Nama Asmara, bagi saya sangat melekat dengan drama musikal ‘Jesus Christ Superstar’, yang dipentaskan YAKOMA (Yayasan Komunikasi Masyarakat Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia).
dalam rangka menggalang dana Sidang Raya PGI 1980 di Tomohon. Pertama kali bertemu berkenalan dengannya saat menjabat Direktur Yakoma. Pertemuan di kala itu, ketika kami membicarakan rencana pementasannya, menjadikan genap 30 tahun saya berkesempatan kenal dengan Asmara, seseorang yang hati dan pikiran sangat dekat dengan tokoh dalam musikal itu.
Rock musical bermuatan interpretasi yang sangat kontekstual tentang minggu terakhir kehidupan sosok Human Rights Defender par excellence ini dipentaskan sejumlah tokoh dari dunia music. Remy Silado sutradaranya, didukung rombongan sekitar 60 anak muda sebagai penari.
Saya mengenang Asmara sebagai sosok yang tenang, murah senyum, tidak suka berteriak, akan tetapi ketika mendengarkannya, tersirat bahwa di balik ketenangan ini berkobar satu jiwa yang menyala-nyala
Sepanjang tahun itu kami kerja sama intensif, dua kali pementasan di Convention Hall Jakarta di samping mengadakan tour ke Bandung. Amatlah menyenangkan dan berkesan. Kami membangun bersama, mencipta bersama, berkoreografi bersama, bergumul bersama, sedih bersama, senang dan bangga bersama. Itulah yang saya ingat. Tentunya bukan saja musical nya yang saya maksud, tetapi terlebih faktor kebersamaan, the social factor, not only the artistic factor. Kebersamaan dengan para artis dan semua pendukung. Akan tetapi yang paling menarik adalah interaksi berbagi suka duka dengan sekitar 60 anak remaja, bersuku bangsa Sabang hingga Merauke, beragam agama, sungguh tak terlupakan. Bahkan satu tokoh dalam musical yang didasari Injil itu, diperankan seorang juara MTQ.
Saya bertolak ke Belanda bermukim di sana dan kami agak kehilangan kontak. Kami kemudian bertemu lagi pada tahun 2007, tanggal 13 September tepatnya, di Academiegebouw, Universiteit Utrecht. Setelah 27 tahun kami bersalaman lagi di halaman Academiegebouw, sore-sore saat matahari baru mulai turun. Waktu itu, Asmara datang ke Belanda dalam rangka acara sekaligus mempresentasikan The First Munir Memorial Lecture “Protect the human rights defenders”. Seperti dirinya, ia membawa presentasinya begitu tenang, tetapi tersirat intensinya berapi-api menyampaikan pesan yang memenuhi jiwanya.
Saya ikut masuk dan ikut mendengarkan. Banyak sekali Undang-undang yang dikutip, saya pikir waktu itu. Luar biasa, panjang lebar Asmara mengutarakan tentang ketimpangannya di Indonesia. Akan tetapi paling tidak terduga ketika Asmara menjawab pertanyaan seseorang saat Q&A: “Tidak perlu menjadi tokoh untuk menjadi human rights defender, kita semua bisa memenuhi peran itu, seorang guru yang mengajarkan tentang keadilan kepada murid-muridnya, adalah seorang human rights defender…. “
Sebelum dan sesudah saya kembali ke Indonesia, kami sempat bertemu beberapa kali. Asmara dan Magda menyempatkan diri hadir pada pernikahan anak sulung kami bulan September 2009.
“June, kesehatan saya agak memburuk, setelah membaik sedikit, saya mau mencoba obat herbal”, begitulah percakapan kami melalui telepon di tahun berikutnya. Seperti biasa, suaranya begitu tenang, tidak terdengar kecemasan sedikitpun. Sekitar 20 Oktober, kalau tidak salah, Remy memberitakan Asmara kurang baik dan berada di RS di China. Tanggal 28 Oktober, waktu sedang makan malam, Remy mengabarkan lagi … Asmara was no more.
Penulis: June Beck, 25 Oktober 2020