Perlindungan Hak Asasi Manusia: Antara Realitas dan Harapan

by hambali

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

Antara Realitas dan Harapan

Pendahuluan:

Rangkaian pelanggaran hak asasi manusia selamasejarah orde baru, telah menimbulkan derita dan rasa ketidakadilan yang luarbiasa yang diderita oleh banyak orang Indonesia. Pelanggaran-pelanggarantersebuttidak pernah mendapatpenyelesaian yang tuntas dalam pengertian: dipulihkannyahak para korban/keluarga, dan dihukumnyasecara setimpal pelaku atau penanggungjawab pelanggaran tersebut. Efek lain yang tak kurang beratnya, adalah pelanggaran-pelanggaran tersebut menjadi berulang-ulang. Tidak ada petunjuk bahwa di masa depan pelanggaran tak terulang. Efek inilah yang pada mulanya melahirkan rasa takut yang mendalam terhadap kekuasaan negara. Namunketikarasa takut berkurang atau menghilang, maka yang muncul “kepermukaan adalah rasa benci dan dendam,serta hilangnya kepercayaan kepada pemerintah. Sebenarnya bahkan semua warga tanpa disadari selama puluhan tahun hak asasinya tidak dihormati. Hak-hak yang dilanggar menyangkut hak-haksipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Keadaan demikian itu telah pula menimbulkan keragu-raguan apakah benar seseorang itu punya hak asasi, bahkan orang tidak tahu bahwa ia mempunyai hakhak asasi yang tidak dapat dikurangi atau dihapuskan. Padahal hak-hakitu ada karena ia manusia, dan bukan pemberian siapapun termasuk negara. Tentu bagi orang yang percaya kepada Tuhan memahamihak-hak tersebut adalah karunia dari Tuhan sang Pencipta.

SUMBER PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Pertanyaan yang harusdijawab ialah :Kenapa pelanggaran hak asasi manusiaterjadi seakan-akan tidak ada tanda berhenti? Secara sederhana dapat dijawab bahwadiIndonesia tidak terdapat kondisi minimal bagi terlindunginya hak asasi manusia. Jawaban sederhanaitu tentu akan melahirkan pertanyaan berikut : kenapatidak ada kondisi minimaltersebut? Setidak-tidaknya kita mencatat beberapa akar masalah dari kondisi yang demikian sbb:

Pertama : Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia mestinya ditempatkan dalam konstitusi. Perdebatan soal ini sudah tampak dalam sidang-sidang BPUPKI/PPKI. Dalam sidang-sidang tersebut Hatta dan Yamin meminta agar dalam pasal-pasal pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia secara tegas dimuat dalam UUD . Soepomo dan Sukarno menentangusul tersebut dengan alasan bahwa perlindungan hak asasi manusiaitu sebagai pikiran yang individualistis dan liberal dan“bertentangan dengannilai-nilai kekeluargaan yang menjadi asas masyarakat Indonesia. Lebih lanjut mereka berkata, Negara justru akan melindungi semua warganya. Tetapi Hatta menjawab bahwaadalah perlu jaminan penghormatan hak asasi manusia dalam konstitusi. Memang akhirnya ada pasal-pasal kompromi yang perumusannyatidak memberikan perlindungan yang tegas (kebebasanberserikat,dst). Paham integralistik ini amat disukai penguasa, karena dengan mudah dipakai sebagai alasan pembenaran pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana yang dapatkita rasakan dan saksikan selamarejim orde baru. Alasan-alasan seperti demi kepentingan umum,demi kepentingan rakyat banyak, demi kepentingan pembangunandst, digunakan untuk pembenaransikap atau tindakan yang tidak menghormati hak asasi manusia.

Kedua: Kekuasaan Negara khususnya dominasi kekuasaan pemerintah yang amat kuat sehinggatidak dapat diawasi secara efektip. Indonesia memang punya DPR(legislatip), tetapi puluhan tahun kerjanya hanya menjadi stempel karet untuk melegalisasi kebijakan pemerintah. Indonesia punya Peradilan (judikatip) dari MA sampai PN,tetapi tidak bebas. Peradilan dikendalikan oleh Pemerintah. Sehingga supremasi hukum hanyaisapan jempol. Kekuasaantersentraliser di tangan seorang yang menjadi pucuk cabang pemerintahan. Proses ini tidak lepas dari peranan ABRI di bidang sosial dan politik. Padahal sifat kekuasaan adalah korup, sebagaimana yang telah berulang-ulang dibuktikan oleh sejarah kemanusian dimanapun. Patut disebut adagium yang populer : Power tend to corrupt, absolute power absolutely corrupt (Lord Acton). Tanpa pengawasan yang memadai pemegang kekuasaan akan korup, akan menyelewengkan kekuasaan yang ada ditangannya ( abuse of power) untuk mempertahankan kekuasaanya, memperkayadiri dan kaki-tangannya.

Ketiga : Lemahnya masyarakat yang terorganisasikan dalam berbagai lembaga. Proses pelemahan masyarakat( sehingga tak dapat mengawasi kekuasaan) bermula dari trauma peristiwa 1965. Penguasa Orde baru telah memanfaatkan keadaantersebut dengan proses depolitisasi masyarakat. Politik seakan-akan sesuatu yang jahat dan berbahaya. Lima(5) paket UU Politik telah menghabiskan kemandirian organisasi atau lembaga-lembaga dalam masyarakat. Social controle menjadi mandul. Berbagai organisasi atau lembaga masyarakat yang mengambilposisikritis telah menjadi korban intervensi dan kooptasi oleh Negara. Begitu juga kebebasan pers dipasung, sehingga kehilangan fungsi pengawasannya. Disamping itu ada dua masalah dalam tubuh masyarakat yang turut memperlemahposisi masyarakat yakni : masalah hubungan antar umat beragama dan hubungan denganetnis Cina ( Tionghoa).

Keempat: Strategi Pembangunan Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dijalankan dengan bayaran hak asasi manusia. Proses trade-offini berdalih bahwa hakhak asasi manusia kelak akan dipenuhi dan dihormati setelah pembangunan ekonomi berhasil. ( kasus Kedung Ombo,kasus Asahan, Indorayon dst). Pembangunan yang mengabaikan asas demokrasi( persisnya keadilan) telah dilakukan d&ngan sengaja “ dengan alasan bahwasetelah pertumbuhan ekonomidicapai, maka hasil pembangunan akan menetes juga ke bawah( trickle down efect). Tetapi setelah melakukan pembangunan 30 tahun yang dicapai adalah jurang yang mengangaantara simiskin dan sikaya, antara pusat dan daerah. Kerusakan lingkungan yangluar biasa, hutang LN yang amat besar (terbesar di dunia). Ketika krisis moneter melanda beberapanegaradi Asia Timur, maka satu tahun kemudian tinggal Indonesia yang masih berkubang dalam lumpurkrisis. Kelemahan-kelemahan ini dan kemungkinan bahayanya bukan tidak disadari sejak awal, namun suara-suara yang memberi peringatan telah diabaikan, kalau tidak dibungkam dan ditindas. Lihatlah contoh sederhana: Protes petani yang tanahnya digusur dengan cepat dibungkam dengan cap (stigma) PKI, GPK, Anti Pembangunan,dst.

PERKEMBANGAN PARADOKSALDI MASA TRANSISI

Setelah minggirnya JBS dan BJH sebagai presiden masatransisi ( yang tak pernah secara terbuka diakui, malahan kabinetnya diberi nama Kabinet Reformasi pembangunan) segera memberi tanggapan terhadapkritik dan tuntutan terhadap berbagai masalah hak asasi manusia. Berbagai langkah seperti pengesahan RANHAM 1998-2003, Tap MPR: Piagam HAM,ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Pembebasan sebagian Tapol, dst. Langkah-langkahini secara retorik menunjukkan pemajuan hak asasi manusia yang berarti, tetapi pemajuanini paradoks denganrealitas sehari-hari. Perlindungan hak asasi manusia yang diharapkantidak terjadi. Berbagai pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintah( sipil & militer) terus berlangsung dan tak mendapat penyelesaian yang tuntas. Untuk tahun 1998 saja kita mencatat berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berkualifikasi pelanggaran berat tidak mendapat penyelesaian antara lain: kasus penculikan aktivis, kasus penembakan mahasiswatrisakti, kerusuhan Mei, Kasus Semanggi, dst. Begitu juga pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat horisontal yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atas kelompok masyarakatlainnya ( kasus ketapang, kupang, ambon/maluku, sambasdst) justru meningkat. Akhirnya harus juga dicatat ketidakjelasan sikap pemerintah atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang besar danberat seperti yang terjadi di Aceh, Papua Barat, Timor Loro Sae, Lampung, tanjung Priok, bahkan peristiwa lanjutan G-30-S. Apakah pelanggaran-pelanggaran tersebut akan diselesaikan, atau cukup dengan meminta maaf, serta meminta kita berlapang dada untuk melupakannya.

REFORMASI UNTUK PEMAJUAN DAN PERLINDUNGANHAKASASI MANUSIA

Bila prosestransisi berjalan sesuai dengan jadual, maka diharapkan prosestransisi akan berakhir dengan terbentuknya satu pemerintahan yang dipercaya rakyat lewat Pemilu. Pemerintah baru nantinya mempunyai tugas pokok untuk membangunkondisi minimalbagi terlindunginya hak asasi manusia.Ini berarti 4 akar masalah yang disebut di atas harus ditangani. Untuk itu dibutuhkan:

a. Jaminan Konstitusional, dimana harus secara tegas dimuatnya ketentuan-ketentuan yang menjamin penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dalam UUD. Untuk itu langkah amandemen UUD 45 harusdilaksankan. Begitu juga proses harmonisasi perundang-undanganharusdilaksankan, dalam manaperaturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hak asasi manusiaharus diganti, dan peraturan undang-undang yang diperlukan untuk melindungi hak asasi manusia harus dibuat.

b. Separasi kekuasaan cabang eksekutip, legislatip dan judikatip. Dengan demikian dicegahnya kekuasaan cabang eksekutip mendominasi cabang judikatip dan legislatip. Asas Supremasi Hukum hanyabisa diwujudkanbila ada seperasi kekuasaan. Dalam kerangkaini juga dekonsentrasi kekuasaan harus dilakukan, sehingga kekuasaan tidak terpusat di ibukota. Persoalan lain yang tak kurang pentingnya adalah penghapusan dwifungsi ABRI. Sehingga angkatan perang sungguh-sungguhprofesionalsebagai alat pertahanan kearnanaria.

c. Masyarakat yang kuat. Meskipun ada jaminan konstitusional dan adanya separasi kekuasaan, namun kalau masyarakat yang terorganisasikan dalam lembaga-lembaga di masyarakat masih a-politis dan tidak mengembangkan solidaritas yang kokoh, maka pelanggaran hak asasi manusiabisa saja terjadi, tanpa penyelesaian yang tuntas. Patut dicatat bahwa pada tanggal 9 Desember 1998, PBB telah menyetujui Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia( Decleration of Human Rights Defender), di mana dinyatakan bahwasetiap orang, maupun organisasi masyarakat mempunyai hak untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

d. Strategi pembangunan yang dapat mengembangkan kekuatan ekonomirakyat, dengan bersandarkan kepada kemandirian. Jurang antara sikaya dan simiskin, antara pusat dan daerah harus secara khusus ditangani dengan berbagai kebijakan yang secara sengaja disusun untuk mengurangi jurang tersebut. Pembangunan yangsentralistik harus ditinggalkan sehingga perencanaan pembangunanharus dikembalikan ke daerah dan wilayah, sedangkan Pusat hanya bertindak sebagai koordinator dan fasilitator. Termasuk dalam hal ini adalah keputusan pengelolaan sumber daya alam harus ebih ditentukan oleh daerah atau wilayah.

PEMILU SATU LANGKAH AWAL

Pemilu sebagaisalah satu wujud kehidupan demokrasi, merupakan awal kepada dimungkinkannyareformasi menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita ..menyadari bahwa UU Pemilu dibuat oleh Pemerintah dan DPR yang legitimasinya masih diperdebatkan. UU pemilu 1999 lebih baik kalau dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya. Namundari segi ideal Pemilu 1999 masih mempunyaikekurangan. Atas alasan tidak adanya legitimasi Pemerintah dan DPR maka aktivis mahasiswa menolak Pemilu 1999. Persoalannya bagi banyak pihak sekarang ini adalah memilih jalan yang kurang buruk dari antara yang buruk-buruk. Sehingga banyak kalangan termasuk PRDsebagai partai yang revolusioner — menerima Pemilu 1999. Pemilu memang langkah awal- yangbila berhasil dilaksanakansecarajujur dan bersihyang harusdiikuti dengan langkah-langkah lanjutan yang tak kurang pentingyadari Pemiluitu sendiri. Kita harusrealistis. Pemilu bukan lampu Aladin yang akan menyelesaikan semuasoal yang kita hadapi sekarang ini. Pemilu hanya satu langkah, satu kesempatan untuk terbentuknya Pemerintahan yang dapat dipercaya rakyat, yang dapat meneruskan proses pembaharuan dalam kehidupan bangsa dan negara. Sebagai kesempatanbisasaja berhasil dan bisa tak berhasil. Semua terpulang kepadarakyat Indonesia.

Bila memang seseorang memutuskan akan memberi suaranya dalam Pemilu yang akan datang, haraplah dia menyadari bahwasuaranyaitu mulia. Oleh karenaitu ia hendaknya sungguh-sungguh memberi suaranya kepada Partai yang mempunyai kemungkinan bekerja dan berjuang bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Partai yang menjunjung tinggi asas persamaan hak dari setiap orang, tanpa membedakan latar belakang keyakinan, agama, suku, warna kulit dan gender.

Ulujami, 30 April 1999.

You may also like

Leave a Comment