• Home
  • Tentang Asmara Nababan
    • Awal Kehidupan
    • Pendidikan
    • Riwayat Pekerjaan
    • Kegiatan Lainnya
  • Warisan Pemikiran
    • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
    • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
    • HAM dan Pembangunan
    • Demokrasi dan Tata Negara
    • Pendidikan dan Seni
  • Living Legacy
    • Arsip Video
    • Arsip Foto
    • Doa untuk Bang As & Bangsa
    • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
    • Kirim Tulisan
  • Info Kegiatan
  • id ID
    • id ID
    • en EN
Asmara Nababan
keep your memories alive
Author

hambali

hambali

Pendidikan & Seni

Dua Abang Adik (Drama Pendek)

by hambali 01/10/2020
written by hambali

Sanggar Bahtera Yakoma PGI secara reguler mengisi acara mimbar Agama dalam bentuk fragment pada tahun 1970an dan awal 1980an. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan produksi drama seperti drama Dua Abang Adik ini. Drama ini disutradarai oleh Teguh Karya dan Ditayangkan pada malam tahun baru 1979 memasuki tahun 1980. 

Drama ini mengadopsi cerita dari Alkitab yang menggambarkan dua kakak beradik laki laki dengan karakter yang berbeda. Asmara Nababan menjadi salah satu pemerannya (sebagai Mertua) sementara istrinya, Magdalena Sitorus, memerankan peranan menantu.

01/10/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Asmara Nababan: “Saya Selalu Ingat Kisah Orang Samarinda” (Majalah Rohani Bahana Vol. 98 Juni 1999)

by hambali 01/10/2020
written by hambali

Menurut Anda, apakah kondisi HAM di era reformasi ini lebih baik daripada masa Orba?

Jawabannya tidak sederhana. Kalau kita lihat situasi sekarang, ada dua paradoksal. Pertama, setelah era Soeharto ada kemajuan atau promosi HAM yang besar. Misalnya, kini sudah ada piagam HAMIndonesia yang ditetapkan pada Sidang Istimewa MPR.Kita juga mempunyai Rancangan Aksi Nasional HAM (RANHAM)5 tahun. RANHAM ini sebagai tindak lanjut kesepakatan Konferensi HAM sedunia di Vienna 1993. Ada juga pembebasan tapol dan kebebasan pers. Ini menunjukkan kecenderungan yang menggembirakan. Paradoknya, sekarang ini atau tepatnya sejak kerusuhan Mei, di tanah air terus menerus cenderung terjadi pelanggaran HAM dalam skala yang besar. Bahkan memakan korban dan kerugian yang luar biasa. Mengapa terjadi paradoks? Di mana persoalannya? Menurutsaya akar masalahnya karena pemerintah sekarangtidak sanggup atau tidak mampu untuk menyelesaikannya. Atau, bahkan mungkin pemerintah tidak mau secara sungguh-sungguh meningkatkan perlindungan HAM. Mengapa tidak mau?

Sebenarnya kasus pelanggaran HAM baru selesai jika beberapa hal berikut dipenuhi. Pertama, di pengadilan pelakunya mendapat hukumanyang setimpal. Kedua, korban mendapatrehabilitasi dan kompensasi. Ketiga, adajaminan pelanggaranitu tidak terulanglagi. Daritiga indikator ini jelas, mengapa penyelesaian HAM tidak pernah tuntas. Kita juga heran pada kasus penculikan aktivis, mengapa komandan-komandannyatidak pernah diadili, termasuk Prabowo. Pertanyaannya: Apakah pemerintah mampu? Menurut saya mampu tapi tidak mau. Ini contoh bagaimana pemerintah sekarang tidak mau menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Pemerintah selalu mengatakan bahwa mereka sudah tahu provokatordi balik kerusuhan-kerusuhan. Hanya,kalau sudah tahu mengapa merekatidak dibawa ke pengadilan? Dalam standar internasional, dalam negara demokratis, pemerintahlah yang bertanggung jawab melindungi HAM.

Konkretnya?

Pemerintah kita salah. Pertama, pemerintah gagal dalam memberikan perlindungan. Kedua, pemerintah gagal dalam


menyelesaikan pelanggaran. Ini yang sering dilupakan orang. Pemerintahitu kewajiban asasinya melindungisetiap warganya,jadi kalau terjadi pelanggaran HAMberarti itu kegagalan pemerintah. Yang jelas, di era reformasi ini masih ada pihak yang tidak mau menyelesaikan pelanggaran HAM.Jika pelanggaran tidak : diselesaikan maka pengulangan itu akan terus terjadi.

Dalam pelaksanaan HAM,Indonesia kini ada di posisi berapa?

Dulu UNDP menempatkan Indonesia di posisi ke-20, posisi terendah dalam pelaksanaan HAM. Indikator yang dipakai untuk menentukanposisiini cukup banyak, antara lain: kebebasanpers, kebebasan orang keluar negeri, dan kebebasan dalam peradilan. Sekarang,saya kira posisi kita belum banyak berubah. Alasannya, karenaperlindungan efektif pada HAM disini masih jauh, masih sangat kurang.

Katanya kita sudah mempunyai piagam HAM?

Itulah. Punya tapi hanya retorika. Masyarakat ingin yang

riil. Retorikanya bagus namun realitasnya lain, misalnya terjadinya banyak korban seperti di Maluku, Sambas, lalu bagaimana menjelaskannya? Juga, siapa yang mau bertanggung jawab? Banyak orang mengusulkan agar Soeharto di-Pinochetkan (Pinochet adalah mantan orang kuat Chili yang dituntut Spanyol untuk diekstradisi karena banyak melakukan pelanggaran, red.). Pendapat Anda? Setiap pihak di muka bumi ini bisa menuntut kejahatan atas kemanusiaan yang pernah dilakukan Soeharto. Kalau pengadilan di Indonesia mandul, apa ada kemungkinan Soeharto dituntut lewat Mahkamah Internasional? Itu agak sulit. Kasus Pinochet saja hingga sate belum bisa dibawa ke Mahkamah Internasional. Nah, jika Soeharto mau dibawa ke Mahkamah Internasional, maka pertama-tama harus jelas terlebih dahulu tuduhannya apa. Kalau tidak jelas, itu tidak fair. Sama seperti saya dan Anda yang harus dihormati hak-haknya.

Walaupun sudah jelas pelanggarannya,semisal pelanggaran HAMdi Aceh, Timtim, Irja, Lampung, Madura dan masih banyak lagi yang lainnya?


Nah, itulah. Semua harus diungkapkan dan harus ada tuduhan resmi apa kejahatannya. Tidak bisa hanya dikatakan dia menyelewengkan kekuasaan, titik. Tetapi menyelewengkan kekuasaan yang menyebabkan apa? Baru sesudah itu diadili.

Mengatasi pelaksanaan HAM di Indonesia yang terkesan “jalan di tempat”, saran Anda selaku anggota Komnas HAM?

Kita perlu belajar tentang penerapan HAM dinegara lain, terutama Afrika Selatan. Kita perlu mengupayakan penyelesaian HAM melalui komisi tersendiri’di luar Komnas HAM. Komisi inilah yang bertugas memeriksa berbagai pelanggaran HAM yang terjadi dari tahun 1963-1995. SeharusnyadiIndonesiaperlu dibentuk komisi seperti itu. Singkatnya, kita membentuk sebuah komisi yang memeriksa Derap! pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun. Tujuan dibentuknya komisi ini ialah untuk mengetahui pola pelanggaran HAM yang terjadi, sebab-sebab mengapa pelanggaran itu terjadi, kemudian bagaimana memperbaikinya. Anda kalau hendak memperbaiki mobil harus tahu salahnya di mana. Sama seperti orang sakit. Kalau Anda ingin mengobati orang, Anda mesti tahu apa sakitnya. Jadi yang diketahui jangan

hanya demamnya. Pertanyaan “Mengapa demam?” harus diketahui terlebih dahulu. Bila diketahui demam karena infeksi, perlu dicari lagi infeksinya di mana. Jadi kalau ingin memperbaiki keadaan ke depan, kita harus mempelajari kesalahan masa lampau. Nah, untuk itulah perlu dibentuk komisi yang dapat mengungkappelanggaran HAM yang terjadi.

Setelah diungkap?

Pengungkapan itu bukan hanya untuk menghukum pelaku, tapi juga memberi kesempatan rekonsiliasi. Maksudnya, para pelaku apakah dia jenderal, kolonel yang mengakui kesalahannya di hadapan polisi, ia mendapat amnesti, pengampunan. Pengungkapan masa lampau juga memberi perhatian pada korban dan keluarganya. Mereka mendapatrehabilitasi dan kompensasi. Afrika sudah menjawabpersoalantadi, kita belum. Mungkin ABRI merasaitu — hanya memojokkan dirinya.

Kalau menurut Komnas HAM sendiri?

Itu bukan memojokkan. Kita hendak mengungkap kebenaran. Bahwa kemudian diampuni,itu bisa terjadi. Tetapi harus jelas dahulu “apakah benar korban di Aceh itu


hanya ekses operasi atau memang operasinya yangsalah sehinggaterjadi korban. Pemerintah sekarang — kan menganggap itu ekses.

Tapi Habibie kan sudah minta maaf?

Ya, Habibie minta maaf karena menganggapitu ekses. Bagi orang Aceh itu bukan ekses. Kebijakan itu sendiri salah. Nah, sekarang siapakah jenderal yang sudah dituntut, dibawa ke pengadilan karenaperistiwa Aceh? Nggak ada kan! Jadi orang Aceh merasa diperlakukan tidak adil. Begitu juga di Irian. Lihat penderitaan sekian ratus orang korban operasi militer, apakah disiksa, diperkosa dan sebagainya. Apakah ada pelaku yangdiadili? Apakah ada jenderal yang diadili? Nggak ada. Mengapa? Karena semua menganggap hal tersebut hanya ekses, oknum, kesalahan prosedur. Karena itu kita masih menunggu pemerintahan baru yang bisa memberikankepastian jawaban atas persoalan ini.

Apakah karena itu pula belakangan marak tuntutan beberapa daerah untuk berdiri sendiri?

Yang jelas masyarakat merasa diperlakukan tidak adil dalam waktu yang lama, baik dalam hal ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Mereka menuntut. Selama tidak ada kepastian dan keadilan, maka mereka memilih jalanlain, lepas dari Indonesia. Untuk menghindari halini maka keadilan harus ditegakkan.

Dengan masih bercokolnya ABRI di DPR dalam jumlah besar, apa tanggapan Anda?

Persoalannya kan begini. Kita membutuhkan angkatan bersenjata yang dapat memainkan peranannya dengan profesional. Kita lihat sekarang, baik kepolisian maupun ABRItidak mampu mencegah kerusuhan dan meluasnyakerusuhan, baik pada kerusuhan Ketapang, Maluku, Sambas dan sebagainya. Ini menunjukkan tingkat profesionalisme yang rendah. Mengapa rendah? Karena ABRI mengurus segala-galanya. Bidang sosial, politik, ekonomi semua diurus sehinggatidak ada waktu, energi, sumber daya yang cukup untuk memanggul tugas yang utama. Jadi, kalau ABRI ingin profesional, maka mereka harus meninggalkan dwifungsinya.


Bagaimana Anda menyikapi kasus Budiman Sudjatmiko yang menolak grasi?

Kalau dia menerima grasi berarti dia mengaku bahwa dia bersalah. Padahal menurut Budiman, dia mengaku tidak bersalah. Karena itu dia minta amnesti.

Kalau ada yang menganggap Komnas HAMbertindak diskriminatif?

Tentu ada suara yang mengatakan seperti itu. Tapi kami tidak diskriminatif. Justru prinsip utama kami non-diskriminatif. Apa pun agamanya, seksnya, sukunya, jika hak mereka dilanggar maka kami akan bela. Kejadian di Ambonkita juga kirim tim ke sana, bahkan hampir mati. Ke Sambas juga.

Apa yang menggerakkan Andaterjun di LSM?

Tahun 66 Orla melakukan berbagai ketidakadilan, melakukan pelanggaran HAM, dan otoritarian. Sebagai

mahasiswa saya menentang, ikut unjuk rasa. Tahun 1976 sebagian dari kami, menyadari bahwa pemerintahan Orba di bawah Soeharto pun mulai melakukan hal yang sama.

Bagaimana Anda tahu kalau Orba melakukan penyelewengan?

Misalnya, pada kasus pendirian TMII, dana yang diperlukan besar padahal rakyat Indonesia ketika itu masih miskin.

Apakah ada teladan dari Tuhan Yesus yang memberi inspirasi kepada Andauntuk melayani di LSM?

Saya selalu teringat kisah orang Samaria yang murah hati. Pada kisah itu Tuhan Yesus bertanya: Siapakah dari ketiga orang yang lewat: imam, orang Lewi dan orang Samaria yang merupakan sesama bagi sang korban? Jadi, ketika ada korban pelanggaran HAM, pertanyaanitu selalu saya ingat.”Apakahsaya juga telah menjadi sesama bagi si korban? Inilah yang menyebabkansaya terjun membela korban-korban pelanggaran HAM.


Bagaimana menurut Anda, apakahgereja sekarang sudah peduli dengan urusan HAM?

Bila gereja diartikan sebagai individu, pribadi, saya kira sudah banyak yang peduli. Kita sebagai pribadi kan juga gereja. Namun sebagai institusi, saya lihat baru-baru ini saja pedulinya. Contohnya kasus Ketapang. Ketika gereja dibakar, banyak gereja lain yang memberikan bantuan.

01/10/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Perlu-Tidaknya Ratifikasi: Konvensi Antipenyiksaan

by hambali 01/10/2020
written by hambali
Asmara Nababan Anggota Dewan Pengurus
Elsam

Jika tujuannya adalah untuk menghilangkan penyiksaan atau penganiayaan dalam pemeriksaan, tidak harus dengan meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan kan mengesahkannya menjadi undang-undang. Yang lebih penting kita membudayakan ketentuan-ketentuan yang sudah ada, seperti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kita harus betul-betul melaksanakan apa yang menjadi ide dasar dari KUHAP itu. Sebab, sejauh ini KUHAP itu dianggap sebagai tulisan-tulisan saja.

Sepintas, secara formal, meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan memang diperlukan. Kalau sekarang konvensi itu sudah ditandatangani dan sudah merupakan suatu undang-undang, bagaimana pula penerapannya? Yang menjadi masalah adalah cara untuk membuktikan telah terjadi penganiayaan atau penyiksaan. Lalu, ada

dua akibat. Pertama, segi penindakan terhadap pelaku pemukulan. Kedua, segi pengakuan itu dianggap tidak sah demi hukum. Semua perkara seseorang yang dipukul saat pemeriksaan akan batal demi hukum karena pengakuannya berdasarkan paksaan dan intimidasi. Banyak sekali orang yang menarik BAP-nya di pengadilan karena ia mengaku dipukul dan sebagainya. Tapi, dia tidak bisa membuktikannya. Yang paling penting, menjaga agar jangan sampai terulang lagi pemukulan dalam pemeriksaan, bukan dengan undang-undang. Penyidik harus membudayakan scientific investigation, penyidikan secara ilmiah.

Penyiksaan saatPemeriksaan itu Sebenarnyajuga sudah diantisipasi pada saat KUHAP dibuat. Antisipasi pertama, mengubah kalimat dan susunan dari alat bukti.


Kalau dulu (dalam HIR-Red.), alat bukti “yang pertama itu adalah pengakuan terdakwa,lalu keterangan saksi,surat-surat,baru ke petunjuk. Nah, KUHAP mengubahnya. Yang pertama dalam keterangansaksi.Kedua, keterangan ahli, lalu surat surat petunjuk, baru yangterakhir keteranganter- ‘ dakwa.Jadi, ditekankandi sana, bukan pengakuan, melainkan keterangan. labukan sekadar urutan dan penggantian kalimat itu. . Ide dasarnya apa? Satu, janganmencaripengaku- 1 |an, tapi keterangansaja. Kedua, sej tangkap,ia dapat menghubungippengacaranya.Kalau toh memanginidilaksanakan pada saat seorang — terdakwa diperiksa,pengacaranya dapat melihat dan dapat mendengar apakah dia ditekan secara psikis atau tidak. Ini, lo, arti dari pasal-pasal itu. Ini antisipasi kedua.

Kalau di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ada pertanyaan, “Apakah Saudara mau didampingi pengacara?” Jawabannya, “Tidak.” Apa benartidak? Bisa saja tersangka tidak menginginkan pengacara, tapi harus ada orang lainyang menyaksikan bahwa d memang tidak mau. Selama ini, sepertinya hanya pernyataan pihak penyidik saja bahwa si tersangka tidak mau didampingi pengacara. Nah, saya mengusulkan adakan suatu lembaga pengacara yang siap

sedia 24 jam. Dananya dari subsidi silang pengacara-pengacara yang sudah mapan: mereka harus memberi dana untuk ini setiap bulan. Jadi, paling tidak, ada pengacara yang ikut mendampingi tersangka kapan pun, misalnya, saja kalau pemeriksaannya dilakukan pada pukul 3 pagi. Harus ada yang mendampinginya. Kalau hal-hal itu dilakukan dengan benar, saya rasa tidak akan ada penyiksaan.

Jadi ini juga akan mengarah ke sistem seperti konvensi itu. Konvensi itupun, kalau mau diratifikasi, harus dilihat pasalnya satu per satu beriku dampaknya.Kita tidak langsung menelan bulat-bulat apa yangada di perjanjian internasionalitu. Umpamanya, kita meratifikasi undang-undangitu, tapi kalau tidak terkontrol, percuma. Peradilan Tata Usaha Negarasaja, begitu kasusnya diputus, banyak jabat tidak mau melaksanakan putusannya. Adaakibatnya memang kalau Indonesiatidak meratifikasi konvensiitu. Apa pun yang ada di Indo- ‘nesia, biasanya orang luar mencari yang jelek-je- . leknya. Banyak orangluar selalu mencari kelemahan-kelemahan kita. Memang betul kita banyakk lemahan,tapi yang demikian itu menjadi lebih menonjol di luar.


“Semua perkara seseorang yang dipukul saat pemeriksaan akan batal demi hukum karena pengakuannya berdasarkan paksaan dan intimidasi.”


Konvensi Antipenyiksaan

Banyak faktor mengapa ada penyiksaan dalam penyelidikan, misalnya soal pendidikan dan keterampilan para penyidik. Yang utama adalah moral. Tapi, moral saja pun tidak cukup mengatasi terjadinya penyiksaan dalam penyidikan. Juga tidak cukup KUHP dan KUHAP. Menurut KUHAP, pengakuanpun itu justru tidak penting. Tapi, mengapa pengakuan ini yang justru dikejar? Walaupun dia tidak mengaku, tetapi bukti-bukti materiil dan saksi mengatakan bahwa dia pelakunya, dia kena hukum. Dan sebaliknya, dia mengaku panjang lebar bahkan sumpah segala, tetapi bukti-bukti materiil dan saksi mengatakan sebaliknya, dia tidak bisa dihukum.Penganiayaan terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan itu sebetulnya bukan tidak diatur dalam KUHAP. Perkaranya itu otomatis gugur. Tapi, kalau di pengadilan ada terdakwa mengaku bahw selama diperiksa dia disiksa, biasanya pengadilan jalan terus. Karena itulah, harus ada instrumen yang efektif, seperti Konvensi Antipenyiksaan itu untuk menghukum penyiksa.

Penyiksaan dalam penyidikan memang belum tentu hilang kalau kita meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan itu.

Tetapi, yang menarik dari ratifikasi itu: kalau seorang korban penyiksaan dalam penyidikan tidak mendapat perlindungan pemerintah, masyarakat internasional dapat mencampurinya. Negara kita bisa digugat oleh warga negaranya maupun oleh negara lain jika terjadi penyiksaan terhadap warga negara Indonesia. Seorang yang merasa tidak dapat perlindungan dari sistem hukum kita, dia dapat mengadu ke Commission of Human Rights. Jadi, kalau terjadi penyiksaan terhadap warga negara kita, kita tidak bisa menolah seandainya PBB mengirim ahlinya untuk melakukan observasi di sini. Dan kalau ada intervensi dari PBB, itu harus dilihat sebagai intervensi legal, bukan politis. Untuk membuktikan adanya penyuksaan itu, PBB sudah punya lembaga yang memiliki catatan standar internasional. Sepintar-pintarnya penyiksa, biasanya penyiksaan itu bisa dibuktikan; terungkap.


Kita harus meratifikasi konvensi itu karena kita sudah menandatanganinya. Sampai sekarang, tidak jelas kenapa konvensi itu tidak diratifikasi. Secara moral kita memang terikat oleh konvensi itu setelah menandatanganinya, tetapi karena human rights sendiri kan universal. Tidak bisa seperti itu! Kalau mau berdaulat seratus persen, isolasi saja sekalian, seperti zaman Bung Karno, keluar dari PBB.

Memang tidak ada sanki internasional jika tak meratifikasi konvensi itu, tetapi ada akibatnya dalam pergaulan antarbangsa. Misalnya, kita mengutuk pelanggaran terhadap penyiksaan yang terjadi di Bosnia, negara lain bisa memprotes, “Indonesia tidak mau meratifikasi konvensi antipenyiksaan, kok ikut memprotes kejadian di Bosnia.” Memang negara lain tidak bisa memaksa meratifikasi. Tapi, tiap tahun kita harus melapor ke PBB ihwal langkah-langkah yang kita buat untuk menghapuskan penyiksaan ini. Dan di sini kita tidak bisa berbohong. Konsekuensi meratifikasi konvensi itu, kita harus melakukan perubahan dalam kewajiban-kewajiban negara, memeriksa peraturan perundangan. Memang ada

persoalan dalam apa yang disebut harmonisasi atau penyelarasan undang-undang atau peraturan yang ada pada kita dengan konvensi tadi. Tapi, negara-negara anggota bebas membuat reservasi agar pasal-pasal tertentu belum berlaku. Kemudian harus merevisi ketentuan-ketentuan pemeriksaanm interogasim untuk memastikan tidak adanya penyiksaan selama pemeriksaan. Negara juga wajib mendidik kembali pejabat-pejabat militer maupun sipil yang berkaitan dengan penudukan ini. Konsekuensi lain, negara kita juga harus melaporkan sudah berapa undang-undang yang kita buat, berapa banyak pejabat atau penyidik yang sudah kita perbaiki atau kita tindak setiap tahun.

Sebenarnya, penghapusan penyiksaan-penyiksaan di Indonesia itu kan konstitusional-filosofis. Pancasila pada sila kedua itu kan kemanusiaan. Jadi, Pancasila tidak bisa hanya ditaruh di ruang-ruang penataran, atau dibacakan dalam upacara, tidak boleh hanya menjadi ritus, tetapi harus menjadi realitas dalam kehidupan bangsa kita.

01/10/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

[PDF] “LSM Itu Anak Kandung Orde Baru” (Tiara – 14 Desember 1996)

by hambali 01/10/2020
written by hambali
30.-Asmara-Nababan-LSM-ITU-ANAK-KANDUNG-ORDE-BARU

01/10/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

[PDF] Jejak Asmara Nababan di Sumatera Utara (Majalah Prakarsa – Edisi Khusus November/December 2010)

by hambali 01/10/2020
written by hambali
28.-PRAKARSA-Jejak-Asmara-Nababan-di-Sumatera-Utara-compressed

01/10/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Asmara Nababan: “Orang Batak Kehilangan Sikap Mandiri” (Bona Ni Pinasa – No 113 Tahun XI Maret 2000)

by hambali 30/09/2020
written by hambali

Pendidikan di Tapanuli Utara

Halo, apa kabar Anda.di bulan Maret 2000? Semogakita tetap bersemangat mengisiharihari kehidupan dengan berbagai pikiran dan perbuatan yang bermanfaat. Bermanfaat bagi | diri sendiri dan juga untuk orang lain. “Semangatuntuk menolongoranglain”, itulah yang ditunjukkan oleh St KM Sinaga, yang juga komisaris Majalah Bona Ni Pinasa. Lelaki 77 tahun itu selalu menjaga semangat hidup untuk menolong sesama. Untuk menolong orang lain, pendiri Asuransi Bumi Asih Jiwa ini membuka Yayasan Bina Mandiri Wirawan (BMW). Yayasan yang berlokasi di desa Mompang, Kecamatan Aek Nauli, Sibolga didirikan untuk memajukan pendidikan bagi tamatan SLTA. Yayasan BMW menyediakan fasilitas asrama, perpustakaan, laboratorium dan komputer bagi para muridnya secara cuma-cuma. Anda berminat untuk berpartisipasi? Silakan baca artikel Yayasan BMW, Satu lagi upaya mencerdaskan anak Indonesia. Dalam edisi ini, kami secara khusus menyoroti Pendidikan di Tapanuli Utara. Bahwa Tapanuli

Utara saat ini sedang kekurangan guru yang bermutu. Dan bukan mustahil, sekarang ini sudah dan sedang terjadi pembodohan di kampung halaman kita. Laporan lengkap mengenai pendidikan di Tapanuli Utara dapat Anda simak dalam Rubrik Pendidikan. Dan masih rangka “semangat menolong orang lain”, kami tampilkan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan. Mengapa pengalaman melihat mayat tak dikenal ternyata membuat Asmara bersemangat memperjuangkan hak-hak rakyat kecil? Artikel lain yang dapat Anda baca adalah opini bahwa Tapanuli sudah layak menjadi propinsi. Isu lama yang belakangan ini kembali menghangat, sejalan dengan dikeluarkannya UU no 22 tahun 1999 mengenai otonomi daerah. Dan di rubrik budaya, Anda kami ajak -untuk mempelajari cara menulis undangan Batak sesuai pakemBahasaBatak. Semogaartikel kami dapat menggugah Andauntuk lebih “bersemangat menolong orang lain”. Sampai bertemu di bulan April. Salam hangat bagi Anda dan orang-orang yang dekat di hati Anda. B

Pengabdian Seorang Asmara Nababan

Teror dan ancaman tidak pernah hilang dari perjalanan hidupnya, tetapi keteguhan hati membuatnya bertahan. Hanya satu yang diinginkannya, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama.

AWALNYA tertarik terjun ke dalam misi kemanusian ketika sang ibu EID boru Lumban Tobing, yang aktifis kemanusiaan, mengajaknya mengurus mayatyang tidak dikenal di rumah sakit di Medan. Yang ada di dalam pemikiran Asmara “kecil masa itu adalah, mayai tersebut pasti punya keluarga di kampung, padahal mungkin keluarganya mengira ia sudah berhasil di perantauan. Kasihan sekali kalau sampai keluarganya tidak tahu kalau orang yang mereka tunggu-tunggu kehadirannya sudah meninggal. Karenaitulah bungsu dari sepuluh bersaudara anak Guru GL Nababan menjadi tergugah, harus ada orang-orang yang peduli terhadap sesamanya. Pengalaman melihat mayat tak dikenal membekas dalam ingatan putra kelahiran Siborong-borong 2 September 1946. Selepas SMA tahun 1964 dari P Siantar, Asmara yang bercita-cita menjadi dokter harus melanjutkan sekolahnya ke Fakultas Sastra UKI Jakarta, karena

ia terlambat mendaftar ke fakultas Kedokteran UI.

Gagal Menjadi Dokter

menyimpan keinginan menjadi dokter. Ditahun 1965 ia meninggalkan fakultas Sastra UKI dan masuk Fakultas Kedokteran UI. Apa mau dikata,citacita tersebut macet seiring dengan terjadinya perubahan besar di tanah air, yakni G 30 S/PKI. Tentu sebagai seorang mahasiswa dan anggota Gerakan Mahasiswa Kristen

Indonesia (GMKI) cabang Jakarta, ia bersama teman-temannya melakukan perlawanan dan demontrasi. Ketika itu . demo dilakukan hampir setiap hari, padahal sebagai mahasiswa kedokteran, ia tidak boleh bolos. Namun “panggilan’ sebagai aktifis mahasiswa lebih kuat sehingga Asmara rela meninggalkan bangku kuliah. Kejadian tersebut berlangsung hingga berakhirnya orde lama diganti orde baru tahun 1966. Tahun 1967, suami Magdalena Sitorus akhirnya memilih kuliah ke Fakultas Hukum UI dan lulus tahun 1975.

Penggagas Golput

Semasa mahasiswa kenang Asmara, ia banyak mengalami kejadian saat bangsa Indonesia benar-benar terpuruk secara multidimensional. Saat itu, sangat besar harapan mahasiswa bahwa zamanotoriter yang digerakkan oleh Soekarno dapat berlalu sehingga bisa tercipta sistem yang demokrat dan adil. Dan era itu memang runtuh.


Satu peristiwa penganiayaan HAM di Jakarta

Namun gejala-gejala otoriter muncul kembali awal tahun 70-an, ketika itu kelompok yang tidak masuk birokrasi atau Golkar berada di luar dengan melancarkan protes-protes, seperti Komite Anti Korupsi. Dapat dibayangkan baru tiga tahun merdeka korupsi sudah merajalela di pemerintahan, terutama di Pertamina. Kemudian muncul konsep pendirian Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menimbulkan hujan protes. Bagaimana tidak diprotes, saat itu kondisi ekonomi masih sulit, banyak anak tidak sekolah dan masalah kesehatan yang memprihatinkan. Namun mengapa proyek mercu suar tersebut yang didahulukan dan uangnya dari mana, sementara dari anggaran negara tidak ada. Nyatanya waktu itu TMII tetap dibangun. Begitu juga ketika pemerintah melaksakan Pemilu yang pertama, aktifis LSM ini bersama teman-temannya kemudian

membentuk Golput (golongan putih). “Yang dilaksakan oleh pemerintah pada waktu itu adalah pemilu-pemiluan, karena semuanya sudah diatur oleh pemerintah,” ujar Pemimpin Umum majalah Kawanku ini.

Kembali Hidup di Kampung

Setelah 19 tahun malang melintang untuk menyalurkan aspirasinya yang “anti pemerintah Soeharto”, nasib menuntun Asmara kembali ke kampung. Sebagai anak bungsu,ia terbeban untuk menemani sang ibu yang hidup menjanda sendirian dan menderita kelumpuhan. Asmara memboyongistri dan anak-anaknya untuk hidup di Siborong-borong, kota kecil yang terkenal akan kue ombus-ombusnya. Selama di kampung bukan berarti aktifitasnya berhenti. Adik kandung mantan Ephorus SAE Nababan juga menjadi direktur

Yakoma (Yayasan komunikasi masyarakat) dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) yang berkantordi Jakarta. Namun Asmara mengakui, pengalaman hidup di kampung, membuatnya banyak belajar kepadarakyat dan : mempelajari kehidupan masyarakat Tapanuli, baik itu kesulitan hidup, ekonomi maupunpolitiknya. Rupanya banyak kenyataan dan kesulitan hidup yang dihadapioleh masyarakat di kampung. Bersamateman-temanyadari kalangan Pendeta, mereka membentuk suatu KelompokStudi bagi Penyadaran Hukum (KSPH) dan tahun 1985 berubah menjadi prakarsa masyarakat atau KSPPM (Kelompok Studi. bagi Penyadaran dan Prakarsa Masyarakat)

Dituduh PKI

Menurut Asmara ada beberapa penyebab dibentukya KSPPM tersebut. Misalnya, mereka melihat


Asmara Nababan (tengah), “Ada yang hilang dari orang Batak sekarang yakni kemandirian sikap”

lemahnya perangkat hukum sehubungan dengan adanya proyek Inalum (proyeklistrik). Ketika itu banyak rakyat yang ganti tanahnya tidak beres, sawah yang ke tutup pasir. Ironisnya kalau mereka protes dituduh PKI dan ditangkapi. Di tengahsituasi tersebut KSPPM tergerak untuk menyadarkan masyarakat bahwa hak-hak yang mereka bawasejak lahir harus diperjuangkan, dan tidak takut untuk menuntuthaknya. Begitu juga dengan kasus Indorayon, — KSPPM mengorganisir rakyat untuk melawan Indorayon. Dan sungguh sayang organisasi yang dirintisnya itu ditutup oleh Korem dengan tuduhan melawan pemerintah. “Waktu itu Korem memanggil saya untuk memberikan penjelasan, dan saya katakan bahwa PT Inti Indorayon Utama tidak memperhatikan masalah

ganti rugi tanah kepada rakyat, dan juga penanaman ekaliptus itu merusak lingkungan, dimana tanaman tersebut banyak menyerap air sehingga rumput tidak tumbuh disekitarnya. “Terutama juga karena pencemarannya,baikitu air dan udara. Waktu itu kita serahkan datadatanya. Tapi nyatanya pemerintah (Korem) tidak mau tahu dan KSPPM tetap dibekukan,” ungkap pengemar baca buku ini.

Batak kehilangan prakarsa

Lebih lanjut Asmara melihat bahwa, selama zaman orde baru masyarakat Batak telah kehilangan prakarsa, padahal tanpa prakarsa pembangunantidak mungkin berhasil. “Saya selalu mengatakan bahwa ‘namora do hamu dan namalo dohamu (kaya dan pintar), nenek

moyang kita sampai bisa membangun tali air seratus tahun yang lalu, padahal tidak sekolah. Mengapa kita harus menunggu pemerintah memberikan bantuan, Mengapa bukan kita yang membangundiri kita sendiri dan tidak tergantung kepada pemberian pemerintah,” jelas Asmara. Patut diakui, bahwa selama ini (zaman orde baru hingga sekarang) masyarakatBatakselalu tergantung dari pemerintah. Ada sesuatu yang hilang dalam diri orang Batak, yaitu kemandirian, merasa tidak mampu dan bersikap pesimis. Kalau mencari siapa yang patut disalahkan, jelas model pembangunan yang dilakukan oleh rezim Soeharto, yang membuat masyarakat selalu tergantung dan selalu menunggu kebijaksanaan pemerintah, yang tentunya akan memudahkan pemerintah menyetir masyarakat untuk kepentingan politiknya (seseorang).

Membangun Tapanuli

Asmara menilai, untuk membangun Tapanuli tidak perlu konsep atau metode dari sekelompokatau seorang pintar, terutama mereka yang mengakatakan kaum perantau. “Yang penting adalah menimbulkan kembali rasa percayadiri dan prakarsa masyarakat untuk membangundirinya sendiri supaya jangan tergantung kepada seseorang ataupun pemerintah, kalau hanya mendengar konsep atau model dari orang yang katanya pintar


itu sama saja dengan model pembangunan. yang diterapkan oleh rezim orde baru.” Setelah dua tahun menjalani hidup di kampung halaman, Asmara bersama keluarga akhirnya kembali lagi ke Jakarta dan seterusnya aktif di berbagai LSM. Salah satunya mendirikan LembagaStudy dan Advokasi Masyarakat (Elsam) bersamaAbdul Hakim Garuda Nusantara.

Komnas HAM

Kemudian tahun 1993 pemerintah bersama wakil rakyat membentuk Komnas HAM, Asmara masuksebagai anggota. Kenyang akan pengalaman hidup sebagai aktifis kemanusiaan, dengan bumbu-bumbu intimidasi, teror dan ancaman pembunuhan

terhadap keluarganya terutamaketika Soeharto masih berkuasa tidak membuatnya berhenti, malah menjadikannya matang dan lihai dalam memperjuangkan hakhak azasi manusia. Faktor inilah yang menjadikannya dipercaya menduduki jabatan sebagai orang kedua di Komnas HAM yakni sebagai Sekretaris Jenderal. Dan kabarnya,nasib para pelanggar hak azasi manusia ada dalam genggamannya, termasuksang Jenderal Wiranto. B

30/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan: “Politik Juga Wilayah Pelayanan” (NARWASTU – April 2000)

by hambali 30/09/2020
written by hambali

Kini sudah lebih dari 600 gedung gereja di Indonesia yang dirusak dan dibakar massa. Apa pendapat Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan SH tentang hal itu? Pada JonroI. Munthe dari NARWASTU, pejuang HAM yang sering diteror ini pun berkomentar soal pelanggaran HAM di HKBP saat diintervensi rezim Orde Baru. Asmara yang juga Sekretaris KPP HAM Timtim ini mengatakan, HKBP dibuat menjadi kelinci percobaan, setelah itu baru dicoba lagi ke PDI Megawati. Dia juga menerangkan bahwa dalam kasus Timtim terdapat 22 orang Kristen/Katholik yang melanggar HAM, dari 33 orang yang direkomendasikan ke Kejaksaan Agung.


Sejak Soeharto berkuasa, di negaraini telah terjadi ribuan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Mulai dari Papua Barat (dulu Irian Jaya), Aceh, Maluku sampai Mataram. Apakahkita masih layak disebut bangsa yang beradab dan manusiawi kalau itu terjadi? Apakahkita sadar bahwaselama32tahun 3 ini gereja justru ikut £ 1 mendukung rezim Asmara. Menegakkankebenaran. Orde Baru? Karenanya,gereja mesti merenung, dan melihat ke belakang apa kekurangannya, apa kesalahannya di masalalu. Sebab kalau masalalu tidakdilihat, tidak dipelajari, kita tidak akan bisa menciptakan kehidupan yang beradabdi negeri ini. Demikian diungkapkan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan dalam sebuahdiskusi baru-baru ini bersama sejumlah pendeta dan pemuka Protestan. Kini nama Asmara Nababan kian meroketsejak ia dipercaya sebagai Sekretaris Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Timor Timur mendampingi Dr. Albert Hasibuan SH, Munir SH dan Todung Mulya Lubis SH.

Dalam tugas kemanusiaan yang disort dunia internasional itu, tak tanggung-tanggung, Asmara Cs “menyeret” sejumlah namabesardi TNIyang diduga melakukan pelanggaran HAM.“Pelanggar HAM dalam kasus ini 11 orang beragamaIslam, dan 22 orang beragama Kristen dan Katholik. Tapidisini kita tidak melihat agamanya, yangkita lihat kebenaran harus ditegakkan,” ungkappria kelahiran Tapanuli Utara, 2 September 1946 soal tugasnya di KPP HAM Timor Timur. Asmara yang merupakan adik kandung Pendeta Dr. SAE Nababan, mantan Ephorus HKBPyang pernah “dipinggirkan”itu, meraih gelar SH dari Fakultas Hukum UI (1975). Pada awalnyaia aktif di Yayasan Komunikasi Massa (Yakoma) PGI, dan di sejumlah LSM. Karena kegigihannya memperjuangkan hak-hak wongcilik akhirnyaia ditarik menjadi anggota Komnas HAM.Disinilah ia menangani ribuan pelanggaran HAM. Baik yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru, maupun oknum militer. Karena tugasnyainitak heranbila wajahnya sering muncul di media cetak maupun media elektronik.


Di tengah kegigihannya memperjuangkan HAM, tak jarang ia mendapat ancaman danteror. “Ya, itu biasalah. Ya, sudah. Kami tak pernah menanggapi serius teror dan ancaman” katanya seperti dikutip Tabloid AKSI. Menurutnya, bentuk ancaman danteror tersebut ada yang berupasurat, dan telepon gelap. “Yang paling sering telepon. Sudah banyak sekali, nggak kehitunglagi. Hampirsetiap hari dua sampaitiga kali saya menerima teleponteror,” akunya. Bila ia selalu tegar dan sabar menangani pelanggaran HAM,ia mengaku semata-mata karena dukungan moril keluarganya, dan doadari banyak kalangan, khususnya umat Kristen. “Saya sangat berterima kasih dengan dukungan moril, dan dukungandoaitu, sehinggasayatetap kuat menjalani tugas ini,” katanya. Pria berpenampilan bak senimanini termasuk tokoh reformasi yang sejak dulu prihatin pada tokoh-tokoh gereja yang takut bersuara nabiah. “Berani nggak kita menyuarakan kebenaran denganrisiko kita dipukul? Jadi, salah satu yang hilang dari gereja adalah sharing of pain.

Ikut menderita dengan manusia. Dengan begitu ia dapat menolong masyarakat. Tapi tidak berarti gereja harus demonstrasi,turun kejalan-jalan. Diperlukan pembicaraan kembali agenda gereja secara bersama-sama.Dari situ bisa diambil sikap,”tegasnya. Di era Orde Baru Asmara dikenalrajin mengkritik pimpinanpimpinan gereja. “Pimpinan gereja itu diakui oleh jemaat, bukan pemerintah. Secara tidak disadari kita banyak memberi kekuasaan pada negara. ‘ Jadi menurutsaya sudah selayaknyakita pikirkan ulang masalah gereja, negara dan masyarakatini. Artinya ketika negara melakukan kesalahan, gereja berani mengeluarkansuara nabiah. Sekarang bagaimanasuara nabiah gereja? Ada nggak?”kritiknya seperti dikutip Kairos. Kekritisan, keberanian dan komitmennyainilah yang membuatnyaterpilih jadi Sekjen Komnas HAM. “Pak Asmara memang yang paling layak menduduki posisi Sekjen karenaia punyaintegritas,” kata Apong Herlina SH, Ketua LBH Jakarta, sebelum pria Batak ini terpilih jadi


Sekjen Komnas HAM. Dalam sebuah kesempatan baru-baru ini, NARWASTU berbincang-bincang dengan Asmara yang tadinya dijagokan menjadi Ketua Komnas HAM menggantikan Marzuki Darusman. Dia berbicara mulai dari penegakan HAM diera Gus Dur-Mbak Mega, pembakaran dan perusakangereja, ketidaksetujuannya pada pendirian partai bernafas Kristiani, sampai SK Bakorstanasda yang merupakan sumber konflik di HKBP tahun 1992 lalu. Berikut nukilannya.

Di zaman Pak Harto dan Habibie banyak terjadi pelanggaran HAM, dan nyaris tidak ada yang diselesaikan secara hukum. Bagaimana di era Gus Dur-Mbak Mega ini?

Ya, sudah mulai ada indikasi bahwa pemerintah yang sekarang mempunyai komitmenyang lebih kuat pada

perlindungan,dan kemajuan HAM.Kalauretorika memang kita sudah sering mendengar,tetapi yang hendak dilihat masyarakat kan bukti-bukti yang lebih nyata dari kemajuan dan perlindungan HAMitu. Dan, indikasi yang terakhiryang bisa kita lihat adalah bagaimana Gus Dur menonaktifkan Jenderal Wiranto dari jabatan Menkopolkam (Menteri Koordinator – Politik dan Keamanan,Red), untuk memudahkan penyidikan kepada Wiranto dalam usaha menemukankebenaran tentang pelanggaran HAMdi TimorTimur. Kita membutuhkan berbagai bukti lain dari komitmen pemerintah tersebut. Apakah itu berhubungan dengan persoalan-persoalan di Papua Barat, Aceh, tetapi juga menyangkut pelanggaran HAM di masa lampau.

Komnas HAM sekarang nampak lebih bergigi. Apakah ini komitmen orang-orang Komnas HAM,atau karena ada tekanan dari luar negeri?


Saya pikir itu suatu keadaan yang tidak baik kalau Komnas HAM selalu munculdi dalam berbagaiperkara penegakan HAM. Karena dia sebenarnya memberitahukan bahwa badan-badan, atau lembagalembaga yang seharusnya yang melindungi HAMitu tidak bekerja dengan baik. Jadi semakin Komnas HAM mengemukamakakita makinprihatin, — karena dia membuktikan bahwabaikpolisi, jaksa, TNI, dan pemerintah pada umumnyasangatlemah dalam melindungi HAM.Ini sesuatu yang sangat memprihatinkan. Jadi satu keadaan yang ideal adalah secara berangsur-angsur Komnas HAM harussurut ke belakang. Dan yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan adalah pemerintah, sesuai dengan standar universal yang sudah kita adopsi. Baik itu dalam TAP 17/MPR/1998 maupun UU tentang HAM No. 39/1999. Di sana tegas dikatakan bahwa pemerintah yang paling bertanggungjawab untuk memajukan, melindungi HAM. Kewajibannya disana, itu bukan kewajiban Komnas HAM.Itu kewajiban pemerintah. ‘

Kabarnya Komnas HAM berencana membentuk KPP HAM Aceh. dan Papua Barat. Bagaimana dengan pelanggaran HAM pada gedung gereja yang sudah dirusak dan dibakar lebih dari 600-an itu?

Negak ada rencana ke sana. Belum ada juga rencana untuk mendirikan KPP HAM untuk Aceh,baru sedang dipelajari. KPP untuk Papua Barat juga sedangkita pelajari, yang ada sekarang baru untuk Maluku. Tapi juga tingkatannya, penekanannya pada mediasi, bukan pada penyelidikan pelanggarannya an sich. Tetapi juga titik berat mediasi dari dua kelompok yang bertikai. Jadi soal kerusuhan dimana gereja banyak dirusak dan lain sebagainya, itu sampai sekarang kan satu persoalan yang haruskita lihat di dalam konteks politik di Indonesia. Dan penyelesaiannya lebih bersifat penyelesaian politik.


Ada pengamat politik mengatakan, bahwa dengan diungkapkannya kasus Timor Timur oleh KPP HAM, kasus bernuansa SARA seperti pembakaran gereja akan berhenti. Ini bagaimana?

Mudah-mudahan. Karena kalau benar dugaan selama ini bahwa berbagai kerusuhan itu diatur oleh kelompok-kelompok yang pro status quo di kalangan militer, maka kita mengharapkan ini (kerusuhan bernuansa SARA, Red) akan menurun.

Anda sendiri melihat ada elite-elite yang bermain dalam kerusuhan bernuansa SARA itu?

Iya jelas, jelas. Itu kan jelas.

Di tabloid AKSI ditulis, anda sering mendapat ancaman dan teror karena tugas yang berkaitan dengan kasus Timor Timur. Apa betul demikian?

Biasa, nggak usah digede-gedein. Biasa aja tuh. Dalam keadaan sekarang itu kan bagian dari pekerjaan, saya pikir kita tidak usah membesar-besarkan. Nggak apa-apa kita hadapi.

Bagaimana Anda menghadapinya?

Yang jaga saya yang diatas (tangannya sambil menunjuk ke atas, Red). Yang melindungi kan diatas.

Jadi Anda selalu optimis, begitu?

Ada memangtakutnyaha…ha…ha. Yang penting kan rasa takut itu tidak membuat pekerjaan kita berhenti. Jangan sampai rasa takut mengalahkan kita. Dan, kita yang harus mengalahkan rasa takut.

Jika Anda diteror terus Anda tidak bakal mundur?

Nggaklah.

Kita bicara yang lain. Dulu waktu HKBP diintervensi Orde Baru tahun 1992, kan banyak juga pelanggaran HAM. Malah SK Bakorstanasda itu justru membuat ephorus versi Orde Baru merajalela. Nah, kasus ini masih bisa nggak diungkap?


Jadiini lebih terpulang pada gereja-gereja sendiri. Bukan hanya HKBP, tapi juga gereja-gereja di Indonesia apakah ikut mempunyai keinginan untuk mengungkap kebenaran. Kalau ini dirasakan sesuatu yang perlu, maka ini waktu yang baik bagi gereja-gereja untuk mengungkapkan kebenaranitu. Ini belum ada,tidak adasatu gereja pun, termasuk gereja HKBP yang menyuarakan, bahwa kamiingin kebenaran tentang campurtanganmiliter kepada gereja sekarang waktunya dibuka. Nggak ada suara seperti itu.

Jadi masih releven untuk dibuka?

Oh…kalau kita tidak tahu apa kesalahan di masa lampans maka kita tidak akan bisa mengelakkankejadian yang samaterjadi di masa depan. Lesson to be learned, pelajaran apakah yang kitapetik dalam masa lampau.Kita tidak memetik satu pun pelajaran, maka wajar kalau kita akan terjerembab pada masa yang akan datang. Karenakita tidak tahu salahnya.

Anda melihat kasus HKBP ini sama dengan kasus PDI Megawati dulu?

Oya, persis. Itu semacam model, semacam satu percobaan, testing. Perencanaanjahatitu diuji dulu, di HKBP berhasil, maka dipakai ke PDI. Jadikelinci percobaannya gereja HKBP lalu dipakai ke PDI (Megawati, Red).

Kenapa mesti gereja atau umat Kristen – yang dijadikan kelinci percobaan, atau direkayasa agar dimusuhi?

Indikasi ini adalah disharmoni dalam masyarakat. Gereja-gereja kita juga dalam waktu yang lama ini tidak menyatu dalam masyarakat. Hidup secara eksklusif,tidak begitu peduli pada masalah-masalah di masyarakat, dan wajar saja masyarakat tidak merasa ada manfaatdari gereja. Dan mereka merasagereja sesuatu yangasing. Sekali tempogereja dilabel sebagai ancaman pada agamalain, dilabel sebagai tempat orang-orang kayadanlain sebagainya. Maka gereja dengan mudah menjadi sasaran.


Soal izin membangun tempat ibadah juga dijadikan alasan untuk merusak. Ini bagaimana?

Iya itu kan teknis sekali. Di bawahnya kan disharmoni, dan disharmoniini kan harus diperbaiki semua pihak. Tidak bisa hanyaorang Kristen yang memperbaiki. Disharmoni dalam masyarakatitu harus dibangun secara bersama dengan kelompoklain, umat Islam. Untukini apa yang diperlukan? Umpamanya,trust building: Bagaimanakita membangun saling percayadiantara umatKristen, umatIslam, dan umatumat lain. Usaha apa yang sudah kita buat, jangan kita dulu menuntut orang lain. Jadi menuntutdiri kitalah dulu. Usaha apa yang sudah kita buat supaya umat beragamalain percaya pada kita. Iya dong. Harus dong, kalau tidak dia akan terus dibakar gerejanya.

Lalu bagaimana Anda melihat posisi umat Kristen/Katholik di era Gus Dur-Mbak Megaini?

Iya, seperti yang saya katakan tadi,itu lebih pada satukorban pertarungan politik. Kita sering menjadi

kambing hitam, jadi sasaran, persoalannyakan kita yang sering membuat kita jadi kambing. Gampang dihitamkan, makanya gereja jangan jadi kambing. Jadi gerejalah.

Maraknya kerusuhan bernuansa SARA di Tanah Air apakah ini indikasi bahwa banyak warga gereja kurang memahami politik?

Untuk jangka waktu yang lama teologia kita masih memandang politik suatu bidang yang tidak perlu dilayani. Padahalpolitik juga wilayah pelayanan, dan kita nggak pernah secara serius membuat pelayanan di bidang politik. Bahkan kita apolitis. Kalau ada Pendalaman Alkitab, ada program remaja, sekolah mingguitu soalpolitik dianggap bukan soal gerejawi. Itu harus dijauhkan dari gedung gereja. Nah,jaditidak bisa disalahkan rupanya bahwa umat Kristen tidak mempunyai kesadaran politik yang memadai di tengahtengah masyarakat yang sangatpluralistik yang cepat berubah ini. Kitatidak dilengkapi, warga tidak dilengkapi dengan memadai supaya mereka dapat menjadi warga jemaat tapi sekaligus juga warga masyarakat.


Kalau begitu Andasetuju dong pendirian partai bernafas Kristen seperti PDKB, Partai Kristen Nasional Indonesia dan Partai Katholik Demokrat?

Saya sangat menolak. Saya melihat satu kebodohan baru di abad ini, di mana kekristenan dipakai untuk kepentingan politik.

Tapi kan program mereka mengedepankan HAM juga?

Itu sudah jelas. Posisi saya yah, sebagai kekristenan tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk kepentinganpolitik, itu aja. Dan kita hidup di tengah masyarakat yang pluralistik. Kita memerlukan yangtadi, harmoni. Jangan kita memperkuat lagi sektor-sektor, iya kan. Ketika ada gejala sektarian berkembang di Indonesia kita juga memberikan reaksi yang sama,kitajuga membuat gerakan-gerakan yangsektarian. Membikin partai Kristenlah, apalah.

Anda setuju partai bernafas Kristiani ini dibubarkan?

Urusan mereka itu. Bukan urusan saya. Jangan pemerintah kita harapkan membubarkanitu,salahlagi, otoriter kan. Yah, merekalah bubarin diri, sadar sendiri. Itu sektarian. Jangan cuma nuduh Islam sektarian, tahu-tahu dalam diri kita juga ada sektarian. (Jonro)

30/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat: Belajar dari Pengalaman (Jurnal HAM)

by hambali 30/09/2020
written by hambali

PENDAHULUAN

Gerakan pro demokrasi yang dimotori mahasiswa berhasil memaksa mundur rejim otoritarian Soeharto pada tahun 1998. Momentum untuk akselerasi pemajuan hak asasi manusia menjadi leblh terbuka. Untuk memenuhi tuntutan dan tekanan gerakan pro demokrasi, berbagai perubahan pada tingkat instrumental segera dilakukan oleh Pemerintah Habibie, dilanjutkan Pemerintah Abdurrahmad Wahid. Pembebasan tahanan politik. pencabutan UU Anti Subversif. pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, penghapusan lembaga Surat Izin Terbit (SIT). ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan. adalah sebagian dari contohcontoh perubahan instrumental yang lebih memberi ruang bagi pengakuan atas hakhak kemerdekaan sipil dan politik. Ketika terjadi pelanggaran hak asasi yang luas di Timor Timur menjelang dan sesudah jajak pendapat pada tahun 1999, gerakan-gerakan masyarakat sipil semakin meningkatkan tekanannya. Kejahatan kejahatan yang melibatkan aparat militer dan kepolisian Indonesia di

Timor Timur yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum dan internasional secara langsung, menimbulkan protes keras dan tuntutan agar kejahatan-kejahatan tersebut diselesaikan secara hukum, sesuai dengan standar-standar hukum internasional. Tekanan internasional menguat ketika Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyelenggarakan sidang khusus untuk membahas kasus Timor Timur 23-24 September 1999. di Geneva.3 Pemerintah Indonesia tidak berhasil mencegah diadakannya sidang khusus ini. Sidang inimengeluarkan resolusi agar PBB membentuk tim invesiigasi internasional. yang kemudian dalam laporarr penyelidikannya.a mengeluarkan rekomendasi perlu dibentuknya pengadilan internasional untuk menyelesaikan kejahatan serius yang terjadi di Timor Timur. Sementara itu. sebelum sidang khusus tersebut dibuka (kurang dari 24 jam), Pemerintah Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyepakati bahwa Komnas HAM akan melakukan penyelidikan atas peristiwa ini, dan penyelesaian kasus ini akan dilakukan di pengadilan hak asasi manusia. Rencana penyelidikan itu diumumkan ke publik tanggal 22 September malam hari.


Pada mulanya Komnas HAM enggan untuk menyelidiki kasus ini. karena berbagai pengalaman penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM atas pelanggaran hak asasi yang berat. tidak diselesaikan secara adil. Sebelum kasus Timor Timur. Komnas HAM sudah menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Aceh selama operasi militer. Laporan penyelidikan ini tidak diselesaikan oleh pemerintah. Hal yang sama juga terjadi pada kasus-kasus yang diselidiki oleh Komnas HAM sebelumnya, seperti kasus extra judicial killing, torture dan disoppearance di Hoea/ Timika (1995) dan kasus extra judicial killing dan forf ure di Liquisa,/ Timor-Timur (1996) yang diselesaikan melalui Pengadilan Militer. Pengadilan tersebut hanya menjatuhkan hukuman ringan kepada para prajurit TNI. Para komandan yang seharusnya bertanggungjawab pun tidak pernah dituntut. Kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Aceh yakni kasus Teungku Bantaqia (1998) yang diselesaikan melalui pengadilan koneksitas (gabungan pengaCilan umum dan pengadilan militer)pun berakhir sma. Semua pengalaman ini memberikan peringatan yang jelas bahwa

sistem peradilan yang ada tidak dapat dan tidak mampu mengadili kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan standar-standar internasional. Hal yang harus kita ingat, jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang termasuk dalarn jurisdiksi internasional, maka Wnyelesaiannya juga harus sesuai dengan standar internasional.

Hanya dengan janji yang tegas dari pemerintah, akhirnya Komnas HAM menyetujui untuk melakukan penyelidikan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi sebelum dan setelah jajak pendapat diTimor Timur. Janji p€rnerintah itu diwujudkan dengan diterbitkannya PERPU No.1 /7999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada tangga! 8 Oktober 1999. Hal itu kemudian digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai argumen pokok untuk mencegah dibentuknya pengadilan internasional oleh PBB atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur. Hal itu sesuai dengan exhausted principle, yang menerima national remedies sebagi pilihan pertama, dimana kejahatan


itu masuk dalam yurisdiki pengadilan nasional dan internasional (“concurent yurisdicfion”) yang dikenal dalam hukum internasional. Jurisdiksi Internasional baru mulai bekerja bila notional remedies telah habis digunakan (exhausted) dan peradilan nasional tidak mau (unurilling) atau tidak mampu (unable) menegakkan keadilan. Hal yang demikian bukan tidak disadari oleh Komnas HAM. Dorongan untuk membentuk mekanisme nasional judisial lahir dari kebutuhan nyata di Indonesia. mengingat banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadidi masa lalu yang tidak pernah mendapat penyelesaian yang adil dan kemungkinan pelanggaran tersebut masih besar kernungkinannya terjadi di masa depan. lndonesia membutuhkan dibangunnya mekanisme nasional, tanpa harus menolak jurisdiksi internasional.

PERPTJ No 1/1999 akhirnYa diganti dengan UU No 20/2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2002 untuk pertama kalinya perkara kejahatan terhadap manusia yang terjadi di Timor Timur 1999, disidangkan di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc Timor Timur,

Jakarta. Disusul pada tahun 2003. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc Tanjung Priok memeriksa perkara kejahatan terhadap ketnanusian yang terjadi pada tahun t984. Dua pengadilan ad hoc ini, bersidang di tengah-tengah harapan dan keprihatinan yang berpusat pada pertanyaan utama yakni : dapatkah pengadilan tersebut berjalan dengan prinsip impartial dan t’air untuk menegakkan keadilan sesuai dengan standar internasional.

Persidangan untuk kasus Timor-Timur dipantau dari dekat baik oleh organisasi hak asasi manusia Indonesia maupun dari luar negeri. termasuk PBB. Pengamatan dan analisis atas persidangan-persidangan kasus Timor-Timur dan kasus Tanjung Priok menunjukkan berbagai masalah serius. menyangkut hukum material dan acara dari pengadilan hak asasi manusia, serta kompetensi yang sangat diragukan dari Kejaksaan Agung sebagai institusi yang berwenang untuk melakukan penyidikan dan penuntutan. Administrasi dan kompetensi dari majelis hakim, menjadi masalah yang juga ditemukan di pengadilan itu.


Tulisan ini tidak akan membahas semua persoalan, tetapi akan menguraikan beberapa persoalan-persoalan menyangkut konsep pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tanggung jawab individu dalam kejahatan internasional, elemen-elemen kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, konsep tanggung jawab komando dan mekanisme penyelesaian kejahatan pelanggaran hak asasi manusia. Mekanisme penyelesaian peianggaran hak asasi manusia lainnya, khusus yang terjadi di masa ialu yakni komisi kebenaran (frufh com’ mission) tidak dibahas dalam tulisan ini.

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai kejahatan serius

Pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori berat atau gross human righfs uiolation, terjadi ketika ada pelanggaran atas non -derogable rights atau pelanggaran atas ius cogens yang dilakukan oleh negara melalui

aparatusnya. Nonderogable rihfs, merupakan hak yang tidak dapat dikurangi -apalagi dilanggardalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan perang, yang perlindungannya tidak dapat ditunda dengan alasan apapun. Kovenan Internasional l-lak Sipil dan Politik (ICCPR) menetapkan non-derogable rights meliputi hak hidup (psl 6), hak untuk tidak disiksa (pasal 7), hak untuk tidak diperbudak (psl 8), hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian (psl 11), hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat tindakan tersebut dilakukan (psl 15), hak untuk diakui sebagai pribadi di muka hukum (psl 16) dan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (psl 18).

Pemikiran itulah yang menjadi landasan Komnas HAM ketika menjawab pertanyaan dari Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI kasus Trisakti. Semanggi I dan Semanggi II tahun


Dalam suratnya, Pansus menanyakan: “apakah dalam peristiwa-peristiwa tersebut telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia?”. Komnas HAM menyatakan bahwa oleh karena hak hidup sebagai non-derogable righrs teiah dilanggar maka telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Namun demikian untuk memastikan secara juridis maka diperlukan penyelidikan pro-justisia.

Pelanggaran hak asasi Yang berat sebagai pelanggaran atas ius cogens adalah pelanggaran atas norma umum dalam hukum internasional yang disepakati. dan diakui oleh negara-negara dalam masyarakat internasional, sebagai sebuah norma yang tidak boleh dilanggar atau dikurangi. Norma itu hanya dapat diubah jika lebih banyak negara-negara di dunia mengakui dan menerima sebuah norma lain yang subsekuen dengannYa.T Pelanggaran hak asasi Yang berat merupakan suatu kejahatan internasional’ dimana kejahatan ini dikategorikan sebagai musuh semua umat manusia (hosfis humanis generis)8. Oleh karenanya menjadi tanggung jawab semua umat manusia (obligatio erga omnes) untuk menyelesaikannya secara hukum. menghukum pelakunya secara adil. Secara formal, hukum Indonesia mengenal konsep pelanggaran hak asasi manusia

yang berat dalam rumusan Perpu No 1/1999. Pasal 4 Perpu tersebut rnenyatakan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia berupa:

  1. pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur. atau cacat mental atau fisik dengan, a). melakukan Perbuatan membunuh anggota kelompok tersebut; b) melakukan Perbuatan Yang menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat Pada anggota kelompok; c) menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik; d) memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau e) memindahkan dengan paksa anakanak kelonrpok tersebut ke kelompok lain.
  2. pembunuhan sewenang-wenang atau di lurar putusan pengadilan;
  3. penghilangan orang secara paksa;
  4. perbudakan;

  1. diskriminasi yang dilakukan secara sistematis; penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memPeroleh keterangan atau pengakuan baik dari yang bersangkutan mauPun orang ketiga, atau untuk menakut-nakuti atau memaksa yang bersangkutan atau orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.

Rumusan yang luas dan tidak terbatas dalam kategori kejahatan “genosida” dan “kejahatan terhadap kemanusian”, sebenarnya amat menguntungkan dari segi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan’ Kejahatan yang dilakukan tidak harus mengandung elemen-elemen seperti “sistematik” atau “meluas” seperti, yang disyaratkan dalam kategori “kejahatan terhadap kemanusian”, sejauh kejahatan tersebui termasuk dalam pelanggaran hak asasi yang berat. dan/aiau merupakan pelanggaran terhadap ius cogen.

Lebih jauh, UU 39/!999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam penjelasan pasal 104 menYatakan bahwa Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide)e pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judiciol killing)’ penyiksaan, penghilangan orang secara pal<sa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systemofic discrimo nation). Rumusan yang cukup luas dan rinci ini sudah seharusnya menjadi rujukan bagi rumusan pelanggaran berat hak asasi manusia yang berat yang digunakan untuk pengadilan hak asasi manusia.

Namun berbeda dengan rumusan dalam Perpu l/1999 dan UU 39/1999 maka UIJ No.26/2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, ternyata membuat pembatasan rumusan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 7 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pelanggaran hok asasi manu’ sia yang berat meliputi: a- keiahat’ an geno.sido; b. keiahatan terhadap kemanusisn. Dengan demikian mengeksklusifkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia seperti yang dirumuskan dalam UU 39/1999, seperti : diskriminasi yang dilakukan secara sistematis, penyiksaan di luar genosida atau kejahatan serius lainnya.


UU 26/2000 membtrat klaim bahwa rumusan dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusian diambil dari rumusan standar internasional. Hal itu dapat dibaca dalam penjelasan pasal 7,yang berbunyi: “kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian” dalam ketentuan ini sesuai dengan “Rome Statute of The lnternational Criminal Court” (Pasal 6 dan Pasal 7). Namun demikian, bila kita melakukan perbandingan langsung dengan teks dimaksud maka kita akan menemukan berbagai perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang sangat mengganggu itu diakibatkan oleh perbedaan dalam penerjemahan maupun dalam perumusan, antara lain:

  1. Dalam Statuta Roma Penjelasan unsur-unsur kejahatan yang menjadi yuridksinya, dimuat dalam statuta secara jelas dalam pasal-pasal yang memberikan pembatasan terhadaP munculnya penafsiran yang berbeda. Hal Sebagaimana umpamanYa diatur dalam Pasal 7 aYat 2. Sedangkan dalam UU 26/2000 hal itu tidak dilakukan secara taat asas. Ada rumusan yang dimasukkan dalam Pasal 97b) undang-undang dan ada pula yang dimasukkan dalam penjelasan undang-undang. Hal itu menimbulkan kesimpangsiuran berbagai pengertian stanCar dari elemen-elemen kejahatan selama persidangan kasus Timor Timur
  1. Penterjemahan yang berbeda dari teks Statuta Roma, seperti : “Attack directed against any ciuilian population (Statuta Roma, Pasal 7) diterjemahkan menjadi : “Serangan ysng ditujukan secarct langsung terhadap penduduk sipil” (UU 26/2000 Pasal 9). Seharusnya terjemahan yang benar adalah : “ditujukan kepada populasi sipil”. Kata “langsung” dapat ditafsirkan bahwa serangan itu dilakukan oleh pelaku langsung dilapangan saja. Dengan demikian hanya mereka yang di lapangan yang dapat dikenakan pasal ini, dan tidak meliputi pelaku di tingkat komando atau atasan. Sementara itu rumusan “penduduk sipil”, hanya membatasi target potensial korban kejahatan hanya pada penduduk setempat. Padahal korban bisa saja orang-orang yang bukan penduduk setempat,yang pada waktu peristiwa berada di tempat kejahatan terjadi. Majelis hakim di ICTY dan ICTR memberi pengerlian yang luas pada “populasi sipil”, yang mencakup siapa saja (penduduk atau bukan penduduk) yang menjadi korban kejahatan.
  2. Penerjemahan ” persecution’ menjadi penganiayaan, yang merupakan tindakan langsung kepada fisik seseorang. Kata itu bila dikembalikan ke bahasa Inggris berarti “cssculf”.

  1. Hal itu dilakukan tanpa penjelasan dalam undang-undang maupun oenjelasan undang-undang, yang kemudian membuat acuan yang dipakai adalah Kitab Undang-Undang
    Hukum Pidana (KUHP). Berbagai tindakan intimidasi, teror yang sifatnva non fisik menlacii luput dari cakupan”penganiayaan”. Padahal persecution mencakup pengertian yang lebih luas merujuk kepada perlakuan yang diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental, fisik maupun ekonomis.
  2. Tidak dimasukkannya ayat 1(k), pasal 7 Statuta Roma dalam pasal 9 UU 26/2000 menyangkut bentukbentuk tindakan yang tidak manusiawi, yang mernpunyai tujuan untuk menimbulkan penderitaan berat, atau melukai secara serius atas badan atau mental atau kesehatan fisik.

Berbagai kekacuan perumusan ini, dengan mudah dapat dipakai untuk kepentingan-kepentingan yang bertujuan untuk menghambat ditegakkannya keadilan. Sebagaimana dapat dicermati daiam kasus Timor

Timur, kejahatan pembumi hangusan bangunan, rumah dan fasilitas publik yang diperkirakan mencapai tingkat 80%, sebagaimana yang dilaporkan dalam penyelidikan Komnas HAM, tidak ikut didakwakan oleh Penuntut Umum (Jaksa Agung) dengan alasan kejahatan tersebut tidak tercakup dalam rumusan pasal 9 UU 26/2000. Kejahatan yang luar biasa ini akan dengan sendirinya harus didakwakan bila “persecution” tidak diterjemahkan dengan “penganiayaan” atau bila ayat 1(k), pasal 7 Statuta Roma dimasukkan dalam pasal 9 UU 26/2000.

Sulit menerima alasan bahwa Para pembuat UU 26/2000 tidak memahami konsep-konsep hukum internasional, atau tidak mempunyai penerjemah yang handal. Tampaknya alasan kenapa berbagai kerarrcuan inimuncul, terletak kepada hasil kerja dari kekuatan-kekuatan politik status quo di parlemen yang ingin menyelamatkan para pelal<u kejahatan terhadap kemanusian (baik aparat sipil maupun militer) dari jaring keadilan.


Tanggung-Jawab Individual dalam Kejahatan Internasional

Doktrin klasik hukum pidana internasional hanya mengakui negara sebagai ‘subyek’ hukum internasional. Bahwa merekalah yang merupakan person-person internasional yang memiliki hak dan kewajiban langsung di bawah hukum. Individu lebih dipandang sebagai ‘obyek’ hukum internasional’yang untuk mencapainya hanya bisa dilakukan melalui perantara negara. Jika individu-individu itu diakui memiliki suatu derajat personal internasional. maka tanggungjawabnya secara internasional atas perbuatan kejahatan yang dilakukannya hanya bisa dinisbatkan kepada negaranya.l3 Namun demikian doktrin ini setelah Perang Dunia I berkembang mencakup tanggung jawab hukum individu.la Dalam Perjanjian Versailes setelah Perang Dunia I, telah mulai diperkenalkan konsep mengenai tanggung jawab individu dalam kejahatan perang dan dalam apa yang sekarang dikenal

sebagai “kejahatan terhadap perdanraian”. Konvensi Jerman-Polandia menyangkut kawasan Upper Silesia, mengatur perjanjian perdamaian dan adanya ketaatan individu warganegara kedua negara tersebut untuk menghormatinya’ Liga Bangsa-Bangsa juga mulai mengatur tnekanisnre internasional urrtuk memerang i l<ejahatan-kejahatan menyangkui perbudakan kulit putih, serta perdagangan obat-obatan dan narkotik ilegal, dimana seorang invidu dapat dituntut secara hukum Setelah Perang Dunia II melalui Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, diciptakan berbagai ierobosan dalam hukum internasional, termasuk soal tanggung jawab individu dalam kejahatan serius. Berbagai pembelaan para terdakwa pada sidang-sidang pengadilan Nuremberg dan Tokyo, yang mendalilkan bahwa mereka tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena hanya menjalankan perintah resmi negara, ditolak oleh pengadilan. Dua pengadilan ini menegaskan prinsip tanggungj jarvab individu, sebagai tanggung jawab pidana.


Tanggung jawab individu ini kemudian menjadi doktrin hukum yang diterima secara internasional, ketika PBB mensyahkan Code of Oft’ences Against The Peace and Security ol Mankind Pada tahun 1954. Kode inidisusun oleh Komisi Hukum Internasional PBB, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB pada 21 November 1947. Draft kode ini sepenuhnya didasarkan pada hasil-hasil persidangan Nuremberg. Prinsip-prinsip pertanggungjawaban individu selanjutnya disebut Prinsip Nuremberg mencakup:

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional bertanggungjawab atas perbuatannya dan harus dihukum.
  2. Fakta bahwa hukum internai(nasional) tidak mengancam dengan pidana atas perbuatan Yang meruPakan suatu keiahatan menurut hukum internasional. tidaklah membebaskan orang yang melakukan Perbuatan itu dari iunggungjawab menurut hukum internasional.
  1. Fakta bahwa orang melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional itu bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat Pemerintah Yang bertanggungjawab, tidaklah membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
  2. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan perintah dari pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskan dia dari tanggung jawab menurut hukum internasional. asalkan saja pilihan moral bebas dimungkinkan olehnya.
  3. Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan internasional mempunyai hak untuk mendapatkan peradilan yang adil berdasarkan fakta dan hukum.
  4. Kejahatan-kejahatan tersebut di bawah ini dihukum menurut hukum internasional:

kejahatan terhadap perdamaian; (i) merencanakan, menyiapkan. memulai atau menggerakkan Perang Yang bersifat agresi Yang melanggar Perjanjian’ Persetujuan. atau jaminan intErnasional; (ii) turut serta dalam menYusun rencana umum atau berkonsPirasi untuk melaksanakan Perbuatan aPa saja Yang tercantum dalam aYat ke (i)’ 100 b. Kejahatan Perang: Pelanggaran terhadaP hukum atau kebiasaan perang, sePerti misalnYa Peianggaran Yang mencakuP, tetaPi tiauX terbatas Pada, Pembunuhan, Perlakuan kejam atau dePortasi untuk kerja Paksa sebagai budak unttrk tujuan apapaun’ juga terhadaP Penduduk aslidari atau Yang berasal dari wilaYah Yang dikuasai; Pembunuhan atau perlakuan Yang tidak manusiawi terhadaP tawanan Perang ‘ orang-orang Yang berada dilautan (kaPal), membunuh tawanan, meramPok milik umum atau Pribadi, Perusakan Yang berkelebihan atau tidak diPerlukan atas kota-kota’ desa-desa’ atau Pemusnahan Yang secar.a militer tidak diPandang Perlu’ c. Kejahatan terhadaP kemanu’ sion: Pembunuhan, Pemusnahan, Perbudakan,dePortasi dan perbuatan Yang tak berPerikemanusiaan terhadaP Penduduk siPil’ atau PenYiksaan berdasarkan alasan-alasan Politik, ras, atau agama, aPabila Perbuatan tersebut dilakukan atau PenYiksaan tersebut dikerjakan dalam Pelaksanaan atau berkaitan dengan kejahatan terhadaP Perdamaian atau kejahatan Perang aPa saja

  1. Keterlibatan (“com plicity”) dalam pelaksanaan suatu kejahatan terhadap perdamaian, suatu kejahatan perang, atau suatu kejahatan terhadap kemanusian seperti disebut dalam prinsip ke-6 adalah suatu kejahatan menurut hukum internasional.

Prinsip pertanggungjawaban individual ini, dirumuskan dalam UU.26/2000 dalam pasal 1(4) : Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil. militer, maupun polisi yang bertanggungjawab secara individual. t5 Tidak ada penjelasan lebih jauh dari pasal ini. Berbeda dengarr UU No. 26i2000, batasan atas pertanggungjawaban individual ini diatur secara rinci dalam Statuta Roma pasal 25, 26 dan 27. Lebih jauh Satuta Roma pasal 33 memberlkan pembebasan atas tanggung jawab ini dalam keadaan tertentu yakni: bila ia terikat oleh kewajiban hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukunl atu perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum.


Elements of Crimes Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Yang menjadi sorotan dalam bagian ini hanya menyangkut elemen dari kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan yang didakwakan dalam kasus TimorTimur dan Tanjung Priok. Dua elemen utama (chapeau element) dari kejahatan iniyakni: (1)adanya serangan yang meluas atau sistematik dan (2) ditujukan terhadap populasi sipil. Beberapa elemen lainnya masih merupakan perdebatan yang belum selesai. Oleh karenanya tidak secara tegas diakui dalam hukum kebiasaan internasonal. Dalam konteks ini bisa di!ihat kontroversi elemen “dalam hubungan (nexusl dengan Perang atau Konflik bersenjata”. Statuta Roma menolak elemen ini. Bahkan jauh sebelumnyaThe lnternational Law Commission (1950) telah menolak elemen ini dimasukkan dalam rumusan kejahatan terhadap kemanusian (lihat Prinsip Nuremberg). Statuta ICTR tidak mensyaratkan bahwa kejahatan ini dilakukan dengan nexus konflik bersenjata. Sementara Statuta ICTY dalam pasal 3 menetapkan bahwa: “tindakan kejahatan terhadap kemanusian dilakukan dalam keadaan konflik bersenjata, internasional atau internal”. Namun Pengadilan Banding ICTY dalam keputusan pertamanya menyatakan bahwa statuta ICTY tidak secara akurat. menampakkan hukum kebiasaan

internasional. Dalam konferensi persiapan Statuta Roma nexus ini ditolak, dan dalam Statuta Roma nexus ini tidak dicantumkan.

Elemen lainnya “niat/dasar diskriminasi” dalam kejahatan terhadap kemanusian hanya ditemukan dalam statuta ICTR. Selain itu tidak ada lagi instrumen hukum internasioanl yang memuat elemen ini. Diskriminasi yang dirumuskan ICTR mencakup, kebangsaan, politik, etnis, rasialatau agama”. Dengan demikian tidak memasukan serangan yang meluas atau sistematik terhadap kelompok berbasis umur, kelas, gender,dll yang dilakukan seperti dalam kasus Nazi Jerman, Khmer Merah, atau Stalinis diRusia. Statuta ICTY dan yang paling akhir Statuta Roma tidak mencantumkan elernen ini dalam kejahatan terhadap kemanusiart. Untuk kebutuhan tulisan ini akan dibahas elemen yang paling banyak diperdebatkan dalam kasus di Indonesia. Elemen itu paling banyak diperdebatkan terutama dalam kasus Timor Timur maupun dalam keputusan DPR untuk menyatakan bahwa Kasus Trisakti, Semanggi I dan II bukan pelanggaran hak asasimanusia yang berat, yakni: “serangan Yang meluas atau sistematik” Elemen inilah yang membedakan kejahatan terhadap kemanusian dengan kejahatan domestik, yang dengan demikian mengangkat kejahatan ini


ke tingkat yuridksi internasional. Legal instrumen internasional pertama yang memuat elernen ini adalah Statuta ICTR, meskipun secara impiisit elemen ini merupakan elemen dari kejahatan terhadap kemanusian sejak Statuta Nuremberg. Pada konferensi persiapan Statuta Roma. masih kuat usulan (Perancis, India. Inggris, Rusia, Jepang’dll) agar elemen ini dirumuskan tidak secara alternatif, yaitu “serangan yang meluas dan sistematik”. Hanya dengan kampanye yang kuat dari Ornop HAM (dengan dukungan dari banyak negara) rumusan itu ditolak. karena memang rumusan itu merupakan penyimpangan dari standar hukum kebiasaan internasional.

“Serangan“: adalah tindakan baik secara sitematis atau meluas, yang dilakukan secara berganda yang dihasilkan atau rnerupakan bagian dari kebijakan negara atau organisasi. “Tindakan berganda” berarti harus bukan tindakan tunggal atau terisolasi. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa” tindakan berganda” ini berlaku pada bentuk kejahatan (generic crime), dalam pengertian: agar memenuhi elemen kejahatan maka tindakan itu harus terdiri dari iumpamanya, pembunuhan dan penyiksaan.

“Meluas” merujuk kepada jumlah korban sedangkan “sistematik” merujuk kepada adanya kebijakan atau rencana. Untuk rnengukur “meluas” tidak diperlukan secara kalkulus. dengan menentukan jumlah minimal korban. Dalam kasus Akayesu, dengan mengutip catatan dari International Law Commissions 1996 atas Draft Code of Crimes, Pengadilan ICTR mengatakan bahwa “meluas” dipahami sebagai “mossiue, frequent, Iarge scale action, carried out collectiuely with considerable seriousness and directed ogoin-sf a multiplicity oluictims”. Dalam kasus lainnya yaitu , kasus Kayishema “meluas” dipahami sebagai “directed against a multiplicity of victims”

“Sistematik” merujuk kepada “kebijakan”. “Kebijakan” di sini tiCak harus dalam bentuk formal. Hal itu dapat dideduksi dari keadaan dimana tindakan tersebut dilakukan.20 Dalam kasus Akayesu, dengan mengutip ILC lagi, dirumuskan bahwa “sistematik” sebagai “thoroughly organized and t’ollowing a regular pattern on fhe bosis of common po!icy inuoluing subsfon tial public or priuate resources”.


Dalam UU 26/2000 ” serangan yang meluas atau sistematik ” ini dimuat dalam penjelasan Pasal 9, dengan distorsi yang sudah dibahas dalam bagian: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai kejahatan serius”. Begitu juga telah disinggung elemen utama yang kedua: “populasi sipil”. Beberapa keterangan tambahan tentang elemen ini, adalah disepakatinya pengertian yang lebih luas dengan menambahkan dua elemen lain yakni: (1) sasaran adalah ” non-combatants” dan (2) korban yang menjadi sasaran berjumlah banyak.21 Meskipun disadari garis batas antara combatanf dan noncombatonf juga sangat tipis. Laporan Komisi Ahli yang dibentuk DK PBB untuk menyelidiki pelanggaran atas hukunr l-rumaniter di Bekas Yugoslavia antara lain mengatakan bahwa :”…. Seorang kepala keluarga, yang menyandang senjata untuk membela keluarganya tidak dengan sendirinya kehilangan statusnya sebagai seorang sipil. atau seorang polisi atau seorang anggota pertahanan lokal yang melakukan hal yang sama… “22 Sedangkan kejahatan yang ditujukan kepada combat’ onf dari pihak lawan dalam perang atau konflik bersenjata internal telah dicakup dalam hukum humaniter.

Konsep Command Responsibility

Untuk pertama kalinya konseP Pertanggungjawaban komando dimasukkkan dalam khasanah hukurn Indonesia melalui UU 26/2000. Hukum pidana militer Indonesia juga tidak mengenal konsep pertanggungjawaban ini. Bekas para petinggi militer dari period e Orde Baru, masih tidak dapat menerima konsep ini. Bagi mereka tanggung jawab komandan terbatas hanya merupakan tanggung jawab moral dalam hal pasukan dibawah komandonya melakukan kejahatan serius.23 Konsep iniberkembang dengan pesat setelah Perang Dunia II. Melalui Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, konsep iniditerima secara internasional, yang juga ditemukan baik dalam statuta ICTY, ICTR dan ICC. Seorang komandan seharusnya bertanggungjawab bila pasukan di bawah komandonya melakukan kejahatan pelanggaran hak asasimanusia yang berat. Tanggung jawab hukum ini terdiri dari tiga lapis, yakni: pertama, komandan dituntut untuk kejahatan yang dilakukan pasukan bawahannya, bila dia memerintahkan pasukan tersebut melakukan kejahatan dimaksud (crimes by commission). Bilapun dia tidah


memberikan perintah melakukan kejahatan itu, dia masih harus menghadapi lapis kedua tanggung jawab yakni dituntut atas kejahatan yang dilakukan pasukan bawahannya, bila dia mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan, tetapi dia tidak mencegahnya (crimes by ommission). Sedangkan lapis terakhir, seorang komandan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bilamana dia tidak menindak pasukan bawahannya yang telah melakukan kejahatan.

Satu contoh paling ekstrim dari tanggung awab komando adalah Pengadilan Militer Amerika yang bersidang di Manila. Pengadilan itu mengadili Jenderal Yamasita, panglima bala tentara Dai Nippon Wilayah XIV di Filipina. Yamashita sebagai seorang komandan harus bertanggungjawab secara pidana, atas kejahatankejahatan serius yang dilakukan pasukanpasukannya di Manila dan tempat lain. Padahal dia tidak lagi dapat mengendalikan, bahkan tidak dapat berkomunikasi dengan semua pasukannya, dari markas besarnya di pegunungan terpencil yang berjarak 125

km dari Manila. Dia baru memangku jabatan komando ini hari sebelum tentera Amerika menyerbu Filipina. Pasukan-pasukan di bawah komandonya terlibat tindak kejahatan, pembunuhan. perkosaan, penyiksaan dan penghancuran (destruction). Dia dinyatakan bersalah karena “sebagai komandan, gagal mengendalikan tindakan-tindakan kejahatan berat yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komandonya”. Dia dijatuhi hukuman mati, dengan cara digantung, 23 Februari 1946.

Sebagaimana kerancuan lainnya dalam berbagai ketentuan UU 26/2000, maka tanggung jawab komando juga membawa persoalan-persoalan tersendiri. Pasal 42 ayat 1, menjabarkan tanggung jawab komando sebagai berikut:

“Komandan militer atau seseorong yong secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat di’ pe rtan ggun gjaw abkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh posukon yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yong efektif”


Dalam rumusan ini digunakan kata “dapat” (could) bukannya “akan” (shol/)zs atau “harus”(should), yang mernberikan indikasi bahwa dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diatur dalam UU26 /2000, pertanggungjawaban komando bukanlah sesuatu yang sudah secara otomatis berlaku. Pasal ini menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusian dalam pasal 9 yang cenderung ditulukan kepada pelaku langsung di lapangan. Bila Jaksa Penuntut ingin menuntut penangungjawab komando maka harus dibuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk itu. Selanjutnya, pasal 42 ayat 1(a) mensyaratkan penanggungjawab komando untuk ” sehorusnya mengetahui pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusio yang berat” Sumber dari pasal ini terdapat di Statuta Romas pasal 28 ayat 1(a) yang secara tegas menyatakan bahwa komancjan militer seharusny a ” mengetah ui bahw a posu kon tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan.

Distorsi penerjemahan ini dalam rumusan pasal ini, telah mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Walaupun dalam pasal 42 ayat 1(b) dicantumkan bahwa ” komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang ltngkup kekuasaannya unfuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut….” Namun dalam rumusan inidan penjelasan pasal ini tidak ada batasan tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggungjawab komando. Pasal ini membawa implikasi pada pengadilan yang terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah “layak” atau tidak, apakah “perlu” atau tidak (obligation of conduct). Hal itu secara otomatis mengabaikan kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggungjawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggungjawab, jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan


seharusnya bertanggungjawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk “kelalaian” dan “keaipaan” dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetairui (shou Id haue had knowledge) bahwa Pelanggaran hukum telah terjadi atau sedang terjadi, atau akan terjadi yang dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu.27 Pasal 7(3)Statuta Roma secara imperatif mencerminkan standar trukum kebiasaan internasional ini.

Rujukan pada standar internasional yang dilakukan memperlihatkan berbagai distorsi rumusan command respons ibilty dalam UU 26/2000. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa Jaksa Agung (sebagai penyidik dan penuntut umum) punya banyak kesempatan menggunakan “lubang-lubang hukum” untuk tidak menuntut Jenderal Wiranto sebagai pemegang komando tertinggi dalam garis komando ABRI dalam kasus Timor Timur, atau Jenderal

Benny Moerdani (Panglima ABRIsaat peristiwa itu te4adi)dan Jenderal Try Sutrisno (PangdamV / Jaya pada saat peristiwa itu terjadi) dalam Kasus Tanjung Priok. Dalam kedua kasus tersebut mereka direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diminta pertanggungjawabannya.

Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

Sejak selesainya peradilan di Nuremberg dan Tokyo tahun 1948 – selama hampir 50 tahun sesudahnya – pengadilan internasional untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tidak pernah dibentuk lagi. Dalam halini, bukan karena tidak terjadi berbagai kejahatan serius. Akan tetapi pada masa Perang Dingin sampai akhir tahun 1980an, kekuatan super blok Barat dan Timur saling mencegah terbentuknya pengadilan internasional untuk mengadili kejahatan yang dilakukan oleh salah satu anggota blok tersebut. Berbagai usaha internasional kandas dalam mekanisme PBB khususnya Dewan Keamanan PBB – badan yang mempunyai kewenangan sesuai dengan Piagam PBB Bab VIII, untuk membentuk pengadilan internasional. Meskipun demikian berbagai usaha untuk membentuk


suatu mekanisme internasional guna menyelesaikan berbagai kejahatan serius terus berlangsung. Beberapa instrumen yang penting bagi mekanisme internasional dapat dihasilkan, antara lain Konvensi mengenai Non-Aplikasi Limitasi Statutorial pada Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusian (1968)28 dan Prinsip-prinsip mengenai Kerjasama Internasional dalam Penahanan, Penangkapan, Ekstradiksi dan Penghukuman Orang-orang yang Bersalah dalam Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusian (1973).

Baru setelah Perang Dingin berakhir, dua pengadilan internasional dibentuk yakni International Criminal Tribunal t’or the Former Yugoslauia (ICTY) 199330 dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) 1994. International Criminal Tribunal t’or the Former Yugo’ s/ouio (ICTY) mengadili berbagai pelanggaran serius (serious uiolationl atau pelanggaran berat (graue breaches) terhadap hu[u- humaniter internasional, hukum kebiasaan perang, genosida dan keiahatan terhadap knrnunutian yang terjadi sejak lggl. Sementara itu, lntemational Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) I9943r mengadili kejahatan genosida., pelanggutun Konvensi Geneva dan kejahatan ierhadap kernanusian yang terjadi di Rwanda sejak 1 Januarihingga 31 Desember 1994. Kedua pengadilan ini bersifat ad hoc, yang Pembentukan dan PenYelenggaraan peradilannya menghabiskan sumber daya yang besar’.

Tahun 1998 meruPakan tahun Yang sangat penting dalam upaya masyarakat inteinasional membangun satu mekanisme internasional untuk menyelesaikan berbagai kejahatan serius. Konferensi DiplornJtit di Plenipotentiaries. Roma 25-17 Juli 1998, mensahkan dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (lnternational Criminal Court’ ICC) yakni Statuta Roma. Setelah diratifikasi oleh 60 negara lebih maka pada tanggal 11 Juli 2002, mahkamah ini mulai ufeltif bekerja, dan berkedudukan di The Hague. Belanda Mahkamah ini mempunyai yurisdiksi mencakup empat jenis kejahatan yang serius. yakni genosida. kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang’dan kejahatan agresi. Rumusan dan batasanbatasan dari tiga jenis pertama kejahatan ini telah disepakati pada waktu statuta disahkan. sedangkan untuk kejahatan agresi masih akan dirumuskan kemudian’ Yurisdiksi mahkamah ini’ meliputi kejahatan yang terjadi setelah tanggal 11 Juli 2002. Asas non-retroaktif ditetapkan secara pasti. Sedangkan untuk kejahatankejahatan serius yang terjadi sebelum tanggal tersebut, masih terbuka kemungkinan penyelesaiaannya melalui pengadilan internasional ad-hoc. Mekanisme internasional memang suatu yang perlu, namun adanya mekanisme ini tid;k menghapus tanggung jawab negara – sebagai anggota masyarakat dunia yang beradab – untuk menghukum para pelaku kejahatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Yurisciiksi dari Mahkamah Pidana


Internasional justn’r baru mulai efektif ketika satu negara tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable)mem prosekusi kejahatan yang terjadi di dalam yurisdiksinya. Namun demikian satu negara tidak dapat – untuk alasan tertentu – melaksanakan suatu peradilan pura-pura, karena dalam keadaan seperti itu Muhkumah Pidana Internasional aapg! melakukan prosekusi atas kejahatan itu’32 Dalam keadaan ini prinsip nebis in idem dikesampingkan.

Inilah dasar utama argumentasi dari berbagai kalangan internasional, untuk tetap mengusahakan dibentuknya pengadilan internasional untuk kasus Timor Timur, meskipun Indonesia telah melakukan proses hukum melalui Pengadilan HAM Adhoc Timor Timur. Berdasarkan pengamatan dan evaluasi, disimpulkan bahwa pengadilan ini tidak berjalan sesuai dengan standar-standar yang diakui dalam hukum internasional. Dalam upaYa untuk mencegah terjadinya kejahatan serius, mekanisme nasional tidak menjadi satu mekanisme satusatunya. Oleh karena mekanisme nasional justru tidak dapat menegakkan keadilan, baik karena keterbatasan sumber daya nasional maupun alasan lain’ maka satu generasi baru mekanisme

penyelesaian kejahatan serius muncul. Mekanisme tersebut merupakan gabungan dari upaya internasional dan lokal. Mekanisme tersebut dikenal dengan nama pengadilan hybrid, yakni:

Tribunal Khusus untuk Kejahatan Khmer Merah di Kamboja. Pendirian tribunal khusus ini dilakukan dengan undang-undang nasional Kamboja33, sebagai bagian dari kompromi terhadap tuntutan pengadilan internasional. atas kejahatan yang dilakukan rejlm Khmer Merah dalam periocie 17 April I97 5 hingga 6 Januari I97 9 . Rejim yang berkuasa kurang dari 4 tahun ini telah membantai 1,5 – 2 iuta orang, 20o/o dari total penduduk Kamboja, dalam upaya revolusi agraria untuk membangun suatu masyarakat yang murni (“borisot”). Tribunal ini akan mengadili kejahatan-kejahatan yang diancam oleh hukum pidana Kamboja yakni; pembunuhan, penyiksaan dan persekusi agama disamping kejahatan genosida sesuai dengan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Genosida (1948). Terdakwa yang akan diadili dibatasi hanya kepada pimpinan senior Democratic Kampuchea dan mereka yang paling bertanggungjawab


(mosf responsible) atas kejahatan yang dilakukan (Pasal 2). Ketentuan ini membebaskan para pelaku lapangan yang melakukan kejahatan tersebut.

Perlu dicatat keterlibatan PBB dalam pembentukan tribunal ini didasarkan pada permintaan resmi Perdana Menteri Kamboja. Hun Sen dan Ketua Majelis Nasional Kamboja. Pangeran Ranaridh pada tahun 1997. Tim Ahli yang dikirirn PBB untuk menanggapi permintaan itu, mengusulkan pembentukan pengadilan internasional. Pendapat ini tidak dapat diterima pemerintah Kamboja. Tribunal ini sampai saat ini belum mulai bekerja, berhubung dengan berbagai perbedaan pandangan antara PBB dengan Pemerintah Kamboja. Beberapa kontroversi antara lain menyangkut komposisi majelis hakim. Tribunal ini akan dipimpin oleh majelis hakim campuran yang terdiri dari 3 hakim nasional dan 2 hakim internasional (Pasal 9). Namun demikian, masalah kepala jaksa penuntut umum masih belum terselesaikan, karena PBB menginginkan jaksa internasional bukan hanya sebagai co-prosecutor,seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Usahausaha untuk menjembatani berbagai perbedaan ini masih terus berjalan, sebelum dunia dapat menyaksikan pengadilan ini bekerja.

Panel Khusus Kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili, Timor Leste. Pemerintah Transisi PBB di Timor Leste (UNTAET) membentuk Unit Kejahatan Berat (Serious Crimes Unit) pada tahun 2000 untuk menyelidiki berbagai kasus kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur tahun 1999 . Kasus-kasus ini diperiksa dan diadilioleh Panel Khusus Kejahatan Berat (Speciol Panel t’or Serious Crimes). Pembentukan mekanisme tersebut sesuai dengan mandat yang diberikan Dewan Kearnanan PBB kepada UNTAET.3a Panel khusus terdiri atas majelis hakim campuran yang beranggotakan 2 (dua) hakim internasional dan 1 (satu) hakim Timor Leste. Unit Kejahatan Berat memberi prioritas pada sepuluh kasus, 7 (tujuh) diantaranya telah selesai diselidiki. Kesepuluh kasus itu adalah: Pembantaian Gereja Liquisa (6 April 1999\; pembunuhan di rumah Manuel Carascalao (17 April 1999): Kasus Los Palos (21 APril – 25 Septemb er 1999); Kasus Lolotoe (2 Mei- 16 September 1999\ Pembantaian di Gereja Suai (6 SePtember 1999); Serangan ke rumah kediaman Uskup Bello dan Dioses Dili (6 SePtember 1999); Pembantaian Passabe dan Makaleb (September-Oktober 7999); kasus deportasi’ pengejaran, pembunuhan staf UNAMET dan-kekejaman oleh Batalyon 745 TNI (April-


september 1’999)r kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan di berbagai distrik (Maret-September 1999)’.

Hingga Oktober 2001, l’1 orang telah diadili oleh Panel Khusus. Mereka dijatuhihukuman penjara antara 4 sampai 16 tahun. Ketentuan hukum di Timor Leste menetaPkan hukuman Penjara maksimal 25 tahun, sedangkan hukuman mati tidak berlaku. Dalam berkas penyelidikan, sejumlah perwira TNI didakwa terlibat dalam kejai-ratan tersebut. Dakwaan terhadap 8 (delapan) pejabat militer dan sipil Indonesia pernah diumumkan oleh Unit Kejahatan Berat pada Februari 2003. Salah seorang terdakwa utama adalah Jenderal Wiranto. yang menjabat sebagai Panglima ABRI pada tahun 1999. Panel khusus ini mempunyai yrrisdiksi atas kejahatan berat yakni; genosida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang. termasuk pembunuhan dan kejai-ratan seksual sesuai dengan KUHP lndonesia yang terjadi antara 1 Januari L999 sampai 25 Oktober 1999. Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone Pengadilan khusus ini (The Special Court f or Sierrra Leone/SCSL) dibentuk berdasarkan persetujuan antara PBB dan Pemerintah Sierra

Leone sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No’ 1315/2000, 14 Augustus 2000′ Pengadilan ini berw’enang untuk mengadiii berbagai kasus pelanggaran serius terhadaphukum humaniter internasional dan hukum pidana Sierra Leone yang terjadi sejak 30 November 1996 (Pasal 1 & 5 Statuta SCSL). Undang-undang nasional Sierra Leone yang dipakaiadalah Undandundang Pencegahan Kekejaman terhadap Anak-An ak (7926) dan Undang-undang Perusakan Kota (1861). Kejahatan-kejahatan tersebut terjadi selama perang saudara di Sierra Leone yang melibatkan kekuatan-kekuatan eksternal (Liberia). Sierra Leone seperti telah kita ketahui, adalah sebuah negara kecil di pantai barat Afrika, yang merupakan negara Penghasil berlian’ Pengadilan Khusus tersebui bekerja sesuai dengan mandatnya dan hingga Septemb er 2003 telah menuntut 13 orang terdakwa, yang dinilai sebagai orang-orang yang paling bertanggungjawab dalam perang saudara tersebut’ Namun demikian, tokoh yang banyak terlibat dalam kejahatan-kejahatan tersebut yakni Charles Taylor, mantan presiden Liberia, mendapat suaka politik di Nigeria. Dari tiga pengadilan hybrid di atas, nampak adanya usaha untuk di


satu pihak memberi preferensi kepada suatu negara untuk melakukan kewajibannya, dan di pihak lain sekaligus menjamin agar pengadilan berjalan sesuai dengan standarstandar internasional. Hal terakhir dilakukan dengan pelibatan elemen internasional baik di tingkat persiapan maupun dalam proses pengadilannya. Pembentukan pengadilan hybrid dapat disesuaikan dengan konteks lokal suatu negara tertentu. Walaupun hal itu juga berarti, pembentukannya membawa konsekuensi tersendiri, yakni sarat dengan konsesi-konsesi politik. Pengembangan pengadilan hybrid sebagai mekanism e penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini. masih memerlukar-r waktu sebelum masyarakat internasional dapat menerima mekanisme ini, sebagai satu pilihan yang lebih efektif dalam menegakkan keadilan.

PENUTUP

Pelanggaran hak asasi nlanusia yang berat. merupakan kejahatan yang serius (serious crimes) da,-r luar biasa (extra or’ dinary crimes). Kejahatan itu merupakan kejahatan

internasional. yang tidak dapat lagi dianggap semata-mata sebagai urusan domestik suatu negara. Terhadap kejahatan ini berlaku yurisdiksi internasional. Setiap anggota masyarakat internasional berkewajiban baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama untuk memprosekusi kejahatan seperti ini. Bagi Indonesia. usaha untuk membangun mekanisme nasionai guna menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, merupakan satu proses yang baru saja dimulai. Masih dibutuhkan banyak usaha agar mekanisme ini dapat bekerja untuk menegakkan keadilan sesuai dengan standar internasional. Usaha membangun mekanisme ini adalah tanggung jawab negara yang diperintahkan oleh konstitusi3s, untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Hal itu juga merupakan tanggung jawab anggota masyarakat bangsa-bangsa yang beradab. { Pengalaman yang didapat dari pengaCilan kasus Timor Tirnur dan Taniung Priok, serta macetnya proses penyidikan kasus Trisakti, Semanggi i dan II, dan kasus Kerusuhan Mei di iaksa Agung, menunjukkan begitu banYak kelemahan yang harus diatasi. Ada keperluan mendesak untuk melakukan berbagai perbaikan dalam Undang-undang llo. 26/2000. baik rnenyangkut hukum material


maupun hukum acaranYa. Amandamen terhadap hukum material dapat memilihl a) sepenuhnya mengadopsi secara benar ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam hal kejahatan serius atau b) memberikan rumusan yang luas terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sehingga berbagai kejahatan serius yang tidak termasuk dalam rumusan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian, dapat didiadili. Disamping itu – dan Yang tak kurang pentingnya – adalah peningkatan kompetensi dari Komnas HAM (sebagai p e n y e l i d i k ) . J a k s a Agung36 (sebagai penyidik dan penuntut umum), Hakim dan Panitera di pengadilan HAM, dan juga pembela hukum. Sehingga Indonesia dapat menyelenggerakan pengadilan atas kejahatan serius, sesuai dengan standar-standar yang diakui oleh hukum iniernasional. Akhirnya tinggal satu persoalan dasar yakni: apakah ada komitmen yang kuat dari penyelenggara kekuasaan negara, terutama pemerintah, untuk melakukan perbaikan itu?

30/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Asmara Nababan: “Human Rights Belong to Us” (Majalah Inside Indonesia – No. 47 July-September 1996)

by hambali 30/09/2020
written by hambali

Asmara Nabavan is the execuitve secretary of INFID in Jakaria. Since he is also a member of the National Human Rights Commission, we asked him to assess both. For Asmara, the link is human rights.

What is the role of INFID?

INFID is a forum for a wide range of NGOsin Indonesia, with a wide range of backgrounds, interests and functions, from all parts of Indonesia, from Aceh to Irian Jaya. It also groups NGOs with different religious backgrounds — some have Islamic, Catholic and Protestant backgrounds. It is a meeting place where NGOs can discuss the problems they face in Indonesia.

What have INFID and its predecessor INGI been able to achieve?

I don’t have a simple answer to that. But at the very least it has been able to bring all NGOs onto one platform. In itself this is strategically important in Indonesia, where the differences between NGOs have been great, and where there has beenlittle history of working together.

Arief Budiman spoke earlier in the conference about the need for NGOs to develop a common ideology. Do you agree?

I think by working together to face obstacles, by joining in the same process, we can come to a common understanding. In three fields — democratisation, equity, and sustainability — all the participants in INFID already have a common understanding. All the NGOs in INFID support these core positions.

How has the composition of INFID changed over the years?

In the early years, only the biggest NGOs participated, but recently many smaller and local NGOs have begun to participate directly. There are also regional networks of NGOs which participate, including networks from Aceh, Yogyakarta, and North Sumatra. Each of these represent ‘ between fifty and one hundred NGOs. So if we say that around forty NGOs participate in INFID, in fact that is an underestimate, there are far more than that. We have seen an expansion ofthe social base of this network.

How do you see the interaction been Australian and Indonesian NGOs?

Frankly speaking, most such cooperation is in the development field. This is not wrong of course, but we hope in the future that Australian NGOs will be more active in human rights, in advocacy and democratisation issues. This is because, guite apart from our criticisms and disappointment with the development process in Indonesia, people no longer die from hunger in Indonesia. It’s not like Somalia or similar countries. The main problems we face now are not economic, but matters like basic human rights, the right to participate, the right of people to be recognised as human beings.

Why did INFID choose the land issue as the theme of this year’s conference?

Land disputes are increasing from year to year. Especially in Java, economic growth has dramatically increased pres- sure on land. They need landfor roads, industrial plants and so on. And yet, the legal infrastructure is too weak to protect the people who are simply ousted from their land. In the past, people used to just accept this. They used to have an attitude of “well, what can we do?’ But over the last five years, people no longer want to just accept it anymore. There is a new awareness among the people that they have the right to fight for their own rights, for their land.

You are a member of the National Human Rights Commission. People say it has more independence than was initially expected. How can the Commission influence the Indonesian government on human rights?

First of all, relations between the Commission and NGOs have improved greatly. In the Commission’s first year, many of its members were cynical about NGOs. They had stereotyped perceptions of NGOs, similar to those of the government. They were reluctant to cooperate with NGOs. Over the last year, a new understanding has emerged in most members about the function of NGOs. Most recognise the need to cooperate with the NGO community. Now on the role of the Commission regarding the government. From the start I did not expect too much from the government. Rather, I see the main role of the Commission right now is to promote understanding of humanrights in the public. Our statements appear every day in the newspapers. They are bringing about a kind of legitimation of the issue of human rights. Our work shows the public that human rights belong to us, that they are not an alien concept. Five years ago, if a groupraised the humanrights issue they were accused of spreading “Western’ ideas and subversion. Nowitis legitimate to discuss human rights. This is a major step forward, a real change. Now you hardly even find any generals or ministers who will say that human rights are an alien or Western concept. Because of our limited mandate, we must cooperate with the government. We can’t confront the government. The Commission is too weak, in terms of our legal basis, our capacity and so on. So we take a cooperative approach. But this does not mean that we don’t criticise them.

30/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Anggota Komnas HAM Asmara Nababan SH: Letjen Prabowo Harus Dilimpahkan ke Mahkamah Militer

by hambali 29/09/2020
written by hambali

Pematangsiantar (SIB)

Anggota Komnas HAM (Hak Azasi Manusia), Asmara Nababan, SH mengatakan, keputusan Pangab yang hanya memberhentikan Letjen Prabowo dan membebastugaskan Mayjen Muchdi PR dan Kolonel. Chairawan dalam kasus tuduhan penculikan aktifis, merupakan keputusan yang tidak sesuai dengan harapan atau rasa keadilan dari masyarakat.

Sebenarnya untuk menentukan bersalah atau tidaknya ketiga Perwira ABRI itu adalah pengadilan. Untuk itu, kasus penculikan aktifis harus diajukan ke MahkamahMiliter, sekaligus menghilangkan adanya anggapan dari masyarakat bahwa keputusan Pangab itu dirasakan tidak adil, ujarnya menjawab SIB di’Pematangsiantar, Kamis (27/ 8)

Di samping itu, kata Asmara Nababan, kalau komitmen ABRI mau mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada ABRI, maka sebenarnya kasus ketiga ABRI itu harus dilimpahkan (diajukan) ke Mahkamah Militer.

Di katakan, dalam persidangan Mahkamah Militer nantinya di samping mendengarkan keterangan dari Letjen Prabowo, Mayjen Muchdi PR dan Kolonel Chairawan, juga akan mendengarkan keterangan para saksi-saksi dan bukti-bukti.

Misalnya, seandainya Letjen Prabowo mengaku hanya menculik 9 aktivis, tetapi mungkin berbeda dengan keterangan para saksi dan tidak tertutup kemungkinan yang diculik tabir dari 9 orang.

Karenanya, kasus ketiga Perwira ABRI itu harus diajukan ke Mahkamah Militer, agar pengadilanlah yang menentukan bersalah tidaknya ketiga Perwira ABRI itu. Sebab, kalau kasus ketiga Perwira ABRI diajukan ke Mahkamah Militer, bukan berarti mereka sudah bersalah. Di persidangan Mahkamah Militer nantinya, ketiga Perwira ABRI itu bisa membela diri dan itu merupakan hak mereka.

Kalau kasus ketiga Perwira ABRI itu tidak diajukan ke Mahkamah Militer, itu menimbulkan spekulasi dari masyarakat bahwa keputusan Pangab itu dijadikan tumbal untuk “menyelamatkan” orang lain, kata Asmara Nababan.

29/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Search

Recent Posts

  • Gerakan Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Oekumenis: Presentasi Pendeta Gomar Gultom di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Kata Sambutan Antonio Pradjasto di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Asmara Berdemokrasi dan HAM (Cakrawala – 13 Desember 2020)
  • Bang As Tak Pernah Meninggalkan Orang: Presentasi Sarah Lery Mboeik di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Peringatan 10 Tahun Kepergian Asmara Nababan: Presentasi Henri Saragih di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045

Recent Comments

    Copyright 2020


    Back To Top
    Asmara Nababan
    • Home
    • Tentang Asmara Nababan
      • Awal Kehidupan
      • Pendidikan
      • Riwayat Pekerjaan
      • Kegiatan Lainnya
    • Warisan Pemikiran
      • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
      • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
      • HAM dan Pembangunan
      • Demokrasi dan Tata Negara
      • Pendidikan dan Seni
    • Living Legacy
      • Arsip Video
      • Arsip Foto
      • Doa untuk Bang As & Bangsa
      • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
      • Kirim Tulisan
    • Info Kegiatan
    • id ID
      • id ID
      • en EN