SELAMAT SORE bagi yang bermukim di DKI dan WIB SELAMAT MALAM bagi yang bermukim di JATENG, BALI, PAPUA dan WIT Lainnya Selamat PAGI bu Lena dan yang ada di daratan Eropa Salam sehat selalu.
Bapak ibu, rekan-rekan Kegiatan ini sudah dibicarakan sejak Februari yang lalu, dan karena pandemic Covid-19 kegiatan ini dilaksanakan secar virtual dan sejumlah penyesuaian dilakukan.
Senang dan terima kasih atas kehadiran rekan-rekan dalam acara ‘refleksi demokrasi dan hak asasi manusia’ serta peluncuran buku “meniti ombak mewujudkan kemanusiaan’ dalam rangka 10 tahun kepulangan bang AS. Pertanyaannya: Apa kaitan keduanya?
28 OKTOBER 2010 – 10 tahun lalu kita semua merasakan Gerakan HAM dan DEMOKRASI kehilangan seorang aktivis. Bang AS meninggalkan kita dan pulang ke rumah YME. Namun hari ini kita tidak akan mengenang atau merayakan kematian. Kita akan mengenang dan merayakan kehidupan. Kehidupan dari seorang suami, ayah, sahabat, guru, rekan kerja, rekan seperjuangan, … Kehidupan mengenai praktek-praktek berkeyakinan/ beragama, berelasi, dan dari seorang BANG AS melalui berbagai kisah para sahabat – maupun kolega. Kehidupan mengenai merajut solidaritas, membangun inklusifitas, keberpihakan pada yang miskin dan marginal, dan menjalakan spiritualitas pembebasan.
Bapak ibu teman-teman, beberapa puluh tahun (72) sebelumnya, 28 Oktober 1928 puluhan pemuda yang bergabung dalam berbagai organisasi kedaerahan dan wilayah berkumpul untuk mendeklarasikan Sumpah Pemuda, yakni, ‘bertanah air satu, tanah air indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu Bahasa Indonesia’. Kita semua tau itu merupakan momentum penting yang menandai tekad untuk membentuk satu bangsa, meskipun berbeda-beda. Sebuah Tonggak sejarah yang menentukan terjadinya bangsa Indonesia.
Mungkin pemuda pemudi itu tidak membayangkan bahwa Indonesia akan lahir 17 tahun kemudian. Namun mereka sudah ‘mereka-bayangkan’ tentang kehidupan bersama –imagine community bernama Indonesia, yang 25 tahun dari sekarang berusia 1 abad. 100 tahun.
Dan akhir-akhir ini apa yang diaspirasikan sebagai bangsa Indonesia terus menghadapi goncangan. Jika sembilan puluh dua tahun lalu, bangsa Indonesia yang diwakili kaum muda dari beragam asal usul, kepercayaan, agama, suku, kebudayaan bersatu dalam mereka-bayangkan (imagining) Indonesia, sebagai Satu Tanah Air, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, akhir-akhir ini cita-cita mengenai Indonesia ini terus dihantam dan hendak digerus oleh sejumlah kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang menurut saya lebih banyak menyuarakan kematian daripada kehidupan.
Manifestasi sebagai bangsa tidak bisa diandaikan akan terus terbentuk begitu saja, melainkan memerlukan kehendak dan tindakan sengaja. Banyak bentuknya, yang bisa ditemukan dalam buku ‘meniti ombak mewujudkan kemanusiaan.
Rekan-rekan,
Penerbitan buku ini pertama-tama hendak merayakan kehidupan dan bukan kematian, yang akhir-akhir ini sering kita dengar diteriakan oleh entah siapa…. Mengenang kehidupan bang AS salah satunya. [bagian pertama buku] Salah “duanya” menyajikan berbagai gagasan, imaginasi, realitas termasuk tantangan mengenai Indonesia dan keIndonesiaan. Di dalamnya termuat berbagai refleksi para pelaku demokrasi dan hak asasi manusia (democracy and human right actors) yang bisa menjadi rujukan dalam menentukan apa yang harus dengan sengaja, atau prasyarat-prasyarat yang perlu kita lakukan untuk pembentukan bangsa Indonesia ke depan. Indonesia yang berkeadilan sosial, dan berperi- kemanusiaan. Misalnya, perubahan relasional, korupsi dan politik impunitas, pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi, kemerdekaan pers, dan politik gender. Juga terdapat tulisan mengenai strategi gerakan social dan penguatan komunitas basis.
Berbagai gagasan dan peta persoalan yang menurut saya bisa menjadi referensi bagi mereka – terutama yang muda – dalam membayangkan Indonesia 25 tahun dari sekarang.
Di luar penerbitan buku ini dilakukan juga lomba vlog bagi generasi milenial, pembentukan blog bernama www.asmaranababan.org dengan maksud yang sama.
Bapak, ibu, rekan-rekan sekalian, Untuk mencapai malam ini, terbitnya buku dan lomba vlog, atas nama panitia dari AJAR, Elsam, INFID, JKLPK, KontraS, KSPPM, PGI, dan alumni Demos saya berterima kasih pada para penulis yang berkenan membagikan pikiran, pengalaman dalam waktu yang tidak longgar. Secara pribadi saya juga berterima kasih pada keluarga Asmara Nababan atas kepercayaannya mbak Magda dan Aviva; kepada Stanley (Yoseph Adi Prasetyo) sebagai editor buku dan rekan-rekan kerja: Amin Siahaan (JKLPK), Angela Manihuruk, Aviva Nababan (Keluarga), Delima Silalahi (KSPPM), Bung Eliakim Sitorus, Florence (INFID), Mbak Irma Riana, Pendeta Jacky Manuputty (PGI), Phillip Artha Sena, Ridayani Damanik, Ronald (PGI), Sahat Pandiangan, mas Sugeng Bahagijo (INFID), bung Yohanes da Masenus Arus dan last but not least bung Wahyu Wagiman (ELSAM) …mudahmudahan tidak ada yang ketinggalan.
Akhir kata, meski kegiatan peluncuran buku dan diskusi refleksi demokrasi dan hak asasi terpaksa dilakukan dengan cara virtual, semoga acara ini bisa memberi manfaat bagi kita semua. Selamat menikmati!