Mungkin Kita Membutuhkan Sejarah Dari yang Kalah, bukan Sejarah Pemenang

by hambali

International Center for Transitional Justice (ICTJ) menggambarkan keadilan transisional yang dapat menghentikan warisan pelanggaran masa lalu harus terdiri dari sedikitnya 4 langkah, yakni penuntutan pidana, komisi kebenaran, program reparasi korban, dan reformasi kelembagaan. Asmara Nababan nampaknya merupakan seorang tokoh yang mengusung gagasan ini, terlihat dari rekam jejaknya dalam berbagai tim pencari fakta atau komisi penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk serangan terhadap para pembela HAM. Ia juga salah satu orang yang mendukung berdirinya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dapat menangkap kebenaran sejarah dan tidak menjadi sarana yang melanggengkan impunitas. 

 Namun setelah lebih dari dua dekade berlalu sejak tahun 1998 kita semua merasakan berbagai kemunduran dalam capaian-capaian terpenting reformasi. Hak asasi manusia walau telah tercantum dalam hukum tertinggi kita, gagal untuk menjadi norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia hanya menjadi bahasa dagangan politik atau dalam skenario terbaik, bahasa untuk menuntut pemerintah. Namun ia tidak menjadi dasar bagi hubungan antara warga negara dan pemerintahnya, maupun menjadi dasar negara dalam menjalankan kewajibannya, ataupun menjadi kerangka dimana antar warga memandang satu sama lain sebagai manusia yang sama martabat dan harkatnya. Lembaga-lembaga dan prosedur yang diadakan untuk memastikan pelanggaran-pelanggaran HAM terberat dihukum, semakin tidak bergigi dan dipreteli pelan-pelan sampai tidak ada bentuknya lagi. Buruknya lagi, warisan keji masa lalu sampai sekarang masih diperdebatkan keabsahannya, dan dalam tiap musim politik akan selalu ada usaha untuk menulis ulang sejarah yang semakin lama mengaburkan lini antara mana yang faktual dan mana yang propaganda. Dengan tiadanya landasan sejarah dan norma yang jelas, semakin jauh harapan untuk benar-benar mewujudkan Indonesia yang demokratis dan beroperasi dengan berlandaskan standar-standar hak asasi manusia. Dan semakin lama agenda membangun landasan sejarah dan norma ini semakin dikesampingkan.

Beberapa waktu yang lalu terdapat debat tentang penghapusan mata pelajaran sejarah, dilanjutkan dengan perdebatan tentang versi mana yang benar tentang G30S/PKI. Banyak orang di media sosial yang mengatakan bahwa wajar kita memiliki versi sejarah yang pro Orde baru sebagai “pemenang” konflik di tahun 1965. Hal ini membuat saya berpikir tentang pengalaman Jerman dalam menghadapi warisan kekejaman Nazi sebelum dan sepanjang Perang Dunia II (PD II).

Saat Jerman kalah perang ia dibelah dua menjadi Jerman Barat yang berada dibawah pengaruh Amerika Serikat, dan Jerman Timur yang berada dibawah pengaruh Uni Soviet. Jerman Barat “dipaksa” oleh Amerika Serikat untuk mengkonfrontasi masa lalu mereka tentang genosida Nazi (rezim yang berkuasa di Jerman saat PD II terhadap kaum Yahudi dan pembunuhan massal kaum minoritas lainnya. Hal ini termasuk memastikan semua penduduk Jerman tahu bahwa seluruh kekejaman Nazi termasuk Holocaust itu betul terjadi, dan ia bukan hanya kesalahan pemimpin tertinggi Nazi.  Kekejaman itu terjadi dengan dimungkinkan oleh berbagai faktor, seperti paham rasisme dan supremasi kulit putih yang saat itu merajalela di Eropa, termasuk Jerman. Jadi diperlukan perubahan normatif dan sistemis agar kekejaman seperti itu tidak terulang. 

Sementara itu, di Jerman Timur, versi sejarah yang diajarkan adalah bahwa semua pelanggaran HAM berat yang terjadi di zaman PD II adalah kesalahan para pemimpin Nazi dan antek-anteknya saja, tanpa ada peran serta masyarakat (walaupun Hitler, pemimpin Nazi, berhasil berkuasa di Jerman dengan proses demokratis). Jadi tidak ada kebutuhan akan perubahan normatif dan institusional (termasuk pendidikan sejarah) untuk mencegah itu terjadi lagi, karena memang yang terjadi itu hanya salah beberapa oknum belaka.

Akhirnya ketika Jerman bersatu pada tahun 1990 terlihat jelas perbedaannya. Selain memang tingkat kesejahteraan dari Barat dan Timur berbeda, namun pandangan mereka tentang apa yang terjadi pada masa PD II sangat berbeda pula. Di Jerman Barat sangat ditekankan dalam berbagai pelajaran sejarah bahaya dari bukan saja paham Nazi secara keseluruhan, tapi pada khususnya rasisme dan xenophobia. Hal ini tidak terjadi di Jerman Timur. Sampai sekarang, daerah-daerah yang dulunya adalah Jerman Timur menjadi tempat dimana gerakan Neo Nazi subur berkembang. Mereka dapat diargumentasikan menjadi daerah yang lebih gagal dalam menghentikan warisan rasisme masa lalunya.

Saya jadi berpikir apakah mungkin di Indonesia kita bisa belajar dari pengalaman ini agar bisa membentuk landasan bagi pembangunan Indonesia masa depan yang lebih baik. Bukan membangun landasan sejarah kita dari “sejarah pemenang” tapi sejarah yang setidaknya imbang antara mereka yang menang dan kalah. Lagipula bila kita melihat sejarah tahun 1998 yang diajarkan di sekolah-sekolah (kalau diajarkan), dan bila kita percaya bahwa sejarah yang ada sekarang adalah sejarah pemenang, jelas yang menang adalah elit-elit saja. Para mahasiswa dan aktivis yang dihilangkan, diculik, hingga akhirnya berhasil menjatuhkan Soeharto di tahun 1998 tetap tidak diakui secara resmi penderitaan dan sumbangsihnya oleh pemerintah, dan kepergian mereka tidak pernah dipertanggungjawabkan dengan sepatutnya.

Penulis: (Anonim) 

You may also like