Pendahuluan
Penegakanatau tepatnya perlindungan hak asasi manusia sejak tahun 1999 telah diperkuat dengan perlindungan legal melalui UU 39/1999 dan bahKejagungn mendapat perlindungan konstitusional dengan amandemen ke-2 UUD 1945 tahun 2000. Dalam amandemen tersebut 10 pasal baru dirumuskan yang memuat pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu adalah satu hal sudah seharusnya bagi kejahatan berupa pelanggaran berat hak asasi manusia dibentuk pengadilan yang khusus untukitu, yakni: Pengadilan Hak Asasi Manusia( Psl. 104, UU 39/1999) yang diatur dengan UU 26/2000.
Meskipun UU 26/2000 baru di undangkan tanggal 23 November 2003, namun Penyelidik sebagai langah pertama dalam proses peradilan hak asasi manusia telah dilakukan sejak tahun 1999 dalam kasus Timor Timur dan kasus Tanjung Priok tahun 20007. Kasus Timor Timurtelah selesai diadili oleh Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim pada tingKejagungt pertama pada tanggal 5 Augustus 2003, dan Kasus Tanjung Priok berKejagungsnyatelah diserahkan penuntut ke pengadilan tanggal 19 Augustus 2003. Selain itu Kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura tahun 2000, akan segera diadili di Pengadilan HAM Makasar. Laporan Penyelidik Kasus Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2 (TSS) yang dilakukan oleh Komnas HAM masih terkatung-katung di tangan Kejagung RI. Sementara penyelidikan lainnya oleh Komnas HAM yang masih berlangsung adalah Kasus Kerusuhan Mei 1998. Seluruh proses tersebut di atas memberi kesempatan kepada usaha untuk menarik berbagai pelajaran menyangkut perbaikan bagi perlindungan hak asasi manusia di masa depan, dan secara khusus untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam UU 26/2000.
Tahap Penyelidik:
Komnas HAM adalah satu-satunya institusi yang memulai proses prosekusi dengan melakukan penyelidikan dalam hal dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik atas kejahatan yang terjadi sebelum dan sesudah UU 26/2000 diundangKejagungn. Dari beberapa Penyelidik pro justicia yang dilaku Kejagung oleh Komnas HAM makakesulitan utama yang ditemukan dapat diuraikan sbb:
- Penafsiran pasal 43 UU 26/2000
- Sub-poena power
- Konflik Jurisdiksi
Penyelidik Komnas HAM telah dua Kejagungli terhambat dalam meminta keterangan dari anggota TNI termasuk purnawirawannya, yakni dalam Kasus TSS dan Kerusuhan Mei. . Mereka menolak hadir dengan alasan bahwaproses penyelidikan oleh Komnas HAMuntukpelanggaran berat hak asasi manusia sebelum UU 26/2000 baru dapat dilakukan bila Pengadilan HAM Ad hoc telah terbentuk. Alasan ini mulai dikemukakan ketika Pansus DPR Kasus TSS merekomendasikan bahwa dalam 3 peristiwa itu tidak ada pelanggaran berat hak asasi manusia. DPR memang telah melampau kewenangannya dengan memberi pendapat yang bersifat judicial, tetapi argumentasi yang dikemukan oleh anggota TNI menolak hadir memberi keterangan untuk keperluan penyelidikan merupakan obstrtuction of justice. Karena penyelidikan oleh Komnas HAM barulah tahap untuk mencari bukti permulaan yang cukup tentang ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat ( Psl 20). Sehingga bila disyaratkan dulu adanya Bengadilan HAM Adhoc baru dapat dilakukan penyelidikan , maka Pengadilan itu bisa tak berguna, karena belum tentu diperoleh bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran berat hak asasi manusia dalam tahap penyelidikan untuk di ikuti dengan penyidikan.
Pengadilan HAM Ad hoc diusulkan oleh DPR untuk dibentuk menurut penjelasan Psl 43 “..mendasarkan pada dugaantelah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Dugaan ini justru baru ada bila telah ada penyelidikan! Keputusan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Adhoc sejatinya adalah keputusan politik. Hal ini juga sejajar dengan praktek internasional dimana keputusan pembentukan pengadilan ad hoc international dilakukan oleh Dewan Keamanan PBBsetelah ada dugaantelah terjadinya kejahatan yang serius berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB.
Kewenangan Komnas HAMuntuk memanggil seseorang dengan upaya paksa diatur dalam Psl 95, UU 39/1999, namun penjelasan pasal ini Psl 95 menjelaskan bahwa pemanggilan paksa didasarkan pada Psl 140 (1) dan (2), Psl 141 (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) atau pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura. Kedua ketentuan perundang-undangan ini bersifat perdata, dan bila yang bersangkutan tetap tidak menuruti perintah pengadilan maka kepadanya hanyadijatuhkan denda. Pada hal dalam konteks pelanggaran berat hak asasai manusia, yang diselidiki adalah kasus pidana! Bandingkan dengan sanksi yang dikenakan pada seseorang yang tidak bersedia hadir bila dipanggil oleh DPR untuk diminta keterangannya. Dalam UU Susduk DPR , mereka yang menolak memenuhi panggilan dari DPR diancam kurungan..hari.
Dalam Kasus pembunuhan kilat relawan RATA di Aceh oleh aparat keamanan, Desember 2000. Komnas HAM memutuskan akan melakukan Penyelidik sesuai dengan kewenangannya yang diatur oleh UU 26/2000 Karena mendugatelah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Rencana tersebut terpaksa dibatalkan karena kasus tersebut telah selesai disidik oleh Polri dan berkasnya telah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Aceh. UU 26/2000 tidak mengatur dengan jelas bila terjadi hal yang demikian, apakah Komnas HAM masih dapat melakukan penyelidikan, serta meminta pengalihan perkara dari Kejaksaan. Komnas HAM juga tidak punya kewenangan untuk memerintahkan pihak kepolisian untuk menghentikan penyelidikan atau penyidikan yang dilakukan dalam satu perkara, bilamana Komnas HAM mendugatelah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia.
Tahap Penyidikan dan Penuntutan
Penyidikan perkarara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk pelaksanaan tugas tersebut dapat diangkat penyidik ad hoc (Psl 21 (1,3) UU 26/2000). Psl 23 (1) menentapkan bahwa penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk pelaksanaan tugas tersebut dapat diangkat penuntut umum ad hoc Psl 23 (2). Hasil penyidikan dan penuntutan yang sudah dapat dievaluasi adalah dalam Kasus Tim-Tim yang telah selesai diperiksa di di Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim. Hasil penyidikan Kejaksaan Agungternyata sangat berbeda dengan ..laporan KPP HAM? dan laporan-laporan Penyelidik lainnya seperti International Committee of Inguiry on East Timor) ICIRT dan Serious Crimes Unit of East Timor
Lemahnya penyidik Kejagungn oleh Kejaksaan Agung menunjukkan dengan jelas penyakit sistemik yang menjangkiti Kejaksaan Agung, sebagaimana yang di simpulkan dalam Final Report of the Audit of the Public Prosecution Service of the Republic of Indonesia (FRAPS) tahun 2000, antara lain menyangkut:
- Kompetensi dan Akuntabilitas
- Militerisasi Kejaksaan Agung & Alat Kekuasaan Politik
Sistem Hukum Indonesia secara tipikal tidak bekerja untuk memajukan mereka yang punya kompetensi, karena baik jaksa maupun hakim dinilai berdasarkan ukuran subyektif yakni” loyalitas, kejujuran dan kerjasama” bukan keberhasilan dalam kualitas keputusan maupun keberhasilan penuntutan”. Jaksa yang baik adalah yang mengikuti perintah dariatas.
Struktur birokrasi yang kompleks dari Kejaksaan Agung serta lemahnya budaya akuntabilitas, membuat amat sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas penuntutan yang gagal. Kegagalan ini bisa diakibatkan oleh “ persiapan yang buruk dari penuntut, keputusan yang salah dari atasannya, atau strategi yang buruk dari penuntut atau oleh atasannya” Inilah salah satu persoalan yang muncul ketika Kejaksaan Agung mengumumkantersangka kasus Tim-Tim sebanyak 19 orang, dan semua pejabat tinggi militer yang bertanggungjawab dalam aras kebijakan tidak ada yang menjadi tersangka. Kejaksaan Agung tidak menjelaskan kepada publik tentang perbedaan yang begitu besar dengan “hasil Penyelidik KKPPHAM Tim-Tim.
Struktur hirarkis yang kaku dari Kejagung, membuat pejabat bawahan tidak akan bicara kalau atasan ada, perintah datang dari atas, diskresi terbatas, prakarsa bukan sesuatu yang dihargai, sanksi bagi kesalahan dapat diubah. Aturan yang rinci, adanya persetujuan atasan atas rencana prosekusi dan seringnya penilaian membuat sempitnya kesempatan untuk diskresi di semua aras.
Tidak boleh dilupakan bahwa Kejagung untuk puluhan tahun adalah alat untuk menegakkan kebijakan pemerintah dan tidak harus menegakkan hukum. Begitu juga Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda selama puluhan tahun dijabat olehanggota militer, membuatistitusi ini sangat akomodatif terhadap kultur militer. Hal ini tampak, pejabat yang berpakaian ala militer, upacara ala militer, cara memberi salam ala militer dst.
Dalam struktur yang seperti itu, jaksa yang ditugaskan sebagai penyidik dalam prakteknya melihat ke atasannya. Sikap atasan secara langsung atau tidak langsung akan memberi tahu sejauh manaprioritas satu kasus harus disidik, dan dituntut.
Dengan melihat kehadiran 1 atau 2 orang penuntut dalam persidangan kasus-kasus Tim-Tim berhadapan dengan 10 s/d 15 pembela hukum para terdakwa, denganjelas dapat dilihat bahwa Kasusini bukan prioritas bagi Kejagung, karena Kejagung juga melihat tanda-tanda sejauh mana pemerintah dan kekuatan-kekuatanpolitik menyikapi kasus itu.
Dengan demikian alokasi dana juga amat kecil untuk penyidikan dan penuntutan. Pemeriksaan saksi melalui tele-conferemce hanya dapat diadakan karena desakan yang kuat dari luar tubuh Kejaksaan Agung, dan juga adanya pihak lain yang memberi sokongan dana untuk membiaya tele-conference itu.
Perlakuan dalam penyidikan dan penuntutan yang memperlakukan kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai pidana ringan, tampak dari berbagai keadaan seperti: para tersangKejagung dan kemudian terdakwa tidak pernah di tahan’, begitu juga usaha yang minimal dalam menghadirKejagungn saksi maupun bukti-bukti material lainnya dalam Kasus Tim-Tim.
Oleh karenanya kelemahan penyidikan dan penuntutan terutama terletak akibat dari penyakit yang sistemik dari Kejaksaan Agung, dan bukan terletak dalam kelemahan UU 26/2000.
Kelemahan yang bersifat struktural justru pada pengaturan UU 26/2000 yang meletakkan dua fungsi, penyelidikan dan penuntutan di satu institusi yang sangat hirarkis seperti Kejaksaan Agung. Dalam keadaan demikian tidak dimungkin satu hubungan antara penyidikan dan penuntutan yang bersifat check and balance.
Tentang hubungan kerja Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (Kejagung)
Dari sejak kasus Tim-Tim hubungan kerja antara Komnas HAM dengan Kejagung hampir tidak ada. Satu-satunya pertemuan antara tim penyidik Kejagung dengan Komnas HAMadalah pertemuan untuk menjelaskan bagaimana membaca data base KPP HAM Tim-Tim yang menggunakan sysytem HURIDOCS. Selama penyidikan oleh Kejagung tidak pernah ada permintaan berhubungan denganhasil penyelidikan Komnas HAM.
Hubungan kerja yang amat menganggu terjadi dalam kasus TSS. Laporan penyelidikann Komnas HAM pada awalnya dikembalikan untuk dilakukan perbaikan terutama dalam format berita acara pemeriksaan. Setelah diperbaiki kemudian laporan diserahkan ke Kejagung. Tidak lama kemudian laporan itu dikembalikan dengan alasan baru yang belum pernah dikemukan Kejagung dalam kasus Tim-Tim, T.Priok dan Abepura yakni penyelidik ad hoc harus diambil sumpahnya. UU 26/2000 tidak mensyaratkan hal tersebut. Memang untuk penyidik ad hoc disyaratakan untuk mengangkat sumpah sebelum melakukan tugasnya ( Psl 21 (3). Permintaan Kejagung ini ditolak Komnas HAM.
Dalam kasus yang sama penyelidik ad hoc juga meminta Kejagung agar mengeluarkan perintah penyitaan berbagai dokumen dari instansi TNI dan Polri yang berhubungan dengan kasus TSS”, permintaantersebut tidak pernah dipenuhi.
Tahap pemeriksaan di pengadilan
Berbagai persoalan yang dihadapi dalam tahap penyidikan dan penuntutan dihadapi juga selama pemeriksaan di pengadilan. Independensi Pengadilan HAM ad hoc juga dipertanyakan berhubung dengan lemahnyaindependensi dari semua sistem peradilan di Indonesia’?. Proses persidangan kasus Tim-Tim di pengadilan menjadi gambaran kehendak dan komitmen politik pemerintah atau kekuasaan politik lainnya dalam menyelesaikan kejahatan terhadap kemanusian yangterjadi di Timor Tirftur tahun 1999.
Prioritas yang rendah dari pemerintah secara nyata tercermin dari dukungan adminsitrasi yang sangat lemah untuk Pengadilan HAM Adhoc. Kebutuhan yang paling pokok dari hakim tidak tersedia seperti, ruang kantor, komputer, foto copy, kertas, staf pendukung adminitrasi apalagi untuk kebutuhanriset tidak ada. Bahkan honor bulanan para hakim pertama kali dibayarsetelah 8 bulan persidangan berjalan.
Ketentuan tentang pengangkatan hakim ad-hoc untuk Pengadilan HAM disamping hakim karier sebenarnya didasarkan kepada pemikiran bahwa hakim ad hoc, pertama, akan menambahberbagai pengetahuan baru berhubung dengan hukum hakasasi manusia dan hukum humaniter internasional yang dibutuhkan dalam mengadili kejahatan terhadap kemanusian, sebagaisatu extraordinary crime. Kedua, hakim ad hoc belum atau tidak mengidap penyakit sistemik pengadilan pada umumnya.
Dari rekruitmen hakim ad hoc ternyata hanya beberapa orang yang mempunyai pengetahuan yang memadai tentang hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Oleh karena itu tujuan pengangkatan hakim ad hoc tidak sepenuhnya tercapai.
Selain itu hakim karier yang ditunjuk sebagai anggota majelis hakim dalam Pengadilan HAM Adhoc Tim-Tim, ternyata tidak dibebaskan dari tugas-tugas mengadili perkara lain. Sehingga konsentrasi untuk mengadili kejahatan yang luar biasa tidak ada.
Dengan demikian tidaklah mengherankan bagaimana berbagai pertimbangan dan keputusan yang diambil oleh majelis-majleis hakim sangat berbeda dari satu perkara ke perkara lainnya. Penerapan doktrin-doktrin hukum seperti “sistematik atau meluas”, “tanggungjawab komandan” diterapkan secara berbeda , sehingga kefanggalan seperti dalam kasus pembebasan Tono Suratman berhadapan dengan penghukuman atasannya Adam Damiri dapat terjadi. Padahal kedua-duanya dituntut atas dasar tanggungjawab komandan.
Kewibawaan pengadilan juga direndahkan oleh banyaknya peristiwa-peristiwa yang menyimpang dari ketentuan yang ada, seperti adanya pengunjung sidang yang membawa pestol ke ruang sidang. Kehadiran anggota TNI yang berseragam ketika terdakwa perwira tinggi TNI di periksa . Belum lagi teriakan-teriakan pengunjung yang mengecam hakim atau memberi dukungan bagi terdakwa. Semua itu menunjukkan bagaimana pengadilan di intimidasi secara nyata.
Kehadiran saksi korban dipersidangan yang sangat sedikit pertama-tama di sebabkan oleh persiapan yang sangat tidak memadai dari jaksa penuntut. Beberapa saksi korban menolak datang ke Jakarta karena alasan keamanan. Bahkan saksi korban yang berani datang ke Jakarta dari Timor Timur merasakan intimidasi baik di luar ruang sidang maupundi dalam ruang sidang.
Sering terjadi Hakim memerintahkan penuntut untuk menghadirkan saksi korban, tapi tidak terpenuhi”. Karena persidangan sudah harus rampung dalam 180 hari’”, makasaksi lain yang diperiksa terlebih dahulu, dan saksi-saksi tersebut keterangannyajustru sering meringankan terdakwa.
Kurangnya bukti-bukti yang disampaikan penuntut dalam persidangan sering ditimpakan sebagai kesalahan dari KPP HAM Tim-Tim, padahal data-data yang dikumpulkan KPP HAM Timtim amat banyak untuk mendukung pembuktian adanya kejahatan yang sistematik atau meluas yang dapat ditelusuri dari daftar peristiwa, pelaku, korban dan lain-lain. Berbagai dokumen yang menunjukkanketerhubungan TNI dengan milisi telah disebut dalam laporan KPP HAM Tim-Tim dan begitu juga berbagai dokumen yang dimiliki oleh UNTAET. Dokumen-dokumenitu sebenarnya dapat diminta oleh Kejagung sesuai dengan Memorandum of Understanding (MOU)antara UNTAET dan Jaksa Agung RI tanggal 5 April 2000. Haruslah pula diingat bahwa tugas Komnas HAM hanyalah sampai mengumpulkan bukti permulaan atas dugaan adanya pelanggaran berat hak asasi manusia, sedangkan pengumpulanbarang bukti adalah tugas penyidik yakni Kejagung.
Mengevaluasi pemeriksaan di persidangan memang tidak semata-mata dengan melihat keputusan persidangan: berapa yang dihukum dan berapa yang dibebaskan’”. Walaupun hal itu penting, namun yang lebih penting adalah melihat apakah proses persidangan tersebut berjalan secara fair dan tidak memihak.
Dari uraian diatas tampaklah jelas bahwa dari proses pengadilan kasus Tim-Tim yang berjalan sejak April 2002 hingga Augustus 2003, dapat kita simpulkan bahwa keadilan tidak dapat ditegakan.
Penutup
Persidangan kasus-kasus di Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim tidaklah terlepas dari keadaan politik riel yang ada. Komitmen politik Pemerintah yang lemah dalam menyelesaikan kasus kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi di Tim-Tim tahun 1999, tergambar dalam proses persidangan terutama dalam menilai kualitas penyidikan dan penuntutan yang sangat lemah oleh Kejagung.
Para hakim Pengadilan HAM Ad hoc memang menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Selain sumber daya yang terbatas, para hakim juga berhadapan dengan opinipara pemimpin pemerintahan dan politik, begitu juga sebagian masyarakat umum yang melihat apa yang terjadi di Tim-Tim tahun 1999 adalah ekses dari jajak pendapat, dan berbagaiperistiwa yangterjadi bersifat spontan dan konflik horizontal antara pendukung integrasi dan pendukung kemerdekaan. Penuntutan tidak menggambarkan denganjelas bahwakejahatan yang sistematis atau meluas yangterjadi di Tim-Tim hanyadapatterjadi karena adanya kebijakan aparat negara (TNI/POLRI) yang mendukung, melatih dan membiaya kelompok-kelompokmilisi sehingga terjadi kejahatan terhadap kemanusian berupa pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan, perkosaan, pengungsian paksa, dan pembumi hangusan.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa Pengadilan HAM Adhoc Tim-Tim yang banyak menimbulkankritik dari para pekerja hak asasi manusia dari dalam maupun luar negeri, menggambarkan kombinasi dari ketidakmauan (unwilling) dan ketidakmampuan (unable) negara untuk mengadili secara adil dan tidak memihak kasus kejahatan terhadap kemanusia yangterjadi di Timor Timur tahun 1999.