Senjata Pamungkas Itu Bernama TRC (Semanggi, 1-7 Maret 2000)

by Nuwiya Amal

Regim Soeharto mewariskan segunung persoalan sehingga bangsa ini praktis tidak bisa dengan kepala tegak menghadapi masa depan. Karenanya diperlukan senjata pemungkas untuk membereskan beragam hutang masa lalu yakni pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta UU Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM)

Asmara Nababan

Negara Afrika Selatan tercatat paling berhasil menyelesai kan persoalan masa- lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Truth and Reconciliation| Commission-TRC ). Yang kalah dan yang menang, dalam sejarah pahit negeri itu, sepakat menerapkan cara penyelesaian melalui komisi TRC.

Komisi serupa jugaditerapkan di sekitar 15 negara dan  Indonesia tercatat sabagi salah satu peminatnya. Secara garis besar TRC bekerja melalui tiga tahap yakni tahap inventarisasi dan klarifikasi masalah, tahap rekonsiliasi dan tahap penyelesaian luka-luka sosial seperti pemulihan nama baik dan ganti rugi bagi para korban. 

TRC akan berhasil bila pihak korbah dan pihak pelaku bersedia bekerja sama menggali kebenaran, mengaku bersalah, memberi maaf dan menyembuhkan “luka-luka” yang tersisa

Di Indonesia TRC itu sedang dipersiapkan. Sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sudah menyiapkan Rancangan Undang-Undang yang akan menjadi dasar hukum pembentukan TRC. Kini rancangan itu sudah berada di tangan lingkungan legislatif (MPR-DPR).

Hartono Mardjono SH dari Partai Bulan Bintang mgpgaku telah lama memikirkan perlunya komisi semacam itu. Ia bahkan pernah menuangkan gagasannya melului artikel di sebuah surat kabar Ibukota, Sep-tember 1998, kendatiia tidak menyebutnya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Menurut anggota DPR ini, berbagai kasus korupsi dan kolusi (nepotisme lebih sulit dibuktikan) sejak Orde Lama .  hingga Orde Baru perlu diselesaikan melalui TRC. Melalui komisi ini, kata Mardjono, para pelaku korupsidan kolusi secara jujur dan terbuka mengakui perbuatan mereka.

Komisi kemudian memeriksa ke-benaran pengakuan mereka dan sesudah itu jumlah tertentu dari hasil korupsinya dikembalikan kepada pemerintah. “Dengan begitu masalahnya selesai,” ucap salah satu ketua Komisi II DPR ini pekan lalu.

Sedangkan berbagai pelanggaran HAM,juga dari masa Orde Lama hingga Orde Baru, lanjut tokoh vokal ini, bisa diselesaikan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Peradilan HAM yangsedang diselesaikan DPR.

“Kita ini masih direpotkan dengan berbagai urusan masalalu dan belum bisa bekerja untuk ke depan,” kata Mardjono. “Dengan Komisi Kebenaran dan Rekon-siliasi, UU Tentang HAM dan UU Pe-radilan HAM kita bisa menyelesaikan banyak persoalan”

Khusus HAM

Berbeda dengan Mardjono, Ketua YLBHI Bambang Widjojanto dan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan sepakat bahwa TRC sangat diperlukan Indone-sia untuk menyelesaikan. masalah-ma-salah pelanggaran HAM, bukan untuk korupsi.

“Untuk korupsikan sudah ada undang-

undangnya,tinggal dilaksanakansaja dan yang biasanya menimbulkan gejolak

sosial adalah pelanggaran-pelanggarandi bidang HAM,” kata Bambang.

Menurut Ketua YLBHIini, ada tiga alasan dasar mengapa TRC pentingbagi Indonesia. Pertama, sejauh ini Indonesia belum memiliki satu instrumen yang dapat dipakai untuk menyelesaikan berbagai gejolak sosial yang terjadi lebih dari 30 tahun terakhir.

Kedua, berbagai instrumen yang sebenarnya potensial untuk meredam

masalah, sedikitnya mengeliminir ber-bagai masalah yang cenderung menim-

buikan perpecahan juga ternyata dis-fungsional (tidak diterapkan sesuai

fungsinya).

Menurutpakar hukum ini, pengadilan

. yang semestinya menegakkan kebenaran, keadilan dan perdamaian bagi pihak-pihak terkait hanya berupaya menentukan siapa kalah siapa menang. “Fungsiini pun tidak berjalan, karena kemenangan bisa dibeli,”kata Bambang.

Ketiga, akumulasi persoalan telah sedemikian rupa membebani Indonesia sehingga harusdiselesaikan. “Kita ingin menutup masa lalu kita, dengan, kata-‘ kanlah, tidak melupakannyatetapi mung-

kin  kita  bisa  memaafkannya,”  kata

Bambang.                                                             |

Tantangan

Penyelesaian melalui TRCitu ternyata bukan tanpa tantangan. Hambatanterse-bar, menurut Bambang dan Nababan,bisa datang dari kekuatan status guo yang tidak saja tetap ada melainkan juga berada dalam lingkungan pemerintahan. “Merekapunyakepentingan dan mereka juga punya uang banyak,” kata Bambang. “Tetapi harus dihadapi. Tidak ada jalan lain,” kata Nababan menimpali.

Hambatan lainnya bahwa Indonesia belum terbiasa dengan managementcon-Slict, sehingga gagasan penyelesaian melalui TRC itu bukan tidak mungkin mengundang masalah baru.. “Kita mau

menangani konflikmmalah bisa timbul konflik baru,” kata Bambang. Oleh karenaitu Bambang dan teman-temannya

mengakulebih banyak menggarap gagas-an ini secara diam-diam.:

Dikatakan, gagasan mengenai TRCitu

masih membutuhkan beberapahal, antara

lain komitmen politik dari pemerintah, prosessosialisi ke tengah masyarakat dan kesiapan masyarakatsendiri.

Oleh karenaitu pihaknya belum berani menyebut kapan TRC model Indonesia itu bisa dihasilkan dan diterapkan. Sementara Asmara Nababan menekankan perlunya suatu “wacana terbuka” di tengah masyarakat sebelum TRC itu dibentuk.

“Masih perlu-dibicarakan secarater-buka,” ucap Asmara. Ja pun tidak me-

nyebutkan kapan komisi tersebut bisa

direalisasikan, kendati ia berharap bisa

secepatnya. -:

Kalau TRCitu diterapkan bersamaan

dengan  UU Tentang  HAM  dan  UU

Peradilan HAM maka berbagai pelang-garan HAM di masalalu bisa ditembus.

Mereka(parapelaku) yang tidak bersedia menyelesaikan masalah melalui TRC bisa –

dijerat dengan UU Peradilan HAM.

Persoalannya, apakah TRC model In-donesiaitu benar akan terwujud atau akan dimasukkan dalam daftar agenda yang mesti dipetieskan?

-John julaman.

You may also like

Leave a Comment