by hambali

Living Legacy

Tote Bag dan Sandal

Pada 1993, pertama kali saya bertemu Asmara Nababan di Komnas HAM ketika masih bertempat di kantor Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, Jakarta. Waktu itu, direktur jenderal adalah Baharuddin Lopa, orang Mandar, sarjana hukum, yang merangkap jadi sekretaris jenderal Komnas HAM. Lopa memakai kantor tersebut sebagai sekretariat Komnas HAM.

Lopa menerima puluhan buruh dari PT Duta Busana Danastri dari Palmerah, Jakarta. Mereka protes karena upah dan lembur tak dibayar sesuai standar. Saya meliput sebagai reporter harian The Jakarta Post.

Asmara Nababan sedikit terlambat. Dia masuk pakai sandal kulit, bawa tote bag, akrab menyapa dan menyalami semua orang.

Dia langsung duduk dekat Baharuddin Lopa. Acara dengan buruh berlangsung seru.

Ketika tanya-jawab, Lopa bertanya dengan dialek Mandar kental, bertanya langsung. Lopa tampaknya membaca The Jakarta Post sehingga minta saya menulis apa yang didiktekannya dengan pelan.

Beritanya besok memang menyentak. Saya menulis bahwa para buruh perempuan ini juga diperiksa bila hendak cuti haid termasuk pembalut. Ini bikin geger sampai Levi’s Strauss, perusahaan blue jeans San Francisco, memutuskan kontrak dengan Duta Busana Danastri.

Ia awal perkenalan saya dengan kedua orang ini. Kami sering bertemu. Lopa logat Mandar, Nababan logat Batak. Kadang mereka traktir saya makan nasi bungkus pesanan Lopa.

Ini berlangsung sampai Presiden Soeharto turun pada Mei 1998. Reformasi membuka pintu sejarah Indonesia. Banyak daerah ingin mendapatkan lebih banyak suara secara politik, ekonomi, budaya, sosial dari kekuasaan pusat di Pulau Jawa.

Dalam buku saya, “Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia,” saya hitung setidaknya 90,000 orang meninggal dalam berbagai kekerasan pasca-Soeharto.

Mereka sering jadi tempat saya bertanya, mulai dari kekerasan di Aceh sampai Timor Leste. Lopa memberi saya banyak informasi soal Xanana Gusmao, tahanan politik Indonesia, yang paling terkenal. Lopa zakelijk terhadap Xanana tapi juga tahu Xanana harus diperlakukan dengan baik.

Sedihnya, Lopa meninggal ketika berada di Riyadh, Arab Saudi, pada Juli 2001. Saya kaget sekali. Nababan meninggal di Guangzhou, Tiongkok, pada Oktober 2010.

Dua orang yang berbeda dari penampilan. Baharuddin Lopa rapi dengan seragam atau jas hitam. Asmara Nababan kemana-mana pakai tote bag, baju longgar tak pernah dimasukkan. Saya salut dengan kedua orang awal Komnas HAM ini. Mereka membela hak asasi orang tanpa peduli suku, agama, keyakinan, kelas sosial, pekerjaan, pendidikan. Indonesia menjadi lebih terhormat, lebih menjaga hak asasi manusia, berkat dua orang ini.

Penulis: Andreas Harsono, Human Rights Watch

Bang As yang Teliti…

Interaksi saya dengan “Bang As” tidak terlalu panjang karena kami berasal dari generasi yang berjauhan. Di komunitas penggiat tema hak asasi manusia memang kami cenderung menggunakan panggilan yang mengesankan kedekatan angkatan (misalnya “Bang”) untuk menunjukan relasi yang egalitarian. Sebelum itu saya kenal Bang As dari cerita kawan-kawan aktivis (HAM) lainnya. Cerita yang paling menarik untuk saya adalah bagaimana Bang As dan sedikit aktivis HAM yang ada di Komnas HAM bisa mentransformasi institusi ini, dari sekedar ‘lembaga korporat negara’ menjadi salah satu alat saluran korban pelanggaran HAM dan komunitas aktivis untuk mengadu. Padahal saat itu komposisi komisioner Komnas HAM diisi oleh banyak pensiunan pejabat pemerintah, polisi, dan tentara.

Saya berhubungan dengan Bang As ‘agak sering’ mungkin sekitar lima tahun sebelum ia meninggal. Bukan saja karena kantor Demos tempat Bang As bekerja dekat dengan kantor KontraS, tapi juga karena sejak 2009 Bang As menjadi Ketua Badan Pengawas KontraS, menggantikan Ibrahim Zakir yang meninggal dunia.

Di masa itu, saya beberapa kali bertemu dan bekerja sama menggarap suatu teks siaran pers bersama.  Bang As yang lebih dikenal sebagai ‘aktivis HAM’ ternyata sangat teliti mengupas tiap kata dalam draf teks tersebut dengan berbagai komentar layaknya seorang akademisi kampus. Padahal biasanya para aktivis HAM memilih bahasa yang ‘bombastis’ tanpa perlu mengecek kedalaman maknanya dari sudut perspektif HAM yang ketat. Jarang sekali saya bertemu dengan seorang ‘aktivis HAM’ seperti ini. Baru bertahun-tahun kemudian ketika saya bekerja di Amnesty International (AI) di London saya menemukan cara bekerja yang serupa. Di AI, tiap draf ‘public statement’ harus diperiksa minimum oleh dua ‘reader reviewer’ yang mengecek kata per kata. Saat pertama kali saya membuat draf ‘public statement’ di AI saya teringat Bang As yang teliti tadi.

Ketelitian Bang As juga  pernah teruji lewat pengalaman unik saya dan kawan-kawan di KontraS. Pada suatu waktu saya diminta oleh kawan-kawan Demos dan keluarga Bang As untuk “menculiknya”. Ceritanya mereka telah merencanakan pesta kejutan ulang tahun Bang As di kantor Demos yang saat itu jatuh di hari libur. Akhirnya saya dan satu kawan KontraS datang ke rumahnya untuk menjemput Bang As. Kami ajak dia ke kantor KontraS, yang jaraknya kurang dari 100 meter dari kantor Demos, dengan alasan ada rapat mendadak soal kasus Munir. Untungnya dia percaya karena Suciwati, istri almarhum Cak Munir, juga menelponnya. Kami berusaha mencari rute yang agak macet dari rumahnya agar keluarganya dapat sampai di kantor Demos sebelum kami. Saat itu Bang As nampak sibuk dengan HP-nya, namun masih dengan detil mengarahkan kami untuk mengikuti rute tercepat menuju kantor.  Kami mengulur waktu dengan mampir ke pom bensin namun kami masih terlalu cepat sampai, sehingga kami sempat harus menahannya dulu di kantor KontraS. Ada perasaan sedikit bangga di benak kami akan kesuksesan kami “mengelabui” Bang As ketika akhirnya dapat mengantar Bang As ke Demos, dimana puluhan orang sudah menanti.

Ketelitian yang dicontohkan Bang As kemudian saya gunakan untuk mereview kurikulum kegiatan SeHAMA (Sekolah HAM untuk Mahasiswa), yang kemudian menjadi salah satu flagship programme KontraS yang terus diminati oleh para mahasiwa dari berbagai penjuru Indonesia. Tapi, ketelitian Bang As juga kadangkala membawa masalah buat kami di KontraS. Misalnya saat KontraS mengadakan rapat strategic planning tiga tahunan di Bali. Sebagai Ketua Board, Bang As ikut terlibat dalam menyusun program strategis. Jadilah otak dan perhatian kami diperas untuk menjawab pertanyaan dan komentar teliti Bang As. Bila ia melihat kami kurang bersemangat, dia segera mengambil alih peran fasilitator kegiatan dengan membuat nyanyian, tarian, dan kegiatan motorik penyemangat lainnya. Ini sisi lain Bang As yang baru saya pelajari; kaya akan inisiatif untuk mendorong dinamika kelompok.  Saya duga inilah yang membuat Komnas HAM di zamannya akhirnya menjadi suatu badan yang disegani banyak pihak.

Sayangnya “liburan” berbungkus strategic planning di akhir 2009 itu jadi kebersamaan Bang As dan keluarga KontraS terakhir kalinya. Kurang dari setahun kemudian kami mendengat hasi test medisnya mengkhawatirkan, dan segera setelahnya Bang As meninggal dunia.   

Papang Hidayat, yang dapat pelajaran banyak dari Bang As lewat pengalaman bersama yang pendek. Pernah bekerja di KontraS dan Amnesty International.

Penulis: Papang Hidayat 

Kapan Perjuangan Usai?

Sahabatku Bung Asmara telah menjadi inisiator Peluncuran Novelku “Merajut Harkat” begitu Suharto jatuh.
Masih terngiang suara bung, “Perjuangan selesai kalau tentara sudah kembali ke barak.”

Penulis: Putu Oka Sukanta

PENDIDIKAN SEBAGAI ALAT PEMBEBASAN DAN PERLAWANAN

Saya adalah orang yang beruntung. Sekitar tahun 1996/1997 saya staf relatif baru di Komnas HAM, Bang As memanggil saya dan menugaskan saya untuk berangkat ke Manila.
Kau berangkat menemani Pak Tandyo (Prof. Sutandyo Wignyosubroto).
Acara apa Bang? Saya tanya orang tua dulu ya boleh nggak berangkat.
Bang As menatap saya kaget, sontak bertanya “umurmu berapa? Kenapa harus tanya orang tua, apa kau belum bisa buat keputusan sendiri?” Kali ini saya yang kaget dengan pertanyaannya yang frontal. Dia tidak percaya, saya, 25 tahun, masih harus tanya orang tua. Pertanyaan itu ternyata begitu penting karena di tahun-tahun berikutnya, dalam banyak diskusi, Bang As mengajarkan saya tentang pentingnya menjadi orang bebas dan lepas dari dominasi, hegemoni, dan kooptasi.

Jadilah saya berangkat bersama Pak Tandyo. Itu pertamakalinya saya berkumpul dengan mereka yang disebut pendidik HAM. Di sana saya mengenal apa itu pelatihan, fasilitator, pendidikan HAM, pendidikan yang membebaskan, pendekatan partisipatif, ice-breaker, dinamika kelompok, serta berbagai peran Komnas HAM untuk pendidikan dan penyuluhan. Di kalangan Komnas HAM di Asia ini juga topik baru. Dari sana saya seperti menemukan minat baru yang jauh dari peran saya sebelumnya.

Tahun berikutnya, bersama CHRF (sekarang Equitas) Komnas HAM menyelenggarakan Seri TOT untuk 5 kelompok strategis (guru, tokoh agama, penegak hukum, media, dan aktivis ORNOP). Sebagai staf baru saya duduk di belakang, sebagai pencatat, mendokumentasikan atau membantu logistik. Waktu itu kelasnya tokoh agama, ada Kyai, Pastor, Pendeta, Tokoh Agama Hindu, Budha dan Konghuchu, tiba-tiba Bang As ke belakang dan menghampiri saya: “Atikah, you are entitled to sit and learn with the participants”. Saya duduk bersama peserta dan ketika diskusi kelompok Bang As memberi saya spidol dan bilang, “kamu fasilitasi kelompok Budha dan Konghucu”. Sepersepuluh detik saya beku, apa yang harus saya lakukan? Tapi saya mengikuti saja bagaimana biasanya Bang As memfasilitasi, menggali, mendengarkan pendapat, dan menuliskannya di papan, seperti hari-hari ketika Rapat Pleno Komnas HAM. Hanya Bang As yang setia membuat catatan di whiteboard tentang analisis pelanggaran HAM yang dibahas Komisioner.

Sejak hari itu, hampir tidak ada lagi hari tanpa memfasilitasi. Kemana Bang As ada sesi, maka Dia akan ajak saya. Dia menyuruh dan mempercayai saya untuk memfasilitasi, entah itu dalam training, workshop, rapat, kelas-kelas besar atau kecil, bahkan kongres para pendeta HKBP atau bolak-balik ke PT KEM melatih ratusan karyawan tambang. Ketekunannya dalam menemani, mendengarkan, dan memproses kelas-kelas pendidikan (sekecil apapun) membuat saya mengerti bahwa pendidikan adalah langkah panjang yang dipercaya mampu membuat perubahan besar dan radikal.

Sebagai Komisioner SubKomisi Pendidikan, Bang As dan Pak Tandyo adalah figur yang membangun fondasi pentingnya pendidikan HAM berkelanjutan. Melawan penindasan harus dibentuk melalui “konsentisasi” dan mengubah cara pandang yang tadinya hanya menerima/tunduk pada praktik-praktik dehumanisasi. Gagasan membentuk pool of educators 5 kelompok strategis belum pernah ada, tapi ketika dimulai dan dipelihara maka menjadi wahana penting untuk menjamin pendidikan HAM berjalan berkesinambungan. Tahun 2002 dan seterusnya, Bang As sibuk sebagai Sekjen, dia seperti “mengalihkan” saya agar belajar pada Mas Mansour Fakih dan Mas Billah. Lagi-lagi saya beruntung karena perjumpaan-perjumpaan inilah yang membuat saya kaya pengalaman saat bergulat dalam dunia pendidikan HAM. Namun saya tidak akan pernah lupa Bang As lah yang membukakan pintu itu lebar-lebar bagi saya. Misi ini akan saya jaga baik-baik.

Penulis: Atikah Nuraini

Tentang “sederhana”

Ketika pagi ini membuka buku “Oase Bagi Setiap Kegelisahan” tentang Asmara Nababan yang sudah lama tidak saya buka, bagian pertama yang saya lihat adalah mengenai bagaimana Asmara hidup dengan prinsip “sederhana”. Bahwa sederhana bukan berarti tidak ada ambisi atau malas atau tidak ada tuntutan. Bahwa sederhana berarti hidup dengan “berkecukupan”.

Ini mengingatkan saya tentang “Teologi Keseimbangan” dari buku “Selagi Masih Siang”, otobiogafi yang  ditulis oleh SAE Nababan, abang dari Asmara Nababan. Pada intinya, buah pikiran teologis ini mengolah gagasan mengenai keseimbangan antar manusia. Teori teologi ini menolak kesenjangan dan ketidakadilan karena “kerakusan” dan adanya rasa “tidak pernah cukup”dari segelintir manusia yang mendorong mereka untuk terus mengumpulkan dan menimbun sumber daya dan kekayaan, tanpa perduli akan manusia yang lain. Pada halaman 237 buku tersebut, rumusan Rasul Paulus tentang keseimbangan dikutip; suatu formulasi konsep yang merujuk pada Keluaran pasal 16:18 “orang yang mengumpulkan banyak tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit tidak kekurangan”.  Dalam salah satu acara diskusi tentang buku yang ditulis SAE Nababan tersebut, pertanyaan yang saya sampaikan hanya satu: “Apa definisi “cukup”?” Jawaban yang saya dapatkan dari penulis adalah kutipan yang saya sebut diatas.

Berangkat dari diskusi tersebut, dan  membaca kembali tulisan-tulisan dalam buku “Oase” mengingatkan saya akan ide mengenai kesederhanaan. Bahwa dengan berkonsentrasi pada salah satu esensi terpenting dalam kehidupan manusia, yang menurut saya adalah hak hakiki untuk dapat berkehidupan bebas dari ketakutan dan tekanan, maka kita dapat membebaskan diri dari berbagai beban tidak penting yang menahan langkah kita. Beban-beban tersebut termasuk prestige atau gengsi, tekanan untuk menimbun kekayaan material, serta kemunafikan. Hidup dengan sederhana memberi kita kebebasan untuk berkonsentrasi kepada hal-hal yang esensial dalam kehidupan kita yang fana ini: mencintai orang lain seperti kita mencintai diri sendiri, memberi dan tidak hanya menerima, serta apresiasi bahwa hidup ini adalah berkat dan bukanlah beban.

Berangkat dari pemikiran dan prinsip hidup kedua abang adik ini, saya berdoa semoga tulisan pendek ini dapat memberi insipirasi bagi para pembaca agar bersama-sama dengan saya melakukan refleksi dan menumbuhkan keberanian untuk mempertanyakan hal-hal dalam hidup yang selama ini kita terima begitu saja sebagai sesuatu yang sudah semestinya.

Penulis: Juanita Nababan

Mungkin Kita Membutuhkan Sejarah Dari yang Kalah, bukan Sejarah Pemenang

International Center for Transitional Justice (ICTJ) menggambarkan keadilan transisional yang dapat menghentikan warisan pelanggaran masa lalu harus terdiri dari sedikitnya 4 langkah, yakni penuntutan pidana, komisi kebenaran, program reparasi korban, dan reformasi kelembagaan. Asmara Nababan nampaknya merupakan seorang tokoh yang mengusung gagasan ini, terlihat dari rekam jejaknya dalam berbagai tim pencari fakta atau komisi penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk serangan terhadap para pembela HAM. Ia juga salah satu orang yang mendukung berdirinya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dapat menangkap kebenaran sejarah dan tidak menjadi sarana yang melanggengkan impunitas. 

 Namun setelah lebih dari dua dekade berlalu sejak tahun 1998 kita semua merasakan berbagai kemunduran dalam capaian-capaian terpenting reformasi. Hak asasi manusia walau telah tercantum dalam hukum tertinggi kita, gagal untuk menjadi norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia hanya menjadi bahasa dagangan politik atau dalam skenario terbaik, bahasa untuk menuntut pemerintah. Namun ia tidak menjadi dasar bagi hubungan antara warga negara dan pemerintahnya, maupun menjadi dasar negara dalam menjalankan kewajibannya, ataupun menjadi kerangka dimana antar warga memandang satu sama lain sebagai manusia yang sama martabat dan harkatnya. Lembaga-lembaga dan prosedur yang diadakan untuk memastikan pelanggaran-pelanggaran HAM terberat dihukum, semakin tidak bergigi dan dipreteli pelan-pelan sampai tidak ada bentuknya lagi. Buruknya lagi, warisan keji masa lalu sampai sekarang masih diperdebatkan keabsahannya, dan dalam tiap musim politik akan selalu ada usaha untuk menulis ulang sejarah yang semakin lama mengaburkan lini antara mana yang faktual dan mana yang propaganda. Dengan tiadanya landasan sejarah dan norma yang jelas, semakin jauh harapan untuk benar-benar mewujudkan Indonesia yang demokratis dan beroperasi dengan berlandaskan standar-standar hak asasi manusia. Dan semakin lama agenda membangun landasan sejarah dan norma ini semakin dikesampingkan.

Beberapa waktu yang lalu terdapat debat tentang penghapusan mata pelajaran sejarah, dilanjutkan dengan perdebatan tentang versi mana yang benar tentang G30S/PKI. Banyak orang di media sosial yang mengatakan bahwa wajar kita memiliki versi sejarah yang pro Orde baru sebagai “pemenang” konflik di tahun 1965. Hal ini membuat saya berpikir tentang pengalaman Jerman dalam menghadapi warisan kekejaman Nazi sebelum dan sepanjang Perang Dunia II (PD II).

Saat Jerman kalah perang ia dibelah dua menjadi Jerman Barat yang berada dibawah pengaruh Amerika Serikat, dan Jerman Timur yang berada dibawah pengaruh Uni Soviet. Jerman Barat “dipaksa” oleh Amerika Serikat untuk mengkonfrontasi masa lalu mereka tentang genosida Nazi (rezim yang berkuasa di Jerman saat PD II terhadap kaum Yahudi dan pembunuhan massal kaum minoritas lainnya. Hal ini termasuk memastikan semua penduduk Jerman tahu bahwa seluruh kekejaman Nazi termasuk Holocaust itu betul terjadi, dan ia bukan hanya kesalahan pemimpin tertinggi Nazi.  Kekejaman itu terjadi dengan dimungkinkan oleh berbagai faktor, seperti paham rasisme dan supremasi kulit putih yang saat itu merajalela di Eropa, termasuk Jerman. Jadi diperlukan perubahan normatif dan sistemis agar kekejaman seperti itu tidak terulang. 

Sementara itu, di Jerman Timur, versi sejarah yang diajarkan adalah bahwa semua pelanggaran HAM berat yang terjadi di zaman PD II adalah kesalahan para pemimpin Nazi dan antek-anteknya saja, tanpa ada peran serta masyarakat (walaupun Hitler, pemimpin Nazi, berhasil berkuasa di Jerman dengan proses demokratis). Jadi tidak ada kebutuhan akan perubahan normatif dan institusional (termasuk pendidikan sejarah) untuk mencegah itu terjadi lagi, karena memang yang terjadi itu hanya salah beberapa oknum belaka.

Akhirnya ketika Jerman bersatu pada tahun 1990 terlihat jelas perbedaannya. Selain memang tingkat kesejahteraan dari Barat dan Timur berbeda, namun pandangan mereka tentang apa yang terjadi pada masa PD II sangat berbeda pula. Di Jerman Barat sangat ditekankan dalam berbagai pelajaran sejarah bahaya dari bukan saja paham Nazi secara keseluruhan, tapi pada khususnya rasisme dan xenophobia. Hal ini tidak terjadi di Jerman Timur. Sampai sekarang, daerah-daerah yang dulunya adalah Jerman Timur menjadi tempat dimana gerakan Neo Nazi subur berkembang. Mereka dapat diargumentasikan menjadi daerah yang lebih gagal dalam menghentikan warisan rasisme masa lalunya.

Saya jadi berpikir apakah mungkin di Indonesia kita bisa belajar dari pengalaman ini agar bisa membentuk landasan bagi pembangunan Indonesia masa depan yang lebih baik. Bukan membangun landasan sejarah kita dari “sejarah pemenang” tapi sejarah yang setidaknya imbang antara mereka yang menang dan kalah. Lagipula bila kita melihat sejarah tahun 1998 yang diajarkan di sekolah-sekolah (kalau diajarkan), dan bila kita percaya bahwa sejarah yang ada sekarang adalah sejarah pemenang, jelas yang menang adalah elit-elit saja. Para mahasiswa dan aktivis yang dihilangkan, diculik, hingga akhirnya berhasil menjatuhkan Soeharto di tahun 1998 tetap tidak diakui secara resmi penderitaan dan sumbangsihnya oleh pemerintah, dan kepergian mereka tidak pernah dipertanggungjawabkan dengan sepatutnya.

Penulis: (Anonim) 

Berani Merangkul yang Berbeda dan Melakukan Kerja-Kerja Kecil

Bang As adalah seorang sosok yang terkadang terlihat sangat keras, apalagi dengan suaranya yang menggelegar seperti stereotypical orang Batak. Namun demikian dalam banyak saat ia menunjukkan kemampuan untuk menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang penuh kasih kepada anak-anak muda dan bawahannya walaupun bukan bentuk kasih yang memanjakan. 

Ada dua saying yang akan selalu saya ingat dari beliau: yang pertama adalah “kalau berbuat baik kepada orang yang memang baik dan kita sayangi, itu biasa. Tapi berbuat baik kepada orang yang kita merasa kesal, itu baru luar biasa”. Dan yang kedua adalah “Kalau kau tidak bisa menyelesaikan hal-hal kecil dengan baik, maka jangan harap kau sukses dengan kerja-kerja besar”. Saya memaknai itu dalam keterlibatan dalam advokasi HAM sebagai dua hal yang penting untuk dipegang. 

Pesan pertama saya selalu ingat ketika saya melakukan advokasi dan harus berhadapan dengan orang yang memiliki sikap yang berbeda dengan saya, atau yang belum memahami hak asasi manusia sama sekali. Pada saat itu akan sangat mudah untuk meminggirkan orang-orang semacam itu dan tinggal di zona nyaman dan preaching to the choir. Tapi bila kita hanya berbicara dengan orang yang sudah paham dan sepakat dengan norma-norma hak asasi manusia, maka pada skala makro tidak akan ada perubahan yang terjadi. 

Pesan kedua buat saya juga penting karena dalam advokasi HAM terkadang kita terayu “panggung”, apakah untuk gengsi kita sendiri atau karena kepercayaan yang genuine  bahwa hanya dengan berteriak berapi-api di atas panggung kita dapat membuat perubahan. Namun demikian kerja-kerja kecil yang jauh dari lampu sorot juga sama pentingnya (kalau bukan lebih penting) dalam membuat perubahan yang berkelanjutan. Membuat organisasi yang bisa mewadahi calon-calon penggerak komunitas, mementori aktivis-aktivis muda, menjadi pelatih di acara-acara yang tidak populer, tidak berhonor tapi dihadiri oleh anak-anak muda, memberikan subsidi uang kuliah, hal-hal semacam ini adalah investasi Bang As untuk perubahan yang mungkin tidak dilihat orang, namun sama pentingnya dengan berbagai fungsi-fungsinya yang disorot banyak orang. 

Bang As, you are gone too soon, but your legacy lives on.

Penulis: (Anonim)