HAM & Pembangunan

Kebutuhan atas sebuah jaringan kerja yang luas, lintas sektoral dan nasional di kalangan Lembaga Usaha Kesejahteraan Kristen/Lembaga Pelayanan Kristen telah lama dirasakan. Kebutuhan ini bukan semata-mata didorong oleh alasan-alasan praktis, tetapi lebih dirasakan sebagai keinginan untuk bersekutu, keinginan untuk bersetiakawanan, dan bekerja sama. Beberapa tahun terakhir ini memang tumbuh beberapa pertemuan/forum bahkan jaringan kerja di kalangan lembaga-lembaga pelayanan Kristen, namun masih terbatas pada sektor pelayanan tertentu atau wilayah tertentu.

Ketika Departemen Partisipasi Gereja dan Pembangunan PGI mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan/forum Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS)/Lembaga Pelayanan Kristen (LPK), ada 40 lembaga yang menghadiri pertemuan tersebut di Wisma Kinasih Bogor, dari tanggal 27-29 Juli 1988.

Pada akhir pertemuan telah diambil kesepakatan untuk membentuk satu Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia. Sebagai langkah kebersamaan yang akan lebih menyatakan fungsi kehadirannya serta lebih mendukung gereja dalam melaksanakan pelayanan yang utuh, di tengah-tengah bangsa yang membangun untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Pertemuan tersebut berpendapat bahwa perlu diwujudkan cara berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan dengan tujuan agar dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sedang melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dapat didirikan tanda-tanda mengenai kesejahteraan, keadilan, kemerdekaan, persaudaraan, perdamaian dan kemanusiaan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dunia ini dengan kedatangan Kerajaan-Nya.

Pembangunan yang diselenggarakan bangsa Indonesia adalah upaya mengamalkan seluruh sila Pancasila dalam rangka mencapai masyarakat yang lahir dan batin lebih baik, adil dan makmur. Usaha untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil, berperan serta penuh, berketahanan utuh menjadi hak serta tanggung jawab setiap anggota masyarakat termasuk warga gereja.

Panggilan gereja untuk berperan serta dalam pembangunan didasarkan pada tanggung jawab untuk mengelola segenap ciptaan Allah (Kej. 1: 26 dan 28) dan ikut serta mewujudkan kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan seperti yang dikehendaki Tuhan bagi semua orang (Yer. 22: 3, Amos 14 dan 24, Mat. 25: 31-35, dan Luk. 4: 18-21).

Salah satu aspek yang selalu menonjol dalam kehidupan masyarakat ialah masalah kemiskinan dan keadilan. Memasuki era industri di mana tata hubungan akan semakin rumit, diperlukan peningkatan, pengembangan, pembaharuan struktur sosial sambil meratakan keadilan sosial dan peningkatan kesetiakawanan sosial.

Kesejahteraan sosial adalah hak setiap orang dan gereja sadar akan tugas Diakonia yang tak dapat dipisahkan dan tugas Koinonia dan Marturia yang mengharuskan gereja bersama-sama memerangi segala kemiskinan, penyakit, kelemahan dan ketidakadilan dalam masyarakat.

Diakonia adalah pelayanan terhadap hidup yang utuh yang meliputi kesejahteraan lahir batin yang mempunyai konsekuensi pengorbanan material dan spiritual. Tugas panggilan itu harus dijalankan bersama-sama dalam semangat persatuan dengan cara yang sebaik-baiknya dan dengan bentuk paling tepat bagi tiap tempat dan zaman.

Dalam tugas pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila perlu adanya peran dan ruang gerak yang lebih besar untuk mendorong prakarsa masyarakat dalam pembangunan, khususnya para petani dan nelayan serta lembaga-lembaga sosial di daerah pedesaan, agar kreativitas mereka dapat berkembang dalam rangka meningkatkan swadaya mereka bagi perubahan kualitas kehidupan yang lebih layak.

Pertemuan berpendapat bahwa masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan hal-hal lain saling mengait dan oleh karena itu lembaga-lembaga bersama-sama menanggulanginya melalui pemahaman bersama dengan semangat persatuan melaksanakannya secara nyata, dengan tetap menghormati dan memberi kebebasan kepada lembaga-lembaga untuk melaksanakan tugas dan kehadirannya masing-masing di tengah masyarakat dan lingkungannya.

Jaringan kerja ini menghubungkan lembaga-lembaga pelayanan Kristen yang selama ini dikenal sebagai berikut:

Lembaga/Usaha Kesejahteraan Sosial: lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelayanan bagi anak cacat, jompo, anak terlantar/anak jalanan, narapidana, gelandangan, penanggulangan korban narkotika dan lain-lain.

  1. LSM/LPSM/LPPM: Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah lembaga di akar rumput yang bekerja untuk peningkatan kehidupan rakyat yang lebih layak. Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) adalah lembaga yang bekerja untuk membantu membina kelompok-kelompok akar rumput agar dapat meningkatkan swadayanya dalam memenuhi serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Lembaga Pembangunan Prakarsa Masyarakat (LPPM) adalah lembaga yang bekerja dalam pengorganisasian masyarakat akar rumput agar mereka dapat menjawab tantangan serta mengembangkan kehidupan mereka sendiri. Lembaga-lembaga ini bekerja di bidang pembangunan desa, pelayanan buruh, penyadaran dan bantuan hukum, latihan/pendidikan keterampilan, pengembangan, koperasi, pelestarian alam, pelayanan ibu dan anak, dan lain-lain.
  1. Lembaga Pendidikan Kesejahteraan Sosial: Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal bagi pekerja sosial.
  1. Badan Koordinasi Pelayanan Kristen: Lembaga yang menghimpun lembaga pelayanan Kristen secara sektoral sesuai dengan bidang pelayanan yang khas.
  1. Parpem Gereja-Gereja: Badan Pelayanan Gereja yang melayani dalam bidang partisipasi pembangunan.

Menyadari kepelbagaian lembaga-lembaga, baik dari segi kelompok dampingan, pendekatan dan strategi, serta saling berkaitan masalah-masalah sosial yang hendak ditanggulangi, maka tujuan dari Jaringan Kerja ini ialah: berusaha meningkatkan rasa kebersamaan dalam menanggulangi masalah-masalah sosial, ketidakadilan, dan kemiskinan yang merupakan perwujudan kesaksian, persekutuan, dan pelayanan sebagai tugas panggilan yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus Kristus, berdasarkan kesaksian Alkitab. 

Untuk mencapai tujuan ini Jaringan Kerja menunjuk satu kelompok kerja yang berfungsi sebagai fasilitator dengan tugas pokok:

  1. Menginventarisasi dan mengidentifikasi kelembagaan dan permasalahan semua LPK di Indonesia dan menyusunnya dalam satu Kompendium.
  1. Menyiapkan pertemuan/forum tingkat nasional dalam waktu satu tahun sejak Jaringan Kerja dibentuk dan menyusun konsep pedoman kerja dengan memperhatikan peranan wilayah dan kemungkinan sektoral.
  1. Membuka komunikasi dengan gereja, pemerintah maupun instansi lain termasuk forum-forum nasional dan internasional.

Dalam kurun waktu satu tahun ini, diharapkan dapat terselenggara serangkaian kegiatan Jaringan Kerja, terutama pertemuan/forum di wilayah dan/atau secara sektoral.

Melalui kegiatan-kegiatan tersebut maka tugas dan panggilan bersama semakin dipahami, kepelbagaian lembaga dan pelayanannya semakin disadari sebagai kekayaan bersama, dan dimungkinkannya menemukan serta menciptakan peluang-peluang bagi kerja sama antara anggota Jaringan Kerja maupun untuk keseluruhan.

Evaluasi dari kegiatan-kegiatan tersebut, bersama dengan hasil Konsultasi Nasional Diakonia ini, akan merupakan bahan masukan utama bagi pertemuan nasional Lembaga Pelayanan Kristen dalam menempa kesepakatan baru tentang arah dan gerak Jaringan Kerja pada masa-masa mendatang.

Lembaga-Lembaga Pelayanan Kristen tidak mungkin lepas dari kehidupan gereja karena banyak lembaga ini didirikan atas prakarsa gereja-gereja, dan yang lainnya didirikan oleh anggota-anggota gereja.

Tentu tidak ada maksud agar lembaga-lembaga tersebut mengambil alih tugas pelayanan gereja, karena memang tugas panggilan pelayanan yang disuruh oleh Tuhan Yesus Kristus kepada gereja-Nya bukan hal yang dapat dialihkan.

Oleh karena itu, secara tulus Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia menaruh harapan yang tulus bahwa melalui konsultasi ini dapatlah kiranya ditingkat-kembangkan kerja sama antara gereja-gereja dengan lembaga-lembaga pelayanan Kristen. Kerja sama bukan hanya di tingkat nasional/pusat/sinode, tetapi juga di tingkat jemaat, karena di tingkat inilah kebanyakan lembaga-lembaga menyelenggarakan kegiatan pelayanannya.

Jaringa Kerja yakin bahwa kerja sama tersebut dapat ditingkat-kembangkan karena dasar pemahaman bersama atas tugas dan panggilan pelayanan yang utuh, sebagaimana yang dipahami oleh lembaga-lembaga pelayanan Kristen dan gereja-gereja di Indonesia. Adalah tugas bersama gereja-gereja dan lembaga untuk merumuskan hubungan kerja sama tersebut.

Hubungan yang fungsional, yang saling memperkaya pelayanan bersama di tengah-tengah masyarakat bagi kemulian-Nya.

Penulis: Asmara Nababan 

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Kalau Anda sudah memiliki rumah di Pantai Indah Kapuk, atau baru mengincarnya, bersiaplah menghadapi dua kemungkinan mendapat untung lantaran harganya naik atau terpaksa harus menjadi pengungsi karena digusur dari kawasan bekas hutan bakau itu.

Boleh jadi pengusahaproperti kondang Ciputra akhir-akhir ini tidak bisa tidur lelap. Bagaimana tidak? Pantai Indah Kapuk (PIK), proyek propertinya, kini sedang didera persoalan berat. Proyek perumahan mewah itu dituding sebggai salah satu penyebab banjir yang melanda jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta. Memang, sebenarnyaini bukan isu baru. Sejak mulai dibangun, proyek ini sudah mengundang perdebatan sengit. Kala itu banyak yang khawatir pembangunan proyek yang berlokasi di kawasan rawa-rawa di pinggiran pantai itu bisa merusak lingkungan. Kecuali bisa mengganggu kelestarian hewan-hewan yang hidup di sana, para pakar lingkungan pun mengingatkan proyek itu bisa menyebabkan banjir.

Namun, Ciputra tak peduli. Ia begitu yakin, proyek yang ditangani ahli bendungan dan kanal dari Belandaitu tak akan mengancam lingkungan sekitarnya. ”Saya siap digantung jika PIK menyebabkan banjir,” ujar Ciputra waktuitu, seperti dikutip Menko Ekuin Kwik Kian Gie.

Masalahnya sekarang, apakah Ciputra akan menjilat ludahnya sendiri? Soalnya, tahun demi tahun, terbukti proyek tersebut menyebabkan banjir yang sangat mengganggu masyarakat. Tak kurang dari Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengecam keberadaan PIK. ”Memalukan sekali kalau orang yang mau ke bandarainternasional harus naik truk,” kecamnya. Untukitu ia pun melayangkan surat kepada Gubernur DKI Jakarta untuk meneliti pelanggaran lingkungan hidup di sekitar PIK.

Jelas, kondisi ini tak menguntungkan bagi PIK. Sejak banjirjalan tol menjadi sorotan masyarakat, penjualan properti PIK seolah ikut membeku. Padahal, harganya mulai merangkak naik akhir tahun lalu. Sekarang, orang yang semula berniat bertransaksi, baik di pasar primer maupun sekunder, memilih bersikap wait and see. Singkat kata, mereka banyak yang menunda niatnya membeli rumah disana. Padahal harganya merangkak naik akhir tahun lalu. Sekarang, orang yang semula berniat bertransaksi, baik di pasar primer maupun sekunder, memilih bersikap wait and see. Singkat kata, mereka banyak yang menunda niatnya membeli rumah di sana.

Ancaman bagi pembeli kavling: tak dapat IMB

Sebenarnya tidak perlu heran kalau sang pengembang mengotot mendapatkan tanah reklamasi. Pasalnya, biaya pengurukan tidaklah seberapa ketimbang harga jualnya. Untuk harga perdana saja mereka bisa mendapatkan keuntungan sampai empatkali lipat. Jadi, dengan proyek seluas 1.000 hektare bisa dibayangkan berapa besar keuntungan akan dikeruk pengembang.

Lokasi PIK memang bisa dibi lang sangat strategis. Perumahan mewah ini mempunyai lapangan golf yang dekat sekali dengan tol menuju bandara yang juga bakal tembus ke jalan tol lingkar luar Pondok Indah. Ditambah pembangunan fasilitas sosial dengan stan dar kelas satu, membuat banyak orang mengiler ingin memiliki atau  sekadarinvestasi di PIK, kawasan yang dulunya ditentang mati-matian Emil Salim ketika menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup.

”Gangguan” bagi PIK tak cuma datang dari kaum pecinta lingkungan hidup. Sepinya peminat properti karena krismon membuat proyek reklamasi di Sektor Utara Barat, yang sudah setengah jalan, terhenti. Lantas, Mei 1998, tatkala prahara melanda Jakarta, kompleks itu ikut menjadi korban. Massa perusuh ikut merambah PIK. Selain menjarah isi rumah penghuni, mereka pun melakukan pembakaran. Kini, dengan makin tingginya debit air yang merendam jalan tol bandara saat musim hujan, bukan tak mungkin memaksa Pemda DKI mencabutizin pembangunan PIK.

Guna mengantisipasi kemungkinan buruk itu, para pemilik PIK telah menginstruksikan manajemen untuk menunggu perkembangan yang terjadi seraya memberikan informasi bagi konsumen. ”Sekarang kamiharus aktif menentramkan penghuni,” kata Vincent, Pemasar PT Mandara Permai, pengembang PIK yang merupakan konsorsium Liem Sioe Liong, Sudar lbahmnanan bangan yang terjadi seraya memberikan informasi bagi konsumen. ”Sekarang kamiharus aktif menentramkan penghuni,” kata Vincent, Pemasar PT Mandara Permai, pengembang PIK yang merupakan konsorsium Liem Sioe Liong, Sudwikatmono, dan Ciputra.

Menurut Vincent, saat ini banyak konsumen yang ngeri IMB (Izin Mendirikan Bangunan)-nya tidak bisa keluar. Ini bisa dipahami. Sebab, tak sedikit penghuni PIK yang sudah membayar lunas kavling. ”Kalau beli tanpa bisa memiliki atau memakai, lalu bagaimana?” tuturnya ikut gusar. Akibat kekhawatiran itu, beberapa calon konsumen yang semula menyatakan tertarik, menunda pembelian. Bahkan, ada yang sudah menyetor uang muka akhirnya membatalkan dengan menarik uang muka yang telah disetor.

Kekhawatiran initernyata bukan hanya menyerang para pemilik kavling, melainkan juga pemilik rumah. Menurut Vincent, bagaimana mungkin mereka yang sudah membangun rumah bisa tentram kalau IMB kavling lain di sekelilingnya tidak bisa turun. “Mereka waswas juga kalau hidup terpencil dikelilingi ilalang.”

Vincent sendiri mengimbau agar calon konsumen tak perlu resah. Paling tidak, katanya, sampai saat kekhawatiran itu belum terbukti. Nyatanya, “IMB yang sudah didaftarkan tetap bisa keluar,”. Saat ini memang terlihat ada pembangunan beberapa rumah di kavling Sektor Utara Timur PIK (dengan patokan Jalan TolIr Sedyatmo).

Memang, Vincent mengakui, saat ini proyek reklamasi di Sektor Utara Barat seluas 4 hektare sudah diberhentikan. Tapi, pihak pengembang sekarang masih membahas permasalahannya dengan Pemda DKI. Kalau PIK terbukti bersalah, PT Mandara Permai akan bertanggung jawab. Bahkan, untuk membuat jalan tol pun, kalau itu menjadi penyelesaian final, tidak ada alasan untuk tidak dilakukan. ”Yang penting persoalannya tidak berlarut-larut. Kasihan para penghuni PIK,” katanya.

Nasib konsumen ini bukannya tidak mendapat perhartian dari Menteri Sonny. Kendati begitu, ia menyatakan tak akan segan-segan untuk menurunkan timnya jika Pemda DKI tak menangani persoalan ini secara serius. Tim yang disiapkan Sonny meliputi polisi ekonomi dan lingkungan.

Namun, Sonny sendiri tampaknya cenderung memilih jalan tengah. Baginya, yang paling penting adalah mencegah terulangnya banjir. Untuk itu ia mengusulkan agar kawasan hutan bakau ditanami kembali, sistem pemompaan airnya dilaksanakan hingga banjir bisa dicegah. “Jadi, belum tentu izin PIK akan dicabut,” ujarnya. Pencabutan izin, lanjut Sonny, baru akan Sdilakukan kalau memang kerusakan yang ditimbulkannya sangat parah atau kalau PIK memang terbukti menjadi penyebab utama bencana banjir tersebut.

Harga tergantung negosiasi dengan pemda

Jika sampai PIK terbukti menjadi biang bencana banjir, jelas pengembangnya akan mengalami kerugian berlipat ganda. Keuntungan yang sudah di depan mata pun akan terbang. Asal tahu saja, harga-harga perumahan di kawasan utara Jakarta sebenarnya sedang mengalami kenaikan, termasuk juga di PIK. Contohnya di Mediterania, blok utama dengan akses tiga jalan, di pasar sekunder harganya bisa melambung menjadi Rp 2,2 juta permeter persegi November alu. Sebelumnya harga kavling disitu dipatok Rp 1.4 juta per meter per segi. Lonjakan yang cukup tinggi, memang. Apalagi kalau dibandingkan dengan harga terendah waktu kerusuhan terjadi, yakni “cuma” Rp 1.2 juta per meter persegi.

Ramainya pemberitaan mengenai PIK di media masa memang ada pengaruhnya di pasar sekunder. Menurut Evie Irawan, Managing Director broker properti Era Lovina, ada penundaan beberapa pembelian yang sebelumnya kelihatan sudah serius. Calon pembeli menunggu sampai keadi tap. Kebanyakan pembeli di PIK memang lebih suka membeli kavling dan membangunnya sendiri untuk kawasan favorit di Sektor Utara Timur. Para pembeli kavlingini tendaa C3 Tenang AAREag medah serius. Calon pemben menunggu sampai kead: 2 tap. BanaNNAA memang lebih Suka membeli kavling dan membAngunnyasendiri untuk kawasan favorit di Sektor Utara  Timur. Para pembeli kavlingini tentu saja khawatir dengan persoalan  pengembang yang sedang bermasalah dengar/ pemda. Bila pertikaian ini tak mehemui kata sepakat, bisabisa IMB/tidak akan terbit.  

Evie sebenarnya tidak terlalu khawatir tak bisa menjual produknya di PIK saat ini. Walau beberapa minggu ini cukup banyak berita tentang PIK, ternyata tetap saja ada orang yang masih mau membeli di PIK. “Kemarin saja masih banyak yang maubeli, kok.” Para pemilik lahan juga kelihatan menunggu tidak terburu-buru mau melepaskan tanah atau rumahnya yang akan membuat harga bisa jatuh. ”Kebanyakan dari mereka berpikir kalau dijual sekarang dan uangnya disimpan di bank, bunganya terlalu kecil,” tambah Evie yang timnya biasa menjual dua unit per bulan dari PIK beberapabulan ini.

Sementara itu, harga kavling di pasar primer juga sudah mulai bergerak sejak PIK mulai lepas dari trauma kerusuhan Mei 1998. Awal tahun lalu harga tanah di Sektor Selatan, yang mendekati batas perkampungan, berharga Rp 700.000- Rp 900.000 per meter per segi. Adapun di Sektor Utara Rp 800.000-Rp 1,3 juta per meter per segi dengan diskon 304 untuk pembayaran kontan. Mulai Agustus tahun lalu harganya, belum termasuk PPN, sudah menjadi Rp 900.000 – Rp 1,1 juta semester persegi di Sektor Selatan dan Rp 1,1 juta – Rp 1,3 juta permeter persegi di sektor Utaram tanpa ada diskon.

Nah, sekarang Anda tinggal pilih mau membeli pada saat orang lain sedang ragu memilih atau melupakan saja kawasan yang mungkin akan kembali lagi menjadi hutan bakau.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Posisi Jenderal Wiranto sebagai Menko Polkam benar-benar di ujung tanduk. Senin sore lalu, Komnas HAM, berdasarkan investigasi Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM di Timor Timur, menyerahkan rekomendasiknya kepada kejaksaan Agung. Nah, yang paling mendapat perhatian publik tentu saja soal disebutnya nama Wiranto sebagai pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban karena gagal mengamankan pelaksanaan pengumuman dua opsi dari pemerintah. Seperti mendapat momen yang pas, Presiden Gus Dur kabarnya bakal mencopot Wiranto kembalinya dari lawatan ke luar negeri, 13 Februari ini.

Apakah Wiranto beserta 32 Aana pejabat militer, sipil, dan tokoh milisiitu bakal dijadikan tersangka dan dibawa ke pengadilan, inilah ujian berat bagi pemerintah. Bagaimanapun, reformasi memerlukan penegakan hukum dan HAM yang konsisten. Tapi, kasus ini juga sarat muatan politisnya. Ketika para jenderal diperiksa, banyak aksi dukungan yang bermunculan, sedangkan para petinggi TNI merasainstitusi TNI lah yang kena sasaran tembak. Secara langsung atau tidak, pro-kontra penyelidikan para jenderal ini menambah panasnya gejolak yang meruyak di berbagai daerah. Apa yang melatarbelakangi rekomendasi yang dikeluarkan KPP HAM? Selasa siang itu, wartawan KONTAN Nugroho Dewanto dan Markus Sumartomdjon mewawancarai Sekjen KPP HAM Asmara Nababan. “Sekarang bola ada pada Kejaksaan Agung,” Komnas HAM yang rambut putihnya acak-acakan.

KONTAN: Pekerjaan KPP HAM sudah selesai. Tapi, ada pandangan minor tentang hasil penyelidikan komisiini. Saksi-saksi yang didengar keterangannya, termasuk saksi korban, itu apakah didengar keterangannya langsung?

ASMARA:Ya, saksi korban, bahkan saksi pelaku. Kemudian saksi biasa yang melihat, sehingga kita melakukan ceksilang. Contohnya kasus Syafrie (Mayjen Syafrie Syamsuddin). Kedua saksi yang melihat Syafrie tetap kita konfirmasi meskipun Syafrie membantah. Tapi mereka kukuh pada penglihatan mereka bahwa mereka. Syafrie waktu pembakaran rumah Uskup. Syafrie ada di atas mobil Cherokeehijau. Pada hari yang sama, Syafrie mempunyai alibi pada hari yang sama rapat di Mabes dan ada saksi-saksinya. Sesudah Syafrie membantah,kita ke sana lagi untuk menanyakan apakah kesaksiannya benar atau tidak. Apakah kesaksiannya diubah atau tidak. Mereka tidak mau, karenasi saksi ini kenal baik dan tidak mungkin salah. Tapi dia hanyadilihat di atas mobil beberapasaat, lalu mobil itu jalan. Itu tidak menunjukkan bahwa dia terlihat. Makanya dalam rekomendasi kami, Syafrie tidak ikut.

KONTAN: Sementara itu, yang namanya disebut atau dicantumkan, itu punya keyakinan?

ASMARA:Iya, punya keyakinan. Jadi, semacam testimoni atau bukti- bukti yang mereka sudah kita cek

KONTAN: Kendati mereka membantah?

ASMARA: Membantah boleh saja. Tentu ada even yang tidak pantas seperti Damiri (Mayjen Adam Damiri), tidak ingat istilahnya.. Lupa. Jadi, pertemuan beberapa pimpinan milisi di rumahnya di Denpasar, tanggal sekian dan bulan sekiari, ketika tanya ke Damiri mereka lupa. Jadi, tidak bantah dan tidak mengiyakan.

KONTAN:Apakah pengumpulan bahannya cukup berimbang? Kan ada beberapa nama lain dari yang bukan hanya dari pihak prointegrasi yang melakukan pelanggaran HAM, misalnya dari pihak prokemerdekaan ataupun Interfet?

ASMARA: Namasih memang tidak ada, tapi kita melakukan penyelidikan terhadap tuduhan, umpamanya, yang paling kontroversial adalah pembakaran orang di pelabuhan. Ada dua versi. Versi pertama yang membakar Interfet.

Yang kedua, masyarakat yang membakar orangitu, yang diduga milisi, Interfet membiarkan. Penyelidikan kita tidak menunjukkan bukti-bukti adanya peristiwa itu. Cosgrove (Komandan Interfet) yang memberikan keterangan kepada KPP HAM mengatakan bahwa itu tidak pernah terjadi. Jadi, foto dan lain sebagainya itu efek montase, menurutpenyelidikan labolatorium mereka. Memang, kita tegaskan dari awal, dalam melihat pelanggaran jangan mempedulikan siapa pelakunya. Siapa pun pelakunya tidak ada urusan. Periksa dulu pelanggarannya,baru tahap keduanya siapa.

KONTAN: Bagaimana dengan pertimbangan politis, sebab kasus ini kan sarat muatan politik?

ASMARA: Aspekpolitisnya kita sepakati diabaikan lebih dulu. Kalau mau membuat sungguh-sungguh, mengisi proses perubahan yang ada sekarang ini dengan preseden- preseden yang dapat membangun supremasi hukum, jangan mengharapkan lembagalain, tapi dari lembagakita. Mari kita isi.

KONTAN:Sebetulnya, KPP HAM sendiri bekerja untuk bangsa sendiri atau untuk bangsa lain? Katakanlah ditunggangi kepentingan politik?

ASMARA: Kita bisa pahami kecaman-kecaman semacam itu kalau masih menganggap masalah hak asasi itu sebagai masalah lokal atau nasional, dan belum dipahami sebagaimasalah universal sehingga muncul dikotomi seperti itu. Pada peristiwa atau isu hak asasi manusia, ia universal. Artinya, kita tidak dapat mencegah munculnya kerisauan dan kepedulian dari masyarakat internasional. Kita berusaha mengungkap. kebenaran. dari. pe langgaran hak asasi manusia, itu tidak kita rancang atau tidak kita maksudkan untuk tujuan politis. Memang mudah disalahtafsirkan, karena ada penyederhanaan logika, seperti satu tambah satu menjadi dua. Padahal, sebenarnya pengungkapan itu berimpit dengan kepedulian atau kepentingan internasional. Bukan berarti ada kepentingan internasional, tapi ini berimpitan. Tidak bisa tidak, karena human rights itu masalah internasional.

KONTAN: Meski KPP HAM sudah jalan, yang mestinya bisa menunjukkan kepada internasional bahwa kita sebetulnya mampu mengurusi masalah HAM sendiri, kok-penyelidikan internasional tetap akan jalan?

ASMARA:Itu sah. Karena human rights itu universal. Concern kita tidak membatasi hanya di wilayah Indonesia saja. Kalau ada pelanggaran HAM di Kosovo, kita juga menunjukkan concern kita. Ketika kita mengungkap itu, kita tidak men-set up supaya pihak internasional tidak jalan. Tidak.

KONTAN:Penyebutan namajenderal dalam rekomendasi itu kan dianggap melanggar hak asasi Juga. Kata beberapa petinggi, ini public trial atau trial by society. Bagaimana tanggapannya?

ASMARA:Yang pertama harus dijernihkan dulu. KPP HAM tidak pernah mengumumkan nama-nama itu sampaidi Jaksa Agung. KPP HAM menyerahkan ke Komnas HAM, rapatdi sana, diterima. Bahkan beberapa ditambahi yang lebih keras dari sisi redaksinya. Lalu Komnas menyerahkan ke Jaksa Agung. Selesai penyerahan, dia umumkan kepada publik, karena publik mempunyai hak apa hasil kerja ini. Karena pekerjaan ini dibayar pakai uang publik. Publik tidak bisa menuntuthasil kerja Buyung cs. (tim advokasi perwira TNI), karena mereka bekerja bukan dibayar publik. Bukan dibayar oleh Departemen Keuangan melalui Setneg. Uang siapa itu? Kalau kita kan uang rakyat. Rakyat berhak. Tapi sampai dulu lah ke Jaksa Agung, baru kita umumkan. Sekarang ada yangbilang, trial by society atau public trial, menurut sayaitu terlalu berlebihan. Kalau dilihat, liputan media terhadap kegiatan Buyung dan kawan-kawan itu sangat seimbang. Saya pikir dulunya KPP HAM tidak pernah masuk Dunia Dalam Berita, Pukul 9. Mereka malah tiap malam. Bagaimanaini? Itu hanya tugas dari media untuk memberitakannya secara seimbang. Kalau mereka persepsikan sebagai trial, yang salah mereka Kesalahan terjadi apabila KPP HAM atau Komnas HAM mengatakan bahwa Jenderal Wiranto bersalah atau tersangka dalam pelanggaran HAM. Kalau itu memang melampaui.

KONTAN:Kata-katanya adalah”diduga terlibat”

ASMARA: Didugaterlibat. Nanti Jaksa Agung yang menyidiknya. Kalau tidak ada bukti-bukti yang lebih jauh, memang dibebaskan dari sangkaan.

KONTAN: Apa yang menyebabkan Wiranto disebutkan dalam rekomendasi?

ASMARA:Karena kesimpulannya. Seperti rantai komandonya. Dari keterangan-keterangannya dari dokumen-dokumen yang dia berikan kepiida kita, dari tayangan video kepadakita,itu tidak terbukti bahwa dia mengambil tindakan yang cukup efektif mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan yang dia tahu sebelumnya akan terjadi. Jadi, dia patut mendugga bahwa akan terjadi seperti itu. Tapi dia tidak melakukannya. Ambillah contoh terjadi pembakaran dan sebagainya. Dia malah membeberkan bahwa itu adalah reaksi spontan, karena kecewa kepada Unamet yang tidak jujur. Lho, reaksi spontan itu hanya bisa dibenarkan dalam koridor hukum jika Anda protes, Anda kirim surat, Anda mogok. Tapi, kalau reaksi spontan itu membakar, membunuh,itu kejahatan. Andatidak boleh membenarkan. Sebagai panglima, Anda tidak bisa membenarkan itu. Dan, kalau ada masyarakat Timtim yang kecewa, selama dalam koridor hukum, oke saja. Tapi, kalau mereka main bakar, bunuh-membunuh, dan lain-lain, tidak bisa tidak dia harus menindaknya.

KONTAN:Tapi, Wiranto sudah menerima Timtim dalam keadaan yang sulit. Proses ini sudah puluhan tahun dan kebetulan dia memegang komando di saat klimaksnya persoalan.

ASMARA:Kita menyadari bahwa peristiwa Januari sampai Oktober (kurun waktu penyelidikan KPP HAM itu sesuai mandatnya antara 27 Januari saat diimumkannya opsi sampai Sidang Umum MPR yang mengesahkan hasil jajak pendapat) tidak terlepas dari peristiwa sebelumnya. Makanyasalah satu butir rekomendasi KPP HAM itu jelas, meminta adanya penyelidikan dari tahun 1975. Yang dilakukan KPP HAM ini kan salah satu fragmen dari keseluruhan yang dimulai tahun 1975 kemari. Makanya KPP HAM memberikan rekomendasi ke Komnas HAM. Sebelumnya, susah membidik jendral karena kebijakan mereka itu adalah kebijakan pemerintah.

KONTAN: Bagaimana pembenaran semacam ini?

ASMARA: Tidak ada negara yang membuat kebijakan yang membenarkan pembunuhan pembunuhan, pembakaran, dan lainnya. Tugas asasi dari negara adalah melindungi semua yang ada di dalam kekuasaannya,terlepas dari keyakinan politik, agama, gender, tas, suku, dan lain sebagainya.Itu kewajiban negara. Itu standar onivekea Kalau negara tidak melakukan, itu adalah sekelompok orang-orang perampok atau perompak pemerintah. Kalau mereka berdalih hanya mengimplementasikan kebijakan pemerintah untuk kepentingan negara, harus ada akuntabilitas dari presiden pada waktu itu.Akuntabilitas apa? Akuntabilitasnya hukum atau politik. Kalau akuntabilitas politik, forumnya adalah di DPR/MPR.Tapi, kalau legal atau yuridisnya, jelas pengadilan. Tapi itu harus dibuktikan. Dalam proses penyidikan Kejaksaan Agung atau proses pengadilan, kita akan tiba akan satu tingkat, apakah Habibie yang waktu itu presiden secara legal juga diminta pertanggungjawaban.

KONTAN:Tapi di rekomendasi KPP HAM tidak ada?

ASMARA:Memang tidak ada.

KONTAN: Menurut pembelaan para jenderal, itu merupakan limbah pekerjaan dari kebijakan presiden sebelumnya yang memberikan opsi referendum. Bagaimana ini?

ASMARA: Ketika itu menjadi kejahatan atas kemanusiaan, itu menjadf tanggung jawab individual dan tidak lagi institusional. Bagi Wiranto,itu tidak dapat mengurangi pertanggungjawabannya, karena dia bisa memilih mundur kalau tidak setuju. Iya, dong. Opsiini ia duga akan menimbulkan kerugian bagi bangsa dan negara. Ya, mundur sebagai panglima, ikut-ikut pekerjaan gila Senen itu.” Semestinya begitu. Tapi dia tidak mundur. Kalau dia tidak mundur, berarti dia menyetujui.

KONTAN:Takut tidak berkuasa?

ASMARA:Ha,ha, ha…. Salah sendiri. Nah, sekarang tangan mementang bahu memikul, dong. Kita juga minta kepada mereka, bagaimana kalau kepada Habibie? Kalau mereka mengatakan, sebenarnya kita sudah merencanakan begini-begini, tapi Habibie mencegahnya, kami akan memanggil Habibie. Tapi itu tidak ada dari mereka.

KONTAN: KPP HAM tak menemun kaitannya dengan Habibie?

ASMARA: Iya, tidak dengan Habibie. Yang ada dengan panglima. Tapi kalau sampai ke Habibie, kita akan memanggil Habibie. Tapi kita tdak bisa memanggil Habibie untuk mempersoalkan kenapa dia memberikan opsi itu. Enggak bisa, itu politik. Soal keputusan politik itu ada di DPR/MPR. Memang batasnya tipis. Kita harus waspada. Memangada desakan sangat kuat untuk meanggil Habibie. Tapi jangan itu lebih banyak pertimbangan politiknya daripada hukumnya. Anggota ada yang mengatakan harus sampai Habibie. Boleh saja itu sebagai semangat. Kita rapat, kita berdebat, sampai tidak ke Habibie. Kita ulangi lagi kesepakatan. Pertimbangan politik dikesampingkan. Kita lihat saja faktanya, ada tidak testimoninya Orang-orang ini, jenderal-jenderal yang bisa menuntun ke Habibie. Tiddak ada. Ya sudah, kita drop gagasan beberapa anggota untuk kita ambil.

KONTAN: Waktu KPP HAM ini berapat di Jakarta, banyak delesi yang menanyakan kenapa yang disodorkan dari pihak sana semua, sedangkan mereka yang menyodorkan kok tidak diperiksa. Kenapa?

ASMARA: Pertama, mereka yang datang atas nama Forum Pembela Merah Putih. Mereka datang dan kita sudah selesai tahap tiga dari pekerjaan pemeriksaan kami yang memasuki tahap empat, (text hilang). Namun, mereka datang ke sini dengan menyerahkan banyak bukti yang ada laporan dan dokumen-dokumen. Itu kita pakai, dalam pengertian mengecek laproan yang di berikan Mabes TNI kepada kami.

Kedua, tidak ada keperluan yang mendesak untuk melakukan interview, apa yang mereka katakan sudah kita ketahui. Bahkan, sekarang seat penting, bukan Komnas Kejaksaan dan polisi yang sebenarnya sudah dapat menyidik mereka yang melakukan pembunuhan atau pembakaran. Tidak lagi KPP HAM Apa yang mereka sampaikan bukan hal yang baru. Terutama kejahatan yang dilakukan Fretilin sebelum 27 Januari. Padahal itu tidak untuk penyidikan. Memang, ada hal-hal baru,tapi tidak relevan kesini. Bahkan mereka minta diselidiki ke tahun 1957. Itu kan masih Portugal, bukan Indonesia. Kita tidak punya otoritas, secara legal, politis, sosiologis juga tidak punya. Kita coba jelaskan, mereka ngototsaja harus dari tahun 1959 diperiksa. Itu akan sulit juga kalau kita memeriksa pelanggaran HAM zaman kolonial Belanda di Indonesia.

KONTAN:Apa aspek moralitas dari temuan KPP HAM?

ASMARA:Pertama, dengan memakai bahasa umum, reformasi atau transformasi itu kan cangklung yang harus diisi. Salah satu yang kita isi dalam kerangka penguat adalah supremasi hukum. Kalau hukum itu di atas, siapa pun harus tunduk. Itu sisi moral penyidikan ini. Dan, bukan hanyadia itu bintang empat atau telah berjasa pada masa lampaulalu dia di atas hukum.

Yang kedua, secara lebih konkret, kita harus mulai berani memecah public impunity (kebal hukum) karena sejarah hak asasi kita secara terus-menerus menggambarkan dengan jelas impunity di Indonesia. Orang yang kebal hukum, orang yang terlibat pelanggaran HAM, naik pangkat, jadi menteri, jadi orang kaya. Selama itu masih terjadi, usaha penegakan HAM akan kandas. Ini harus dibreak. Dan itu dimulai dengan dipanggil di sini. Sampai pejabat publik mau tidak dipanggil disini. Mereka sangat sulit menerimanya. Berapa kali tim Yost Mengko (Asisten Intel Kasum TNI) bertemu dengan kita. ”Apa yang kalian minta akan kami usahakan.” Ya, tidak bisa. Saya sudah bertemu berkalikali. Oke, deh, tapi jangan di Komnas, ditempat lain.” Memangnya kenapa di Komnas? Ya, orang kan melihat berbintang empat harus datang ke Komnas HAM, bagaimana keesitu. Itu karena culture of im – (teks hilang)

KONTAN:Tapi, kini tampaknya Gus Dur ingin memecat Wiranto sekembalinya dari luar negeri. Ini bagaimana?

ASMARA:Itu urusannyadia. Itu pertimbangan poltik atau apa. Tapi Gus Dur sudah membuat komitmen bahwadia akan menegakkan hukum. Ke mana-mana dia berkhotbah di luar negeri bahwa pemerintah dia akan menegakkan hukum. Sekarang ujian bagi dia, apakah khotbahnyaitu akan dia ikuti atau cuma khotbah kosong. Dia mau tidak mau, walaupun mungkin suka atau tidak suka kepada Wiranto, itu tidak relevan lagi.

KONTAN:Apa betul KPP HAM berani “menembak” jenderal karena isinya adalah orang-orang yang anti militer?

ASMARA:Saya tidak tahu. Saya tidak bisa berbicara atas teman-teman yang lain. Tapi sebagaidiri sayasendiri, itu jelas dari mahasiswa sampai sekarang saya anti militerisme. Itu tidak bisa tidak. Tapi kalau antimiliter, ya enggak benar juga. Rasional saja, kenapa ada negara? Karena ada militer. Tapi militer yang bagaimana. Kembali kita bicarakan tadi. Kalau ada teman-teman mungkin anggota yang anti militer, kembali ke tahap keputusan adalah rapat KPP HAM. Samaseperti kasus Syafrie. Kalau saya antimiliter, masukkan saja nama Syafrie. Dia juga kita duga terlibat dalam kerusuhan Mei. Saya dulu sebagai anggota TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998) berkeyakinan dia terlibat. Nah, bias-bias itu berusaha dihilangkan melalui rapat.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
PERSPEKTIF WIMAR:
KAI ini, Perspektif Baru akan bicara tentang "resolusi konflik” dan bagaimana mengatasinya, karena konflik di negara kita akhir-akhir ini bukan hanya meningkatdari sudut pandang kuantitas, tapi juga dalam sudut pandang kualitas. Juga, kelihatannya semakin sulituntukdiselesaikan. Konflik sepertiyang kitaketahui bersama, samasekali tidak mem-bantu untuk ke luar dari krisis yang berkepanjangan ini, bahkan cenderung menciptakan krisis baru yang lebih parah.Kita bisa sebutkonflikfisik seperti yang terjadi diAceh, Poso ataupun Maluku yang belum sempurnaproses penyelesaiannya. Sementara, kita juga harus berhadapan dengan berbagai macam konflik, seperti konflik politikantarelit, konflik persepsi, serta konflik kita dengan dunia international misalnya mengenaipersoalan terorisme. Untuk membahas tentang persoalan ini dan bagaimanakita sebagai masyarakat dan sebagaipiiblik bisa mengambil bagian dalam proses penyelesaian konflik ini, Perspektif Baru menghadlirkan Asmara Nababan,Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tentang bagaimanaturut ambil bagian dalam upaya penye-lesaian konflik tersebut, dengan dipandu Ruddy Gobel.
Asmara Nababan

Pandongin Anda tentang konflik di tanah air yang cenderung meningkat kuantitas maupun kualitasnya, bagaimana?

Kita harus menyadari bahwa satu masyarakatitu tidak pernah bebas dari kon-flik. Konflik itu kalau dikelola dengan baik, justru malah memberikan peluang-peluang kemajuan bagi masyarakatitu sendiri. Jadi, Mkitu tetap ada. Yang menjadi keprihatinan adalah, konflik yang keluar dari ineka-nisme-mekanisme penyaluran dan menggunakan kekerasan atau melakukan penyelesaian-penyelesaian yang melanggar hukum. Konflik semacam inilah yang sebenarnya memberikan dampak buruk bagi satu masyarakat, apakah itu menyangkutsolidar-itas masyarakat ataupun menghambat kemajuan dari masyarakatitu sendiri. Ini yang harus dicermati, dan dicari jalan kelu-arnya atau resolusi atas konflik yang menggunakan kekerasan. Juga konflik yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum, apakah itu hukum kebiasaan maupun hukum positif di masyarakat maupundi satu bangsa.

Kalau melihat ciri-ciri kenflik yang ada di Indonesia, bisakah Anda memberikan elaborasi bagaimana karakteristiknya dan kemudian seperti apa yang bisa dikatakan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegaya?

Pertama, secara klasik konflik dibagi dua, yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik vertikal ketika terjadi konflik antara penguasa dan masyarakat, sedangkan kon-flik. horizontal antara kolompok masyarakat dengan kelompok masyarakat. Pemisahan ini sebenarnya hanyateoritis, dalam prak-tiknyaitu saling terkait. Tidak pernah ada yang murni, konflik horizontal atau murni konflik vertikal. Nah, yang patut kita lihat di dalam konflik horizontal, bagaimanapun juga tanggung jawab dari negaraitu tetap tidak hilang. Bila terjadi konflik horizontal, maka sebenarnya yang bertanggung jawab pertama-tama adalah negara, dalam hal ini peme-rintah, Itu hal pertama yangtidak boleh dilu-pakan. Kedua, kalau dilihat konflik yang ada di Indonesia berdasarkan satu pengamatan yang dalam, satu analisis yang dalam akan sampai kepada dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan. Apakah itu di Papua, Aceh, Poso, Maluku, Ambon, dan tempat-tempat lainnya. Pada bottom line-nya atau dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan. Ketidakadilan sosial, ekonomi, moral dan ketidakadilan po-litik. Nah, berbagai ketidakadilan itu dima-nifestasikan dalam konflik. Jadi, kalau ada pemikiran mengenai “esolusi konflik” makapenyelesaian konflik yang fisik itu kalau tidak diikuti dengan penyelesaian masalah-masalah ketidakadilan, makasifat penyele-saian persoalan kekerasan itu sifatnya sementara.

Karena sebagian besar adalah masyarakat umum yang cukup sulit membicarakan perbedaan konflik dari sudut pandang teoritis, mungkin secara praktis, konflik yang terjadi misalnya konflik politik antar elit politik, kemudian perbedaan pendapat sedemikian tajam sampai kemudian mengganggu atau merusakcitra negeri ini. Atau, katakanlan kemudian ada konflik-konflik lain misalnya pelanggaran hukum tapitidak kemudian memberikan dampak langsung terhadap terjadinya kekerasan lain. Apakah ini termasuk konflik yang perlu kita hindari?

Kalau kita lihat konflik antarelit politik, sebenarnya konflik semacam itu bisa memberikan kebaikan kepada masyarakat. Dimana masyarakatkita itu dipaksa harus cerdas untuk mengetahui dan memilah mana yang gabah, mana yangberas. Jadi, konflik antara pemimpin itu sepanjang tidak menggunakan kekerasan, sepanjang tidak melanggar hukum itu bagi saya sesuatu yang wajar yang dapat mencerdaskan masyarakat. Yang harus kita tolak, adalah konflik yang diikuti dengan kekerasan atau konflik yang mem-by pass peraturan-peraturan dan bukan hanya peraturan hukum legal positif tetapi juga kepantasan, atauran-aturan moral, pedoman moral. Masyarakat harus tolak konflik-konflik semacam itu.

Bila kita bicara tentangperan pemerintah, tentu sangat krusial dalam proses penyelesaian konflik. Bagaimana Anda memberikan evaluasi tentang peran yang dilakukan pemerintah dalam upaya untuk pengentasan persoalan yang terjadi misalnya di Aceh, Poso dan lain-lain lewat upaya-upaya yang sudah dilakukan misalnya dengan Malino dan lain lain? Apakah itu sudah cukup sebagaisyarat formal untuk penyelesaian sebuah konflik?

Pertama, kalau kita melihat upaya-upaya yang ada sudah cukup  signifikan. Hanya kita lihat pada Konflik Poso, Maluku dan Ambon dimana ada Malino I dan MalinoII. Itu satu langkah yang kita sambut baik. Namun seperti yang saya katakan sebelumnya, Malino I dan MalinoII ini sebenarnya hanya langkah pertama yang harusnyadiikuti denganlangkah-langkah selanjutnya. Malino I dan Malino II memberikan kondisi kepada masyarakat untuk kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berkonflik itu, untuk membuka diri kepada kemungkinan perdamaian. Memang belum terjadi perdamaian. Dan, kemungkinan itu menjadi terbuka. Nah, di sana sebenarnya saya melihat upamanya kelemahanatau kesungguh-sungguhan dari pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. Langkah langkah berikut itu harus sampai kepada menyentuh dasar dari konflik. Alasan utama dari konflik itu, yaitu masalah-masalah keadilan. Itu makanya, kalau membayangkan penyelesaian Poso dan Ambon,saya bayangkan dalam satu dua tahun terjadi percakapan, negosiasi, perundingan antara kelompok tersebut setidak-tidaknya bagi saya enam sampai delapan kali. Jadi, ada Malino I, MalinoII, Malino III sampai Malino VIII untuk Poso, begitu juga untuk Ambon. Karena tidak mungkin kita harapkan dalam satu negosiasi, dalam satu perundingan yang hanya berjalan dua hari semuapersoalan itu bisa diselesaikan. Hanya sayangnya, waktu itu seakan-akan perjanjian Malino I untuk Poso dan Malino II untuk Ambon dipersepsikan sebagai lampu aladin, yang kalau digosok semua persoalan selesai. Padahal, dia hanya pembukapeluang kepada penyelesaian damai, belum penyelesesaian damai. Untuk penyelesaian damai, diperlukan negosiasinegosiasi yang terus-menerus. Nah, siapa yang berkewajiban, siapa yang berkewenangan untuk mengambil langkah-langkah tersebut? Pemerintah.Itu jelas, konstitusi kita memerintahkan tugas, meletakkan tugas dan tanggung jawab di tangan negara terutama pemerintah.

Kita masih bicara soal Malino yang merupakan prasyarat, atau merupakan satu awal dari proses perdamaian. Langkah langkah yang Anda maksudkan, selain langkah-langkah dialog dan langkah-langkah perundingan. Apakah ada langkah-langkah lain yang lebih konkret yang bisa dilakukan pemerintah?

Kalau kita lihat dari lampiran dari Malino I dan Malino II, itu memuat daftar kegiatan dan time table. Jadi, umpamanya kapan mulai dilakukan, berapa lama dan seterusnya, banyak orang yang tidak tahu bahwa ternyata lampiran dari perjanjian tersebut tidak terlaksana. Ada penundaan-penundaan, dan celakanya penundaan-penundaan itu tidak pernah dikomunikasikan kepada kedua belah pihak berikut alasan-alasannya.Itu, menyebabkan kepercayaan yang mulai timbul di kedua belah pihak merosot lagi. Ini serius tidak sih pemerintahnya? Tadinyakan sudah mulai percaya. Nah, itu umpama kelemahannya. Kalau itu kita tanya mengapa, saya tidak tahu apa komitmen yang mestinya sangat kuat dari pemerintah untuk mengambil langkah-langkah lanjutan itu. Oke, bisa saja time table atau jangka waktu dan waktu disusunnya kurangrealistis. Dikomunikasikanlah kepada keduabelah pihak, ini Iho terpaksa kita tunda, karena begini-begini. Karena tidak ada penjelasan semacam itu, keduabelah pihak bisa mengambil kesimpulan masing-masing yang sifatnya spekulatif, dan itu mengurangi serta memerosotkan lagi kepercayaan yang sudah mulai terbangun baik antarkelompok maupun kelompok dengan pemerintah.

Jadi, kalau bisa kita katakan ini sebetulnya persoalan komunikasi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok yang terlibat atau yang bertikai? Nah bagaimana dengan upaya penyelesaian kalau bisa kita katakan itu sebagai upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk daerah lain, misalnya kon Nik yang terjadi di Aceh dan kemudian di Papua. Bagaimana penilaian Anda?

Kalau kita bicara dalam konteks Aceh maupun Papua, maka sebenarnya sampai sekarang belum jelas. Sikap pemerintahdalam menyelesaikan konflik itu, masih mendua. Di satu pihak mengatakan akan menempuh jalan perundingan perdamaian,tapi di pihak lain juga menonjolkan penyelesaian yang militeristik baik itu di Papua atau di Aceh. Bagi saya, pendekatan semacam ini tidak akan pernah dapat menyelesaikan konflik. Kalau saya melihat sifat dan besarnya konflik sertaakibatnya terutama bagi korban di Papua dan di Aceh, maka pilihan satu-satunya menurut saya adalah melalui negosiasidan jalan perdamaian perundingan dan lain sebagainya. Hanya dengan demikian, kita dapat menyelesaikan masalah Papua maupun masalah Aceh dengan tidak mengorbankan jiwa rakyat yang pada umumnya tidak berdosa tidak tahu soal apapun tapi mereka menjadi korban, baik jiwanya, nyawanya juga harta bendanya. Singkatkata, bagi Aceh dan Papua menurutsaya penyelesaian konfliknya harus ditempuh melaluijalan damai, perundingan negosiasi.

Apakah kita sebagai masyarakat, bisa ikut terlibat dalam upaya untuk menyelesaikan persoalan konflik itu?

Sebenarnya, masyarakat dapat mengambil peranan atau tanggung jawab dalam penyelesaian konflik itu dengan cara yang sangat sederhana. Pertama, mengungkapkan secara terbuka bahwa masyarakat menolak penyelesaian konflik kekerasan, tapi mendorong perdamaian.Ini harus diekspresikan sebagai bukti dari solidaritas kita kepada korban dari konflik, apa pun motivasi alasan konflik itu. Jadi, ini harus kita ekspresikan. Sayang, kita belum begitu terbiasa dengan pengungkapan solidaritas yang peaceful, yang damai. Umpamanya, kebiasaan mengirim surat kepada pemerintah bahwasaya ibu rumah tangga, namasi“ini” menyatakan keperihatinan terhadap konflik umumnya di Poso. Mendesak pemerintah menyelesaikannya secara adil dan damai. Coba bisa dibayangkan kalau adasurat seperti ini tiap hari, tiba di mejanya presiden 50 saja tiap hari. Dalam satu tahun, akan ada ribuan surat. Itu, saya pikir akan mendorong serta mengubah persepsi pemerintah terhadap masyarakat. Jadi, ekspresi itu harus dibiasakan dalam masyarakat, jangan diam. Diam itu bisa ditafsirkan menyetujui. Jadi, dia harus mengekspresikan menolak. “Kami menolak konflik kekerasan, kamipro perdamaian”. Penyelesaian konflik secara damai itu yang pertama. Yang kedua, yang bisa dilakukan masyarakat, adalah melengkapi dirinya untuk tidak ikut dalam konflik. Hemat saya, dua hal tersebutbisa dilakukan semua orang dalam upaya menyelesaikan konflik.

Apakah dua perilaku yang Anda sebutkan tadi sudah ada di kalangan masyarakat kita? Kalau pun kelihatannya masih kurang, bagaimana cara untuk menyosialisasikannya?

Memang masih kurang,tetapijelas sudah ada di berbagai kota secara spontan vestasi dari penolakan terhadap kelompok kekerasan.Umpamanya dalam kasus Ambon, kita tahu ada Baku Bae satu inisiatif dari kelompok masyarakatlepas dari apa pun agamanya yang menolak kekerasan dan mendorong penyelesaian damai. Peranan pendidikan, peranan mediaitu sangat strategis untuk menggalangsolidaritas dan memberanikan masyarakat mengekspresikan dirinya. Saya pikir, itu perubahannya cukup signifikan kalau dibandingkan dengan lima tahun yang lalu. Kalau kita bisa dengar talkshow di radio, di televisi, respon dari khalayak masyarakat sudah makin positif.

Menarik pembahasan Anda, karena sembat tersebut peran media. Dalam situasi pers yang bebas seperti ini, kita tentu merasakan betapa media memainkan peran yang sangai penting, terutama dalam hal-hal yang bersinggungan dengan opini masyarakat. Kalau melihat kondisi pemberitaan media massa selamaini, ada kesan atau barangkali mung kin hanya kesan saya, media itu lebih senang memberitakan hal-hal yangsifatnya kontroversial misalnya begitu ada bom, bom yang dijadikan headline’ bukan tentang bagaimana masyarakat menyikapi ini. Bagaimana penilaian Anda?

Saya membayangkanlima sampai 1C tahun ke depan, media massa kita masih dalam suasana pencarian bentuk keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Selama 30 tahun, tanggung jawab lebih dikemukakan dan kebebasan dihambat. Tiba-tiba pada 1998 kita terbuka. Ada switch, sekarang kebebasan sangat utama dan tanggung jawab sangat sedikit, butuh waktu untuk menyeimbangkan itu. Tetapi saya akan menolak, kalau ada upaya sekarang untuk mengekang media massa. Proses. itu akan berjalan sendiri, dan masyarakatjuga akan semakin cerdas untuk . menerimaberita dari media, tidak mudah lagi berubah karena pemberitaan headline dan lain sebagainya. Itu juga butuh proses waktu. Tetapi tentu masyarakat mengharapkan dan itu wajarsaja, bahwa mediaitu juga disamping suka kepada persoalan-persoalan yang kontroversial perlu juga memberikan perspektif untuk penyelesaian persoalan. Saya pikir, dialog kita saat ini merupakan bagian dari tanggung jawab media untuk masalah masalah yang sangat mendesakdi tengah-tengah masyarakat, yaitu konflik.

Tentu tidak sah, kalau kita bicara tentang penyelesaian konflik tapikita tidak berbicara tentang hukum dan keadilan. Kemudian kalau hukum, kita juga tentu harus berbicara tentang siapa yang berperan dalam proses penegakan hukum tentu mulai dari DPR yang menciptakan undang-undang (UU), kemudian ada aparat-aparat lain ikut serta dalam proses penegakan hukum seperti polisi dan kejaksaan. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, apakah kita sudah cukup siap dari sudut pandanginfrastruktur UU-nya maupun dalam sudut pandang aparatnya?

Ini yang menjadi persoalan, mengapa konflik itu berlarutlarut. Karena, memang sistem penegakan hukum dan keadilan kita itu belum dapat memenuhituntutan dari masyarakat dalam bidang hukum dan keadilan. Kita tahu, bahwa sistem penegakan hukum dan keadilan kitaapakah itu UU-nya, aparatnya, dan seterusnya itu kan selama 30 tahun didisain untuk melayani kepentingan penguasa. Untuk itu, kita membutuhkan satu reformasi hukum, reformasi bukan hanya reformasi perundangundangan, peraturan perundang-undangan tapi juga mereform orang-orang kepolisian, kejaksaan, pengadilan lembaga kemasyarakatan dan seterusnya. Tapi, ini membutuhkan satu generasi, 25 tahun paling tidakbaru satu reformasibisa paripurna. Oleh karena itu, sebenarnya peranan hukum dan keadilan pada masa transisi semacam ini harus dilengkapi dengan apa yang dikenal dengan instrumen-instrumen transitional justice. Jadi, instrumen-instrumen penegakan hukum dan keadilan yang diperlakukan dalam masa transisi.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Kali ini kita akan bicara tentang Resolusi konflik dan bagaimana mengatasinya karena konflik di negara kita rercinta ini akhir-akhir ini bukan hanya meningkat tapi dalam sudut pandang kualitas. Juga kelihatannya semakin sulit untuk diselesaikan. Konflik tentu seperti yang kita ketahui bersama sama sekalitidak membantu kita untuk keluar darikrisis yang berkepanjanganini bahkan cenderung. menciptakan krisis baru yang lebih parah. Kita bisa sebut konflik fisik seperti yang terjadi di Aceh, Poso ataupun Maluku yang belum sempurnaproses penyelesaiannya. Sementara kita juga harus berhadapan dengan berbagai macam konflik seperti konflik politik antar para elit, kemudian konflik persepsi, serta konflik kita dengan dunia international, misalnya mengenai persoalan terorisme. Untuk membahastentang persoalanini dan bagaimana kita sebagai masyarakat dan sebagai publik bisa mengambil bagian dalam proses penyelesaian konflik ini, kami kedatangan Bapak Asmara Nababan. Beliau adalah Sekejen nomisi Nasionai Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada kesempatanini kita akan tanyakan pada beliau bagaimana kita bisa ikut ambil bagian dalam upaya penyelesaian konflik ini. Saya Ruddy Gobel, pemandu Perspektif Baru kali ini.

Asmara Nababan

Pandangan Anda tentang konflik di tanah dir yang cenderung meningkat kuantitas maupun kualitasnya. Bagaimana pendapat Anda?

Jadi pertama kita harus menyadari bahwa satu masyarakat itu tidak pernah bebas dari konflik. Konflik itu kalau dikelola secara baik, justru malah memberikan peluang-peluang kemajuan bagi masyarakatitu sendiri. Jadi konflik itu tetap ada. Yang menjadi keprihatinan kita adalah konflik yang keluar dari mekanisme-mekanisme penyaluran dan menggunakan kekerasanatau melakukan penyelesaian-penyelesaian yang melanggar hukum. Konflik semacam inilah yang sebenarnya memberikan dampak buruk bagi satu masyarakat, apakah itu menyangkut solidaritas masyarakat ataupun menghambat kemajuan dari masyarakatitu sendiri. Ini yang haruskita cermati dan kita cari jalan keluarnya atau resolusi atas konflik yang menggunakan kekerasan, juga konflik yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum,apakah itu hukum kebiasaan maupun hukum positif di masyarakat maupun di satu bangsa. Ini yang harus menjadi keprihatinan kita.

Kalau melihat ciri-ciri konflik yang ada di Indonesia, mungkin Anda dapat memberikan elaborasi bagaimana karakteristiknya dan kemudian seperti apa yang bisa dikatakan membahayakan kehidupankita sebagai kehidupan berbangsa dan bernegara?

Jadi secara klasik konflik dibagi dua yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik ver-tikal ketikaterjadi konflik antara penguasa dan masyarakat, sedangkan konflik horizontal itu antara kolompok masyarakat dengan kelompok masyarakat. Pemisahan ini sebenarnya hanya teoritis, dalam prakteknyaitu saling terkait. Tidak pernah ada yang murnikonflik horizon-tal atau murnikonflik vertikal. Nah yang patut kita lihat di dalam konflik horizontal adalah bagaimanapunjuga tanggung jawabdari negara itu tetap tidak hilang. Bila terjadi konflik hori-zontal maka sebenarnya yang bertanggung jawab pertama-tama adalah negara, dalam hal ini Pemerintah.Itu hal pertama yangtidak boleh dilupakan. Yang kedua,kalau kita lihat konflik yang ada di Indonesia berdasarkan satu pengamatan yang dalam, satu analisis yang dalam akan sampai kepada dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan. Apakah itu di Papua, Aceh, Poso, Maluku, Ambon, dan tempat-tempat lainnya. Pada bottom line-nya atau dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan, ketidakadilan sosial, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan moral, ketidakadilan politik. Nah, ketidakadilan-ketidakadilan ini dimanifestasikan dalam konflik. Jadi kalau ada pemikiran kita mengenai resolusi konflik maka penyele-saian konflik yangfisik itu kalau tidak diikuti dengan penyelesaian masalah-masalah ketidakadilan, maka sifat penyelesaian resolusi konflik yang menyelesaikan persoalan kekerasanitu sifatnya sementara.

Karena sebagian besarpendengar Perspektif Baru kita tentu adalah masyarakat umum yang agak sulit membicarakan perbedaan konflik dari sudut pandang teoritis. Mungkin kalau kita berbicara praktis, konflik yang terjadi misalnya konflik politik antar paraelit politik kemudian perbedaan pendapat sedemikian tajam sampai kemudian mengganggu atau merusak citra Indonesia. Atau katakanlah kemudian ada konflik-konflik lain seperti misalnya pelanggaran hukum tapitidak kemudian memberikan dampak langsung terhadap terjadinya kekerasan lain. Apakah ini termasuk konflik yang perlu kita hindari?

Kalau kita lihat konflik antara elit politik, sebenarnya konflik semacam itu bisa memberikan kebaikan kepada masyarakat. Dimana masyarakat kita itu dipaksa harus cerdas untuk mengetahui dan memilah mana yang gabah, mana yang beras. Jadi konflik antara pemimpin itu sepanjang tidak menggunakan kekerasan, sepanjang tidak melanggar hukum itu bagi saya sesuatu yang wajar yang dapat mencerdaskan masyarakat. Yang harus kita tolak adalah konflik yang diikuti dengan ke-kerasan atau konflik yang mem-bypass peraturan-peraturan dan bukan hanya peraturan hukum legal positif tetapi juga kepantasan, atauran-aturan moral, pedoman moral. Masyarakat harus tolak konflik-konflik semacam itu.

Bila kita bicara tentang peran Pemerintah tentu sangat krusial dalam proses penyelesaian konflik. Bagaimana Anda memberikan evaluasi tentang peran yang dilakukan Pemerintah dalam upaya untukpementasan persoalan yang terjadi misalnya di Aceh, Poso dan lain-lain lewat upaya-upaya yang sudahdilakukan misalnya dengan Malino dan lain-lain. Apakah itu sudah cukup sebagai syarat formal untuk penyelesaian sebuah konflik?

Pertama kalau kita melihat upaya-upaya yang ada yang dirasa cukup signifikankan. Hanya kita lihat pada konflik Poso dan Maluku, Ambon dimana ada Malino I dan Malino II. Itu satu langkah yang kita sambut baik. Namun seperti yang saya katakan sebelumnya, Malino I dan MalinoII ini sebenarnya hanya langkah pertama yang harusnya diikuti dengan langkah-langkah selanjutnya. Malino I dan Malino II memberikan kondisi kepada masyarakat untuk kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berkonflik itu untuk membukadiri kepada kemungkinan perdamaian. Memang belum terjadi perdamaian. Tapi kemungkinan itu menjadi terbuka. Nah disana sebenarnyasaya melihat upamanya kelemahan atau kesungguh-sungguhan dari Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. Langkah-langkah berikutitu harus sampai kepada menyentuh dasar dari konflik. Alasan utama dari konflik itu yaitu masalah-masalah keadilan. Itu makanya kalau saya membayangkan penyelesaian Poso dan Ambon, saya bayangkan dalam satu dua tahun terjadi percakapan, negosiasi, perundingan antara kelompok tersebut setidak-tidaknya bagi saya enam sampai delapan kali. Jadi ada Malino I, Malino II, Malino III sampai Mali-no VIII untuk Poso, begitu juga untuk Ambon. Karena tidak mungkin kita harapkan dalam satu negosiasi, dalam satu perundingan yang hanya berjalan dua hari semua persoalan itu bisa diselesaikan. Hanya sayangnya waktu itu seakan-akan perjanjian Malino I untuk Poso dan Malino II untuk Ambon dipersepsikan sebagai lampu aladin, yang kalau digosok semua persoalan selesai. Padahal dia hanya pembuka peluang kepadapenyelesaian damai, belum penyelesesaian damai. Untuk penyelesaian damai itu diperlukan negosiasi-negosiasi yang terus menerus. Nah siapa yang berkewajiban, siapa yang berkewenangan untuk mengambil langkah-langkah tersebut? Pemerintah. Itu jelas, konstitusi kita memerintahkan tugas, meletakkan tugas dan tanggung jawab di tangan negara terutama Pemerintah.

Kita masih bicara soal Malino yang merupakan pra-syarat atau merupakan satu awal dariproses perdamaian. Nah langkah-langkah yang dimaksudkan Anda, selain langkah-langkah dialog dan langkah-langkah perundingan. Apakah ada langkah-langkah lain yang lebih konkrit yang bisa dilakukan Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan di Ambon dan Poso?

Kalau kita lihat dari lampiran dari Malino I dan MalinoII, itu memuat daftar kegiatan dan time table. Jadi umpamanya kapan mulai dilakukan, berapa lama dan seterusnya, banyak orang yangtidak tahu bahwa ternyata lampiran dari perjanjian tersebut tidak terlaksana. Ada penundaan-penundaan dan celakanya penundaan-penundaan itu tidak pernah dikomunikasikan kepada keduabelah pihak berikut alasan-alasannya. Itu menyebabkan keper-cayaan yang mulai timbul di keduabelah pihak itu merosot lagi. Ini serius tidak sih pemerintahnya? Tadinyakan sudah mulai percaya. Nah itu umpama kelemahannya. Kalau itu kita tanya kenapa, saya tidak tahu apa komitmen yang mestinya sangat kuat dari Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah lanjutan itu. Oke bisa saja time table atau jangka waktu dan waktu disusunnya kurang realistis. Dikomunikasikanlah kepada kedua belah pihak. Ini Iho terpaksa kita tunda, karena begini-begini. Karena tidak ada penjelasan semacam itu, kedua belah pihak bisa mengam-bil kesimpulan masing-masing yangsifatnya spekulatif dan itu mengurangi serta memerpsotkan lagi kepercayaan yang sudah mulaiter- . bangun baik antar kelompok maupun kelompok dengan Pemerintah

Jadi kalau bisa kita katakan ini sebetul-nya persoalan komunikasi antara Pemerin-tah dengan kelompok-kelompokyangterli-bat atau yang bertikai. Nah bagaimana de-ngan upaya penyelesaian kalau bisa kita katakan itu sebagai upaya yang sudah di-lakukan oleh Pemerintah untuk daerah lain, misalnya konflik yang terjadi di Aceh dan kemudian di Papua. Penilaian Anda sepert iapa?

Kalau kita bicara dalam konteks Aceh maupun Papua, maka sebenarnya sampai sekarang belum jelas ya. Sikap Pemerintah dalani menyelesaikan konflik itu masih mendua. Di satu pihak mengatakan akan menempuh jalan perundingan perdamaian tapidi pihak lain juga menonjolkan penyelesaian yang militeristik, baik itu di Papua atau di Aceh.. Bagi saya pendekatan semacam ini tidak akan pernah dapat menyelesaikan konflik. Kalau saya melihat sifat dan besarnya konflik serta akibatnya terutamabagi korban di Papua dan di Aceh, maka pilihan satu-satunya menurutsaya adalah melalui negosiasi dan jalan-jalan perdamaian perundingan dan lain sebagainya. Hanya dengan demikian kita dapat menyelesaikan masalah Papua maupun masalah Aceh dengan tidak mengorbankanjiwa rakyat yang pada umumnya tidak berdosa, tidak tahu soal apapun tapi mereka menjadi korban, baik jiwanya, nyawanya juga harta bendanya. Jadi singkat kata bagi Aceh dan Papua menurut saya penyelesaian konfliknya harus ditempuh melalui jalan damai, perundingan negosiasi.

Apakah kita sebagai masyarakat bisa ikut terlibat dalam upaya untuk menyelesaikan persoalan konflik ini? 

Pertama-tama sebenarnya masyarakat dapat mengambilperananatau tanggung jawab dalam penyelesaian konflik itu dengan cara yang sangat sederhana. Pertama mengungkapkan secara terbuka bahwa masyarakat menolak penyelesaian konflik kekerasan tapi mendorong perdamaian. Ini harus diekspresikan sebagai bukti dari solidaritas kita kepada korban dari konflik-konflik, apapun motivasi alasan konflik itu. Jadi ini harus kita ekspresikan. Sayang kita belum begitu terbiasa dengan pengungkapan solidaritas yang peaceful, yang damai. Upamanya kebiasaan mengirim surat kepada Pemerintah bahwa saya ibu rumah tangga, namasi “ini’ menyatakan keperihatinan terhadap konflik di Poso. Mendesak Pemerintah menyelesaikannya secara adil dan damai. Coba Anda bisa bayangkan kalau adasurat seperti ini tiap hari, tiba di mejanya presiden saja tiap hari. Dalam satu tahun akan adaribuan surat. Itu saya pikir akan mendorongserta merubah persepsi dari pemerintah terhadap masyarakat. Jadi ekspresi itu harus dibiasakan dalam masyarakat, jangan diam. Diam itu bisa ditafsirkan menyetujui. Jadi dia harus mengekspresikan menolak. “Kami menolak konflik kekerasan, kami pro perdamaian”. Penyelesaian konflik secara damaiitu yang pertama. Yang kedua barangkali yang bisa dilakukan masyarakat adalah melengkapi dirinya untuk tidak ikut dalam konflik. Saya pikir dua hal yang bisa dilakukan semua orang dalam upaya menyelesaikan konflik.

Apakah dua perilaku yang Anda sebutkan tadi sudah ada di kalangan masyarakat kita dan kalau pun kelihatannya masih kurang, bagaimana cara untuk mensosialisasikan ke mereka? 

Ya memang masih kurang tetapi jelas sudah ada di berbagai kota secara spontan muncul, umpamanya bentuk-bentuk manivestasi dari penolakan terhadap kelompok kekerasan. Umpamanya dalam kasus Ambon, kita tahu ada Baku Baesatuinisiatif dari. kelompok masyarakatlepas dari apapun agamanya yang menolak kekerasan dan mendorongpenyele-saian damai. Peranan pendidikan, peranan media itu sangatstrategis untuk menggalang solidaritas dan memberanikan masyarakat mengekspresikan dirinya. Sayapikiritu perubahannya cukup signifikan kalau dibandingkan dengan.lima tahun yang lalu. Kalau kita bisa dengar talkshow di radio, di televisi, respon dari khalayak masyarakat sudah makin positif.

Menarik pembahasan Anda tadi karena sempat tersebut peran media. Dalam situasi persyang bebas seperti ini kita tentu merasakan betapa media memainkan peran yang sangat penting, terutama dalam hal-hal yang bersinggungan dengan opini masyarakat. Kalau melihat kondisi pemberitaan media masa selama ini ada kesan atau barangkali mungkin hanya kesan saya, media itu lebih senangmemberitakan hal-hal yang sifatnya kontroversial misalnya begitu ada bom, bom yang dijadikan headline bukan tentang bagaimana masyarakat menyikapi ini. Bagaimana penilaian Anda?

Saya membayangkanlima sampai sepuluh tahunke depan, media kita masihdalam suasana pencarian bentuk keseimbanganantara kebebasan dan tanggung jawab. Selama 30 tahun tanggung jawab lebih dikemukakan dan kebebasan dihambat. Tiba-tiba pada 1998 kita terbuka. Ada switch, sekarang kebebasan sangat utama dan tanggung jawabsangatsedikit, butuh waktu untuk menyeimbangkanitu. Tetapi saya akan menolak kalau ada upaya sekarang untuk mengekang media. Prosesitu akan berjalan sendiri dan masyarakatjuga akan semakin cerdas untuk menerimaberita dari media, tidak mudah lagi berubah karena pemberitaan head-line dan lainsebagainya.Itu butuh juga proses waktu. Tetapi tentu masyarakat mengharap-kan dan itu wajar saja, bahwa mediaitu juga di samping suka .kepada persoalan-persoalan yang kontroversial perlu juga memberikan perspektif untuk penyelesaian persoalan. Saya pikir dialog kita saat ini, merupakan bagian dari tanggung jawab media untuk mencerdas-kan khalayaknya dalam masalah-masalahyang sangat mendesak ditengah-tengah masyarakat yaitu konflik.

Tentu tidak sah kalau kita bicara tentang penyelesaian konflik tapi kita tidak berbicara tentang hukum dan keadilan. Nah kemudian kalau hukum kita juga tentu harus berbicara tentang siapa yang berperan dalam proses penegakan hukum tentu mulai dari DPR yang menciptakan UU, kemudian ada aparat-aparat lain ikut serta dalam proses penegakan hukumseperti polisi dan kejak-Saan. Kalau dilihat dari sudut pandang ini apakah kita sudah cukup siap dari sudut pandang infrastruktur UU-nya maupun dalam sudut pandang aparatnya?

Ini yang menjadipersoalan kenapakonflik itu berlarut-larut karena memangsistem penegakan hukum dan keadilan kitaitu belum dapat memenuhi tuntutan dari masyarakat dalam bidang hukum dan keadilan. Kita tahu bahwasistem penegakan hukum dan keadilan kita apakah itu UU-nya, aparatnya, dan seterusnyaitu kan selama 30 tahun didisain untuk melayani kepentingan penguasa. Untuk itu kitamembutuhkan satu reformasi ho-kum, reformasi bukan hanyareformasi perundang-undangan, peraturan perundang-undangan tapi juga me-reform’orang-orang kepolisian, kejaksa-an,pengadilan lembaga kemasyarakatan dan seterusnya. Tetapi ini kan membutuhkan satu ge-nerasi, 25 tahun paling tidak baru satu reformasi bisaparipurna. Oleh karenaitu sebenarnya peran-an hukum dan keadilan padamasatransisi semacam ini itu harus dilengkapi dengan apa yang dikenal dengan instrumen-instrumentransisional justice. Jadi instrumen-instrumen penegakan hukum dan keadilan yang diperlakukan dalam masa transisi.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Menurut Anda, apakah kondisi HAM di era reformasi ini lebih baik daripada masa Orba?

Jawabannya tidak sederhana. Kalau kita lihat situasi sekarang, ada dua paradoksal. Pertama, setelah era Soeharto ada kemajuan atau promosi HAM yang besar. Misalnya, kini sudah ada piagam HAMIndonesia yang ditetapkan pada Sidang Istimewa MPR.Kita juga mempunyai Rancangan Aksi Nasional HAM (RANHAM)5 tahun. RANHAM ini sebagai tindak lanjut kesepakatan Konferensi HAM sedunia di Vienna 1993. Ada juga pembebasan tapol dan kebebasan pers. Ini menunjukkan kecenderungan yang menggembirakan. Paradoknya, sekarang ini atau tepatnya sejak kerusuhan Mei, di tanah air terus menerus cenderung terjadi pelanggaran HAM dalam skala yang besar. Bahkan memakan korban dan kerugian yang luar biasa. Mengapa terjadi paradoks? Di mana persoalannya? Menurutsaya akar masalahnya karena pemerintah sekarangtidak sanggup atau tidak mampu untuk menyelesaikannya. Atau, bahkan mungkin pemerintah tidak mau secara sungguh-sungguh meningkatkan perlindungan HAM. Mengapa tidak mau?

Sebenarnya kasus pelanggaran HAM baru selesai jika beberapa hal berikut dipenuhi. Pertama, di pengadilan pelakunya mendapat hukumanyang setimpal. Kedua, korban mendapatrehabilitasi dan kompensasi. Ketiga, adajaminan pelanggaranitu tidak terulanglagi. Daritiga indikator ini jelas, mengapa penyelesaian HAM tidak pernah tuntas. Kita juga heran pada kasus penculikan aktivis, mengapa komandan-komandannyatidak pernah diadili, termasuk Prabowo. Pertanyaannya: Apakah pemerintah mampu? Menurut saya mampu tapi tidak mau. Ini contoh bagaimana pemerintah sekarang tidak mau menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Pemerintah selalu mengatakan bahwa mereka sudah tahu provokatordi balik kerusuhan-kerusuhan. Hanya,kalau sudah tahu mengapa merekatidak dibawa ke pengadilan? Dalam standar internasional, dalam negara demokratis, pemerintahlah yang bertanggung jawab melindungi HAM.

Konkretnya?

Pemerintah kita salah. Pertama, pemerintah gagal dalam memberikan perlindungan. Kedua, pemerintah gagal dalam


menyelesaikan pelanggaran. Ini yang sering dilupakan orang. Pemerintahitu kewajiban asasinya melindungisetiap warganya,jadi kalau terjadi pelanggaran HAMberarti itu kegagalan pemerintah. Yang jelas, di era reformasi ini masih ada pihak yang tidak mau menyelesaikan pelanggaran HAM.Jika pelanggaran tidak : diselesaikan maka pengulangan itu akan terus terjadi.

Dalam pelaksanaan HAM,Indonesia kini ada di posisi berapa?

Dulu UNDP menempatkan Indonesia di posisi ke-20, posisi terendah dalam pelaksanaan HAM. Indikator yang dipakai untuk menentukanposisiini cukup banyak, antara lain: kebebasanpers, kebebasan orang keluar negeri, dan kebebasan dalam peradilan. Sekarang,saya kira posisi kita belum banyak berubah. Alasannya, karenaperlindungan efektif pada HAM disini masih jauh, masih sangat kurang.

Katanya kita sudah mempunyai piagam HAM?

Itulah. Punya tapi hanya retorika. Masyarakat ingin yang

riil. Retorikanya bagus namun realitasnya lain, misalnya terjadinya banyak korban seperti di Maluku, Sambas, lalu bagaimana menjelaskannya? Juga, siapa yang mau bertanggung jawab? Banyak orang mengusulkan agar Soeharto di-Pinochetkan (Pinochet adalah mantan orang kuat Chili yang dituntut Spanyol untuk diekstradisi karena banyak melakukan pelanggaran, red.). Pendapat Anda? Setiap pihak di muka bumi ini bisa menuntut kejahatan atas kemanusiaan yang pernah dilakukan Soeharto. Kalau pengadilan di Indonesia mandul, apa ada kemungkinan Soeharto dituntut lewat Mahkamah Internasional? Itu agak sulit. Kasus Pinochet saja hingga sate belum bisa dibawa ke Mahkamah Internasional. Nah, jika Soeharto mau dibawa ke Mahkamah Internasional, maka pertama-tama harus jelas terlebih dahulu tuduhannya apa. Kalau tidak jelas, itu tidak fair. Sama seperti saya dan Anda yang harus dihormati hak-haknya.

Walaupun sudah jelas pelanggarannya,semisal pelanggaran HAMdi Aceh, Timtim, Irja, Lampung, Madura dan masih banyak lagi yang lainnya?


Nah, itulah. Semua harus diungkapkan dan harus ada tuduhan resmi apa kejahatannya. Tidak bisa hanya dikatakan dia menyelewengkan kekuasaan, titik. Tetapi menyelewengkan kekuasaan yang menyebabkan apa? Baru sesudah itu diadili.

Mengatasi pelaksanaan HAM di Indonesia yang terkesan “jalan di tempat”, saran Anda selaku anggota Komnas HAM?

Kita perlu belajar tentang penerapan HAM dinegara lain, terutama Afrika Selatan. Kita perlu mengupayakan penyelesaian HAM melalui komisi tersendiri’di luar Komnas HAM. Komisi inilah yang bertugas memeriksa berbagai pelanggaran HAM yang terjadi dari tahun 1963-1995. SeharusnyadiIndonesiaperlu dibentuk komisi seperti itu. Singkatnya, kita membentuk sebuah komisi yang memeriksa Derap! pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun. Tujuan dibentuknya komisi ini ialah untuk mengetahui pola pelanggaran HAM yang terjadi, sebab-sebab mengapa pelanggaran itu terjadi, kemudian bagaimana memperbaikinya. Anda kalau hendak memperbaiki mobil harus tahu salahnya di mana. Sama seperti orang sakit. Kalau Anda ingin mengobati orang, Anda mesti tahu apa sakitnya. Jadi yang diketahui jangan

hanya demamnya. Pertanyaan “Mengapa demam?” harus diketahui terlebih dahulu. Bila diketahui demam karena infeksi, perlu dicari lagi infeksinya di mana. Jadi kalau ingin memperbaiki keadaan ke depan, kita harus mempelajari kesalahan masa lampau. Nah, untuk itulah perlu dibentuk komisi yang dapat mengungkappelanggaran HAM yang terjadi.

Setelah diungkap?

Pengungkapan itu bukan hanya untuk menghukum pelaku, tapi juga memberi kesempatan rekonsiliasi. Maksudnya, para pelaku apakah dia jenderal, kolonel yang mengakui kesalahannya di hadapan polisi, ia mendapat amnesti, pengampunan. Pengungkapan masa lampau juga memberi perhatian pada korban dan keluarganya. Mereka mendapatrehabilitasi dan kompensasi. Afrika sudah menjawabpersoalantadi, kita belum. Mungkin ABRI merasaitu — hanya memojokkan dirinya.

Kalau menurut Komnas HAM sendiri?

Itu bukan memojokkan. Kita hendak mengungkap kebenaran. Bahwa kemudian diampuni,itu bisa terjadi. Tetapi harus jelas dahulu “apakah benar korban di Aceh itu


hanya ekses operasi atau memang operasinya yangsalah sehinggaterjadi korban. Pemerintah sekarang — kan menganggap itu ekses.

Tapi Habibie kan sudah minta maaf?

Ya, Habibie minta maaf karena menganggapitu ekses. Bagi orang Aceh itu bukan ekses. Kebijakan itu sendiri salah. Nah, sekarang siapakah jenderal yang sudah dituntut, dibawa ke pengadilan karenaperistiwa Aceh? Nggak ada kan! Jadi orang Aceh merasa diperlakukan tidak adil. Begitu juga di Irian. Lihat penderitaan sekian ratus orang korban operasi militer, apakah disiksa, diperkosa dan sebagainya. Apakah ada pelaku yangdiadili? Apakah ada jenderal yang diadili? Nggak ada. Mengapa? Karena semua menganggap hal tersebut hanya ekses, oknum, kesalahan prosedur. Karena itu kita masih menunggu pemerintahan baru yang bisa memberikankepastian jawaban atas persoalan ini.

Apakah karena itu pula belakangan marak tuntutan beberapa daerah untuk berdiri sendiri?

Yang jelas masyarakat merasa diperlakukan tidak adil dalam waktu yang lama, baik dalam hal ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Mereka menuntut. Selama tidak ada kepastian dan keadilan, maka mereka memilih jalanlain, lepas dari Indonesia. Untuk menghindari halini maka keadilan harus ditegakkan.

Dengan masih bercokolnya ABRI di DPR dalam jumlah besar, apa tanggapan Anda?

Persoalannya kan begini. Kita membutuhkan angkatan bersenjata yang dapat memainkan peranannya dengan profesional. Kita lihat sekarang, baik kepolisian maupun ABRItidak mampu mencegah kerusuhan dan meluasnyakerusuhan, baik pada kerusuhan Ketapang, Maluku, Sambas dan sebagainya. Ini menunjukkan tingkat profesionalisme yang rendah. Mengapa rendah? Karena ABRI mengurus segala-galanya. Bidang sosial, politik, ekonomi semua diurus sehinggatidak ada waktu, energi, sumber daya yang cukup untuk memanggul tugas yang utama. Jadi, kalau ABRI ingin profesional, maka mereka harus meninggalkan dwifungsinya.


Bagaimana Anda menyikapi kasus Budiman Sudjatmiko yang menolak grasi?

Kalau dia menerima grasi berarti dia mengaku bahwa dia bersalah. Padahal menurut Budiman, dia mengaku tidak bersalah. Karena itu dia minta amnesti.

Kalau ada yang menganggap Komnas HAMbertindak diskriminatif?

Tentu ada suara yang mengatakan seperti itu. Tapi kami tidak diskriminatif. Justru prinsip utama kami non-diskriminatif. Apa pun agamanya, seksnya, sukunya, jika hak mereka dilanggar maka kami akan bela. Kejadian di Ambonkita juga kirim tim ke sana, bahkan hampir mati. Ke Sambas juga.

Apa yang menggerakkan Andaterjun di LSM?

Tahun 66 Orla melakukan berbagai ketidakadilan, melakukan pelanggaran HAM, dan otoritarian. Sebagai

mahasiswa saya menentang, ikut unjuk rasa. Tahun 1976 sebagian dari kami, menyadari bahwa pemerintahan Orba di bawah Soeharto pun mulai melakukan hal yang sama.

Bagaimana Anda tahu kalau Orba melakukan penyelewengan?

Misalnya, pada kasus pendirian TMII, dana yang diperlukan besar padahal rakyat Indonesia ketika itu masih miskin.

Apakah ada teladan dari Tuhan Yesus yang memberi inspirasi kepada Andauntuk melayani di LSM?

Saya selalu teringat kisah orang Samaria yang murah hati. Pada kisah itu Tuhan Yesus bertanya: Siapakah dari ketiga orang yang lewat: imam, orang Lewi dan orang Samaria yang merupakan sesama bagi sang korban? Jadi, ketika ada korban pelanggaran HAM, pertanyaanitu selalu saya ingat.”Apakahsaya juga telah menjadi sesama bagi si korban? Inilah yang menyebabkansaya terjun membela korban-korban pelanggaran HAM.


Bagaimana menurut Anda, apakahgereja sekarang sudah peduli dengan urusan HAM?

Bila gereja diartikan sebagai individu, pribadi, saya kira sudah banyak yang peduli. Kita sebagai pribadi kan juga gereja. Namun sebagai institusi, saya lihat baru-baru ini saja pedulinya. Contohnya kasus Ketapang. Ketika gereja dibakar, banyak gereja lain yang memberikan bantuan.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Asmara Nababan Anggota Dewan Pengurus
Elsam

Jika tujuannya adalah untuk menghilangkan penyiksaan atau penganiayaan dalam pemeriksaan, tidak harus dengan meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan kan mengesahkannya menjadi undang-undang. Yang lebih penting kita membudayakan ketentuan-ketentuan yang sudah ada, seperti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kita harus betul-betul melaksanakan apa yang menjadi ide dasar dari KUHAP itu. Sebab, sejauh ini KUHAP itu dianggap sebagai tulisan-tulisan saja.

Sepintas, secara formal, meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan memang diperlukan. Kalau sekarang konvensi itu sudah ditandatangani dan sudah merupakan suatu undang-undang, bagaimana pula penerapannya? Yang menjadi masalah adalah cara untuk membuktikan telah terjadi penganiayaan atau penyiksaan. Lalu, ada

dua akibat. Pertama, segi penindakan terhadap pelaku pemukulan. Kedua, segi pengakuan itu dianggap tidak sah demi hukum. Semua perkara seseorang yang dipukul saat pemeriksaan akan batal demi hukum karena pengakuannya berdasarkan paksaan dan intimidasi. Banyak sekali orang yang menarik BAP-nya di pengadilan karena ia mengaku dipukul dan sebagainya. Tapi, dia tidak bisa membuktikannya. Yang paling penting, menjaga agar jangan sampai terulang lagi pemukulan dalam pemeriksaan, bukan dengan undang-undang. Penyidik harus membudayakan scientific investigation, penyidikan secara ilmiah.

Penyiksaan saatPemeriksaan itu Sebenarnyajuga sudah diantisipasi pada saat KUHAP dibuat. Antisipasi pertama, mengubah kalimat dan susunan dari alat bukti.


Kalau dulu (dalam HIR-Red.), alat bukti “yang pertama itu adalah pengakuan terdakwa,lalu keterangan saksi,surat-surat,baru ke petunjuk. Nah, KUHAP mengubahnya. Yang pertama dalam keterangansaksi.Kedua, keterangan ahli, lalu surat surat petunjuk, baru yangterakhir keteranganter- ‘ dakwa.Jadi, ditekankandi sana, bukan pengakuan, melainkan keterangan. labukan sekadar urutan dan penggantian kalimat itu. . Ide dasarnya apa? Satu, janganmencaripengaku- 1 |an, tapi keterangansaja. Kedua, sej tangkap,ia dapat menghubungippengacaranya.Kalau toh memanginidilaksanakan pada saat seorang — terdakwa diperiksa,pengacaranya dapat melihat dan dapat mendengar apakah dia ditekan secara psikis atau tidak. Ini, lo, arti dari pasal-pasal itu. Ini antisipasi kedua.

Kalau di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ada pertanyaan, “Apakah Saudara mau didampingi pengacara?” Jawabannya, “Tidak.” Apa benartidak? Bisa saja tersangka tidak menginginkan pengacara, tapi harus ada orang lainyang menyaksikan bahwa d memang tidak mau. Selama ini, sepertinya hanya pernyataan pihak penyidik saja bahwa si tersangka tidak mau didampingi pengacara. Nah, saya mengusulkan adakan suatu lembaga pengacara yang siap

sedia 24 jam. Dananya dari subsidi silang pengacara-pengacara yang sudah mapan: mereka harus memberi dana untuk ini setiap bulan. Jadi, paling tidak, ada pengacara yang ikut mendampingi tersangka kapan pun, misalnya, saja kalau pemeriksaannya dilakukan pada pukul 3 pagi. Harus ada yang mendampinginya. Kalau hal-hal itu dilakukan dengan benar, saya rasa tidak akan ada penyiksaan.

Jadi ini juga akan mengarah ke sistem seperti konvensi itu. Konvensi itupun, kalau mau diratifikasi, harus dilihat pasalnya satu per satu beriku dampaknya.Kita tidak langsung menelan bulat-bulat apa yangada di perjanjian internasionalitu. Umpamanya, kita meratifikasi undang-undangitu, tapi kalau tidak terkontrol, percuma. Peradilan Tata Usaha Negarasaja, begitu kasusnya diputus, banyak jabat tidak mau melaksanakan putusannya. Adaakibatnya memang kalau Indonesiatidak meratifikasi konvensiitu. Apa pun yang ada di Indo- ‘nesia, biasanya orang luar mencari yang jelek-je- . leknya. Banyak orangluar selalu mencari kelemahan-kelemahan kita. Memang betul kita banyakk lemahan,tapi yang demikian itu menjadi lebih menonjol di luar.


“Semua perkara seseorang yang dipukul saat pemeriksaan akan batal demi hukum karena pengakuannya berdasarkan paksaan dan intimidasi.”


Konvensi Antipenyiksaan

Banyak faktor mengapa ada penyiksaan dalam penyelidikan, misalnya soal pendidikan dan keterampilan para penyidik. Yang utama adalah moral. Tapi, moral saja pun tidak cukup mengatasi terjadinya penyiksaan dalam penyidikan. Juga tidak cukup KUHP dan KUHAP. Menurut KUHAP, pengakuanpun itu justru tidak penting. Tapi, mengapa pengakuan ini yang justru dikejar? Walaupun dia tidak mengaku, tetapi bukti-bukti materiil dan saksi mengatakan bahwa dia pelakunya, dia kena hukum. Dan sebaliknya, dia mengaku panjang lebar bahkan sumpah segala, tetapi bukti-bukti materiil dan saksi mengatakan sebaliknya, dia tidak bisa dihukum.Penganiayaan terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan itu sebetulnya bukan tidak diatur dalam KUHAP. Perkaranya itu otomatis gugur. Tapi, kalau di pengadilan ada terdakwa mengaku bahw selama diperiksa dia disiksa, biasanya pengadilan jalan terus. Karena itulah, harus ada instrumen yang efektif, seperti Konvensi Antipenyiksaan itu untuk menghukum penyiksa.

Penyiksaan dalam penyidikan memang belum tentu hilang kalau kita meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan itu.

Tetapi, yang menarik dari ratifikasi itu: kalau seorang korban penyiksaan dalam penyidikan tidak mendapat perlindungan pemerintah, masyarakat internasional dapat mencampurinya. Negara kita bisa digugat oleh warga negaranya maupun oleh negara lain jika terjadi penyiksaan terhadap warga negara Indonesia. Seorang yang merasa tidak dapat perlindungan dari sistem hukum kita, dia dapat mengadu ke Commission of Human Rights. Jadi, kalau terjadi penyiksaan terhadap warga negara kita, kita tidak bisa menolah seandainya PBB mengirim ahlinya untuk melakukan observasi di sini. Dan kalau ada intervensi dari PBB, itu harus dilihat sebagai intervensi legal, bukan politis. Untuk membuktikan adanya penyuksaan itu, PBB sudah punya lembaga yang memiliki catatan standar internasional. Sepintar-pintarnya penyiksa, biasanya penyiksaan itu bisa dibuktikan; terungkap.


Kita harus meratifikasi konvensi itu karena kita sudah menandatanganinya. Sampai sekarang, tidak jelas kenapa konvensi itu tidak diratifikasi. Secara moral kita memang terikat oleh konvensi itu setelah menandatanganinya, tetapi karena human rights sendiri kan universal. Tidak bisa seperti itu! Kalau mau berdaulat seratus persen, isolasi saja sekalian, seperti zaman Bung Karno, keluar dari PBB.

Memang tidak ada sanki internasional jika tak meratifikasi konvensi itu, tetapi ada akibatnya dalam pergaulan antarbangsa. Misalnya, kita mengutuk pelanggaran terhadap penyiksaan yang terjadi di Bosnia, negara lain bisa memprotes, “Indonesia tidak mau meratifikasi konvensi antipenyiksaan, kok ikut memprotes kejadian di Bosnia.” Memang negara lain tidak bisa memaksa meratifikasi. Tapi, tiap tahun kita harus melapor ke PBB ihwal langkah-langkah yang kita buat untuk menghapuskan penyiksaan ini. Dan di sini kita tidak bisa berbohong. Konsekuensi meratifikasi konvensi itu, kita harus melakukan perubahan dalam kewajiban-kewajiban negara, memeriksa peraturan perundangan. Memang ada

persoalan dalam apa yang disebut harmonisasi atau penyelarasan undang-undang atau peraturan yang ada pada kita dengan konvensi tadi. Tapi, negara-negara anggota bebas membuat reservasi agar pasal-pasal tertentu belum berlaku. Kemudian harus merevisi ketentuan-ketentuan pemeriksaanm interogasim untuk memastikan tidak adanya penyiksaan selama pemeriksaan. Negara juga wajib mendidik kembali pejabat-pejabat militer maupun sipil yang berkaitan dengan penudukan ini. Konsekuensi lain, negara kita juga harus melaporkan sudah berapa undang-undang yang kita buat, berapa banyak pejabat atau penyidik yang sudah kita perbaiki atau kita tindak setiap tahun.

Sebenarnya, penghapusan penyiksaan-penyiksaan di Indonesia itu kan konstitusional-filosofis. Pancasila pada sila kedua itu kan kemanusiaan. Jadi, Pancasila tidak bisa hanya ditaruh di ruang-ruang penataran, atau dibacakan dalam upacara, tidak boleh hanya menjadi ritus, tetapi harus menjadi realitas dalam kehidupan bangsa kita.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts