ALUMNUS Fakultas Hukum UIini, selain anggota 4 Komnas HAM juga adalah sebagai Sekretaris INFID (International NGO’s Forum on Indonesian Development). Putra Batak, Sumatera Utara, menganggap perbincangan masalah suksesi disalahartikan sebagai perbincangan mengenaipribadi presiden. “Persoalan sekarang ini disebabkan oleh orang-orang mempersonalisasikan kekuasaan,” kata mantan aktivis angkatan 66 kepada Supriyanto dari HIMMAH yang mewawancarai di kediamannya Kebayoran Lama, Jakarta Barat, akhir bulan Juli lalu. Berikut petikannya:
Menurut Anda, idealnya proses pergantian kepemimpinan nasional itu seperti apa?
Idealnya semua rakyat terlibat dalam pemilihan. Tapi sistem kita UUD 1945 kita sudah menentukan bahwa yang langsung melakukan pemilihan tersebut adalah wakil-wakilnya. Namun, itu tidak menutup persoalan sebenarnya, tidak menutup peluang sehingga kesempatan rakyat turun untuk: terlibat dalam proses itu. Maksud saya, umpamanya pencalonan presiden jauh hari sebelum SU MPR. Dengan adanya calon-calon tersebut, maka rakyat dapat menilai apakah calon-calon tersebut cocok atau tidak cocok, mampu atau tidak mampu. Jadi, walaupun MPR yang memilih, namun ada peluang kita sebenarnya melibatkan lebih banyak rakyat atau seluruh masyarakat dalam proses tersebut. Ternyata, sekarang inikan selalu dicegah dengan mengatakan itu hak MPR, nanti saja pada waktu sidang MPR. Padahal (anggota MPR,– red.) menilai saja nggak ada, menyatakan ketidaksukaannya juga nggak mungkin. Yang terjadi, meski diumumkan pencalonanitu,tapi biasanya sudah dipilih. Semuanyaselalu begitu, secepat itu.
Bagaimana dengan mekanismetentang lembaga kepresidenan itu, sepertinya dewan kurang transparan?
Sebenarnya, mekanisme itu kan sesuatu yang bersifat in- strumental yang harus dirubah sesuai dengan perubahan jaman.Itu dulu. Tapi sekarang kan tidak. Instrumen itu bukan seperti konstitusi, yang tidak bisa diubah-ubah. Sampaisaatini, menurutsaya,proses pencarian presidenitu tidak transparan. Umpamanya, melalui tiga kekuatan politik yang diakui, mestinya mereka yang melibatkan masyarakatdalamproses itu. Jangan dulu masuk ke persidangan DPR atau MPR.Jadi, pada kehidupanpolitik harian dulu. Sampai sekarang, kita belum tahu siapa yang diunggulkan oleh PPP, Golkar dan PDI. Siapa calon presiden menurut mereka? Nggak — ada. Yang ada adalah bisik-bisik diluar, percakapan yang tidak formal yang sangathati-hati dilakukan.
Berarti untuk pengajuan calon presiden itu tidak a d a mekanisme yang menjamin partisipasi rakyat?
‘Yang kita harapkan dapat lebih banyak melibatkan rakyat tidak ada. Yang terjadi adanya anggapan, bahwa kalau cepat- cepat dikeluarkan menimbulkan berbagai masalah. Nah, perangkat mengasumsikan rakyat kita tidak dewasa. Dalam pikiran merekarakyatkita tidak dewasa menerimatiga atau empat calon, atau nanti rakyat masyarakat akan terpecah-pecah danlain sebagainya. Pikiran ini masih ada pada elit yang – mengganggap masyarakat tidak dewasa. Sebenarnya, pendapat mereka- sendiri yang tidak dewasa. Alasan-alasan semacam ini juga dipakai kolonial Belanda jaman dulu, iya kan?
Kalau begitu, pada konteks sekarang tidak relevan?
Itu jelas. Itu bertentangan dengan klaim elit politik yang mengatakan tentang kemajuan pembangunan selama 30 tahun ini. Di satu pihak, dia mau mengklaim kemajuan yang luar biasa, tapi di pihak lain berpendapat bahwa masyarakat belum siap. Ini kontradiktif.
Anda mengatakan sampai sekarang “partai politik belum ada yang mencalonkan presiden. Apakah ada sematam jalur- jalur informal diluar mekanisme?
Ya, itu dia. Permasalahannya kurang keterlibatan. masyarakat. Padahal semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, itu semakin demokratis. Dengan tidak pernah dilibatkan secara publik tapi dilakukan secara diam-diam, itukan mengurangipartisipasi masyarakat ‘ dalamprosesi. Lobi boleh, kasak-kusuk boleh. Tapi negeri ini tidak boleh diatur hanya dengan lobi dan kasak kusuk, harus adaketerlibatan publik. Menurut saya, bila keterlibatan publik secara terbuka tidak — dibiasakan terjadi, maka masyarakat juga ‘ tidak akan terbiasa berbeda pendapat.
Artinya, yang lebih dominan atau mempunyai pengaruh yang kuat itu justru pada tingkat informal?
Pada tingkat kasak-kusuk dan lobi saja. Suasananya,sering dikatakan,tidak mau menyinggung perasaan presiden yang sekarang. Nanti dianggap pencalonan itu menyinggung presiden. — Inikan bukan persoalan pribadi. Persoalan sekarang ini disebabkan oleh orang-orang yang mempersonalisasikan kekuasaan. Sehingga ketika kita mendiskusikan jabatan itu, orang merasa itu mendiskusikan pribadinya.
Apakah ini indikasi eksekutif lebih berkuasa dari legislatif?
Itu jelas. Kecenderungan itu sudah lama. Tidak adanya (DPR — red.) atau tidak pernah ‘ menggunakan hak inisiatifnya, itu salah satu indikator mendukung pernyataan tadi. Bagi saya, itu bisa mendorongkrisis konstitusi. Di -eksekutif. Selama “dia negara kita pembagian kekuasaan bukan dalam tatanan teori, tapi pada tatanan praksis. Bagaimanapun juga, kekuasaan sekarang menumpuk pada cabang terkonsentrasi pada kekuasaan eksekutif, maka otomatis badan-badanlainnya itu berada dalam posisi di bawah.
Apakah karena alasan bahwa Demokrasi Pancasila nggak mengenal triaspolitika?
Memang tidak mengenal trias politika. Tapi, Demokrasi Pancasila tidak menganut otoriterisme. Di mana titik seimbangnya? Di satu pihak tidak menganggap trias politika, tapi di pihak lain juga menolak militerisme, otoriterisme, diktatorisme. Mestinya kalau dua kutub seperti itukan, ini ditolak, itu ditolak. Tapi, titik keseimbangannya tidak ini, tidak itu. Kalau yang terjadi cenderung kearah otoriterisme itu juga sudah bertentangan dengan Demokrasi Pancasila.
Apakah ada konsentrasi kekuasaandi satu tangan ?
Itu eksekutif. Dan puncak dari eksekutif itu presiden.
Berarti pemilu tidak ada gunanya karena tidak melahirkan perubahan fundamental?
Bukan, pemilu ‘itu membuka kesempatan terjadinya perubahan. Pemilu membukakesempatan ke arah suksesi. Selama pemilu itu tidak memberi kesempatan, .maka.nilai pemilu itu berkurang. Melihat proses pemilu yang lalu, bahkan orang mengatakan tidak memungkinkan perubahan. Dia (pemilu — red.) hanyaterarah kepada legitimasi. Memperkuat yang sudah ada.
Menurut anda apakah perlu pembatasana periodisasi jabatan presiden?
Perlu sekali. Kenapa harus ada pembatasan gubernur, bupati, camat? Artinya di sini kan ada logika yang benar. Kalau tidak, ngapain dibatasi. Mestinya jangan dibatasi dong, seperti presiden juga.
Tapi selama ini yang digunakansebagai basis legitimasinya kan UUD 1945? Bagaimana intepretasinya?
Ya,itu tidakinterpretasi, dapat dipilih kembali, iya kan? Sebab, saya juga bisa berargumentasi, mengatakan bahwa UUD 1945 juga tidak dikatakan dan tidak merumuskan dapat dipilih kembali, dipilih kembali lagi hingga seterusnya, tidak kan? Yang tertulis itu kan, cuma sekali. Tapilihat perbedaannya,sekarang interpretasi yang dianggap benar adalah interpretasi pemegang kekuasaan kan, bahwa itu tidak ada batasannya.
SU MPR 1998 mendatang apakah menghasilkan perubahan yang sangat berarti?
Sulit kalau kita melihat dari keadaan yang sekarang. Kita tidak melihat akan ada perubahan yang berarti karena transparansi dalam proses politik kita hampir tidak ada. Begitu pula prediksi- prediksi kita. Jadi, kita hidup dalam satu kehidupanpolitik yang suka terkejut- terkejut. Waktu itu. kan sehabis pemilu tiba-tiba reshuffle kabinet, itu kan juga keterkejutan juga.
Apakah presiden mendatang, siapapun orangnya, mesti membawa reformasi politik?
Ya. Siapapun yang menjadi presiden kalau dia masih mau melihat negeri kita tidak tercabik-cabik, maka dia harus melakukan deregulasi politik. Atau kita harus melakukan reformasi. Kalau tidak, peluang kita untuk tercabik-cabik, terkoyak-koyak makin besar. Berhubungan dengan masalah-masalah demokrasi dan ketidak-adilan, siapapun dia!
M. Ramadhani
*HIMMAH Edisi I/Thn. XXX/Oktober 1997