Living Legacy
Kata Sambutan Antonio Pradjasto di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
SELAMAT SORE bagi yang bermukim di DKI dan WIB SELAMAT MALAM bagi yang bermukim di JATENG, BALI, PAPUA dan WIT Lainnya Selamat PAGI bu Lena dan yang ada di daratan Eropa Salam sehat selalu.
Bapak ibu, rekan-rekan Kegiatan ini sudah dibicarakan sejak Februari yang lalu, dan karena pandemic Covid-19 kegiatan ini dilaksanakan secar virtual dan sejumlah penyesuaian dilakukan.
Senang dan terima kasih atas kehadiran rekan-rekan dalam acara ‘refleksi demokrasi dan hak asasi manusia’ serta peluncuran buku “meniti ombak mewujudkan kemanusiaan’ dalam rangka 10 tahun kepulangan bang AS. Pertanyaannya: Apa kaitan keduanya?
28 OKTOBER 2010 – 10 tahun lalu kita semua merasakan Gerakan HAM dan DEMOKRASI kehilangan seorang aktivis. Bang AS meninggalkan kita dan pulang ke rumah YME. Namun hari ini kita tidak akan mengenang atau merayakan kematian. Kita akan mengenang dan merayakan kehidupan. Kehidupan dari seorang suami, ayah, sahabat, guru, rekan kerja, rekan seperjuangan, … Kehidupan mengenai praktek-praktek berkeyakinan/ beragama, berelasi, dan dari seorang BANG AS melalui berbagai kisah para sahabat – maupun kolega. Kehidupan mengenai merajut solidaritas, membangun inklusifitas, keberpihakan pada yang miskin dan marginal, dan menjalakan spiritualitas pembebasan.
Bapak ibu teman-teman, beberapa puluh tahun (72) sebelumnya, 28 Oktober 1928 puluhan pemuda yang bergabung dalam berbagai organisasi kedaerahan dan wilayah berkumpul untuk mendeklarasikan Sumpah Pemuda, yakni, ‘bertanah air satu, tanah air indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu Bahasa Indonesia’. Kita semua tau itu merupakan momentum penting yang menandai tekad untuk membentuk satu bangsa, meskipun berbeda-beda. Sebuah Tonggak sejarah yang menentukan terjadinya bangsa Indonesia.
Mungkin pemuda pemudi itu tidak membayangkan bahwa Indonesia akan lahir 17 tahun kemudian. Namun mereka sudah ‘mereka-bayangkan’ tentang kehidupan bersama –imagine community bernama Indonesia, yang 25 tahun dari sekarang berusia 1 abad. 100 tahun.
Dan akhir-akhir ini apa yang diaspirasikan sebagai bangsa Indonesia terus menghadapi goncangan. Jika sembilan puluh dua tahun lalu, bangsa Indonesia yang diwakili kaum muda dari beragam asal usul, kepercayaan, agama, suku, kebudayaan bersatu dalam mereka-bayangkan (imagining) Indonesia, sebagai Satu Tanah Air, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, akhir-akhir ini cita-cita mengenai Indonesia ini terus dihantam dan hendak digerus oleh sejumlah kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang menurut saya lebih banyak menyuarakan kematian daripada kehidupan.
Manifestasi sebagai bangsa tidak bisa diandaikan akan terus terbentuk begitu saja, melainkan memerlukan kehendak dan tindakan sengaja. Banyak bentuknya, yang bisa ditemukan dalam buku ‘meniti ombak mewujudkan kemanusiaan.
Rekan-rekan,
Penerbitan buku ini pertama-tama hendak merayakan kehidupan dan bukan kematian, yang akhir-akhir ini sering kita dengar diteriakan oleh entah siapa…. Mengenang kehidupan bang AS salah satunya. [bagian pertama buku] Salah “duanya” menyajikan berbagai gagasan, imaginasi, realitas termasuk tantangan mengenai Indonesia dan keIndonesiaan. Di dalamnya termuat berbagai refleksi para pelaku demokrasi dan hak asasi manusia (democracy and human right actors) yang bisa menjadi rujukan dalam menentukan apa yang harus dengan sengaja, atau prasyarat-prasyarat yang perlu kita lakukan untuk pembentukan bangsa Indonesia ke depan. Indonesia yang berkeadilan sosial, dan berperi- kemanusiaan. Misalnya, perubahan relasional, korupsi dan politik impunitas, pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi, kemerdekaan pers, dan politik gender. Juga terdapat tulisan mengenai strategi gerakan social dan penguatan komunitas basis.
Berbagai gagasan dan peta persoalan yang menurut saya bisa menjadi referensi bagi mereka – terutama yang muda – dalam membayangkan Indonesia 25 tahun dari sekarang.
Di luar penerbitan buku ini dilakukan juga lomba vlog bagi generasi milenial, pembentukan blog bernama www.asmaranababan.org dengan maksud yang sama.
Bapak, ibu, rekan-rekan sekalian, Untuk mencapai malam ini, terbitnya buku dan lomba vlog, atas nama panitia dari AJAR, Elsam, INFID, JKLPK, KontraS, KSPPM, PGI, dan alumni Demos saya berterima kasih pada para penulis yang berkenan membagikan pikiran, pengalaman dalam waktu yang tidak longgar. Secara pribadi saya juga berterima kasih pada keluarga Asmara Nababan atas kepercayaannya mbak Magda dan Aviva; kepada Stanley (Yoseph Adi Prasetyo) sebagai editor buku dan rekan-rekan kerja: Amin Siahaan (JKLPK), Angela Manihuruk, Aviva Nababan (Keluarga), Delima Silalahi (KSPPM), Bung Eliakim Sitorus, Florence (INFID), Mbak Irma Riana, Pendeta Jacky Manuputty (PGI), Phillip Artha Sena, Ridayani Damanik, Ronald (PGI), Sahat Pandiangan, mas Sugeng Bahagijo (INFID), bung Yohanes da Masenus Arus dan last but not least bung Wahyu Wagiman (ELSAM) …mudahmudahan tidak ada yang ketinggalan.
Akhir kata, meski kegiatan peluncuran buku dan diskusi refleksi demokrasi dan hak asasi terpaksa dilakukan dengan cara virtual, semoga acara ini bisa memberi manfaat bagi kita semua. Selamat menikmati!
Bang As Tak Pernah Meninggalkan Orang: Presentasi Sarah Lery Mboeik di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
Bagaimana Saya Mengenal Asmara Nababan
Saya pertama kali mengenal Bang Asmara Nababan lewat kegiatan Evaluasi dan Perencanaan (Evaperca) yang diadakan oleh Yayasan Alfa Omega (YAO) sekitar tahun 1992. Bang As, sebagaimana kami biasa memanggilnya, saat itu adalah ketua JKLPK.
Bagi saya, untuk urusan kepedulian terhadap HAM tak usah ditanyakan kepada bang As. Namun dalam hal solidaritas kepada yang tertindas, kemauan untuk menciptakan kader-kader kemanusiaan yang baru, serta keterbukaan bergaul dengan mereka yang berbeda ideologi sekalipun, bang Asmara adalah guru sepanjang hidupnya.
Dalam diskusi-diskusi dengan bang As saat dan setelah Evaperca YAO di tahun 1992, kami mengangkat banyak isu ketimpangan dan ketidakdilan pembangunan di NTT seperti masalah Hutan Tanaman Industri (HTI) dan masalah kawasan Industri Bolok, dan nampaknya YAO sebagai sebuah lembaga yang berada di bawah gereja tidak bisa menangangi kasus-kasus seperti itu. Sebenarnya YAO telah mendirikan sebuah LBH yang disebut LBH Cinta Damai namun LBH inipun tidak terlalu leluasa berkembang dari masih ada di bawah struktur gereja yang kaku dan konservatif.
Satu hal yang cukup mengganggu cara pandang saya dan kemudian ternyata membentuk cara pandang saya adalah bagaimana bang As menunjukkan sikap yang sangat pluralis dan terbuka. Ini mungkin suatu hal yang biasa bagi banyak orang, namun bagi saya yang datang dari latar belakang kedaerahan plus minoritas seperti, sungguh suatu hal yang tidak biasa.
Saat Evaperca bang As melihat bahwa ke depan pasti ada tantangan-tantangan menyangkut toleransi beragama. Oleh karena itu ia mengusulkan agar dibentuk sebuah forum komunikasi antar umat beragama dan ia mengusulkan agar menghadirkan Said Agil Siraj. Kok bisa ya ia berpikir seperti itu, sebab bagi kami di NTT yang merasa mayoritas, hal-hal seperti itu tidaklah dibutuhkan. Inilah pertama kali saya bertemu dan mengenal bang Asmara.
Satu hal yang selalu menjadi ciri bang As adalah kemampuannya untuk mendukung, memberi semangat bahkan mempromosikan aktivis-aktivis muda. Bang selalu bilang “Ler, tantangan itu adalah kesempatan untuk melayani bukan menghindar”. Namun ia jauh dari fatalisme. Ia seorang perencana strategis yang ulung dan melihat setiap tantangan sebagai kesempatan untuk berbuat sesuatu lewat perencanaan yang ketat terlebih dahulu.
Bertolak dari diskusi-diskusi dengan bang As, pada tahun 1994 diadakanlah sebuah forum LSM lokal yang didukung oleh Oxfam, untuk meneliti ketahanan masyarakat adat di NTT terhadap intervensi dari luar. Salah satu tindak lanjut dari forum itu adalah membentuk kelompok-kelompok kerja kecil yang berbagi tugas dalam advokasi. Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT berkembang dari salah satu pokja ini.
Pada tahun 1996 ketika banyak aktivis di Indonesia yang tergabung dalam Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menandatangi apa yang disebut dengan Reformasi Agraria, banyak aktivis dipanggil periksa atau diintimidasi dengan alasan mengembangkan jaringan komunis dengan alas an reformasi agrarian adalah cara kerja komunis. Tak luput kami di Kupang yang terlibat dalam konsorsium itupun diintimidasi. Saya saat itu sedang mengandung anak saya yang ke 2, juga turut dipanggil dan diperiksa di kantor Sospol. Bang As seorang yang menghubungi saya karena dihubungi oleh Direktur Yay. Alafa Omega saat itu Pdt. Icha Frans dan menanyakan keadaan, rasa aman dan situasi keamana saya. Ia, yang saat itu adalah Direktur Eksekutif INFID, melakukan lobby-lobby untuk membebaskan teman-teman yang diintimidasi maupun yang terperiksa karena terlibat dalam gerakan reformasi agrarian.
Kemampuan melakukan kerja-kerja berjejaring adalah sesuatu yang seakan given pada bang Asmara. Saat lembaga yang kami pimpin masih dalam tahap awal sekali, belum berbadan hukum, belum mendapat dukungan dana, bang As meminta kepada kami untuk tetap melakukan kerja-kerja advokasi sambil mengurus legalitas kami. Saat itu kami dari PIR (organisasi lama) telah mendampingi kasus Kawasan Industri Bolok masy adat Bolok vs Pemerintah di Kupang Barat,Kasus HTI PT Fendi Indah Lestari milik Bob Hasan yang merampas tanah2 Masy adat dipole, Laob, Bijeli dan Konbaki dan kasus HTI di Desa Baki, Niki-Niki Un.
Bang As selalu mempromosikan para aktifis dan organisasi-organisasi gerakan. Kami dilibatkan dalam INFID dan JKLPK dan disitulah kami belajar bagaimana kerja-kerja berjejaring. Ia cukup memahami pentingnya pengkaderan aktifis, memperkuat gerakan pro demokrasi dan HAM. Itu semua ia ajarkan, di lembaga manapun ia berada ia selalu melakukan hal itu. Ia sangat pandai membawa diri dalam bergaul dengan lembaga-lembaga seperti World Bank dan lain-lain, namun ia nampaknya punya posisi tawar yang luar biasa terhadap mereka.
Ia selalu mengingatkan bahwa dalam advokasi HAM kita tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Tidak bisa anda merasa lembaga anda besar jadi tidak membutuhkn yang lain. Tidak bisa. Karena yang kita lawan adalah struktur yang korup, hegemonic dan developmentalis… penting kita semua harus belajar Bersama rakyat dan bagaimana memampukan rakyat untuk bisa beradvokasi Bersama kalian. Kata Bang As
Bang As sangat memahami pentingnya pengembangan kapasitas aktivis, dalam gerakan pro demokrasi dan gerakan HAM. Karena banyak peristiwa pelanggaran terjadi di luar Jakarta, maka aktivis di luar Jakarta harus mendapat perhatian
Setelah terlibat di INFID, bang AS selalu melibatkan kami dan malah merekomendasikan kami untuk menjadi anggota definitive. Banyak yang kami belajar Bersama INFID baik PIAR sebagai kelembagaan dan saya sebagai pribadi
Ketika ia menjadi Sekretaris Jendral Komnas HAM di tahun 1998, kewibawaannya itu nampak dalam bagaimana ia menarik sebanyak mungkin aktifis untuk mempunyai harapan terhadap Komnas HAM. Walaupun Komnas itu lembaga pemerintah, ia mampu merubah Komnas HAM menjadi semacam oase dimana ia mampu membawa banyak kalangan aktifis pro-demokrasi untuk membangun kekuatan lewat Komnas untuk kepentingan HAM. Itu yang saya lihat. Ia bilang masalah HAM memang tanggungjawab negara tapi semua orang harus memberi kontribusi bagi peneggakan HAM. Banyak orang juga menaruh harapan pada Komnas. Orang bisa tidur-tiduran di Kantor Komnas untuk mendapatkan keadilan, dan bang As mampu memberi rasa aman. Bagi saya, lembaga Komnas mempunyai wibawa yang luar biasa ketika bang Asmara menjadi Sekjen.
Memang Komnas tidak selalu berhasil mengungkap semua persoalan HAM namun ada sejumlah kasus penting yang justru mulai dibuka atau dipersoalkan pada masa bang As misalnya persoalan Tanjung Priok yang diungkap pada masa bang As. Kasus 1998 misalnya sampai saat ini masih belum terselesaikan tetapi paling kurang Komnas di masa bang As telah membuat Tim Pencari Fakta (TPF) pada saat itu.
Bang Asmara sangat inovatif, kritis, kreatif dalam mendesain program-program di Komnas HAM sehingga kadang-kadang orang berpikir bahwa Komnas HAM itu LSM. Saya menduga ada banyak kecemburuan dari elemen-elemen lain di Komnas karena bang As melibatkan orang-orang non militer, polisi dan non pemerintah.
Kelebihan bang Asmara adalah ia bisa merepresentasi pikiran-pikiran dan aspirasi kita yang diluar, ke dalam lembaga pemerintah seperti Komnas HAM. Sehingga memang di tahun 1998 ketika terjadi pelanggara HAM yang luar, orang datang ke Komnas yang mendapat perlindungan yang luar biasa karena dibuka ruang untuk itu. Dulu, kadang kita ditelpon saja dia sudah bisa menciptakan rasa aman bagi kita, dia menelpon tentara, polisi dan semua pihak terkait untuk bertanya ini itu sekedar untuk menjamin rasa aman kita. Ketika kasus Timor-Leste saya begitu terancam karena kasus penggalian kuburan korban pembunuhan milisi di Alas, Kabupaten Belu, bang As mengontak Kiki Syahnarki dan sejumlah pejabat untuk menjamin rasa aman bagi saya. Sekarang ini entahlah bagaimana dengan para komisioner dan pekerja di Komnas.
Di tahun 1998 ketika Soeharto jatuh, Komnas HAM sudah mendesain program yang berjudul “Indonesia Masa Depan 2020”. Ia mengumpulkan semua stakeholder di pusat dan daerah untuk terlihat dan memahami scenario itu. Ternyata di tahun 2010 apa yang diprediksi itu muncul. Yang menarik dari program itu ialah ia, sebagai sekjen Komnas HAM melibatkan kita dan ia memangun posisi tawar aktifis pro-demokrasi dengan melibatkan mereka untuk mengerjakan tugas-tugas komnas HAM di daerah. Menurutnya, model representasi lembaga-lembaga HAM haruslah seperti itu.
Bang As selalu menumbuhkan keberanian
Di tahun 1999, lagi-lagi bang As menunjukkan pengaruh dan cara berpikirnya. Saya dan beberapa orang di NTT seperti Leo Simandjuntak dan Yos Dasi Djawa dimasukkan ke dalam sekretariat KPP HAM Timor-Leste. KPP HAM ini kan lembaga resmi yang dibentuk pemerintah. Harusnya sekretariat lembaga itu ada di lembaga Negara seperti kejaksaana atau kepolisian, tetapi bang As memilih LSM lokal yaitu PIAR sebagai sekretariat. Itulah gambaran bagaimana bang As mengkondisikan, melibatkan, mempromosikan, sekaligus memproteksi teman-teman aktifis pro-demokrasi. Dan tidak hanya itu, ia juga dalam KPPHAM ini aktitis-aktifis seperti Bang Todung Mulya Lubis, Cak Munir, Amir, Robert, ada dalam lembaga itu.
Selama terlibat dalam KPP HAM itu bang As sangat memperhatikan keselamatan kami. Misalnya ia melarang saya untuk terlibat langsung di lapangan saat penggalian kuburan masal korban penembakan milisi di Alas- Kabupaten Belu, karena waktu itu saya yang pertama kali ditemui langsung informan (Kapolsek Weluli) yang menguburkan 27 jenasah korban penembakan di Gereja Asumpta Soai dengan alasan katanya saya telah diintai para milisi.
Saya tidak menaati perintahnya saat itu, saya juga heran saat itu begitu beraninya saya mengambil keputusan untuk tetap terjun ke lapangan mengantar logistic pada penggalian kuburan masal, karena tak ada yang berani mengantarkan logistic padahal teman2 seperti Cak Munir, Dr, Budi, Robert, Pak Dilon, wartawan Tempo dan Jakarta Post serta para polisi yang membantu pengamanan disana yang sudah kelaparan.
Ketika mendekat ke lokasi kuburan saya ditelpon oleh bang As. Saya memberi alasan bahwa saya terpaksa ke sana karena tak punya pilihan. Ia sekit marah tapi dengan nada biasa dan mengingatkan untuk selalu waspada. Sebagai dampak dari keberhasilan pengungkapan dan pengggalian kubur ini, suami saya yang bekerja waktu itu di kabupaten Belu juga terkena akibatnya. Saat penguburuan salah seorang pemimpin milisi (Olivio Mandosa) yang terbunuh oleh penduduk lokal, suami saya dikepung. Bang As juga lah yang menelpon dan meloby ke sana ke mari untuk menyelematkan suami saya. Suami saya keluar dengan menyamar sebagai fotografer.
Bang Asmara juga selalu percaya bahwa setiap orang itu mempunyai kemampuan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan jika kita memberi ruang baginya untuk memahami apa dan bagaimana masalah itu terjadi serta di arena mana dia akan bermain. Saya tidak membayangkan ancaman yang begitu luar biasa berhadapan dengan para militer dan milisi yang begitu brutal saat persiapan menjelang penggalian kuburan masal tersebut ketika kami telah menyelesaikan penggalian kuburan masal. Saya sadar bahwa motivasi dan cara Bang As memberdayakan kami membuat kami cukup berani untuk mengambil keputusan strategis dan menolong banyak orang dalam situasi mencekam.
Teringat juga setelah peristiwa penggalian kuburan masal di Alas, kami di Kupang diminta untuk membebaskan anak-anak keluarga Gusmao yang disandra milisi di tengah-tengah pengungsi di GOR Oepoi. Bukan hal yang mudah untuk evakuasi anak2 dibanding orang dewasa, dan ini tantangan berikut yang harus dilakukan demi menyelamatkan anak2 dari pro kemerdekaan. Selalu saja ada ide Ketika berdiskusi dengan Bang As untuk agenda evakuasi tersebut. Bang As katakana, metode dan cara evakuasi kalian yang lebih paham situasi local sehingga saya percaya kalian akan berbuat yang terbaik demi menyelematkan anak-anak ini.
Pendek cerita kami dapat mengevakuasi anak2 ini berkat kerjasama dengan para suster dan tenaga medis dan dikirim kembali ke Timor-Leste melalui UNHCR. Bang As katakan kalian tak pernah belajar teori advokasi tapi kalian lebih mampu untuk menjalankan advokasi perlindungan HAM sesungguhnya. Bang As tak pernah mengatakan itu idenya atau itu inisiasinya tapi dia selalu mengatakan kalian yang memiliki cara, pengetahuan, strategi dan yang terpenting hati kalian dapat membangun hubungan emosiaonal dengan korban. Itulah Bang As selalu memberi apresiasi bagi kami sekecil apapun yang kami lakukan
Bang As sangat memahami pentingnya pengembangan kapasitas aktivis, dalam gerakan pro demokrasi dan gerakan HAM
Di tahun 2001 Komnas HAM mengirim saya mengikuti seminar Komisi tinggi HAM PBB di Iran yang dihadiri Marry Robbinson. Setelah Kembali dari Irang sebagai tindak lanjut kami mengadakan lokakarya mengenai xenophobia di Kupang menghadirkan George Aditjondro. Ada media lokal yang memelintir bahwa lokarkaya itu ingin menghadirkan Negara Timor Raya. Saya diancam oleh tentara. Bahkan di media massa diberitakan bahwa PIAR dan beberapa jaringannya sedang mendesign terbentuknya Negara Timor Raya. Ancaman baik dari TNI maupun mantan2 Milisi yang ada di Timor Barat mendesak aparat kepolisian agar segera memeriksa kami (Saya, Prof Mia Patti Noak, Pius Rengka, Anderias Agas, dan beberapa teman lain)
Desak public baik milter, Milisi dan masyarakat Timor Timur yang ada di Timor Barat akhirnya kamipun diperiksa oleh Polda NTT. Persoalan inipun tak ketinggalan Bang As tetap berdiri Bersama kami. Bang As tak pernah meninggalkan kami saat berhadapan dengan masalah HAM dan Demokrasi. Bang As selalu memonitor perkembangan kasus yang kami hadapi. Hasil dialog dengan Polda NTT di Sekretariat PIAR melihat video proses semiloka tersebut tak menemukan adanya potensi membentu negara Timor Raya dan kami meminta polisi harus melakukan konfrensi press temuan ini. Tidak berhenti disitu intimidasi psikis yang kami alami. Berselang 3 hari kemudian, saya didatangi komandan KODIM Kota Kupang, Pak Pandjaitan menyampaikan bahwa Pangdam Udayana William da Costa ingin bertemu., saya mengkomunikasi itu semua kepada Bang As dan Cak Munir Saya menolak bertemu tapi Bang As menyarankan bertemu saja tetapi teman-teman lain harus diikutkan seperti Leo Simanjuntak dan media. Untuk menghindari pertemuan tersebut saya sampaikan pada Dandim bahwa besok pagi jam 11.00 bertugas ke Kupang Barat.
Namun keesokkan harinya pagi-pagi benar tentara sudah memenuhi daerah sekitar rumah saya. Pangdam beserta para perwira sendiri sudah berada di depan rumah saya. Dalam kepanikan saat itu, bang Asmara lah yang menelpon Leo untuk datang menemani saya berhadapan dengan Pangdam yang telah datang dirumah. Saya baru sadar ternyata Bang As memiliki feeling untuk saya harus menerima kedatangan Pangdam dengan tujuan untuk meminta maap kepada kami. Bang As selalu bekerja dengan rasa, rasa memiliki kasus Bersama kami dilapangan, dan Bersama untuk menyelesaikan. Disini saya tahu Bang As selalu menumbuhkan keberanian dan percaya diri kami dalam berbagai situasi.
Kepedulian bang As sangat besar dalam mempromosikan, memperkuat dan merawat gerakan.
Di tahun 2003, boleh dikata kami baru tumbuh kesadaran advokasi dan kapasitas pun masih sangat terbatas. Banyak peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di luar Jakarta, namun kami tidak seperti para aktivis di Jakarta yang sudah mendapat banyak perhatian. PIAR adalah Lembaga yang sangat beruntung karena Bang As terlibat sejak awal pembentukan Perkumpulan PIAR. PIAR harus bisa merawat dan memelihara basis kepercayaan (trust). Itulah harapan Bang As yang diungkapkan kepada kami ketika, Bang As, Cak Munir dan Arimbi terlibat dalam perencanaan strategis pembentukan Perkumpulan PIAR.
Ketika sudah di DEMOS, ia melibatkan banyak organisasi di lapangan untuk menjadi peneliti demokrasi pasca soeharto di tahun 2003 dan 2006. Dia tidak berhenti pada hasil penelitian saja tetapi meminta saya misalnya menjadi experimen dia sehingga di tahun itu saya diminta untuk maju dalam blok politik. Majunya Daniel Adoe sebagai walikota Kupang saat itu adalah bagian dari eksperimen itu. Kami melakukan pengorganisasian akar rumput, pencarian dana dan sebagainya dan syukurlah bisa Daniel Adoe bisa menang menjadi walikota. Setelah Daniel Adoe menang, saya diminta untuk maju dalam pemilihan anggota DPD di tahun 2009. Lagi-lagi saya terpilih dan jujur, Bang As ikut memobilisasi pengumpulan biaya Politik pemilu 2009 dan saya terpilih sebagai anggota DPD RI.
Di tahun 2004-2006 PIAR NTT melakukan advokasi anti-korupsi di kota Kupang dimana PIAR membongkar korupsi APBD di jaman walikota saat itu S.K. Lerick dan Setda Jonas Salean. Pemkot mencoba mengkriminalisasi saya dengan menuntut saya meminta maaf dalam waktu satu kali 24 jam. Tapi saya tidak mau. Saya kontak ICW yang sangat membantu saat itu, dan bang Asmara juga sangat berperan dalam advokasi. Saya diminta ke Jakarta untuk bertemu kakaknya Bang Panda Nababan yang adalah anggota Komisi 3 DPR RI. Bang As meminta kepada pimpinan komisi DPR agar saya tidak dikriminalisasi sebab akan menjadi preseden buruk untuk aktifitas anti korupsi. Dan memang saya tidak dilanjutkan kriminalisasi melalui laporan balik tersebut. Di sinilah saya melihat Bang As tidak pernah meninggalkan orang, dalam konteks gerakan HAM dan Demokrasi ini. Atas nama kemanusiaan Bang As tak pernah Lelah menjadi sahabat yang menguatkan, membela berdiri Bersama dalam peran masing2,
Di tahun 2009-2010 ketika kami membahas tentang pergantian blok politik, bang As sudah sakit-sakitan. Ia cukup lama dirawat. Dia tidak kemana-mana, makan saja diatur. Di bulan awal Juni 2010 saat kami melakukan evalusi blok politik di Kupang, bang As kami undang, dia dalam keadaan yang sakit tetapi tetap mau menghadiri padahal sudah sekitar 4 bulan tak pernah melakukan perjalanan.
Betapa Bahagianya kami seluruh aktivis di Kupang juga beberapa Tokoh agama, para Romo karena kesempatan bertemu dengan beliau. Kami sangat menjaga pola dan jenis makanannya saat itu karena mengingat pesan ibu Magdalena dan teman-teman di Demos. Dalam kesempatan pertemuan di Kupang ini bertepatan dengan perayaan 40 hari kematian ayah saya. Bang As memberi penguatan kepada saya dan ikut beribadah dirumah papa saya. Satu kalimat yang masih saya ingat Ketika selesai ibadat, Bapak mu itu ibarat pisang, dia berproduksi dan akan mati setelah menumbuhkan anak pisang yang lain. Demikian juga dikalangan kita, harusnya organisasi sipil harus mampu membangun kader dan ini adalah ngobrol terakhir dengan Bang As. Karena setelah itu dia berangkat berobat ke China dan meninggalkan kami selamnya.
Cukup banyak cerita bersama bang As yang tidak kami ingat satu persatu lagi. Namun yang selalu teringat bagi kami adalah bagaimana Bang As selalu merasa bersama dengan mereka yang mengalami ketidakadilan, ia sangat solider. Ia mempromosikan, memotivasi, menjaga, dan ia tidak pernah hilang keimanan dan nilai-nilai Kristianinya. Di manapun ia berada. Dia tidak seperti orang-orang yang menampilkan keimanannya secara terbuka, tetapi intergritas dirinya melebihi sebuah ritual doa. Baginya pembela HAM seharusnya bersikap seperti demikian, bagaimana dia menghargai perempuan, bagaimana ia tidak pernah memanfaatkan posisinya untuk kepentingan keluarga dan anak-anaknya.
Bang Asmara sangat mampu membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh berbagai lini, lintas agama dan ideologi. Ia misalnya membangun lembaga Interfaith.Itu juga yang dilakukan di NTT dalam dialog2 antar agama melalui forum-forum di Kupang. Baginya HAM tidak membatasi ruang agama, suku, dan lain-lain sehingga kalau anda sudah berdiri atas nama HAM anda yakin semua itu akan jadi lebih baik dan lebih sempurna. Dan itu juga yang ia bangun dalam diri kami di NTT. Baginya pengkaderan harus terus tumbuh dan itu tidak selalu ia tunjukkan secara formal. Dengan melibatkan atau membawa seseorang ke mana-mana, orang tahu Asmara sedang mengkaderkan orang itu.
Satu hal yang tak pernah kami ketahui adalah mengapa ia tak pernah berniat masuk ke politik. Padahal ia merancangkan jalan bagi orang lain untuk masuk dalam politik. Saat di Demos, saya pernah bertanya soal hal ini dan ia menjawab: “Saya membuat jalan agar kalian jalan.” .” Tapi saya kira dia tidak sebatas membuka jalan, tapi dia juga tahu tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh seorang calon politikus.
Saya juga tidak tahu mengapa ia dan Cak Munir berjuang agar saya mendapatkan Yap Tian Hiem Award. Yang jelas bang As memang selalu menghargai pekerjaan orang lain. Saya sangat bangga karena ia mampu menghadirkan Presiden Abdurahman Wahid untuk menyerahkan award itu kepada saya.
Walaupun bang As sangat dihormati dan disegani, ia tidak pernah memaksakan kehendak. Ia menghargai bahkan menghargai kalau kita menolak permintaan-permintaan dan pertimbangannya. Saya pernah menolak melakukan advokasi terhadap satu kasus yang diminta olehnya karena pertimbangan tertentu, ia menerima pandangan saya dan hubungan kami tetap baik setelah itu.
Bagi saya, bang As sudah selesai dalam berbagai hal. Itu ditunjukkannya dalam sikap dan integritas dirinya. Dalam solidaritas kepada yang tertindas, dalam kemauan untuk menciptakan kader-kader kemanusiaan yang baru, serta dalam keterbukaan bergaul dengan mereka yang berbeda ideologi sekalipun. Bang Asmara adalah guru sepanjang hidupnya. Ia selalu bilang bahwa menjadi orang Kristen haruslah tanggap tetapi kritis. Hak asasi manusia itu melewati sekat-sekat karena itu kita tak bisa masa bodoh, dan hanya jika kepentingan kaum atau golongan kita terusik barulah kita berteriak.
Bang As.. kalau waktu itu saya paham setelah balik ke Kupang itulah kunjugan terakhir Bang untuk menyampaikan bahwa jalannya telah siap untuk kami jalani mungkin saya tetap membiarkan memakan apa saja waktu Kupang
Kita tak perlu belajar teori HAM, jika mau belajar soal HAM belajar dari perilaku, tutur kata Bang As walaupun belum sempuran namun Bang AS telah menginternalisasi nilai-nilai universal dalam tindak, laku dan bicaranya dan perjuangannya yang selalu menembus batas
Kini tak adalagi yang selalu berpesan setiap kali saya akan ke Jakarta, Ler.. jangan lupa ikan lawar ya.. dan itu dengan senang hati saya membawakannya karena saya selalu melihat bang makan ikan lawar dengan roti kayak sandwich dan selalu menceritrakan kepada teman2 abang akan lesatnya ikan lawar..
Selamat jalan guru ku , nilai – nilai kebaikan mu telah menjadi spirit bagi kami untuk melanjutkan harapan-harapan mu
Penulis: Sarah Lery Mboeik
10 Tahun Mengenang Bang AS
29 Oktober 2020
Mengenang Bang As yg meninggalkan kita semua dan tetap mengingat keteguhan , kelugasan dan kepemimpinan bang As. Teringat sejak kita jumpa dalam acara-acara INFID di Paris di jaman Gelap Soeharto, di Jenewa dalam kapasitas abang sebagai komisioner KOMNAS HAM di tahun 93 an ketika RI menjadi sorotan dunia di Komisi HAM PBB karena pelanggaran HAM Berat di Timor Timur, Aceh dan Papua. Sampai pada pembentukan KASUM . Kau tetap menjadi teladan kami Bang. RIP.
29 Oktober 2010
Rasa kehilangan yang dalam….dengan perginya seorang kawan, seorang senior dalam komunitas pembela HAM Indonesia sejak zaman gelap rezim Soeharto hingga zaman yang penuh keterbukaan sekaligus tantangan baru dalam penegakan HAM, ……….selamat jalan Bang… semangat dan konsistensi mu selalu menjadi teladan kami, serta seluruh pencinta kemanusiaan dan demokrasi
Penulis: Rafendi Djamin, pertama dipublikasikan di halaman Facebook pribadi
Terima kasih Bang As
Perkawanan saya dengan Bang As berawal di akhir tahun 80an saat kami bertemu dalam satu rapat kecil tentang menyusutnya permukaan Danau Toba. Sejak saat itu kami banyak berinteraksi dan makin intens setelah bersama-sama mendirikan dan mengembangkan ELSAM di tahun 1993. Bang As adalah seorang humanis, pembela HAM dan demokrat sejati. Beliau juga seorang lifetime learner . Pandangan beliau betul dijalankan dalam keseharian dengan sikapnya yang sangat egaliter terhadap kami yang jauh lebih muda serta kerja-kerjanya yang menerobos tembok otoritarianisme. Beliau adalah seorang guru yang tidak menggurui. Terima kasih Bang As, pahlawan HAM inspirasi kita semua. Selamat beristirahat dalam damai 🙏🏾
Penulis: Sandra Moniaga, Oktober 2020
Time Travel with Asmara
My dearest Ibu Magdalena,
my dearest Nababan siblings Juanita, Natasha, Aviva and Nathan,
Today is October 28.
‘It takes courage to push yourself to places
that you have never been before,
to test your limits,
to break through barriers.
And the day came when the risk it took to remain tight inside the bud was more painful than the risk it took to blossom.’
Anaïs Nin
On this special day, I’d like to dare to share some of my thoughts and feelings with you and I hope this is okay for you. My following little story seems to be a story of futility and hope and blossoms as well.
On the one hand it is as sad as true that I will never meet in person your husband – Ibu, and your father – Juanita, Natasha, Aviva, Nathan, and yes, Cupi, your former master (at least as far as I know he was your master once).
On the other hand, all of you Nababans have told me so many beautiful and impressing stories about Pak Asmara (including Cupi who barked them to me secretly via WhatsApp video call), that Asmara seemed to me like a person who I have known somehow in a mysterious way, like in a dream, but a great, majestic and modest dream and yet also real at the same time.
It is in this perspective that I also feel that there is more about it, about him, his legacy – this is true, when anyone of you is speaking reverently of him.
There is this German poem line of Erich Fried. The line says:
“It is what it is, love says.”
And in every line of text content, even in every line of code and every pixel of photos and design of asmaranababan.org, it seems to me that it was, it is love to Asmara and his legacy that got this awesome job done. It is thanks to this website, I had the unique chance to time travel to meet Asmara personally and to get to know more about the legacy of his thoughts, feelings and ideas – ideas as fresh as a new morning that ‘has broken like the first morning’.
Enjoying Asmara’s website is a touching experience to me: I am listening to him in interviews, seeing and meeting him with his family. I am reading the impressive Oase book and I am learning many new things about politics, Indonesia, him, also I am admiring his artwork and his merits for children. And last but not least, I am enjoying Pak Asmara and Ibu Magdalena as actors. And so will all the other visitors do as well.
With this website something really great and beautiful has been created by you, Aviva, and all of your supporters. Thanks a lot for this beautiful opportunity for me as a non- Indonesian- speaker.
The relevance of the site’s content and values go without saying. The messages and love and ideas of Pak Asmara are still more than relevant and outstanding and are blooming since this is and will always be a story of hope and blossoms.
‘A thing of beauty is a joy forever.
Its loveliness increases; it will never
pass into nothingness.’
John Keats
Herzliche regards,
Holger
_Penulis: Holger_
ASMARA NABABAN : Konsistensi Tanpa Kompromi
Asmara Nababan yang akrab dipanggil bang As adalah sosok pejuang demokrasi dan hak asasi di Indonesia yang dikenal dengan keberanian, ketegasan dan konsistensinya. Namanya diabadikan sebagai nama ruang di Kantor Komnas HAM. Namanya juga melekat dalam ingatan para pekerja HAM, para korban kejahatan HAM, dan masyarakat sipil pada umumnya. Namanya disebut dalam banyak dokumen advokasi kasus kejahatan hak asasi karena keterlibatannya dalam kerja-kerja advokasi.
Secara pribadi saya sendiri punya banyak kenangan dengan bang As karena pernah bekerja bersamanya di beberapa kegiatan. Salah satunya adalah di Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998. Ini kerja advokasi yang menguras tenaga dan mental karena di dalamnya sarat dengan pertarungan. Namun bang As tidak mengenal kata letih saat “bertarung” dengan pihak-pihak yang hendak menggunakan TGPF untuk menggelapkan fakta rusuh Mei 1998. Anggota TGPF berasal dari perwakilan Komnas HAM, perwakilan masyarakat sipil, Ormas dan perwakilan lembaga-lembaga pemerintah, termasuk POLRI dan TNI. Sangat kentara bagaimana para wakil dari lembaga pemerintah, terutama POLRI dan TNI, mengemban tugas untuk menyangkal adanya pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998. Saya jadi paham mengapa pada saat itu bang As mengingatkan untuk hati-hati dalam menjaga data. “Jangan serahkan data pada orang-orang yang kita tidak yakin bisa dipercaya”, begitu pesan bang As saat melihatku keluar ruangan membawa map berisi kumpulan data rusuh Mei. Di saat yang lain bang As juga berusaha untuk membesarkan semangat dan mengingatkanku untuk menjaga stamina. Ia sempat mengatakan, “Kalau kita lelah, para penjahat HAM itu yang akan menang.” Saya memang melihat bang As tetap segar meski berhari-hari melakukan rapat panjang hingga dini hari. Ia tetap siaga dan jernih saat membahas dan menganalisis temuan-temuan TGPF. Stamina dan Daya juangnya tidak mengenal kuota.
Bukan hanya tidak kenal kata letih. Bang As juga tidak mengenal kata kompromi dalam mempertahankan kebenaran. Baginya kebenaran tidak bisa dikompromikan demi apapun. Ketika ada perwakilan dari TNI yang berupaya untuk menyabotase pertemuan tim TGPF dengan pihak pemerintah untuk mengumumkan hasil kerja TGPF, bang As tetap bertahan dengan sikap tidak kompromi. Ia menegaskan, apapun yang terjadi hari ini laporan harus tetap diumumkan ke publik. Saat itu ia memberikan jalan keluar bagi para anggota TGPF yang tidak menyetujui temuan TGPF untuk memberikan “catatan keberatan” atau “minderheit nota”. Dari semua anggota TGPF yang merupakan perwakilan lembaga-lembaga pemerintah hanya perwakilan dari TNI dan POLRI saja yang memberikan catatan keberatan atas temuan TGPF dan catatan keberatan itu hanyalah tentang perkosaan Mei 1998.
Bang As adalah sosok substansial. Ia tidak menilai orang dari bungkusnya. Itu juga yang berlaku pada dirinya. Tak peduli siapa yang dihadapinya, ia menganggapnya sebagai orang penting. Sebagai sosok substansial, penampilannya bersahaja. Kemanapun ia pergi, ia dikenali dari sepatu sandalnya, hem lengan pendek dan tas gantungnya. Sepatu sandalnya pernah dipersoalkan saat ia diundang oleh pejabat tinggi untuk membicarakan perkara hak asasi. Sudah lazim kalau orang diundang pejabat menggunakan sepatu tertutup. Bang As tidak ambil pusing. Ketika sepatu sandalnya dipersoalkan ia menjawabnya dengan pertanyaan, “Yang diundang saya atau sepatu saya.” Begitulah bang As, suka kocak dalam keseriusannya.
Penulis: Sri Palupi, The Institute for Ecosoc Rights
“Om” In My Humble Memories
Beliau Bang As, seperti yang dikenal banyak orang dalam ranah HAM dan kemanusiaan. Saya mengenalnya sebagai Om, ayah sahabatku. Dalam kesehariannya, beliau sangat ramah dan down-to-earth. Bila saya pagi-pagi sudah bersua dengannya di rumahnya, Om pasti tengah membaca koran sambil sesekali menyeruput kopinya dan memandang ikan di kolam. Saya ingat senyumannya yang lebar dan kehangatan yang memancar dari wajahnya. Bila dia bertanya sesuatu yang saya tidak siap, dia akan terkekeh dengan santai. Memori lain yang membekas adalah bahwa Om As merupakan family man yang mengasihi keluarganya. Tidak sering dalam kehidupanku melihat pasangan suami-isteri yang terus memelihara kasih mereka dalam keseharian. Bagaimana Om As bercanda dengan Tante dan berdansa bersama. Kediaman beliau merupakan “home” yang hangat. Saya mengingat dia sebagai orang yang penuh kehangatan, tegas dalam tindakan keadilan kemanusiaan dan perhatian dengan sesama manusia. Dia tidak hanya menginspirasi, tapi juga merupakan orang yang bertindak sesuai kepercayaannya. Om merupakan sosok yang penuh dengan kehidupan dan karya dalam hidup pribadi maupun profesionalnya. Jiwa ini yang akan terus hidup dalam ingatan orang-orang yang di sekitarnya serta semangat dalam kemajuan karya keadilan HAM. May the Lord always bless your soul and may you continue to rest in peace.
Penulis: Anonim
Tentang “Sederhana” (2)
Atribut “sederhana“ terus menyibukkan pikiran saya. Menyambung tulisan saya yang pertama, saya ingin kembali ke tema tersebut.
Salah satu hal yang saya paling ingat dari Asmara Nababan adalah ucapannya, mengutip injil Matius, bahwa burung-burung di langit saja dipelihara Tuhan. Bagian ini saya baca ulang di dalam buku ”Oase“. Pada masa itu, terkadang muncul impuls di kepala ketika mendengar kalimat tersebut: “this doesn‘t really make sense, since we are human-beings and not birds“. Butuh waktu lama dan berbagai pengalaman hidup untuk memahami esensi dari kalimat atau tepatnya “ide“, tersebut.
Asmara Nababan adalah personifikasi ide “sederhana“: dia adalah pribadi yang sederhana, konsisten dengan hal-hal yang penting dan berani untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang penting dan dengan tenang mengenyampingkan hal-hal yang menurutnya tidak esensial.
Sesungguhnya ide ini sangat membebaskan. Membebaskan in the sense: apabila kita melepaskan diri dari belenggu hal-hal yang tidak penting, tidak esensial, dan dangkal, kita bisa hidup sebagai manusia bebas. Apalagi yang paling berharga dalam kehidupan kita yang sementara di dunia ini, kecuali “kebebasan“, to be free? Bebas dari tekanan dan bebas dari ketakutan.
Butuh keberanian memang untuk sungguh berefleksi bahwa: “What you don‘t have, you don‘t need,“ dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan.
“Nothing is man’s business, what does not concern him as man, what is neither demanded nor promised by human nature, and what contributes nothing to its perfection – which therefore also cannot be an end of human striving or be called a good, i.e. a means to reach this end.
With me I always carry my property: goodness and justice, which no one can take from me”
(“Meditation“ VII/42, Marc Aurel)
Penulis: Juanita
Nyekar – 21 November 2010
Hujan cukup deras ketika taksi melaju ke Ulujami. Hari ini aku janjian dengan Ibu Magda untuk mengambil beberapa foto Bang As sebagai bahan dalam penerbitan buku di rumahnya. Berharap tiba sekitar 13.30 WIB tapi setiba di Ulujami, Jalan H. Ridi belum juga ketemu. Supir taksi beberapa kali bertanya arah jalan pada orang – orang yang berada jalanan.
Nampaknya ada hajatan atau acara pernikahan di Jalan Haji Ridi. Taksi tak bisa masuk hingga depan rumah Bang As. Meskipun yakin rumah yang dituju, aku pastikan bertanya pada sekelompok anak muda yang duduk dibawah pohon mangga, tempat mangkal ojek. Rumah bernomor 90 nampak sepi. Pembantu Bang As keluar membukakan pagar rumah. Ia mempersilahkan masuk. Perempuan setengah baya yang telah mengabdi selama 20 tahun pada Bang As tersenyum ramah.
Ibu Magda lebih segar, ia terlihat sudah lebih baik. Rumah Bang As telah ditata kembali seperti biasa. Pernak pernik serta foto- foto didinding membuatku tak jauh dari Bang As. Foto kematian Bang As telah dibuatkan albumnya. Bahkan semenjak beliau dirawat di rumah sakit Gading Pluit hingga Rumah Sakit Fuda. Bang As memang kuat. Sejak tiba di Guang Zhou hingga menghembuskan nafas terakhir terlihat dari deretan foto yang dikemas Nita dan Aviva anak – anaknya.
Rumah seketika menjadi ramai. Saudara – saudara Bang As dan Ibu Magda datang untuk acara di rumah. Aku tak sempat bertanya tentang acaranya. Setelah beberapa foto aku dapat, langsung saja pamit. Aku akan ke Tanah Kusir, menjenguk Bang As.
Nyekar. Blok AAI, Petak 225 Blad 139. Alamat baru Bang As yang diberikan Ibu Magda. Turun dari Taksi, membeli mawar putih dan dua plastik kembang. Waktu hampir menunjukan pukul 16.00 WIB. Tempat peristirahatan Bang As tak sulit dicari. Nisan dan rumput sudah di tata. Bahkan disamping Bang As, ada tetangga baru.
Aku berdoa, menyanyi dan berbincang dengan Bang As. Maaf Bang As, aku masih juga menangis. Angin yang bertiup di sore yang berkabut. Harum kembang tercium. Para pembersih kuburan nampak sibuk di blok lainnya. Aku yakin Bang As berada dengan tenang di Surga. Beliau selalu dihati.
Penulis: Inggrid Silitonga (Mantan Direktur Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos)), pertama dipublikasikan di blog Tunjuk Satu Bintangku