PERSPEKTIF WIMAR: KAI ini, Perspektif Baru akan bicara tentang "resolusi konflik” dan bagaimana mengatasinya, karena konflik di negara kita akhir-akhir ini bukan hanya meningkatdari sudut pandang kuantitas, tapi juga dalam sudut pandang kualitas. Juga, kelihatannya semakin sulituntukdiselesaikan. Konflik sepertiyang kitaketahui bersama, samasekali tidak mem-bantu untuk ke luar dari krisis yang berkepanjangan ini, bahkan cenderung menciptakan krisis baru yang lebih parah.Kita bisa sebutkonflikfisik seperti yang terjadi diAceh, Poso ataupun Maluku yang belum sempurnaproses penyelesaiannya. Sementara, kita juga harus berhadapan dengan berbagai macam konflik, seperti konflik politikantarelit, konflik persepsi, serta konflik kita dengan dunia international misalnya mengenaipersoalan terorisme. Untuk membahas tentang persoalan ini dan bagaimanakita sebagai masyarakat dan sebagaipiiblik bisa mengambil bagian dalam proses penyelesaian konflik ini, Perspektif Baru menghadlirkan Asmara Nababan,Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tentang bagaimanaturut ambil bagian dalam upaya penye-lesaian konflik tersebut, dengan dipandu Ruddy Gobel.
Pandongin Anda tentang konflik di tanah air yang cenderung meningkat kuantitas maupun kualitasnya, bagaimana?
Kita harus menyadari bahwa satu masyarakatitu tidak pernah bebas dari kon-flik. Konflik itu kalau dikelola dengan baik, justru malah memberikan peluang-peluang kemajuan bagi masyarakatitu sendiri. Jadi, Mkitu tetap ada. Yang menjadi keprihatinan adalah, konflik yang keluar dari ineka-nisme-mekanisme penyaluran dan menggunakan kekerasan atau melakukan penyelesaian-penyelesaian yang melanggar hukum. Konflik semacam inilah yang sebenarnya memberikan dampak buruk bagi satu masyarakat, apakah itu menyangkutsolidar-itas masyarakat ataupun menghambat kemajuan dari masyarakatitu sendiri. Ini yang harus dicermati, dan dicari jalan kelu-arnya atau resolusi atas konflik yang menggunakan kekerasan. Juga konflik yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum, apakah itu hukum kebiasaan maupun hukum positif di masyarakat maupundi satu bangsa.
Kalau melihat ciri-ciri kenflik yang ada di Indonesia, bisakah Anda memberikan elaborasi bagaimana karakteristiknya dan kemudian seperti apa yang bisa dikatakan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegaya?
Pertama, secara klasik konflik dibagi dua, yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik vertikal ketika terjadi konflik antara penguasa dan masyarakat, sedangkan kon-flik. horizontal antara kolompok masyarakat dengan kelompok masyarakat. Pemisahan ini sebenarnya hanyateoritis, dalam prak-tiknyaitu saling terkait. Tidak pernah ada yang murni, konflik horizontal atau murni konflik vertikal. Nah, yang patut kita lihat di dalam konflik horizontal, bagaimanapun juga tanggung jawab dari negaraitu tetap tidak hilang. Bila terjadi konflik horizontal, maka sebenarnya yang bertanggung jawab pertama-tama adalah negara, dalam hal ini peme-rintah, Itu hal pertama yangtidak boleh dilu-pakan. Kedua, kalau dilihat konflik yang ada di Indonesia berdasarkan satu pengamatan yang dalam, satu analisis yang dalam akan sampai kepada dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan. Apakah itu di Papua, Aceh, Poso, Maluku, Ambon, dan tempat-tempat lainnya. Pada bottom line-nya atau dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan. Ketidakadilan sosial, ekonomi, moral dan ketidakadilan po-litik. Nah, berbagai ketidakadilan itu dima-nifestasikan dalam konflik. Jadi, kalau ada pemikiran mengenai “esolusi konflik” makapenyelesaian konflik yang fisik itu kalau tidak diikuti dengan penyelesaian masalah-masalah ketidakadilan, makasifat penyele-saian persoalan kekerasan itu sifatnya sementara.
Karena sebagian besar adalah masyarakat umum yang cukup sulit membicarakan perbedaan konflik dari sudut pandang teoritis, mungkin secara praktis, konflik yang terjadi misalnya konflik politik antar elit politik, kemudian perbedaan pendapat sedemikian tajam sampai kemudian mengganggu atau merusakcitra negeri ini. Atau, katakanlan kemudian ada konflik-konflik lain misalnya pelanggaran hukum tapitidak kemudian memberikan dampak langsung terhadap terjadinya kekerasan lain. Apakah ini termasuk konflik yang perlu kita hindari?
Kalau kita lihat konflik antarelit politik, sebenarnya konflik semacam itu bisa memberikan kebaikan kepada masyarakat. Dimana masyarakatkita itu dipaksa harus cerdas untuk mengetahui dan memilah mana yang gabah, mana yangberas. Jadi, konflik antara pemimpin itu sepanjang tidak menggunakan kekerasan, sepanjang tidak melanggar hukum itu bagi saya sesuatu yang wajar yang dapat mencerdaskan masyarakat. Yang harus kita tolak, adalah konflik yang diikuti dengan kekerasan atau konflik yang mem-by pass peraturan-peraturan dan bukan hanya peraturan hukum legal positif tetapi juga kepantasan, atauran-aturan moral, pedoman moral. Masyarakat harus tolak konflik-konflik semacam itu.
Bila kita bicara tentangperan pemerintah, tentu sangat krusial dalam proses penyelesaian konflik. Bagaimana Anda memberikan evaluasi tentang peran yang dilakukan pemerintah dalam upaya untuk pengentasan persoalan yang terjadi misalnya di Aceh, Poso dan lain-lain lewat upaya-upaya yang sudah dilakukan misalnya dengan Malino dan lain lain? Apakah itu sudah cukup sebagaisyarat formal untuk penyelesaian sebuah konflik?
Pertama, kalau kita melihat upaya-upaya yang ada sudah cukup signifikan. Hanya kita lihat pada Konflik Poso, Maluku dan Ambon dimana ada Malino I dan MalinoII. Itu satu langkah yang kita sambut baik. Namun seperti yang saya katakan sebelumnya, Malino I dan MalinoII ini sebenarnya hanya langkah pertama yang harusnyadiikuti denganlangkah-langkah selanjutnya. Malino I dan Malino II memberikan kondisi kepada masyarakat untuk kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berkonflik itu, untuk membuka diri kepada kemungkinan perdamaian. Memang belum terjadi perdamaian. Dan, kemungkinan itu menjadi terbuka. Nah, di sana sebenarnya saya melihat upamanya kelemahanatau kesungguh-sungguhan dari pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. Langkah langkah berikut itu harus sampai kepada menyentuh dasar dari konflik. Alasan utama dari konflik itu, yaitu masalah-masalah keadilan. Itu makanya, kalau membayangkan penyelesaian Poso dan Ambon,saya bayangkan dalam satu dua tahun terjadi percakapan, negosiasi, perundingan antara kelompok tersebut setidak-tidaknya bagi saya enam sampai delapan kali. Jadi, ada Malino I, MalinoII, Malino III sampai Malino VIII untuk Poso, begitu juga untuk Ambon. Karena tidak mungkin kita harapkan dalam satu negosiasi, dalam satu perundingan yang hanya berjalan dua hari semuapersoalan itu bisa diselesaikan. Hanya sayangnya, waktu itu seakan-akan perjanjian Malino I untuk Poso dan Malino II untuk Ambon dipersepsikan sebagai lampu aladin, yang kalau digosok semua persoalan selesai. Padahal, dia hanya pembukapeluang kepada penyelesaian damai, belum penyelesesaian damai. Untuk penyelesaian damai, diperlukan negosiasinegosiasi yang terus-menerus. Nah, siapa yang berkewajiban, siapa yang berkewenangan untuk mengambil langkah-langkah tersebut? Pemerintah.Itu jelas, konstitusi kita memerintahkan tugas, meletakkan tugas dan tanggung jawab di tangan negara terutama pemerintah.
Kita masih bicara soal Malino yang merupakan prasyarat, atau merupakan satu awal dari proses perdamaian. Langkah langkah yang Anda maksudkan, selain langkah-langkah dialog dan langkah-langkah perundingan. Apakah ada langkah-langkah lain yang lebih konkret yang bisa dilakukan pemerintah?
Kalau kita lihat dari lampiran dari Malino I dan Malino II, itu memuat daftar kegiatan dan time table. Jadi, umpamanya kapan mulai dilakukan, berapa lama dan seterusnya, banyak orang yang tidak tahu bahwa ternyata lampiran dari perjanjian tersebut tidak terlaksana. Ada penundaan-penundaan, dan celakanya penundaan-penundaan itu tidak pernah dikomunikasikan kepada kedua belah pihak berikut alasan-alasannya.Itu, menyebabkan kepercayaan yang mulai timbul di kedua belah pihak merosot lagi. Ini serius tidak sih pemerintahnya? Tadinyakan sudah mulai percaya. Nah, itu umpama kelemahannya. Kalau itu kita tanya mengapa, saya tidak tahu apa komitmen yang mestinya sangat kuat dari pemerintah untuk mengambil langkah-langkah lanjutan itu. Oke, bisa saja time table atau jangka waktu dan waktu disusunnya kurangrealistis. Dikomunikasikanlah kepada keduabelah pihak, ini Iho terpaksa kita tunda, karena begini-begini. Karena tidak ada penjelasan semacam itu, keduabelah pihak bisa mengambil kesimpulan masing-masing yang sifatnya spekulatif, dan itu mengurangi serta memerosotkan lagi kepercayaan yang sudah mulai terbangun baik antarkelompok maupun kelompok dengan pemerintah.
Jadi, kalau bisa kita katakan ini sebetulnya persoalan komunikasi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok yang terlibat atau yang bertikai? Nah bagaimana dengan upaya penyelesaian kalau bisa kita katakan itu sebagai upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk daerah lain, misalnya kon Nik yang terjadi di Aceh dan kemudian di Papua. Bagaimana penilaian Anda?
Kalau kita bicara dalam konteks Aceh maupun Papua, maka sebenarnya sampai sekarang belum jelas. Sikap pemerintahdalam menyelesaikan konflik itu, masih mendua. Di satu pihak mengatakan akan menempuh jalan perundingan perdamaian,tapi di pihak lain juga menonjolkan penyelesaian yang militeristik baik itu di Papua atau di Aceh. Bagi saya, pendekatan semacam ini tidak akan pernah dapat menyelesaikan konflik. Kalau saya melihat sifat dan besarnya konflik sertaakibatnya terutama bagi korban di Papua dan di Aceh, maka pilihan satu-satunya menurut saya adalah melalui negosiasidan jalan perdamaian perundingan dan lain sebagainya. Hanya dengan demikian, kita dapat menyelesaikan masalah Papua maupun masalah Aceh dengan tidak mengorbankan jiwa rakyat yang pada umumnya tidak berdosa tidak tahu soal apapun tapi mereka menjadi korban, baik jiwanya, nyawanya juga harta bendanya. Singkatkata, bagi Aceh dan Papua menurutsaya penyelesaian konfliknya harus ditempuh melaluijalan damai, perundingan negosiasi.
Apakah kita sebagai masyarakat, bisa ikut terlibat dalam upaya untuk menyelesaikan persoalan konflik itu?
Sebenarnya, masyarakat dapat mengambil peranan atau tanggung jawab dalam penyelesaian konflik itu dengan cara yang sangat sederhana. Pertama, mengungkapkan secara terbuka bahwa masyarakat menolak penyelesaian konflik kekerasan, tapi mendorong perdamaian.Ini harus diekspresikan sebagai bukti dari solidaritas kita kepada korban dari konflik, apa pun motivasi alasan konflik itu. Jadi, ini harus kita ekspresikan. Sayang, kita belum begitu terbiasa dengan pengungkapan solidaritas yang peaceful, yang damai. Umpamanya, kebiasaan mengirim surat kepada pemerintah bahwasaya ibu rumah tangga, namasi“ini” menyatakan keperihatinan terhadap konflik umumnya di Poso. Mendesak pemerintah menyelesaikannya secara adil dan damai. Coba bisa dibayangkan kalau adasurat seperti ini tiap hari, tiba di mejanya presiden 50 saja tiap hari. Dalam satu tahun, akan ada ribuan surat. Itu, saya pikir akan mendorong serta mengubah persepsi pemerintah terhadap masyarakat. Jadi, ekspresi itu harus dibiasakan dalam masyarakat, jangan diam. Diam itu bisa ditafsirkan menyetujui. Jadi, dia harus mengekspresikan menolak. “Kami menolak konflik kekerasan, kamipro perdamaian”. Penyelesaian konflik secara damai itu yang pertama. Yang kedua, yang bisa dilakukan masyarakat, adalah melengkapi dirinya untuk tidak ikut dalam konflik. Hemat saya, dua hal tersebutbisa dilakukan semua orang dalam upaya menyelesaikan konflik.
Apakah dua perilaku yang Anda sebutkan tadi sudah ada di kalangan masyarakat kita? Kalau pun kelihatannya masih kurang, bagaimana cara untuk menyosialisasikannya?
Memang masih kurang,tetapijelas sudah ada di berbagai kota secara spontan vestasi dari penolakan terhadap kelompok kekerasan.Umpamanya dalam kasus Ambon, kita tahu ada Baku Bae satu inisiatif dari kelompok masyarakatlepas dari apa pun agamanya yang menolak kekerasan dan mendorong penyelesaian damai. Peranan pendidikan, peranan mediaitu sangat strategis untuk menggalangsolidaritas dan memberanikan masyarakat mengekspresikan dirinya. Saya pikir, itu perubahannya cukup signifikan kalau dibandingkan dengan lima tahun yang lalu. Kalau kita bisa dengar talkshow di radio, di televisi, respon dari khalayak masyarakat sudah makin positif.
Menarik pembahasan Anda, karena sembat tersebut peran media. Dalam situasi pers yang bebas seperti ini, kita tentu merasakan betapa media memainkan peran yang sangai penting, terutama dalam hal-hal yang bersinggungan dengan opini masyarakat. Kalau melihat kondisi pemberitaan media massa selamaini, ada kesan atau barangkali mung kin hanya kesan saya, media itu lebih senang memberitakan hal-hal yangsifatnya kontroversial misalnya begitu ada bom, bom yang dijadikan headline’ bukan tentang bagaimana masyarakat menyikapi ini. Bagaimana penilaian Anda?
Saya membayangkanlima sampai 1C tahun ke depan, media massa kita masih dalam suasana pencarian bentuk keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Selama 30 tahun, tanggung jawab lebih dikemukakan dan kebebasan dihambat. Tiba-tiba pada 1998 kita terbuka. Ada switch, sekarang kebebasan sangat utama dan tanggung jawab sangat sedikit, butuh waktu untuk menyeimbangkan itu. Tetapi saya akan menolak, kalau ada upaya sekarang untuk mengekang media massa. Proses. itu akan berjalan sendiri, dan masyarakatjuga akan semakin cerdas untuk . menerimaberita dari media, tidak mudah lagi berubah karena pemberitaan headline dan lain sebagainya. Itu juga butuh proses waktu. Tetapi tentu masyarakat mengharapkan dan itu wajarsaja, bahwa mediaitu juga disamping suka kepada persoalan-persoalan yang kontroversial perlu juga memberikan perspektif untuk penyelesaian persoalan. Saya pikir, dialog kita saat ini merupakan bagian dari tanggung jawab media untuk masalah masalah yang sangat mendesakdi tengah-tengah masyarakat, yaitu konflik.
Tentu tidak sah, kalau kita bicara tentang penyelesaian konflik tapikita tidak berbicara tentang hukum dan keadilan. Kemudian kalau hukum, kita juga tentu harus berbicara tentang siapa yang berperan dalam proses penegakan hukum tentu mulai dari DPR yang menciptakan undang-undang (UU), kemudian ada aparat-aparat lain ikut serta dalam proses penegakan hukum seperti polisi dan kejaksaan. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, apakah kita sudah cukup siap dari sudut pandanginfrastruktur UU-nya maupun dalam sudut pandang aparatnya?
Ini yang menjadi persoalan, mengapa konflik itu berlarutlarut. Karena, memang sistem penegakan hukum dan keadilan kita itu belum dapat memenuhituntutan dari masyarakat dalam bidang hukum dan keadilan. Kita tahu, bahwa sistem penegakan hukum dan keadilan kitaapakah itu UU-nya, aparatnya, dan seterusnya itu kan selama 30 tahun didisain untuk melayani kepentingan penguasa. Untuk itu, kita membutuhkan satu reformasi hukum, reformasi bukan hanya reformasi perundangundangan, peraturan perundang-undangan tapi juga mereform orang-orang kepolisian, kejaksaan, pengadilan lembaga kemasyarakatan dan seterusnya. Tapi, ini membutuhkan satu generasi, 25 tahun paling tidakbaru satu reformasibisa paripurna. Oleh karena itu, sebenarnya peranan hukum dan keadilan pada masa transisi semacam ini harus dilengkapi dengan apa yang dikenal dengan instrumen-instrumen transitional justice. Jadi, instrumen-instrumen penegakan hukum dan keadilan yang diperlakukan dalam masa transisi.