Bagaimana Saya Mengenal Asmara Nababan
Saya pertama kali mengenal Bang Asmara Nababan lewat kegiatan Evaluasi dan Perencanaan (Evaperca) yang diadakan oleh Yayasan Alfa Omega (YAO) sekitar tahun 1992. Bang As, sebagaimana kami biasa memanggilnya, saat itu adalah ketua JKLPK.
Bagi saya, untuk urusan kepedulian terhadap HAM tak usah ditanyakan kepada bang As. Namun dalam hal solidaritas kepada yang tertindas, kemauan untuk menciptakan kader-kader kemanusiaan yang baru, serta keterbukaan bergaul dengan mereka yang berbeda ideologi sekalipun, bang Asmara adalah guru sepanjang hidupnya.
Dalam diskusi-diskusi dengan bang As saat dan setelah Evaperca YAO di tahun 1992, kami mengangkat banyak isu ketimpangan dan ketidakdilan pembangunan di NTT seperti masalah Hutan Tanaman Industri (HTI) dan masalah kawasan Industri Bolok, dan nampaknya YAO sebagai sebuah lembaga yang berada di bawah gereja tidak bisa menangangi kasus-kasus seperti itu. Sebenarnya YAO telah mendirikan sebuah LBH yang disebut LBH Cinta Damai namun LBH inipun tidak terlalu leluasa berkembang dari masih ada di bawah struktur gereja yang kaku dan konservatif.
Satu hal yang cukup mengganggu cara pandang saya dan kemudian ternyata membentuk cara pandang saya adalah bagaimana bang As menunjukkan sikap yang sangat pluralis dan terbuka. Ini mungkin suatu hal yang biasa bagi banyak orang, namun bagi saya yang datang dari latar belakang kedaerahan plus minoritas seperti, sungguh suatu hal yang tidak biasa.
Saat Evaperca bang As melihat bahwa ke depan pasti ada tantangan-tantangan menyangkut toleransi beragama. Oleh karena itu ia mengusulkan agar dibentuk sebuah forum komunikasi antar umat beragama dan ia mengusulkan agar menghadirkan Said Agil Siraj. Kok bisa ya ia berpikir seperti itu, sebab bagi kami di NTT yang merasa mayoritas, hal-hal seperti itu tidaklah dibutuhkan. Inilah pertama kali saya bertemu dan mengenal bang Asmara.
Satu hal yang selalu menjadi ciri bang As adalah kemampuannya untuk mendukung, memberi semangat bahkan mempromosikan aktivis-aktivis muda. Bang selalu bilang “Ler, tantangan itu adalah kesempatan untuk melayani bukan menghindar”. Namun ia jauh dari fatalisme. Ia seorang perencana strategis yang ulung dan melihat setiap tantangan sebagai kesempatan untuk berbuat sesuatu lewat perencanaan yang ketat terlebih dahulu.
Bertolak dari diskusi-diskusi dengan bang As, pada tahun 1994 diadakanlah sebuah forum LSM lokal yang didukung oleh Oxfam, untuk meneliti ketahanan masyarakat adat di NTT terhadap intervensi dari luar. Salah satu tindak lanjut dari forum itu adalah membentuk kelompok-kelompok kerja kecil yang berbagi tugas dalam advokasi. Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT berkembang dari salah satu pokja ini.
Pada tahun 1996 ketika banyak aktivis di Indonesia yang tergabung dalam Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menandatangi apa yang disebut dengan Reformasi Agraria, banyak aktivis dipanggil periksa atau diintimidasi dengan alasan mengembangkan jaringan komunis dengan alas an reformasi agrarian adalah cara kerja komunis. Tak luput kami di Kupang yang terlibat dalam konsorsium itupun diintimidasi. Saya saat itu sedang mengandung anak saya yang ke 2, juga turut dipanggil dan diperiksa di kantor Sospol. Bang As seorang yang menghubungi saya karena dihubungi oleh Direktur Yay. Alafa Omega saat itu Pdt. Icha Frans dan menanyakan keadaan, rasa aman dan situasi keamana saya. Ia, yang saat itu adalah Direktur Eksekutif INFID, melakukan lobby-lobby untuk membebaskan teman-teman yang diintimidasi maupun yang terperiksa karena terlibat dalam gerakan reformasi agrarian.
Kemampuan melakukan kerja-kerja berjejaring adalah sesuatu yang seakan given pada bang Asmara. Saat lembaga yang kami pimpin masih dalam tahap awal sekali, belum berbadan hukum, belum mendapat dukungan dana, bang As meminta kepada kami untuk tetap melakukan kerja-kerja advokasi sambil mengurus legalitas kami. Saat itu kami dari PIR (organisasi lama) telah mendampingi kasus Kawasan Industri Bolok masy adat Bolok vs Pemerintah di Kupang Barat,Kasus HTI PT Fendi Indah Lestari milik Bob Hasan yang merampas tanah2 Masy adat dipole, Laob, Bijeli dan Konbaki dan kasus HTI di Desa Baki, Niki-Niki Un.
Bang As selalu mempromosikan para aktifis dan organisasi-organisasi gerakan. Kami dilibatkan dalam INFID dan JKLPK dan disitulah kami belajar bagaimana kerja-kerja berjejaring. Ia cukup memahami pentingnya pengkaderan aktifis, memperkuat gerakan pro demokrasi dan HAM. Itu semua ia ajarkan, di lembaga manapun ia berada ia selalu melakukan hal itu. Ia sangat pandai membawa diri dalam bergaul dengan lembaga-lembaga seperti World Bank dan lain-lain, namun ia nampaknya punya posisi tawar yang luar biasa terhadap mereka.
Ia selalu mengingatkan bahwa dalam advokasi HAM kita tidak bisa bekerja sendiri-sendiri. Tidak bisa anda merasa lembaga anda besar jadi tidak membutuhkn yang lain. Tidak bisa. Karena yang kita lawan adalah struktur yang korup, hegemonic dan developmentalis… penting kita semua harus belajar Bersama rakyat dan bagaimana memampukan rakyat untuk bisa beradvokasi Bersama kalian. Kata Bang As
Bang As sangat memahami pentingnya pengembangan kapasitas aktivis, dalam gerakan pro demokrasi dan gerakan HAM. Karena banyak peristiwa pelanggaran terjadi di luar Jakarta, maka aktivis di luar Jakarta harus mendapat perhatian
Setelah terlibat di INFID, bang AS selalu melibatkan kami dan malah merekomendasikan kami untuk menjadi anggota definitive. Banyak yang kami belajar Bersama INFID baik PIAR sebagai kelembagaan dan saya sebagai pribadi
Ketika ia menjadi Sekretaris Jendral Komnas HAM di tahun 1998, kewibawaannya itu nampak dalam bagaimana ia menarik sebanyak mungkin aktifis untuk mempunyai harapan terhadap Komnas HAM. Walaupun Komnas itu lembaga pemerintah, ia mampu merubah Komnas HAM menjadi semacam oase dimana ia mampu membawa banyak kalangan aktifis pro-demokrasi untuk membangun kekuatan lewat Komnas untuk kepentingan HAM. Itu yang saya lihat. Ia bilang masalah HAM memang tanggungjawab negara tapi semua orang harus memberi kontribusi bagi peneggakan HAM. Banyak orang juga menaruh harapan pada Komnas. Orang bisa tidur-tiduran di Kantor Komnas untuk mendapatkan keadilan, dan bang As mampu memberi rasa aman. Bagi saya, lembaga Komnas mempunyai wibawa yang luar biasa ketika bang Asmara menjadi Sekjen.
Memang Komnas tidak selalu berhasil mengungkap semua persoalan HAM namun ada sejumlah kasus penting yang justru mulai dibuka atau dipersoalkan pada masa bang As misalnya persoalan Tanjung Priok yang diungkap pada masa bang As. Kasus 1998 misalnya sampai saat ini masih belum terselesaikan tetapi paling kurang Komnas di masa bang As telah membuat Tim Pencari Fakta (TPF) pada saat itu.
Bang Asmara sangat inovatif, kritis, kreatif dalam mendesain program-program di Komnas HAM sehingga kadang-kadang orang berpikir bahwa Komnas HAM itu LSM. Saya menduga ada banyak kecemburuan dari elemen-elemen lain di Komnas karena bang As melibatkan orang-orang non militer, polisi dan non pemerintah.
Kelebihan bang Asmara adalah ia bisa merepresentasi pikiran-pikiran dan aspirasi kita yang diluar, ke dalam lembaga pemerintah seperti Komnas HAM. Sehingga memang di tahun 1998 ketika terjadi pelanggara HAM yang luar, orang datang ke Komnas yang mendapat perlindungan yang luar biasa karena dibuka ruang untuk itu. Dulu, kadang kita ditelpon saja dia sudah bisa menciptakan rasa aman bagi kita, dia menelpon tentara, polisi dan semua pihak terkait untuk bertanya ini itu sekedar untuk menjamin rasa aman kita. Ketika kasus Timor-Leste saya begitu terancam karena kasus penggalian kuburan korban pembunuhan milisi di Alas, Kabupaten Belu, bang As mengontak Kiki Syahnarki dan sejumlah pejabat untuk menjamin rasa aman bagi saya. Sekarang ini entahlah bagaimana dengan para komisioner dan pekerja di Komnas.
Di tahun 1998 ketika Soeharto jatuh, Komnas HAM sudah mendesain program yang berjudul “Indonesia Masa Depan 2020”. Ia mengumpulkan semua stakeholder di pusat dan daerah untuk terlihat dan memahami scenario itu. Ternyata di tahun 2010 apa yang diprediksi itu muncul. Yang menarik dari program itu ialah ia, sebagai sekjen Komnas HAM melibatkan kita dan ia memangun posisi tawar aktifis pro-demokrasi dengan melibatkan mereka untuk mengerjakan tugas-tugas komnas HAM di daerah. Menurutnya, model representasi lembaga-lembaga HAM haruslah seperti itu.
Bang As selalu menumbuhkan keberanian
Di tahun 1999, lagi-lagi bang As menunjukkan pengaruh dan cara berpikirnya. Saya dan beberapa orang di NTT seperti Leo Simandjuntak dan Yos Dasi Djawa dimasukkan ke dalam sekretariat KPP HAM Timor-Leste. KPP HAM ini kan lembaga resmi yang dibentuk pemerintah. Harusnya sekretariat lembaga itu ada di lembaga Negara seperti kejaksaana atau kepolisian, tetapi bang As memilih LSM lokal yaitu PIAR sebagai sekretariat. Itulah gambaran bagaimana bang As mengkondisikan, melibatkan, mempromosikan, sekaligus memproteksi teman-teman aktifis pro-demokrasi. Dan tidak hanya itu, ia juga dalam KPPHAM ini aktitis-aktifis seperti Bang Todung Mulya Lubis, Cak Munir, Amir, Robert, ada dalam lembaga itu.
Selama terlibat dalam KPP HAM itu bang As sangat memperhatikan keselamatan kami. Misalnya ia melarang saya untuk terlibat langsung di lapangan saat penggalian kuburan masal korban penembakan milisi di Alas- Kabupaten Belu, karena waktu itu saya yang pertama kali ditemui langsung informan (Kapolsek Weluli) yang menguburkan 27 jenasah korban penembakan di Gereja Asumpta Soai dengan alasan katanya saya telah diintai para milisi.
Saya tidak menaati perintahnya saat itu, saya juga heran saat itu begitu beraninya saya mengambil keputusan untuk tetap terjun ke lapangan mengantar logistic pada penggalian kuburan masal, karena tak ada yang berani mengantarkan logistic padahal teman2 seperti Cak Munir, Dr, Budi, Robert, Pak Dilon, wartawan Tempo dan Jakarta Post serta para polisi yang membantu pengamanan disana yang sudah kelaparan.
Ketika mendekat ke lokasi kuburan saya ditelpon oleh bang As. Saya memberi alasan bahwa saya terpaksa ke sana karena tak punya pilihan. Ia sekit marah tapi dengan nada biasa dan mengingatkan untuk selalu waspada. Sebagai dampak dari keberhasilan pengungkapan dan pengggalian kubur ini, suami saya yang bekerja waktu itu di kabupaten Belu juga terkena akibatnya. Saat penguburuan salah seorang pemimpin milisi (Olivio Mandosa) yang terbunuh oleh penduduk lokal, suami saya dikepung. Bang As juga lah yang menelpon dan meloby ke sana ke mari untuk menyelematkan suami saya. Suami saya keluar dengan menyamar sebagai fotografer.
Bang Asmara juga selalu percaya bahwa setiap orang itu mempunyai kemampuan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan jika kita memberi ruang baginya untuk memahami apa dan bagaimana masalah itu terjadi serta di arena mana dia akan bermain. Saya tidak membayangkan ancaman yang begitu luar biasa berhadapan dengan para militer dan milisi yang begitu brutal saat persiapan menjelang penggalian kuburan masal tersebut ketika kami telah menyelesaikan penggalian kuburan masal. Saya sadar bahwa motivasi dan cara Bang As memberdayakan kami membuat kami cukup berani untuk mengambil keputusan strategis dan menolong banyak orang dalam situasi mencekam.
Teringat juga setelah peristiwa penggalian kuburan masal di Alas, kami di Kupang diminta untuk membebaskan anak-anak keluarga Gusmao yang disandra milisi di tengah-tengah pengungsi di GOR Oepoi. Bukan hal yang mudah untuk evakuasi anak2 dibanding orang dewasa, dan ini tantangan berikut yang harus dilakukan demi menyelamatkan anak2 dari pro kemerdekaan. Selalu saja ada ide Ketika berdiskusi dengan Bang As untuk agenda evakuasi tersebut. Bang As katakana, metode dan cara evakuasi kalian yang lebih paham situasi local sehingga saya percaya kalian akan berbuat yang terbaik demi menyelematkan anak-anak ini.
Pendek cerita kami dapat mengevakuasi anak2 ini berkat kerjasama dengan para suster dan tenaga medis dan dikirim kembali ke Timor-Leste melalui UNHCR. Bang As katakan kalian tak pernah belajar teori advokasi tapi kalian lebih mampu untuk menjalankan advokasi perlindungan HAM sesungguhnya. Bang As tak pernah mengatakan itu idenya atau itu inisiasinya tapi dia selalu mengatakan kalian yang memiliki cara, pengetahuan, strategi dan yang terpenting hati kalian dapat membangun hubungan emosiaonal dengan korban. Itulah Bang As selalu memberi apresiasi bagi kami sekecil apapun yang kami lakukan
Bang As sangat memahami pentingnya pengembangan kapasitas aktivis, dalam gerakan pro demokrasi dan gerakan HAM
Di tahun 2001 Komnas HAM mengirim saya mengikuti seminar Komisi tinggi HAM PBB di Iran yang dihadiri Marry Robbinson. Setelah Kembali dari Irang sebagai tindak lanjut kami mengadakan lokakarya mengenai xenophobia di Kupang menghadirkan George Aditjondro. Ada media lokal yang memelintir bahwa lokarkaya itu ingin menghadirkan Negara Timor Raya. Saya diancam oleh tentara. Bahkan di media massa diberitakan bahwa PIAR dan beberapa jaringannya sedang mendesign terbentuknya Negara Timor Raya. Ancaman baik dari TNI maupun mantan2 Milisi yang ada di Timor Barat mendesak aparat kepolisian agar segera memeriksa kami (Saya, Prof Mia Patti Noak, Pius Rengka, Anderias Agas, dan beberapa teman lain)
Desak public baik milter, Milisi dan masyarakat Timor Timur yang ada di Timor Barat akhirnya kamipun diperiksa oleh Polda NTT. Persoalan inipun tak ketinggalan Bang As tetap berdiri Bersama kami. Bang As tak pernah meninggalkan kami saat berhadapan dengan masalah HAM dan Demokrasi. Bang As selalu memonitor perkembangan kasus yang kami hadapi. Hasil dialog dengan Polda NTT di Sekretariat PIAR melihat video proses semiloka tersebut tak menemukan adanya potensi membentu negara Timor Raya dan kami meminta polisi harus melakukan konfrensi press temuan ini. Tidak berhenti disitu intimidasi psikis yang kami alami. Berselang 3 hari kemudian, saya didatangi komandan KODIM Kota Kupang, Pak Pandjaitan menyampaikan bahwa Pangdam Udayana William da Costa ingin bertemu., saya mengkomunikasi itu semua kepada Bang As dan Cak Munir Saya menolak bertemu tapi Bang As menyarankan bertemu saja tetapi teman-teman lain harus diikutkan seperti Leo Simanjuntak dan media. Untuk menghindari pertemuan tersebut saya sampaikan pada Dandim bahwa besok pagi jam 11.00 bertugas ke Kupang Barat.
Namun keesokkan harinya pagi-pagi benar tentara sudah memenuhi daerah sekitar rumah saya. Pangdam beserta para perwira sendiri sudah berada di depan rumah saya. Dalam kepanikan saat itu, bang Asmara lah yang menelpon Leo untuk datang menemani saya berhadapan dengan Pangdam yang telah datang dirumah. Saya baru sadar ternyata Bang As memiliki feeling untuk saya harus menerima kedatangan Pangdam dengan tujuan untuk meminta maap kepada kami. Bang As selalu bekerja dengan rasa, rasa memiliki kasus Bersama kami dilapangan, dan Bersama untuk menyelesaikan. Disini saya tahu Bang As selalu menumbuhkan keberanian dan percaya diri kami dalam berbagai situasi.
Kepedulian bang As sangat besar dalam mempromosikan, memperkuat dan merawat gerakan.
Di tahun 2003, boleh dikata kami baru tumbuh kesadaran advokasi dan kapasitas pun masih sangat terbatas. Banyak peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di luar Jakarta, namun kami tidak seperti para aktivis di Jakarta yang sudah mendapat banyak perhatian. PIAR adalah Lembaga yang sangat beruntung karena Bang As terlibat sejak awal pembentukan Perkumpulan PIAR. PIAR harus bisa merawat dan memelihara basis kepercayaan (trust). Itulah harapan Bang As yang diungkapkan kepada kami ketika, Bang As, Cak Munir dan Arimbi terlibat dalam perencanaan strategis pembentukan Perkumpulan PIAR.
Ketika sudah di DEMOS, ia melibatkan banyak organisasi di lapangan untuk menjadi peneliti demokrasi pasca soeharto di tahun 2003 dan 2006. Dia tidak berhenti pada hasil penelitian saja tetapi meminta saya misalnya menjadi experimen dia sehingga di tahun itu saya diminta untuk maju dalam blok politik. Majunya Daniel Adoe sebagai walikota Kupang saat itu adalah bagian dari eksperimen itu. Kami melakukan pengorganisasian akar rumput, pencarian dana dan sebagainya dan syukurlah bisa Daniel Adoe bisa menang menjadi walikota. Setelah Daniel Adoe menang, saya diminta untuk maju dalam pemilihan anggota DPD di tahun 2009. Lagi-lagi saya terpilih dan jujur, Bang As ikut memobilisasi pengumpulan biaya Politik pemilu 2009 dan saya terpilih sebagai anggota DPD RI.
Di tahun 2004-2006 PIAR NTT melakukan advokasi anti-korupsi di kota Kupang dimana PIAR membongkar korupsi APBD di jaman walikota saat itu S.K. Lerick dan Setda Jonas Salean. Pemkot mencoba mengkriminalisasi saya dengan menuntut saya meminta maaf dalam waktu satu kali 24 jam. Tapi saya tidak mau. Saya kontak ICW yang sangat membantu saat itu, dan bang Asmara juga sangat berperan dalam advokasi. Saya diminta ke Jakarta untuk bertemu kakaknya Bang Panda Nababan yang adalah anggota Komisi 3 DPR RI. Bang As meminta kepada pimpinan komisi DPR agar saya tidak dikriminalisasi sebab akan menjadi preseden buruk untuk aktifitas anti korupsi. Dan memang saya tidak dilanjutkan kriminalisasi melalui laporan balik tersebut. Di sinilah saya melihat Bang As tidak pernah meninggalkan orang, dalam konteks gerakan HAM dan Demokrasi ini. Atas nama kemanusiaan Bang As tak pernah Lelah menjadi sahabat yang menguatkan, membela berdiri Bersama dalam peran masing2,
Di tahun 2009-2010 ketika kami membahas tentang pergantian blok politik, bang As sudah sakit-sakitan. Ia cukup lama dirawat. Dia tidak kemana-mana, makan saja diatur. Di bulan awal Juni 2010 saat kami melakukan evalusi blok politik di Kupang, bang As kami undang, dia dalam keadaan yang sakit tetapi tetap mau menghadiri padahal sudah sekitar 4 bulan tak pernah melakukan perjalanan.
Betapa Bahagianya kami seluruh aktivis di Kupang juga beberapa Tokoh agama, para Romo karena kesempatan bertemu dengan beliau. Kami sangat menjaga pola dan jenis makanannya saat itu karena mengingat pesan ibu Magdalena dan teman-teman di Demos. Dalam kesempatan pertemuan di Kupang ini bertepatan dengan perayaan 40 hari kematian ayah saya. Bang As memberi penguatan kepada saya dan ikut beribadah dirumah papa saya. Satu kalimat yang masih saya ingat Ketika selesai ibadat, Bapak mu itu ibarat pisang, dia berproduksi dan akan mati setelah menumbuhkan anak pisang yang lain. Demikian juga dikalangan kita, harusnya organisasi sipil harus mampu membangun kader dan ini adalah ngobrol terakhir dengan Bang As. Karena setelah itu dia berangkat berobat ke China dan meninggalkan kami selamnya.
Cukup banyak cerita bersama bang As yang tidak kami ingat satu persatu lagi. Namun yang selalu teringat bagi kami adalah bagaimana Bang As selalu merasa bersama dengan mereka yang mengalami ketidakadilan, ia sangat solider. Ia mempromosikan, memotivasi, menjaga, dan ia tidak pernah hilang keimanan dan nilai-nilai Kristianinya. Di manapun ia berada. Dia tidak seperti orang-orang yang menampilkan keimanannya secara terbuka, tetapi intergritas dirinya melebihi sebuah ritual doa. Baginya pembela HAM seharusnya bersikap seperti demikian, bagaimana dia menghargai perempuan, bagaimana ia tidak pernah memanfaatkan posisinya untuk kepentingan keluarga dan anak-anaknya.
Bang Asmara sangat mampu membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh berbagai lini, lintas agama dan ideologi. Ia misalnya membangun lembaga Interfaith.Itu juga yang dilakukan di NTT dalam dialog2 antar agama melalui forum-forum di Kupang. Baginya HAM tidak membatasi ruang agama, suku, dan lain-lain sehingga kalau anda sudah berdiri atas nama HAM anda yakin semua itu akan jadi lebih baik dan lebih sempurna. Dan itu juga yang ia bangun dalam diri kami di NTT. Baginya pengkaderan harus terus tumbuh dan itu tidak selalu ia tunjukkan secara formal. Dengan melibatkan atau membawa seseorang ke mana-mana, orang tahu Asmara sedang mengkaderkan orang itu.
Satu hal yang tak pernah kami ketahui adalah mengapa ia tak pernah berniat masuk ke politik. Padahal ia merancangkan jalan bagi orang lain untuk masuk dalam politik. Saat di Demos, saya pernah bertanya soal hal ini dan ia menjawab: “Saya membuat jalan agar kalian jalan.” .” Tapi saya kira dia tidak sebatas membuka jalan, tapi dia juga tahu tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh seorang calon politikus.
Saya juga tidak tahu mengapa ia dan Cak Munir berjuang agar saya mendapatkan Yap Tian Hiem Award. Yang jelas bang As memang selalu menghargai pekerjaan orang lain. Saya sangat bangga karena ia mampu menghadirkan Presiden Abdurahman Wahid untuk menyerahkan award itu kepada saya.
Walaupun bang As sangat dihormati dan disegani, ia tidak pernah memaksakan kehendak. Ia menghargai bahkan menghargai kalau kita menolak permintaan-permintaan dan pertimbangannya. Saya pernah menolak melakukan advokasi terhadap satu kasus yang diminta olehnya karena pertimbangan tertentu, ia menerima pandangan saya dan hubungan kami tetap baik setelah itu.
Bagi saya, bang As sudah selesai dalam berbagai hal. Itu ditunjukkannya dalam sikap dan integritas dirinya. Dalam solidaritas kepada yang tertindas, dalam kemauan untuk menciptakan kader-kader kemanusiaan yang baru, serta dalam keterbukaan bergaul dengan mereka yang berbeda ideologi sekalipun. Bang Asmara adalah guru sepanjang hidupnya. Ia selalu bilang bahwa menjadi orang Kristen haruslah tanggap tetapi kritis. Hak asasi manusia itu melewati sekat-sekat karena itu kita tak bisa masa bodoh, dan hanya jika kepentingan kaum atau golongan kita terusik barulah kita berteriak.
Bang As.. kalau waktu itu saya paham setelah balik ke Kupang itulah kunjugan terakhir Bang untuk menyampaikan bahwa jalannya telah siap untuk kami jalani mungkin saya tetap membiarkan memakan apa saja waktu Kupang
Kita tak perlu belajar teori HAM, jika mau belajar soal HAM belajar dari perilaku, tutur kata Bang As walaupun belum sempuran namun Bang AS telah menginternalisasi nilai-nilai universal dalam tindak, laku dan bicaranya dan perjuangannya yang selalu menembus batas
Kini tak adalagi yang selalu berpesan setiap kali saya akan ke Jakarta, Ler.. jangan lupa ikan lawar ya.. dan itu dengan senang hati saya membawakannya karena saya selalu melihat bang makan ikan lawar dengan roti kayak sandwich dan selalu menceritrakan kepada teman2 abang akan lesatnya ikan lawar..
Selamat jalan guru ku , nilai – nilai kebaikan mu telah menjadi spirit bagi kami untuk melanjutkan harapan-harapan mu
Penulis: Sarah Lery Mboeik