, saya tidak berani terlalu mendekat,  apalagi  berdiri sejajar dengan-nya.  la  memang  sosok  idola  saya,  sama seperti  almarhum  Eka  Darmaputera,  Th. Sumartana, Gus Dur, Romo Mangun, Pramoedya maupun Soedjatmoko. Pada setiap pribadi itu, saya seakan menemukan jejak-jejak evolusi peradaban yang membingkai proses meng-Indonesia yang belum selesai. Setiap pribadi adalah tonggak penanda, sekaligus “janji” bahwa Indonesia sebagai cita-cita masih sangat layak diperjuangkan.

Asmara pantas disejajarkan dengan mereka. Pengabdiannya yang tulus bagi perjuangan HAM, dan integritas pribadinya, meninggal-kan jejak sekaligus tolok ukur sampai sejauh mana pemuliaan martabat manusia Indonesia sudah diupayakan. Ketegasan komitmen dan pengabdian tanpa pamrih yang dijalani seumur hidupnya merupakan saksi sejarah yang tak dapat dihapus.

Kami mulai dekat dan sering bertukar pikiran semenjak Bang As meminta saya ikut mengelola DEMOS. Pengalamanitu membuat saya sadar bahwa DEMOS bukanlah sekadar lembaga, tetapi menjadi kristalisasi dari seluruh keprihatinan Bang As selama ini: DEMOS merupakan pertaruhan paripurnanya!

Karena dalam lembaga inilah, dua jalinan penting yang memintal kehidupan dan perjuangannya menggumpal: Demokrasi dan HAM.

Dan keduanya, seperti berulang kali ia tegaskan, tidak boleh dipisahkan. Demokrasi tanpa penghormatan terhadap HAM akan dengan sangat mudah menjadi tirani mayoritas di mana “the winner takes all”, dan menafikan kelompok-kelompok minoritas yang rentan. Karena itu, perjuangan bagi demokrasi pada dasarnya merupakan perjuangan demi penegakkan hak asasi manusia, bukan sekadar utak-atik prosedur, mekanisme maupun jumlah suara. Dan ini, pada gilirannya, mengandaikan keterlibatan masyarakat(yakni “demos”, Ofjyoc) yang sadar akan hak-haknya dan memiliki kemampuan serta mau memperjuangkannya demi ke-maslahatan bersama.

Sayakira, itulah warisan terakhir Bang As yang paling berharga. Di tengah hiruk pikuk transisi demokrasi di mana ia terlibat penuh, figur Asmara Nababan menjulang seperti tonggak peringatan bahwa proses demokratisasi tidak akan bermakna jika tidak mampu men-Ciptakan ruang bagi penghormatan terhadap martabat manusia. Itulah titik uji demokrasi yang sesungguhnya, bukansoal hitung cepat atau perolehan suara sesaat yang kerap bersifat ilusif.

Demokrasi,   meminjam istilah Jacgues Derrida, selalu merupakan “janji” yang mengundang kita untuk terus menerus berusaha menghadirkannya, sekaligus sadar bahwa”janji” itu selalu mrucut (terlepas) dari genggaman kita. Pergulatan dan perjuangan tanpa letih Asmara memperlihatkan bagaimana “janji” itu sungguh hidup dalam sanubari kita sebagai bangsa yang selalu sedang menjadi, dan karenanya selalu menerbitkan harapan.

Selamat jalan, Bang. Selamat beristirahat. Terima kasih karena engkau sudah menunjukan wajah “janji” itu bagi kami untuk dijalani.

–Trisno Sutanto

01/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Siapa Pelaku Sebenarnya (Semanggi)

by Nuwiya Amal 01/10/2020
written by Nuwiya Amal

Komnas HAM membuka peluang pengungkapan misteri kasus Priok melalui pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP-HAM)kasus Priok Masyarakat menunggu jawaban: siapakah pelaku tragedi kemanusiaan itudan akan diapakan?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelaku tragedi Priok adalah pihak militer dan unsur-unsur sipil. Nama-nama yang sudah selalu disebut selama ini dari tubuh militer adalah mantan Pangab Benny Moerdani, antan Pangdam Jaya Try Soetrisno dan mantan Kodim Jakarta Utara Butar-Butar.

Sedangkan unsur-unsur sipil adalah para petugas dari dinas pemakaman, dinas pemadam kebakaran, serta para dokter dan juru rawat rumah sakit. Kasus Priok itu sendiri, seperti serangkaian kasus kekerasan lainnya, berlangsung dalam era kepemimpinan yang represif dan diskriminatif dibawah komando bekas presiden Soeharto.

Para mantan petinggi negara itu, menyimpan catatan sendiri-sendiri tentang kasus Priok. Misalnya, dalam buku Soeharto. Karena itu sebagai presiden dan panglima tertinggi (Pangti), nama Soeharto pun disebut. Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, jenderal besar ini menulis: “Sesungguhnya peristiwa itu benar-benar hasil hasutan orang yang menempatkan diri sebagai pemimpin.” Soeharto tidak secara langsung menyebut nama Amir Biki, tokoh terkemuka masyaakat Priok waktu itu yang ditudingnya sebagai si penghasut. “Yang bersangkutan menentang ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam ketatanegaraan kita. Ia tidak mengerti duduk soalnya. Ia mengira bahwa dengan konsensus kita itu Pancasila akan menggantikan agama dan sebagainya. Maka ia menghasut rakyat untuk memberontak,” demikian Soeharto.

Sesuai Prosedur

Sedangkan dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan, kasus Priok itu diuraikan secara cukup panjang-lebar. “Menurut penilaian Benny,” tulis Julius Pour, pengarang buku ini, “para prajurit ABRI yang pada waktu kejadian tersebut sedang bertugas di daerah sekitar Tanjungpriok, sudah melakukan persiapan pengamanan sesuai prosedur.”

Kata-kata Benny sendiri dikutip secara langsung: “Para petugas keamanan di sana hanyaterdiri dari satu regu pasukan artileri yang tidak pernah perang dan sejumlah anggota polisi. Andaikan kita sebelumnya sudah tahu, bahwa pada malam itu akan terjadi suatu aksi massa menyerbu pos bahwa dalam peristiwa polisi, tentu saja akan bisa kita kirimkan pasukan yang jauh lebih mampu menertibkan keributan, pasukan Kostrad atau RPDAD misalnya.”    

Mengutip keterangan Benny dalam wawancara dengan Minguan Editor, buku tersebut menulis, “Peristiwa Tanjungpriok adalah mob. Itulah perbedaan antara crowd dan mob. Kalau crowd masih bisa dikontrol, sedangkan mob tidak. Bagaimana itu terjadi? Ya, bagaimana memotivasi atau mengipas, memanasi orang-orang itu. Juga kondisi-kondisi yang melatarbelakanginya.”

Menjawab pertanyaan mingguan itu, Benny mengatakan, “Mengapa harus ditembak? Seorang komandan itu, salah satu tugasnya, adalah menjaga keselamatan anak buahnya. Kalau pada jarak. seratus meter sudah ditembak,berarti kita yang salah. Tapi kalau tinggal satu dua meter, tidak ada jalan lain. Menembak untuk membeladiri kok. Itu bisa dilihat dari yang meninggal, bekas tembakannya itu membuktikan bahwa jarak itu sudah dekat.”

Juga dituturkan bahwa menyusul tragedi itu Benny berkeliling ke sejumlah pesantren menjelaskan duduksoal kasus Priok. “Tekad Benny untuk meyakinkan masyarakat de-ngan memberikan penjelasan yang di-sampaikan dengantulusserta jujur, ternyata bisa diterima secara luas. Pengalaman ini malahan juga sempat membuahkan keuntungan lain. Ia kemudian bisa membangun persahabatan pribadi dengan berbagai macam tokoh kunci di kalangan masyarakat Islam,” demikian Julius Pour.

Jangan Tanya Saya

Semasa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Komnas HAM mengajukan rekomendasi setelah menyelidiki “Peristiwa Tanjung Priok”.  Dalam rekomendasi yang diajukan kepada pemerintah 10 Maret 1999 itu, antara lain dikatakan: “Sepanjang penyelidikan Komnas HAM berkesimpulan bahwa ada peristiwa Tanjungpriok 1984, ternyata pihak aparat keamanan telah melakukan penembakan dengan peluru tajam kepada masyarakat yang berunjuk rasa dan mengakibatkan ada korban tewas, hilang, luka dan cacat.”

Menurut Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan, dalam proses penyelidikan oleh Komnas HAM tempohari surat panggilan dilayangkan kepada Benny Moerdani. “Tapi nasib surat itu tidak jelas, sama sekali tidak ada jawaban,” kata Asmara.

“Sedangkan Try Soetrisno dan Butar-Butar sama sekali menolak memberikan keterangan. Try bilang, jangan tanya pada saya, tanyalah pada lembaga ABRI,”lanjut Asmara mengutip tanggapan mantan Wapres itu.

Tampaknya Try Soetrisno masih konsisten. Dalam keterangannya yang dikutip pers belum lamaini ia mengatakan kasus Tanjung! Priok menjadi tanggung jawab Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kalau Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP-HAM) Tanjungpriok ingin meminta keterangannya harus memanggilnya melalui Markas Besar TNI.

Masa Lalu

Sedangkan mantan Kodim Jakarta Utara Butar-Butar menurut sumber Semanggi, mengatakan Senin pekan ini bahwa kasus Priok itu sudah menjadi masa lalu. “Apa lagi yang mau diungkapkan?” ujar Butar-Butar yang waktu itu masih berpangkat Letkol.

“Tetapi sebagai prajurit saya siap. Waktu itu saya menjalankan instruksi pimpinan. Situasinya serba sulit, massa banyaksekali. Kalau pada akhirnya jatuh korban, ini karena bentrokan fisik yang memangsulit dihindarkan,” lanjut Butar-Butar, kini salah satu pejabat Lemhanas. Menurut sumber Semanggi, kubu Benny kini sedang sibuk menyiapkan diri menghadapi KPP-HAM Priok.

Sumber yang tidak bersedia disebutkan identitasnya itu mengungkapkan bahwa salah satu bentuk persiapan itu adalah membentuk tim pembela. “Tapi tidak banyak yang bersedia menjadi pembela Benny dan kawan-kawannya,” kata sumber ini. “Soalnya mereka tahu bahwa sekarang ini era reformasi.”

01/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Senjata Pamungkas Itu Bernama TRC (Semanggi, 1-7 Maret 2000)

by Nuwiya Amal 01/10/2020
written by Nuwiya Amal

Regim Soeharto mewariskan segunung persoalan sehingga bangsa ini praktis tidak bisa dengan kepala tegak menghadapi masa depan. Karenanya diperlukan senjata pemungkas untuk membereskan beragam hutang masa lalu yakni pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta UU Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM)

Asmara Nababan

Negara Afrika Selatan tercatat paling berhasil menyelesai kan persoalan masa- lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Truth and Reconciliation| Commission-TRC ). Yang kalah dan yang menang, dalam sejarah pahit negeri itu, sepakat menerapkan cara penyelesaian melalui komisi TRC.

Komisi serupa jugaditerapkan di sekitar 15 negara dan  Indonesia tercatat sabagi salah satu peminatnya. Secara garis besar TRC bekerja melalui tiga tahap yakni tahap inventarisasi dan klarifikasi masalah, tahap rekonsiliasi dan tahap penyelesaian luka-luka sosial seperti pemulihan nama baik dan ganti rugi bagi para korban. 

TRC akan berhasil bila pihak korbah dan pihak pelaku bersedia bekerja sama menggali kebenaran, mengaku bersalah, memberi maaf dan menyembuhkan “luka-luka” yang tersisa

Di Indonesia TRC itu sedang dipersiapkan. Sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sudah menyiapkan Rancangan Undang-Undang yang akan menjadi dasar hukum pembentukan TRC. Kini rancangan itu sudah berada di tangan lingkungan legislatif (MPR-DPR).

Hartono Mardjono SH dari Partai Bulan Bintang mgpgaku telah lama memikirkan perlunya komisi semacam itu. Ia bahkan pernah menuangkan gagasannya melului artikel di sebuah surat kabar Ibukota, Sep-tember 1998, kendatiia tidak menyebutnya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Menurut anggota DPR ini, berbagai kasus korupsi dan kolusi (nepotisme lebih sulit dibuktikan) sejak Orde Lama .  hingga Orde Baru perlu diselesaikan melalui TRC. Melalui komisi ini, kata Mardjono, para pelaku korupsidan kolusi secara jujur dan terbuka mengakui perbuatan mereka.

Komisi kemudian memeriksa ke-benaran pengakuan mereka dan sesudah itu jumlah tertentu dari hasil korupsinya dikembalikan kepada pemerintah. “Dengan begitu masalahnya selesai,” ucap salah satu ketua Komisi II DPR ini pekan lalu.

Sedangkan berbagai pelanggaran HAM,juga dari masa Orde Lama hingga Orde Baru, lanjut tokoh vokal ini, bisa diselesaikan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Peradilan HAM yangsedang diselesaikan DPR.

“Kita ini masih direpotkan dengan berbagai urusan masalalu dan belum bisa bekerja untuk ke depan,” kata Mardjono. “Dengan Komisi Kebenaran dan Rekon-siliasi, UU Tentang HAM dan UU Pe-radilan HAM kita bisa menyelesaikan banyak persoalan”

Khusus HAM

Berbeda dengan Mardjono, Ketua YLBHI Bambang Widjojanto dan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan sepakat bahwa TRC sangat diperlukan Indone-sia untuk menyelesaikan. masalah-ma-salah pelanggaran HAM, bukan untuk korupsi.

“Untuk korupsikan sudah ada undang-

undangnya,tinggal dilaksanakansaja dan yang biasanya menimbulkan gejolak

sosial adalah pelanggaran-pelanggarandi bidang HAM,” kata Bambang.

Menurut Ketua YLBHIini, ada tiga alasan dasar mengapa TRC pentingbagi Indonesia. Pertama, sejauh ini Indonesia belum memiliki satu instrumen yang dapat dipakai untuk menyelesaikan berbagai gejolak sosial yang terjadi lebih dari 30 tahun terakhir.

Kedua, berbagai instrumen yang sebenarnya potensial untuk meredam

masalah, sedikitnya mengeliminir ber-bagai masalah yang cenderung menim-

buikan perpecahan juga ternyata dis-fungsional (tidak diterapkan sesuai

fungsinya).

Menurutpakar hukum ini, pengadilan

. yang semestinya menegakkan kebenaran, keadilan dan perdamaian bagi pihak-pihak terkait hanya berupaya menentukan siapa kalah siapa menang. “Fungsiini pun tidak berjalan, karena kemenangan bisa dibeli,”kata Bambang.

Ketiga, akumulasi persoalan telah sedemikian rupa membebani Indonesia sehingga harusdiselesaikan. “Kita ingin menutup masa lalu kita, dengan, kata-‘ kanlah, tidak melupakannyatetapi mung-

kin  kita  bisa  memaafkannya,”  kata

Bambang.                                                             |

Tantangan

Penyelesaian melalui TRCitu ternyata bukan tanpa tantangan. Hambatanterse-bar, menurut Bambang dan Nababan,bisa datang dari kekuatan status guo yang tidak saja tetap ada melainkan juga berada dalam lingkungan pemerintahan. “Merekapunyakepentingan dan mereka juga punya uang banyak,” kata Bambang. “Tetapi harus dihadapi. Tidak ada jalan lain,” kata Nababan menimpali.

Hambatan lainnya bahwa Indonesia belum terbiasa dengan managementcon-Slict, sehingga gagasan penyelesaian melalui TRC itu bukan tidak mungkin mengundang masalah baru.. “Kita mau

menangani konflikmmalah bisa timbul konflik baru,” kata Bambang. Oleh karenaitu Bambang dan teman-temannya

mengakulebih banyak menggarap gagas-an ini secara diam-diam.:

Dikatakan, gagasan mengenai TRCitu

masih membutuhkan beberapahal, antara

lain komitmen politik dari pemerintah, prosessosialisi ke tengah masyarakat dan kesiapan masyarakatsendiri.

Oleh karenaitu pihaknya belum berani menyebut kapan TRC model Indonesia itu bisa dihasilkan dan diterapkan. Sementara Asmara Nababan menekankan perlunya suatu “wacana terbuka” di tengah masyarakat sebelum TRC itu dibentuk.

“Masih perlu-dibicarakan secarater-buka,” ucap Asmara. Ja pun tidak me-

nyebutkan kapan komisi tersebut bisa

direalisasikan, kendati ia berharap bisa

secepatnya. -:

Kalau TRCitu diterapkan bersamaan

dengan  UU Tentang  HAM  dan  UU

Peradilan HAM maka berbagai pelang-garan HAM di masalalu bisa ditembus.

Mereka(parapelaku) yang tidak bersedia menyelesaikan masalah melalui TRC bisa –

dijerat dengan UU Peradilan HAM.

Persoalannya, apakah TRC model In-donesiaitu benar akan terwujud atau akan dimasukkan dalam daftar agenda yang mesti dipetieskan?

-John julaman.

01/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

LAPORAN INVESTIGASI FID TIDAK BISA TENGGELAM (Majalah Jemaat 12-17 Februari 2001)

by Nuwiya Amal 01/10/2020
written by Nuwiya Amal

Kekhawatiran masyarakat mengenai, “nasib’ pengungkapan kasus peledakan bom di gereja pada malam Natal 2000 lalu tanpaknya bisa beralasan. Halini terbukti seperti kasus penyelidikan peledakan bom di BEJ (Bursa Efek Jakarta), yang sampai kini belum juga bisa terkuak.

Walaupun dalam pemboman di BEJ pihak aparat keamanan sudah mengindentifikasi beberapa orang tersangka. Namun yang menjadi pertanyaan publik, mengapa sampai sekarang aparat kepolisian belum juga bisa menangkap pelaku dan otaknya. Seperti yang kita ketahui bersama, dalam peristiwa ini telah menewaskan belasan jiwa orang tidak bersalah.

Ditambah titik perhatian masyarakat sedang tertuju dan memalingkan perhatian pada kasus Buloggate dan Brunaigate yang membawa nama Presiden RI. Abdurrahman Wahid. Apakah persoalan ini disekenario untuk tujuan memalingkan perhatian dari persoalan pengusutan bom dimalam Natal 2000 lalu ?

Namun hal tersebut ditepis oleh — koordinator Investigasi FID (Forum Indonesia Damai) Asmara Nababan, menurutnya pansus Buloggate dan  Brunaigate sudah direncanakan sebelum terjadinya peledakan bom dimalam Natal, “ Saya pikir jauh sekali anggapan itu, karenajadwal Pansus sudah tersusun sebelum peristiwa ini terjadi. Saya tidak percaya kalau kasus Bulog, Brunai yang diproses di DPR RI adalah bagian dari usaha untuk mengalihkan perhatian,” katanya.

Berikut kutipan wawancara wartawan “JI” Daniel Siahaan dengan Asmara Nababan baru-baru ini kantor Komnas HAM, Jakarta.

Ada kalangan menyebutkan dimunculkan masalah pansus Buloggate dan Brunaigate berkaitan dengan akan di peti eskan masalah pemboman malam natal komentar anda ?

Saya pikir jauh sekali anggapan itu, karena jadwal Pansus sudah tersusun sebelum peristiwa initer jadi. Saya tidak percaya kasus Bulog, Brunai yang diproses di DPR-RI adalah bagian dari usaha untuk mengalihkan perhatian dari pemeriksaan masalah bom di malam Natal.

Langkah -langkah apa yang sekarang dilakukan oleh FID ?

Tim investigasi telah menemukan fakta dilapangan dan telah melakukananalisis awal, bahwa ledakan bom tersebutbertujuan untuk mempertentangkan umat beragama. Jaditujuan pemboman tidak didorong oleh motif balas dendam dan sebagainya. Jadi dugaan bahwa ada kelompok agama lain yang terlibat melakukan sudah bisa ditepis. Kalau melihat dari sisi korban kan jelas, yang menjadi korban bukan hanya dari kristen saja, yang tidak kristen juga – kan kena.

 Bila diperhatikan pola-pola konflik, pada umumnya yang menjadi target paling utama adlaah orang dan bukan simbol-simbolnya. Sedangkan konflik komunal yang menjadi sasaran justru lebih dari pada orangnya. Jadi tujuan peledakan bom pada malam Natal 2000 lalu dapat kategorikan sebagai teror. Alasannya di amana bom yang diledakan tidak langsung mengarah kepada jiwa orang, tapi bom tersebut ditempatkan dipekarangan dan bukan langsung di dalam ruangan.

Berikutnya bila kita melihat dari data-data yang ada di lapangan, kelompok pelaku ditiap tempat mempunyai ciri- ciri sosial dan ciri- ciri fisik yang berbeda. Dalam keadaan normal tidak mungkin bersatu, dengan demikian kesimpulan yang kita dapat, ada orang atau sekelomok orang yang mempunyai kemampuan, mengakses, mengendalikan kelompok yangberbeda-beda. Dan menggerakkan mereka pada suautu waktu diberbagai tempat pada atau sasaran yang sama.

Dengankata lain telah terorganisir ?

 Ya… betul. Sekarang kita akan memproses dan lebih mengindenti fikasi siapa pelaku dan siapa otaknya. Untuk itu kita memerlukan bahan bahan seperti, analisis bahan peledak, kemudian jalur distribusinya, dan sebagainya. Misalnya seperti kasus pengakuan Elisa, kalau saja Tommy dapat tertangkap, yangperlu kita pertanyakan kepada Tommy dari mana ia mendapatkan bom.

FID dalam temuannya ada mengarah kesana ?

Sudah tentu ada yang mengarah kesana.

Kongkretnya seperti apa?

Kemunculan orang yang mirip seperti Elisa, sebelum pemboman di Koinonia. Menurut saksi dilapangan, ada seorang perempuan yang mengingatkan akan ada bom. Jadi ada indikasi kesana, tapi kalau apakah orangnya sama, itu belum kita identifikasikan, tapi ada kemiripan tipe tipologinya dengan Elisa.

Jadi masih kesimpulan sementara ?

Ia, tapi andaikan polisi bisa membuktikan keterangan Elisa benar dan Tommybisa ditangkap hal itu bisa menjadi lain. Tapi keterangan ini perlu ditelusurilebih mendalam untuk menjawab siapa sebenarnya otak dan aktor semua peristiwa pemboman ini dan dari manaia (Tommy, Red) mendapatkan bom tersebut.

TNT ini kan susah didapatkan dipasaran adakah kemungkinan TNI terlibat?

Ini yang masih kita analisis, sebab kita tidak mau masalah ini putus seperti kasus BEJ, dalam kasus BEJ seri bomnyatelah diketahui oleh pihak kepolisian, bahwaitu buatan PINDAD(Pusat Industri Angkatan Darat), saat dichek ke Pinda Bandung pihak pindad dapat menunjukanberita acara bahwa bom tersebut telah dikirim ke gudang mesiu yang ada di Madiun. Kemudian pihak kepolisian mengirim surat ke Mabes TNI Angkatan Darat dan mempertanyakan dari mana asal TNT tersebut. Beberapa waktu lalu telah dijawab bahwa TNT itu semuatelah habis dibagikan ke Kodam-Kodam. Itukan tidak menjawabpersoalan, kalau benar-benar habis kenapa ada di BEJ.

Ada rumor mengatakan bahwa pelakunya berasal dari Islam garis keras ?

Kita tidak menemukan pelakunya berasal dari yang anda sebutkan tadi.

FID sendiri apakah sudah meneliti ada keterlibatan beberapa Jenderal ?

Kita sedang meneliti dan menganalisa kelompok yang melakukan hal itu, jadi tidak bisa langsung menunjuk kenama, karena ini bisa saja membuat fitnah.

Rencana hasil rekomendasi sementara FID kapan diumumkan?

Rencananya sih secepatanya, tergantung bagaimana kerja tim menyelesaikannya.

Kesimpulannya?

Nanti akhir Februari

-Daniel Siahaan

01/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Search

Recent Posts

  • Gerakan Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Oekumenis: Presentasi Pendeta Gomar Gultom di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Kata Sambutan Antonio Pradjasto di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Asmara Berdemokrasi dan HAM (Cakrawala – 13 Desember 2020)
  • Bang As Tak Pernah Meninggalkan Orang: Presentasi Sarah Lery Mboeik di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Peringatan 10 Tahun Kepergian Asmara Nababan: Presentasi Henri Saragih di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045

Recent Comments

    Copyright 2020


    Back To Top
    Asmara Nababan
    • Home
    • Tentang Asmara Nababan
      • Awal Kehidupan
      • Pendidikan
      • Riwayat Pekerjaan
      • Kegiatan Lainnya
    • Warisan Pemikiran
      • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
      • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
      • HAM dan Pembangunan
      • Demokrasi dan Tata Negara
      • Pendidikan dan Seni
    • Living Legacy
      • Arsip Video
      • Arsip Foto
      • Doa untuk Bang As & Bangsa
      • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
      • Kirim Tulisan
    • Info Kegiatan
    • id ID
      • id ID
      • en EN