Segalak-galaknya Bang As, kalau saya cerewetin, pasti beliau nurut. Nggak ada yang berani “marahin” bang As, terutama menegur kebiasaan merokoknya yang kayak sepur itu (alias nggak berhenti-berhenti merokok). Satu hari disaat kami rapat besar (maksudnya dihadiri oleh semua partisipan dari Indonesia), beliau lagi ngobrol dengan teman2nya dan tiba2 beliau batuk2. Suara batuknya menunjukkan kalau efek rokok sudah merusak parunya dan menyebabkan banyak lendir di kerongkongannya. Saya bawakan beliau air putih dan tanpa mengindahkan orang2 disekitarnya, saya sodorkan air itu “Minum dulu Bang As, supaya nggak gatel tenggorokannya dan setelah ini, Bang As harus berhenti merokok ya, karena lihat itu batuk Bang As, sudah nggak sehat lagi batuknya, ini bukan batuk biasa … abang nggak pengen sakit lebih parah lagi khan?”.
Ditegur seperti itu di depan teman-temannya tidak membuat beliau terhina harga dirinya atau dijatuhkan kehormatannya sebagai boss. Beliau malah menjawab “Iya De … Iya”. Dan semua teman-temannya melongo, karena mungkin mereka berpikir Bang As akan marah karena “digurui” oleh anak bawang ini. Ternyata mereka keliru, bukannya marah, Almarhum malah pasrah dan nurut malah.
Dan benar saja bacaan saya, Bang As akhirnya harus menyerah kalah oleh kanker paru yang menggerogoti parunya. Efek racun rokok membuat Bang As yang perkasa dan bernyali baja itu kehilangan kekuatannya secara perlahan namun pasti. Saya sempat menjenguk beliau disaat beliau sakit dan seperti biasa, nggak enak rasanya kalo nggak “ngajarin” Alm. Bang As. Sebagai orang yang pernah menangani pasien kanker, saya kasih tips2 ke Bang As bagaimana menyikapi penyakit ini. Dan seperti biasanya, Almarhum nggak pernah membantah kalau saya sedang “nasehati”. Beliau akan manut dan selalu bilang “Iya De”. Senangnya punya boss yang pasrah kayak gini sama anak buah … hehehehe
Ada banyak kenangan indah saya bersama Bang As … kenangan yang memberikan makna pembelajaran dalam hidup. Beliau mengajarkan kepada saya bagaimana menjadi pemimpin dengan caranya dan tindakan langsung, bukan dengan teori … Kepercayaan yang diberikan kepada saya secara tidak langsung membentuk rasa percaya diri saya bahwa saya mampu dan saya bisa melakukan pekerjaan dan tanggung jawab itu. Beliau tidak pernah mengatur apalagi menjelaskan dengan detail saya harus begini dan begitu. Beliau mempercayakan sepenuhnya kepada saya untuk membuat dan mengambil keputusan yang menurut saya benar dan tepat. Beliau hanya bertanya tindakan dan keputusan yang saya ambil seperti apa, dan bila itu dianggap tidak melenceng, maka beliau tidak akan merubah. Beliau memberikan saya kebebasan untuk bertindak dan membuat keputusan. Satu sikap yang patut ditiru ….
28 Oktober, sepuluh tahun lalu, disalah satu rumah sakit di China, Bang As menghembuskan nafas terakhirnya. Kanker paru menggerogoti tubuhnya yang tinggi tegap itu. Ketika penghormatan terakhir di kantor Komnas HAM, saya datang untuk melepas beliau kembali ke haribaan Sang Pencipta. Senyum berukir di wajah beliau … wajahnya menunjukkan kedamaian dan semoga beliau kembali kepada Sang Pencipta dengan damai.
Beberapa hari setelah kepergiannya ke alam keabadian, saya bermimpi Bang As datang ke kantor dan seperti biasa, senyum khasnya selalu terpampang di wajahnya … Beliau tersenyum kepada saya dan refleks saya sapa “Abang koq disini, abang baik2 saja kah?”. Beliau tidak menjawab, hanya tersenyum sumringah … senyum yang selalu menghiasi wajahnya … senyum khas seorang Asmara Nababan ….
Selamat jalan Bang As … terima kasih untuk semua ilmu dan kepercayaan yang Bang As berikan pada saya selama kita bekerja bersama …. semua itu sangat berarti buat saya dan menjadi bekal saya … Semoga Abang damai disisi Tuhan dan ditempatkan di tempat terbaik disisiNya …. Amiennn ….
Penulis: Siti Dorojatul Aliah (Dette), mantan staf INFID