Asmara Nababan: Api Perjuangan (Majalah Demos Indonesia)

by Nuwiya Amal

Pertanyaan absurd banyak orang yang menangisi kematian Bang As adalah: “mengapa seorang pejuang hak azasi manusia dan pejuang demokrasi sebaik dia ‘dipanggil’ lebih dulu oleh Tuhan?”Ini bukan sekedar sebuah pertanyaan, tetapi suatu protes keras. Bahkan lebih baik mengatakan itu bukan pertanyaan, tetapi sebuah gugatan keras kepada Tuhan. Pertanyaan yang sama mencuatketika Tuhan memanggil

Munir, Nurcholis Madjid daan Gus Dur kembali ke haribaan-Nya. Mereka adalah pejuang kemanusiaan. Mereka berbicara untuk rakyat dan bersama rakyat. Mereka adalah perwujudan dari hampir seluruh idealisme yang ingin kita miliki, tetapi justru ketika kita dan segenap rakyat yang tertindas di negeri ini membutuhkannya, Tuhan meraup mereka, secara sewenang-wenangpula, dari tengah-tengahkita.

Ada protes keras kepada Tuhan yang secara otorotatif menerapkan kebijakanNya yang, jujur saja, melanggar prinsip hak asasi manusia dan demokrasi. Dalam hasrat ‘reptilian’ yang mendorong nafsu dendam,

kita berharap mestinya Tuhan yang adil itu memberi azab dan sengsara dan bahkan mencabut nyawa para penindas dan para pelaku ketidakadilan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bukan Bang As, bukan Gus Dur atau Cak Nur atau Munir! Tapi, hasrat reptilian kita tidak diakomodasiNya. Sebaliknya, Tuhan justru memanggil pulang

Munir, Cak Nur, Gus Dur, dan terakhir Bang As dalam kemuliaanNya. Padahal mereka merupakan tokoh-tokoh utama pembela hak azasi manusia dan demokrasi. Seharusnya merekalah yang diberi kesehatan dan umur panjang! Bukan dicabut nyawanya secepat itu. Lalu apa maunya Tuhan dengan kebijakan anehNyaitu? Sebuah Absurditas!

Yang pasti teriakan, tangisan atau protes kita kepadaNyaadalah letupan ketidakberdayaan dan kerapuhan kita ketika berhadapan dengan kehendakAllah, Sang Maha Besaritu. Tak pernah ada jawaban yang pasti. Yang ada hanya kerapuhan dan ketidakberdayaankita!

In memoriam Asmara Nababan – lukisan oleh Alit Ambara

Api Perjuangan HAM

Saya menangis ketika mendengar Bang As pergi untuk selama-lamanya. Aneh, karena meskipun kami saling kenal, saya tidak

terlalu dekat dengannya. Tapi saya adalah pengagum beratnya. Tangisan saya adalah ekspresi kesedihan karena kekaguman seorang adik, seorang pendeta, dan seorang warga negara biasa terhadap jejak per-juangan yang ditinggalkannya. Saya peng-

agum siapa pun yang menjadi pejuang kemanusiaan. Mereka adalah sumberinspirasi hidup. Saya makin mengerti tentang makna cinta Allah melalui perjuangan mereka. Bang As adalah salah satunya. Ia berani menyu-arakan apa yang seharusnya disuarakan. Ia

tahu, kalau ia diam semakin banyak orang akan menjadi korban. Tekad perjuangannya seperti api yang terus menyala meski tu-buhnya sudah sangat rapuh. Saya beruntung merasakan panasnya api perjuangannya.

Kami berjumpa di Rumah Duka Gatot Subroto, saat sama-sama melayat Mula Harahap. Saya menyapanya, menyalaminya dan mengatakan kepadanya:” Seluruh Indonesia mendoa-kanmu Bang!” Wajahnya yang pucat itu ter-senyum. la menjabat tangan saya dan meng-ungkapkan terima kasihnya. Setelah perca-kapan yang sangat singkat itu, Bang As berkali-kali menarik napas dan membuang napas dengan mulutnya. Nampak sekali ia

sangat letih! Saya dan istri, duduk beberapa bangku di belakangnya. Saya perhatikan betapa rapuhnyadia saat itu. Saya berbisik kepadaistri saya: “Penyakit kanker itu benar-benar telah menggerogoti kekuatannya!” Dalam hati saya berdoa:” Ya Tuhan kalau boleh, tolonglah Bang As. Bangsa ini masih membutuhkannya.” Ketika hendak pulang, Bang As menghampiri saya dan istri. Ia menjabat tangan saya, dan masih dengan napas yang sering ia buang melalui mulutnya, ia ingatkan supaya hadir di Teater Utan Kayu siang itu untuk pernyataan pers dalam rangka pembelaan terhadap hak-hak azasi kelom-pok Ahmadiyah!” Saya pasti hadir, kata saya!

Ketika ia beranjak pulang, saya terus memandangnya sambil berbisik kepada istri saya: “Itulah ciri orang besar! Meski sedang sakit parah dan meski tubuhnya sendiri sedang rapuh, ia masih memikirkan nasib dan penderitaan orang lain.” Api perjuangan kemanusiaannya terus berkobar dalam dadanya. Tidak ada satu pun dan tak ada apa pun yang bisa memadamkannya. Siang itu, saya belajar kembali tentang pentingnya memelihara kobaran perjuangan kemanu- siaan di tengahsituasi apa pun.

Sangkar yang Sempit

Sama seperti kita semua, Bang As pasti punya banyak kelemahan. Betapa pun begitu, Bang As adalahtipe ideal umat yang saya, sebagai pendeta, dambakan. Bagi orang seperti Bang As, institusi gereja seperti sangkar yang sempit. Sementara masih banyak gereja dan institusi agama yang sibuk dengan diri atau kelompoknya saja, Bang As memberikan teladan bahwa perjuangan kemanusiaan seharusnya menjadi etos institusi agama, termasuk gereja, yang melintasi sangkar dan sekat apa pun. Bang As adalah pejuang ke-Indonesiaan sekaligus kemanusiaan yang melampaui sangkar gereja, agama, etnik, gender, ideologi dan status sosial. Melalui demokrasi, ia bercita-cita membingkai Indonesia yang lebih baik bagi segenap warga negaranya. Tetapi, melalui perjuangan hak azasi manusianya, Bang As berjuang mewu-judkan kemanusiaan bagi semua, terutama bagi yang sedang dirampas kemanusiaanya! Bang As berjuang, meminjam istilah Buya Syafii (Syafii Maarif-pen), dalam bingkai ke-Indonesiaan sekaligus kemanusiaan! Ada spiritualitas sosial!

Bang As dicintai banyak orang. la layak dicintai karena ia memberikan diri dan hidupnya untuk mencintai dan untuk berjuang bagi siapa pun. Ketika jenazahnya disemayamkan di gedung Komnas HAM, sang saksi bisu perjuangannya, sekumpulan orang dari berbagai agama, gender dan etnik, pasti tanpa skenario, bernyanyi: “Telah gugur pah-lawanku….mati satu tumbuh seribu….!!!”

Semua yang hadir ikut bernyanyi. Tetapi, tiba-tiba lagu itu menjadi lagu ‘rohani’ yang memberi jawabansubyektif pada pertanyaan absurd saya di atas. Ada kelegaan spiritual yang membuat saya terharu! Di hadapan jenazahnya, saya berbisik: ‘Bang As, api perjuanganmu akan terus berkobar di hati setiap orang yang pernah merasakan keha-diran dan perjuanganmu.’

Saya berdoa:

“Tuhan, maafkan saya.

Engkau memang benar, adalah tidak adil menggantungkan perjuangan menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia pada Bang As seorang.

Perjuang ini adalah perjuangan semua orang.

Ini juga adalah perjuangan saya.

Terima kasih telah menghadirkan Bang As di tengah bangsa ini.

Terima kasih telah memperkenalkan Bang As kepada saya.

Engkau yang telah memberi

Engkau yang mengambilnya. Terpujilah Engkau Tuhan”

-Albertus Patty

Disadur dar: http://www.facebook.com/ home.php#!/notes/alb ertus-patty/asmara-nababan-api-perjuangan-ham-demokrasi/451071766455 –

Asmara Nababan Tak Pernah Mati

Dikubur di mana tiran mendesaknya terbaring buruh dan luka mereka, Tapi tetap hidup dari derita mereka bersemillah harapan kembali

Jadi, janganlah berduka, juga bersedih, bahwa dunia meneruskan hidup mereka; Petuah dan pandagan yang mereka berikan membuat kuat tangan kita terus melawan.

Berapa punya nama, ketenaran, dan kehormatan terpelajar mereka dan bijak dan kuat; beberapa tanpa nama, miskin, terpinggir, lemah dalam segala kecuali derita dan kesalahan.

Nama dan tanpa nama semua hidup dalam kita; satu dan semua mereka menjadikan kita Setiap luka tak ada artinya, setiap duka untuk dilupakan.

(William Morris, ‘All for the cause”)

Untuk Bung Asmara Nababan, seorang pejuang istimewa

(2 September 1946 – 28 Oktober 2010)

You may also like

Leave a Comment