Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat: Belajar dari Pengalaman (Jurnal HAM)

by hambali

PENDAHULUAN

Gerakan pro demokrasi yang dimotori mahasiswa berhasil memaksa mundur rejim otoritarian Soeharto pada tahun 1998. Momentum untuk akselerasi pemajuan hak asasi manusia menjadi leblh terbuka. Untuk memenuhi tuntutan dan tekanan gerakan pro demokrasi, berbagai perubahan pada tingkat instrumental segera dilakukan oleh Pemerintah Habibie, dilanjutkan Pemerintah Abdurrahmad Wahid. Pembebasan tahanan politik. pencabutan UU Anti Subversif. pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, penghapusan lembaga Surat Izin Terbit (SIT). ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. adalah sebagian dari contohcontoh perubahan instrumental yang lebih memberi ruang bagi pengakuan atas hakhak kemerdekaan sipil dan politik. Ketika terjadi pelanggaran hak asasi yang luas di Timor Timur menjelang dan sesudah jajak pendapat pada tahun 1999, gerakan-gerakan masyarakat sipil semakin meningkatkan tekanannya. Kejahatan kejahatan yang melibatkan aparat militer dan kepolisian Indonesia di

Timor Timur yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum dan internasional secara langsung, menimbulkan protes keras dan tuntutan agar kejahatan-kejahatan tersebut diselesaikan secara hukum, sesuai dengan standar-standar hukum internasional. Tekanan internasional menguat ketika Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyelenggarakan sidang khusus untuk membahas kasus Timor Timur 23-24 September 1999. di Geneva.3 Pemerintah Indonesia tidak berhasil mencegah diadakannya sidang khusus ini. Sidang inimengeluarkan resolusi agar PBB membentuk tim invesiigasi internasional. yang kemudian dalam laporarr penyelidikannya.a mengeluarkan rekomendasi perlu dibentuknya pengadilan internasional untuk menyelesaikan kejahatan serius yang terjadi di Timor Timur. Sementara itu. sebelum sidang khusus tersebut dibuka (kurang dari 24 jam), Pemerintah Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyepakati bahwa Komnas HAM akan melakukan penyelidikan atas peristiwa ini, dan penyelesaian kasus ini akan dilakukan di pengadilan hak asasi manusia. Rencana penyelidikan itu diumumkan ke publik tanggal 22 September malam hari.


Pada mulanya Komnas HAM enggan untuk menyelidiki kasus ini. karena berbagai pengalaman penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM atas pelanggaran hak asasi yang berat. tidak diselesaikan secara adil. Sebelum kasus Timor Timur. Komnas HAM sudah menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Aceh selama operasi militer. Laporan penyelidikan ini tidak diselesaikan oleh pemerintah. Hal yang sama juga terjadi pada kasus-kasus yang diselidiki oleh Komnas HAM sebelumnya, seperti kasus extra judicial killing, torture dan disoppearance di Hoea/ Timika (1995) dan kasus extra judicial killing dan forf ure di Liquisa,/ Timor-Timur (1996) yang diselesaikan melalui Pengadilan Militer. Pengadilan tersebut hanya menjatuhkan hukuman ringan kepada para prajurit TNI. Para komandan yang seharusnya bertanggungjawab pun tidak pernah dituntut. Kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Aceh yakni kasus Teungku Bantaqia (1998) yang diselesaikan melalui pengadilan koneksitas (gabungan pengaCilan umum dan pengadilan militer)pun berakhir sma. Semua pengalaman ini memberikan peringatan yang jelas bahwa

sistem peradilan yang ada tidak dapat dan tidak mampu mengadili kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan standar-standar internasional. Hal yang harus kita ingat, jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang termasuk dalarn jurisdiksi internasional, maka Wnyelesaiannya juga harus sesuai dengan standar internasional.

Hanya dengan janji yang tegas dari pemerintah, akhirnya Komnas HAM menyetujui untuk melakukan penyelidikan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi sebelum dan setelah jajak pendapat diTimor Timur. Janji p€rnerintah itu diwujudkan dengan diterbitkannya PERPU No.1 /7999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada tangga! 8 Oktober 1999. Hal itu kemudian digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai argumen pokok untuk mencegah dibentuknya pengadilan internasional oleh PBB atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur. Hal itu sesuai dengan exhausted principle, yang menerima national remedies sebagi pilihan pertama, dimana kejahatan


itu masuk dalam yurisdiki pengadilan nasional dan internasional (“concurent yurisdicfion”) yang dikenal dalam hukum internasional. Jurisdiksi Internasional baru mulai bekerja bila notional remedies telah habis digunakan (exhausted) dan peradilan nasional tidak mau (unurilling) atau tidak mampu (unable) menegakkan keadilan. Hal yang demikian bukan tidak disadari oleh Komnas HAM. Dorongan untuk membentuk mekanisme nasional judisial lahir dari kebutuhan nyata di Indonesia. mengingat banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadidi masa lalu yang tidak pernah mendapat penyelesaian yang adil dan kemungkinan pelanggaran tersebut masih besar kernungkinannya terjadi di masa depan. lndonesia membutuhkan dibangunnya mekanisme nasional, tanpa harus menolak jurisdiksi internasional.

PERPTJ No 1/1999 akhirnYa diganti dengan UU No 20/2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2002 untuk pertama kalinya perkara kejahatan terhadap manusia yang terjadi di Timor Timur 1999, disidangkan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc Timor Timur,

Jakarta. Disusul pada tahun 2003. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc Tanjung Priok memeriksa perkara kejahatan terhadap ketnanusian yang terjadi pada tahun t984. Dua pengadilan ad hoc ini, bersidang di tengah-tengah harapan dan keprihatinan yang berpusat pada pertanyaan utama yakni : dapatkah pengadilan tersebut berjalan dengan prinsip impartial dan t’air untuk menegakkan keadilan sesuai dengan standar internasional.

Persidangan untuk kasus Timor-Timur dipantau dari dekat baik oleh organisasi hak asasi manusia Indonesia maupun dari luar negeri. termasuk PBB. Pengamatan dan analisis atas persidangan-persidangan kasus Timor-Timur dan kasus Tanjung Priok menunjukkan berbagai masalah serius. menyangkut hukum material dan acara dari pengadilan hak asasi manusia, serta kompetensi yang sangat diragukan dari Kejaksaan Agung sebagai institusi yang berwenang untuk melakukan penyidikan dan penuntutan. Administrasi dan kompetensi dari majelis hakim, menjadi masalah yang juga ditemukan di pengadilan itu.


Tulisan ini tidak akan membahas semua persoalan, tetapi akan menguraikan beberapa persoalan-persoalan menyangkut konsep pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tanggung jawab individu dalam kejahatan internasional, elemen-elemen kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, konsep tanggung jawab komando dan mekanisme penyelesaian kejahatan pelanggaran hak asasi manusia. Mekanisme penyelesaian peianggaran hak asasi manusia lainnya, khusus yang terjadi di masa ialu yakni komisi kebenaran (frufh com’ mission) tidak dibahas dalam tulisan ini.

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai kejahatan serius

Pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori berat atau gross human righfs uiolation, terjadi ketika ada pelanggaran atas non -derogable rights atau pelanggaran atas ius cogens yang dilakukan oleh negara melalui

aparatusnya. Nonderogable rihfs, merupakan hak yang tidak dapat dikurangi -apalagi dilanggardalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan perang, yang perlindungannya tidak dapat ditunda dengan alasan apapun. Kovenan Internasional l-lak Sipil dan Politik (ICCPR) menetapkan non-derogable rights meliputi hak hidup (psl 6), hak untuk tidak disiksa (pasal 7), hak untuk tidak diperbudak (psl 8), hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian (psl 11), hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat tindakan tersebut dilakukan (psl 15), hak untuk diakui sebagai pribadi di muka hukum (psl 16) dan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (psl 18).

Pemikiran itulah yang menjadi landasan Komnas HAM ketika menjawab pertanyaan dari Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI kasus Trisakti. Semanggi I dan Semanggi II tahun


Dalam suratnya, Pansus menanyakan: “apakah dalam peristiwa-peristiwa tersebut telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia?”. Komnas HAM menyatakan bahwa oleh karena hak hidup sebagai non-derogable righrs teiah dilanggar maka telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Namun demikian untuk memastikan secara juridis maka diperlukan penyelidikan pro-justisia.

Pelanggaran hak asasi Yang berat sebagai pelanggaran atas ius cogens adalah pelanggaran atas norma umum dalam hukum internasional yang disepakati. dan diakui oleh negara-negara dalam masyarakat internasional, sebagai sebuah norma yang tidak boleh dilanggar atau dikurangi. Norma itu hanya dapat diubah jika lebih banyak negara-negara di dunia mengakui dan menerima sebuah norma lain yang subsekuen dengannYa.T Pelanggaran hak asasi Yang berat merupakan suatu kejahatan internasional’ dimana kejahatan ini dikategorikan sebagai musuh semua umat manusia (hosfis humanis generis)8. Oleh karenanya menjadi tanggung jawab semua umat manusia (obligatio erga omnes) untuk menyelesaikannya secara hukum. menghukum pelakunya secara adil. Secara formal, hukum Indonesia mengenal konsep pelanggaran hak asasi manusia

yang berat dalam rumusan Perpu No 1/1999. Pasal 4 Perpu tersebut rnenyatakan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia berupa:

  1. pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur. atau cacat mental atau fisik dengan, a). melakukan Perbuatan membunuh anggota kelompok tersebut; b) melakukan Perbuatan Yang menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat Pada anggota kelompok; c) menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik; d) memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau e) memindahkan dengan paksa anakanak kelonrpok tersebut ke kelompok lain.
  2. pembunuhan sewenang-wenang atau di lurar putusan pengadilan;
  3. penghilangan orang secara paksa;
  4. perbudakan;

  1. diskriminasi yang dilakukan secara sistematis; penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memPeroleh keterangan atau pengakuan baik dari yang bersangkutan mauPun orang ketiga, atau untuk menakut-nakuti atau memaksa yang bersangkutan atau orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.

Rumusan yang luas dan tidak terbatas dalam kategori kejahatan “genosida” dan “kejahatan terhadap kemanusian”, sebenarnya amat menguntungkan dari segi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan’ Kejahatan yang dilakukan tidak harus mengandung elemen-elemen seperti “sistematik” atau “meluas” seperti, yang disyaratkan dalam kategori “kejahatan terhadap kemanusian”, sejauh kejahatan tersebui termasuk dalam pelanggaran hak asasi yang berat. dan/aiau merupakan pelanggaran terhadap ius cogen.

Lebih jauh, UU 39/!999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam penjelasan pasal 104 menYatakan bahwa Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide)e pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judiciol killing)’ penyiksaan, penghilangan orang secara pal<sa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systemofic discrimo nation). Rumusan yang cukup luas dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran berat hak asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi manusia.

Namun berbeda dengan rumusan dalam Perpu l/1999 dan UU 39/1999 maka UIJ No.26/2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, ternyata membuat pembatasan rumusan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 7 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pelanggaran hok asasi manu’ sia yang berat meliputi: a- keiahat’ an geno.sido; b. keiahatan terhadap kemanusisn. Dengan demikian mengeksklusifkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia seperti yang dirumuskan dalam UU 39/1999, seperti : diskriminasi yang dilakukan secara sistematis, penyiksaan di luar genosida atau kejahatan serius lainnya.


UU 26/2000 membtrat klaim bahwa rumusan dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusian diambil dari rumusan standar internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 7,yang berbunyi: “kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian” dalam ketentuan ini sesuai dengan “Rome Statute of The lnternational Criminal Court” (Pasal 6 dan Pasal 7). Namun demikian, bila kita melakukan perbandingan langsung dengan teks dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan maupun dalam perumusan, antara lain:

  1. Dalam Statuta Roma Penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi yuridksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang memberikan pembatasan terhadaP munculnya penafsiran yang berbeda. Hal Sebagaimana umpamanYa diatur dalam Pasal 7 aYat 2. Sedangkan dalam UU 26/2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan yang dimasukkan dalam Pasal 97b) undang-undang dan ada pula yang dimasukkan dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan kesimpangsiuran berbagai pengertian stanCar dari elemen-elemen kejahatan selama persidangan kasus Timor Timur
  1. Penterjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti : “Attack directed against any ciuilian population (Statuta Roma, Pasal 7) diterjemahkan menjadi : “Serangan ysng ditujukan secarct langsung terhadap penduduk sipil” (UU 26/2000 Pasal 9). Seharusnya terjemahan yang benar adalah : “ditujukan kepada populasi sipil”. Kata “langsung” dapat ditafsirkan bahwa serangan itu dilakukan oleh pelaku langsung dilapangan saja. Dengan demikian hanya mereka yang di lapangan yang dapat dikenakan pasal ini, dan tidak meliputi pelaku di tingkat komando atau atasan. Sementara itu rumusan “penduduk sipil”, hanya membatasi target potensial korban kejahatan hanya pada penduduk setempat. Padahal korban bisa saja orang-orang yang bukan penduduk setempat,yang pada waktu peristiwa berada di tempat kejahatan terjadi. Majelis hakim di ICTY dan ICTR memberi pengerlian yang luas pada “populasi sipil”, yang mencakup siapa saja (penduduk atau bukan penduduk) yang menjadi korban kejahatan.
  2. Penerjemahan ” persecution’ menjadi penganiayaan, yang merupakan tindakan langsung kepada fisik seseorang. Kata itu bila dikembalikan ke bahasa Inggris berarti “cssculf”.

  1. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam undang-undang maupun oenjelasan undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang
    Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan intimidasi, teror yang sifatnva non fisik menlacii luput dari cakupan”penganiayaan”. Padahal persecution mencakup pengertian yang lebih luas merujuk kepada perlakuan yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun ekonomis.
  2. Tidak dimasukkannya ayat 1(k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9 UU 26/2000 menyangkut bentukbentuk tindakan yang tidak manusiawi, yang mernpunyai tujuan untuk menimbulkan penderitaan berat, atau melukai secara serius atas badan atau mental atau kesehatan fisik.

Berbagai kekacuan perumusan ini, dengan mudah dapat dipakai untuk kepentingan-kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya keadilan. Sebagaimana dapat dicermati daiam kasus Timor

Timur, kejahatan pembumi hangusan bangunan, rumah dan fasilitas publik yang diperkirakan mencapai tingkat 80%, sebagaimana yang dilaporkan dalam penyelidikan Komnas HAM, tidak ikut didakwakan oleh Penuntut Umum (Jaksa Agung) dengan alasan kejahatan tersebut tidak tercakup dalam rumusan pasal 9 UU 26/2000. Kejahatan yang luar biasa ini akan dengan sendirinya harus didakwakan bila “persecution” tidak diterjemahkan dengan “penganiayaan” atau bila ayat 1(k), pasal 7 Statuta Roma dimasukkan dalam pasal 9 UU 26/2000.

Sulit menerima alasan bahwa Para pembuat UU 26/2000 tidak memahami konsep-konsep hukum internasional, atau tidak mempunyai penerjemah yang handal. Tampaknya alasan kenapa berbagai kerarrcuan inimuncul, terletak kepada hasil kerja dari kekuatan-kekuatan politik status quo di parlemen yang ingin menyelamatkan para pelal<u kejahatan terhadap kemanusian (baik aparat sipil maupun militer) dari jaring keadilan.


Tanggung-Jawab Individual dalam Kejahatan Internasional

Doktrin klasik hukum pidana internasional hanya mengakui negara sebagai ‘subyek’ hukum internasional. Bahwa merekalah yang merupakan person-person internasional yang memiliki hak dan kewajiban langsung di bawah hukum. Individu lebih dipandang sebagai ‘obyek’ hukum internasional’yang untuk mencapainya hanya bisa dilakukan melalui perantara negara. Jika individu-individu itu diakui memiliki suatu derajat personal internasional. maka tanggungjawabnya secara internasional atas perbuatan kejahatan yang dilakukannya hanya bisa dinisbatkan kepada negaranya.l3 Namun demikian doktrin ini setelah Perang Dunia I berkembang mencakup tanggung jawab hukum individu.la Dalam Perjanjian Versailes setelah Perang Dunia I, telah mulai diperkenalkan konsep mengenai tanggung jawab individu dalam kejahatan perang dan dalam apa yang sekarang dikenal

sebagai “kejahatan terhadap perdanraian”. Konvensi Jerman-Polandia menyangkut kawasan Upper Silesia, mengatur perjanjian perdamaian dan adanya ketaatan individu warganegara kedua negara tersebut untuk menghormatinya’ Liga Bangsa-Bangsa juga mulai mengatur tnekanisnre internasional urrtuk memerang i l<ejahatan-kejahatan menyangkui perbudakan kulit putih, serta perdagangan obat-obatan dan narkotik ilegal, dimana seorang invidu dapat dituntut secara hukum Setelah Perang Dunia II melalui Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, diciptakan berbagai ierobosan dalam hukum internasional, termasuk soal tanggung jawab individu dalam kejahatan serius. Berbagai pembelaan para terdakwa pada sidang-sidang pengadilan Nuremberg dan Tokyo, yang mendalilkan bahwa mereka tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena hanya menjalankan perintah resmi negara, ditolak oleh pengadilan. Dua pengadilan ini menegaskan prinsip tanggungj jarvab individu, sebagai tanggung jawab pidana.


Tanggung jawab individu ini kemudian menjadi doktrin hukum yang diterima secara internasional, ketika PBB mensyahkan Code of Oft’ences Against The Peace and Security ol Mankind Pada tahun 1954. Kode inidisusun oleh Komisi Hukum Internasional PBB, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB pada 21 November 1947. Draft kode ini sepenuhnya didasarkan pada hasil-hasil persidangan Nuremberg. Prinsip-prinsip pertanggungjawaban individu selanjutnya disebut Prinsip Nuremberg mencakup:

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.
  2. Fakta bahwa hukum internai(nasional) tidak mengancam dengan pidana atas perbuatan Yang meruPakan suatu keiahatan menurut hukum internasional. tidaklah membebaskan orang yang melakukan Perbuatan itu dari iunggungjawab menurut hukum internasional.
  1. Fakta bahwa orang melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional itu bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat Pemerintah Yang bertanggungjawab, tidaklah membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
  2. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan perintah dari pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum internasional. asalkan saja pilihan moral bebas dimungkinkan olehnya.
  3. Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan internasional mempunyai hak untuk mendapatkan peradilan yang adil berdasarkan fakta dan hukum.
  4. Kejahatan-kejahatan tersebut di bawah ini dihukum menurut hukum internasional:

kejahatan terhadap perdamaian; (i) merencanakan, menyiapkan. memulai atau menggerakkan Perang Yang bersifat agresi Yang melanggar Perjanjian’ Persetujuan. atau jaminan intErnasional; (ii) turut serta dalam menYusun rencana umum atau berkonsPirasi untuk melaksanakan Perbuatan aPa saja Yang tercantum dalam aYat ke (i)’ 100 b. Kejahatan Perang: Pelanggaran terhadaP hukum atau kebiasaan perang, sePerti misalnYa Peianggaran Yang mencakuP, tetaPi tiauX terbatas Pada, Pembunuhan, Perlakuan kejam atau dePortasi untuk kerja Paksa sebagai budak unttrk tujuan apapaun’ juga terhadaP Penduduk aslidari atau Yang berasal dari wilaYah Yang dikuasai; Pembunuhan atau perlakuan Yang tidak manusiawi terhadaP tawanan Perang ‘ orang-orang Yang berada dilautan (kaPal), membunuh tawanan, meramPok milik umum atau Pribadi, Perusakan Yang berkelebihan atau tidak diPerlukan atas kota-kota’ desa-desa’ atau Pemusnahan Yang secar.a militer tidak diPandang Perlu’ c. Kejahatan terhadaP kemanu’ sion: Pembunuhan, Pemusnahan, Perbudakan,dePortasi dan perbuatan Yang tak berPerikemanusiaan terhadaP Penduduk siPil’ atau PenYiksaan berdasarkan alasan-alasan Politik, ras, atau agama, aPabila Perbuatan tersebut dilakukan atau PenYiksaan tersebut dikerjakan dalam Pelaksanaan atau berkaitan dengan kejahatan terhadaP Perdamaian atau kejahatan Perang aPa saja

  1. Keterlibatan (“com plicity”) dalam pelaksanaan suatu kejahatan terhadap perdamaian, suatu kejahatan perang, atau suatu kejahatan terhadap kemanusian seperti disebut dalam prinsip ke-6 adalah suatu kejahatan menurut hukum internasional.

Prinsip pertanggungjawaban individual ini, dirumuskan dalam UU.26/2000 dalam pasal 1(4) : Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil. militer, maupun polisi yang bertanggungjawab secara individual. t5 Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengarr UU No. 26i2000, batasan atas pertanggungjawaban individual ini diatur secara rinci dalam Statuta Roma pasal 25, 26 dan 27. Lebih jauh Satuta Roma pasal 33 memberlkan pembebasan atas tanggung jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewajiban hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukunl atu perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum.


Elements of Crimes Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Yang menjadi sorotan dalam bagian ini hanya menyangkut elemen dari kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan yang didakwakan dalam kasus TimorTimur dan Tanjung Priok. Dua elemen utama (chapeau element) dari kejahatan iniyakni: (1)adanya serangan yang meluas atau sistematik dan (2) ditujukan terhadap populasi sipil. Beberapa elemen lainnya masih merupakan perdebatan yang belum selesai. Oleh karenanya tidak secara tegas diakui dalam hukum kebiasaan internasonal. Dalam konteks ini bisa di!ihat kontroversi elemen “dalam hubungan (nexusl dengan Perang atau Konflik bersenjata”. Statuta Roma menolak elemen ini. Bahkan jauh sebelumnyaThe lnternational Law Commission (1950) telah menolak elemen ini dimasukkan dalam rumusan kejahatan terhadap kemanusian (lihat Prinsip Nuremberg). Statuta ICTR tidak mensyaratkan bahwa kejahatan ini dilakukan dengan nexus konflik bersenjata. Sementara Statuta ICTY dalam pasal 3 menetapkan bahwa: “tindakan kejahatan terhadap kemanusian dilakukan dalam keadaan konflik bersenjata, internasional atau internal”. Namun Pengadilan Banding ICTY dalam keputusan pertamanya menyatakan bahwa statuta ICTY tidak secara akurat. menampakkan hukum kebiasaan

internasional. Dalam konferensi persiapan Statuta Roma nexus ini ditolak, dan dalam Statuta Roma nexus ini tidak dicantumkan.

Elemen lainnya “niat/dasar diskriminasi” dalam kejahatan terhadap kemanusian hanya ditemukan dalam statuta ICTR. Selain itu tidak ada lagi instrumen hukum internasioanl yang memuat elemen ini. Diskriminasi yang dirumuskan ICTR mencakup, kebangsaan, politik, etnis, rasialatau agama”. Dengan demikian tidak memasukan serangan yang meluas atau sistematik terhadap kelompok berbasis umur, kelas, gender,dll yang dilakukan seperti dalam kasus Nazi Jerman, Khmer Merah, atau Stalinis diRusia. Statuta ICTY dan yang paling akhir Statuta Roma tidak mencantumkan elernen ini dalam kejahatan terhadap kemanusiart. Untuk kebutuhan tulisan ini akan dibahas elemen yang paling banyak diperdebatkan dalam kasus di Indonesia. Elemen itu paling banyak diperdebatkan terutama dalam kasus Timor Timur maupun dalam keputusan DPR untuk menyatakan bahwa Kasus Trisakti, Semanggi I dan II bukan pelanggaran hak asasimanusia yang berat, yakni: “serangan Yang meluas atau sistematik” Elemen inilah yang membedakan kejahatan terhadap kemanusian dengan kejahatan domestik, yang dengan demikian mengangkat kejahatan ini


ke tingkat yuridksi internasional. Legal instrumen internasional pertama yang memuat elernen ini adalah Statuta ICTR, meskipun secara impiisit elemen ini merupakan elemen dari kejahatan terhadap kemanusian sejak Statuta Nuremberg. Pada konferensi persiapan Statuta Roma. masih kuat usulan (Perancis, India. Inggris, Rusia, Jepang’dll) agar elemen ini dirumuskan tidak secara alternatif, yaitu “serangan yang meluas dan sistematik”. Hanya dengan kampanye yang kuat dari Ornop HAM (dengan dukungan dari banyak negara) rumusan itu ditolak. karena memang rumusan itu merupakan penyimpangan dari standar hukum kebiasaan internasional.

Serangan“: adalah tindakan baik secara sitematis atau meluas, yang dilakukan secara berganda yang dihasilkan atau rnerupakan bagian dari kebijakan negara atau organisasi. “Tindakan berganda” berarti harus bukan tindakan tunggal atau terisolasi. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa” tindakan berganda” ini berlaku pada bentuk kejahatan (generic crime), dalam pengertian: agar memenuhi elemen kejahatan maka tindakan itu harus terdiri dari iumpamanya, pembunuhan dan penyiksaan.

Meluas” merujuk kepada jumlah korban sedangkan “sistematik” merujuk kepada adanya kebijakan atau rencana. Untuk rnengukur “meluas” tidak diperlukan secara kalkulus. dengan menentukan jumlah minimal korban. Dalam kasus Akayesu, dengan mengutip catatan dari International Law Commissions 1996 atas Draft Code of Crimes, Pengadilan ICTR mengatakan bahwa “meluas” dipahami sebagai “mossiue, frequent, Iarge scale action, carried out collectiuely with considerable seriousness and directed ogoin-sf a multiplicity oluictims”. Dalam kasus lainnya yaitu , kasus Kayishema “meluas” dipahami sebagai “directed against a multiplicity of victims”

Sistematik” merujuk kepada “kebijakan”. “Kebijakan” di sini tiCak harus dalam bentuk formal. Hal itu dapat dideduksi dari keadaan dimana tindakan tersebut dilakukan.20 Dalam kasus Akayesu, dengan mengutip ILC lagi, dirumuskan bahwa “sistematik” sebagai “thoroughly organized and t’ollowing a regular pattern on fhe bosis of common po!icy inuoluing subsfon tial public or priuate resources”.


Dalam UU 26/2000 ” serangan yang meluas atau sistematik ” ini dimuat dalam penjelasan Pasal 9, dengan distorsi yang sudah dibahas dalam bagian: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai kejahatan serius”. Begitu juga telah disinggung elemen utama yang kedua: “populasi sipil”. Beberapa keterangan tambahan tentang elemen ini, adalah disepakatinya pengertian yang lebih luas dengan menambahkan dua elemen lain yakni: (1) sasaran adalah ” non-combatants” dan (2) korban yang menjadi sasaran berjumlah banyak.21 Meskipun disadari garis batas antara combatanf dan noncombatonf juga sangat tipis. Laporan Komisi Ahli yang dibentuk DK PBB untuk menyelidiki pelanggaran atas hukunr l-rumaniter di Bekas Yugoslavia antara lain mengatakan bahwa :”…. Seorang kepala keluarga, yang menyandang senjata untuk membela keluarganya tidak dengan sendirinya kehilangan statusnya sebagai seorang sipil. atau seorang polisi atau seorang anggota pertahanan lokal yang melakukan hal yang sama… “22 Sedangkan kejahatan yang ditujukan kepada combat’ onf dari pihak lawan dalam perang atau konflik bersenjata internal telah dicakup dalam hukum humaniter.

Konsep Command Responsibility

Untuk pertama kalinya konseP Pertanggungjawaban komando dimasukkkan dalam khasanah hukurn Indonesia melalui UU 26/2000. Hukum pidana militer Indonesia juga tidak mengenal konsep pertanggungjawaban ini. Bekas para petinggi militer dari period e Orde Baru, masih tidak dapat menerima konsep ini. Bagi mereka tanggung jawab komandan terbatas hanya merupakan tanggung jawab moral dalam hal pasukan dibawah komandonya melakukan kejahatan serius.23 Konsep iniberkembang dengan pesat setelah Perang Dunia II. Melalui Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, konsep iniditerima secara internasional, yang juga ditemukan baik dalam statuta ICTY, ICTR dan ICC. Seorang komandan seharusnya bertanggungjawab bila pasukan di bawah komandonya melakukan kejahatan pelanggaran hak asasimanusia yang berat. Tanggung jawab hukum ini terdiri dari tiga lapis, yakni: pertama, komandan dituntut untuk kejahatan yang dilakukan pasukan bawahannya, bila dia memerintahkan pasukan tersebut melakukan kejahatan dimaksud (crimes by commission). Bilapun dia tidah


memberikan perintah melakukan kejahatan itu, dia masih harus menghadapi lapis kedua tanggung jawab yakni dituntut atas kejahatan yang dilakukan pasukan bawahannya, bila dia mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan, tetapi dia tidak mencegahnya (crimes by ommission). Sedangkan lapis terakhir, seorang komandan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bilamana dia tidak menindak pasukan bawahannya yang telah melakukan kejahatan.

Satu contoh paling ekstrim dari tanggung awab komando adalah Pengadilan Militer Amerika yang bersidang di Manila. Pengadilan itu mengadili Jenderal Yamasita, panglima bala tentara Dai Nippon Wilayah XIV di Filipina. Yamashita sebagai seorang komandan harus bertanggungjawab secara pidana, atas kejahatankejahatan serius yang dilakukan pasukanpasukannya di Manila dan tempat lain. Padahal dia tidak lagi dapat mengendalikan, bahkan tidak dapat berkomunikasi dengan semua pasukannya, dari markas besarnya di pegunungan terpencil yang berjarak 125

km dari Manila. Dia baru memangku jabatan komando ini hari sebelum tentera Amerika menyerbu Filipina. Pasukan-pasukan di bawah komandonya terlibat tindak kejahatan, pembunuhan. perkosaan, penyiksaan dan penghancuran (destruction). Dia dinyatakan bersalah karena “sebagai komandan, gagal mengendalikan tindakan-tindakan kejahatan berat yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komandonya”. Dia dijatuhi hukuman mati, dengan cara digantung, 23 Februari 1946.

Sebagaimana kerancuan lainnya dalam berbagai ketentuan UU 26/2000, maka tanggung jawab komando juga membawa persoalan-persoalan tersendiri. Pasal 42 ayat 1, menjabarkan tanggung jawab komando sebagai berikut:

“Komandan militer atau seseorong yong secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat di’ pe rtan ggun gjaw abkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh posukon yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yong efektif”


Dalam rumusan ini digunakan kata “dapat” (could) bukannya “akan” (shol/)zs atau “harus”(should), yang mernberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diatur dalam UU26 /2000, pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara otomatis berlaku. Pasal ini menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusian dalam pasal 9 yang cenderung ditulukan kepada pelaku langsung di lapangan. Bila Jaksa Penuntut ingin menuntut penangungjawab komando maka harus dibuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk itu. Selanjutnya, pasal 42 ayat 1(a) mensyaratkan penanggungjawab komando untuk ” sehorusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusio yang berat” Sumber dari pasal ini terdapat di Statuta Romas pasal 28 ayat 1(a) yang secara tegas menyatakan bahwa komancjan militer seharusny a ” mengetah ui bahw a posu kon tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan.

Distorsi penerjemahan ini dalam rumusan pasal ini, telah mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Walaupun dalam pasal 42 ayat 1(b) dicantumkan bahwa ” komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang ltngkup kekuasaannya unfuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut….” Namun dalam rumusan inidan penjelasan pasal ini tidak ada batasan tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggungjawab komando. Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah “layak” atau tidak, apakah “perlu” atau tidak (obligation of conduct). Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan


seharusnya bertanggungjawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk “kelalaian” dan “keaipaan” dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetairui (shou Id haue had knowledge) bahwa Pelanggaran hukum telah terjadi atau sedang terjadi, atau akan terjadi yang dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu.27 Pasal 7(3)Statuta Roma secara imperatif mencerminkan standar trukum kebiasaan internasional ini.

Rujukan pada standar internasional yang dilakukan memperlihatkan berbagai distorsi rumusan command respons ibilty dalam UU 26/2000. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa Jaksa Agung (sebagai penyidik dan penuntut umum) punya banyak kesempatan menggunakan “lubang-lubang hukum” untuk tidak menuntut Jenderal Wiranto sebagai pemegang komando tertinggi dalam garis komando ABRI dalam kasus Timor Timur, atau Jenderal

Benny Moerdani (Panglima ABRIsaat peristiwa itu te4adi)dan Jenderal Try Sutrisno (PangdamV / Jaya pada saat peristiwa itu terjadi) dalam Kasus Tanjung Priok. Dalam kedua kasus tersebut mereka direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya.

Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

Sejak selesainya peradilan di Nuremberg dan Tokyo tahun 1948 – selama hampir 50 tahun sesudahnya – pengadilan internasional untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tidak pernah dibentuk lagi. Dalam halini, bukan karena tidak terjadi berbagai kejahatan serius. Akan tetapi pada masa Perang Dingin sampai akhir tahun 1980an, kekuatan super blok Barat dan Timur saling mencegah terbentuknya pengadilan internasional untuk mengadili kejahatan yang dilakukan oleh salah satu anggota blok tersebut. Berbagai usaha internasional kandas dalam mekanisme PBB khususnya Dewan Keamanan PBB – badan yang mempunyai kewenangan sesuai dengan Piagam PBB Bab VIII, untuk membentuk pengadilan internasional. Meskipun demikian berbagai usaha untuk membentuk


suatu mekanisme internasional guna menyelesaikan berbagai kejahatan serius terus berlangsung. Beberapa instrumen yang penting bagi mekanisme internasional dapat dihasilkan, antara lain Konvensi mengenai Non-Aplikasi Limitasi Statutorial pada Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusian (1968)28 dan Prinsip-prinsip mengenai Kerjasama Internasional dalam Penahanan, Penangkapan, Ekstradiksi dan Penghukuman Orang-orang yang Bersalah dalam Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusian (1973).

Baru setelah Perang Dingin berakhir, dua pengadilan internasional dibentuk yakni International Criminal Tribunal t’or the Former Yugoslauia (ICTY) 199330 dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) 1994. International Criminal Tribunal t’or the Former Yugo’ s/ouio (ICTY) mengadili berbagai pelanggaran serius (serious uiolationl atau pelanggaran berat (graue breaches) terhadap hu[u- humaniter internasional, hukum kebiasaan perang, genosida dan keiahatan terhadap knrnunutian yang terjadi sejak lggl. Sementara itu, lntemational Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) I9943r mengadili kejahatan genosida., pelanggutun Konvensi Geneva dan kejahatan ierhadap kernanusian yang terjadi di Rwanda sejak 1 Januarihingga 31 Desember 1994. Kedua pengadilan ini bersifat ad hoc, yang Pembentukan dan PenYelenggaraan peradilannya menghabiskan sumber daya yang besar’.

Tahun 1998 meruPakan tahun Yang sangat penting dalam upaya masyarakat inteinasional membangun satu mekanisme internasional untuk menyelesaikan berbagai kejahatan serius. Konferensi DiplornJtit di Plenipotentiaries. Roma 25-17 Juli 1998, mensahkan dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (lnternational Criminal Court’ ICC) yakni Statuta Roma. Setelah diratifikasi oleh 60 negara lebih maka pada tanggal 11 Juli 2002, mahkamah ini mulai ufeltif bekerja, dan berkedudukan di The Hague. Belanda Mahkamah ini mempunyai yurisdiksi mencakup empat jenis kejahatan yang serius. yakni genosida. kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang’dan kejahatan agresi. Rumusan dan batasanbatasan dari tiga jenis pertama kejahatan ini telah disepakati pada waktu statuta disahkan. sedangkan untuk kejahatan agresi masih akan dirumuskan kemudian’ Yurisdiksi mahkamah ini’ meliputi kejahatan yang terjadi setelah tanggal 11 Juli 2002. Asas non-retroaktif ditetapkan secara pasti. Sedangkan untuk kejahatankejahatan serius yang terjadi sebelum tanggal tersebut, masih terbuka kemungkinan penyelesaiaannya melalui pengadilan internasional ad-hoc. Mekanisme internasional memang suatu yang perlu, namun adanya mekanisme ini tid;k menghapus tanggung jawab negara – sebagai anggota masyarakat dunia yang beradab – untuk menghukum para pelaku kejahatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Yurisciiksi dari Mahkamah Pidana


Internasional justn’r baru mulai efektif ketika satu negara tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable)mem prosekusi kejahatan yang terjadi di dalam yurisdiksinya. Namun demikian satu negara tidak dapat – untuk alasan tertentu – melaksanakan suatu peradilan pura-pura, karena dalam keadaan seperti itu Muhkumah Pidana Internasional aapg! melakukan prosekusi atas kejahatan itu’32 Dalam keadaan ini prinsip nebis in idem dikesampingkan.

Inilah dasar utama argumentasi dari berbagai kalangan internasional, untuk tetap mengusahakan dibentuknya pengadilan internasional untuk kasus Timor Timur, meskipun Indonesia telah melakukan proses hukum melalui Pengadilan HAM Adhoc Timor Timur. Berdasarkan pengamatan dan evaluasi, disimpulkan bahwa pengadilan ini tidak berjalan sesuai dengan standar-standar yang diakui dalam hukum internasional. Dalam upaYa untuk mencegah terjadinya kejahatan serius, mekanisme nasional tidak menjadi satu mekanisme satusatunya. Oleh karena mekanisme nasional justru tidak dapat menegakkan keadilan, baik karena keterbatasan sumber daya nasional maupun alasan lain’ maka satu generasi baru mekanisme

penyelesaian kejahatan serius muncul. Mekanisme tersebut merupakan gabungan dari upaya internasional dan lokal. Mekanisme tersebut dikenal dengan nama pengadilan hybrid, yakni:

Tribunal Khusus untuk Kejahatan Khmer Merah di Kamboja. Pendirian tribunal khusus ini dilakukan dengan undang-undang nasional Kamboja33, sebagai bagian dari kompromi terhadap tuntutan pengadilan internasional. atas kejahatan yang dilakukan rejlm Khmer Merah dalam periocie 17 April I97 5 hingga 6 Januari I97 9 . Rejim yang berkuasa kurang dari 4 tahun ini telah membantai 1,5 – 2 iuta orang, 20o/o dari total penduduk Kamboja, dalam upaya revolusi agraria untuk membangun suatu masyarakat yang murni (“borisot”). Tribunal ini akan mengadili kejahatan-kejahatan yang diancam oleh hukum pidana Kamboja yakni; pembunuhan, penyiksaan dan persekusi agama disamping kejahatan genosida sesuai dengan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Genosida (1948). Terdakwa yang akan diadili dibatasi hanya kepada pimpinan senior Democratic Kampuchea dan mereka yang paling bertanggungjawab


(mosf responsible) atas kejahatan yang dilakukan (Pasal 2). Ketentuan ini membebaskan para pelaku lapangan yang melakukan kejahatan tersebut.

Perlu dicatat keterlibatan PBB dalam pembentukan tribunal ini didasarkan pada permintaan resmi Perdana Menteri Kamboja. Hun Sen dan Ketua Majelis Nasional Kamboja. Pangeran Ranaridh pada tahun 1997. Tim Ahli yang dikirirn PBB untuk menanggapi permintaan itu, mengusulkan pembentukan pengadilan internasional. Pendapat ini tidak dapat diterima pemerintah Kamboja. Tribunal ini sampai saat ini belum mulai bekerja, berhubung dengan berbagai perbedaan pandangan antara PBB dengan Pemerintah Kamboja. Beberapa kontroversi antara lain menyangkut komposisi majelis hakim. Tribunal ini akan dipimpin oleh majelis hakim campuran yang terdiri dari 3 hakim nasional dan 2 hakim internasional (Pasal 9). Namun demikian, masalah kepala jaksa penuntut umum masih belum terselesaikan, karena PBB menginginkan jaksa internasional bukan hanya sebagai co-prosecutor,seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Usahausaha untuk menjembatani berbagai perbedaan ini masih terus berjalan, sebelum dunia dapat menyaksikan pengadilan ini bekerja.

Panel Khusus Kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili, Timor Leste. Pemerintah Transisi PBB di Timor Leste (UNTAET) membentuk Unit Kejahatan Berat (Serious Crimes Unit) pada tahun 2000 untuk menyelidiki berbagai kasus kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur tahun 1999 . Kasus-kasus ini diperiksa dan diadilioleh Panel Khusus Kejahatan Berat (Speciol Panel t’or Serious Crimes). Pembentukan mekanisme tersebut sesuai dengan mandat yang diberikan Dewan Kearnanan PBB kepada UNTAET.3a Panel khusus terdiri atas majelis hakim campuran yang beranggotakan 2 (dua) hakim internasional dan 1 (satu) hakim Timor Leste. Unit Kejahatan Berat memberi prioritas pada sepuluh kasus, 7 (tujuh) diantaranya telah selesai diselidiki. Kesepuluh kasus itu adalah: Pembantaian Gereja Liquisa (6 April 1999\; pembunuhan di rumah Manuel Carascalao (17 April 1999): Kasus Los Palos (21 APril – 25 Septemb er 1999); Kasus Lolotoe (2 Mei- 16 September 1999\ Pembantaian di Gereja Suai (6 SePtember 1999); Serangan ke rumah kediaman Uskup Bello dan Dioses Dili (6 SePtember 1999); Pembantaian Passabe dan Makaleb (September-Oktober 7999); kasus deportasi’ pengejaran, pembunuhan staf UNAMET dan-kekejaman oleh Batalyon 745 TNI (April-


september 1’999)r kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan di berbagai distrik (Maret-September 1999)’.

Hingga Oktober 2001, l’1 orang telah diadili oleh Panel Khusus. Mereka dijatuhihukuman penjara antara 4 sampai 16 tahun. Ketentuan hukum di Timor Leste menetaPkan hukuman Penjara maksimal 25 tahun, sedangkan hukuman mati tidak berlaku. Dalam berkas penyelidikan, sejumlah perwira TNI didakwa terlibat dalam kejai-ratan tersebut. Dakwaan terhadap 8 (delapan) pejabat militer dan sipil Indonesia pernah diumumkan oleh Unit Kejahatan Berat pada Februari 2003. Salah seorang terdakwa utama adalah Jenderal Wiranto. yang menjabat sebagai Panglima ABRI pada tahun 1999. Panel khusus ini mempunyai yrrisdiksi atas kejahatan berat yakni; genosida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang. termasuk pembunuhan dan kejai-ratan seksual sesuai dengan KUHP lndonesia yang terjadi antara 1 Januari L999 sampai 25 Oktober 1999. Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone Pengadilan khusus ini (The Special Court f or Sierrra Leone/SCSL) dibentuk berdasarkan persetujuan antara PBB dan Pemerintah Sierra

Leone sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No’ 1315/2000, 14 Augustus 2000′ Pengadilan ini berw’enang untuk mengadiii berbagai kasus pelanggaran serius terhadaphukum humaniter internasional dan hukum pidana Sierra Leone yang terjadi sejak 30 November 1996 (Pasal 1 & 5 Statuta SCSL). Undang-undang nasional Sierra Leone yang dipakaiadalah Undandundang Pencegahan Kekejaman terhadap Anak-An ak (7926) dan Undang-undang Perusakan Kota (1861). Kejahatan-kejahatan tersebut terjadi selama perang saudara di Sierra Leone yang melibatkan kekuatan-kekuatan eksternal (Liberia). Sierra Leone seperti telah kita ketahui, adalah sebuah negara kecil di pantai barat Afrika, yang merupakan negara Penghasil berlian’ Pengadilan Khusus tersebui bekerja sesuai dengan mandatnya dan hingga Septemb er 2003 telah menuntut 13 orang terdakwa, yang dinilai sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab dalam perang saudara tersebut’ Namun demikian, tokoh yang banyak terlibat dalam kejahatan-kejahatan tersebut yakni Charles Taylor, mantan presiden Liberia, mendapat suaka politik di Nigeria. Dari tiga pengadilan hybrid di atas, nampak adanya usaha untuk di


satu pihak memberi preferensi kepada suatu negara untuk melakukan kewajibannya, dan di pihak lain sekaligus menjamin agar pengadilan berjalan sesuai dengan standarstandar internasional. Hal terakhir dilakukan dengan pelibatan elemen internasional baik di tingkat persiapan maupun dalam proses pengadilannya. Pembentukan pengadilan hybrid dapat disesuaikan dengan konteks lokal suatu negara tertentu. Walaupun hal itu juga berarti, pembentukannya membawa konsekuensi tersendiri, yakni sarat dengan konsesi-konsesi politik. Pengembangan pengadilan hybrid sebagai mekanism e penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini. masih memerlukar-r waktu sebelum masyarakat internasional dapat menerima mekanisme ini, sebagai satu pilihan yang lebih efektif dalam menegakkan keadilan.

PENUTUP

Pelanggaran hak asasi nlanusia yang berat. merupakan kejahatan yang serius (serious crimes) da,-r luar biasa (extra or’ dinary crimes). Kejahatan itu merupakan kejahatan

internasional. yang tidak dapat lagi dianggap semata-mata sebagai urusan domestik suatu negara. Terhadap kejahatan ini berlaku yurisdiksi internasional. Setiap anggota masyarakat internasional berkewajiban baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama untuk memprosekusi kejahatan seperti ini. Bagi Indonesia. usaha untuk membangun mekanisme nasionai guna menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, merupakan satu proses yang baru saja dimulai. Masih dibutuhkan banyak usaha agar mekanisme ini dapat bekerja untuk menegakkan keadilan sesuai dengan standar internasional. Usaha membangun mekanisme ini adalah tanggung jawab negara yang diperintahkan oleh konstitusi3s, untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Hal itu juga merupakan tanggung jawab anggota masyarakat bangsa-bangsa yang beradab. { Pengalaman yang didapat dari pengaCilan kasus Timor Tirnur dan Taniung Priok, serta macetnya proses penyidikan kasus Trisakti, Semanggi i dan II, dan kasus Kerusuhan Mei di iaksa Agung, menunjukkan begitu banYak kelemahan yang harus diatasi. Ada keperluan mendesak untuk melakukan berbagai perbaikan dalam Undang-undang llo. 26/2000. baik rnenyangkut hukum material


maupun hukum acaranYa. Amandamen terhadap hukum material dapat memilihl a) sepenuhnya mengadopsi secara benar ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam hal kejahatan serius atau b) memberikan rumusan yang luas terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sehingga berbagai kejahatan serius yang tidak termasuk dalam rumusan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian, dapat didiadili. Disamping itu – dan Yang tak kurang pentingnya – adalah peningkatan kompetensi dari Komnas HAM (sebagai p e n y e l i d i k ) . J a k s a Agung36 (sebagai penyidik dan penuntut umum), Hakim dan Panitera di pengadilan HAM, dan juga pembela hukum. Sehingga Indonesia dapat menyelenggerakan pengadilan atas kejahatan serius, sesuai dengan standar-standar yang diakui oleh hukum iniernasional. Akhirnya tinggal satu persoalan dasar yakni: apakah ada komitmen yang kuat dari penyelenggara kekuasaan negara, terutama pemerintah, untuk melakukan perbaikan itu?

You may also like

Leave a Comment