HAM & Pembangunan

Komnas HAM membuka peluang pengungkapan misteri kasus Priok melalui pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP-HAM)kasus Priok Masyarakat menunggu jawaban: siapakah pelaku tragedi kemanusiaan itudan akan diapakan?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelaku tragedi Priok adalah pihak militer dan unsur-unsur sipil. Nama-nama yang sudah selalu disebut selama ini dari tubuh militer adalah mantan Pangab Benny Moerdani, antan Pangdam Jaya Try Soetrisno dan mantan Kodim Jakarta Utara Butar-Butar.

Sedangkan unsur-unsur sipil adalah para petugas dari dinas pemakaman, dinas pemadam kebakaran, serta para dokter dan juru rawat rumah sakit. Kasus Priok itu sendiri, seperti serangkaian kasus kekerasan lainnya, berlangsung dalam era kepemimpinan yang represif dan diskriminatif dibawah komando bekas presiden Soeharto.

Para mantan petinggi negara itu, menyimpan catatan sendiri-sendiri tentang kasus Priok. Misalnya, dalam buku Soeharto. Karena itu sebagai presiden dan panglima tertinggi (Pangti), nama Soeharto pun disebut. Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, jenderal besar ini menulis: “Sesungguhnya peristiwa itu benar-benar hasil hasutan orang yang menempatkan diri sebagai pemimpin.” Soeharto tidak secara langsung menyebut nama Amir Biki, tokoh terkemuka masyaakat Priok waktu itu yang ditudingnya sebagai si penghasut. “Yang bersangkutan menentang ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam ketatanegaraan kita. Ia tidak mengerti duduk soalnya. Ia mengira bahwa dengan konsensus kita itu Pancasila akan menggantikan agama dan sebagainya. Maka ia menghasut rakyat untuk memberontak,” demikian Soeharto.

Sesuai Prosedur

Sedangkan dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan, kasus Priok itu diuraikan secara cukup panjang-lebar. “Menurut penilaian Benny,” tulis Julius Pour, pengarang buku ini, “para prajurit ABRI yang pada waktu kejadian tersebut sedang bertugas di daerah sekitar Tanjungpriok, sudah melakukan persiapan pengamanan sesuai prosedur.”

Kata-kata Benny sendiri dikutip secara langsung: “Para petugas keamanan di sana hanyaterdiri dari satu regu pasukan artileri yang tidak pernah perang dan sejumlah anggota polisi. Andaikan kita sebelumnya sudah tahu, bahwa pada malam itu akan terjadi suatu aksi massa menyerbu pos bahwa dalam peristiwa polisi, tentu saja akan bisa kita kirimkan pasukan yang jauh lebih mampu menertibkan keributan, pasukan Kostrad atau RPDAD misalnya.”    

Mengutip keterangan Benny dalam wawancara dengan Minguan Editor, buku tersebut menulis, “Peristiwa Tanjungpriok adalah mob. Itulah perbedaan antara crowd dan mob. Kalau crowd masih bisa dikontrol, sedangkan mob tidak. Bagaimana itu terjadi? Ya, bagaimana memotivasi atau mengipas, memanasi orang-orang itu. Juga kondisi-kondisi yang melatarbelakanginya.”

Menjawab pertanyaan mingguan itu, Benny mengatakan, “Mengapa harus ditembak? Seorang komandan itu, salah satu tugasnya, adalah menjaga keselamatan anak buahnya. Kalau pada jarak. seratus meter sudah ditembak,berarti kita yang salah. Tapi kalau tinggal satu dua meter, tidak ada jalan lain. Menembak untuk membeladiri kok. Itu bisa dilihat dari yang meninggal, bekas tembakannya itu membuktikan bahwa jarak itu sudah dekat.”

Juga dituturkan bahwa menyusul tragedi itu Benny berkeliling ke sejumlah pesantren menjelaskan duduksoal kasus Priok. “Tekad Benny untuk meyakinkan masyarakat de-ngan memberikan penjelasan yang di-sampaikan dengantulusserta jujur, ternyata bisa diterima secara luas. Pengalaman ini malahan juga sempat membuahkan keuntungan lain. Ia kemudian bisa membangun persahabatan pribadi dengan berbagai macam tokoh kunci di kalangan masyarakat Islam,” demikian Julius Pour.

Jangan Tanya Saya

Semasa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Komnas HAM mengajukan rekomendasi setelah menyelidiki “Peristiwa Tanjung Priok”.  Dalam rekomendasi yang diajukan kepada pemerintah 10 Maret 1999 itu, antara lain dikatakan: “Sepanjang penyelidikan Komnas HAM berkesimpulan bahwa ada peristiwa Tanjungpriok 1984, ternyata pihak aparat keamanan telah melakukan penembakan dengan peluru tajam kepada masyarakat yang berunjuk rasa dan mengakibatkan ada korban tewas, hilang, luka dan cacat.”

Menurut Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan, dalam proses penyelidikan oleh Komnas HAM tempohari surat panggilan dilayangkan kepada Benny Moerdani. “Tapi nasib surat itu tidak jelas, sama sekali tidak ada jawaban,” kata Asmara.

“Sedangkan Try Soetrisno dan Butar-Butar sama sekali menolak memberikan keterangan. Try bilang, jangan tanya pada saya, tanyalah pada lembaga ABRI,”lanjut Asmara mengutip tanggapan mantan Wapres itu.

Tampaknya Try Soetrisno masih konsisten. Dalam keterangannya yang dikutip pers belum lamaini ia mengatakan kasus Tanjung! Priok menjadi tanggung jawab Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kalau Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP-HAM) Tanjungpriok ingin meminta keterangannya harus memanggilnya melalui Markas Besar TNI.

Masa Lalu

Sedangkan mantan Kodim Jakarta Utara Butar-Butar menurut sumber Semanggi, mengatakan Senin pekan ini bahwa kasus Priok itu sudah menjadi masa lalu. “Apa lagi yang mau diungkapkan?” ujar Butar-Butar yang waktu itu masih berpangkat Letkol.

“Tetapi sebagai prajurit saya siap. Waktu itu saya menjalankan instruksi pimpinan. Situasinya serba sulit, massa banyaksekali. Kalau pada akhirnya jatuh korban, ini karena bentrokan fisik yang memangsulit dihindarkan,” lanjut Butar-Butar, kini salah satu pejabat Lemhanas. Menurut sumber Semanggi, kubu Benny kini sedang sibuk menyiapkan diri menghadapi KPP-HAM Priok.

Sumber yang tidak bersedia disebutkan identitasnya itu mengungkapkan bahwa salah satu bentuk persiapan itu adalah membentuk tim pembela. “Tapi tidak banyak yang bersedia menjadi pembela Benny dan kawan-kawannya,” kata sumber ini. “Soalnya mereka tahu bahwa sekarang ini era reformasi.”

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Regim Soeharto mewariskan segunung persoalan sehingga bangsa ini praktis tidak bisa dengan kepala tegak menghadapi masa depan. Karenanya diperlukan senjata pemungkas untuk membereskan beragam hutang masa lalu yakni pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta UU Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM)

Asmara Nababan

Negara Afrika Selatan tercatat paling berhasil menyelesai kan persoalan masa- lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Truth and Reconciliation| Commission-TRC ). Yang kalah dan yang menang, dalam sejarah pahit negeri itu, sepakat menerapkan cara penyelesaian melalui komisi TRC.

Komisi serupa jugaditerapkan di sekitar 15 negara dan  Indonesia tercatat sabagi salah satu peminatnya. Secara garis besar TRC bekerja melalui tiga tahap yakni tahap inventarisasi dan klarifikasi masalah, tahap rekonsiliasi dan tahap penyelesaian luka-luka sosial seperti pemulihan nama baik dan ganti rugi bagi para korban. 

TRC akan berhasil bila pihak korbah dan pihak pelaku bersedia bekerja sama menggali kebenaran, mengaku bersalah, memberi maaf dan menyembuhkan “luka-luka” yang tersisa

Di Indonesia TRC itu sedang dipersiapkan. Sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sudah menyiapkan Rancangan Undang-Undang yang akan menjadi dasar hukum pembentukan TRC. Kini rancangan itu sudah berada di tangan lingkungan legislatif (MPR-DPR).

Hartono Mardjono SH dari Partai Bulan Bintang mgpgaku telah lama memikirkan perlunya komisi semacam itu. Ia bahkan pernah menuangkan gagasannya melului artikel di sebuah surat kabar Ibukota, Sep-tember 1998, kendatiia tidak menyebutnya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Menurut anggota DPR ini, berbagai kasus korupsi dan kolusi (nepotisme lebih sulit dibuktikan) sejak Orde Lama .  hingga Orde Baru perlu diselesaikan melalui TRC. Melalui komisi ini, kata Mardjono, para pelaku korupsidan kolusi secara jujur dan terbuka mengakui perbuatan mereka.

Komisi kemudian memeriksa ke-benaran pengakuan mereka dan sesudah itu jumlah tertentu dari hasil korupsinya dikembalikan kepada pemerintah. “Dengan begitu masalahnya selesai,” ucap salah satu ketua Komisi II DPR ini pekan lalu.

Sedangkan berbagai pelanggaran HAM,juga dari masa Orde Lama hingga Orde Baru, lanjut tokoh vokal ini, bisa diselesaikan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Peradilan HAM yangsedang diselesaikan DPR.

“Kita ini masih direpotkan dengan berbagai urusan masalalu dan belum bisa bekerja untuk ke depan,” kata Mardjono. “Dengan Komisi Kebenaran dan Rekon-siliasi, UU Tentang HAM dan UU Pe-radilan HAM kita bisa menyelesaikan banyak persoalan”

Khusus HAM

Berbeda dengan Mardjono, Ketua YLBHI Bambang Widjojanto dan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan sepakat bahwa TRC sangat diperlukan Indone-sia untuk menyelesaikan. masalah-ma-salah pelanggaran HAM, bukan untuk korupsi.

“Untuk korupsikan sudah ada undang-

undangnya,tinggal dilaksanakansaja dan yang biasanya menimbulkan gejolak

sosial adalah pelanggaran-pelanggarandi bidang HAM,” kata Bambang.

Menurut Ketua YLBHIini, ada tiga alasan dasar mengapa TRC pentingbagi Indonesia. Pertama, sejauh ini Indonesia belum memiliki satu instrumen yang dapat dipakai untuk menyelesaikan berbagai gejolak sosial yang terjadi lebih dari 30 tahun terakhir.

Kedua, berbagai instrumen yang sebenarnya potensial untuk meredam

masalah, sedikitnya mengeliminir ber-bagai masalah yang cenderung menim-

buikan perpecahan juga ternyata dis-fungsional (tidak diterapkan sesuai

fungsinya).

Menurutpakar hukum ini, pengadilan

. yang semestinya menegakkan kebenaran, keadilan dan perdamaian bagi pihak-pihak terkait hanya berupaya menentukan siapa kalah siapa menang. “Fungsiini pun tidak berjalan, karena kemenangan bisa dibeli,”kata Bambang.

Ketiga, akumulasi persoalan telah sedemikian rupa membebani Indonesia sehingga harusdiselesaikan. “Kita ingin menutup masa lalu kita, dengan, kata-‘ kanlah, tidak melupakannyatetapi mung-

kin  kita  bisa  memaafkannya,”  kata

Bambang.                                                             |

Tantangan

Penyelesaian melalui TRCitu ternyata bukan tanpa tantangan. Hambatanterse-bar, menurut Bambang dan Nababan,bisa datang dari kekuatan status guo yang tidak saja tetap ada melainkan juga berada dalam lingkungan pemerintahan. “Merekapunyakepentingan dan mereka juga punya uang banyak,” kata Bambang. “Tetapi harus dihadapi. Tidak ada jalan lain,” kata Nababan menimpali.

Hambatan lainnya bahwa Indonesia belum terbiasa dengan managementcon-Slict, sehingga gagasan penyelesaian melalui TRC itu bukan tidak mungkin mengundang masalah baru.. “Kita mau

menangani konflikmmalah bisa timbul konflik baru,” kata Bambang. Oleh karenaitu Bambang dan teman-temannya

mengakulebih banyak menggarap gagas-an ini secara diam-diam.:

Dikatakan, gagasan mengenai TRCitu

masih membutuhkan beberapahal, antara

lain komitmen politik dari pemerintah, prosessosialisi ke tengah masyarakat dan kesiapan masyarakatsendiri.

Oleh karenaitu pihaknya belum berani menyebut kapan TRC model Indonesia itu bisa dihasilkan dan diterapkan. Sementara Asmara Nababan menekankan perlunya suatu “wacana terbuka” di tengah masyarakat sebelum TRC itu dibentuk.

“Masih perlu-dibicarakan secarater-buka,” ucap Asmara. Ja pun tidak me-

nyebutkan kapan komisi tersebut bisa

direalisasikan, kendati ia berharap bisa

secepatnya. -:

Kalau TRCitu diterapkan bersamaan

dengan  UU Tentang  HAM  dan  UU

Peradilan HAM maka berbagai pelang-garan HAM di masalalu bisa ditembus.

Mereka(parapelaku) yang tidak bersedia menyelesaikan masalah melalui TRC bisa –

dijerat dengan UU Peradilan HAM.

Persoalannya, apakah TRC model In-donesiaitu benar akan terwujud atau akan dimasukkan dalam daftar agenda yang mesti dipetieskan?

-John julaman.

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Kekhawatiran masyarakat mengenai, “nasib’ pengungkapan kasus peledakan bom di gereja pada malam Natal 2000 lalu tanpaknya bisa beralasan. Halini terbukti seperti kasus penyelidikan peledakan bom di BEJ (Bursa Efek Jakarta), yang sampai kini belum juga bisa terkuak.

Walaupun dalam pemboman di BEJ pihak aparat keamanan sudah mengindentifikasi beberapa orang tersangka. Namun yang menjadi pertanyaan publik, mengapa sampai sekarang aparat kepolisian belum juga bisa menangkap pelaku dan otaknya. Seperti yang kita ketahui bersama, dalam peristiwa ini telah menewaskan belasan jiwa orang tidak bersalah.

Ditambah titik perhatian masyarakat sedang tertuju dan memalingkan perhatian pada kasus Buloggate dan Brunaigate yang membawa nama Presiden RI. Abdurrahman Wahid. Apakah persoalan ini disekenario untuk tujuan memalingkan perhatian dari persoalan pengusutan bom dimalam Natal 2000 lalu ?

Namun hal tersebut ditepis oleh — koordinator Investigasi FID (Forum Indonesia Damai) Asmara Nababan, menurutnya pansus Buloggate dan  Brunaigate sudah direncanakan sebelum terjadinya peledakan bom dimalam Natal, “ Saya pikir jauh sekali anggapan itu, karenajadwal Pansus sudah tersusun sebelum peristiwa ini terjadi. Saya tidak percaya kalau kasus Bulog, Brunai yang diproses di DPR RI adalah bagian dari usaha untuk mengalihkan perhatian,” katanya.

Berikut kutipan wawancara wartawan “JI” Daniel Siahaan dengan Asmara Nababan baru-baru ini kantor Komnas HAM, Jakarta.

Ada kalangan menyebutkan dimunculkan masalah pansus Buloggate dan Brunaigate berkaitan dengan akan di peti eskan masalah pemboman malam natal komentar anda ?

Saya pikir jauh sekali anggapan itu, karena jadwal Pansus sudah tersusun sebelum peristiwa initer jadi. Saya tidak percaya kasus Bulog, Brunai yang diproses di DPR-RI adalah bagian dari usaha untuk mengalihkan perhatian dari pemeriksaan masalah bom di malam Natal.

Langkah -langkah apa yang sekarang dilakukan oleh FID ?

Tim investigasi telah menemukan fakta dilapangan dan telah melakukananalisis awal, bahwa ledakan bom tersebutbertujuan untuk mempertentangkan umat beragama. Jaditujuan pemboman tidak didorong oleh motif balas dendam dan sebagainya. Jadi dugaan bahwa ada kelompok agama lain yang terlibat melakukan sudah bisa ditepis. Kalau melihat dari sisi korban kan jelas, yang menjadi korban bukan hanya dari kristen saja, yang tidak kristen juga – kan kena.

 Bila diperhatikan pola-pola konflik, pada umumnya yang menjadi target paling utama adlaah orang dan bukan simbol-simbolnya. Sedangkan konflik komunal yang menjadi sasaran justru lebih dari pada orangnya. Jadi tujuan peledakan bom pada malam Natal 2000 lalu dapat kategorikan sebagai teror. Alasannya di amana bom yang diledakan tidak langsung mengarah kepada jiwa orang, tapi bom tersebut ditempatkan dipekarangan dan bukan langsung di dalam ruangan.

Berikutnya bila kita melihat dari data-data yang ada di lapangan, kelompok pelaku ditiap tempat mempunyai ciri- ciri sosial dan ciri- ciri fisik yang berbeda. Dalam keadaan normal tidak mungkin bersatu, dengan demikian kesimpulan yang kita dapat, ada orang atau sekelomok orang yang mempunyai kemampuan, mengakses, mengendalikan kelompok yangberbeda-beda. Dan menggerakkan mereka pada suautu waktu diberbagai tempat pada atau sasaran yang sama.

Dengankata lain telah terorganisir ?

 Ya… betul. Sekarang kita akan memproses dan lebih mengindenti fikasi siapa pelaku dan siapa otaknya. Untuk itu kita memerlukan bahan bahan seperti, analisis bahan peledak, kemudian jalur distribusinya, dan sebagainya. Misalnya seperti kasus pengakuan Elisa, kalau saja Tommy dapat tertangkap, yangperlu kita pertanyakan kepada Tommy dari mana ia mendapatkan bom.

FID dalam temuannya ada mengarah kesana ?

Sudah tentu ada yang mengarah kesana.

Kongkretnya seperti apa?

Kemunculan orang yang mirip seperti Elisa, sebelum pemboman di Koinonia. Menurut saksi dilapangan, ada seorang perempuan yang mengingatkan akan ada bom. Jadi ada indikasi kesana, tapi kalau apakah orangnya sama, itu belum kita identifikasikan, tapi ada kemiripan tipe tipologinya dengan Elisa.

Jadi masih kesimpulan sementara ?

Ia, tapi andaikan polisi bisa membuktikan keterangan Elisa benar dan Tommybisa ditangkap hal itu bisa menjadi lain. Tapi keterangan ini perlu ditelusurilebih mendalam untuk menjawab siapa sebenarnya otak dan aktor semua peristiwa pemboman ini dan dari manaia (Tommy, Red) mendapatkan bom tersebut.

TNT ini kan susah didapatkan dipasaran adakah kemungkinan TNI terlibat?

Ini yang masih kita analisis, sebab kita tidak mau masalah ini putus seperti kasus BEJ, dalam kasus BEJ seri bomnyatelah diketahui oleh pihak kepolisian, bahwaitu buatan PINDAD(Pusat Industri Angkatan Darat), saat dichek ke Pinda Bandung pihak pindad dapat menunjukanberita acara bahwa bom tersebut telah dikirim ke gudang mesiu yang ada di Madiun. Kemudian pihak kepolisian mengirim surat ke Mabes TNI Angkatan Darat dan mempertanyakan dari mana asal TNT tersebut. Beberapa waktu lalu telah dijawab bahwa TNT itu semuatelah habis dibagikan ke Kodam-Kodam. Itukan tidak menjawabpersoalan, kalau benar-benar habis kenapa ada di BEJ.

Ada rumor mengatakan bahwa pelakunya berasal dari Islam garis keras ?

Kita tidak menemukan pelakunya berasal dari yang anda sebutkan tadi.

FID sendiri apakah sudah meneliti ada keterlibatan beberapa Jenderal ?

Kita sedang meneliti dan menganalisa kelompok yang melakukan hal itu, jadi tidak bisa langsung menunjuk kenama, karena ini bisa saja membuat fitnah.

Rencana hasil rekomendasi sementara FID kapan diumumkan?

Rencananya sih secepatanya, tergantung bagaimana kerja tim menyelesaikannya.

Kesimpulannya?

Nanti akhir Februari

-Daniel Siahaan

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Sejak anggota Komnas HAM Benjamin Mangkudilaga menolak menjadi Ketua KPP-HAM kasus Priok, KPP-HAM ini belum terbentuk dan ketuanya belum diketahui. Apakah ini hambatan teknis belaka atau ada kendala yang substantif?

Berbagai kelompok masyarakat mendesak Komnas HAM agar membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, antara lain kasus Semanggi I dan Semanggi II, tragedi 27 Juli 1997, Kerusuhan Mei 1998 dan kasus kasus Tanjungpriok.

Baru dalam rapat pleno Komnas HAM Selasa pekan lalu,  KPP-HAM kasus Priok disepakati untuk segera dibentuk. Waktu itu Benjamin Mangkudilaga ditunjuk sebagai ketua tim tetapi yang bersangkutan kemudian menolaknya. Sumber-sumber Komnas HAMsendiri mengaku bahwa soal penentuan ketua dan pembentukan tim KPP-HAM Priok hanya masalah teknis. Tetapi sempat terungkap pula bahwa hampir semua anggota Komnas HAM enggan menjadi ketua tim dengan beban kerja maha berat itu. Sedangkan banyak pihak bertanya-tanya, adakah hambatan yang bersifat substantif?

Ketua Komnas HAM Djoko Sugianto Senin pekan ini mengakui bahwa tim KPP-HAM kasus Priok yang akan terdiri dari 7 anggota belum terbentuk. Ketuanya pun belum ditunjuk. Tetapi Djoko tidak melihat hambatan berarti bagi pembentukan tim tersebut.

Medan Berat

Beratnya medan garapan KPP-HAM kasus Priok sudah dialami Komnas HAM ketika melakukan penyelidikan kasus tersebut pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Menurut Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan, surat undangan untuk mantan Pa-ngab Benny Moerdani sama sekali tidak dijawab. Sedangkan mantan Pangdam Jaya Try Soetrisno dan mantan Dandim Jakarta Utara Butar-Butar sama sekali tidak memberi keterangan. Akibat tidak adanya kerja sama dari pihak militer, rekomendasi Komnas HAM kemudian menjadi minim. Pada bagian kedua rekomendasi itu, menyangkut pokok hasil temuan, Komnas HAM antara lain mengundang pejabat aparat keamanan seperti lain mantan Pangdam Jaya dan mantan Dandim Jakarta Utara untuk memper-oleh data guna dicocokkan dengan data (informasi) yang diperoleh dari masyarakat.

“Sampai saat ini mereka (aparat keamanan, red) belum memenuhi permintaan Komnas HAM,karena yang bersangkutan berpen-dapat bahwa yang layak memberi keterang adalah pimpinan ABRI,” demikian antara 1: Pernyataan Komnas HAM tentang Peristi – Tanjung Priok 1984. Oleh karenaitu, yang disampaikan masyarakat (versi pemerintah) dijejerkan saja dengan data pamerintah. “Mengenai data korban mati, hilang dan cacat, Komnas HAM tidak bisa mengadakan cross check, sebab pemerintah dalam hal ini belum memberikan data untuk itu sesuai dengan permintaan Komnas HAM melalui surat tertanggal 7 Januari 1999 yang disusul dengan surat tanggal 27 Januari 1999,” lanjut pernyataan itu.

Akibatnya pula, butir-butir Fekoroendlasi Komnas HAM tanpa menyebut nama-nama pihak yang mesti bertanggungjawab juga institusi militer. Tetapi dengan UU HAM yang baru, KPP-HAM kasusPriok, seperti halnya KPP-HAM Timor Timur diperkuat dengan kuasa memanggil secara paksa. Hanya repotnya pula, mantan Pangab Benny Moerdani, seperti diberitakan kan media massa awal petan ini, masuk rumah sakit. Tugas KPP-HAM Priok itu kian berat saja.

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Asmara Nababan

Inilah aktivis yang masuk ke lembaga bentukan pemerintah, dan ia tetap mandiri. Asmara Nababan, 51, adalah salah satu anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang pada tahun 70-an ikut mengibarkan gerakan golongan putih dan memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Kini pun ia masih aktif di lembaga swadaya masyarakat, antara lain sebagai Sekretaris INFID (International NGO’s Forum on Indonesian Development), sebuah badan yang beranggotakansekitar 40 LSM. Suatu sore, di hari Pemilu, ia bercerita tentang diri dan visinya, di beranda kantor INFID. Tentu, itu sebuah ruang tanpa AC, karena dengan begitulah ia leluasa mengisap kreteknya.

MASIH GOLPUT JUGA

Asmara Victor Michael Nababan, kelahiran Siborong-borong 2 Septem- ber 1946, adalah bungsu dari sepuluh bersaudara. Ayah dan ibunya, yakni JL Nababan dan EID Lumban Tobing, adalah guru. Seluruh saudara Asmara tak ada yang bekerja di instansi peme rintah. Dan salah satu kakak Asmara, yakni SAE Nababan, adalah Ephorus Huria Kristen Batak Protestan.

Anda tidak ikut memilih?

Nggak ah. Malas.

Tahun tujuh puluhan, Anda memang dikenal sebagai pelopor golput, bersama Arief Budiman, Julius Usman dan Imam Waluyo. Bagaimana melihat golput sekarang ini?

Golput yang waktu itu kita proklamirkan lebih sebagai protes moral. Kita menyadari bahwa secara politis, itu tidak signifikan. Kita menyatakan something wrong, ada yang salah dalam pemilu. Silakan perbaiki. Waktu itu, dalam pikiran kita, tidak ada pikiran menekankan diri pada moral ya. Jadi, di situ ditekankan pada nilai, bukan interes politik.

Secara ideologis adakah perubahannya antara golput yang dulu dengan sekarang?

Yang sekarang ada kecenderungan sudah mempunyai motivasi politik yang kuat. Soal realistis atau tidak, mereka berpendapat dengan jumlah golput yang besar, itu akan membuat perubahan. Berhasil atau tidak, tidak ada yang bisa membuktikan, selama perhitungan suara tidak transparan. Kalau menghitung persentase, tidak pernahtahu apakah delapan persen atau dua belas persen.

Jadi, golput yang sekarang seperti dulu yang dibilang almarhum Ali Moertopo. Golput itu ibarat kentut. Ada baunya, tidak ada wujudnya?

Hahaha…..Mau dibilang apa kek. Waktu itu pikiran kita nggak di sana kan? Klaim gerakan moral bukan di situ. Dengar atau tidak dengar, yang penting kami sudah menyampaikan sesuatu yang menurut kami patut diperhatikan bagi kemajuan negeri ini.

Bagaimana Anda melihat reaksi pemerintah terhadap golput dulu dan golput kini?

Samasaja. Mereka melihat bahwa itu ancaman terhadap pemiluitu sendiri. Bahasanya beda, tapi substansinya samasaja. Mereka dianggaptidak nasionalis, tidak punya tanggung jawab. Tapi sebenarnya, mereka yang golongan putih, layak dihormati.

Sebenarnya, waktu itu juga isu korupsi, isu Taman Mini, isu apa saja, yang digerakkan mahasiswa adalah gerakan moral. Dulu, ada film Shane, yang dipakai untuk menjelaskan gerakan moral itu. Artinya, kalau dia sudah menyelesaikan tugas itu, dia tetap pergi. Walau ditahan untuk tetap menjadi sheriff. Shane tidak mau, dia naik kuda dan pergi. Jadi, romantismenya kental.

Seperti Lucky Luke?

Waktu itu film Lucky Luke belum ada. Hahaha… Makanya, waktu awal tahun tujuh puluhan aktivis itu pecah. Yang satu memutuskan berjuang masuk ke sistem itu dan berjuang di dalam. Mereka ditawari oleh Opsus utuk menjadi anggota DPR-GR, mereka menerimanya. Sebagian. tidak mau menerima. Tahun tujuh puluh satu ada tawaran lagi. Kita menolak lagi. Seyogyanya kita memang tidak menerima. Memang ada satu percakapan yang cukup panjang di Balai Budaya. Berakhir dengan tidak adanya kesepakatan. Hanya Rahman Tolleng yang mengatakan,  kita buktikan  saja apakah setelah kami masuk, kami melacur atau tidak. Memang dibuktikan, dia tidak melacur. Dia masuk ke DPP Golkar, masuk sebagai pemimpin redaksi Suara Karya, dia masuk ke inner circle Golkar. Tapi kemudian, bukan hanya terpental, tapi juga masuk penjara. Dia memang membuktikan, masuk kesistem itu dan berjuang. Yang lainnya, tidak.

Seberapa besar kesulitan yang Anda dapat ketika memproklamirkan golput waktu itu?

Negak, nggak begitu banyak juga. Dipanggil-panggil cuma gitu aja. Biasa saja. Tidak sampai diteror. Kematian perdata juga nggak ada.

Tapi dulu kan Anda sempat pasang lambang golput di depan LPU?

Ya, di mana-mana tandagolput itu kita pasang. Dulu belum ada fotokopi. Kita modal stensilan saja. Memang ada beberapa yang ditangkap, tapi kemudian dilepas.

Omong-omong, kenapa Anda menerima tawaran masuk Komnas?

Ya… saya cuma… Hahahaa….

Apa dalam rangka berjuang dari dalam tadi?

Nahitu dia kan. Hahaha….. Akhirnya, pada waktu itu, dengan beberapa pertimbangan teman-teman, saya coba melihatnya. Saya membayangkan, masuk saja kalau ada gunanya, dan kalau tidak ada gunanya (saya akan) keluar. Saya bayangkan satu tahun. Satu tahun saya membuat evaluasi, keluar atau tidak. Setelah satu tahun saya membuatevaluasi pribadi, (dan) saya ingin melanjutkan…

Anda, sebagai satu-satunya wakil LSM di….

(Ia memotong) Janganlah. Jangan sebut wakil. Nanti ada yang marah.

Hahaha… Bukan wakil, tapi yang pun-ya latar belakang (LSM), bolehlah.

Apakah Anda di Komnas tidak mendapat hambatan. Mengingar hampir sebagian besar komponen di Komnas adalah bekas birokrat, pejabat, anggota ABRI dan lain-lain?

Pada mulanya memang agak sulit ya persenyawaannya, karena unsur-unsur kimianya yang jauh. Hahaha… Tapi belakangan ini(saya) agak terkejut terhadap sikap anggota lain, yang bekas (anggota) ABRI maupun pejabat tinggi lain. Mereka kadang-kadang jernih sekali melihat sebuah persoalan. Saya sendiri bisa surprised. Berkas 27 Juli, umpamanya, tanpa harus menyebut nama mereka, yang saya duga ”akan…”, ternyata tidak. Kadang-kadang mereka mampu menjelaskan, mengapa mengambil posisi seperti itu…

Anda sering terjun ke daerah-daerah seperti Sanggau-Ledo, Timika, Banjarmasin. Sebenarnya, apa sih yang Anda temukandi sana, dan sejauh mana perbedaan yang Anda temukan dengan keterangan resmi pemerintah?

Kalau perbedaan hampir tidak ada. Kalau penemuan kita di lapangan dilengkapi dengan cukup saksi, kita cukup berani mengatakannya. Anggota lain yang tidak ikut,tidak pernah mempersoalkan fakta yang ada buktinya. Sehingga, saya belum pernah mengalami harus menelan atau memanipulasi fakta itu, karena kalah atau karena tidak diterima di pleno. Tetapi ketika kita membuat atau analisis dampak, semua anggota yang tidak ikut di tim mampu memberi respon seimbang. Jadi, tidak pernah saya menemukan fakta di lapangan dengan bukti yang cukup atau saksi, kemudian dilaporkan ke pleno dan atas pertimbangan pleno kemudian disimpan. Belum pernah.

Dalam kasus 27 Juli, atau lain-nya, Komnas tidak menyebut korban yang mati. Karena apa?

Dalam Timika disebut.

Dan Pontianak?

Belum dan memang belum. Verifikasinya sampai sekarang belum. Pemerintah kan berjanji. Lalu, siapa lagi yang menagih. Dalam rapat yang lalu kita sudah membicarakan jumlah angka. Dalam kasus Liguisa (Timor Timur) kan jumlahnya jelas. Itu sangat berbedajauh dengan pemerintah.

Dalam Kasus 27 Juli, Komnas HAM bilang 23 orang mati. Lalu, bilang Soerjadi juga harus dituntut. Tapi sampai sekarang belum ada follow-up-nya.

Memang, kesulitan kita ada pada keterbatasan mandat Komnas, pada Keppres No 50 Tahun 1993. Sejauh yang bisa dilakukan Komnas adalah memberikan rekomendasi dan pendapat, usul terhadap pemerintah untuk perbaikan kondisi hak asasi manusia. Sehingga, apakah rekomendasi itu diterima atau tidak, ada kesulitan di Komnas secara legal, untuk memaksakannya — dalam pengertian positif, ya. Beda dengan keputusan Komisi Nasional Filipina atau India, yang ke-putusannya mengikat.

Artinya, pembentukan  Komnas dengan Keppres, merupakan ham-batan?

Tidak. Yang bisa kita katakan, ka-lau hanya sebatas Keppres, Komnas ya cumasegitu saja. Mau lebih dari situ ya harus undang-undang. Idealnya, kalau pemerintah memangserius terhadap hak asasi manusia di Indonesia, pemerintah harus memberi dasar pembentukan Komnas HAM dengan UU, bukan Keppres… Nah, lewat UU itu, berikan kekuasaan yang lebih luas kepada Komisi.

ANAK NAKAL DI KOMNAS HAM?

Logat Batak Asmara masih kentara. Gaya bahasanya bila berbicara pun blak-blakan. Tawa lepas sering terlontar kala ia berbincang. Namun untuk masalah tertentu, sarjana hukum itu mencoba berhati-hati, dengan berhenti sejenak untuk memilih peristilahan yang tepat.

Anda kecewa dengan kekurang-leluasaan Komnas HAM?

Tidak juga. Karena saya tidak membikin ekspektasi yang tinggi…

Anda jadi maklum begitu?

Iya. Jadi, penilaian saya, performance Komnas HAM itu sekarang adalah beyond my expectation.

Pemerintah pernah mengutarakan Komnas HAM sudah menyimpang. Dinilai terlalu masuk pada urusan-urusan yang sektoral, tapi tidak memberikan masukan yang global. Terjebak pada kasus per kasus. Bagaimana pendapat Anda?

Waktu itu kita sudah menjelaskan mekanisme kerja kita. Sebagaimana barangkali tidak banyak orang tahu, sekarang ini, Komnas bekerja sesuai dengan anggaran dasar dan mekanisme kerja. Anggaran Dasar itu disusun oleh anggota sendiri, sebagai penjabaran dari Keppres tersebut. Karena di situ ditulis kita badan independen, maka kita menata diri juga sebagai badan independen. Mungkin di mata para pejabat, kita dinilai terlampau operasional. Dan memang harus operasional.  Karena di Keppres, ditulis memantau dan menyelidiki pelaksa-naan hak asasi manusia di Indonesia. Maka, dalam pernyataan Komnas kemarin dulu, kita katakan Komnas akan membuatevaluasi menyeluruh terhadap Pemilu 1997, sebagai penjabaran dalam pelaksanaan hak asasi manusia.

Dalam  pelaksanaan  hak  asasi manusia, menurut Anda apa yang harus digarisbawahi?

Pertama, secara struktural, potensi pelanggaran hakasasi manusia sangat tinggi. Misalnya adanya UU Subversi. .

Pemberlakuan dan UU itu sendiri, sebenarnya merumuskan berbagaipe-langgaran hak asasi manusia. Selama tidak ada perubahan — pencabutan terhadap ini — kita pasti ini akan melihat Budiman-Budiman      (Sujatimiko) yang lain pada waktu ini

Jadi, software yang dipakai itu memungkinkan?

Sangat potensial untuk melanggar hak asasi. Campur tangan ABRI dalam perburuhan, misalnya. Walaupun SK Menteri-nya sudah dicabut, tapikan kita masih mendengar laporan adanya petugas Koramil atau Kodim ikut negosiasi PHK. Jadi, strukturalsifatnya, bukan lagi pengecualian-pengecualian. Bagaimana dengan lembaga-lembaga ekstrayudisial, seperti Bakin, BIA?

Saya pikir, sejauh tidak..ehm. Nah, “ketika dia melakukan penangkapan, ya itu dia baru esktra. Badannya sendiri itu legal. Di mana-mana, negara punya intel. Cuma, masalahnya,ketika mereka menangkaporang, beberapa orang  mengaku  disiksa.  Nah,  di  situ terjadi pelanggaran hak asasi karena masalah struktural tadi. Di sini harus ada pembenahan lembaga,baru peradilan. Selama peradilan kita tidak mandiri  dan  tidakadil,  pelanggaran itu akanterus berlangsung.

Anda  sendiri punya harapan bahwa kondisi hak asasi manusia di Indonesia akan semakin baik?

Panjang itu. Waktunya menjadi lebih lama.

Sekarang kita terpaksa kompromi dulu?

Iya. Hahaha… iya harus tahanlah. Harus punya enduranee. Ya selamaini resistensinya harus tinggi menghadapi keadaansulit.

Berarti Komnas HAM masih diperlukan dong di Indonesia. Lain hal-nya seperti di Belanda yang tidak ada?

Nggak juga. Prancis misalnya. Mereka membuat Komnas juga. Malah bukan Keppres,tapi keputusan Perda-na Menteri. Pada Belanda, tidak me-rasa perlu mendirikan Komisi karena merasa peradilan mereka cukup me-lindungi hak asasi manusia.Jadi, ya itutadi, kalau peradilan kita mandiri, kita tidak perlu Komnas HAM.

Anda tidak melihat bahwa masyarakat punya harapan berlebihan?

Memang harapan berlebihan. Dan semakin rekomendasi Komnas diketahui publik tidak efektif, makin lama masyarakat makin mendevaluasi harapan mereka.

Dulu ketika berdiri, sebagian orng pesimis. Komnas itu dianggap lipstiknya pemerintah. Sekarang beda. Komnas malah dituduh ganjalan pemerintah, karena membuka-buka borok pemerintah. Bagaimana tang-gapan Anda?

Hahaha… Memang kadang-kadang tidak enak. Dalam berbagai kasus, ketika berbicara dengan Dan atau Dandim, mengapariot itu tidak segera dihentikan? Kok bisa melebar begitu? Dijawab, kalau kita tindak keras, nanti kita dianggap melanggar hak asasi. Pada pertemuan level Menko Polkam, disampaikan (bahwa) karena Komnas ini (maka) pejabat sering menjadi ragu, berpikir berkali-kali se-belum mengambil keputusan. Waktu itu kita menyambutpositif. Kita katakan itu sebagai kesadaran hakasasi manusia. Bukan hal yang negatif. Mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk memberi keputusan. Nah, apakah alasan ini tepat, kalau kita terapkan padamasalah-masalah kerusuhan?  Sulit  dibuktikan.  Apakah  cuma alasan saja. Kita memang lihat sejauh ini ada usaha dari pihak ABRI sendiri untuk menghampiri.

Mereka pernah membuat pedoman hak asasi seperti di Kodam Tri-kora?

Kalau melihat itu, kita belum sem-pat menindaklanjuti. Sebenarnya waktuitu sudah diinformasikan kepada kita, bahwa mereka akan menerbitkan yang bahasanya lebih sederhana. Kalau Anda baca bahasanya kan cukup tinggi. Untukprajurit agak sulit mencerna. Kita melihatnya positif. Sepulangnya darisitu kita mengirim surat. Waktu itu masih Ali Said. Dia kirim surat ke Pangab. Minta itu diimplementasikan secara nasional. Tapi Anda lihat, kalau itu diberlakukan secara nasional, istilah ”kesalahan prosedur” nanti tidak bisa dipakai lagi. Sampai sekarang berbeda. Bahasa Komnaskan pelanggaran hak asasi manusia, bahasa ABRI kan ”kesalahan prosedur.”

Pemerintah masih memperdebatkan antara nilai-nilai hak asasi Barat dan Timur. Lalu di mana sudut pandang Komnas Ham terhadap ini?

Saya pikir perdebatan itu sudah mulai redup sekarang ini. Pada Keppres itu sendiri dasarnya dua. Panca-sila dan Declaration of Human Rights. Berarti kita concerned terhadap universal values. Karena itu universal, tidak lagi relevan perdebatan Barat dan Ti-mur. Kalau kita masih mau memakai term Barat dan Timur, berarti ada tiga blok: Barat, Timur, dan universal. Bagi kita, adalah bagaimana mengubah kondisi kita supaya kita makin cepat dia cocok dan pas dengan standar internasional. Kita mulai dengan usul, sudah lama menyangkut “tidak adanya penyiksaan ketika diperiksa”. Di Ti-mur dan di Barat itu kan tidak ada bedanya. Orangtidak bisa disiksa dalam keadaan apa pun, termasuk dalam perang.

Kita kan belum meratifikasi Konvensi Anti penyiksaan dalam pemeriksaan itu?

Nah, itu dia kan persoalannya? Siapa yang harus mendesakkan? Apakah cukup Komnas? Tidak. Dalam kasus Marsinah, misalnya. Bagaimana itu bisa terjadi kalau kita tidak meratifikasi konvensi tersebut? (Dalam kasus Marsinah) Kita menerima lebih dari dua belas ribu surat, dari pelbagai lapisan orang. Yang menarik disitu, tidak adasatu pun dari Indonesia! Dari aktivis, okelah ada. Tapi dari kelas menengah kita yang terdidik itu? Mana? Padahal banyakyangbisa dilakukan, tanpa ha-rus memberikan kerugian kepada-nya…

Mulya Lubis pernah menolak jadi anggota Komnas. Alasannya, karena salah satu syarat yang diminta— yaitu bisa memanggil siapa pun, termasuk Pangab dalam setiap ka-sus yang ditangani Komnas — ditolak pemerintah. Apakah argumentasi seperti itu sekarang ini masih relevan dengan Komnas HAM?

Masih sih masih. Artinya, kalau kita kembali ke percakapan kita tadi, ada UU tentang Komnas HAM, maka harus ada power atau kekuasaan untuk memanggilsaksi atau seseorang untuk memberi testimony. Tak hanyaitu, bahkan membuka dokumen, umpamanya. Selama ini, yang diklasifikasi sebagai rahasia negara, tidak boleh dibuka. Dalam kasus tanah, misalnya. Kita tidak bisa meminta peta tentang pemilikan tanah ke BPN untuk dibuka. Itu rahasia  BPN. Di  India  dan  Filipina, kalau tidak dikasih, Komisi mengirim surat ke pengadilan. Pengadilan mem-buat penetapan dan memanggil itu orang atau membuka dokumen.

Setelah kasus 27 Juli diungkap, giliran kasus Tanjungpriok ingin dibuka kembali oleh masyarakat.

“Kalau pemerintah memang serius ter hadap hak asasi manusia, pemerintah harus memberi dasar pembentukkan Komnas HAM dengan UU, bukan dengan Keppres.” – Asmara Nababan

Apakah Komnas HAM bisa membuka kasus yang sudah lima, sepuluh tahun, lima belas tahun seperti itu?

Sebenarnya, kita belum ada keputusan mengenai umur kasus yang bisa dibuka kembali oleh Komnas. Australia misalnya memberlakukan hanya dua tahun. Kita belum ada. Jadi, secara teoritis, kasus itu bisa terbuka. Persoalannya, sampai sekarang belum ada keluarga Tanjungriok yang mengadukan… Kalau Komnas tetap akan membuka kasus itu, bisa dituduh itu adalah politik Komnas.

Selama ini hasil penelitian Komnas hanyalah bersifat umum, dan kurang substansial. Mengapa?

Barangkali kapasitas Komnasnya diperkuat, baru mampu dia. Misalnya, tenaga ahlinya ditambah, kewenagannya juga diperkuat. (Ia contohkan, lembaga sejenis di Fikpina beranggotakan lima orang, tapi stafnya 700 orang. Adapun Komnas HAM: anggota 25 orang, staf juga 25. Maka untuk kasus Banjarmasin, misalnya, tak tersediajumlah ahliforensik yang memadai untuk 124 korban).

Mengapa di Komnas yang sering disebut oleh media cuma segelintir orang: seperti Anda, Marzuki Da-rusman, Amaral, Lopa atau lainnya. Kenapa bisa begitu?

Kelihatannya semua anggota, kecuali Sekjen, kan tidak ada yang free time. Jadi, hanya soal keleluasaan waktu saja yang menjadi persoalan bagi anggota-anggota lainnya.

Apakah mungkin karena adanya “anak-anak nakal” di Komnas, seperti Anda?

Negak juga. Tidak ada anak nakal.

Menurut Anda, apakah pemerintah semakin lebih sophisticated atau malah mundur ketika mengatasi masalah-masalah aksi mahasiswa? Misalnya, demo dilawan dengan demo?

Saya kira pemerintah lebih sophisticated saja dan makin kompleks menangani persoalan. Tidak berarti kalau semua polisi menjalankan semua ketentuan KUHAP berarti selesainya pekerjaan hak asasi manusia. Tidak juga berarti kalau ABRI kembali ke barak-barak, semua pekerjaan hak asasi selesai.

Sekarang ini makin banyak kerusuhan. Faktornya sering disebut SARA. Menurut Anda apa akar permasalahannya? Apakah karena kepe-ngapan hidup selamaini ataukah selama ini memang ada akar konflik?

Dua-duanya. Pertama, memang secara historis ada hal-hal yang belum selesai. Tapi di pihak lain, belum cukup ruang untuk mengartikulasikan berbagai perbedaan secara damai. Selama ini kita hanya memendam perbedaan-perbedaan, tidak pernah dibicarakan secara damai dan bersama-sama. Menurut saya, selama masih di-pelihara ”etnik Cina dan etnik Indonesia”, anytime bisa eksplosif.

Menurut saya faktornya kan bisa masalah ekonomi.

Oh iya. Tapi manifestasinya kan bisa bersifat etnis. Sekiranya semua posisi Cina di perdagangan diganti melulu oleh orang Minang, saya pikir perasaan masyarakat umum akan sama. Kebijakan yang ada, seakan -akan memaksa etnis Cina hanya boleh bergerak di wilayah itu.

“Selama ini kita hanya memendam perbedaan-perbedaan, tidak pernah dibicarakan secara damai danbersama-sama. “

– Asmara Nababan

SAYA JUGA MELANGGAR HAM

Asmara Nababan muda

Perkawinan Asmara dan Magdalena Sitorus, seorang sarjana sosiologi, membuahkan tiga putri dan satu putra. Yakni Juanita, 22 (mahasiswi sastra Jerman): Natasha, 20 (mahasiswi hukum): Aviva, 18 (mahasiswi ilmu pendidikan) dan Jechonathan, 11 (masih Sekolah Dasar). Di luar urusan keluarga dan Komnas, Asmara masih punya Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia.

Kapan Anda mulai mengenal demonstrasi dan sejenisnya?

Waktu SD saya melihat ketidakadilan. Waktu itu, di belakang sekolah kita itu ada pabrik karet. Baunya minta ampun. Sekolah kita sudah sering protes. Lantas, sekali tempo, di halaman sekolah kita ada bangkai kucing. Bau sekali. Otomatis, pikiran kita, itu dibuang oleh pabrik. Itulah protes pertama saya.  Kita lempari  pabrik itu pakai batu. Hehehe… Kami masih di sekolah rakyat waktu itu, kelas empat atau kelas lima. Lalu polisi datang.

Sudah tumbuh sifat pemberontak ya?

Hehehe… berontak itu! Tapi itu memperjuangkan hak secara salah, saya rasa. Lempar batu itu Iho!

Keluarga Anda menanamkan nilai-nilai keadilan, hak asasi…

Oh ya. Ibu saya dulu mempunyai Kelompok Tabita, semacam LSM kecil, karitatif, untuk menolong orang-orang. Pernah sekali tempo saya menemani ibu saya karena pihak rumah sakit menelepon ke rumah, (mengabarkan) bahwa ada mayat tidak dikenal. Itu mayat penjual rokok, gerobaknya terbakar, tidak ada identitas-nya. Ibu saya mengurusnya sampai mayat itu dikuburkan. Kita kuburkan tidak ada nama. Hanya segunduk tanah. Barangkali agamanya bukan Kristen, tapi taruh juga tanda salib. Hehehe… Saya, waktu itu masih di sekolah rakyat, membayangkan… bagaimana ibu, bapak, adik-adiknya, tidak tahu bahwa salah satu saudaranya yang merantau itu hilang. Seolah-seolah tidak punya arti.

Barangkali itulah benang merah sampai Anda di Komnas HAM segala…

Ah, nggak tahu itu! Hahahaha…

Tapi apa yang dilakukan  ibu,  saya pikir, menanamkan solidaritas. Waktu kecil Anda ingin jadi apa? Ephorus?

Waduh, nggak! Aku mau masuk Angkatan Laut kan? Keren kan? Tapi orangtua nggak kasih.

Omong-omong, bagaimana Anda, dulu selagi jadi aktivis, malah menerbitkan majalah anak-anak Kawanku?

Waktu itu ada pikiran begini… Demonstrasi,  demontrasi  terus. Protes, protes terus. Apa nggak bisa bikin yang lebih konkret? Ngobrol-ngobrol dengan teman, yang bukan demonstran, ”Kita nerbitin apa kek, gitu…” Yang jadi inti adalah almarhum Toha Mochtar untuk menerbitkan majalah itu. Kita buat majalah di mana kreativitas anak-anak itu harus dirangsang. Aturan harus dirangsang sebanyak mungkin… Kita sudah bikin yang konkret, tapi nggak laku… (majalah itu sekarang men-jadi bacaan cewek ABG).

Anda sudah punya anak waktu itu?

Belum. Saya masih mahasiswa.

Kenapa nggak bikin majalah kebudayaan partisan?

Nggak. Forget it! Anak-anak kan masih panjang masa depannya.

Nggak diketawain aktivis lain, kok bikin majalah anak-anak?

Ya diketawainlah. Yah, memang nggak gagah. Memang bukan itu yang dicari kan? Mau kita kan menyebarkan nilai-nilai apa, gitu.

Kenapasih Anda selalu berpakaian santai, seadanya, bersepatu sandal, tidak tahan AC. Apa tidak jadi penghambat kalau harus hadir di pertemuan-pertemuan?

Nggak. Dari dulu nggak. Gimanaya? Dari mahasiswa saya juga bercelana pendek. Agak bebas begitu.

Anda nggak suka formalitas?

Ya, saya nggak suka.

Kenapa?

Saya pikir kita bangsa yang memberikan nilai yang sangat tinggi pada formalisme. Itu harus dilawanlah. Pakai sepatu sandal itu enak, dingin, membukanya nggak repot. Kalau formalisme itu diikuti terus, berbahaya Iho. Itu kan bisa meningkatkan demand. Anda bisa menginginkan jas yang ber-merek, sepatu yang bermerek, tali pinggang yang bermerek… Salah-salah akhirnya Anda juga mengambil yang Anda tidak berhak, untuk memenuhi kepentingan itu. Waktu kita ramai-ramai di Komite Antikorupsi, persoalannya kan semacam itu. Waktu itu kan ada aktivis-aktivis lain yang dituduh sudah mapan. Mereka bilang, ” Wah itu karena kalian belum kebagian. Entar kalau lu kebagian…” Hahahaha… Orang akan lebih mudah menunjukkan sikap antikorupsi kalau tidak ada kesempatan untukitu, nggak ada yang bisa dikorup. Waktu itu ada kesadaran kita, kalau kita masuk lumbung padi, jangan kita timpe.

Jadi tikus kelaparan di lumbung padi.

Hahahaha… Tetap hidup kok.

Dulu mau membakar ijazah sarjana hukum ya?

Negak jadi. Waktu itu memang sudah niat lama. Karena benci, bagaimana masyarakat memberikan penghargaan yang tinggi kepada ijazah. Dulu, tahun tujuh puluhan, ijazah kan laku. Pintu-pintu rumah cewek terbuka. Baru sekarang tamatan S1 nggak laku… Nah pas sehari sebelum wisuda, orangtua saya datang, dari kampung. Rupanya kakak saya memanggil. Yah nggak enaklah. Kita kan tetap orang Timur. Nah komprominya, saya nggak ambil ijazah. Itu saja.

Sampai sekarang?

Ya. Itu pun kalau (ijazahnya) masih ada. Hahahaha…

Anda di Komnas nggak bisa korupsi juga ya?

Hahahaa… Bisa juga. Di sini (INFID) juga bisa. Tapi janganlah.

 Anda masih aktif di Yakoma?

Nggak. Saya ke sana karena senang saja sama komunikasi massa. (Yakoma, adalah Yayasan Komunikasi Massa, di bawah Persekutuan Gereja Indonesia). Lima tahun saya di sana, sampai tahun, delapan puluh tiga.

Sekarang soal HKBP. Sampai sekarang kan belum jelas. Sebagai salah seorang umat HKBP apa Anda tidak mengalami suatu kebingungan?

Nggak, nggak.

Karena menyangkut abang Anda?

Bukan, bukan. Sekiranya kakak saya menerima keputusan Bakorstanas, saya akan melawan dia! Saya tidak terima adanya campur tangan luar yang tidak relevan di HKBP.

Tentang HKBP, ada pendapat almarhum TB Simatupang. Bahwa kristenisasi yang masuk ke Tapanuli itu salah, karena orang Batak yang egaliter mendapatkan gereja Lutheran yang hirarkis-presbiterial. Sementara orang Jawa yang feodal, mendapatkan gereja Calvinis yang egaliter-demokratis. Akibatnya masing-masing pihak merasa tidak pas dengan gereja masing-masing…

Hahahahaha! Tidak begitu juga! Lutheran masuk ke tanah Batak ada modifikasinya juga. Sehingga World Lutheran Federation, ketika menerima permohonan HKBP untuk masuk, memaksa doktrinnya . Kesimpulannya: sulit kita mengatakan HKBP itu Lutheran, tapi dibandingkan dengan yang lain-lain memang HKBP lebih dekat. Memang orang Batak tidak pernah mengalami kekuasaan yang sentralistik. Sisingamangaraja itu bukan raja yang menguasai kampung saya dan nenek moyang saya. Dia hanya raja di kampungnya, teritorinya bukan seluruh Tapanuli. Dia tidak mengeluarkan mata uang, dia tidak punya polisi, dia tidak punya pengadilan, tidak seperti Mataram.

Jadi, semua orang Batak itu raia?

Ya.  Hahahaha!  Mudah berontak dia!

Sebagai anggota Komnas HAM apakah Anda tidak ingin mencoba ikut membenahi kasus HKBP?

Kita sedang mengembangkan sesuatu yang tidak ada dalam anggaran dasar, tapi sekarang mulai jadi kon-vensi. Anggota yang kemungkinan mempunyai conflict of interest, tidak terlibat dalam rapat. Harus keluar atau diam. Dalam kasus Freeport misalnya, Ibu Miriam Budiardjo diam atau keluar, karena suami beliau kan pernah jadi komisaris di Freeport. Kasus PDI misalnya, BN Marbun harus diam atau keluar.

Artinya Anda tidak punya kekuatan apa pun untuk mengangkat kasus HKBP ke Komnas?

Ya. Kecuali lewat orang lain.

Anda memprihatinkan HKBP?

Ya, sangat prihatin.

Sebagai umat atau adiknya SAE Nababan?

Sebagai umat. Ada satu hal yang dididikkan sama kami… Ada nilai-nilai yang melebihiikatan keluarga. Waktu SMP, ibu saya guru di sekolah yang sama, mengajarkan bahasa Indonesia dan ”Arab gundul”… (Waktu diajar) saya ngobrol. Saya dikeluarkan dari kelas oleh ibu saya. Bagi sayaitu petir di siang hari bolong. Saya shocked sekali, saya pulang. Malam harinya, ayah saya pulang dari pekerjaan, saya harus mendapat lagi hukuman. Mereka mengatakan, “Justru kamu seharusnya menjaga ibu kamu, berperilaku lebih menghormatinya daripada yang lain-lain…” Biar ibu saya guru, saya tidak mendapatkan privilese secuil pun. Kalau (nilai) harus merah, ya merah. Salah ya dihukum. Makanya sekiranya kakak saya menerima keputusan Bakorstanas, saya akan bertentangan. Ada nilai yang lebih dalamlah daripada hanya ikatan primordial.

Anda, sebagai anggota Komnas HAM, pernahkah dalam kehidupan sehari-hari melanggar hak-hak asasi?

Merokok, melanggar hak orang lain yang tidak merokok — katanya.

Dalam kehidupan di rumah, terhadap anak, pembantu?

Yakita cobalah, kita coba sepenuh-nya. Tapi kami di rumah kan sekarang tidak ada pembantu…

Asmara Nababan dan Keluarga
Asmara Nababan dan Keluarga

Anda, yang bungsu, kok jarak-nya umurnya jauh dari kakaknya?

Anak kececer.

Apa karena Anda masih tradisional, mengharapkan adanya anak lelaki?

Tidak, kita sudah stop. Tiga sudah cukup. Nah manusia merencanakan, Tuhan menetapkan. Masa mau dibu-ang apa? Nggaklah.

Anda sering diskusi sama anak-anak?

Sering. Macam-macam. Tapi soal ekspos keluar, ibunya itu yang mungkin ngotot, untuk keluar dari Indonesia, supaya bisa survive. Asal ada kesempatan begitu. Yang satu ada kesempatan kerja sembari studi di Jerman selama setahun, ibunya yang ngurusin itu. Yang satunya juga bisa satu tahun di Belanda, itu program pertukaran… Urusan ibunyalah itu…

Kok istri lebih banyak mengurusi pendidikan anak?

Nggak. Saya tidak melihat itu sesuatu yang sangat… Tapi ibunya mau mereka lebih cepat apa begitu…

Istri Anda bekerja?

Dulu kerja. Terakhir kerja komersial di Krakatau Steel.

Ketemu istri di mana dulu?

Di… kita sama-sama di GMKI.

Pacaran berapa lama?

Ahhh… dua tahun.

Singkat amat?

Singkat?! Ehsi… (menyebut nama anak petinggi negeri yang barusan menikah) dan si… berapa bulan? Lebih lama sayalah. Hahahaha…

Omong-omong, impian Anda tentang Indonesia itu apa?

Tentu impian saya lain dengan waktu berumur dua puluh tahunya. Nah impian yang terakhir saja ya. Saya memimpikan suatu masyarakat yang demokratis, Indonesia yang demokratis dan modern dalam pengertian tidak harus mengikuti jalan sejarahnya Jepang atau Eropa…

Anda merasa terkenal?

Nggak. Saya nggak sempat mikir. Nggak jugalah. Dulu juga masuk koran. Tapi itu belum sempat dipikirin.

Kalau keadaan HAM di Indonesia itu sudah baik, pemilunya beres, LSM-nya bebas bergerak, DPR-nya bagus, lalu kalau Anda disuruh memilih maka akan tetap di ornop atau tetap di Komnas?

Hahahaha… ya di ornop. Nggak ta-hu ya. Mungkin karenalatar belakang ya. Dari segi ukuran kebebasan lebih bi-sa saya mengartikulasikan kebebasan saya di sana. Kalau saya masukdi institusi-institusi (pemerintah) itu saya kan harus confirm dengan protokol, 17 Agustus harus ikut upacara, resepsi harus hadir…

Tidak terpikir untuk kembali memimpin majalah Kawanku?

Nggak… saya pikir, kontribusi saya sudah saya lunaskan. Dulu benar-be-nar berjuang, modal dengkul. (Ia berkisah, dulu mereka naik motor kelilingJawa untuk mencari agen). Surat Izin Terbit? Dulu urusan masih mudah. Apalagi menteri (penerangan) masih Boe-diardjo kan? (Kita tanya:) Mana nih Pak? ”Oh,iya,iya…”

Oh ya, honorarium di Komnas berapasih?

Satu, satu juta rupiah… ditambah uang transpor.

Katanya karena honornyakecil, anggota Komnas jadi lebih berani ya?

Hahahahaha…. Kalau gede malah nggak berani ya? Hahaha… bagus juga strategi kita.

Anggota DPR dapat empat juta rupiah sebulan kan malah turun keberaniannya…

Hahahaha… Tapi kalau Anda mengharapkan orang memberikan lebih banyak waktu, sulitjuga seorang kepala keluarga dengan sejuta rupiah diJakarta. Yah, tapiitu kan bukan satu-satunya ukuran.

Percakapan dengan

SUHARTONO

ESTE ADI

ANTYO RENTJOKO

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Pendidikan di Tapanuli Utara

Halo, apa kabar Anda.di bulan Maret 2000? Semogakita tetap bersemangat mengisiharihari kehidupan dengan berbagai pikiran dan perbuatan yang bermanfaat. Bermanfaat bagi | diri sendiri dan juga untuk orang lain. “Semangatuntuk menolongoranglain”, itulah yang ditunjukkan oleh St KM Sinaga, yang juga komisaris Majalah Bona Ni Pinasa. Lelaki 77 tahun itu selalu menjaga semangat hidup untuk menolong sesama. Untuk menolong orang lain, pendiri Asuransi Bumi Asih Jiwa ini membuka Yayasan Bina Mandiri Wirawan (BMW). Yayasan yang berlokasi di desa Mompang, Kecamatan Aek Nauli, Sibolga didirikan untuk memajukan pendidikan bagi tamatan SLTA. Yayasan BMW menyediakan fasilitas asrama, perpustakaan, laboratorium dan komputer bagi para muridnya secara cuma-cuma. Anda berminat untuk berpartisipasi? Silakan baca artikel Yayasan BMW, Satu lagi upaya mencerdaskan anak Indonesia. Dalam edisi ini, kami secara khusus menyoroti Pendidikan di Tapanuli Utara. Bahwa Tapanuli

Utara saat ini sedang kekurangan guru yang bermutu. Dan bukan mustahil, sekarang ini sudah dan sedang terjadi pembodohan di kampung halaman kita. Laporan lengkap mengenai pendidikan di Tapanuli Utara dapat Anda simak dalam Rubrik Pendidikan. Dan masih rangka “semangat menolong orang lain”, kami tampilkan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan. Mengapa pengalaman melihat mayat tak dikenal ternyata membuat Asmara bersemangat memperjuangkan hak-hak rakyat kecil? Artikel lain yang dapat Anda baca adalah opini bahwa Tapanuli sudah layak menjadi propinsi. Isu lama yang belakangan ini kembali menghangat, sejalan dengan dikeluarkannya UU no 22 tahun 1999 mengenai otonomi daerah. Dan di rubrik budaya, Anda kami ajak -untuk mempelajari cara menulis undangan Batak sesuai pakemBahasaBatak. Semogaartikel kami dapat menggugah Andauntuk lebih “bersemangat menolong orang lain”. Sampai bertemu di bulan April. Salam hangat bagi Anda dan orang-orang yang dekat di hati Anda. B

Pengabdian Seorang Asmara Nababan

Teror dan ancaman tidak pernah hilang dari perjalanan hidupnya, tetapi keteguhan hati membuatnya bertahan. Hanya satu yang diinginkannya, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama.

AWALNYA tertarik terjun ke dalam misi kemanusian ketika sang ibu EID boru Lumban Tobing, yang aktifis kemanusiaan, mengajaknya mengurus mayatyang tidak dikenal di rumah sakit di Medan. Yang ada di dalam pemikiran Asmara “kecil masa itu adalah, mayai tersebut pasti punya keluarga di kampung, padahal mungkin keluarganya mengira ia sudah berhasil di perantauan. Kasihan sekali kalau sampai keluarganya tidak tahu kalau orang yang mereka tunggu-tunggu kehadirannya sudah meninggal. Karenaitulah bungsu dari sepuluh bersaudara anak Guru GL Nababan menjadi tergugah, harus ada orang-orang yang peduli terhadap sesamanya. Pengalaman melihat mayat tak dikenal membekas dalam ingatan putra kelahiran Siborong-borong 2 September 1946. Selepas SMA tahun 1964 dari P Siantar, Asmara yang bercita-cita menjadi dokter harus melanjutkan sekolahnya ke Fakultas Sastra UKI Jakarta, karena

ia terlambat mendaftar ke fakultas Kedokteran UI.

Gagal Menjadi Dokter

menyimpan keinginan menjadi dokter. Ditahun 1965 ia meninggalkan fakultas Sastra UKI dan masuk Fakultas Kedokteran UI. Apa mau dikata,citacita tersebut macet seiring dengan terjadinya perubahan besar di tanah air, yakni G 30 S/PKI. Tentu sebagai seorang mahasiswa dan anggota Gerakan Mahasiswa Kristen

Indonesia (GMKI) cabang Jakarta, ia bersama teman-temannya melakukan perlawanan dan demontrasi. Ketika itu . demo dilakukan hampir setiap hari, padahal sebagai mahasiswa kedokteran, ia tidak boleh bolos. Namun “panggilan’ sebagai aktifis mahasiswa lebih kuat sehingga Asmara rela meninggalkan bangku kuliah. Kejadian tersebut berlangsung hingga berakhirnya orde lama diganti orde baru tahun 1966. Tahun 1967, suami Magdalena Sitorus akhirnya memilih kuliah ke Fakultas Hukum UI dan lulus tahun 1975.

Penggagas Golput

Semasa mahasiswa kenang Asmara, ia banyak mengalami kejadian saat bangsa Indonesia benar-benar terpuruk secara multidimensional. Saat itu, sangat besar harapan mahasiswa bahwa zamanotoriter yang digerakkan oleh Soekarno dapat berlalu sehingga bisa tercipta sistem yang demokrat dan adil. Dan era itu memang runtuh.


Satu peristiwa penganiayaan HAM di Jakarta

Namun gejala-gejala otoriter muncul kembali awal tahun 70-an, ketika itu kelompok yang tidak masuk birokrasi atau Golkar berada di luar dengan melancarkan protes-protes, seperti Komite Anti Korupsi. Dapat dibayangkan baru tiga tahun merdeka korupsi sudah merajalela di pemerintahan, terutama di Pertamina. Kemudian muncul konsep pendirian Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menimbulkan hujan protes. Bagaimana tidak diprotes, saat itu kondisi ekonomi masih sulit, banyak anak tidak sekolah dan masalah kesehatan yang memprihatinkan. Namun mengapa proyek mercu suar tersebut yang didahulukan dan uangnya dari mana, sementara dari anggaran negara tidak ada. Nyatanya waktu itu TMII tetap dibangun. Begitu juga ketika pemerintah melaksakan Pemilu yang pertama, aktifis LSM ini bersama teman-temannya kemudian

membentuk Golput (golongan putih). “Yang dilaksakan oleh pemerintah pada waktu itu adalah pemilu-pemiluan, karena semuanya sudah diatur oleh pemerintah,” ujar Pemimpin Umum majalah Kawanku ini.

Kembali Hidup di Kampung

Setelah 19 tahun malang melintang untuk menyalurkan aspirasinya yang “anti pemerintah Soeharto”, nasib menuntun Asmara kembali ke kampung. Sebagai anak bungsu,ia terbeban untuk menemani sang ibu yang hidup menjanda sendirian dan menderita kelumpuhan. Asmara memboyongistri dan anak-anaknya untuk hidup di Siborong-borong, kota kecil yang terkenal akan kue ombus-ombusnya. Selama di kampung bukan berarti aktifitasnya berhenti. Adik kandung mantan Ephorus SAE Nababan juga menjadi direktur

Yakoma (Yayasan komunikasi masyarakat) dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) yang berkantordi Jakarta. Namun Asmara mengakui, pengalaman hidup di kampung, membuatnya banyak belajar kepadarakyat dan : mempelajari kehidupan masyarakat Tapanuli, baik itu kesulitan hidup, ekonomi maupunpolitiknya. Rupanya banyak kenyataan dan kesulitan hidup yang dihadapioleh masyarakat di kampung. Bersamateman-temanyadari kalangan Pendeta, mereka membentuk suatu KelompokStudi bagi Penyadaran Hukum (KSPH) dan tahun 1985 berubah menjadi prakarsa masyarakat atau KSPPM (Kelompok Studi. bagi Penyadaran dan Prakarsa Masyarakat)

Dituduh PKI

Menurut Asmara ada beberapa penyebab dibentukya KSPPM tersebut. Misalnya, mereka melihat


Asmara Nababan (tengah), “Ada yang hilang dari orang Batak sekarang yakni kemandirian sikap”

lemahnya perangkat hukum sehubungan dengan adanya proyek Inalum (proyeklistrik). Ketika itu banyak rakyat yang ganti tanahnya tidak beres, sawah yang ke tutup pasir. Ironisnya kalau mereka protes dituduh PKI dan ditangkapi. Di tengahsituasi tersebut KSPPM tergerak untuk menyadarkan masyarakat bahwa hak-hak yang mereka bawasejak lahir harus diperjuangkan, dan tidak takut untuk menuntuthaknya. Begitu juga dengan kasus Indorayon, — KSPPM mengorganisir rakyat untuk melawan Indorayon. Dan sungguh sayang organisasi yang dirintisnya itu ditutup oleh Korem dengan tuduhan melawan pemerintah. “Waktu itu Korem memanggil saya untuk memberikan penjelasan, dan saya katakan bahwa PT Inti Indorayon Utama tidak memperhatikan masalah

ganti rugi tanah kepada rakyat, dan juga penanaman ekaliptus itu merusak lingkungan, dimana tanaman tersebut banyak menyerap air sehingga rumput tidak tumbuh disekitarnya. “Terutama juga karena pencemarannya,baikitu air dan udara. Waktu itu kita serahkan datadatanya. Tapi nyatanya pemerintah (Korem) tidak mau tahu dan KSPPM tetap dibekukan,” ungkap pengemar baca buku ini.

Batak kehilangan prakarsa

Lebih lanjut Asmara melihat bahwa, selama zaman orde baru masyarakat Batak telah kehilangan prakarsa, padahal tanpa prakarsa pembangunantidak mungkin berhasil. “Saya selalu mengatakan bahwa ‘namora do hamu dan namalo dohamu (kaya dan pintar), nenek

moyang kita sampai bisa membangun tali air seratus tahun yang lalu, padahal tidak sekolah. Mengapa kita harus menunggu pemerintah memberikan bantuan, Mengapa bukan kita yang membangundiri kita sendiri dan tidak tergantung kepada pemberian pemerintah,” jelas Asmara. Patut diakui, bahwa selama ini (zaman orde baru hingga sekarang) masyarakatBatakselalu tergantung dari pemerintah. Ada sesuatu yang hilang dalam diri orang Batak, yaitu kemandirian, merasa tidak mampu dan bersikap pesimis. Kalau mencari siapa yang patut disalahkan, jelas model pembangunan yang dilakukan oleh rezim Soeharto, yang membuat masyarakat selalu tergantung dan selalu menunggu kebijaksanaan pemerintah, yang tentunya akan memudahkan pemerintah menyetir masyarakat untuk kepentingan politiknya (seseorang).

Membangun Tapanuli

Asmara menilai, untuk membangun Tapanuli tidak perlu konsep atau metode dari sekelompokatau seorang pintar, terutama mereka yang mengakatakan kaum perantau. “Yang penting adalah menimbulkan kembali rasa percayadiri dan prakarsa masyarakat untuk membangundirinya sendiri supaya jangan tergantung kepada seseorang ataupun pemerintah, kalau hanya mendengar konsep atau model dari orang yang katanya pintar


itu sama saja dengan model pembangunan. yang diterapkan oleh rezim orde baru.” Setelah dua tahun menjalani hidup di kampung halaman, Asmara bersama keluarga akhirnya kembali lagi ke Jakarta dan seterusnya aktif di berbagai LSM. Salah satunya mendirikan LembagaStudy dan Advokasi Masyarakat (Elsam) bersamaAbdul Hakim Garuda Nusantara.

Komnas HAM

Kemudian tahun 1993 pemerintah bersama wakil rakyat membentuk Komnas HAM, Asmara masuksebagai anggota. Kenyang akan pengalaman hidup sebagai aktifis kemanusiaan, dengan bumbu-bumbu intimidasi, teror dan ancaman pembunuhan

terhadap keluarganya terutamaketika Soeharto masih berkuasa tidak membuatnya berhenti, malah menjadikannya matang dan lihai dalam memperjuangkan hakhak azasi manusia. Faktor inilah yang menjadikannya dipercaya menduduki jabatan sebagai orang kedua di Komnas HAM yakni sebagai Sekretaris Jenderal. Dan kabarnya,nasib para pelanggar hak azasi manusia ada dalam genggamannya, termasuksang Jenderal Wiranto. B

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Kini sudah lebih dari 600 gedung gereja di Indonesia yang dirusak dan dibakar massa. Apa pendapat Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan SH tentang hal itu? Pada JonroI. Munthe dari NARWASTU, pejuang HAM yang sering diteror ini pun berkomentar soal pelanggaran HAM di HKBP saat diintervensi rezim Orde Baru. Asmara yang juga Sekretaris KPP HAM Timtim ini mengatakan, HKBP dibuat menjadi kelinci percobaan, setelah itu baru dicoba lagi ke PDI Megawati. Dia juga menerangkan bahwa dalam kasus Timtim terdapat 22 orang Kristen/Katholik yang melanggar HAM, dari 33 orang yang direkomendasikan ke Kejaksaan Agung.


Sejak Soeharto berkuasa, di negaraini telah terjadi ribuan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Mulai dari Papua Barat (dulu Irian Jaya), Aceh, Maluku sampai Mataram. Apakahkita masih layak disebut bangsa yang beradab dan manusiawi kalau itu terjadi? Apakahkita sadar bahwaselama32tahun 3 ini gereja justru ikut £ 1 mendukung rezim Asmara. Menegakkankebenaran. Orde Baru? Karenanya,gereja mesti merenung, dan melihat ke belakang apa kekurangannya, apa kesalahannya di masalalu. Sebab kalau masalalu tidakdilihat, tidak dipelajari, kita tidak akan bisa menciptakan kehidupan yang beradabdi negeri ini. Demikian diungkapkan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan dalam sebuahdiskusi baru-baru ini bersama sejumlah pendeta dan pemuka Protestan. Kini nama Asmara Nababan kian meroketsejak ia dipercaya sebagai Sekretaris Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Timor Timur mendampingi Dr. Albert Hasibuan SH, Munir SH dan Todung Mulya Lubis SH.

Dalam tugas kemanusiaan yang disort dunia internasional itu, tak tanggung-tanggung, Asmara Cs “menyeret” sejumlah namabesardi TNIyang diduga melakukan pelanggaran HAM.“Pelanggar HAM dalam kasus ini 11 orang beragamaIslam, dan 22 orang beragama Kristen dan Katholik. Tapidisini kita tidak melihat agamanya, yangkita lihat kebenaran harus ditegakkan,” ungkappria kelahiran Tapanuli Utara, 2 September 1946 soal tugasnya di KPP HAM Timor Timur. Asmara yang merupakan adik kandung Pendeta Dr. SAE Nababan, mantan Ephorus HKBPyang pernah “dipinggirkan”itu, meraih gelar SH dari Fakultas Hukum UI (1975). Pada awalnyaia aktif di Yayasan Komunikasi Massa (Yakoma) PGI, dan di sejumlah LSM. Karena kegigihannya memperjuangkan hak-hak wongcilik akhirnyaia ditarik menjadi anggota Komnas HAM.Disinilah ia menangani ribuan pelanggaran HAM. Baik yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru, maupun oknum militer. Karena tugasnyainitak heranbila wajahnya sering muncul di media cetak maupun media elektronik.


Di tengah kegigihannya memperjuangkan HAM, tak jarang ia mendapat ancaman danteror. “Ya, itu biasalah. Ya, sudah. Kami tak pernah menanggapi serius teror dan ancaman” katanya seperti dikutip Tabloid AKSI. Menurutnya, bentuk ancaman danteror tersebut ada yang berupasurat, dan telepon gelap. “Yang paling sering telepon. Sudah banyak sekali, nggak kehitunglagi. Hampirsetiap hari dua sampaitiga kali saya menerima teleponteror,” akunya. Bila ia selalu tegar dan sabar menangani pelanggaran HAM,ia mengaku semata-mata karena dukungan moril keluarganya, dan doadari banyak kalangan, khususnya umat Kristen. “Saya sangat berterima kasih dengan dukungan moril, dan dukungandoaitu, sehinggasayatetap kuat menjalani tugas ini,” katanya. Pria berpenampilan bak senimanini termasuk tokoh reformasi yang sejak dulu prihatin pada tokoh-tokoh gereja yang takut bersuara nabiah. “Berani nggak kita menyuarakan kebenaran denganrisiko kita dipukul? Jadi, salah satu yang hilang dari gereja adalah sharing of pain.

Ikut menderita dengan manusia. Dengan begitu ia dapat menolong masyarakat. Tapi tidak berarti gereja harus demonstrasi,turun kejalan-jalan. Diperlukan pembicaraan kembali agenda gereja secara bersama-sama.Dari situ bisa diambil sikap,”tegasnya. Di era Orde Baru Asmara dikenalrajin mengkritik pimpinanpimpinan gereja. “Pimpinan gereja itu diakui oleh jemaat, bukan pemerintah. Secara tidak disadari kita banyak memberi kekuasaan pada negara. ‘ Jadi menurutsaya sudah selayaknyakita pikirkan ulang masalah gereja, negara dan masyarakatini. Artinya ketika negara melakukan kesalahan, gereja berani mengeluarkansuara nabiah. Sekarang bagaimanasuara nabiah gereja? Ada nggak?”kritiknya seperti dikutip Kairos. Kekritisan, keberanian dan komitmennyainilah yang membuatnyaterpilih jadi Sekjen Komnas HAM. “Pak Asmara memang yang paling layak menduduki posisi Sekjen karenaia punyaintegritas,” kata Apong Herlina SH, Ketua LBH Jakarta, sebelum pria Batak ini terpilih jadi


Sekjen Komnas HAM. Dalam sebuah kesempatan baru-baru ini, NARWASTU berbincang-bincang dengan Asmara yang tadinya dijagokan menjadi Ketua Komnas HAM menggantikan Marzuki Darusman. Dia berbicara mulai dari penegakan HAM diera Gus Dur-Mbak Mega, pembakaran dan perusakangereja, ketidaksetujuannya pada pendirian partai bernafas Kristiani, sampai SK Bakorstanasda yang merupakan sumber konflik di HKBP tahun 1992 lalu. Berikut nukilannya.

Di zaman Pak Harto dan Habibie banyak terjadi pelanggaran HAM, dan nyaris tidak ada yang diselesaikan secara hukum. Bagaimana di era Gus Dur-Mbak Mega ini?

Ya, sudah mulai ada indikasi bahwa pemerintah yang sekarang mempunyai komitmenyang lebih kuat pada

perlindungan,dan kemajuan HAM.Kalauretorika memang kita sudah sering mendengar,tetapi yang hendak dilihat masyarakat kan bukti-bukti yang lebih nyata dari kemajuan dan perlindungan HAMitu. Dan, indikasi yang terakhiryang bisa kita lihat adalah bagaimana Gus Dur menonaktifkan Jenderal Wiranto dari jabatan Menkopolkam (Menteri Koordinator – Politik dan Keamanan,Red), untuk memudahkan penyidikan kepada Wiranto dalam usaha menemukankebenaran tentang pelanggaran HAMdi TimorTimur. Kita membutuhkan berbagai bukti lain dari komitmen pemerintah tersebut. Apakah itu berhubungan dengan persoalan-persoalan di Papua Barat, Aceh, tetapi juga menyangkut pelanggaran HAM di masa lampau.

Komnas HAM sekarang nampak lebih bergigi. Apakah ini komitmen orang-orang Komnas HAM,atau karena ada tekanan dari luar negeri?


Saya pikir itu suatu keadaan yang tidak baik kalau Komnas HAM selalu munculdi dalam berbagaiperkara penegakan HAM. Karena dia sebenarnya memberitahukan bahwa badan-badan, atau lembagalembaga yang seharusnya yang melindungi HAMitu tidak bekerja dengan baik. Jadi semakin Komnas HAM mengemukamakakita makinprihatin, — karena dia membuktikan bahwabaikpolisi, jaksa, TNI, dan pemerintah pada umumnyasangatlemah dalam melindungi HAM.Ini sesuatu yang sangat memprihatinkan. Jadi satu keadaan yang ideal adalah secara berangsur-angsur Komnas HAM harussurut ke belakang. Dan yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan adalah pemerintah, sesuai dengan standar universal yang sudah kita adopsi. Baik itu dalam TAP 17/MPR/1998 maupun UU tentang HAM No. 39/1999. Di sana tegas dikatakan bahwa pemerintah yang paling bertanggungjawab untuk memajukan, melindungi HAM. Kewajibannya disana, itu bukan kewajiban Komnas HAM.Itu kewajiban pemerintah. ‘

Kabarnya Komnas HAM berencana membentuk KPP HAM Aceh. dan Papua Barat. Bagaimana dengan pelanggaran HAM pada gedung gereja yang sudah dirusak dan dibakar lebih dari 600-an itu?

Negak ada rencana ke sana. Belum ada juga rencana untuk mendirikan KPP HAM untuk Aceh,baru sedang dipelajari. KPP untuk Papua Barat juga sedangkita pelajari, yang ada sekarang baru untuk Maluku. Tapi juga tingkatannya, penekanannya pada mediasi, bukan pada penyelidikan pelanggarannya an sich. Tetapi juga titik berat mediasi dari dua kelompok yang bertikai. Jadi soal kerusuhan dimana gereja banyak dirusak dan lain sebagainya, itu sampai sekarang kan satu persoalan yang haruskita lihat di dalam konteks politik di Indonesia. Dan penyelesaiannya lebih bersifat penyelesaian politik.


Ada pengamat politik mengatakan, bahwa dengan diungkapkannya kasus Timor Timur oleh KPP HAM, kasus bernuansa SARA seperti pembakaran gereja akan berhenti. Ini bagaimana?

Mudah-mudahan. Karena kalau benar dugaan selama ini bahwa berbagai kerusuhan itu diatur oleh kelompok-kelompok yang pro status quo di kalangan militer, maka kita mengharapkan ini (kerusuhan bernuansa SARA, Red) akan menurun.

Anda sendiri melihat ada elite-elite yang bermain dalam kerusuhan bernuansa SARA itu?

Iya jelas, jelas. Itu kan jelas.

Di tabloid AKSI ditulis, anda sering mendapat ancaman dan teror karena tugas yang berkaitan dengan kasus Timor Timur. Apa betul demikian?

Biasa, nggak usah digede-gedein. Biasa aja tuh. Dalam keadaan sekarang itu kan bagian dari pekerjaan, saya pikir kita tidak usah membesar-besarkan. Nggak apa-apa kita hadapi.

Bagaimana Anda menghadapinya?

Yang jaga saya yang diatas (tangannya sambil menunjuk ke atas, Red). Yang melindungi kan diatas.

Jadi Anda selalu optimis, begitu?

Ada memangtakutnyaha…ha…ha. Yang penting kan rasa takut itu tidak membuat pekerjaan kita berhenti. Jangan sampai rasa takut mengalahkan kita. Dan, kita yang harus mengalahkan rasa takut.

Jika Anda diteror terus Anda tidak bakal mundur?

Nggaklah.

Kita bicara yang lain. Dulu waktu HKBP diintervensi Orde Baru tahun 1992, kan banyak juga pelanggaran HAM. Malah SK Bakorstanasda itu justru membuat ephorus versi Orde Baru merajalela. Nah, kasus ini masih bisa nggak diungkap?


Jadiini lebih terpulang pada gereja-gereja sendiri. Bukan hanya HKBP, tapi juga gereja-gereja di Indonesia apakah ikut mempunyai keinginan untuk mengungkap kebenaran. Kalau ini dirasakan sesuatu yang perlu, maka ini waktu yang baik bagi gereja-gereja untuk mengungkapkan kebenaranitu. Ini belum ada,tidak adasatu gereja pun, termasuk gereja HKBP yang menyuarakan, bahwa kamiingin kebenaran tentang campurtanganmiliter kepada gereja sekarang waktunya dibuka. Nggak ada suara seperti itu.

Jadi masih releven untuk dibuka?

Oh…kalau kita tidak tahu apa kesalahan di masa lampans maka kita tidak akan bisa mengelakkankejadian yang samaterjadi di masa depan. Lesson to be learned, pelajaran apakah yang kitapetik dalam masa lampau.Kita tidak memetik satu pun pelajaran, maka wajar kalau kita akan terjerembab pada masa yang akan datang. Karenakita tidak tahu salahnya.

Anda melihat kasus HKBP ini sama dengan kasus PDI Megawati dulu?

Oya, persis. Itu semacam model, semacam satu percobaan, testing. Perencanaanjahatitu diuji dulu, di HKBP berhasil, maka dipakai ke PDI. Jadikelinci percobaannya gereja HKBP lalu dipakai ke PDI (Megawati, Red).

Kenapa mesti gereja atau umat Kristen – yang dijadikan kelinci percobaan, atau direkayasa agar dimusuhi?

Indikasi ini adalah disharmoni dalam masyarakat. Gereja-gereja kita juga dalam waktu yang lama ini tidak menyatu dalam masyarakat. Hidup secara eksklusif,tidak begitu peduli pada masalah-masalah di masyarakat, dan wajar saja masyarakat tidak merasa ada manfaatdari gereja. Dan mereka merasagereja sesuatu yangasing. Sekali tempogereja dilabel sebagai ancaman pada agamalain, dilabel sebagai tempat orang-orang kayadanlain sebagainya. Maka gereja dengan mudah menjadi sasaran.


Soal izin membangun tempat ibadah juga dijadikan alasan untuk merusak. Ini bagaimana?

Iya itu kan teknis sekali. Di bawahnya kan disharmoni, dan disharmoniini kan harus diperbaiki semua pihak. Tidak bisa hanyaorang Kristen yang memperbaiki. Disharmoni dalam masyarakatitu harus dibangun secara bersama dengan kelompoklain, umat Islam. Untukini apa yang diperlukan? Umpamanya,trust building: Bagaimanakita membangun saling percayadiantara umatKristen, umatIslam, dan umatumat lain. Usaha apa yang sudah kita buat, jangan kita dulu menuntut orang lain. Jadi menuntutdiri kitalah dulu. Usaha apa yang sudah kita buat supaya umat beragamalain percaya pada kita. Iya dong. Harus dong, kalau tidak dia akan terus dibakar gerejanya.

Lalu bagaimana Anda melihat posisi umat Kristen/Katholik di era Gus Dur-Mbak Megaini?

Iya, seperti yang saya katakan tadi,itu lebih pada satukorban pertarungan politik. Kita sering menjadi

kambing hitam, jadi sasaran, persoalannyakan kita yang sering membuat kita jadi kambing. Gampang dihitamkan, makanya gereja jangan jadi kambing. Jadi gerejalah.

Maraknya kerusuhan bernuansa SARA di Tanah Air apakah ini indikasi bahwa banyak warga gereja kurang memahami politik?

Untuk jangka waktu yang lama teologia kita masih memandang politik suatu bidang yang tidak perlu dilayani. Padahalpolitik juga wilayah pelayanan, dan kita nggak pernah secara serius membuat pelayanan di bidang politik. Bahkan kita apolitis. Kalau ada Pendalaman Alkitab, ada program remaja, sekolah mingguitu soalpolitik dianggap bukan soal gerejawi. Itu harus dijauhkan dari gedung gereja. Nah,jaditidak bisa disalahkan rupanya bahwa umat Kristen tidak mempunyai kesadaran politik yang memadai di tengahtengah masyarakat yang sangatpluralistik yang cepat berubah ini. Kitatidak dilengkapi, warga tidak dilengkapi dengan memadai supaya mereka dapat menjadi warga jemaat tapi sekaligus juga warga masyarakat.


Kalau begitu Andasetuju dong pendirian partai bernafas Kristen seperti PDKB, Partai Kristen Nasional Indonesia dan Partai Katholik Demokrat?

Saya sangat menolak. Saya melihat satu kebodohan baru di abad ini, di mana kekristenan dipakai untuk kepentingan politik.

Tapi kan program mereka mengedepankan HAM juga?

Itu sudah jelas. Posisi saya yah, sebagai kekristenan tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk kepentinganpolitik, itu aja. Dan kita hidup di tengah masyarakat yang pluralistik. Kita memerlukan yangtadi, harmoni. Jangan kita memperkuat lagi sektor-sektor, iya kan. Ketika ada gejala sektarian berkembang di Indonesia kita juga memberikan reaksi yang sama,kitajuga membuat gerakan-gerakan yangsektarian. Membikin partai Kristenlah, apalah.

Anda setuju partai bernafas Kristiani ini dibubarkan?

Urusan mereka itu. Bukan urusan saya. Jangan pemerintah kita harapkan membubarkanitu,salahlagi, otoriter kan. Yah, merekalah bubarin diri, sadar sendiri. Itu sektarian. Jangan cuma nuduh Islam sektarian, tahu-tahu dalam diri kita juga ada sektarian. (Jonro)

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail

PENDAHULUAN

Gerakan pro demokrasi yang dimotori mahasiswa berhasil memaksa mundur rejim otoritarian Soeharto pada tahun 1998. Momentum untuk akselerasi pemajuan hak asasi manusia menjadi leblh terbuka. Untuk memenuhi tuntutan dan tekanan gerakan pro demokrasi, berbagai perubahan pada tingkat instrumental segera dilakukan oleh Pemerintah Habibie, dilanjutkan Pemerintah Abdurrahmad Wahid. Pembebasan tahanan politik. pencabutan UU Anti Subversif. pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, penghapusan lembaga Surat Izin Terbit (SIT). ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. adalah sebagian dari contohcontoh perubahan instrumental yang lebih memberi ruang bagi pengakuan atas hakhak kemerdekaan sipil dan politik. Ketika terjadi pelanggaran hak asasi yang luas di Timor Timur menjelang dan sesudah jajak pendapat pada tahun 1999, gerakan-gerakan masyarakat sipil semakin meningkatkan tekanannya. Kejahatan kejahatan yang melibatkan aparat militer dan kepolisian Indonesia di

Timor Timur yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum dan internasional secara langsung, menimbulkan protes keras dan tuntutan agar kejahatan-kejahatan tersebut diselesaikan secara hukum, sesuai dengan standar-standar hukum internasional. Tekanan internasional menguat ketika Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyelenggarakan sidang khusus untuk membahas kasus Timor Timur 23-24 September 1999. di Geneva.3 Pemerintah Indonesia tidak berhasil mencegah diadakannya sidang khusus ini. Sidang inimengeluarkan resolusi agar PBB membentuk tim invesiigasi internasional. yang kemudian dalam laporarr penyelidikannya.a mengeluarkan rekomendasi perlu dibentuknya pengadilan internasional untuk menyelesaikan kejahatan serius yang terjadi di Timor Timur. Sementara itu. sebelum sidang khusus tersebut dibuka (kurang dari 24 jam), Pemerintah Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyepakati bahwa Komnas HAM akan melakukan penyelidikan atas peristiwa ini, dan penyelesaian kasus ini akan dilakukan di pengadilan hak asasi manusia. Rencana penyelidikan itu diumumkan ke publik tanggal 22 September malam hari.


Pada mulanya Komnas HAM enggan untuk menyelidiki kasus ini. karena berbagai pengalaman penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM atas pelanggaran hak asasi yang berat. tidak diselesaikan secara adil. Sebelum kasus Timor Timur. Komnas HAM sudah menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Aceh selama operasi militer. Laporan penyelidikan ini tidak diselesaikan oleh pemerintah. Hal yang sama juga terjadi pada kasus-kasus yang diselidiki oleh Komnas HAM sebelumnya, seperti kasus extra judicial killing, torture dan disoppearance di Hoea/ Timika (1995) dan kasus extra judicial killing dan forf ure di Liquisa,/ Timor-Timur (1996) yang diselesaikan melalui Pengadilan Militer. Pengadilan tersebut hanya menjatuhkan hukuman ringan kepada para prajurit TNI. Para komandan yang seharusnya bertanggungjawab pun tidak pernah dituntut. Kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Aceh yakni kasus Teungku Bantaqia (1998) yang diselesaikan melalui pengadilan koneksitas (gabungan pengaCilan umum dan pengadilan militer)pun berakhir sma. Semua pengalaman ini memberikan peringatan yang jelas bahwa

sistem peradilan yang ada tidak dapat dan tidak mampu mengadili kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan standar-standar internasional. Hal yang harus kita ingat, jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang termasuk dalarn jurisdiksi internasional, maka Wnyelesaiannya juga harus sesuai dengan standar internasional.

Hanya dengan janji yang tegas dari pemerintah, akhirnya Komnas HAM menyetujui untuk melakukan penyelidikan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi sebelum dan setelah jajak pendapat diTimor Timur. Janji p€rnerintah itu diwujudkan dengan diterbitkannya PERPU No.1 /7999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada tangga! 8 Oktober 1999. Hal itu kemudian digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai argumen pokok untuk mencegah dibentuknya pengadilan internasional oleh PBB atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur. Hal itu sesuai dengan exhausted principle, yang menerima national remedies sebagi pilihan pertama, dimana kejahatan


itu masuk dalam yurisdiki pengadilan nasional dan internasional (“concurent yurisdicfion”) yang dikenal dalam hukum internasional. Jurisdiksi Internasional baru mulai bekerja bila notional remedies telah habis digunakan (exhausted) dan peradilan nasional tidak mau (unurilling) atau tidak mampu (unable) menegakkan keadilan. Hal yang demikian bukan tidak disadari oleh Komnas HAM. Dorongan untuk membentuk mekanisme nasional judisial lahir dari kebutuhan nyata di Indonesia. mengingat banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadidi masa lalu yang tidak pernah mendapat penyelesaian yang adil dan kemungkinan pelanggaran tersebut masih besar kernungkinannya terjadi di masa depan. lndonesia membutuhkan dibangunnya mekanisme nasional, tanpa harus menolak jurisdiksi internasional.

PERPTJ No 1/1999 akhirnYa diganti dengan UU No 20/2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2002 untuk pertama kalinya perkara kejahatan terhadap manusia yang terjadi di Timor Timur 1999, disidangkan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc Timor Timur,

Jakarta. Disusul pada tahun 2003. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc Tanjung Priok memeriksa perkara kejahatan terhadap ketnanusian yang terjadi pada tahun t984. Dua pengadilan ad hoc ini, bersidang di tengah-tengah harapan dan keprihatinan yang berpusat pada pertanyaan utama yakni : dapatkah pengadilan tersebut berjalan dengan prinsip impartial dan t’air untuk menegakkan keadilan sesuai dengan standar internasional.

Persidangan untuk kasus Timor-Timur dipantau dari dekat baik oleh organisasi hak asasi manusia Indonesia maupun dari luar negeri. termasuk PBB. Pengamatan dan analisis atas persidangan-persidangan kasus Timor-Timur dan kasus Tanjung Priok menunjukkan berbagai masalah serius. menyangkut hukum material dan acara dari pengadilan hak asasi manusia, serta kompetensi yang sangat diragukan dari Kejaksaan Agung sebagai institusi yang berwenang untuk melakukan penyidikan dan penuntutan. Administrasi dan kompetensi dari majelis hakim, menjadi masalah yang juga ditemukan di pengadilan itu.


Tulisan ini tidak akan membahas semua persoalan, tetapi akan menguraikan beberapa persoalan-persoalan menyangkut konsep pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tanggung jawab individu dalam kejahatan internasional, elemen-elemen kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, konsep tanggung jawab komando dan mekanisme penyelesaian kejahatan pelanggaran hak asasi manusia. Mekanisme penyelesaian peianggaran hak asasi manusia lainnya, khusus yang terjadi di masa ialu yakni komisi kebenaran (frufh com’ mission) tidak dibahas dalam tulisan ini.

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai kejahatan serius

Pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori berat atau gross human righfs uiolation, terjadi ketika ada pelanggaran atas non -derogable rights atau pelanggaran atas ius cogens yang dilakukan oleh negara melalui

aparatusnya. Nonderogable rihfs, merupakan hak yang tidak dapat dikurangi -apalagi dilanggardalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan perang, yang perlindungannya tidak dapat ditunda dengan alasan apapun. Kovenan Internasional l-lak Sipil dan Politik (ICCPR) menetapkan non-derogable rights meliputi hak hidup (psl 6), hak untuk tidak disiksa (pasal 7), hak untuk tidak diperbudak (psl 8), hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian (psl 11), hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat tindakan tersebut dilakukan (psl 15), hak untuk diakui sebagai pribadi di muka hukum (psl 16) dan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (psl 18).

Pemikiran itulah yang menjadi landasan Komnas HAM ketika menjawab pertanyaan dari Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI kasus Trisakti. Semanggi I dan Semanggi II tahun


Dalam suratnya, Pansus menanyakan: “apakah dalam peristiwa-peristiwa tersebut telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia?”. Komnas HAM menyatakan bahwa oleh karena hak hidup sebagai non-derogable righrs teiah dilanggar maka telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Namun demikian untuk memastikan secara juridis maka diperlukan penyelidikan pro-justisia.

Pelanggaran hak asasi Yang berat sebagai pelanggaran atas ius cogens adalah pelanggaran atas norma umum dalam hukum internasional yang disepakati. dan diakui oleh negara-negara dalam masyarakat internasional, sebagai sebuah norma yang tidak boleh dilanggar atau dikurangi. Norma itu hanya dapat diubah jika lebih banyak negara-negara di dunia mengakui dan menerima sebuah norma lain yang subsekuen dengannYa.T Pelanggaran hak asasi Yang berat merupakan suatu kejahatan internasional’ dimana kejahatan ini dikategorikan sebagai musuh semua umat manusia (hosfis humanis generis)8. Oleh karenanya menjadi tanggung jawab semua umat manusia (obligatio erga omnes) untuk menyelesaikannya secara hukum. menghukum pelakunya secara adil. Secara formal, hukum Indonesia mengenal konsep pelanggaran hak asasi manusia

yang berat dalam rumusan Perpu No 1/1999. Pasal 4 Perpu tersebut rnenyatakan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia berupa:

  1. pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur. atau cacat mental atau fisik dengan, a). melakukan Perbuatan membunuh anggota kelompok tersebut; b) melakukan Perbuatan Yang menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat Pada anggota kelompok; c) menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik; d) memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau e) memindahkan dengan paksa anakanak kelonrpok tersebut ke kelompok lain.
  2. pembunuhan sewenang-wenang atau di lurar putusan pengadilan;
  3. penghilangan orang secara paksa;
  4. perbudakan;

  1. diskriminasi yang dilakukan secara sistematis; penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memPeroleh keterangan atau pengakuan baik dari yang bersangkutan mauPun orang ketiga, atau untuk menakut-nakuti atau memaksa yang bersangkutan atau orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.

Rumusan yang luas dan tidak terbatas dalam kategori kejahatan “genosida” dan “kejahatan terhadap kemanusian”, sebenarnya amat menguntungkan dari segi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan’ Kejahatan yang dilakukan tidak harus mengandung elemen-elemen seperti “sistematik” atau “meluas” seperti, yang disyaratkan dalam kategori “kejahatan terhadap kemanusian”, sejauh kejahatan tersebui termasuk dalam pelanggaran hak asasi yang berat. dan/aiau merupakan pelanggaran terhadap ius cogen.

Lebih jauh, UU 39/!999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam penjelasan pasal 104 menYatakan bahwa Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide)e pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judiciol killing)’ penyiksaan, penghilangan orang secara pal<sa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systemofic discrimo nation). Rumusan yang cukup luas dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran berat hak asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi manusia.

Namun berbeda dengan rumusan dalam Perpu l/1999 dan UU 39/1999 maka UIJ No.26/2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, ternyata membuat pembatasan rumusan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 7 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pelanggaran hok asasi manu’ sia yang berat meliputi: a- keiahat’ an geno.sido; b. keiahatan terhadap kemanusisn. Dengan demikian mengeksklusifkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia seperti yang dirumuskan dalam UU 39/1999, seperti : diskriminasi yang dilakukan secara sistematis, penyiksaan di luar genosida atau kejahatan serius lainnya.


UU 26/2000 membtrat klaim bahwa rumusan dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusian diambil dari rumusan standar internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 7,yang berbunyi: “kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian” dalam ketentuan ini sesuai dengan “Rome Statute of The lnternational Criminal Court” (Pasal 6 dan Pasal 7). Namun demikian, bila kita melakukan perbandingan langsung dengan teks dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan maupun dalam perumusan, antara lain:

  1. Dalam Statuta Roma Penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi yuridksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang memberikan pembatasan terhadaP munculnya penafsiran yang berbeda. Hal Sebagaimana umpamanYa diatur dalam Pasal 7 aYat 2. Sedangkan dalam UU 26/2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan yang dimasukkan dalam Pasal 97b) undang-undang dan ada pula yang dimasukkan dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan kesimpangsiuran berbagai pengertian stanCar dari elemen-elemen kejahatan selama persidangan kasus Timor Timur
  1. Penterjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti : “Attack directed against any ciuilian population (Statuta Roma, Pasal 7) diterjemahkan menjadi : “Serangan ysng ditujukan secarct langsung terhadap penduduk sipil” (UU 26/2000 Pasal 9). Seharusnya terjemahan yang benar adalah : “ditujukan kepada populasi sipil”. Kata “langsung” dapat ditafsirkan bahwa serangan itu dilakukan oleh pelaku langsung dilapangan saja. Dengan demikian hanya mereka yang di lapangan yang dapat dikenakan pasal ini, dan tidak meliputi pelaku di tingkat komando atau atasan. Sementara itu rumusan “penduduk sipil”, hanya membatasi target potensial korban kejahatan hanya pada penduduk setempat. Padahal korban bisa saja orang-orang yang bukan penduduk setempat,yang pada waktu peristiwa berada di tempat kejahatan terjadi. Majelis hakim di ICTY dan ICTR memberi pengerlian yang luas pada “populasi sipil”, yang mencakup siapa saja (penduduk atau bukan penduduk) yang menjadi korban kejahatan.
  2. Penerjemahan ” persecution’ menjadi penganiayaan, yang merupakan tindakan langsung kepada fisik seseorang. Kata itu bila dikembalikan ke bahasa Inggris berarti “cssculf”.

  1. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam undang-undang maupun oenjelasan undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang
    Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan intimidasi, teror yang sifatnva non fisik menlacii luput dari cakupan”penganiayaan”. Padahal persecution mencakup pengertian yang lebih luas merujuk kepada perlakuan yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun ekonomis.
  2. Tidak dimasukkannya ayat 1(k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9 UU 26/2000 menyangkut bentukbentuk tindakan yang tidak manusiawi, yang mernpunyai tujuan untuk menimbulkan penderitaan berat, atau melukai secara serius atas badan atau mental atau kesehatan fisik.

Berbagai kekacuan perumusan ini, dengan mudah dapat dipakai untuk kepentingan-kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya keadilan. Sebagaimana dapat dicermati daiam kasus Timor

Timur, kejahatan pembumi hangusan bangunan, rumah dan fasilitas publik yang diperkirakan mencapai tingkat 80%, sebagaimana yang dilaporkan dalam penyelidikan Komnas HAM, tidak ikut didakwakan oleh Penuntut Umum (Jaksa Agung) dengan alasan kejahatan tersebut tidak tercakup dalam rumusan pasal 9 UU 26/2000. Kejahatan yang luar biasa ini akan dengan sendirinya harus didakwakan bila “persecution” tidak diterjemahkan dengan “penganiayaan” atau bila ayat 1(k), pasal 7 Statuta Roma dimasukkan dalam pasal 9 UU 26/2000.

Sulit menerima alasan bahwa Para pembuat UU 26/2000 tidak memahami konsep-konsep hukum internasional, atau tidak mempunyai penerjemah yang handal. Tampaknya alasan kenapa berbagai kerarrcuan inimuncul, terletak kepada hasil kerja dari kekuatan-kekuatan politik status quo di parlemen yang ingin menyelamatkan para pelal<u kejahatan terhadap kemanusian (baik aparat sipil maupun militer) dari jaring keadilan.


Tanggung-Jawab Individual dalam Kejahatan Internasional

Doktrin klasik hukum pidana internasional hanya mengakui negara sebagai ‘subyek’ hukum internasional. Bahwa merekalah yang merupakan person-person internasional yang memiliki hak dan kewajiban langsung di bawah hukum. Individu lebih dipandang sebagai ‘obyek’ hukum internasional’yang untuk mencapainya hanya bisa dilakukan melalui perantara negara. Jika individu-individu itu diakui memiliki suatu derajat personal internasional. maka tanggungjawabnya secara internasional atas perbuatan kejahatan yang dilakukannya hanya bisa dinisbatkan kepada negaranya.l3 Namun demikian doktrin ini setelah Perang Dunia I berkembang mencakup tanggung jawab hukum individu.la Dalam Perjanjian Versailes setelah Perang Dunia I, telah mulai diperkenalkan konsep mengenai tanggung jawab individu dalam kejahatan perang dan dalam apa yang sekarang dikenal

sebagai “kejahatan terhadap perdanraian”. Konvensi Jerman-Polandia menyangkut kawasan Upper Silesia, mengatur perjanjian perdamaian dan adanya ketaatan individu warganegara kedua negara tersebut untuk menghormatinya’ Liga Bangsa-Bangsa juga mulai mengatur tnekanisnre internasional urrtuk memerang i l<ejahatan-kejahatan menyangkui perbudakan kulit putih, serta perdagangan obat-obatan dan narkotik ilegal, dimana seorang invidu dapat dituntut secara hukum Setelah Perang Dunia II melalui Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, diciptakan berbagai ierobosan dalam hukum internasional, termasuk soal tanggung jawab individu dalam kejahatan serius. Berbagai pembelaan para terdakwa pada sidang-sidang pengadilan Nuremberg dan Tokyo, yang mendalilkan bahwa mereka tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena hanya menjalankan perintah resmi negara, ditolak oleh pengadilan. Dua pengadilan ini menegaskan prinsip tanggungj jarvab individu, sebagai tanggung jawab pidana.


Tanggung jawab individu ini kemudian menjadi doktrin hukum yang diterima secara internasional, ketika PBB mensyahkan Code of Oft’ences Against The Peace and Security ol Mankind Pada tahun 1954. Kode inidisusun oleh Komisi Hukum Internasional PBB, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB pada 21 November 1947. Draft kode ini sepenuhnya didasarkan pada hasil-hasil persidangan Nuremberg. Prinsip-prinsip pertanggungjawaban individu selanjutnya disebut Prinsip Nuremberg mencakup:

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.
  2. Fakta bahwa hukum internai(nasional) tidak mengancam dengan pidana atas perbuatan Yang meruPakan suatu keiahatan menurut hukum internasional. tidaklah membebaskan orang yang melakukan Perbuatan itu dari iunggungjawab menurut hukum internasional.
  1. Fakta bahwa orang melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional itu bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat Pemerintah Yang bertanggungjawab, tidaklah membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
  2. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan perintah dari pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum internasional. asalkan saja pilihan moral bebas dimungkinkan olehnya.
  3. Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan internasional mempunyai hak untuk mendapatkan peradilan yang adil berdasarkan fakta dan hukum.
  4. Kejahatan-kejahatan tersebut di bawah ini dihukum menurut hukum internasional:

kejahatan terhadap perdamaian; (i) merencanakan, menyiapkan. memulai atau menggerakkan Perang Yang bersifat agresi Yang melanggar Perjanjian’ Persetujuan. atau jaminan intErnasional; (ii) turut serta dalam menYusun rencana umum atau berkonsPirasi untuk melaksanakan Perbuatan aPa saja Yang tercantum dalam aYat ke (i)’ 100 b. Kejahatan Perang: Pelanggaran terhadaP hukum atau kebiasaan perang, sePerti misalnYa Peianggaran Yang mencakuP, tetaPi tiauX terbatas Pada, Pembunuhan, Perlakuan kejam atau dePortasi untuk kerja Paksa sebagai budak unttrk tujuan apapaun’ juga terhadaP Penduduk aslidari atau Yang berasal dari wilaYah Yang dikuasai; Pembunuhan atau perlakuan Yang tidak manusiawi terhadaP tawanan Perang ‘ orang-orang Yang berada dilautan (kaPal), membunuh tawanan, meramPok milik umum atau Pribadi, Perusakan Yang berkelebihan atau tidak diPerlukan atas kota-kota’ desa-desa’ atau Pemusnahan Yang secar.a militer tidak diPandang Perlu’ c. Kejahatan terhadaP kemanu’ sion: Pembunuhan, Pemusnahan, Perbudakan,dePortasi dan perbuatan Yang tak berPerikemanusiaan terhadaP Penduduk siPil’ atau PenYiksaan berdasarkan alasan-alasan Politik, ras, atau agama, aPabila Perbuatan tersebut dilakukan atau PenYiksaan tersebut dikerjakan dalam Pelaksanaan atau berkaitan dengan kejahatan terhadaP Perdamaian atau kejahatan Perang aPa saja

  1. Keterlibatan (“com plicity”) dalam pelaksanaan suatu kejahatan terhadap perdamaian, suatu kejahatan perang, atau suatu kejahatan terhadap kemanusian seperti disebut dalam prinsip ke-6 adalah suatu kejahatan menurut hukum internasional.

Prinsip pertanggungjawaban individual ini, dirumuskan dalam UU.26/2000 dalam pasal 1(4) : Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil. militer, maupun polisi yang bertanggungjawab secara individual. t5 Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengarr UU No. 26i2000, batasan atas pertanggungjawaban individual ini diatur secara rinci dalam Statuta Roma pasal 25, 26 dan 27. Lebih jauh Satuta Roma pasal 33 memberlkan pembebasan atas tanggung jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewajiban hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukunl atu perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum.


Elements of Crimes Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Yang menjadi sorotan dalam bagian ini hanya menyangkut elemen dari kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan yang didakwakan dalam kasus TimorTimur dan Tanjung Priok. Dua elemen utama (chapeau element) dari kejahatan iniyakni: (1)adanya serangan yang meluas atau sistematik dan (2) ditujukan terhadap populasi sipil. Beberapa elemen lainnya masih merupakan perdebatan yang belum selesai. Oleh karenanya tidak secara tegas diakui dalam hukum kebiasaan internasonal. Dalam konteks ini bisa di!ihat kontroversi elemen “dalam hubungan (nexusl dengan Perang atau Konflik bersenjata”. Statuta Roma menolak elemen ini. Bahkan jauh sebelumnyaThe lnternational Law Commission (1950) telah menolak elemen ini dimasukkan dalam rumusan kejahatan terhadap kemanusian (lihat Prinsip Nuremberg). Statuta ICTR tidak mensyaratkan bahwa kejahatan ini dilakukan dengan nexus konflik bersenjata. Sementara Statuta ICTY dalam pasal 3 menetapkan bahwa: “tindakan kejahatan terhadap kemanusian dilakukan dalam keadaan konflik bersenjata, internasional atau internal”. Namun Pengadilan Banding ICTY dalam keputusan pertamanya menyatakan bahwa statuta ICTY tidak secara akurat. menampakkan hukum kebiasaan

internasional. Dalam konferensi persiapan Statuta Roma nexus ini ditolak, dan dalam Statuta Roma nexus ini tidak dicantumkan.

Elemen lainnya “niat/dasar diskriminasi” dalam kejahatan terhadap kemanusian hanya ditemukan dalam statuta ICTR. Selain itu tidak ada lagi instrumen hukum internasioanl yang memuat elemen ini. Diskriminasi yang dirumuskan ICTR mencakup, kebangsaan, politik, etnis, rasialatau agama”. Dengan demikian tidak memasukan serangan yang meluas atau sistematik terhadap kelompok berbasis umur, kelas, gender,dll yang dilakukan seperti dalam kasus Nazi Jerman, Khmer Merah, atau Stalinis diRusia. Statuta ICTY dan yang paling akhir Statuta Roma tidak mencantumkan elernen ini dalam kejahatan terhadap kemanusiart. Untuk kebutuhan tulisan ini akan dibahas elemen yang paling banyak diperdebatkan dalam kasus di Indonesia. Elemen itu paling banyak diperdebatkan terutama dalam kasus Timor Timur maupun dalam keputusan DPR untuk menyatakan bahwa Kasus Trisakti, Semanggi I dan II bukan pelanggaran hak asasimanusia yang berat, yakni: “serangan Yang meluas atau sistematik” Elemen inilah yang membedakan kejahatan terhadap kemanusian dengan kejahatan domestik, yang dengan demikian mengangkat kejahatan ini


ke tingkat yuridksi internasional. Legal instrumen internasional pertama yang memuat elernen ini adalah Statuta ICTR, meskipun secara impiisit elemen ini merupakan elemen dari kejahatan terhadap kemanusian sejak Statuta Nuremberg. Pada konferensi persiapan Statuta Roma. masih kuat usulan (Perancis, India. Inggris, Rusia, Jepang’dll) agar elemen ini dirumuskan tidak secara alternatif, yaitu “serangan yang meluas dan sistematik”. Hanya dengan kampanye yang kuat dari Ornop HAM (dengan dukungan dari banyak negara) rumusan itu ditolak. karena memang rumusan itu merupakan penyimpangan dari standar hukum kebiasaan internasional.

Serangan“: adalah tindakan baik secara sitematis atau meluas, yang dilakukan secara berganda yang dihasilkan atau rnerupakan bagian dari kebijakan negara atau organisasi. “Tindakan berganda” berarti harus bukan tindakan tunggal atau terisolasi. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa” tindakan berganda” ini berlaku pada bentuk kejahatan (generic crime), dalam pengertian: agar memenuhi elemen kejahatan maka tindakan itu harus terdiri dari iumpamanya, pembunuhan dan penyiksaan.

Meluas” merujuk kepada jumlah korban sedangkan “sistematik” merujuk kepada adanya kebijakan atau rencana. Untuk rnengukur “meluas” tidak diperlukan secara kalkulus. dengan menentukan jumlah minimal korban. Dalam kasus Akayesu, dengan mengutip catatan dari International Law Commissions 1996 atas Draft Code of Crimes, Pengadilan ICTR mengatakan bahwa “meluas” dipahami sebagai “mossiue, frequent, Iarge scale action, carried out collectiuely with considerable seriousness and directed ogoin-sf a multiplicity oluictims”. Dalam kasus lainnya yaitu , kasus Kayishema “meluas” dipahami sebagai “directed against a multiplicity of victims”

Sistematik” merujuk kepada “kebijakan”. “Kebijakan” di sini tiCak harus dalam bentuk formal. Hal itu dapat dideduksi dari keadaan dimana tindakan tersebut dilakukan.20 Dalam kasus Akayesu, dengan mengutip ILC lagi, dirumuskan bahwa “sistematik” sebagai “thoroughly organized and t’ollowing a regular pattern on fhe bosis of common po!icy inuoluing subsfon tial public or priuate resources”.


Dalam UU 26/2000 ” serangan yang meluas atau sistematik ” ini dimuat dalam penjelasan Pasal 9, dengan distorsi yang sudah dibahas dalam bagian: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai kejahatan serius”. Begitu juga telah disinggung elemen utama yang kedua: “populasi sipil”. Beberapa keterangan tambahan tentang elemen ini, adalah disepakatinya pengertian yang lebih luas dengan menambahkan dua elemen lain yakni: (1) sasaran adalah ” non-combatants” dan (2) korban yang menjadi sasaran berjumlah banyak.21 Meskipun disadari garis batas antara combatanf dan noncombatonf juga sangat tipis. Laporan Komisi Ahli yang dibentuk DK PBB untuk menyelidiki pelanggaran atas hukunr l-rumaniter di Bekas Yugoslavia antara lain mengatakan bahwa :”…. Seorang kepala keluarga, yang menyandang senjata untuk membela keluarganya tidak dengan sendirinya kehilangan statusnya sebagai seorang sipil. atau seorang polisi atau seorang anggota pertahanan lokal yang melakukan hal yang sama… “22 Sedangkan kejahatan yang ditujukan kepada combat’ onf dari pihak lawan dalam perang atau konflik bersenjata internal telah dicakup dalam hukum humaniter.

Konsep Command Responsibility

Untuk pertama kalinya konseP Pertanggungjawaban komando dimasukkkan dalam khasanah hukurn Indonesia melalui UU 26/2000. Hukum pidana militer Indonesia juga tidak mengenal konsep pertanggungjawaban ini. Bekas para petinggi militer dari period e Orde Baru, masih tidak dapat menerima konsep ini. Bagi mereka tanggung jawab komandan terbatas hanya merupakan tanggung jawab moral dalam hal pasukan dibawah komandonya melakukan kejahatan serius.23 Konsep iniberkembang dengan pesat setelah Perang Dunia II. Melalui Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, konsep iniditerima secara internasional, yang juga ditemukan baik dalam statuta ICTY, ICTR dan ICC. Seorang komandan seharusnya bertanggungjawab bila pasukan di bawah komandonya melakukan kejahatan pelanggaran hak asasimanusia yang berat. Tanggung jawab hukum ini terdiri dari tiga lapis, yakni: pertama, komandan dituntut untuk kejahatan yang dilakukan pasukan bawahannya, bila dia memerintahkan pasukan tersebut melakukan kejahatan dimaksud (crimes by commission). Bilapun dia tidah


memberikan perintah melakukan kejahatan itu, dia masih harus menghadapi lapis kedua tanggung jawab yakni dituntut atas kejahatan yang dilakukan pasukan bawahannya, bila dia mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan, tetapi dia tidak mencegahnya (crimes by ommission). Sedangkan lapis terakhir, seorang komandan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bilamana dia tidak menindak pasukan bawahannya yang telah melakukan kejahatan.

Satu contoh paling ekstrim dari tanggung awab komando adalah Pengadilan Militer Amerika yang bersidang di Manila. Pengadilan itu mengadili Jenderal Yamasita, panglima bala tentara Dai Nippon Wilayah XIV di Filipina. Yamashita sebagai seorang komandan harus bertanggungjawab secara pidana, atas kejahatankejahatan serius yang dilakukan pasukanpasukannya di Manila dan tempat lain. Padahal dia tidak lagi dapat mengendalikan, bahkan tidak dapat berkomunikasi dengan semua pasukannya, dari markas besarnya di pegunungan terpencil yang berjarak 125

km dari Manila. Dia baru memangku jabatan komando ini hari sebelum tentera Amerika menyerbu Filipina. Pasukan-pasukan di bawah komandonya terlibat tindak kejahatan, pembunuhan. perkosaan, penyiksaan dan penghancuran (destruction). Dia dinyatakan bersalah karena “sebagai komandan, gagal mengendalikan tindakan-tindakan kejahatan berat yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komandonya”. Dia dijatuhi hukuman mati, dengan cara digantung, 23 Februari 1946.

Sebagaimana kerancuan lainnya dalam berbagai ketentuan UU 26/2000, maka tanggung jawab komando juga membawa persoalan-persoalan tersendiri. Pasal 42 ayat 1, menjabarkan tanggung jawab komando sebagai berikut:

“Komandan militer atau seseorong yong secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat di’ pe rtan ggun gjaw abkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh posukon yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yong efektif”


Dalam rumusan ini digunakan kata “dapat” (could) bukannya “akan” (shol/)zs atau “harus”(should), yang mernberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diatur dalam UU26 /2000, pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara otomatis berlaku. Pasal ini menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusian dalam pasal 9 yang cenderung ditulukan kepada pelaku langsung di lapangan. Bila Jaksa Penuntut ingin menuntut penangungjawab komando maka harus dibuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk itu. Selanjutnya, pasal 42 ayat 1(a) mensyaratkan penanggungjawab komando untuk ” sehorusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusio yang berat” Sumber dari pasal ini terdapat di Statuta Romas pasal 28 ayat 1(a) yang secara tegas menyatakan bahwa komancjan militer seharusny a ” mengetah ui bahw a posu kon tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan.

Distorsi penerjemahan ini dalam rumusan pasal ini, telah mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Walaupun dalam pasal 42 ayat 1(b) dicantumkan bahwa ” komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang ltngkup kekuasaannya unfuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut….” Namun dalam rumusan inidan penjelasan pasal ini tidak ada batasan tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggungjawab komando. Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah “layak” atau tidak, apakah “perlu” atau tidak (obligation of conduct). Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan


seharusnya bertanggungjawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk “kelalaian” dan “keaipaan” dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetairui (shou Id haue had knowledge) bahwa Pelanggaran hukum telah terjadi atau sedang terjadi, atau akan terjadi yang dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu.27 Pasal 7(3)Statuta Roma secara imperatif mencerminkan standar trukum kebiasaan internasional ini.

Rujukan pada standar internasional yang dilakukan memperlihatkan berbagai distorsi rumusan command respons ibilty dalam UU 26/2000. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa Jaksa Agung (sebagai penyidik dan penuntut umum) punya banyak kesempatan menggunakan “lubang-lubang hukum” untuk tidak menuntut Jenderal Wiranto sebagai pemegang komando tertinggi dalam garis komando ABRI dalam kasus Timor Timur, atau Jenderal

Benny Moerdani (Panglima ABRIsaat peristiwa itu te4adi)dan Jenderal Try Sutrisno (PangdamV / Jaya pada saat peristiwa itu terjadi) dalam Kasus Tanjung Priok. Dalam kedua kasus tersebut mereka direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya.

Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

Sejak selesainya peradilan di Nuremberg dan Tokyo tahun 1948 – selama hampir 50 tahun sesudahnya – pengadilan internasional untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tidak pernah dibentuk lagi. Dalam halini, bukan karena tidak terjadi berbagai kejahatan serius. Akan tetapi pada masa Perang Dingin sampai akhir tahun 1980an, kekuatan super blok Barat dan Timur saling mencegah terbentuknya pengadilan internasional untuk mengadili kejahatan yang dilakukan oleh salah satu anggota blok tersebut. Berbagai usaha internasional kandas dalam mekanisme PBB khususnya Dewan Keamanan PBB – badan yang mempunyai kewenangan sesuai dengan Piagam PBB Bab VIII, untuk membentuk pengadilan internasional. Meskipun demikian berbagai usaha untuk membentuk


suatu mekanisme internasional guna menyelesaikan berbagai kejahatan serius terus berlangsung. Beberapa instrumen yang penting bagi mekanisme internasional dapat dihasilkan, antara lain Konvensi mengenai Non-Aplikasi Limitasi Statutorial pada Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusian (1968)28 dan Prinsip-prinsip mengenai Kerjasama Internasional dalam Penahanan, Penangkapan, Ekstradiksi dan Penghukuman Orang-orang yang Bersalah dalam Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusian (1973).

Baru setelah Perang Dingin berakhir, dua pengadilan internasional dibentuk yakni International Criminal Tribunal t’or the Former Yugoslauia (ICTY) 199330 dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) 1994. International Criminal Tribunal t’or the Former Yugo’ s/ouio (ICTY) mengadili berbagai pelanggaran serius (serious uiolationl atau pelanggaran berat (graue breaches) terhadap hu[u- humaniter internasional, hukum kebiasaan perang, genosida dan keiahatan terhadap knrnunutian yang terjadi sejak lggl. Sementara itu, lntemational Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) I9943r mengadili kejahatan genosida., pelanggutun Konvensi Geneva dan kejahatan ierhadap kernanusian yang terjadi di Rwanda sejak 1 Januarihingga 31 Desember 1994. Kedua pengadilan ini bersifat ad hoc, yang Pembentukan dan PenYelenggaraan peradilannya menghabiskan sumber daya yang besar’.

Tahun 1998 meruPakan tahun Yang sangat penting dalam upaya masyarakat inteinasional membangun satu mekanisme internasional untuk menyelesaikan berbagai kejahatan serius. Konferensi DiplornJtit di Plenipotentiaries. Roma 25-17 Juli 1998, mensahkan dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (lnternational Criminal Court’ ICC) yakni Statuta Roma. Setelah diratifikasi oleh 60 negara lebih maka pada tanggal 11 Juli 2002, mahkamah ini mulai ufeltif bekerja, dan berkedudukan di The Hague. Belanda Mahkamah ini mempunyai yurisdiksi mencakup empat jenis kejahatan yang serius. yakni genosida. kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang’dan kejahatan agresi. Rumusan dan batasanbatasan dari tiga jenis pertama kejahatan ini telah disepakati pada waktu statuta disahkan. sedangkan untuk kejahatan agresi masih akan dirumuskan kemudian’ Yurisdiksi mahkamah ini’ meliputi kejahatan yang terjadi setelah tanggal 11 Juli 2002. Asas non-retroaktif ditetapkan secara pasti. Sedangkan untuk kejahatankejahatan serius yang terjadi sebelum tanggal tersebut, masih terbuka kemungkinan penyelesaiaannya melalui pengadilan internasional ad-hoc. Mekanisme internasional memang suatu yang perlu, namun adanya mekanisme ini tid;k menghapus tanggung jawab negara – sebagai anggota masyarakat dunia yang beradab – untuk menghukum para pelaku kejahatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Yurisciiksi dari Mahkamah Pidana


Internasional justn’r baru mulai efektif ketika satu negara tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable)mem prosekusi kejahatan yang terjadi di dalam yurisdiksinya. Namun demikian satu negara tidak dapat – untuk alasan tertentu – melaksanakan suatu peradilan pura-pura, karena dalam keadaan seperti itu Muhkumah Pidana Internasional aapg! melakukan prosekusi atas kejahatan itu’32 Dalam keadaan ini prinsip nebis in idem dikesampingkan.

Inilah dasar utama argumentasi dari berbagai kalangan internasional, untuk tetap mengusahakan dibentuknya pengadilan internasional untuk kasus Timor Timur, meskipun Indonesia telah melakukan proses hukum melalui Pengadilan HAM Adhoc Timor Timur. Berdasarkan pengamatan dan evaluasi, disimpulkan bahwa pengadilan ini tidak berjalan sesuai dengan standar-standar yang diakui dalam hukum internasional. Dalam upaYa untuk mencegah terjadinya kejahatan serius, mekanisme nasional tidak menjadi satu mekanisme satusatunya. Oleh karena mekanisme nasional justru tidak dapat menegakkan keadilan, baik karena keterbatasan sumber daya nasional maupun alasan lain’ maka satu generasi baru mekanisme

penyelesaian kejahatan serius muncul. Mekanisme tersebut merupakan gabungan dari upaya internasional dan lokal. Mekanisme tersebut dikenal dengan nama pengadilan hybrid, yakni:

Tribunal Khusus untuk Kejahatan Khmer Merah di Kamboja. Pendirian tribunal khusus ini dilakukan dengan undang-undang nasional Kamboja33, sebagai bagian dari kompromi terhadap tuntutan pengadilan internasional. atas kejahatan yang dilakukan rejlm Khmer Merah dalam periocie 17 April I97 5 hingga 6 Januari I97 9 . Rejim yang berkuasa kurang dari 4 tahun ini telah membantai 1,5 – 2 iuta orang, 20o/o dari total penduduk Kamboja, dalam upaya revolusi agraria untuk membangun suatu masyarakat yang murni (“borisot”). Tribunal ini akan mengadili kejahatan-kejahatan yang diancam oleh hukum pidana Kamboja yakni; pembunuhan, penyiksaan dan persekusi agama disamping kejahatan genosida sesuai dengan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Genosida (1948). Terdakwa yang akan diadili dibatasi hanya kepada pimpinan senior Democratic Kampuchea dan mereka yang paling bertanggungjawab


(mosf responsible) atas kejahatan yang dilakukan (Pasal 2). Ketentuan ini membebaskan para pelaku lapangan yang melakukan kejahatan tersebut.

Perlu dicatat keterlibatan PBB dalam pembentukan tribunal ini didasarkan pada permintaan resmi Perdana Menteri Kamboja. Hun Sen dan Ketua Majelis Nasional Kamboja. Pangeran Ranaridh pada tahun 1997. Tim Ahli yang dikirirn PBB untuk menanggapi permintaan itu, mengusulkan pembentukan pengadilan internasional. Pendapat ini tidak dapat diterima pemerintah Kamboja. Tribunal ini sampai saat ini belum mulai bekerja, berhubung dengan berbagai perbedaan pandangan antara PBB dengan Pemerintah Kamboja. Beberapa kontroversi antara lain menyangkut komposisi majelis hakim. Tribunal ini akan dipimpin oleh majelis hakim campuran yang terdiri dari 3 hakim nasional dan 2 hakim internasional (Pasal 9). Namun demikian, masalah kepala jaksa penuntut umum masih belum terselesaikan, karena PBB menginginkan jaksa internasional bukan hanya sebagai co-prosecutor,seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Usahausaha untuk menjembatani berbagai perbedaan ini masih terus berjalan, sebelum dunia dapat menyaksikan pengadilan ini bekerja.

Panel Khusus Kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili, Timor Leste. Pemerintah Transisi PBB di Timor Leste (UNTAET) membentuk Unit Kejahatan Berat (Serious Crimes Unit) pada tahun 2000 untuk menyelidiki berbagai kasus kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur tahun 1999 . Kasus-kasus ini diperiksa dan diadilioleh Panel Khusus Kejahatan Berat (Speciol Panel t’or Serious Crimes). Pembentukan mekanisme tersebut sesuai dengan mandat yang diberikan Dewan Kearnanan PBB kepada UNTAET.3a Panel khusus terdiri atas majelis hakim campuran yang beranggotakan 2 (dua) hakim internasional dan 1 (satu) hakim Timor Leste. Unit Kejahatan Berat memberi prioritas pada sepuluh kasus, 7 (tujuh) diantaranya telah selesai diselidiki. Kesepuluh kasus itu adalah: Pembantaian Gereja Liquisa (6 April 1999\; pembunuhan di rumah Manuel Carascalao (17 April 1999): Kasus Los Palos (21 APril – 25 Septemb er 1999); Kasus Lolotoe (2 Mei- 16 September 1999\ Pembantaian di Gereja Suai (6 SePtember 1999); Serangan ke rumah kediaman Uskup Bello dan Dioses Dili (6 SePtember 1999); Pembantaian Passabe dan Makaleb (September-Oktober 7999); kasus deportasi’ pengejaran, pembunuhan staf UNAMET dan-kekejaman oleh Batalyon 745 TNI (April-


september 1’999)r kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan di berbagai distrik (Maret-September 1999)’.

Hingga Oktober 2001, l’1 orang telah diadili oleh Panel Khusus. Mereka dijatuhihukuman penjara antara 4 sampai 16 tahun. Ketentuan hukum di Timor Leste menetaPkan hukuman Penjara maksimal 25 tahun, sedangkan hukuman mati tidak berlaku. Dalam berkas penyelidikan, sejumlah perwira TNI didakwa terlibat dalam kejai-ratan tersebut. Dakwaan terhadap 8 (delapan) pejabat militer dan sipil Indonesia pernah diumumkan oleh Unit Kejahatan Berat pada Februari 2003. Salah seorang terdakwa utama adalah Jenderal Wiranto. yang menjabat sebagai Panglima ABRI pada tahun 1999. Panel khusus ini mempunyai yrrisdiksi atas kejahatan berat yakni; genosida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang. termasuk pembunuhan dan kejai-ratan seksual sesuai dengan KUHP lndonesia yang terjadi antara 1 Januari L999 sampai 25 Oktober 1999. Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone Pengadilan khusus ini (The Special Court f or Sierrra Leone/SCSL) dibentuk berdasarkan persetujuan antara PBB dan Pemerintah Sierra

Leone sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No’ 1315/2000, 14 Augustus 2000′ Pengadilan ini berw’enang untuk mengadiii berbagai kasus pelanggaran serius terhadaphukum humaniter internasional dan hukum pidana Sierra Leone yang terjadi sejak 30 November 1996 (Pasal 1 & 5 Statuta SCSL). Undang-undang nasional Sierra Leone yang dipakaiadalah Undandundang Pencegahan Kekejaman terhadap Anak-An ak (7926) dan Undang-undang Perusakan Kota (1861). Kejahatan-kejahatan tersebut terjadi selama perang saudara di Sierra Leone yang melibatkan kekuatan-kekuatan eksternal (Liberia). Sierra Leone seperti telah kita ketahui, adalah sebuah negara kecil di pantai barat Afrika, yang merupakan negara Penghasil berlian’ Pengadilan Khusus tersebui bekerja sesuai dengan mandatnya dan hingga Septemb er 2003 telah menuntut 13 orang terdakwa, yang dinilai sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab dalam perang saudara tersebut’ Namun demikian, tokoh yang banyak terlibat dalam kejahatan-kejahatan tersebut yakni Charles Taylor, mantan presiden Liberia, mendapat suaka politik di Nigeria. Dari tiga pengadilan hybrid di atas, nampak adanya usaha untuk di


satu pihak memberi preferensi kepada suatu negara untuk melakukan kewajibannya, dan di pihak lain sekaligus menjamin agar pengadilan berjalan sesuai dengan standarstandar internasional. Hal terakhir dilakukan dengan pelibatan elemen internasional baik di tingkat persiapan maupun dalam proses pengadilannya. Pembentukan pengadilan hybrid dapat disesuaikan dengan konteks lokal suatu negara tertentu. Walaupun hal itu juga berarti, pembentukannya membawa konsekuensi tersendiri, yakni sarat dengan konsesi-konsesi politik. Pengembangan pengadilan hybrid sebagai mekanism e penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini. masih memerlukar-r waktu sebelum masyarakat internasional dapat menerima mekanisme ini, sebagai satu pilihan yang lebih efektif dalam menegakkan keadilan.

PENUTUP

Pelanggaran hak asasi nlanusia yang berat. merupakan kejahatan yang serius (serious crimes) da,-r luar biasa (extra or’ dinary crimes). Kejahatan itu merupakan kejahatan

internasional. yang tidak dapat lagi dianggap semata-mata sebagai urusan domestik suatu negara. Terhadap kejahatan ini berlaku yurisdiksi internasional. Setiap anggota masyarakat internasional berkewajiban baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama untuk memprosekusi kejahatan seperti ini. Bagi Indonesia. usaha untuk membangun mekanisme nasionai guna menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, merupakan satu proses yang baru saja dimulai. Masih dibutuhkan banyak usaha agar mekanisme ini dapat bekerja untuk menegakkan keadilan sesuai dengan standar internasional. Usaha membangun mekanisme ini adalah tanggung jawab negara yang diperintahkan oleh konstitusi3s, untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Hal itu juga merupakan tanggung jawab anggota masyarakat bangsa-bangsa yang beradab. { Pengalaman yang didapat dari pengaCilan kasus Timor Tirnur dan Taniung Priok, serta macetnya proses penyidikan kasus Trisakti, Semanggi i dan II, dan kasus Kerusuhan Mei di iaksa Agung, menunjukkan begitu banYak kelemahan yang harus diatasi. Ada keperluan mendesak untuk melakukan berbagai perbaikan dalam Undang-undang llo. 26/2000. baik rnenyangkut hukum material


maupun hukum acaranYa. Amandamen terhadap hukum material dapat memilihl a) sepenuhnya mengadopsi secara benar ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam hal kejahatan serius atau b) memberikan rumusan yang luas terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sehingga berbagai kejahatan serius yang tidak termasuk dalam rumusan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian, dapat didiadili. Disamping itu – dan Yang tak kurang pentingnya – adalah peningkatan kompetensi dari Komnas HAM (sebagai p e n y e l i d i k ) . J a k s a Agung36 (sebagai penyidik dan penuntut umum), Hakim dan Panitera di pengadilan HAM, dan juga pembela hukum. Sehingga Indonesia dapat menyelenggerakan pengadilan atas kejahatan serius, sesuai dengan standar-standar yang diakui oleh hukum iniernasional. Akhirnya tinggal satu persoalan dasar yakni: apakah ada komitmen yang kuat dari penyelenggara kekuasaan negara, terutama pemerintah, untuk melakukan perbaikan itu?

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Asmara Nabavan is the execuitve secretary of INFID in Jakaria. Since he is also a member of the National Human Rights Commission, we asked him to assess both. For Asmara, the link is human rights.

What is the role of INFID?

INFID is a forum for a wide range of NGOsin Indonesia, with a wide range of backgrounds, interests and functions, from all parts of Indonesia, from Aceh to Irian Jaya. It also groups NGOs with different religious backgrounds — some have Islamic, Catholic and Protestant backgrounds. It is a meeting place where NGOs can discuss the problems they face in Indonesia.

What have INFID and its predecessor INGI been able to achieve?

I don’t have a simple answer to that. But at the very least it has been able to bring all NGOs onto one platform. In itself this is strategically important in Indonesia, where the differences between NGOs have been great, and where there has beenlittle history of working together.

Arief Budiman spoke earlier in the conference about the need for NGOs to develop a common ideology. Do you agree?

I think by working together to face obstacles, by joining in the same process, we can come to a common understanding. In three fields — democratisation, equity, and sustainability — all the participants in INFID already have a common understanding. All the NGOs in INFID support these core positions.

How has the composition of INFID changed over the years?

In the early years, only the biggest NGOs participated, but recently many smaller and local NGOs have begun to participate directly. There are also regional networks of NGOs which participate, including networks from Aceh, Yogyakarta, and North Sumatra. Each of these represent ‘ between fifty and one hundred NGOs. So if we say that around forty NGOs participate in INFID, in fact that is an underestimate, there are far more than that. We have seen an expansion ofthe social base of this network.

How do you see the interaction been Australian and Indonesian NGOs?

Frankly speaking, most such cooperation is in the development field. This is not wrong of course, but we hope in the future that Australian NGOs will be more active in human rights, in advocacy and democratisation issues. This is because, guite apart from our criticisms and disappointment with the development process in Indonesia, people no longer die from hunger in Indonesia. It’s not like Somalia or similar countries. The main problems we face now are not economic, but matters like basic human rights, the right to participate, the right of people to be recognised as human beings.

Why did INFID choose the land issue as the theme of this year’s conference?

Land disputes are increasing from year to year. Especially in Java, economic growth has dramatically increased pres- sure on land. They need landfor roads, industrial plants and so on. And yet, the legal infrastructure is too weak to protect the people who are simply ousted from their land. In the past, people used to just accept this. They used to have an attitude of “well, what can we do?’ But over the last five years, people no longer want to just accept it anymore. There is a new awareness among the people that they have the right to fight for their own rights, for their land.

You are a member of the National Human Rights Commission. People say it has more independence than was initially expected. How can the Commission influence the Indonesian government on human rights?

First of all, relations between the Commission and NGOs have improved greatly. In the Commission’s first year, many of its members were cynical about NGOs. They had stereotyped perceptions of NGOs, similar to those of the government. They were reluctant to cooperate with NGOs. Over the last year, a new understanding has emerged in most members about the function of NGOs. Most recognise the need to cooperate with the NGO community. Now on the role of the Commission regarding the government. From the start I did not expect too much from the government. Rather, I see the main role of the Commission right now is to promote understanding of humanrights in the public. Our statements appear every day in the newspapers. They are bringing about a kind of legitimation of the issue of human rights. Our work shows the public that human rights belong to us, that they are not an alien concept. Five years ago, if a groupraised the humanrights issue they were accused of spreading “Western’ ideas and subversion. Nowitis legitimate to discuss human rights. This is a major step forward, a real change. Now you hardly even find any generals or ministers who will say that human rights are an alien or Western concept. Because of our limited mandate, we must cooperate with the government. We can’t confront the government. The Commission is too weak, in terms of our legal basis, our capacity and so on. So we take a cooperative approach. But this does not mean that we don’t criticise them.

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Pematangsiantar (SIB)

Anggota Komnas HAM (Hak Azasi Manusia), Asmara Nababan, SH mengatakan, keputusan Pangab yang hanya memberhentikan Letjen Prabowo dan membebastugaskan Mayjen Muchdi PR dan Kolonel. Chairawan dalam kasus tuduhan penculikan aktifis, merupakan keputusan yang tidak sesuai dengan harapan atau rasa keadilan dari masyarakat.

Sebenarnya untuk menentukan bersalah atau tidaknya ketiga Perwira ABRI itu adalah pengadilan. Untuk itu, kasus penculikan aktifis harus diajukan ke MahkamahMiliter, sekaligus menghilangkan adanya anggapan dari masyarakat bahwa keputusan Pangab itu dirasakan tidak adil, ujarnya menjawab SIB di’Pematangsiantar, Kamis (27/ 8)

Di samping itu, kata Asmara Nababan, kalau komitmen ABRI mau mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada ABRI, maka sebenarnya kasus ketiga ABRI itu harus dilimpahkan (diajukan) ke Mahkamah Militer.

Di katakan, dalam persidangan Mahkamah Militer nantinya di samping mendengarkan keterangan dari Letjen Prabowo, Mayjen Muchdi PR dan Kolonel Chairawan, juga akan mendengarkan keterangan para saksi-saksi dan bukti-bukti.

Misalnya, seandainya Letjen Prabowo mengaku hanya menculik 9 aktivis, tetapi mungkin berbeda dengan keterangan para saksi dan tidak tertutup kemungkinan yang diculik tabir dari 9 orang.

Karenanya, kasus ketiga Perwira ABRI itu harus diajukan ke Mahkamah Militer, agar pengadilanlah yang menentukan bersalah tidaknya ketiga Perwira ABRI itu. Sebab, kalau kasus ketiga Perwira ABRI diajukan ke Mahkamah Militer, bukan berarti mereka sudah bersalah. Di persidangan Mahkamah Militer nantinya, ketiga Perwira ABRI itu bisa membela diri dan itu merupakan hak mereka.

Kalau kasus ketiga Perwira ABRI itu tidak diajukan ke Mahkamah Militer, itu menimbulkan spekulasi dari masyarakat bahwa keputusan Pangab itu dijadikan tumbal untuk “menyelamatkan” orang lain, kata Asmara Nababan.

0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail