• Home
  • Tentang Asmara Nababan
    • Awal Kehidupan
    • Pendidikan
    • Riwayat Pekerjaan
    • Kegiatan Lainnya
  • Warisan Pemikiran
    • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
    • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
    • HAM dan Pembangunan
    • Demokrasi dan Tata Negara
    • Pendidikan dan Seni
  • Living Legacy
    • Arsip Video
    • Arsip Foto
    • Doa untuk Bang As & Bangsa
    • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
    • Kirim Tulisan
  • Info Kegiatan
  • Bahasa Indonesia ID
  • English EN
Asmara Nababan
keep your memories alive
Author

latuharhari

latuharhari

Blog

Time Travel with Asmara

by Holger 28/10/2020
written by Holger

My dearest Ibu Magdalena,

my dearest Nababan siblings Juanita, Natasha, Aviva and Nathan,

 

Today is October 28.

 

‘It takes courage to push yourself to places

that you have never been before,

to test your limits,

to break through barriers.

And the day came when the risk it took to remain tight inside the bud was more painful than the risk it took to blossom.’

Anaïs Nin

 

On this special day, I’d like to dare to share some of my thoughts and feelings with you and I hope this is okay for you. My following little story seems to be a story of futility and hope and blossoms as well.

On the one hand it is as sad as true that I will never meet in person your husband – Ibu, and your father – Juanita, Natasha, Aviva, Nathan, and yes, Cupi, your former master (at least as far as I know he was your master once).

On the other hand, all of you Nababans have told me so many beautiful and impressing stories about Pak Asmara (including Cupi who barked them to me secretly via WhatsApp video call), that Asmara seemed to me like a person who I have known somehow in a mysterious way, like in a dream, but a great, majestic and modest dream and yet also real at the same time.

It is in this perspective that I also feel that there is more about it, about him, his legacy – this is true, when anyone of you is speaking reverently of him.

There is this German poem line of Erich Fried. The line says:

“It is what it is, love says.”

And in every line of text content, even in every line of code and every pixel of photos and design of asmaranababan.org, it seems to me that it was, it is love to Asmara and his legacy that got this awesome job done. It is thanks to this website, I had the unique chance to time travel to meet Asmara personally and to get to know more about the legacy of his thoughts, feelings and ideas – ideas as fresh as a new morning that ‘has broken like the first morning’.

Enjoying Asmara’s website is a touching experience to me: I am listening to him in interviews, seeing and meeting him with his family. I am reading the impressive Oase book and I am learning many new things about politics, Indonesia, him, also I am admiring his artwork and his merits for children. And last but not least, I am enjoying Pak Asmara and Ibu Magdalena as actors. And so will all the other visitors do as well.

With this website something really great and beautiful has been created by you, Aviva, and all of your supporters. Thanks a lot for this beautiful opportunity for me as a non- Indonesian- speaker.  

The relevance of the site’s content and values go without saying. The messages and love and ideas of Pak Asmara are still more than relevant and outstanding and are blooming since this is and will always be a story of hope and blossoms.

 

‘A thing of beauty is a joy forever.

Its loveliness increases; it will never

pass into nothingness.’

John Keats

 

Herzliche regards,

Holger

_Penulis: Holger_

28/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Blog

“Om” In My Humble Memories

by anonim 28/10/2020
written by anonim

Beliau Bang As, seperti yang dikenal banyak orang dalam ranah HAM dan kemanusiaan. Saya mengenalnya sebagai Om, ayah sahabatku. Dalam kesehariannya, beliau sangat ramah dan down-to-earth. Bila saya pagi-pagi sudah bersua dengannya di rumahnya, Om pasti tengah membaca koran sambil sesekali menyeruput kopinya dan memandang ikan di kolam. Saya ingat senyumannya yang lebar dan kehangatan yang memancar dari wajahnya. Bila dia bertanya sesuatu yang saya tidak siap, dia akan terkekeh dengan santai. Memori lain yang membekas adalah bahwa Om As merupakan family man yang mengasihi keluarganya. Tidak sering dalam kehidupanku melihat pasangan suami-isteri yang terus memelihara kasih mereka dalam keseharian. Bagaimana Om As bercanda dengan Tante dan berdansa bersama. Kediaman beliau merupakan “home” yang hangat. Saya mengingat dia sebagai orang yang penuh kehangatan, tegas dalam tindakan keadilan kemanusiaan dan perhatian dengan sesama manusia. Dia tidak hanya menginspirasi, tapi juga merupakan orang yang bertindak sesuai kepercayaannya. Om merupakan sosok yang penuh dengan kehidupan dan karya dalam hidup pribadi maupun profesionalnya. Jiwa ini yang akan terus hidup dalam ingatan orang-orang yang di sekitarnya serta semangat dalam kemajuan karya keadilan HAM. May the Lord always bless your soul and may you continue to rest in peace. 

Penulis: Anonim 

28/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Blog

Tentang “Sederhana” (2)

by Juanita 28/10/2020
written by Juanita

Atribut “sederhana“ terus menyibukkan pikiran saya. Menyambung tulisan saya yang pertama, saya ingin kembali ke tema tersebut. 

Salah satu hal yang saya paling ingat dari Asmara Nababan adalah ucapannya, mengutip injil Matius, bahwa burung-burung di langit saja dipelihara Tuhan. Bagian ini saya baca ulang di dalam buku ”Oase“. Pada masa itu, terkadang muncul impuls di kepala ketika mendengar kalimat tersebut: “this doesn‘t really make sense, since we are human-beings and not birds“. Butuh waktu lama dan berbagai pengalaman hidup untuk memahami esensi dari kalimat atau tepatnya “ide“, tersebut.

Asmara Nababan adalah personifikasi ide “sederhana“: dia adalah pribadi yang sederhana, konsisten dengan hal-hal yang penting dan berani untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang penting dan dengan tenang mengenyampingkan hal-hal yang menurutnya tidak esensial. 

Sesungguhnya ide ini sangat membebaskan. Membebaskan in the sense: apabila kita melepaskan diri dari belenggu hal-hal yang tidak penting, tidak esensial, dan dangkal, kita bisa hidup sebagai manusia bebas. Apalagi yang paling berharga dalam kehidupan kita yang sementara di dunia ini, kecuali “kebebasan“, to be free? Bebas dari tekanan dan bebas dari ketakutan.

Butuh keberanian memang untuk sungguh berefleksi bahwa: “What you don‘t have, you don‘t need,“ dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan.

“Nothing is man’s business, what does not concern him as man, what is neither demanded nor promised by human nature, and what contributes nothing to its perfection – which therefore also cannot be an end of human striving or be called a good, i.e. a means to reach this end.

With me I always carry my property: goodness and justice, which no one can take from me”

(“Meditation“ VII/42, Marc Aurel)

Penulis: Juanita

28/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Blog

Asmara: A Fierce yet Compassionate Human Rights Defender

by David Cohen 26/10/2020
written by David Cohen

It’s hard for me to believe that it has been 10 years, but it’s also hard for me to believe that my friend Asmara is no longer here. His phone number is still in my mobile because I can’t erase it.  My memories of him are still so vivid, in Jakarta, at the East-West Center, at ELSAM, at Komnas HAM, having a meal together or at some  workshop. I met Asmara through his daughter, my dear friend Aviva, when we started working together in 2003 on the trials at the Jakarta Ad Hoc Human Rights Court. So much of what I learned about Indonesia and issues of human rights came from my discussions with him. It was so inspiring to see someone so strong and so committed, a man with such amazing integrity, intelligence, and determination.  

In workshops or discussions of human rights, with Asmara there was no “beating around the bush.’ He always came straight to the real point— directly and forcefully. As someone new to the Indonesian context I learned so much from seeing the force that his style of advocacy could have. At the same time, though he could be so fierce when confronted with excuses and shabby justifications for human rights abuses or inaction, he was also a person with such a deep sense of humanity and capable of such kindness. Among all the individuals I have met in the world of human rights he stands out as the person I admired most.

Penulis: Professor David Cohen, Direktur Center for Human Rights and International Justice di Universitas Stanford, AS.

26/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Blog

Sosok yg penuh inspirasi dan konsisten memperjuangkan HAM

by Abdul Haris Semendawai 24/10/2020
written by Abdul Haris Semendawai

Bang As adalah sosok yang menginspirasi. Konsisten dengan kesederhanaan dan komitmen untuk menyuarakan ketidakadilan  dan memperjuangkan hak asasi manusia. Legasinya berserak di berbagai lembaga dan buku serta karya-karya ilmiah. Telah memberikan warna dalam level nasional dan internasional dalam mewujudkan penyelesaian berbagai pelanggaran HAM berat. Semoga apa yg telah beliau baktikan untuk bangsa dan negara akan memperoleh ganjaran mendapatkan tempat terbaik di peristirahatan terakhirnya.

Penulis: Abdul Haris Semendawai (Mantan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nasional – LPSK)

24/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Blog

Tote Bag dan Sandal

by Andreas Harsono 24/10/2020
written by Andreas Harsono

Pada 1993, pertama kali saya bertemu Asmara Nababan di Komnas HAM ketika masih bertempat di kantor Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, Jakarta. Waktu itu, direktur jenderal adalah Baharuddin Lopa, orang Mandar, sarjana hukum, yang merangkap jadi sekretaris jenderal Komnas HAM. Lopa memakai kantor tersebut sebagai sekretariat Komnas HAM.

Lopa menerima puluhan buruh dari PT Duta Busana Danastri dari Palmerah, Jakarta. Mereka protes karena upah dan lembur tak dibayar sesuai standar. Saya meliput sebagai reporter harian The Jakarta Post.

Asmara Nababan sedikit terlambat. Dia masuk pakai sandal kulit, bawa tote bag, akrab menyapa dan menyalami semua orang.

Dia langsung duduk dekat Baharuddin Lopa. Acara dengan buruh berlangsung seru.

Ketika tanya-jawab, Lopa bertanya dengan dialek Mandar kental, bertanya langsung. Lopa tampaknya membaca The Jakarta Post sehingga minta saya menulis apa yang didiktekannya dengan pelan.

Beritanya besok memang menyentak. Saya menulis bahwa para buruh perempuan ini juga diperiksa bila hendak cuti haid termasuk pembalut. Ini bikin geger sampai Levi’s Strauss, perusahaan blue jeans San Francisco, memutuskan kontrak dengan Duta Busana Danastri.

Ia awal perkenalan saya dengan kedua orang ini. Kami sering bertemu. Lopa logat Mandar, Nababan logat Batak. Kadang mereka traktir saya makan nasi bungkus pesanan Lopa.

Ini berlangsung sampai Presiden Soeharto turun pada Mei 1998. Reformasi membuka pintu sejarah Indonesia. Banyak daerah ingin mendapatkan lebih banyak suara secara politik, ekonomi, budaya, sosial dari kekuasaan pusat di Pulau Jawa.

Dalam buku saya, “Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia,” saya hitung setidaknya 90,000 orang meninggal dalam berbagai kekerasan pasca-Soeharto.

Mereka sering jadi tempat saya bertanya, mulai dari kekerasan di Aceh sampai Timor Leste. Lopa memberi saya banyak informasi soal Xanana Gusmao, tahanan politik Indonesia, yang paling terkenal. Lopa zakelijk terhadap Xanana tapi juga tahu Xanana harus diperlakukan dengan baik.

Sedihnya, Lopa meninggal ketika berada di Riyadh, Arab Saudi, pada Juli 2001. Saya kaget sekali. Nababan meninggal di Guangzhou, Tiongkok, pada Oktober 2010.

Dua orang yang berbeda dari penampilan. Baharuddin Lopa rapi dengan seragam atau jas hitam. Asmara Nababan kemana-mana pakai tote bag, baju longgar tak pernah dimasukkan. Saya salut dengan kedua orang awal Komnas HAM ini. Mereka membela hak asasi orang tanpa peduli suku, agama, keyakinan, kelas sosial, pekerjaan, pendidikan. Indonesia menjadi lebih terhormat, lebih menjaga hak asasi manusia, berkat dua orang ini.

Penulis: Andreas Harsono, Human Rights Watch

24/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Blog

PENDIDIKAN SEBAGAI ALAT PEMBEBASAN DAN PERLAWANAN

by Atikah Nuraini 22/10/2020
written by Atikah Nuraini

Saya adalah orang yang beruntung. Sekitar tahun 1996/1997 saya staf relatif baru di Komnas HAM, Bang As memanggil saya dan menugaskan saya untuk berangkat ke Manila.
Kau berangkat menemani Pak Tandyo (Prof. Sutandyo Wignyosubroto).
Acara apa Bang? Saya tanya orang tua dulu ya boleh nggak berangkat.
Bang As menatap saya kaget, sontak bertanya “umurmu berapa? Kenapa harus tanya orang tua, apa kau belum bisa buat keputusan sendiri?” Kali ini saya yang kaget dengan pertanyaannya yang frontal. Dia tidak percaya, saya, 25 tahun, masih harus tanya orang tua. Pertanyaan itu ternyata begitu penting karena di tahun-tahun berikutnya, dalam banyak diskusi, Bang As mengajarkan saya tentang pentingnya menjadi orang bebas dan lepas dari dominasi, hegemoni, dan kooptasi.

Jadilah saya berangkat bersama Pak Tandyo. Itu pertamakalinya saya berkumpul dengan mereka yang disebut pendidik HAM. Di sana saya mengenal apa itu pelatihan, fasilitator, pendidikan HAM, pendidikan yang membebaskan, pendekatan partisipatif, ice-breaker, dinamika kelompok, serta berbagai peran Komnas HAM untuk pendidikan dan penyuluhan. Di kalangan Komnas HAM di Asia ini juga topik baru. Dari sana saya seperti menemukan minat baru yang jauh dari peran saya sebelumnya.

Tahun berikutnya, bersama CHRF (sekarang Equitas) Komnas HAM menyelenggarakan Seri TOT untuk 5 kelompok strategis (guru, tokoh agama, penegak hukum, media, dan aktivis ORNOP). Sebagai staf baru saya duduk di belakang, sebagai pencatat, mendokumentasikan atau membantu logistik. Waktu itu kelasnya tokoh agama, ada Kyai, Pastor, Pendeta, Tokoh Agama Hindu, Budha dan Konghuchu, tiba-tiba Bang As ke belakang dan menghampiri saya: “Atikah, you are entitled to sit and learn with the participants”. Saya duduk bersama peserta dan ketika diskusi kelompok Bang As memberi saya spidol dan bilang, “kamu fasilitasi kelompok Budha dan Konghucu”. Sepersepuluh detik saya beku, apa yang harus saya lakukan? Tapi saya mengikuti saja bagaimana biasanya Bang As memfasilitasi, menggali, mendengarkan pendapat, dan menuliskannya di papan, seperti hari-hari ketika Rapat Pleno Komnas HAM. Hanya Bang As yang setia membuat catatan di whiteboard tentang analisis pelanggaran HAM yang dibahas Komisioner.

Sejak hari itu, hampir tidak ada lagi hari tanpa memfasilitasi. Kemana Bang As ada sesi, maka Dia akan ajak saya. Dia menyuruh dan mempercayai saya untuk memfasilitasi, entah itu dalam training, workshop, rapat, kelas-kelas besar atau kecil, bahkan kongres para pendeta HKBP atau bolak-balik ke PT KEM melatih ratusan karyawan tambang. Ketekunannya dalam menemani, mendengarkan, dan memproses kelas-kelas pendidikan (sekecil apapun) membuat saya mengerti bahwa pendidikan adalah langkah panjang yang dipercaya mampu membuat perubahan besar dan radikal.

Sebagai Komisioner SubKomisi Pendidikan, Bang As dan Pak Tandyo adalah figur yang membangun fondasi pentingnya pendidikan HAM berkelanjutan. Melawan penindasan harus dibentuk melalui “konsentisasi” dan mengubah cara pandang yang tadinya hanya menerima/tunduk pada praktik-praktik dehumanisasi. Gagasan membentuk pool of educators 5 kelompok strategis belum pernah ada, tapi ketika dimulai dan dipelihara maka menjadi wahana penting untuk menjamin pendidikan HAM berjalan berkesinambungan. Tahun 2002 dan seterusnya, Bang As sibuk sebagai Sekjen, dia seperti “mengalihkan” saya agar belajar pada Mas Mansour Fakih dan Mas Billah. Lagi-lagi saya beruntung karena perjumpaan-perjumpaan inilah yang membuat saya kaya pengalaman saat bergulat dalam dunia pendidikan HAM. Namun saya tidak akan pernah lupa Bang As lah yang membukakan pintu itu lebar-lebar bagi saya. Misi ini akan saya jaga baik-baik.

Penulis: Atikah Nuraini

22/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Blog

Tentang “sederhana”

by Juanita 22/10/2020
written by Juanita

Ketika pagi ini membuka buku “Oase Bagi Setiap Kegelisahan” tentang Asmara Nababan yang sudah lama tidak saya buka, bagian pertama yang saya lihat adalah mengenai bagaimana Asmara hidup dengan prinsip “sederhana”. Bahwa sederhana bukan berarti tidak ada ambisi atau malas atau tidak ada tuntutan. Bahwa sederhana berarti hidup dengan “berkecukupan”.

Ini mengingatkan saya tentang “Teologi Keseimbangan” dari buku “Selagi Masih Siang”, otobiogafi yang  ditulis oleh SAE Nababan, abang dari Asmara Nababan. Pada intinya, buah pikiran teologis ini mengolah gagasan mengenai keseimbangan antar manusia. Teori teologi ini menolak kesenjangan dan ketidakadilan karena “kerakusan” dan adanya rasa “tidak pernah cukup”dari segelintir manusia yang mendorong mereka untuk terus mengumpulkan dan menimbun sumber daya dan kekayaan, tanpa perduli akan manusia yang lain. Pada halaman 237 buku tersebut, rumusan Rasul Paulus tentang keseimbangan dikutip; suatu formulasi konsep yang merujuk pada Keluaran pasal 16:18 “orang yang mengumpulkan banyak tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit tidak kekurangan”.  Dalam salah satu acara diskusi tentang buku yang ditulis SAE Nababan tersebut, pertanyaan yang saya sampaikan hanya satu: “Apa definisi “cukup”?” Jawaban yang saya dapatkan dari penulis adalah kutipan yang saya sebut diatas.

Berangkat dari diskusi tersebut, dan  membaca kembali tulisan-tulisan dalam buku “Oase” mengingatkan saya akan ide mengenai kesederhanaan. Bahwa dengan berkonsentrasi pada salah satu esensi terpenting dalam kehidupan manusia, yang menurut saya adalah hak hakiki untuk dapat berkehidupan bebas dari ketakutan dan tekanan, maka kita dapat membebaskan diri dari berbagai beban tidak penting yang menahan langkah kita. Beban-beban tersebut termasuk prestige atau gengsi, tekanan untuk menimbun kekayaan material, serta kemunafikan. Hidup dengan sederhana memberi kita kebebasan untuk berkonsentrasi kepada hal-hal yang esensial dalam kehidupan kita yang fana ini: mencintai orang lain seperti kita mencintai diri sendiri, memberi dan tidak hanya menerima, serta apresiasi bahwa hidup ini adalah berkat dan bukanlah beban.

Berangkat dari pemikiran dan prinsip hidup kedua abang adik ini, saya berdoa semoga tulisan pendek ini dapat memberi insipirasi bagi para pembaca agar bersama-sama dengan saya melakukan refleksi dan menumbuhkan keberanian untuk mempertanyakan hal-hal dalam hidup yang selama ini kita terima begitu saja sebagai sesuatu yang sudah semestinya.

Penulis: Juanita Nababan

22/10/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Prayer

Serenity Prayer

by latuharhari 21/09/2020
written by latuharhari

God grant me the serenity to accept the things I cannot change, the courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference.

~Reinhold Niebuhr

21/09/2020 0 comment
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Search

Recent Posts

  • Gerakan Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Oekumenis: Presentasi Pendeta Gomar Gultom di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Kata Sambutan Antonio Pradjasto di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Asmara Berdemokrasi dan HAM (Cakrawala – 13 Desember 2020)
  • Bang As Tak Pernah Meninggalkan Orang: Presentasi Sarah Lery Mboeik di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Peringatan 10 Tahun Kepergian Asmara Nababan: Presentasi Henri Saragih di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045

Recent Comments

    Copyright 2020


    Back To Top
    Asmara Nababan
    • Home
    • Tentang Asmara Nababan
      • Awal Kehidupan
      • Pendidikan
      • Riwayat Pekerjaan
      • Kegiatan Lainnya
    • Warisan Pemikiran
      • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
      • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
      • HAM dan Pembangunan
      • Demokrasi dan Tata Negara
      • Pendidikan dan Seni
    • Living Legacy
      • Arsip Video
      • Arsip Foto
      • Doa untuk Bang As & Bangsa
      • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
      • Kirim Tulisan
    • Info Kegiatan
    • Bahasa Indonesia ID
    • English EN