Mengenang Bang Asmara: Perekat dan Penyemangat Generasi Muda Demokrasi (Majalah Demos)

by Nuwiya Amal

Awalnya  saya  mengenal  Bang  Asmara  dari media massa yang menyiarkan kiprahnya sebagai Sekretaris Jendral (Sekjen) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sosok Bang As (begitu biasanya Beliau disapa) yang sangat vokal dalam menyuarakan pelanggaran HAM di Indonesia, terekam kuat dalam memori khususnya pada kasus Mei 1998, penculikan paksa, dan kasus pelang-garan HAM beratdi Timor Timur tahun 1999.

Perkenalan saya secara personal dan langsung dengan Bang As terjadi pada 2001, saat saya menjadi staf di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Saat itu YLBHI dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), bersama-sama dengan Indonesianis asal Swedia Olle Tornguist, sedang menggagas berdirinya sebuah organisasi penelitian yang memfokus-kan pada gerakan demokratisasi di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai DEMOS. Dalam perjalanan pembentukannya, organisasi yang melahirkan DEMOS bertambah dua, yaitu Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) Yogyakarta dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Pilihan para pendiri DEMOSsaatitu persis seragam, yakni mendaulat Bang AS, yang saat itu baru saja menyelesaikan masa tugasnya sebagai Sekjen Komnas HAM menjadi Direktur Eksekutif DEMOS. Dengan antusiasme yang besar Bang As menerima tawaran kami, dan sejak tahun 2002-2009 Beliau berkiprah di DEMOSsebagaiDirektur Eksekutif.

Pada awal berdirinya DEMOS, para pendiri seperti Josep Adi Prasetyo (Stanley-red), Lalang E. Wardoyo, Munir, Pak Ton (TH. Sumartana), dan Pak Nasikun bahu membahu dengan pengurus lainnya seperti Bang As, Shirley Doornik, AE. Priyono dan Antonio Pradjasto. Dengan dukungan Olle Tornguist, UIO Norwegia dan bantuan dana dari Pemerintah Norwegia melalui Kementerian Luar Negeri-nya, DEMOS sukses menyeleng-garakan survey dan penelitian demokrasi di Indonesia mulai tahun 2002. Sayang sekali saya tidak mengikuti secara langsung kiprah DEMOS di masa-masa awal pendiriannya karena tugas belajar di Chicago.

Pertengahan 2003 saya kembali ke tanahair dan bergabung lagi dalam perjuangan bersama Bang As dan kawan-kawan. Dari sinilah saya lebih mengenal Bang As sebagai tokoh yang penuh semangat dan mampu menjadi perekat generasi muda. Ini terjadi ketika 2 kubu gerakan masyarakat sipil yang concern pada persoalan HAM “ngotot” mempertahankan prinsip masing-masing merespon Rancangan Undangan-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang sedang dibahas DPR dan akan segera disahkan di pertengahan 2004. Pada waktuitu terjadi polarisasi antara kubu Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang dikomandani Ifdhal Kasim dengan kubu KontraS yang dikomandani Munir. Ifdhal mendukung pembahasandan pengesahan RUU KKR, sedangkan Munir menentang karena menurut Munir, dengan KKR tidak akan memberikan keadilan bagi para korban dan hanya akan menguntungkan para pelaku. Munir berpendapat para pelanggar HAM harus diproses berdasarkan hukum di pengadilan HAM, bukan di depan sebuah Komisi yang tidak mempunyai kewenangan menjatuhkan hukuman. Menghadapi keributan dua kubu yang sama-sama menjadi kawan seperjuangannya, Bang As turun tangan mempertemukan dan mendamaikan dua kubu tersebutdi kantor DEMOS. Pada kesempatan tersebut, Bang As bercerita bahwa ide KKR pertamakali dia gu-lirkan ketika terjadi peralihan pemerintahan dari Soeharto ke Habibie. Menurutnya, momenitu adalah momen yang sangat tepat bagi Bangsa Indonesia untuk melakukan rekonsiliasi. Bang As-lah yang memberikan ide ini kepada Habibie dan langsung disetujui Habibie. Sayangnya upayaini terhenti karena Habibie hanya menjabat sebagai presiden selama 1 tahun. Tetapi setelah Gus Dur, yang juga kawan seperjuangan Bang As, menjabat sebagai Presiden RI menggantikan Habibie, menyetujui ide pembentukan KKR di Indonesia. KKR pada saat itu kemudian dimasukkan menjadi salah satu RUU dalam program legislasi nasional 2000-2004. Akan tetapi meskipun Soeharto sudah jatuh, kekuasaan militer masih belum sepenuhnya surut dalam politik, sehingga pembahasan RUU KKR di DPR diwarnai tarik-ulur kepentingan militer. Apalagi ketika Megawati berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan Gus Dur, untuk mengambil hati militer, maka Megawati mendisain RUU KKR sedemikian rupa sehingga di dalam RUU KKR terdapat pasal yang memberikan amnesty bagi para pelanggar HAM berat. Setelah pertemuan di kantor DEMOS tersebut, setidaknya pertentangan antara kubu Elsam dan kubu KontraS menyangkut RUU KKR tidak lagi seruncing sebelumnya.

Bang As yang gaya kenal merupakan pribadi yang setia kawan. Setelah Munir mendadak meninggal dunia karena dibunuh di dalam pesawat Garuda yang menerbangkannya dari Jakarta ke Belanda pada tanggal 7 September 2004, Bang As selalu bersama kami dalam rapat-rapat pertemuan menuntut Pemerintah untuk segera mengungkap siapa dalang pembunuh Munir. Bang As hadir sebagai peng-hibur dan penyemangat bagi Suciwati, istri Alm. Munir, dan kawan-kawan Munir yang terkadang merasa patah semangat menghadapi kokohnya kekuasaan. Hanya sedikit dari generasi senior selevel Bang As yang masih mau menghabiskan waktunya untuk mendam-pingi kami. Bahkan Bang As juga bersediaditunjuk sebagai wakil dalam Tim Pencari Fakta Kasus Munir yang dibentukoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan adanya Bang As bersama kami, bahkan di setiap kesempatan sidang pengadilan dan aksi-aksi demo, kami merasakan dukungan nyata dari generasi senior yang memberikan semangat juang kepada kami. Kalau Bang As saja tidak patah semangat, kenapa kami harus patah semangat? Kami harus tetap bersemangat seperti Bang As!

Bang As juga berpikiran maju dengan mendorong kami yang aktif di gerakan masyarakatsipil, untuk tidak tabu berkiprah dalam partai politik. Bang As juga yang menggagas ide pendirian blok-blok politik, yang berisi generasi muda dari masyarakat sipil yang dianggap bersih dari kekotoran partai-partai politik, yang dapat menjadi alternatif pilihan calon dalam pemilu. Salah satu dukungan Bang As antara lain masuknya Sarah Lerry Mboeik, aktivis HAM penerima Yap Thiam Hien Award dan Direktur Pengem-bangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) Kupang – salah satu organisasi yang didukung Bang As, menjadi anggota DPD RI periode 2009-2014. Bagi Bang As, terjun ke partai politik bukanlah hal yang tabu, asal yang bersangkutan mampu melawan godaan menjalankan politik kotor. Masuknya masyarakatsipil yang bersih ke dalam partai politik lambat laun akan menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi yang sebenar-benarnya, bukan hanya demokrasi prosedural seperti saat ini.

Karena lingkungan aktivis HAM yang ber-dekatan (di Jakarta-red), maka di setiap pertemuan HAM, sayaselalu bertemu Bang As, setidaknya dalam pertemuan DEMOS, Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM), dan Human Rights Working Group (HRWG), dimana kami duduk sebagai boardnya. Di dalam setiap pertemuan, saya selalu memperhatikan bahwa Bang As adalah orang yangdisiplin dan tepat waktu. Terkadang dia sudah duduk manis menanti kedatangan anak-anak muda yang terlambat. Bang As juga orang yang selalu mendukung dan senang melihat anak muda maju dan berani bersuara. Dia selalu mendesak agar “yang muda-muda inilah yang harus bersuara!”. Bang As selalu berpe-nampilan sangat sederhana, dengan kemeja anak mudabau kencur sekalipun. Mendengar pendapat yang Muda dan kemudian mengajukan usulan atau tawaran alternatif. Dalam posisi seperti itu Bang As menjadi mentor bagi yang muda. Posisi seperti itu sangat membantu bagi anak-anak muda yang baru terjun menjadi aktivis. Memerlukan arahan dan dukungan yang kuat, agar tidak hanyut dalam pragmatisme gerakan, atau terjebak sekedar hura-hura heroisme. Dalam setiap diskusi, Bang As setia menjaga substansi persoalan agar tetap berada pada relnya yang benar. Rel tersebut tentu saja demokrasi dan hak asasi manusia. Sikap seperti ini saya kira juga bagian dari implementasi konsistensinya Bang As terhadap Demokrasi dan HAM.

Akhir Juni – awal Juli 2010 merupakan kesempatan saya terakhir bertemu dengan Bang As. Pertemuan itu terjadi dalam kegiatan evaluasi perkembangan Blok Politik Demokratik (BPD) yang digagas sejumlah KelompokKerja Jaringan Demokrasi (KKJD) di berbagai daerah. Bang As nampak sangat bersemangat. Dalam pertemuan itu, Bang As seperti membuka simpul-simpul yang selama ini terikat kuat, yang menyebabkan BPD jalan ditempat dan kehilangan urgensinya ditengah demokrasi yang semakin bangkrut. BPD adalah alternatif, BPD adalah intermediary, penghubung antara organisasi massa memiliki basis, dengan Non Government Organization (NGO) yang memiliki data dan organisasi politik yang memiliki kekuatan di parlemen. Ketiga kekuataan tersebut harus dihubungkan satu dengan lainnya sehingga rakyat memiliki saluran dalam politik, terutama kontrol terhadap anggaran, melalui kebijakan anggaranlah kesejahteraan diperjuangkan, dan jangan lupa pada anggaran yang berkeadilan, berbasis hak asasi manusia, demikian Bang As selalu menengahi simpang siurnya persepsi terhadap BPD. Terkadang dia berdiri, bahkan sambil menggambar skema gerakan, dia terus menekankan tentang pentingnya BPD sebelum demokrasi semakin dibajak oleh kelompok aktor dominan. Sebelum demokrasi mengecil menjadi politisasi agama atau praktik politik uang yang haus kekuasaan.

Desember 2010, BPD bermaksud kembali melakukan evaluasi, setelah enam bulan pergumulannya diberbagai wilayah di Indonesia, dengan segala dinamika yang tidak selalu mulus. Tapi Bang As sudah mendahului. BPD seperti amanahnya terakhir kepada anak-anak muda yang juga mungkin tidak terlalu yakin bahwa demokrasi bisa berjalan ideal. Sekalipun tidak terlalu yakin, disadari harus ada upaya untuk terus mengawal dan menjaga demokrasi, wahana untuk mengawal demokrasi tersebut adalah BPD itu sendiri. Ini alternatif, karena partai tidak berfungsi dengan baik. Partai hanya kendaraan, perahu tumpangan untuk kursi kekuasaan, partai tidak menjalankan perannya melakukan pendidikan politik, memperjuangkan kesejahteraan, ataupun menjadi penyambung suara rakyat. Bagaimanapun busuknya partai-partai tersebut, demokrasi harus tetap dijaga, karena kita tetap yakin bahwajalan menuju kesejahteraan tersebut selayaknya melalui mekanisme demokrasi, demikian diskusi terakhir seputar eksistensi BPD saat BangAs masih ada.

Kalau jadi Desember nanti bertemu kembali, tentu semangat, kegundahan dan segala harapan terhadap lahirnya kekuatan alternatif yang disebut BPD tadi akan berbaur dengan duka cita mengenang perginya Bang As. Mudah-mudahan duka cita itu akan memberi kekuatan dan semangat baru, untuk meneruskan amanah terakhir Bang As agar lahir BPD-BPD yang dapat menjalankan fungsinya sebagai alternatif kekuatan demokrasi di tingkat lokal.

Demokrasi dan hak asasi manusia memang jalan panjang Bang As!, karena itu beristirahatlah dengan tenang, kami akan meneruskan apa yang sudah engkau rintis. Semoga kami diberi kekuatan dan ketetapan pendirian. Amin!

-Noorhalis Majid

KelompokKerja jaringan Demokrasi (KKJD)

Kalimantan Selatan

You may also like

Leave a Comment