Posisi Jenderal Wiranto sebagai Menko Polkam benar-benar di ujung tanduk. Senin sore lalu, Komnas HAM, berdasarkan investigasi Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM di Timor Timur, menyerahkan rekomendasiknya kepada kejaksaan Agung. Nah, yang paling mendapat perhatian publik tentu saja soal disebutnya nama Wiranto sebagai pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban karena gagal mengamankan pelaksanaan pengumuman dua opsi dari pemerintah. Seperti mendapat momen yang pas, Presiden Gus Dur kabarnya bakal mencopot Wiranto kembalinya dari lawatan ke luar negeri, 13 Februari ini.
Apakah Wiranto beserta 32 Aana pejabat militer, sipil, dan tokoh milisiitu bakal dijadikan tersangka dan dibawa ke pengadilan, inilah ujian berat bagi pemerintah. Bagaimanapun, reformasi memerlukan penegakan hukum dan HAM yang konsisten. Tapi, kasus ini juga sarat muatan politisnya. Ketika para jenderal diperiksa, banyak aksi dukungan yang bermunculan, sedangkan para petinggi TNI merasainstitusi TNI lah yang kena sasaran tembak. Secara langsung atau tidak, pro-kontra penyelidikan para jenderal ini menambah panasnya gejolak yang meruyak di berbagai daerah. Apa yang melatarbelakangi rekomendasi yang dikeluarkan KPP HAM? Selasa siang itu, wartawan KONTAN Nugroho Dewanto dan Markus Sumartomdjon mewawancarai Sekjen KPP HAM Asmara Nababan. “Sekarang bola ada pada Kejaksaan Agung,” Komnas HAM yang rambut putihnya acak-acakan.
KONTAN: Pekerjaan KPP HAM sudah selesai. Tapi, ada pandangan minor tentang hasil penyelidikan komisiini. Saksi-saksi yang didengar keterangannya, termasuk saksi korban, itu apakah didengar keterangannya langsung?
ASMARA:Ya, saksi korban, bahkan saksi pelaku. Kemudian saksi biasa yang melihat, sehingga kita melakukan ceksilang. Contohnya kasus Syafrie (Mayjen Syafrie Syamsuddin). Kedua saksi yang melihat Syafrie tetap kita konfirmasi meskipun Syafrie membantah. Tapi mereka kukuh pada penglihatan mereka bahwa mereka. Syafrie waktu pembakaran rumah Uskup. Syafrie ada di atas mobil Cherokeehijau. Pada hari yang sama, Syafrie mempunyai alibi pada hari yang sama rapat di Mabes dan ada saksi-saksinya. Sesudah Syafrie membantah,kita ke sana lagi untuk menanyakan apakah kesaksiannya benar atau tidak. Apakah kesaksiannya diubah atau tidak. Mereka tidak mau, karenasi saksi ini kenal baik dan tidak mungkin salah. Tapi dia hanyadilihat di atas mobil beberapasaat, lalu mobil itu jalan. Itu tidak menunjukkan bahwa dia terlihat. Makanya dalam rekomendasi kami, Syafrie tidak ikut.
KONTAN: Sementara itu, yang namanya disebut atau dicantumkan, itu punya keyakinan?
ASMARA:Iya, punya keyakinan. Jadi, semacam testimoni atau bukti- bukti yang mereka sudah kita cek
KONTAN: Kendati mereka membantah?
ASMARA: Membantah boleh saja. Tentu ada even yang tidak pantas seperti Damiri (Mayjen Adam Damiri), tidak ingat istilahnya.. Lupa. Jadi, pertemuan beberapa pimpinan milisi di rumahnya di Denpasar, tanggal sekian dan bulan sekiari, ketika tanya ke Damiri mereka lupa. Jadi, tidak bantah dan tidak mengiyakan.
KONTAN:Apakah pengumpulan bahannya cukup berimbang? Kan ada beberapa nama lain dari yang bukan hanya dari pihak prointegrasi yang melakukan pelanggaran HAM, misalnya dari pihak prokemerdekaan ataupun Interfet?
ASMARA: Namasih memang tidak ada, tapi kita melakukan penyelidikan terhadap tuduhan, umpamanya, yang paling kontroversial adalah pembakaran orang di pelabuhan. Ada dua versi. Versi pertama yang membakar Interfet.
Yang kedua, masyarakat yang membakar orangitu, yang diduga milisi, Interfet membiarkan. Penyelidikan kita tidak menunjukkan bukti-bukti adanya peristiwa itu. Cosgrove (Komandan Interfet) yang memberikan keterangan kepada KPP HAM mengatakan bahwa itu tidak pernah terjadi. Jadi, foto dan lain sebagainya itu efek montase, menurutpenyelidikan labolatorium mereka. Memang, kita tegaskan dari awal, dalam melihat pelanggaran jangan mempedulikan siapa pelakunya. Siapa pun pelakunya tidak ada urusan. Periksa dulu pelanggarannya,baru tahap keduanya siapa.
KONTAN: Bagaimana dengan pertimbangan politis, sebab kasus ini kan sarat muatan politik?
ASMARA: Aspekpolitisnya kita sepakati diabaikan lebih dulu. Kalau mau membuat sungguh-sungguh, mengisi proses perubahan yang ada sekarang ini dengan preseden- preseden yang dapat membangun supremasi hukum, jangan mengharapkan lembagalain, tapi dari lembagakita. Mari kita isi.
KONTAN:Sebetulnya, KPP HAM sendiri bekerja untuk bangsa sendiri atau untuk bangsa lain? Katakanlah ditunggangi kepentingan politik?
ASMARA: Kita bisa pahami kecaman-kecaman semacam itu kalau masih menganggap masalah hak asasi itu sebagai masalah lokal atau nasional, dan belum dipahami sebagaimasalah universal sehingga muncul dikotomi seperti itu. Pada peristiwa atau isu hak asasi manusia, ia universal. Artinya, kita tidak dapat mencegah munculnya kerisauan dan kepedulian dari masyarakat internasional. Kita berusaha mengungkap. kebenaran. dari. pe langgaran hak asasi manusia, itu tidak kita rancang atau tidak kita maksudkan untuk tujuan politis. Memang mudah disalahtafsirkan, karena ada penyederhanaan logika, seperti satu tambah satu menjadi dua. Padahal, sebenarnya pengungkapan itu berimpit dengan kepedulian atau kepentingan internasional. Bukan berarti ada kepentingan internasional, tapi ini berimpitan. Tidak bisa tidak, karena human rights itu masalah internasional.
KONTAN: Meski KPP HAM sudah jalan, yang mestinya bisa menunjukkan kepada internasional bahwa kita sebetulnya mampu mengurusi masalah HAM sendiri, kok-penyelidikan internasional tetap akan jalan?
ASMARA:Itu sah. Karena human rights itu universal. Concern kita tidak membatasi hanya di wilayah Indonesia saja. Kalau ada pelanggaran HAM di Kosovo, kita juga menunjukkan concern kita. Ketika kita mengungkap itu, kita tidak men-set up supaya pihak internasional tidak jalan. Tidak.
KONTAN:Penyebutan namajenderal dalam rekomendasi itu kan dianggap melanggar hak asasi Juga. Kata beberapa petinggi, ini public trial atau trial by society. Bagaimana tanggapannya?
ASMARA:Yang pertama harus dijernihkan dulu. KPP HAM tidak pernah mengumumkan nama-nama itu sampaidi Jaksa Agung. KPP HAM menyerahkan ke Komnas HAM, rapatdi sana, diterima. Bahkan beberapa ditambahi yang lebih keras dari sisi redaksinya. Lalu Komnas menyerahkan ke Jaksa Agung. Selesai penyerahan, dia umumkan kepada publik, karena publik mempunyai hak apa hasil kerja ini. Karena pekerjaan ini dibayar pakai uang publik. Publik tidak bisa menuntuthasil kerja Buyung cs. (tim advokasi perwira TNI), karena mereka bekerja bukan dibayar publik. Bukan dibayar oleh Departemen Keuangan melalui Setneg. Uang siapa itu? Kalau kita kan uang rakyat. Rakyat berhak. Tapi sampai dulu lah ke Jaksa Agung, baru kita umumkan. Sekarang ada yangbilang, trial by society atau public trial, menurut sayaitu terlalu berlebihan. Kalau dilihat, liputan media terhadap kegiatan Buyung dan kawan-kawan itu sangat seimbang. Saya pikir dulunya KPP HAM tidak pernah masuk Dunia Dalam Berita, Pukul 9. Mereka malah tiap malam. Bagaimanaini? Itu hanya tugas dari media untuk memberitakannya secara seimbang. Kalau mereka persepsikan sebagai trial, yang salah mereka Kesalahan terjadi apabila KPP HAM atau Komnas HAM mengatakan bahwa Jenderal Wiranto bersalah atau tersangka dalam pelanggaran HAM. Kalau itu memang melampaui.
KONTAN:Kata-katanya adalah”diduga terlibat”
ASMARA: Didugaterlibat. Nanti Jaksa Agung yang menyidiknya. Kalau tidak ada bukti-bukti yang lebih jauh, memang dibebaskan dari sangkaan.
KONTAN: Apa yang menyebabkan Wiranto disebutkan dalam rekomendasi?
ASMARA:Karena kesimpulannya. Seperti rantai komandonya. Dari keterangan-keterangannya dari dokumen-dokumen yang dia berikan kepiida kita, dari tayangan video kepadakita,itu tidak terbukti bahwa dia mengambil tindakan yang cukup efektif mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan yang dia tahu sebelumnya akan terjadi. Jadi, dia patut mendugga bahwa akan terjadi seperti itu. Tapi dia tidak melakukannya. Ambillah contoh terjadi pembakaran dan sebagainya. Dia malah membeberkan bahwa itu adalah reaksi spontan, karena kecewa kepada Unamet yang tidak jujur. Lho, reaksi spontan itu hanya bisa dibenarkan dalam koridor hukum jika Anda protes, Anda kirim surat, Anda mogok. Tapi, kalau reaksi spontan itu membakar, membunuh,itu kejahatan. Andatidak boleh membenarkan. Sebagai panglima, Anda tidak bisa membenarkan itu. Dan, kalau ada masyarakat Timtim yang kecewa, selama dalam koridor hukum, oke saja. Tapi, kalau mereka main bakar, bunuh-membunuh, dan lain-lain, tidak bisa tidak dia harus menindaknya.
KONTAN:Tapi, Wiranto sudah menerima Timtim dalam keadaan yang sulit. Proses ini sudah puluhan tahun dan kebetulan dia memegang komando di saat klimaksnya persoalan.
ASMARA:Kita menyadari bahwa peristiwa Januari sampai Oktober (kurun waktu penyelidikan KPP HAM itu sesuai mandatnya antara 27 Januari saat diimumkannya opsi sampai Sidang Umum MPR yang mengesahkan hasil jajak pendapat) tidak terlepas dari peristiwa sebelumnya. Makanyasalah satu butir rekomendasi KPP HAM itu jelas, meminta adanya penyelidikan dari tahun 1975. Yang dilakukan KPP HAM ini kan salah satu fragmen dari keseluruhan yang dimulai tahun 1975 kemari. Makanya KPP HAM memberikan rekomendasi ke Komnas HAM. Sebelumnya, susah membidik jendral karena kebijakan mereka itu adalah kebijakan pemerintah.
KONTAN: Bagaimana pembenaran semacam ini?
ASMARA: Tidak ada negara yang membuat kebijakan yang membenarkan pembunuhan pembunuhan, pembakaran, dan lainnya. Tugas asasi dari negara adalah melindungi semua yang ada di dalam kekuasaannya,terlepas dari keyakinan politik, agama, gender, tas, suku, dan lain sebagainya.Itu kewajiban negara. Itu standar onivekea Kalau negara tidak melakukan, itu adalah sekelompok orang-orang perampok atau perompak pemerintah. Kalau mereka berdalih hanya mengimplementasikan kebijakan pemerintah untuk kepentingan negara, harus ada akuntabilitas dari presiden pada waktu itu.Akuntabilitas apa? Akuntabilitasnya hukum atau politik. Kalau akuntabilitas politik, forumnya adalah di DPR/MPR.Tapi, kalau legal atau yuridisnya, jelas pengadilan. Tapi itu harus dibuktikan. Dalam proses penyidikan Kejaksaan Agung atau proses pengadilan, kita akan tiba akan satu tingkat, apakah Habibie yang waktu itu presiden secara legal juga diminta pertanggungjawaban.
KONTAN:Tapi di rekomendasi KPP HAM tidak ada?
ASMARA:Memang tidak ada.
KONTAN: Menurut pembelaan para jenderal, itu merupakan limbah pekerjaan dari kebijakan presiden sebelumnya yang memberikan opsi referendum. Bagaimana ini?
ASMARA: Ketika itu menjadi kejahatan atas kemanusiaan, itu menjadf tanggung jawab individual dan tidak lagi institusional. Bagi Wiranto,itu tidak dapat mengurangi pertanggungjawabannya, karena dia bisa memilih mundur kalau tidak setuju. Iya, dong. Opsiini ia duga akan menimbulkan kerugian bagi bangsa dan negara. Ya, mundur sebagai panglima, ikut-ikut pekerjaan gila Senen itu.” Semestinya begitu. Tapi dia tidak mundur. Kalau dia tidak mundur, berarti dia menyetujui.
KONTAN:Takut tidak berkuasa?
ASMARA:Ha,ha, ha…. Salah sendiri. Nah, sekarang tangan mementang bahu memikul, dong. Kita juga minta kepada mereka, bagaimana kalau kepada Habibie? Kalau mereka mengatakan, sebenarnya kita sudah merencanakan begini-begini, tapi Habibie mencegahnya, kami akan memanggil Habibie. Tapi itu tidak ada dari mereka.
KONTAN: KPP HAM tak menemun kaitannya dengan Habibie?
ASMARA: Iya, tidak dengan Habibie. Yang ada dengan panglima. Tapi kalau sampai ke Habibie, kita akan memanggil Habibie. Tapi kita tdak bisa memanggil Habibie untuk mempersoalkan kenapa dia memberikan opsi itu. Enggak bisa, itu politik. Soal keputusan politik itu ada di DPR/MPR. Memang batasnya tipis. Kita harus waspada. Memangada desakan sangat kuat untuk meanggil Habibie. Tapi jangan itu lebih banyak pertimbangan politiknya daripada hukumnya. Anggota ada yang mengatakan harus sampai Habibie. Boleh saja itu sebagai semangat. Kita rapat, kita berdebat, sampai tidak ke Habibie. Kita ulangi lagi kesepakatan. Pertimbangan politik dikesampingkan. Kita lihat saja faktanya, ada tidak testimoninya Orang-orang ini, jenderal-jenderal yang bisa menuntun ke Habibie. Tiddak ada. Ya sudah, kita drop gagasan beberapa anggota untuk kita ambil.
KONTAN: Waktu KPP HAM ini berapat di Jakarta, banyak delesi yang menanyakan kenapa yang disodorkan dari pihak sana semua, sedangkan mereka yang menyodorkan kok tidak diperiksa. Kenapa?
ASMARA: Pertama, mereka yang datang atas nama Forum Pembela Merah Putih. Mereka datang dan kita sudah selesai tahap tiga dari pekerjaan pemeriksaan kami yang memasuki tahap empat, (text hilang). Namun, mereka datang ke sini dengan menyerahkan banyak bukti yang ada laporan dan dokumen-dokumen. Itu kita pakai, dalam pengertian mengecek laproan yang di berikan Mabes TNI kepada kami.
Kedua, tidak ada keperluan yang mendesak untuk melakukan interview, apa yang mereka katakan sudah kita ketahui. Bahkan, sekarang seat penting, bukan Komnas Kejaksaan dan polisi yang sebenarnya sudah dapat menyidik mereka yang melakukan pembunuhan atau pembakaran. Tidak lagi KPP HAM Apa yang mereka sampaikan bukan hal yang baru. Terutama kejahatan yang dilakukan Fretilin sebelum 27 Januari. Padahal itu tidak untuk penyidikan. Memang, ada hal-hal baru,tapi tidak relevan kesini. Bahkan mereka minta diselidiki ke tahun 1957. Itu kan masih Portugal, bukan Indonesia. Kita tidak punya otoritas, secara legal, politis, sosiologis juga tidak punya. Kita coba jelaskan, mereka ngototsaja harus dari tahun 1959 diperiksa. Itu akan sulit juga kalau kita memeriksa pelanggaran HAM zaman kolonial Belanda di Indonesia.
KONTAN:Apa aspek moralitas dari temuan KPP HAM?
ASMARA:Pertama, dengan memakai bahasa umum, reformasi atau transformasi itu kan cangklung yang harus diisi. Salah satu yang kita isi dalam kerangka penguat adalah supremasi hukum. Kalau hukum itu di atas, siapa pun harus tunduk. Itu sisi moral penyidikan ini. Dan, bukan hanyadia itu bintang empat atau telah berjasa pada masa lampaulalu dia di atas hukum.
Yang kedua, secara lebih konkret, kita harus mulai berani memecah public impunity (kebal hukum) karena sejarah hak asasi kita secara terus-menerus menggambarkan dengan jelas impunity di Indonesia. Orang yang kebal hukum, orang yang terlibat pelanggaran HAM, naik pangkat, jadi menteri, jadi orang kaya. Selama itu masih terjadi, usaha penegakan HAM akan kandas. Ini harus dibreak. Dan itu dimulai dengan dipanggil di sini. Sampai pejabat publik mau tidak dipanggil disini. Mereka sangat sulit menerimanya. Berapa kali tim Yost Mengko (Asisten Intel Kasum TNI) bertemu dengan kita. ”Apa yang kalian minta akan kami usahakan.” Ya, tidak bisa. Saya sudah bertemu berkalikali. Oke, deh, tapi jangan di Komnas, ditempat lain.” Memangnya kenapa di Komnas? Ya, orang kan melihat berbintang empat harus datang ke Komnas HAM, bagaimana keesitu. Itu karena culture of im – (teks hilang)
KONTAN:Tapi, kini tampaknya Gus Dur ingin memecat Wiranto sekembalinya dari luar negeri. Ini bagaimana?
ASMARA:Itu urusannyadia. Itu pertimbangan poltik atau apa. Tapi Gus Dur sudah membuat komitmen bahwadia akan menegakkan hukum. Ke mana-mana dia berkhotbah di luar negeri bahwa pemerintah dia akan menegakkan hukum. Sekarang ujian bagi dia, apakah khotbahnyaitu akan dia ikuti atau cuma khotbah kosong. Dia mau tidak mau, walaupun mungkin suka atau tidak suka kepada Wiranto, itu tidak relevan lagi.
KONTAN:Apa betul KPP HAM berani “menembak” jenderal karena isinya adalah orang-orang yang anti militer?
ASMARA:Saya tidak tahu. Saya tidak bisa berbicara atas teman-teman yang lain. Tapi sebagaidiri sayasendiri, itu jelas dari mahasiswa sampai sekarang saya anti militerisme. Itu tidak bisa tidak. Tapi kalau antimiliter, ya enggak benar juga. Rasional saja, kenapa ada negara? Karena ada militer. Tapi militer yang bagaimana. Kembali kita bicarakan tadi. Kalau ada teman-teman mungkin anggota yang anti militer, kembali ke tahap keputusan adalah rapat KPP HAM. Samaseperti kasus Syafrie. Kalau saya antimiliter, masukkan saja nama Syafrie. Dia juga kita duga terlibat dalam kerusuhan Mei. Saya dulu sebagai anggota TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998) berkeyakinan dia terlibat. Nah, bias-bias itu berusaha dihilangkan melalui rapat.