• Home
  • Tentang Asmara Nababan
    • Awal Kehidupan
    • Pendidikan
    • Riwayat Pekerjaan
    • Kegiatan Lainnya
  • Warisan Pemikiran
    • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
    • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
    • HAM dan Pembangunan
    • Demokrasi dan Tata Negara
    • Pendidikan dan Seni
  • Living Legacy
    • Arsip Video
    • Arsip Foto
    • Doa untuk Bang As & Bangsa
    • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
    • Kirim Tulisan
  • Info Kegiatan
  • id ID
    • id ID
    • en EN
Asmara Nababan
keep your memories alive
Author

hambali

hambali

Video

Peluncuran Buku Oase Bagi Setiap Kegelisahan – Tribute untuk Asmara Nababan (Part 2/3)

by hambali 28/09/2020
written by hambali
28/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Video

Peluncuran Buku Oase Bagi Setiap Kegelisahan – Tribute untuk Asmara Nababan (Part 1/3)

by hambali 28/09/2020
written by hambali
28/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Video

Asmara Nababan: Pejuang HAM Berpulang

by hambali 28/09/2020
written by hambali
28/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Evaluasi Kritis Kelemahan UU Pengadilan HAM dalam Praktek Penegakan Hak Asasi Manusia

by hambali 28/09/2020
written by hambali

Pendahuluan

Penegakanatau tepatnya perlindungan hak asasi manusia sejak tahun 1999 telah diperkuat dengan perlindungan legal melalui UU 39/1999 dan bahKejagungn mendapat perlindungan konstitusional dengan amandemen ke-2 UUD 1945 tahun 2000. Dalam amandemen tersebut 10 pasal baru dirumuskan yang memuat pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu adalah satu hal sudah seharusnya bagi kejahatan berupa pelanggaran berat hak asasi manusia dibentuk pengadilan yang khusus untukitu, yakni: Pengadilan Hak Asasi Manusia( Psl. 104, UU 39/1999) yang diatur dengan UU 26/2000.

Meskipun UU 26/2000 baru di undangkan tanggal 23 November 2003, namun Penyelidik sebagai langah pertama dalam proses peradilan hak asasi manusia telah dilakukan sejak tahun 1999 dalam kasus Timor Timur dan kasus Tanjung Priok tahun 20007. Kasus Timor Timurtelah selesai diadili oleh Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim pada tingKejagungt pertama pada tanggal 5 Augustus 2003, dan Kasus Tanjung Priok berKejagungsnyatelah diserahkan penuntut ke pengadilan tanggal 19 Augustus 2003. Selain itu Kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura tahun 2000, akan segera diadili di Pengadilan HAM Makasar. Laporan Penyelidik Kasus Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2 (TSS) yang dilakukan oleh Komnas HAM masih terkatung-katung di tangan Kejagung RI. Sementara penyelidikan lainnya oleh Komnas HAM yang masih berlangsung adalah Kasus Kerusuhan Mei 1998. Seluruh proses tersebut di atas memberi kesempatan kepada usaha untuk menarik berbagai pelajaran menyangkut perbaikan bagi perlindungan hak asasi manusia di masa depan, dan secara khusus untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam UU 26/2000.

Tahap Penyelidik:

Komnas HAM adalah satu-satunya institusi yang memulai proses prosekusi dengan melakukan penyelidikan dalam hal dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik atas kejahatan yang terjadi sebelum dan sesudah UU 26/2000 diundangKejagungn. Dari beberapa Penyelidik pro justicia yang dilaku Kejagung oleh Komnas HAM makakesulitan utama yang ditemukan dapat diuraikan sbb:

  1. Penafsiran pasal 43 UU 26/2000
  2. Penyelidik Komnas HAM telah dua Kejagungli terhambat dalam meminta keterangan dari anggota TNI termasuk purnawirawannya, yakni dalam Kasus TSS dan Kerusuhan Mei. . Mereka menolak hadir dengan alasan bahwaproses penyelidikan oleh Komnas HAMuntukpelanggaran berat hak asasi manusia sebelum UU 26/2000 baru dapat dilakukan bila Pengadilan HAM Ad hoc telah terbentuk. Alasan ini mulai dikemukakan ketika Pansus DPR Kasus TSS merekomendasikan bahwa dalam 3 peristiwa itu tidak ada pelanggaran berat hak asasi manusia. DPR memang telah melampau kewenangannya dengan memberi pendapat yang bersifat judicial, tetapi argumentasi yang dikemukan oleh anggota TNI menolak hadir memberi keterangan untuk keperluan penyelidikan merupakan obstrtuction of justice. Karena penyelidikan oleh Komnas HAM barulah tahap untuk mencari bukti permulaan yang cukup tentang ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat ( Psl 20). Sehingga bila disyaratkan dulu adanya Bengadilan HAM Adhoc baru dapat dilakukan penyelidikan , maka Pengadilan itu bisa tak berguna, karena belum tentu diperoleh bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran berat hak asasi manusia dalam tahap penyelidikan untuk di ikuti dengan penyidikan.

    Pengadilan HAM Ad hoc diusulkan oleh DPR untuk dibentuk menurut penjelasan Psl 43 “..mendasarkan pada dugaantelah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Dugaan ini justru baru ada bila telah ada penyelidikan! Keputusan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Adhoc sejatinya adalah keputusan politik. Hal ini juga sejajar dengan praktek internasional dimana keputusan pembentukan pengadilan ad hoc international dilakukan oleh Dewan Keamanan PBBsetelah ada dugaantelah terjadinya kejahatan yang serius berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB.

  3. Sub-poena power
  4. Kewenangan Komnas HAMuntuk memanggil seseorang dengan upaya paksa diatur dalam Psl 95, UU 39/1999, namun penjelasan pasal ini Psl 95 menjelaskan bahwa pemanggilan paksa didasarkan pada Psl 140 (1) dan (2), Psl 141 (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) atau pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura. Kedua ketentuan perundang-undangan ini bersifat perdata, dan bila yang bersangkutan tetap tidak menuruti perintah pengadilan maka kepadanya hanyadijatuhkan denda. Pada hal dalam konteks pelanggaran berat hak asasai manusia, yang diselidiki adalah kasus pidana! Bandingkan dengan sanksi yang dikenakan pada seseorang yang tidak bersedia hadir bila dipanggil oleh DPR untuk diminta keterangannya. Dalam UU Susduk DPR , mereka yang menolak memenuhi panggilan dari DPR diancam kurungan..hari.

  5. Konflik Jurisdiksi
  6. Dalam Kasus pembunuhan kilat relawan RATA di Aceh oleh aparat keamanan, Desember 2000. Komnas HAM memutuskan akan melakukan Penyelidik sesuai dengan kewenangannya yang diatur oleh UU 26/2000 Karena mendugatelah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Rencana tersebut terpaksa dibatalkan karena kasus tersebut telah selesai disidik oleh Polri dan berkasnya telah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Aceh. UU 26/2000 tidak mengatur dengan jelas bila terjadi hal yang demikian, apakah Komnas HAM masih dapat melakukan penyelidikan, serta meminta pengalihan perkara dari Kejaksaan. Komnas HAM juga tidak punya kewenangan untuk memerintahkan pihak kepolisian untuk menghentikan penyelidikan atau penyidikan yang dilakukan dalam satu perkara, bilamana Komnas HAM mendugatelah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia.

Tahap Penyidikan dan Penuntutan

Penyidikan perkarara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk pelaksanaan tugas tersebut dapat diangkat penyidik ad hoc (Psl 21 (1,3) UU 26/2000). Psl 23 (1) menentapkan bahwa penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk pelaksanaan tugas tersebut dapat diangkat penuntut umum ad hoc Psl 23 (2). Hasil penyidikan dan penuntutan yang sudah dapat dievaluasi adalah dalam Kasus Tim-Tim yang telah selesai diperiksa di di Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim. Hasil penyidikan Kejaksaan Agungternyata sangat berbeda dengan ..laporan KPP HAM? dan laporan-laporan Penyelidik lainnya seperti International Committee of Inguiry on East Timor) ICIRT dan Serious Crimes Unit of East Timor

Lemahnya penyidik Kejagungn oleh Kejaksaan Agung menunjukkan dengan jelas penyakit sistemik yang menjangkiti Kejaksaan Agung, sebagaimana yang di simpulkan dalam Final Report of the Audit of the Public Prosecution Service of the Republic of Indonesia (FRAPS) tahun 2000, antara lain menyangkut:

  • Kompetensi dan Akuntabilitas
  • Sistem Hukum Indonesia secara tipikal tidak bekerja untuk memajukan mereka yang punya kompetensi, karena baik jaksa maupun hakim dinilai berdasarkan ukuran subyektif yakni” loyalitas, kejujuran dan kerjasama” bukan keberhasilan dalam kualitas keputusan maupun keberhasilan penuntutan”. Jaksa yang baik adalah yang mengikuti perintah dariatas.

    Struktur birokrasi yang kompleks dari Kejaksaan Agung serta lemahnya budaya akuntabilitas, membuat amat sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas penuntutan yang gagal. Kegagalan ini bisa diakibatkan oleh “ persiapan yang buruk dari penuntut, keputusan yang salah dari atasannya, atau strategi yang buruk dari penuntut atau oleh atasannya” Inilah salah satu persoalan yang muncul ketika Kejaksaan Agung mengumumkantersangka kasus Tim-Tim sebanyak 19 orang, dan semua pejabat tinggi militer yang bertanggungjawab dalam aras kebijakan tidak ada yang menjadi tersangka. Kejaksaan Agung tidak menjelaskan kepada publik tentang perbedaan yang begitu besar dengan “hasil Penyelidik KKPPHAM Tim-Tim.

  • Militerisasi Kejaksaan Agung & Alat Kekuasaan Politik
  • Struktur hirarkis yang kaku dari Kejagung, membuat pejabat bawahan tidak akan bicara kalau atasan ada, perintah datang dari atas, diskresi terbatas, prakarsa bukan sesuatu yang dihargai, sanksi bagi kesalahan dapat diubah. Aturan yang rinci, adanya persetujuan atasan atas rencana prosekusi dan seringnya penilaian membuat sempitnya kesempatan untuk diskresi di semua aras.

    Tidak boleh dilupakan bahwa Kejagung untuk puluhan tahun adalah alat untuk menegakkan kebijakan pemerintah dan tidak harus menegakkan hukum. Begitu juga Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda selama puluhan tahun dijabat olehanggota militer, membuatistitusi ini sangat akomodatif terhadap kultur militer. Hal ini tampak, pejabat yang berpakaian ala militer, upacara ala militer, cara memberi salam ala militer dst.

    Dalam struktur yang seperti itu, jaksa yang ditugaskan sebagai penyidik dalam prakteknya melihat ke atasannya. Sikap atasan secara langsung atau tidak langsung akan memberi tahu sejauh manaprioritas satu kasus harus disidik, dan dituntut.

    Dengan melihat kehadiran 1 atau 2 orang penuntut dalam persidangan kasus-kasus Tim-Tim berhadapan dengan 10 s/d 15 pembela hukum para terdakwa, denganjelas dapat dilihat bahwa Kasusini bukan prioritas bagi Kejagung, karena Kejagung juga melihat tanda-tanda sejauh mana pemerintah dan kekuatan-kekuatanpolitik menyikapi kasus itu.

    Dengan demikian alokasi dana juga amat kecil untuk penyidikan dan penuntutan. Pemeriksaan saksi melalui tele-conferemce hanya dapat diadakan karena desakan yang kuat dari luar tubuh Kejaksaan Agung, dan juga adanya pihak lain yang memberi sokongan dana untuk membiaya tele-conference itu.

    Perlakuan dalam penyidikan dan penuntutan yang memperlakukan kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai pidana ringan, tampak dari berbagai keadaan seperti: para tersangKejagung dan kemudian terdakwa tidak pernah di tahan’, begitu juga usaha yang minimal dalam menghadirKejagungn saksi maupun bukti-bukti material lainnya dalam Kasus Tim-Tim.

Oleh karenanya kelemahan penyidikan dan penuntutan terutama terletak akibat dari penyakit yang sistemik dari Kejaksaan Agung, dan bukan terletak dalam kelemahan UU 26/2000.

Kelemahan yang bersifat struktural justru pada pengaturan UU 26/2000 yang meletakkan dua fungsi, penyelidikan dan penuntutan di satu institusi yang sangat hirarkis seperti Kejaksaan Agung. Dalam keadaan demikian tidak dimungkin satu hubungan antara penyidikan dan penuntutan yang bersifat check and balance.

Tentang hubungan kerja Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (Kejagung)

Dari sejak kasus Tim-Tim hubungan kerja antara Komnas HAM dengan Kejagung hampir tidak ada. Satu-satunya pertemuan antara tim penyidik Kejagung dengan Komnas HAMadalah pertemuan untuk menjelaskan bagaimana membaca data base KPP HAM Tim-Tim yang menggunakan sysytem HURIDOCS. Selama penyidikan oleh Kejagung tidak pernah ada permintaan berhubungan denganhasil penyelidikan Komnas HAM.

Hubungan kerja yang amat menganggu terjadi dalam kasus TSS. Laporan penyelidikann Komnas HAM pada awalnya dikembalikan untuk dilakukan perbaikan terutama dalam format berita acara pemeriksaan. Setelah diperbaiki kemudian laporan diserahkan ke Kejagung. Tidak lama kemudian laporan itu dikembalikan dengan alasan baru yang belum pernah dikemukan Kejagung dalam kasus Tim-Tim, T.Priok dan Abepura yakni penyelidik ad hoc harus diambil sumpahnya. UU 26/2000 tidak mensyaratkan hal tersebut. Memang untuk penyidik ad hoc disyaratakan untuk mengangkat sumpah sebelum melakukan tugasnya ( Psl 21 (3). Permintaan Kejagung ini ditolak Komnas HAM.

Dalam kasus yang sama penyelidik ad hoc juga meminta Kejagung agar mengeluarkan perintah penyitaan berbagai dokumen dari instansi TNI dan Polri yang berhubungan dengan kasus TSS”, permintaantersebut tidak pernah dipenuhi.

Tahap pemeriksaan di pengadilan

Berbagai persoalan yang dihadapi dalam tahap penyidikan dan penuntutan dihadapi juga selama pemeriksaan di pengadilan. Independensi Pengadilan HAM ad hoc juga dipertanyakan berhubung dengan lemahnyaindependensi dari semua sistem peradilan di Indonesia’?. Proses persidangan kasus Tim-Tim di pengadilan menjadi gambaran kehendak dan komitmen politik pemerintah atau kekuasaan politik lainnya dalam menyelesaikan kejahatan terhadap kemanusian yangterjadi di Timor Tirftur tahun 1999.

Prioritas yang rendah dari pemerintah secara nyata tercermin dari dukungan adminsitrasi yang sangat lemah untuk Pengadilan HAM Adhoc. Kebutuhan yang paling pokok dari hakim tidak tersedia seperti, ruang kantor, komputer, foto copy, kertas, staf pendukung adminitrasi apalagi untuk kebutuhanriset tidak ada. Bahkan honor bulanan para hakim pertama kali dibayarsetelah 8 bulan persidangan berjalan.

Ketentuan tentang pengangkatan hakim ad-hoc untuk Pengadilan HAM disamping hakim karier sebenarnya didasarkan kepada pemikiran bahwa hakim ad hoc, pertama, akan menambahberbagai pengetahuan baru berhubung dengan hukum hakasasi manusia dan hukum humaniter internasional yang dibutuhkan dalam mengadili kejahatan terhadap kemanusian, sebagaisatu extraordinary crime. Kedua, hakim ad hoc belum atau tidak mengidap penyakit sistemik pengadilan pada umumnya.

Dari rekruitmen hakim ad hoc ternyata hanya beberapa orang yang mempunyai pengetahuan yang memadai tentang hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Oleh karena itu tujuan pengangkatan hakim ad hoc tidak sepenuhnya tercapai.

Selain itu hakim karier yang ditunjuk sebagai anggota majelis hakim dalam Pengadilan HAM Adhoc Tim-Tim, ternyata tidak dibebaskan dari tugas-tugas mengadili perkara lain. Sehingga konsentrasi untuk mengadili kejahatan yang luar biasa tidak ada.

Dengan demikian tidaklah mengherankan bagaimana berbagai pertimbangan dan keputusan yang diambil oleh majelis-majleis hakim sangat berbeda dari satu perkara ke perkara lainnya. Penerapan doktrin-doktrin hukum seperti “sistematik atau meluas”, “tanggungjawab komandan” diterapkan secara berbeda , sehingga kefanggalan seperti dalam kasus pembebasan Tono Suratman berhadapan dengan penghukuman atasannya Adam Damiri dapat terjadi. Padahal kedua-duanya dituntut atas dasar tanggungjawab komandan.

Kewibawaan pengadilan juga direndahkan oleh banyaknya peristiwa-peristiwa yang menyimpang dari ketentuan yang ada, seperti adanya pengunjung sidang yang membawa pestol ke ruang sidang. Kehadiran anggota TNI yang berseragam ketika terdakwa perwira tinggi TNI di periksa . Belum lagi teriakan-teriakan pengunjung yang mengecam hakim atau memberi dukungan bagi terdakwa. Semua itu menunjukkan bagaimana pengadilan di intimidasi secara nyata.

Kehadiran saksi korban dipersidangan yang sangat sedikit pertama-tama di sebabkan oleh persiapan yang sangat tidak memadai dari jaksa penuntut. Beberapa saksi korban menolak datang ke Jakarta karena alasan keamanan. Bahkan saksi korban yang berani datang ke Jakarta dari Timor Timur merasakan intimidasi baik di luar ruang sidang maupundi dalam ruang sidang.

Sering terjadi Hakim memerintahkan penuntut untuk menghadirkan saksi korban, tapi tidak terpenuhi”. Karena persidangan sudah harus rampung dalam 180 hari’”, makasaksi lain yang diperiksa terlebih dahulu, dan saksi-saksi tersebut keterangannyajustru sering meringankan terdakwa.

Kurangnya bukti-bukti yang disampaikan penuntut dalam persidangan sering ditimpakan sebagai kesalahan dari KPP HAM Tim-Tim, padahal data-data yang dikumpulkan KPP HAM Timtim amat banyak untuk mendukung pembuktian adanya kejahatan yang sistematik atau meluas yang dapat ditelusuri dari daftar peristiwa, pelaku, korban dan lain-lain. Berbagai dokumen yang menunjukkanketerhubungan TNI dengan milisi telah disebut dalam laporan KPP HAM Tim-Tim dan begitu juga berbagai dokumen yang dimiliki oleh UNTAET. Dokumen-dokumenitu sebenarnya dapat diminta oleh Kejagung sesuai dengan Memorandum of Understanding (MOU)antara UNTAET dan Jaksa Agung RI tanggal 5 April 2000. Haruslah pula diingat bahwa tugas Komnas HAM hanyalah sampai mengumpulkan bukti permulaan atas dugaan adanya pelanggaran berat hak asasi manusia, sedangkan pengumpulanbarang bukti adalah tugas penyidik yakni Kejagung.

Mengevaluasi pemeriksaan di persidangan memang tidak semata-mata dengan melihat keputusan persidangan: berapa yang dihukum dan berapa yang dibebaskan’”. Walaupun hal itu penting, namun yang lebih penting adalah melihat apakah proses persidangan tersebut berjalan secara fair dan tidak memihak.

Dari uraian diatas tampaklah jelas bahwa dari proses pengadilan kasus Tim-Tim yang berjalan sejak April 2002 hingga Augustus 2003, dapat kita simpulkan bahwa keadilan tidak dapat ditegakan.

Penutup

Persidangan kasus-kasus di Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim tidaklah terlepas dari keadaan politik riel yang ada. Komitmen politik Pemerintah yang lemah dalam menyelesaikan kasus kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi di Tim-Tim tahun 1999, tergambar dalam proses persidangan terutama dalam menilai kualitas penyidikan dan penuntutan yang sangat lemah oleh Kejagung.

Para hakim Pengadilan HAM Ad hoc memang menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Selain sumber daya yang terbatas, para hakim juga berhadapan dengan opinipara pemimpin pemerintahan dan politik, begitu juga sebagian masyarakat umum yang melihat apa yang terjadi di Tim-Tim tahun 1999 adalah ekses dari jajak pendapat, dan berbagaiperistiwa yangterjadi bersifat spontan dan konflik horizontal antara pendukung integrasi dan pendukung kemerdekaan. Penuntutan tidak menggambarkan denganjelas bahwakejahatan yang sistematis atau meluas yangterjadi di Tim-Tim hanyadapatterjadi karena adanya kebijakan aparat negara (TNI/POLRI) yang mendukung, melatih dan membiaya kelompok-kelompokmilisi sehingga terjadi kejahatan terhadap kemanusian berupa pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan, perkosaan, pengungsian paksa, dan pembumi hangusan.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa Pengadilan HAM Adhoc Tim-Tim yang banyak menimbulkankritik dari para pekerja hak asasi manusia dari dalam maupun luar negeri, menggambarkan kombinasi dari ketidakmauan (unwilling) dan ketidakmampuan (unable) negara untuk mengadili secara adil dan tidak memihak kasus kejahatan terhadap kemanusia yangterjadi di Timor Timur tahun 1999.

28/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Demokrasi & Tata Negara

Asmara Nababan: “Negeri Ini tidak Diatur Lobi dan Kasak-kusuk”

by hambali 28/09/2020
written by hambali

ALUMNUS Fakultas Hukum UIini, selain anggota 4 Komnas HAM juga adalah sebagai Sekretaris INFID (International NGO’s Forum on Indonesian Development). Putra Batak, Sumatera Utara, menganggap perbincangan masalah suksesi disalahartikan sebagai perbincangan mengenaipribadi presiden. “Persoalan sekarang ini disebabkan oleh orang-orang mempersonalisasikan kekuasaan,” kata mantan aktivis angkatan 66 kepada Supriyanto dari HIMMAH yang mewawancarai di kediamannya Kebayoran Lama, Jakarta Barat, akhir bulan Juli lalu. Berikut petikannya:

Menurut Anda, idealnya proses pergantian kepemimpinan nasional itu seperti apa?

Idealnya semua rakyat terlibat dalam pemilihan. Tapi sistem kita UUD 1945 kita sudah menentukan bahwa yang langsung melakukan pemilihan tersebut adalah wakil-wakilnya. Namun, itu tidak menutup persoalan sebenarnya, tidak menutup peluang sehingga kesempatan rakyat turun untuk: terlibat dalam proses itu. Maksud saya, umpamanya pencalonan presiden jauh hari sebelum SU MPR. Dengan adanya calon-calon tersebut, maka rakyat dapat menilai apakah calon-calon tersebut cocok atau tidak cocok, mampu atau tidak mampu. Jadi, walaupun MPR yang memilih, namun ada peluang kita sebenarnya melibatkan lebih banyak rakyat atau seluruh masyarakat dalam proses tersebut. Ternyata, sekarang inikan selalu dicegah dengan mengatakan itu hak MPR, nanti saja pada waktu sidang MPR. Padahal (anggota MPR,– red.) menilai saja nggak ada, menyatakan ketidaksukaannya juga nggak mungkin. Yang terjadi, meski diumumkan pencalonanitu,tapi biasanya sudah dipilih. Semuanyaselalu begitu, secepat itu.

Bagaimana dengan mekanismetentang lembaga kepresidenan itu, sepertinya dewan kurang transparan?

Sebenarnya, mekanisme itu kan sesuatu yang bersifat in- strumental yang harus dirubah sesuai dengan perubahan jaman.Itu dulu. Tapi sekarang kan tidak. Instrumen itu bukan seperti konstitusi, yang tidak bisa diubah-ubah. Sampaisaatini, menurutsaya,proses pencarian presidenitu tidak transparan. Umpamanya, melalui tiga kekuatan politik yang diakui, mestinya mereka yang melibatkan masyarakatdalamproses itu. Jangan dulu masuk ke persidangan DPR atau MPR.Jadi, pada kehidupanpolitik harian dulu. Sampai sekarang, kita belum tahu siapa yang diunggulkan oleh PPP, Golkar dan PDI. Siapa calon presiden menurut mereka? Nggak — ada. Yang ada adalah bisik-bisik diluar, percakapan yang tidak formal yang sangathati-hati dilakukan.

Berarti untuk pengajuan calon presiden itu tidak a d a mekanisme yang menjamin partisipasi rakyat?

‘Yang kita harapkan dapat lebih banyak melibatkan rakyat tidak ada. Yang terjadi adanya anggapan, bahwa kalau cepat- cepat dikeluarkan menimbulkan berbagai masalah. Nah, perangkat mengasumsikan rakyat kita tidak dewasa. Dalam pikiran merekarakyatkita tidak dewasa menerimatiga atau empat calon, atau nanti rakyat masyarakat akan terpecah-pecah danlain sebagainya. Pikiran ini masih ada pada elit yang – mengganggap masyarakat tidak dewasa. Sebenarnya, pendapat mereka- sendiri yang tidak dewasa. Alasan-alasan semacam ini juga dipakai kolonial Belanda jaman dulu, iya kan?

Kalau begitu, pada konteks sekarang tidak relevan?

Itu jelas. Itu bertentangan dengan klaim elit politik yang mengatakan tentang kemajuan pembangunan selama 30 tahun ini. Di satu pihak, dia mau mengklaim kemajuan yang luar biasa, tapi di pihak lain berpendapat bahwa masyarakat belum siap. Ini kontradiktif.

Anda mengatakan sampai sekarang “partai politik belum ada yang mencalonkan presiden. Apakah ada sematam jalur- jalur informal diluar mekanisme?

Ya, itu dia. Permasalahannya kurang keterlibatan. masyarakat. Padahal semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, itu semakin demokratis. Dengan tidak pernah dilibatkan secara publik tapi dilakukan secara diam-diam, itukan mengurangipartisipasi masyarakat ‘ dalamprosesi. Lobi boleh, kasak-kusuk boleh. Tapi negeri ini tidak boleh diatur hanya dengan lobi dan kasak kusuk, harus adaketerlibatan publik. Menurut saya, bila keterlibatan publik secara terbuka tidak — dibiasakan terjadi, maka masyarakat juga ‘ tidak akan terbiasa berbeda pendapat.

Artinya, yang lebih dominan atau mempunyai pengaruh yang kuat itu justru pada tingkat informal?

Pada tingkat kasak-kusuk dan lobi saja. Suasananya,sering dikatakan,tidak mau menyinggung perasaan presiden yang sekarang. Nanti dianggap pencalonan itu menyinggung presiden. — Inikan bukan persoalan pribadi. Persoalan sekarang ini disebabkan oleh orang-orang yang mempersonalisasikan kekuasaan. Sehingga ketika kita mendiskusikan jabatan itu, orang merasa itu mendiskusikan pribadinya.

Apakah ini indikasi eksekutif lebih berkuasa dari legislatif?

Itu jelas. Kecenderungan itu sudah lama. Tidak adanya (DPR — red.) atau tidak pernah ‘ menggunakan hak inisiatifnya, itu salah satu indikator mendukung pernyataan tadi. Bagi saya, itu bisa mendorongkrisis konstitusi. Di -eksekutif. Selama “dia negara kita pembagian kekuasaan bukan dalam tatanan teori, tapi pada tatanan praksis. Bagaimanapun juga, kekuasaan sekarang menumpuk pada cabang terkonsentrasi pada kekuasaan eksekutif, maka otomatis badan-badanlainnya itu berada dalam posisi di bawah.

Apakah karena alasan bahwa Demokrasi Pancasila nggak mengenal triaspolitika?

Memang tidak mengenal trias politika. Tapi, Demokrasi Pancasila tidak menganut otoriterisme. Di mana titik seimbangnya? Di satu pihak tidak menganggap trias politika, tapi di pihak lain juga menolak militerisme, otoriterisme, diktatorisme. Mestinya kalau dua kutub seperti itukan, ini ditolak, itu ditolak. Tapi, titik keseimbangannya tidak ini, tidak itu. Kalau yang terjadi cenderung kearah otoriterisme itu juga sudah bertentangan dengan Demokrasi Pancasila.

Apakah ada konsentrasi kekuasaandi satu tangan ?

Itu eksekutif. Dan puncak dari eksekutif itu presiden.

Berarti pemilu tidak ada gunanya karena tidak melahirkan perubahan fundamental?

Bukan, pemilu ‘itu membuka kesempatan terjadinya perubahan. Pemilu membukakesempatan ke arah suksesi. Selama pemilu itu tidak memberi kesempatan, .maka.nilai pemilu itu berkurang. Melihat proses pemilu yang lalu, bahkan orang mengatakan tidak memungkinkan perubahan. Dia (pemilu — red.) hanyaterarah kepada legitimasi. Memperkuat yang sudah ada.

Menurut anda apakah perlu pembatasana periodisasi jabatan presiden?

Perlu sekali. Kenapa harus ada pembatasan gubernur, bupati, camat? Artinya di sini kan ada logika yang benar. Kalau tidak, ngapain dibatasi. Mestinya jangan dibatasi dong, seperti presiden juga.

Tapi selama ini yang digunakansebagai basis legitimasinya kan UUD 1945? Bagaimana intepretasinya?

Ya,itu tidakinterpretasi, dapat dipilih kembali, iya kan? Sebab, saya juga bisa berargumentasi, mengatakan bahwa UUD 1945 juga tidak dikatakan dan tidak merumuskan dapat dipilih kembali, dipilih kembali lagi hingga seterusnya, tidak kan? Yang tertulis itu kan, cuma sekali. Tapilihat perbedaannya,sekarang interpretasi yang dianggap benar adalah interpretasi pemegang kekuasaan kan, bahwa itu tidak ada batasannya.

SU MPR 1998 mendatang apakah menghasilkan perubahan yang sangat berarti?

Sulit kalau kita melihat dari keadaan yang sekarang. Kita tidak melihat akan ada perubahan yang berarti karena transparansi dalam proses politik kita hampir tidak ada. Begitu pula prediksi- prediksi kita. Jadi, kita hidup dalam satu kehidupanpolitik yang suka terkejut- terkejut. Waktu itu. kan sehabis pemilu tiba-tiba reshuffle kabinet, itu kan juga keterkejutan juga.

Apakah presiden mendatang, siapapun orangnya, mesti membawa reformasi politik?

Ya. Siapapun yang menjadi presiden kalau dia masih mau melihat negeri kita tidak tercabik-cabik, maka dia harus melakukan deregulasi politik. Atau kita harus melakukan reformasi. Kalau tidak, peluang kita untuk tercabik-cabik, terkoyak-koyak makin besar. Berhubungan dengan masalah-masalah demokrasi dan ketidak-adilan, siapapun dia!

M. Ramadhani

*HIMMAH Edisi I/Thn. XXX/Oktober 1997

28/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Demokrasi & Tata Negara

Demokrasi Berbasis HAM: Pengalaman Aceh Pasca Perjanjian Helsinki

by hambali 25/09/2020
written by hambali

Sejarah Aceh hampir tiga puluh tahun terakhir ini membuktikan kebenaran peringatan yang dicantumkan dalam mukadimah DUHAM Tiapuluh satu tahun yang silam. Tidak adanya penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang efektif, telah membuat masyarakat Aceh terpaksa memilih perlawanan bersenjata terhadap eksploitasi dan ketidakadilan yang ditimpakan pemerintah kepada Aceh. Berbagai upaya penyelesaian konflik secara militer tidak berhasil, dan hanya menambah penderitaan yang berkepanjangan bagi rakyat Aceh. Barulah dengan perjanjian Helsinki akhirnya konflik dapat diatasi, dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan demokrasi sebagai kerangka kerja politik bagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan sepenuh dan seutuhnya hak asasi manusia.

Dalam Nota Kesepahaman Helsinki tersebut dirumuskan: “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik , Indonesia”. (penebalan oleh penulis). Untuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum Nota Kesepakatan maka sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran Kebenaran akan dibentuk, dan untuk menjamin penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, Pemerintah RI mematuhi Kovenan Internasional PBB mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (butir 2.1, 2.2 dan 2.3). Sementara itu Konstitusi RI, melalui amandemen kedua (2000) telah pula memberikan pengakuan sepenuhnya terhadap semua hak asasi manusia, baik yang mencakup hak-haksipil dan politik dan hak ekonomisosial dan budaya dalam satu bab (IX ‘ A) yang berisi 10 pasal.

Mengapa keduanya (demokrasi dan hak asasi) begitu penting dan bagaimanakan korelasi antara demokrasi dan hak asasi? Sejarah panjang represi militer dan pelanggaran hak asasi di Aceh sebenarnya dalam dirinya sendiri dapat menjelaskanarti penting kedua hal itu dalam perjanjianini.JPengalaman empirik itu pulalah yang hendak digunakan penulis untuk menjelaskan korelasi demokrasi dan hakasasi. Secara konseptual, gagasan yang menyatakan bahwa warga negara memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam mempengaruhi proses politik atau menentukan bagaimana kekuasaan dijalankan itulah awal dari korelasi hak asasi dan demokrasi. Namun bagaimanakah sesungguhnya kaitan keduanya? Apa yang dimaksud dengan demokrasi berbasis hak asasi dan sebaliknya apa arti demokrasi bagi hak asasi?

Demokrasi berbasis hak asasi

Sejak beberapa dekadelalu telah dikenal luas gagasan mengenai “demokrasi substantif (sebagai lawan dari demokrasi prosedural) atau “demokrasi yang inklusif” atau “demokrasi berbasis hak asasi”. Semuaistilah itu menunjukan bahwa demokrasi dan hak asasi manusia bukan hanya saling melengkapi akan tetapi berada dalam satu kesatuan. Gagasan ini mengandung pengertian bahwa lembaga-lembagapolitik demokratik akan bekerja secara tidak efektif atau insufficient tanpa adanya pendasaran pada hak asasi manusia. Di sisi lain karena hak asasi mensyaratkan negara untuk mengimplementasikannya dan memberlakukannya, maka hanya negara demokratis yang dapat melakukannya. Tentu bukan negara yang otoritarian. Karena negara otoritarian hanya dapatterjadi dan bertahan melalui penyangkalan atas hak asasi.

Di bawah represi militer pada akhir 1970an dan pada saat penetapan status Daerah Operasi Militer/DOM antara 1980an-1990an, telah terjadi pelanggaran hak asasi yang sangat luas. Menurut International Crisis Group saja, antara 1989 dan 1998 terdapat sekitar 1000 hingga 3000 orang terbunuh, dan 900 -1400 hilang secara paksa, yang “ diduga kuat mati. Tentu dalam suasana yang serba tertutup jumlah pastinya sukar ditentukan. Namun, dibanding dengan angka-angka yang dikeluarkan oleh LSM-LSM Aceh jumlah ini masih sangat konservatif. Represi militer ini bukannya memadamkan tuntutan merdeka bahkan justru meningkatkan dukungan rakyat untuk merdeka seperti yang tampak pada gerakan referendum untuk merdeka.

Sebagaimana yang dicatat sebelumnya, perjanjian perdamaian itu menyepakati akan kesediaan tunduk pada perjanjian-perjanjian pokok hak asasi universal. Persis pada perjanjian-perjanjian internasional mengenai hak asasi tersebut, seperti pada pasal 21 DUHAM dan pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menunjukan bergabungnya demokrasi dan hak asasi. Di kedua pasal itu demokrasi seperti menjadi hak asasi dari setiap orang. Banyak pula ketentuan di dalamnya yang mengatur bahwasetiap pembatasan hak-hak tertentu harus dilakukan sepanjang ‘necessary in a democratic society” (sejauh dibutuhkan dalam masyarakat demokratis).

Kita temukan pentingnya prinsip itu dalam kehidupan bersama kita. Di Aceh (seperti wilayah Indonesia lainnya) menunjukan betapa berbagai pembatasan hak secara arbiter telah merenggut martabat kemanusiaan masyarakat. Sebagai contoh, hak menyatakan pendapat atas keyakinan politiknya maupun menyatakan pendapat lain (sebagai hak asasi) dibatasi dengan cara represif berupa penyiksaan dan penghilangan paksa. Pengalaman ini tentu menjadi pembelajaran untuk tidak diulang kembali — juga oleh penguasa baru siapapun di bumi Aceh, bahwa pembatasan hak hanyabisa dilakukan jika tidak bertentangan dengan demokrasi, dan untuk melindungi hak asasi yang lain. Regulasi-regulasi yang membatasi hak asasi seperti “pencemaran nama baik?” semakin kehilangan alasan untuk dipertahankan — sebagaimana tampak dari membanjirnya dukungan pada Prita. Seorang ibu rumah tangga yang baru-baru ini diajukan kepengadilan karena dia menggunakan haknya menyatakan pendapat yang mengkritik rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan baginya. Prita mendapat ratusan ribu dukungan dari masyarakat Indonesia melalui jaringan sosial internet.

Fakta-fakta ini mengundang pertanyaan mengenai bagaimana secara konseptual sesungguhnya hubungan demokrasi dan hak asasi? Dan apa yang telah tercapai dan masih perlu dimajukan dalam bumi Aceh berkenaan dengan kedua hal tersebut?

Tidak sedikit pihak yang melihat bahwa keduanyaseperti tidak berhubungan satu dengan yang lain. Per-definisi demokrasi berhubungan dengan persoalan pengorganisasian kekuasaan publik, sementara hak asasi berhubungan dengan pengutamaan manusia dan kondisi minimal untuk dapat hidup berkualitas. Demokrasi berurusan dengan persoalan internal, sementara hak asasi bersifat universal (dan perkembangan saat ini tunduk pada berbagai aturan internasional). Dalam ilmu-ilmu sosial, demokrasi dimasukan dalam ilmu politik sementara hak asasi pada ilmu hukum. Pandangan inipun tidak seluruhnya benar dan di berbagai kampusserta praktek politik mulai dipertanyakan dan dikoreksi.

Di banyak negara terdapat berbagai institusi demokrasi seperti pemisahan kekuasaan, pemilihan umum yang kompetitif, sistem multi partai dan parlemen. Institusi-institusi politik tersebut bisa ada dimana saja dengan bentuk yang beraneka ragam dan dengan penekanan yang berbeda-beda. Ambilah contoh partai politik dan pemilihan umum. Amerika Serikat mengenal sistem dwi-partai sedangkan benua Eropa lebih mengenal multipartai. Demikian pula dalam memilih kepala pemerintahan, ada yang dipilih oleh parlemen ada pula yang dipilih langsung. Di Aceh terdapatpartai politik lokal yang boleh mengikuti pemilhan umum lokal. Semuanya adalah upaya menjadikan priiSip demokrasi yakni kedaulatan (kratos) dari rakyat (demos) berwujud dan berfungsi sesuai dengan konteks masing-masing.

Namun, kita juga mertemukan di berbagai negara bahwa keberadaan berbagaiinstitusiinstitusi demokrasy dimanipulasi untuk tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Lopez melakukan studi yang menunjukan bahwa berbagai institusi demokrasi Yang ada di sejumlah negara Amerika Latin tidak menentukan ada tidaknya kekerasan dan teror. Terdapat negara dimanainstitusi demokrasinya eksis namun teror dan kekerasan terjadi hampir dari waktu ke waktu padahal jelas teror dan kekerasan bukan tujuan dari demokrasi. Kekerasan dan teror disebabkan oleh “ideologi keamanan nasional” yang ) sering berseberangan dengannilai-nilai demokrasi dan mengancam hak asasi manusia. Manipulasi lembaga-lembagapolitik terjadi pula pada zaman pemerintahan Orde Baru, sebagaimanakita ingat pemilihan umum tidak lebih dari upaya melegitimasi kekuasaan otoriter Suharto.

Keberadaan berbagai institusi demokrasi seperti partai politik, pemilu dan lembagalembagapolitik lainnya bukan ada hanya untukdirinya sendiri. Lembaga-lembagaitu ada karena alasan tertentu, yaitu karena dua prinsip dasar demokrasi: “kendali rakyat? (popular control) dan “kesetaraan politik” (political eguality). (Beetham, 1999). Kendali oleh warga negara atas persoalan-persoalan kolektif mereka, dan kesetaraan antara warga negara dalam melaksanakan kendali tersebut merupakanprinsip-prinsip kuncidari demokrasi.

Pembelajaran dari Aceh

Aceh, saat ini memiliki “pemerintahan sendiri” sebagai hasil dari pelaksanaan Nota Kesepakatan yang menjamin: “Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggerakan….untuk memilih Kepala Pemerintahan Aceh dan pejabat terpilih lainnya…” (butir 1.2.3). Sebelumnya, ditentukan pula bahwa: “rakyat Aceh berhak untuk mencalonkan (nominate) kandidat mereka untuk semuaposisi pemerintahan yang harus dilakukan melalui pemilihan? (butir 1.2.2). Sebuah upaya untuk menegaskan bahwa pemilu bukan sekedar pesta dan bukan partai politik yang menentukan melainkan rakyat. (Bandingkan dengan Aspinal, 2008).

Kenyataannyapun demikian. Pada Desember 2006, telah berlangsung pemilihan umum daerah dan terpilih gubernur dan wakil gubernur Aceh calon independen yangberasal bukan dari incumbent. Suara yang mereka peroleh sebesar 38Yo melampaui kandidat tandingan yang terdekat yang memperoleh 17”6. Disamping itu pada pemilihan bupatidi 19 kabupaten (dari 21) kandidat perorangan memenangkan 9 kabupaten. Pada pemilu legislatif 2009, partai politik lokal berhasil menjadi mayoritas pada parlemen mengalahkan partai-partai nasional yangtelah lama eksis.

Meskipun demikian, lembaga dan pengalaman itu masih harus diuji oleh kedua prinsip dasar tersebut di atas. Dititik inilah disamping lembaga-lembaga politik dan masyarakat sipil, hak asasi menjadi kerangka acuan yang penting bagi demokrasi, |(Beetham, 20021. Penjelasannya adalah sebagaiberikut.

Pertama, pada tataran hakekat. Seperti pada hak asasi manusia, yang menjustifikasi kedua prinsip dasar demokrasi (kendali warga atas urusan publik & kesetaraan politik) adalah nilai dan martabat manusia. Sejatinya setiap manusialah yang menentukan apa yang baik bagi hidupnya. Persis karena itu pula dalam kapasitasnya sebagai warga negara, ia berhak untuk ikut mendefinisikan dan memutuskan urusan-urusan kolektif yang mempengaruhi hidup mereka. Sebaliknya, negara harus akuntabel pada warga negaranya.

Kedua, padatataran teleologis. Jaminan hak-hak atas kebebasan berkeyakinan, bergerak, berekspresi, berkumpul dan berorganisasi merupakan syarat yang diperlukan bagi warga agar suara dan keterlibatan mereka dalam urusan-urusan publik efektif. Sulit dibayangkan warga terlibat dalam urusan publik tanpa jaminan atas kebebasan-kebebasantersebut. Gerakan “referendum” yang dilakukan pada tahun 1999, merupakan bukti akan pentingnya ada jaminan hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak asasi memberdayakan warga negara ketika mereka secara kolektif berkumpul untuk menyelesaikan problemproblem mereka, atau ketika hendak melindungi dan memperjuangkan kepentingankepentingan mereka, atau dalam meyakinkan sesama warga negara dalam mempengaruhi kebijakan negara. Hak-hak untuk bebas dari penyiksaan, penangkapan secara semenamena dan proses hukum yang berkeadilan memberi jaminan tiadanya kesewenangwenanganatas diri warga.

Ketiga, kesetaraan politik yang diekpresikan dalam diktum “satu orangsatu suara” mensyaratkan adanya kesempatan yang sama dari setiap warga untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan pada persoalan-persoalan yang mempengaruhi hidup mereka. Prinsip ini mensyaratkan sikap non-diskriminatif, yang merupakan norma dasar dari hak asasi, yaitu bahwa setiap manusia memiliki hak dan kebebasan yang sama. Hal ini antara lain diakui dalam International Bill of Human Rights (DUHAM, Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang menyatakan bahwa setiap manusia tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat dan keyakinan politik, asal usul, kelahiran dan status lainnya. Non-diskriminasi mendasari kesetaraan politik warga negara — ketika mereka melaksanakan kendali atas persoalan-persoalan kolektif mereka.

Oleh karena itu demokrasi tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia termasuk dari tanggung jawab untuk menghormati hak dan kebebasan sesama warga, persis karena hak asasi merupakan kondisi yang diperlukan bagi keterlibatan rakyat dalam urusan publik secara efektif, dan agar kendali rakyat terhadap pemerintah terjamin. Beetham menggambarkannyaseperti gambar berikutini:

Dengan proses dan lembagapolitik yang ada, Aceh memilikipotensi sekaligus tantangan untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi. Jaminan legaldan kesepakatan politik untuk itu telah ada baik di dalam MoU dan UU PemerintahanAceh. Pengungkapan kebenaran atas berbagai pelanggaran hak asasi menjadi agenda benting untuk segera direalisasikan, bukan hanya untuk memenuhi hak-hak korban yang telah di abaikan selamaini, tapi juga untuk perobahan dan kebijakan yang mencegah kejahatan yang sama terjadi di masa mendatang. Demikian pula berbagai peraturan yang bertentangan dengan hakasasi, yang . telah ditetapkan pada pemerintahan sebelumnya, perlu segera di-review. Nota Kesepakatan Helsinki secara tegas memandatkan agar: Legislatif Aceh merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. ( butir 1.4.2) Sebuah tantangan yang besar yang harus dijawab. Tindakantindakan itu akan memperkuatproses demokrasi yangtelah berjalan di Aceh.

Pentingnya hak asasi bagi demokrasi tidak hanya berlaku pada hak-hak sipil politik namun juga pada hak-hak sosial ekonomi. Jika demokrasi lebih banyak dilihat berelasi dengan hak-hak sipil dan politik, semata karena hak-hak ini yang paling kasat mata memiliki hubungan pada proses pengambilan keputusan dan proses-prosespartisipatoris. Namun, hak itu mungkin tidak mempunyai banyakarti bagi seorang ibu yang bersama putra putirnya kelaparan atau yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak. Mereka memerlukan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dan pengembangan diri tersebut. Hak-hak sosial ekonomi seperti pendidikan, pangan, kesehatan dan pekerjaan memberi kemampuan warga untuk menggunakan hak-haksipil politik.

Jaminan hak-hak sosial ekonomi perlu bagi demokrasi, pertama, agar warga negara memiliki sumber daya yang cukup untuk menggunakan kebebasan dan hak-hak sipil politik tersebut. Dan kedua, pada gilirannya untuk terlibat mengendalikan urusan-urusan kolektif. Hak-hak sosial ekonomi memberi kapasitas warga negara untuk menjadi agen demokrasi. Lihatlah petani sebagai contoh. Pelanggaran hak-hak petani selama berpuluhpuluh tahun atas tanah dan reformasi agraria, sebagaimana yang dilindungi oleh pasal 11 Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya (KIESB| telah mengurangi ..efektifitas petani dalam berpartisipasi dalam urusan publik terutama yang menyangkut kepentingan mereka. (Deklarasi Petani, 2002) Kedua hak-hak ini penting karena tanpa jaminan atas hak sosial ekonomi, maka yang terjadi adalah menghilangnya kualitas hidup publik. Ketiga, tiadanya pemenuhan hak-hak sosial ekonomi akan menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnyasikap-sikapintoleransi dan kebijakan-kebijakan yang represif. Hal ini berarti terkikisnya institusi-institusi demokrasi. (Beetham, 2002)

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintahan Aceh untuk melihat kembali i sejauh mana kemampuan wargatelah ditingkatkan? Apakah kinerja kelompok-kelompok ekonomi kuit yang ada telah menyingkirkan warga? Hal ini penting karena perjanjian perdamaian itu juga mengharapkan dipenuhinya hak-hak dasar sehingga kemiskinan dapat dikurangi kalau bukan dieliminasi — baik melalui pembagian pendapatan (7094 — 30Y9), pemilihan umum dan representasi yang bermakna. Pengalaman Aceh menunjukan bahwa persis karena tiadanya akses warga akan sumber-sumberdayasosial, politik dan ekonomi makatercipta penderitaan panjang dan potensi konflik berdarah.

Salah satu persoalan yang dialami proses demokratisasi di Indonesia sejak reformasi 1998, adalah persoalan representasi semu. Survey nasional yang dilakukan Demos dua kali (2003/04 dan 2007/08) menunjukkan bahwa meskipun kebebasan sipil berkembang sangat maju termasuk berhasil menyelenggerakan pemilu dan pemilihan presiden secara demokratis, namun kepentingan masyarakat (khususnya masyarakat miskin, petani, buruh dan miskin kota) tidak terwakili dalam perumusan kebijakan publik. Persoalan ini juga memperparah persoalan defisit demokrasi, dimana disatu pihak terdapat kemajuan proseduraltetapi di pihak lain masalah-masalah substansialtertinggal, seperti penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Nampaknya dengan adanyapartai politik lokal dan calon independen persoalan ini -secara tedfitis – akan lebih mudah diatasi di Aceh dibandingkan dengan wilayah lainnya dari Indonesia. Hanya dengan representasi yang sejati maka kepentingan masyarakat akan menjadi pertimbangan yang pertama dan utama dari perumusan kebijakan-kebijakan publik. Tentu saja hal ini masih akan dibuktikan dalam masa-masa mendatang, apakah dengan kemenanganpartai lokal dan calon independen, maka kebijakan-kebijakan publik sepenuhnya disusun sesuai dengan kepentingan masyarakat Aceh. Kebijakan-kebijakan yang pada hakekatnya ..adalah dalam upaya untuk memenuhi hak asasi setiap orang di Aceh dan sekaligus menghormati dan melindunginya.

Sejarah dari berbagai bangsa telah membuktikan bahwa hanya dengan kerangka kerja politik demokrasi maka hak asasi manusia dapat dimajukan dan dilindungi secara efektif. Hubungannya secara empirik menunjukan dengan terang benderang bahwa demokrasi dan hak asasi manusia saling memperkuat. Lebih jauh Deklarasi Viena (1993) menyatakan: ” Demokrasi, pembangunanserta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebashnasasi saling bergantung( interdependent) dan saling memperkuat ( mutual reinforcing). (butir 8)

Oleh karenanya banyak pihak di Indonesia dan di luar negeri melihat ke Aceh, dengan penuh perhatian bertanya: apakah dalam waktu yang tidak terlampau lama Aceh dapat membuktikan kebenaran adagium itu?

Banda Aceh, 9 Desember 2009

25/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
HAM & Pembangunan

Perlindungan Hak Asasi Manusia: Antara Realitas dan Harapan

by hambali 25/09/2020
written by hambali

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

Antara Realitas dan Harapan

Pendahuluan:

Rangkaian pelanggaran hak asasi manusia selamasejarah orde baru, telah menimbulkan derita dan rasa ketidakadilan yang luarbiasa yang diderita oleh banyak orang Indonesia. Pelanggaran-pelanggarantersebuttidak pernah mendapatpenyelesaian yang tuntas dalam pengertian: dipulihkannyahak para korban/keluarga, dan dihukumnyasecara setimpal pelaku atau penanggungjawab pelanggaran tersebut. Efek lain yang tak kurang beratnya, adalah pelanggaran-pelanggaran tersebut menjadi berulang-ulang. Tidak ada petunjuk bahwa di masa depan pelanggaran tak terulang. Efek inilah yang pada mulanya melahirkan rasa takut yang mendalam terhadap kekuasaan negara. Namunketikarasa takut berkurang atau menghilang, maka yang muncul “kepermukaan adalah rasa benci dan dendam,serta hilangnya kepercayaan kepada pemerintah. Sebenarnya bahkan semua warga tanpa disadari selama puluhan tahun hak asasinya tidak dihormati. Hak-hak yang dilanggar menyangkut hak-haksipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Keadaan demikian itu telah pula menimbulkan keragu-raguan apakah benar seseorang itu punya hak asasi, bahkan orang tidak tahu bahwa ia mempunyai hakhak asasi yang tidak dapat dikurangi atau dihapuskan. Padahal hak-hakitu ada karena ia manusia, dan bukan pemberian siapapun termasuk negara. Tentu bagi orang yang percaya kepada Tuhan memahamihak-hak tersebut adalah karunia dari Tuhan sang Pencipta.

SUMBER PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Pertanyaan yang harusdijawab ialah :Kenapa pelanggaran hak asasi manusiaterjadi seakan-akan tidak ada tanda berhenti? Secara sederhana dapat dijawab bahwadiIndonesia tidak terdapat kondisi minimal bagi terlindunginya hak asasi manusia. Jawaban sederhanaitu tentu akan melahirkan pertanyaan berikut : kenapatidak ada kondisi minimaltersebut? Setidak-tidaknya kita mencatat beberapa akar masalah dari kondisi yang demikian sbb:

Pertama : Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia mestinya ditempatkan dalam konstitusi. Perdebatan soal ini sudah tampak dalam sidang-sidang BPUPKI/PPKI. Dalam sidang-sidang tersebut Hatta dan Yamin meminta agar dalam pasal-pasal pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia secara tegas dimuat dalam UUD . Soepomo dan Sukarno menentangusul tersebut dengan alasan bahwa perlindungan hak asasi manusiaitu sebagai pikiran yang individualistis dan liberal dan“bertentangan dengannilai-nilai kekeluargaan yang menjadi asas masyarakat Indonesia. Lebih lanjut mereka berkata, Negara justru akan melindungi semua warganya. Tetapi Hatta menjawab bahwaadalah perlu jaminan penghormatan hak asasi manusia dalam konstitusi. Memang akhirnya ada pasal-pasal kompromi yang perumusannyatidak memberikan perlindungan yang tegas (kebebasanberserikat,dst). Paham integralistik ini amat disukai penguasa, karena dengan mudah dipakai sebagai alasan pembenaran pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana yang dapatkita rasakan dan saksikan selamarejim orde baru. Alasan-alasan seperti demi kepentingan umum,demi kepentingan rakyat banyak, demi kepentingan pembangunandst, digunakan untuk pembenaransikap atau tindakan yang tidak menghormati hak asasi manusia.

Kedua: Kekuasaan Negara khususnya dominasi kekuasaan pemerintah yang amat kuat sehinggatidak dapat diawasi secara efektip. Indonesia memang punya DPR(legislatip), tetapi puluhan tahun kerjanya hanya menjadi stempel karet untuk melegalisasi kebijakan pemerintah. Indonesia punya Peradilan (judikatip) dari MA sampai PN,tetapi tidak bebas. Peradilan dikendalikan oleh Pemerintah. Sehingga supremasi hukum hanyaisapan jempol. Kekuasaantersentraliser di tangan seorang yang menjadi pucuk cabang pemerintahan. Proses ini tidak lepas dari peranan ABRI di bidang sosial dan politik. Padahal sifat kekuasaan adalah korup, sebagaimana yang telah berulang-ulang dibuktikan oleh sejarah kemanusian dimanapun. Patut disebut adagium yang populer : Power tend to corrupt, absolute power absolutely corrupt (Lord Acton). Tanpa pengawasan yang memadai pemegang kekuasaan akan korup, akan menyelewengkan kekuasaan yang ada ditangannya ( abuse of power) untuk mempertahankan kekuasaanya, memperkayadiri dan kaki-tangannya.

Ketiga : Lemahnya masyarakat yang terorganisasikan dalam berbagai lembaga. Proses pelemahan masyarakat( sehingga tak dapat mengawasi kekuasaan) bermula dari trauma peristiwa 1965. Penguasa Orde baru telah memanfaatkan keadaantersebut dengan proses depolitisasi masyarakat. Politik seakan-akan sesuatu yang jahat dan berbahaya. Lima(5) paket UU Politik telah menghabiskan kemandirian organisasi atau lembaga-lembaga dalam masyarakat. Social controle menjadi mandul. Berbagai organisasi atau lembaga masyarakat yang mengambilposisikritis telah menjadi korban intervensi dan kooptasi oleh Negara. Begitu juga kebebasan pers dipasung, sehingga kehilangan fungsi pengawasannya. Disamping itu ada dua masalah dalam tubuh masyarakat yang turut memperlemahposisi masyarakat yakni : masalah hubungan antar umat beragama dan hubungan denganetnis Cina ( Tionghoa).

Keempat: Strategi Pembangunan Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dijalankan dengan bayaran hak asasi manusia. Proses trade-offini berdalih bahwa hakhak asasi manusia kelak akan dipenuhi dan dihormati setelah pembangunan ekonomi berhasil. ( kasus Kedung Ombo,kasus Asahan, Indorayon dst). Pembangunan yang mengabaikan asas demokrasi( persisnya keadilan) telah dilakukan d&ngan sengaja “ dengan alasan bahwasetelah pertumbuhan ekonomidicapai, maka hasil pembangunan akan menetes juga ke bawah( trickle down efect). Tetapi setelah melakukan pembangunan 30 tahun yang dicapai adalah jurang yang mengangaantara simiskin dan sikaya, antara pusat dan daerah. Kerusakan lingkungan yangluar biasa, hutang LN yang amat besar (terbesar di dunia). Ketika krisis moneter melanda beberapanegaradi Asia Timur, maka satu tahun kemudian tinggal Indonesia yang masih berkubang dalam lumpurkrisis. Kelemahan-kelemahan ini dan kemungkinan bahayanya bukan tidak disadari sejak awal, namun suara-suara yang memberi peringatan telah diabaikan, kalau tidak dibungkam dan ditindas. Lihatlah contoh sederhana: Protes petani yang tanahnya digusur dengan cepat dibungkam dengan cap (stigma) PKI, GPK, Anti Pembangunan,dst.

PERKEMBANGAN PARADOKSALDI MASA TRANSISI

Setelah minggirnya JBS dan BJH sebagai presiden masatransisi ( yang tak pernah secara terbuka diakui, malahan kabinetnya diberi nama Kabinet Reformasi pembangunan) segera memberi tanggapan terhadapkritik dan tuntutan terhadap berbagai masalah hak asasi manusia. Berbagai langkah seperti pengesahan RANHAM 1998-2003, Tap MPR: Piagam HAM,ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Pembebasan sebagian Tapol, dst. Langkah-langkahini secara retorik menunjukkan pemajuan hak asasi manusia yang berarti, tetapi pemajuanini paradoks denganrealitas sehari-hari. Perlindungan hak asasi manusia yang diharapkantidak terjadi. Berbagai pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintah( sipil & militer) terus berlangsung dan tak mendapat penyelesaian yang tuntas. Untuk tahun 1998 saja kita mencatat berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berkualifikasi pelanggaran berat tidak mendapat penyelesaian antara lain: kasus penculikan aktivis, kasus penembakan mahasiswatrisakti, kerusuhan Mei, Kasus Semanggi, dst. Begitu juga pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat horisontal yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atas kelompok masyarakatlainnya ( kasus ketapang, kupang, ambon/maluku, sambasdst) justru meningkat. Akhirnya harus juga dicatat ketidakjelasan sikap pemerintah atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang besar danberat seperti yang terjadi di Aceh, Papua Barat, Timor Loro Sae, Lampung, tanjung Priok, bahkan peristiwa lanjutan G-30-S. Apakah pelanggaran-pelanggaran tersebut akan diselesaikan, atau cukup dengan meminta maaf, serta meminta kita berlapang dada untuk melupakannya.

REFORMASI UNTUK PEMAJUAN DAN PERLINDUNGANHAKASASI MANUSIA

Bila prosestransisi berjalan sesuai dengan jadual, maka diharapkan prosestransisi akan berakhir dengan terbentuknya satu pemerintahan yang dipercaya rakyat lewat Pemilu. Pemerintah baru nantinya mempunyai tugas pokok untuk membangunkondisi minimalbagi terlindunginya hak asasi manusia.Ini berarti 4 akar masalah yang disebut di atas harus ditangani. Untuk itu dibutuhkan:

a. Jaminan Konstitusional, dimana harus secara tegas dimuatnya ketentuan-ketentuan yang menjamin penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dalam UUD. Untuk itu langkah amandemen UUD 45 harusdilaksankan. Begitu juga proses harmonisasi perundang-undanganharusdilaksankan, dalam manaperaturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hak asasi manusiaharus diganti, dan peraturan undang-undang yang diperlukan untuk melindungi hak asasi manusia harus dibuat.

b. Separasi kekuasaan cabang eksekutip, legislatip dan judikatip. Dengan demikian dicegahnya kekuasaan cabang eksekutip mendominasi cabang judikatip dan legislatip. Asas Supremasi Hukum hanyabisa diwujudkanbila ada seperasi kekuasaan. Dalam kerangkaini juga dekonsentrasi kekuasaan harus dilakukan, sehingga kekuasaan tidak terpusat di ibukota. Persoalan lain yang tak kurang pentingnya adalah penghapusan dwifungsi ABRI. Sehingga angkatan perang sungguh-sungguhprofesionalsebagai alat pertahanan kearnanaria.

c. Masyarakat yang kuat. Meskipun ada jaminan konstitusional dan adanya separasi kekuasaan, namun kalau masyarakat yang terorganisasikan dalam lembaga-lembaga di masyarakat masih a-politis dan tidak mengembangkan solidaritas yang kokoh, maka pelanggaran hak asasi manusiabisa saja terjadi, tanpa penyelesaian yang tuntas. Patut dicatat bahwa pada tanggal 9 Desember 1998, PBB telah menyetujui Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia( Decleration of Human Rights Defender), di mana dinyatakan bahwasetiap orang, maupun organisasi masyarakat mempunyai hak untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

d. Strategi pembangunan yang dapat mengembangkan kekuatan ekonomirakyat, dengan bersandarkan kepada kemandirian. Jurang antara sikaya dan simiskin, antara pusat dan daerah harus secara khusus ditangani dengan berbagai kebijakan yang secara sengaja disusun untuk mengurangi jurang tersebut. Pembangunan yangsentralistik harus ditinggalkan sehingga perencanaan pembangunanharus dikembalikan ke daerah dan wilayah, sedangkan Pusat hanya bertindak sebagai koordinator dan fasilitator. Termasuk dalam hal ini adalah keputusan pengelolaan sumber daya alam harus ebih ditentukan oleh daerah atau wilayah.

PEMILU SATU LANGKAH AWAL

Pemilu sebagaisalah satu wujud kehidupan demokrasi, merupakan awal kepada dimungkinkannyareformasi menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita ..menyadari bahwa UU Pemilu dibuat oleh Pemerintah dan DPR yang legitimasinya masih diperdebatkan. UU pemilu 1999 lebih baik kalau dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya. Namundari segi ideal Pemilu 1999 masih mempunyaikekurangan. Atas alasan tidak adanya legitimasi Pemerintah dan DPR maka aktivis mahasiswa menolak Pemilu 1999. Persoalannya bagi banyak pihak sekarang ini adalah memilih jalan yang kurang buruk dari antara yang buruk-buruk. Sehingga banyak kalangan termasuk PRDsebagai partai yang revolusioner — menerima Pemilu 1999. Pemilu memang langkah awal- yangbila berhasil dilaksanakansecarajujur dan bersihyang harusdiikuti dengan langkah-langkah lanjutan yang tak kurang pentingyadari Pemiluitu sendiri. Kita harusrealistis. Pemilu bukan lampu Aladin yang akan menyelesaikan semuasoal yang kita hadapi sekarang ini. Pemilu hanya satu langkah, satu kesempatan untuk terbentuknya Pemerintahan yang dapat dipercaya rakyat, yang dapat meneruskan proses pembaharuan dalam kehidupan bangsa dan negara. Sebagai kesempatanbisasaja berhasil dan bisa tak berhasil. Semua terpulang kepadarakyat Indonesia.

Bila memang seseorang memutuskan akan memberi suaranya dalam Pemilu yang akan datang, haraplah dia menyadari bahwasuaranyaitu mulia. Oleh karenaitu ia hendaknya sungguh-sungguh memberi suaranya kepada Partai yang mempunyai kemungkinan bekerja dan berjuang bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Partai yang menjunjung tinggi asas persamaan hak dari setiap orang, tanpa membedakan latar belakang keyakinan, agama, suku, warna kulit dan gender.

Ulujami, 30 April 1999.

25/09/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Page Node

Buku yang Sedang Ditulis

by hambali 26/08/2020
written by hambali
26/08/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Page Node

Pendidikan dan Tata Negara

by hambali 26/08/2020
written by hambali
26/08/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Page Node

Demokrasi

by hambali 26/08/2020
written by hambali
26/08/2020 0 comments
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Search

Recent Posts

  • Gerakan Demokrasi dan HAM dalam Perspektif Oekumenis: Presentasi Pendeta Gomar Gultom di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Kata Sambutan Antonio Pradjasto di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Asmara Berdemokrasi dan HAM (Cakrawala – 13 Desember 2020)
  • Bang As Tak Pernah Meninggalkan Orang: Presentasi Sarah Lery Mboeik di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045
  • Peringatan 10 Tahun Kepergian Asmara Nababan: Presentasi Henri Saragih di Malam Refleksi Gerakan Demokrasi dan HAM di Indonesia 2045

Recent Comments

    Copyright 2020


    Back To Top
    Asmara Nababan
    • Home
    • Tentang Asmara Nababan
      • Awal Kehidupan
      • Pendidikan
      • Riwayat Pekerjaan
      • Kegiatan Lainnya
    • Warisan Pemikiran
      • Meniti Ombak Mewujudkan Kemanusiaan
      • Oase Bagi Setiap Kegelisahan
      • HAM dan Pembangunan
      • Demokrasi dan Tata Negara
      • Pendidikan dan Seni
    • Living Legacy
      • Arsip Video
      • Arsip Foto
      • Doa untuk Bang As & Bangsa
      • Kenangan & Buah Pemikiran Tentang Bang As
      • Kirim Tulisan
    • Info Kegiatan
    • id ID
      • id ID
      • en EN