PENDIDIKAN SEBAGAI ALAT PEMBEBASAN DAN PERLAWANAN

by Atikah Nuraini

Saya adalah orang yang beruntung. Sekitar tahun 1996/1997 saya staf relatif baru di Komnas HAM, Bang As memanggil saya dan menugaskan saya untuk berangkat ke Manila.
Kau berangkat menemani Pak Tandyo (Prof. Sutandyo Wignyosubroto).
Acara apa Bang? Saya tanya orang tua dulu ya boleh nggak berangkat.
Bang As menatap saya kaget, sontak bertanya “umurmu berapa? Kenapa harus tanya orang tua, apa kau belum bisa buat keputusan sendiri?” Kali ini saya yang kaget dengan pertanyaannya yang frontal. Dia tidak percaya, saya, 25 tahun, masih harus tanya orang tua. Pertanyaan itu ternyata begitu penting karena di tahun-tahun berikutnya, dalam banyak diskusi, Bang As mengajarkan saya tentang pentingnya menjadi orang bebas dan lepas dari dominasi, hegemoni, dan kooptasi.

Jadilah saya berangkat bersama Pak Tandyo. Itu pertamakalinya saya berkumpul dengan mereka yang disebut pendidik HAM. Di sana saya mengenal apa itu pelatihan, fasilitator, pendidikan HAM, pendidikan yang membebaskan, pendekatan partisipatif, ice-breaker, dinamika kelompok, serta berbagai peran Komnas HAM untuk pendidikan dan penyuluhan. Di kalangan Komnas HAM di Asia ini juga topik baru. Dari sana saya seperti menemukan minat baru yang jauh dari peran saya sebelumnya.

Tahun berikutnya, bersama CHRF (sekarang Equitas) Komnas HAM menyelenggarakan Seri TOT untuk 5 kelompok strategis (guru, tokoh agama, penegak hukum, media, dan aktivis ORNOP). Sebagai staf baru saya duduk di belakang, sebagai pencatat, mendokumentasikan atau membantu logistik. Waktu itu kelasnya tokoh agama, ada Kyai, Pastor, Pendeta, Tokoh Agama Hindu, Budha dan Konghuchu, tiba-tiba Bang As ke belakang dan menghampiri saya: “Atikah, you are entitled to sit and learn with the participants”. Saya duduk bersama peserta dan ketika diskusi kelompok Bang As memberi saya spidol dan bilang, “kamu fasilitasi kelompok Budha dan Konghucu”. Sepersepuluh detik saya beku, apa yang harus saya lakukan? Tapi saya mengikuti saja bagaimana biasanya Bang As memfasilitasi, menggali, mendengarkan pendapat, dan menuliskannya di papan, seperti hari-hari ketika Rapat Pleno Komnas HAM. Hanya Bang As yang setia membuat catatan di whiteboard tentang analisis pelanggaran HAM yang dibahas Komisioner.

Sejak hari itu, hampir tidak ada lagi hari tanpa memfasilitasi. Kemana Bang As ada sesi, maka Dia akan ajak saya. Dia menyuruh dan mempercayai saya untuk memfasilitasi, entah itu dalam training, workshop, rapat, kelas-kelas besar atau kecil, bahkan kongres para pendeta HKBP atau bolak-balik ke PT KEM melatih ratusan karyawan tambang. Ketekunannya dalam menemani, mendengarkan, dan memproses kelas-kelas pendidikan (sekecil apapun) membuat saya mengerti bahwa pendidikan adalah langkah panjang yang dipercaya mampu membuat perubahan besar dan radikal.

Sebagai Komisioner SubKomisi Pendidikan, Bang As dan Pak Tandyo adalah figur yang membangun fondasi pentingnya pendidikan HAM berkelanjutan. Melawan penindasan harus dibentuk melalui “konsentisasi” dan mengubah cara pandang yang tadinya hanya menerima/tunduk pada praktik-praktik dehumanisasi. Gagasan membentuk pool of educators 5 kelompok strategis belum pernah ada, tapi ketika dimulai dan dipelihara maka menjadi wahana penting untuk menjamin pendidikan HAM berjalan berkesinambungan. Tahun 2002 dan seterusnya, Bang As sibuk sebagai Sekjen, dia seperti “mengalihkan” saya agar belajar pada Mas Mansour Fakih dan Mas Billah. Lagi-lagi saya beruntung karena perjumpaan-perjumpaan inilah yang membuat saya kaya pengalaman saat bergulat dalam dunia pendidikan HAM. Namun saya tidak akan pernah lupa Bang As lah yang membukakan pintu itu lebar-lebar bagi saya. Misi ini akan saya jaga baik-baik.

Penulis: Atikah Nuraini

You may also like

Leave a Comment