Asmara Nababan: “LSM Tidak Punya Agenda Politik” (Majalah MUTIARA – 12-18 November 1999)

by Nuwiya Amal

Asmara Nababn, SH adalah direktur eksekutif INFID (International NGO-Forum on Indonesian Development). Mutiara berbincang-bincang dengan Asmara, yang juga anggota Komnas HAM itu, di kawasan Puncak, Jawa Barat, Jumat (8/11) lalu. Berikut petikannya.

Sebetulnya, apa masalah yang dihadapi LSM terhadap Pemerintah?

LSM tidak dapat menerima akar masalahnya yang sudah bertahun-tahun. LSM tidak dapat menerima posisi baru dari Pemerintah bahwa LSM itu subjek dari undang-undang ormas, Undan-Undang No.8, 1985. Saya katakan baru karena pada periode (Mendagri) Rudini, setelah ada semacam saling pengertian. Artinya Depdagri menyadari tidak dapat melaksakan LSM tunduk kepada Undang-undang ormas, lalu mengambil cara dengan membukadialog secara teratur dengan LSM untuk membicarakan berbagai masalah.

Sampai dua tahun lalu,kabinet baru. Sebenarnya masih itu posisinya. Kemudian,justru muncul dari Depdagri, dengan adanya keinginan membuat Keppres LSM.Ini lahir karena UU No. 8 itu mereka sadaritidak bisa dikenakan kepada LSM. Ada gagasan dari mereka untuk membuat Keppres LSM. 

Itu kita tolak juga waktu itu, karena yang diatur adalah hak konstitusional. Keppres itu tidak sepadan untuk mengaturhal-hal yang bersifat hak-hak konstitusional. Keppres itu operasional. Hak konstitusional, kebebasan ber organisasi, berserikat, kalau mau diatur dengan undang-undang. Walau di kalangan LSM sendiri tidak sepakat ada UU tentang LSM, karena mengasumsikan UU sekarang sudah cukup menjadi rambu-rambudari LSM dalam melakukan kegiatannya. Kalau dipaksa juga, serahkanlah kode etik LSM.

Sebenarnya di mana keberatan LSM terhadap Keppres itu?

Pertama, bentuk Keppressendiri, lalu statusnya, kekuatan hukum Keppresitu sendiri. Keppres itu hanya untuk operasional. Padahal, yang diatur substansinya, tentang hak kebebasanberorganisasi. UU dong, kalau itu mau diatur.

Jadi bukan materinya?

Materinya juga banyak, tetapi itunya Kongaes) saja sudah jadi masalah, apala gi materinya. Pembinaan umpamanya. Pemerintah membina LSM. Konstruksi pembinaan, konstruksi yanga simetris. Yang mendmpatkan Pemerintah sebagaI superior, LSM inferior. Pemerintah pintar dan LSM bodoh. Pemerintahkuat, LSM lemah. Oleh karenaitu perlu dibina. Kalau konstruksinya tidak demikian, konstruksi kesetaraan,tidak adaistilah pembinaan. Saling membina, ayo. LSM membina Pemerintah, Pemerintah membina LSM. (Kalau) konstruksinya asimetris, kita tidak bisaterima. Tentang pernyataan Menko Polkam, memang dibahas,tetapi tidak menjadi agenda khusus, karena posisi hampir sama, tidak ada berubah. Semua tahu kita bukan ormas: Memang Dirjen (Dirjen Sospol, Depdagri) itu ‘kan mau membuat Interpretasi baru dengan mengutip pasal satu dari UU No. 8 Tahun 1985, yang mengatakan ormas adalah organisasi yang didirikan oleh warganegara Indonesia berdasarkan kesukarelaan dan seterusnya. Disitu, di pasal satu, tidak disebut adanya sistem keanggotaan. Tapi itu’kan interpretasi baru. Itu yang dibuat supaya bisa menjaring LSM. Kalau kita lihat penjelasannya, notulasi ketika proses ini didiskusikan di DPR, LSM tidak pernah dibayangkan masuk ke. ormas. Pramuka, koperasi, nggak masuk ke ormas. Yayasan nggak bisa masuk ke ormas. Yayasan diatur oleh Kitab UU Hukum Perdata Buku III.

Tampaknya, selama ini ada keinginan Pemerintah untuk melakukan pembersihan?

Apa pidananya? Dan memang beberapa LSM sedang dikejar. LBH umpamanya, dikejar soal pajak. Saking tidak ada lagi, pajak sekarang dikejar. Pajak apa? Yayasan’kan tidak punya usaha. Oke, pajak pegawai atau PBB. Tapi, kalau ada perorangan, aktivis, yang melakukan pelanggaran hukum, silakan dihukum Kalau institusinya melakukan pelanggaran hukum, ya silakan. Biar pengadilan yang memutuskannya Bukan Depdagri yang memutuskan.

Bagaimana dengan soal asas Pancasila itu?

Sejauh yang saya tahu, hampir semua LSM mencantumkan Pancasila sebagai asas. Yang soal ialah dana luar negeri. Memang, kalau ormas menerima dana dari luar negeri, harus seizin Pemerintah. Tetapi karena bukan ormas, aturan mana yang mau dipakai? Pasal mana dari Kitab UU Hukum Pidana yang melarang yayasan menerima bantuan dari luar negeri?

Bang Asmara bisa menduga Pemerintah ini maunya apa?

Ya,dari dulu juga sama saja sebenarnya. Tujuannya mengontrol, mengendalikan LSM.

Karena menganggap LSM sudah terlalu berat?

Nggak juga. Pemerintah punya penyakit kambuhan untuk memusuhi LSM. Tahun 1989 kambuh,1992 kambuh, 1994 kambuh. Tahun 1989, apa yang disebut dengan Insiden Brussel itu, ketika INFID masih bernama INGI, mengeluarkan statement keras mengenai (proyek waduk) Kedungombo. Saat itu LSM diamuk tidak patriotik, tidak nasionalis, : protes pembredelan Tempo dan DeTik, karena demokrasinya. Tiga area itu yang jadi concern NGO. Tapi justru karena itu Pemerintah melihat LSM sekarang berpolitik? Mereka katakan begitu. Langsung atau tidak langsung dia (LSM) menyentuh politik atau demokrasi. Tapi, apa yang tidak politik? Menanam padi ‘kan menjadi satu tindakan politik. Ketika Anda harus memilih menanamjenis IR ini atau bibit lokal, itu sudah politis.

Tapi, yang bisa dipastikan, seperti yang saya katakan nonpartisan, sebenarnya mau mengatakan kembali NGO tidak punya agenda politik, dalam pengertian mengumpulkan kekuatan, dan menggunakan kekuatanitu untuk mencapai tujuan. Jadi dia (LSM) tidak melihat machtsvormang (pembentukan kekuasaan) dan machts-ondervmding (penemua pengalaman) sebagai cara kerja dari NGO atau LSM untuk mencapai tujuannya, sehingga tidak punya agenda pada tahun sekian, sekian orang sudah harus menjadi anggota DPRDtingkat II, DPRD tingkat I sekian orang, sekian orang DPR, sekian orang jadi bupati,jadi gubernur. (Itu) tidak ada. Tidak terpikirkan dan tidak akan dipikirkan. Sebab kalau sudah ke sana, sudah partai, sudah menjadi political movement (gerakan politik).

NGO di manapunjuga,itu socio-move “penjual bangsa, wright or wrong – my country, itu kita bilang dalam arti, ya, tidak berani juga lawan Pemerintah. Tapi, di pers wrong – my country, tapi wright is wright, wrong is wrong. Tahun 1992 kambuh: lagi ketika pembubaran IGGI. Rudinibilang, IGGI sudah bubar, kalian juga bubar sajalah”. Tahun1994, (soal Keppres).

Apa soal itu yangmembuat Pak Ginanjar (Kartasasmita) marah?

Itu juga. Setelah didialogkan, menjadi terkejut sendiri. Dan Ga): sebenarnya menjanjikan, “Saya akan membaca mempelajari itu, dan nanti kita ‘akandialog’.-Sudah satu tahun tidak adadialog.Ini, dapat separo informasi – half truth, langsung masuk ke pers.

‘Pak Ginanjar,ini studi yang kita buat, antara ELSAM dan Lawyer Committee for Human Right di New York, mengenaihak asasi manusia dari pembangunan Indonesia. Ini hasil studi, silakan pelajari’. Kalau salah, bikin dong mananya yang salah.— Datanyakah,analisisnya, metodologinya, atau kesimpulannya? ‘Oya, nanti, saya pelajari’, jawabnya. Tapi adadialog, bisa menjernihkan. Sekarang, kalau Pemerintah tidak minta dialog, ya. mau diapain?

Menurut Bang Asmara ada kesatuan sikap di antara LSM?

Ya, paling tidak pada sikap beberapa LSM. Artinya, posisi yang selama ini diusahakan nonpartisan,tidak mau berpindah kepada kelompok, berpihak kepadasatu partai. Justru komitmen kita padanilai-nilai demokrasi, bukan commutted untuk mendukung PDI, umpama nya, karena dia partai demokrasi.

Kalau memang karena memperjuangkan demokrasi, kita akan sejajar dengan LSM. Kalau Pemerintah memperjuangkan demokrasi,tidak akan sejajar dengan LSM. Dia akan berseberangan kalau memang tidak mengembangkan demokrasi perilaku, tindakan, policy-nya anti-demokrasi, otomatis berseberangan dengan LSM.

Ada tiga area utama kepedulian LSM, demokrasi, keadilan, dan sustaimable-(berkesinambungan). Kita protes soal hutan karena prinsip kesinambungan. Kita solider dengan penduduk-penduduk yang tergusur, karena keadilannya. Kita protes pembredelan Tempo dan DeTik, karena emokrasinya. Tiga area itu yang jadi concern NGO.

Tapi justru karena itu Pemerintah melihat LSM sekarang berpolitik?

Mereka katakan begitu. Langsung atau tidak langsung dia (LSM) menyentuh politik atau demokrasi. Tapi, apa yang tidak politik? Menanam padi ‘kan menjadi satu tindakan politik. Ketika Anda harus memilih menanam jenis IR ini atau bibit lokal, itu sudah politis. Tapi, yang bisa dipastikan, seperti yang saya katakan nonpartisan, sebenarnya mau mengatakan kembali NGO tidak punya agendapolitik, dalam pengertian mengumpulkan kekuatan, dan menggunakan kekuatanitu untuk mencapai tujuan. Jadi dia (LSM) tidak melihat machtsvormang (pembentukan kekuasaan) dan  machts-ondervmding (penemuan- pengalaman) sebagai cara kerja dari NGO atau LSM untuk mencapai tujuannya, sehingga tidak punya agenda pada tahun sekian, sekian orang sudah harus menjadi anggota DPRDtingkat II, DPRD tingkat I sekian orang, sekian orang DPR, sekian orang jadi bupati,jadi gubernur. (Itu) tidak ada. Tidak terpikirkan dan tidak akan dipikirkan. Sebab kalau sudah ke sana, sudah partai, sudah menjadi political movement (gerakan politik). NGO di manapunjuga,itu socio-movement: bukan political movement. Tetapi gerakan sosial, yang mempunyai impact (dampak) politik, ya. Kalau gerakan politik, dia harus menyusun kekuatan, menggunakan kekuatan. Untuk merebut kekuasaan selanjutnya, menggunakan kekuasaanitu.

Jadi sebenarnya Pemerintah tidak beralasan kalau melihat itu?

Tidak beralasan. Persoalannya, kapan kita bisa menjelaskan (hal) itu kalau tidak ada dialog. Kalau pintu-pintu dialog ditutup, pintu komunikasi ditutup. Yang timbul adalah kecurigaan. Arogansi kekuasaan. Seperti yang dikatakan Wahono(ketua DPR-MPR/RI). Seorang menteri mengatakan buat apa dialog dengan LSM.Itu ‘kan arogansi kekuasaan. Memang Pemerintah(itu) siapa? ‘Kan abdi masyarakat.

Selama ini ada berapa menteri yang mau berdialog?

Beberapa menteri seperti Bappenas, Ginanjar Kartasasmita, lalu Menteri Negara Lingkungan Hidup. Tapi, Depdagri sebagai pembina politik itu, pada periode Rudini, yang memang menyadari itu. Kita nggak pernah mendapat kesepakatan dalam pertamuan-pertamuan dengan Rudini. Tapoi, paling tidak kita mengerti Pemerintah marah, Pemerintah mengerti kenapa kita mengatakan begitu. Dialog yang biasanya tertuutp dengan demikian jadi terbuka. Posisi kita sekarang berada pada situasi yang tidak konstruktif.

Tentang keharusan mendaftar di Depdagri?

Pemerintah, satu atau dua, apa lima? Dengan saya membentuk yayasan atau perkumpulan, saya sudah harus mendaftarkan diri ke pengadilan negeri untuk disahkan oleh Departemen Kehakiman. Kalau Depdagri ingin tahu anggaran dasar, ya minta saja, ‘kan arsipnya ada di. sana. Kita mendaftar. Bikin yayasan harus mendaftar, baru diakui sebagai badan hukum.  

Mungkin banyak kepentingan Pemerintah yang merasa terganggu?

Ya. Saya pikirya juga. Umpamanya dalam satu pertemuan dengan Bappenas. Bappenas itu mengeluh ni da LSM, mengatakan mereka sudah tiga tahun mencari pinjaman untuk membangun Dam Jatigede, tapi tidak ada yang mau kasih pinjam. Bank Dunia nggak mau, ADB (Asian Development Bank, Bank PembangunanAsia) nggak mau. Ke manacari duit?

‘Ayo dong NGO, marikita diskusi. Bantu juga dong Pemerintah’, katanya. ‘Tujuan kalian “kan bukan anti-dam. Yang kalian perjuangkan, supaya rakyat lokal dan lingkungan dilindungi kepentingannya. Tujuan kita sama, mari diskusi. Supaya dam itu, supaya kompensasi rakyat yangharus digusur. cukup baik’.

Waktu itu NGO mengatakan kepada Ginanjar, ‘Pak, sebelum kerja sama, mencari (dana) itu, mempromosikan supaya Bank Dunia mau membantu, ayo dievaluasi dulu semua dam yang dibangun dari Pelita I – V. Dam besar yang dibangun selama ini hasilnya bagaimana? Berapa cost, berapa benefit. Lebih besar benefit atau cost-nya? Ekonomi? Sosial? Politis?

Sesudah evaluasi, baru kita berangkat dari evaluasi. Tapi kita minta evaluasi independe. Bukan Pemerintah. ‘Wah, boleh juga nih. Nanti kita pertimbangkan lah’. Tapi habis begitu saja. Kita mengatakan sepositif itu. Kita bukan anti-dam besar. Harus evaluasi, sudah berapa juta dolar yang dibayarkan kepada rakyat yang kita pinjam dari Bank Dunia? Jangan-jangan lebih dari satu miliar, yang dibangun kepada dari Pelita I sampai sekarang. Ayo kita hitung. Kalau memang besar daripada cost, ya kita juga pergi ke World Bank.

Sekarang, Bank Dunia berdasarkan pengalaman Kedungombo, sangat nggak mau sekali kalau Pemerintah Indonesia pinjam buat bangun dam di Jatigede. Kedungombo ‘babak belur’ lagi. Sampai sekarang kedungombo itu adalah referensi dari banyak pertemuan di dunia, sebagai satu contoh kegagalan Bank Dunia. Sampai sekarang rakyat Kedungombo belum dapat kompensasi. Maka macetlah Jatigede. Kita juga tahu macetnya itu dari Bappenas. ‘Sudah tiga tahun ini kami cari, tidak ada yang mau kasih’, katanya.

You may also like

Leave a Comment