Interaksi saya dengan “Bang As” tidak terlalu panjang karena kami berasal dari generasi yang berjauhan. Di komunitas penggiat tema hak asasi manusia memang kami cenderung menggunakan panggilan yang mengesankan kedekatan angkatan (misalnya “Bang”) untuk menunjukan relasi yang egalitarian. Sebelum itu saya kenal Bang As dari cerita kawan-kawan aktivis (HAM) lainnya. Cerita yang paling menarik untuk saya adalah bagaimana Bang As dan sedikit aktivis HAM yang ada di Komnas HAM bisa mentransformasi institusi ini, dari sekedar ‘lembaga korporat negara’ menjadi salah satu alat saluran korban pelanggaran HAM dan komunitas aktivis untuk mengadu. Padahal saat itu komposisi komisioner Komnas HAM diisi oleh banyak pensiunan pejabat pemerintah, polisi, dan tentara.
Saya berhubungan dengan Bang As ‘agak sering’ mungkin sekitar lima tahun sebelum ia meninggal. Bukan saja karena kantor Demos tempat Bang As bekerja dekat dengan kantor KontraS, tapi juga karena sejak 2009 Bang As menjadi Ketua Badan Pengawas KontraS, menggantikan Ibrahim Zakir yang meninggal dunia.
Di masa itu, saya beberapa kali bertemu dan bekerja sama menggarap suatu teks siaran pers bersama. Bang As yang lebih dikenal sebagai ‘aktivis HAM’ ternyata sangat teliti mengupas tiap kata dalam draf teks tersebut dengan berbagai komentar layaknya seorang akademisi kampus. Padahal biasanya para aktivis HAM memilih bahasa yang ‘bombastis’ tanpa perlu mengecek kedalaman maknanya dari sudut perspektif HAM yang ketat. Jarang sekali saya bertemu dengan seorang ‘aktivis HAM’ seperti ini. Baru bertahun-tahun kemudian ketika saya bekerja di Amnesty International (AI) di London saya menemukan cara bekerja yang serupa. Di AI, tiap draf ‘public statement’ harus diperiksa minimum oleh dua ‘reader reviewer’ yang mengecek kata per kata. Saat pertama kali saya membuat draf ‘public statement’ di AI saya teringat Bang As yang teliti tadi.
Ketelitian Bang As juga pernah teruji lewat pengalaman unik saya dan kawan-kawan di KontraS. Pada suatu waktu saya diminta oleh kawan-kawan Demos dan keluarga Bang As untuk “menculiknya”. Ceritanya mereka telah merencanakan pesta kejutan ulang tahun Bang As di kantor Demos yang saat itu jatuh di hari libur. Akhirnya saya dan satu kawan KontraS datang ke rumahnya untuk menjemput Bang As. Kami ajak dia ke kantor KontraS, yang jaraknya kurang dari 100 meter dari kantor Demos, dengan alasan ada rapat mendadak soal kasus Munir. Untungnya dia percaya karena Suciwati, istri almarhum Cak Munir, juga menelponnya. Kami berusaha mencari rute yang agak macet dari rumahnya agar keluarganya dapat sampai di kantor Demos sebelum kami. Saat itu Bang As nampak sibuk dengan HP-nya, namun masih dengan detil mengarahkan kami untuk mengikuti rute tercepat menuju kantor. Kami mengulur waktu dengan mampir ke pom bensin namun kami masih terlalu cepat sampai, sehingga kami sempat harus menahannya dulu di kantor KontraS. Ada perasaan sedikit bangga di benak kami akan kesuksesan kami “mengelabui” Bang As ketika akhirnya dapat mengantar Bang As ke Demos, dimana puluhan orang sudah menanti.
Ketelitian yang dicontohkan Bang As kemudian saya gunakan untuk mereview kurikulum kegiatan SeHAMA (Sekolah HAM untuk Mahasiswa), yang kemudian menjadi salah satu flagship programme KontraS yang terus diminati oleh para mahasiwa dari berbagai penjuru Indonesia. Tapi, ketelitian Bang As juga kadangkala membawa masalah buat kami di KontraS. Misalnya saat KontraS mengadakan rapat strategic planning tiga tahunan di Bali. Sebagai Ketua Board, Bang As ikut terlibat dalam menyusun program strategis. Jadilah otak dan perhatian kami diperas untuk menjawab pertanyaan dan komentar teliti Bang As. Bila ia melihat kami kurang bersemangat, dia segera mengambil alih peran fasilitator kegiatan dengan membuat nyanyian, tarian, dan kegiatan motorik penyemangat lainnya. Ini sisi lain Bang As yang baru saya pelajari; kaya akan inisiatif untuk mendorong dinamika kelompok. Saya duga inilah yang membuat Komnas HAM di zamannya akhirnya menjadi suatu badan yang disegani banyak pihak.
Sayangnya “liburan” berbungkus strategic planning di akhir 2009 itu jadi kebersamaan Bang As dan keluarga KontraS terakhir kalinya. Kurang dari setahun kemudian kami mendengat hasi test medisnya mengkhawatirkan, dan segera setelahnya Bang As meninggal dunia.
Papang Hidayat, yang dapat pelajaran banyak dari Bang As lewat pengalaman bersama yang pendek. Pernah bekerja di KontraS dan Amnesty International.
Penulis: Papang Hidayat