Sejarah Aceh hampir tiga puluh tahun terakhir ini membuktikan kebenaran peringatan yang dicantumkan dalam mukadimah DUHAM Tiapuluh satu tahun yang silam. Tidak adanya penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang efektif, telah membuat masyarakat Aceh terpaksa memilih perlawanan bersenjata terhadap eksploitasi dan ketidakadilan yang ditimpakan pemerintah kepada Aceh. Berbagai upaya penyelesaian konflik secara militer tidak berhasil, dan hanya menambah penderitaan yang berkepanjangan bagi rakyat Aceh. Barulah dengan perjanjian Helsinki akhirnya konflik dapat diatasi, dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan demokrasi sebagai kerangka kerja politik bagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan sepenuh dan seutuhnya hak asasi manusia.
Dalam Nota Kesepahaman Helsinki tersebut dirumuskan: “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik , Indonesia”. (penebalan oleh penulis). Untuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum Nota Kesepakatan maka sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran Kebenaran akan dibentuk, dan untuk menjamin penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, Pemerintah RI mematuhi Kovenan Internasional PBB mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (butir 2.1, 2.2 dan 2.3). Sementara itu Konstitusi RI, melalui amandemen kedua (2000) telah pula memberikan pengakuan sepenuhnya terhadap semua hak asasi manusia, baik yang mencakup hak-haksipil dan politik dan hak ekonomisosial dan budaya dalam satu bab (IX ‘ A) yang berisi 10 pasal.
Mengapa keduanya (demokrasi dan hak asasi) begitu penting dan bagaimanakan korelasi antara demokrasi dan hak asasi? Sejarah panjang represi militer dan pelanggaran hak asasi di Aceh sebenarnya dalam dirinya sendiri dapat menjelaskanarti penting kedua hal itu dalam perjanjianini.JPengalaman empirik itu pulalah yang hendak digunakan penulis untuk menjelaskan korelasi demokrasi dan hakasasi. Secara konseptual, gagasan yang menyatakan bahwa warga negara memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam mempengaruhi proses politik atau menentukan bagaimana kekuasaan dijalankan itulah awal dari korelasi hak asasi dan demokrasi. Namun bagaimanakah sesungguhnya kaitan keduanya? Apa yang dimaksud dengan demokrasi berbasis hak asasi dan sebaliknya apa arti demokrasi bagi hak asasi?
Demokrasi berbasis hak asasi
Sejak beberapa dekadelalu telah dikenal luas gagasan mengenai “demokrasi substantif (sebagai lawan dari demokrasi prosedural) atau “demokrasi yang inklusif” atau “demokrasi berbasis hak asasi”. Semuaistilah itu menunjukan bahwa demokrasi dan hak asasi manusia bukan hanya saling melengkapi akan tetapi berada dalam satu kesatuan. Gagasan ini mengandung pengertian bahwa lembaga-lembagapolitik demokratik akan bekerja secara tidak efektif atau insufficient tanpa adanya pendasaran pada hak asasi manusia. Di sisi lain karena hak asasi mensyaratkan negara untuk mengimplementasikannya dan memberlakukannya, maka hanya negara demokratis yang dapat melakukannya. Tentu bukan negara yang otoritarian. Karena negara otoritarian hanya dapatterjadi dan bertahan melalui penyangkalan atas hak asasi.
Di bawah represi militer pada akhir 1970an dan pada saat penetapan status Daerah Operasi Militer/DOM antara 1980an-1990an, telah terjadi pelanggaran hak asasi yang sangat luas. Menurut International Crisis Group saja, antara 1989 dan 1998 terdapat sekitar 1000 hingga 3000 orang terbunuh, dan 900 -1400 hilang secara paksa, yang “ diduga kuat mati. Tentu dalam suasana yang serba tertutup jumlah pastinya sukar ditentukan. Namun, dibanding dengan angka-angka yang dikeluarkan oleh LSM-LSM Aceh jumlah ini masih sangat konservatif. Represi militer ini bukannya memadamkan tuntutan merdeka bahkan justru meningkatkan dukungan rakyat untuk merdeka seperti yang tampak pada gerakan referendum untuk merdeka.
Sebagaimana yang dicatat sebelumnya, perjanjian perdamaian itu menyepakati akan kesediaan tunduk pada perjanjian-perjanjian pokok hak asasi universal. Persis pada perjanjian-perjanjian internasional mengenai hak asasi tersebut, seperti pada pasal 21 DUHAM dan pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menunjukan bergabungnya demokrasi dan hak asasi. Di kedua pasal itu demokrasi seperti menjadi hak asasi dari setiap orang. Banyak pula ketentuan di dalamnya yang mengatur bahwasetiap pembatasan hak-hak tertentu harus dilakukan sepanjang ‘necessary in a democratic society” (sejauh dibutuhkan dalam masyarakat demokratis).
Kita temukan pentingnya prinsip itu dalam kehidupan bersama kita. Di Aceh (seperti wilayah Indonesia lainnya) menunjukan betapa berbagai pembatasan hak secara arbiter telah merenggut martabat kemanusiaan masyarakat. Sebagai contoh, hak menyatakan pendapat atas keyakinan politiknya maupun menyatakan pendapat lain (sebagai hak asasi) dibatasi dengan cara represif berupa penyiksaan dan penghilangan paksa. Pengalaman ini tentu menjadi pembelajaran untuk tidak diulang kembali — juga oleh penguasa baru siapapun di bumi Aceh, bahwa pembatasan hak hanyabisa dilakukan jika tidak bertentangan dengan demokrasi, dan untuk melindungi hak asasi yang lain. Regulasi-regulasi yang membatasi hak asasi seperti “pencemaran nama baik?” semakin kehilangan alasan untuk dipertahankan — sebagaimana tampak dari membanjirnya dukungan pada Prita. Seorang ibu rumah tangga yang baru-baru ini diajukan kepengadilan karena dia menggunakan haknya menyatakan pendapat yang mengkritik rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan baginya. Prita mendapat ratusan ribu dukungan dari masyarakat Indonesia melalui jaringan sosial internet.
Fakta-fakta ini mengundang pertanyaan mengenai bagaimana secara konseptual sesungguhnya hubungan demokrasi dan hak asasi? Dan apa yang telah tercapai dan masih perlu dimajukan dalam bumi Aceh berkenaan dengan kedua hal tersebut?
Tidak sedikit pihak yang melihat bahwa keduanyaseperti tidak berhubungan satu dengan yang lain. Per-definisi demokrasi berhubungan dengan persoalan pengorganisasian kekuasaan publik, sementara hak asasi berhubungan dengan pengutamaan manusia dan kondisi minimal untuk dapat hidup berkualitas. Demokrasi berurusan dengan persoalan internal, sementara hak asasi bersifat universal (dan perkembangan saat ini tunduk pada berbagai aturan internasional). Dalam ilmu-ilmu sosial, demokrasi dimasukan dalam ilmu politik sementara hak asasi pada ilmu hukum. Pandangan inipun tidak seluruhnya benar dan di berbagai kampusserta praktek politik mulai dipertanyakan dan dikoreksi.
Di banyak negara terdapat berbagai institusi demokrasi seperti pemisahan kekuasaan, pemilihan umum yang kompetitif, sistem multi partai dan parlemen. Institusi-institusi politik tersebut bisa ada dimana saja dengan bentuk yang beraneka ragam dan dengan penekanan yang berbeda-beda. Ambilah contoh partai politik dan pemilihan umum. Amerika Serikat mengenal sistem dwi-partai sedangkan benua Eropa lebih mengenal multipartai. Demikian pula dalam memilih kepala pemerintahan, ada yang dipilih oleh parlemen ada pula yang dipilih langsung. Di Aceh terdapatpartai politik lokal yang boleh mengikuti pemilhan umum lokal. Semuanya adalah upaya menjadikan priiSip demokrasi yakni kedaulatan (kratos) dari rakyat (demos) berwujud dan berfungsi sesuai dengan konteks masing-masing.
Namun, kita juga mertemukan di berbagai negara bahwa keberadaan berbagaiinstitusiinstitusi demokrasy dimanipulasi untuk tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Lopez melakukan studi yang menunjukan bahwa berbagai institusi demokrasi Yang ada di sejumlah negara Amerika Latin tidak menentukan ada tidaknya kekerasan dan teror. Terdapat negara dimanainstitusi demokrasinya eksis namun teror dan kekerasan terjadi hampir dari waktu ke waktu padahal jelas teror dan kekerasan bukan tujuan dari demokrasi. Kekerasan dan teror disebabkan oleh “ideologi keamanan nasional” yang ) sering berseberangan dengannilai-nilai demokrasi dan mengancam hak asasi manusia. Manipulasi lembaga-lembagapolitik terjadi pula pada zaman pemerintahan Orde Baru, sebagaimanakita ingat pemilihan umum tidak lebih dari upaya melegitimasi kekuasaan otoriter Suharto.
Keberadaan berbagai institusi demokrasi seperti partai politik, pemilu dan lembagalembagapolitik lainnya bukan ada hanya untukdirinya sendiri. Lembaga-lembagaitu ada karena alasan tertentu, yaitu karena dua prinsip dasar demokrasi: “kendali rakyat? (popular control) dan “kesetaraan politik” (political eguality). (Beetham, 1999). Kendali oleh warga negara atas persoalan-persoalan kolektif mereka, dan kesetaraan antara warga negara dalam melaksanakan kendali tersebut merupakanprinsip-prinsip kuncidari demokrasi.
Pembelajaran dari Aceh
Aceh, saat ini memiliki “pemerintahan sendiri” sebagai hasil dari pelaksanaan Nota Kesepakatan yang menjamin: “Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggerakan….untuk memilih Kepala Pemerintahan Aceh dan pejabat terpilih lainnya…” (butir 1.2.3). Sebelumnya, ditentukan pula bahwa: “rakyat Aceh berhak untuk mencalonkan (nominate) kandidat mereka untuk semuaposisi pemerintahan yang harus dilakukan melalui pemilihan? (butir 1.2.2). Sebuah upaya untuk menegaskan bahwa pemilu bukan sekedar pesta dan bukan partai politik yang menentukan melainkan rakyat. (Bandingkan dengan Aspinal, 2008).
Kenyataannyapun demikian. Pada Desember 2006, telah berlangsung pemilihan umum daerah dan terpilih gubernur dan wakil gubernur Aceh calon independen yangberasal bukan dari incumbent. Suara yang mereka peroleh sebesar 38Yo melampaui kandidat tandingan yang terdekat yang memperoleh 17”6. Disamping itu pada pemilihan bupatidi 19 kabupaten (dari 21) kandidat perorangan memenangkan 9 kabupaten. Pada pemilu legislatif 2009, partai politik lokal berhasil menjadi mayoritas pada parlemen mengalahkan partai-partai nasional yangtelah lama eksis.
Meskipun demikian, lembaga dan pengalaman itu masih harus diuji oleh kedua prinsip dasar tersebut di atas. Dititik inilah disamping lembaga-lembaga politik dan masyarakat sipil, hak asasi menjadi kerangka acuan yang penting bagi demokrasi, |(Beetham, 20021. Penjelasannya adalah sebagaiberikut.
Pertama, pada tataran hakekat. Seperti pada hak asasi manusia, yang menjustifikasi kedua prinsip dasar demokrasi (kendali warga atas urusan publik & kesetaraan politik) adalah nilai dan martabat manusia. Sejatinya setiap manusialah yang menentukan apa yang baik bagi hidupnya. Persis karena itu pula dalam kapasitasnya sebagai warga negara, ia berhak untuk ikut mendefinisikan dan memutuskan urusan-urusan kolektif yang mempengaruhi hidup mereka. Sebaliknya, negara harus akuntabel pada warga negaranya.
Kedua, padatataran teleologis. Jaminan hak-hak atas kebebasan berkeyakinan, bergerak, berekspresi, berkumpul dan berorganisasi merupakan syarat yang diperlukan bagi warga agar suara dan keterlibatan mereka dalam urusan-urusan publik efektif. Sulit dibayangkan warga terlibat dalam urusan publik tanpa jaminan atas kebebasan-kebebasantersebut. Gerakan “referendum” yang dilakukan pada tahun 1999, merupakan bukti akan pentingnya ada jaminan hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak asasi memberdayakan warga negara ketika mereka secara kolektif berkumpul untuk menyelesaikan problemproblem mereka, atau ketika hendak melindungi dan memperjuangkan kepentingankepentingan mereka, atau dalam meyakinkan sesama warga negara dalam mempengaruhi kebijakan negara. Hak-hak untuk bebas dari penyiksaan, penangkapan secara semenamena dan proses hukum yang berkeadilan memberi jaminan tiadanya kesewenangwenanganatas diri warga.
Ketiga, kesetaraan politik yang diekpresikan dalam diktum “satu orangsatu suara” mensyaratkan adanya kesempatan yang sama dari setiap warga untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan pada persoalan-persoalan yang mempengaruhi hidup mereka. Prinsip ini mensyaratkan sikap non-diskriminatif, yang merupakan norma dasar dari hak asasi, yaitu bahwa setiap manusia memiliki hak dan kebebasan yang sama. Hal ini antara lain diakui dalam International Bill of Human Rights (DUHAM, Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang menyatakan bahwa setiap manusia tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat dan keyakinan politik, asal usul, kelahiran dan status lainnya. Non-diskriminasi mendasari kesetaraan politik warga negara — ketika mereka melaksanakan kendali atas persoalan-persoalan kolektif mereka.
Oleh karena itu demokrasi tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia termasuk dari tanggung jawab untuk menghormati hak dan kebebasan sesama warga, persis karena hak asasi merupakan kondisi yang diperlukan bagi keterlibatan rakyat dalam urusan publik secara efektif, dan agar kendali rakyat terhadap pemerintah terjamin. Beetham menggambarkannyaseperti gambar berikutini:
Dengan proses dan lembagapolitik yang ada, Aceh memilikipotensi sekaligus tantangan untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi. Jaminan legaldan kesepakatan politik untuk itu telah ada baik di dalam MoU dan UU PemerintahanAceh. Pengungkapan kebenaran atas berbagai pelanggaran hak asasi menjadi agenda benting untuk segera direalisasikan, bukan hanya untuk memenuhi hak-hak korban yang telah di abaikan selamaini, tapi juga untuk perobahan dan kebijakan yang mencegah kejahatan yang sama terjadi di masa mendatang. Demikian pula berbagai peraturan yang bertentangan dengan hakasasi, yang . telah ditetapkan pada pemerintahan sebelumnya, perlu segera di-review. Nota Kesepakatan Helsinki secara tegas memandatkan agar: Legislatif Aceh merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. ( butir 1.4.2) Sebuah tantangan yang besar yang harus dijawab. Tindakantindakan itu akan memperkuatproses demokrasi yangtelah berjalan di Aceh.
Pentingnya hak asasi bagi demokrasi tidak hanya berlaku pada hak-hak sipil politik namun juga pada hak-hak sosial ekonomi. Jika demokrasi lebih banyak dilihat berelasi dengan hak-hak sipil dan politik, semata karena hak-hak ini yang paling kasat mata memiliki hubungan pada proses pengambilan keputusan dan proses-prosespartisipatoris. Namun, hak itu mungkin tidak mempunyai banyakarti bagi seorang ibu yang bersama putra putirnya kelaparan atau yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak. Mereka memerlukan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dan pengembangan diri tersebut. Hak-hak sosial ekonomi seperti pendidikan, pangan, kesehatan dan pekerjaan memberi kemampuan warga untuk menggunakan hak-haksipil politik.
Jaminan hak-hak sosial ekonomi perlu bagi demokrasi, pertama, agar warga negara memiliki sumber daya yang cukup untuk menggunakan kebebasan dan hak-hak sipil politik tersebut. Dan kedua, pada gilirannya untuk terlibat mengendalikan urusan-urusan kolektif. Hak-hak sosial ekonomi memberi kapasitas warga negara untuk menjadi agen demokrasi. Lihatlah petani sebagai contoh. Pelanggaran hak-hak petani selama berpuluhpuluh tahun atas tanah dan reformasi agraria, sebagaimana yang dilindungi oleh pasal 11 Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya (KIESB| telah mengurangi ..efektifitas petani dalam berpartisipasi dalam urusan publik terutama yang menyangkut kepentingan mereka. (Deklarasi Petani, 2002) Kedua hak-hak ini penting karena tanpa jaminan atas hak sosial ekonomi, maka yang terjadi adalah menghilangnya kualitas hidup publik. Ketiga, tiadanya pemenuhan hak-hak sosial ekonomi akan menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnyasikap-sikapintoleransi dan kebijakan-kebijakan yang represif. Hal ini berarti terkikisnya institusi-institusi demokrasi. (Beetham, 2002)
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintahan Aceh untuk melihat kembali i sejauh mana kemampuan wargatelah ditingkatkan? Apakah kinerja kelompok-kelompok ekonomi kuit yang ada telah menyingkirkan warga? Hal ini penting karena perjanjian perdamaian itu juga mengharapkan dipenuhinya hak-hak dasar sehingga kemiskinan dapat dikurangi kalau bukan dieliminasi — baik melalui pembagian pendapatan (7094 — 30Y9), pemilihan umum dan representasi yang bermakna. Pengalaman Aceh menunjukan bahwa persis karena tiadanya akses warga akan sumber-sumberdayasosial, politik dan ekonomi makatercipta penderitaan panjang dan potensi konflik berdarah.
Salah satu persoalan yang dialami proses demokratisasi di Indonesia sejak reformasi 1998, adalah persoalan representasi semu. Survey nasional yang dilakukan Demos dua kali (2003/04 dan 2007/08) menunjukkan bahwa meskipun kebebasan sipil berkembang sangat maju termasuk berhasil menyelenggerakan pemilu dan pemilihan presiden secara demokratis, namun kepentingan masyarakat (khususnya masyarakat miskin, petani, buruh dan miskin kota) tidak terwakili dalam perumusan kebijakan publik. Persoalan ini juga memperparah persoalan defisit demokrasi, dimana disatu pihak terdapat kemajuan proseduraltetapi di pihak lain masalah-masalah substansialtertinggal, seperti penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Nampaknya dengan adanyapartai politik lokal dan calon independen persoalan ini -secara tedfitis – akan lebih mudah diatasi di Aceh dibandingkan dengan wilayah lainnya dari Indonesia. Hanya dengan representasi yang sejati maka kepentingan masyarakat akan menjadi pertimbangan yang pertama dan utama dari perumusan kebijakan-kebijakan publik. Tentu saja hal ini masih akan dibuktikan dalam masa-masa mendatang, apakah dengan kemenanganpartai lokal dan calon independen, maka kebijakan-kebijakan publik sepenuhnya disusun sesuai dengan kepentingan masyarakat Aceh. Kebijakan-kebijakan yang pada hakekatnya ..adalah dalam upaya untuk memenuhi hak asasi setiap orang di Aceh dan sekaligus menghormati dan melindunginya.
Sejarah dari berbagai bangsa telah membuktikan bahwa hanya dengan kerangka kerja politik demokrasi maka hak asasi manusia dapat dimajukan dan dilindungi secara efektif. Hubungannya secara empirik menunjukan dengan terang benderang bahwa demokrasi dan hak asasi manusia saling memperkuat. Lebih jauh Deklarasi Viena (1993) menyatakan: ” Demokrasi, pembangunanserta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebashnasasi saling bergantung( interdependent) dan saling memperkuat ( mutual reinforcing). (butir 8)
Oleh karenanya banyak pihak di Indonesia dan di luar negeri melihat ke Aceh, dengan penuh perhatian bertanya: apakah dalam waktu yang tidak terlampau lama Aceh dapat membuktikan kebenaran adagium itu?
Banda Aceh, 9 Desember 2009