
Elsam
Jika tujuannya adalah untuk menghilangkan penyiksaan atau penganiayaan dalam pemeriksaan, tidak harus dengan meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan kan mengesahkannya menjadi undang-undang. Yang lebih penting kita membudayakan ketentuan-ketentuan yang sudah ada, seperti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kita harus betul-betul melaksanakan apa yang menjadi ide dasar dari KUHAP itu. Sebab, sejauh ini KUHAP itu dianggap sebagai tulisan-tulisan saja.
Sepintas, secara formal, meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan memang diperlukan. Kalau sekarang konvensi itu sudah ditandatangani dan sudah merupakan suatu undang-undang, bagaimana pula penerapannya? Yang menjadi masalah adalah cara untuk membuktikan telah terjadi penganiayaan atau penyiksaan. Lalu, ada
dua akibat. Pertama, segi penindakan terhadap pelaku pemukulan. Kedua, segi pengakuan itu dianggap tidak sah demi hukum. Semua perkara seseorang yang dipukul saat pemeriksaan akan batal demi hukum karena pengakuannya berdasarkan paksaan dan intimidasi. Banyak sekali orang yang menarik BAP-nya di pengadilan karena ia mengaku dipukul dan sebagainya. Tapi, dia tidak bisa membuktikannya. Yang paling penting, menjaga agar jangan sampai terulang lagi pemukulan dalam pemeriksaan, bukan dengan undang-undang. Penyidik harus membudayakan scientific investigation, penyidikan secara ilmiah.
Penyiksaan saatPemeriksaan itu Sebenarnyajuga sudah diantisipasi pada saat KUHAP dibuat. Antisipasi pertama, mengubah kalimat dan susunan dari alat bukti.
Kalau dulu (dalam HIR-Red.), alat bukti “yang pertama itu adalah pengakuan terdakwa,lalu keterangan saksi,surat-surat,baru ke petunjuk. Nah, KUHAP mengubahnya. Yang pertama dalam keterangansaksi.Kedua, keterangan ahli, lalu surat surat petunjuk, baru yangterakhir keteranganter- ‘ dakwa.Jadi, ditekankandi sana, bukan pengakuan, melainkan keterangan. labukan sekadar urutan dan penggantian kalimat itu. . Ide dasarnya apa? Satu, janganmencaripengaku- 1 |an, tapi keterangansaja. Kedua, sej tangkap,ia dapat menghubungippengacaranya.Kalau toh memanginidilaksanakan pada saat seorang — terdakwa diperiksa,pengacaranya dapat melihat dan dapat mendengar apakah dia ditekan secara psikis atau tidak. Ini, lo, arti dari pasal-pasal itu. Ini antisipasi kedua.
Kalau di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ada pertanyaan, “Apakah Saudara mau didampingi pengacara?” Jawabannya, “Tidak.” Apa benartidak? Bisa saja tersangka tidak menginginkan pengacara, tapi harus ada orang lainyang menyaksikan bahwa d memang tidak mau. Selama ini, sepertinya hanya pernyataan pihak penyidik saja bahwa si tersangka tidak mau didampingi pengacara. Nah, saya mengusulkan adakan suatu lembaga pengacara yang siap
sedia 24 jam. Dananya dari subsidi silang pengacara-pengacara yang sudah mapan: mereka harus memberi dana untuk ini setiap bulan. Jadi, paling tidak, ada pengacara yang ikut mendampingi tersangka kapan pun, misalnya, saja kalau pemeriksaannya dilakukan pada pukul 3 pagi. Harus ada yang mendampinginya. Kalau hal-hal itu dilakukan dengan benar, saya rasa tidak akan ada penyiksaan.
Jadi ini juga akan mengarah ke sistem seperti konvensi itu. Konvensi itupun, kalau mau diratifikasi, harus dilihat pasalnya satu per satu beriku dampaknya.Kita tidak langsung menelan bulat-bulat apa yangada di perjanjian internasionalitu. Umpamanya, kita meratifikasi undang-undangitu, tapi kalau tidak terkontrol, percuma. Peradilan Tata Usaha Negarasaja, begitu kasusnya diputus, banyak jabat tidak mau melaksanakan putusannya. Adaakibatnya memang kalau Indonesiatidak meratifikasi konvensiitu. Apa pun yang ada di Indo- ‘nesia, biasanya orang luar mencari yang jelek-je- . leknya. Banyak orangluar selalu mencari kelemahan-kelemahan kita. Memang betul kita banyakk lemahan,tapi yang demikian itu menjadi lebih menonjol di luar.
“Semua perkara seseorang yang dipukul saat pemeriksaan akan batal demi hukum karena pengakuannya berdasarkan paksaan dan intimidasi.”
Konvensi Antipenyiksaan
Banyak faktor mengapa ada penyiksaan dalam penyelidikan, misalnya soal pendidikan dan keterampilan para penyidik. Yang utama adalah moral. Tapi, moral saja pun tidak cukup mengatasi terjadinya penyiksaan dalam penyidikan. Juga tidak cukup KUHP dan KUHAP. Menurut KUHAP, pengakuanpun itu justru tidak penting. Tapi, mengapa pengakuan ini yang justru dikejar? Walaupun dia tidak mengaku, tetapi bukti-bukti materiil dan saksi mengatakan bahwa dia pelakunya, dia kena hukum. Dan sebaliknya, dia mengaku panjang lebar bahkan sumpah segala, tetapi bukti-bukti materiil dan saksi mengatakan sebaliknya, dia tidak bisa dihukum.Penganiayaan terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan itu sebetulnya bukan tidak diatur dalam KUHAP. Perkaranya itu otomatis gugur. Tapi, kalau di pengadilan ada terdakwa mengaku bahw selama diperiksa dia disiksa, biasanya pengadilan jalan terus. Karena itulah, harus ada instrumen yang efektif, seperti Konvensi Antipenyiksaan itu untuk menghukum penyiksa.
Penyiksaan dalam penyidikan memang belum tentu hilang kalau kita meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan itu.
Tetapi, yang menarik dari ratifikasi itu: kalau seorang korban penyiksaan dalam penyidikan tidak mendapat perlindungan pemerintah, masyarakat internasional dapat mencampurinya. Negara kita bisa digugat oleh warga negaranya maupun oleh negara lain jika terjadi penyiksaan terhadap warga negara Indonesia. Seorang yang merasa tidak dapat perlindungan dari sistem hukum kita, dia dapat mengadu ke Commission of Human Rights. Jadi, kalau terjadi penyiksaan terhadap warga negara kita, kita tidak bisa menolah seandainya PBB mengirim ahlinya untuk melakukan observasi di sini. Dan kalau ada intervensi dari PBB, itu harus dilihat sebagai intervensi legal, bukan politis. Untuk membuktikan adanya penyuksaan itu, PBB sudah punya lembaga yang memiliki catatan standar internasional. Sepintar-pintarnya penyiksa, biasanya penyiksaan itu bisa dibuktikan; terungkap.
Kita harus meratifikasi konvensi itu karena kita sudah menandatanganinya. Sampai sekarang, tidak jelas kenapa konvensi itu tidak diratifikasi. Secara moral kita memang terikat oleh konvensi itu setelah menandatanganinya, tetapi karena human rights sendiri kan universal. Tidak bisa seperti itu! Kalau mau berdaulat seratus persen, isolasi saja sekalian, seperti zaman Bung Karno, keluar dari PBB.
Memang tidak ada sanki internasional jika tak meratifikasi konvensi itu, tetapi ada akibatnya dalam pergaulan antarbangsa. Misalnya, kita mengutuk pelanggaran terhadap penyiksaan yang terjadi di Bosnia, negara lain bisa memprotes, “Indonesia tidak mau meratifikasi konvensi antipenyiksaan, kok ikut memprotes kejadian di Bosnia.” Memang negara lain tidak bisa memaksa meratifikasi. Tapi, tiap tahun kita harus melapor ke PBB ihwal langkah-langkah yang kita buat untuk menghapuskan penyiksaan ini. Dan di sini kita tidak bisa berbohong. Konsekuensi meratifikasi konvensi itu, kita harus melakukan perubahan dalam kewajiban-kewajiban negara, memeriksa peraturan perundangan. Memang ada
persoalan dalam apa yang disebut harmonisasi atau penyelarasan undang-undang atau peraturan yang ada pada kita dengan konvensi tadi. Tapi, negara-negara anggota bebas membuat reservasi agar pasal-pasal tertentu belum berlaku. Kemudian harus merevisi ketentuan-ketentuan pemeriksaanm interogasim untuk memastikan tidak adanya penyiksaan selama pemeriksaan. Negara juga wajib mendidik kembali pejabat-pejabat militer maupun sipil yang berkaitan dengan penudukan ini. Konsekuensi lain, negara kita juga harus melaporkan sudah berapa undang-undang yang kita buat, berapa banyak pejabat atau penyidik yang sudah kita perbaiki atau kita tindak setiap tahun.
Sebenarnya, penghapusan penyiksaan-penyiksaan di Indonesia itu kan konstitusional-filosofis. Pancasila pada sila kedua itu kan kemanusiaan. Jadi, Pancasila tidak bisa hanya ditaruh di ruang-ruang penataran, atau dibacakan dalam upacara, tidak boleh hanya menjadi ritus, tetapi harus menjadi realitas dalam kehidupan bangsa kita.