hambali
Diskusi Dengan Asmara Nababan, S.H.
dan Antonio Pradjasto S.H, LLM
Kesan Umum Asmara Nababan mengenai RUU Otonomi Khusus Papua
RUU Otonomi Khusus usulan rakyat Papua dinilai oleh Asmara Nababan sebagai suatu jalan tengah terbaik untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di Tanah Papua – termasuk dalam hubungannya dengan pemerintah pusat.
Nababan juga menekankan tentang pentingnya RUU ini memuat penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di waktu lalu, termasuk soal pelurusan sejarah Papua, dan dikembangkannya upaya-upaya sistematis untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran HAM – apa pun bentuknya – terjadi di waktu-waktu mendatang. Dalam kaitan itu ia menyatakan kesediaannya untuk ikut serta memberikan pendapat apabila diundang oleh DPR RI.
Mengenai Komisi Hak Asasi Manusia Papua
Formulasi Pasal 41 ayat 2, perlu diperbaiki, sebab dari formulasi ini timbul kesan, bahwa seakan-akan komisi ini mempunyai kewenangan yang tidak saja pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, tetapi juga sampai pada tingkat penuntutan di Pengadilan.
Rumusan ini, harus spesifik, misalnya: “… berwenang untuk menyelidiki dan menyidik dan hasil penyelidikan diserahkan kepada kejaksaan untuk dilanjutkan dalam bentuk proses penuntutan di Pengadilan Hak Asasi Manusia …”. Hal ini perlu ditegaskan dalam Undang-Undang ini. Memang, sekarang ini ada Komisi Ad-Hoc dalam draft Undang-Undang Anti Korupsi di mana kewenangannya sampai ke penuntutan. Tetapi sesungguhnya hal ini sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, dalam hal ini, kalau penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh komisi HAM, maka penuntutan di Pengadilan HAM seyogyanya dilakukan oleh kejaksaan karena memang menjadi kewenangannya.
Istilah “Hak-Hak Asasi Manusia” sebaiknya ditulis “Hak Asasi Manusia”. Selanjutnya, mengenai formulasi, susunan, kedudukan, tugas dan tanggung jawab Komisi HAM Papua, yang diatur dengan Peraturan Propinsi, seperti termaksud dalam pasal 42 ayat 3, hal itu sudah benar.
Analog atau tidak, tetapi perlu dikemukakan, bahwa pada waktu Lokakarya Desentralisasi Mekanisme Perlindungan HAM, dikonstatir bahwa peraturan-peraturan yang ada sekarang sudah memungkinkan didirikannya Komisi HAM di daerah disertai dana yang bersumber dari APBD. Jadi, pembentukan Komisi HAM dan Peradilan HAM di Papua, sudah tepat. Sekarang sudah diajukan amandemen terhadap UU No. 39/1999 untuk memberikan landasan yuridis bagi terbentuknya Komisi HAM di daerah-daerah. Untuk Papua telah dibentuk perwakilan Komisi HAM Papua, untuk masa kerja satu tahun dan dapat diperpanjang lagi.
Mengenai Ganti Rugi kepada Korban Pelanggaran HAM di Papua
Masih belum jelas, siapa yang berwenang menetapkan atau memverifikasi tuntutan dari korban atau keluarga korban atau ahli waris korban untuk dapat mendapatkan kompensasi atau ganti rugi seperti dimaksud dalam pasa 42 ayat 1 itu? Sebab dikatakan di sini, bahwa korban, keluarga korban atau ahli waris korban pelanggaran HAM, diberikan dana kompensasi, atau bentuk lain oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi. Kalau lembaga yang berwenang memverifikasi kebenaran tuntutan korban pelanggaran HAM adalah Pengadilan, maka akan memakan waktu yang cukup lama, bisa sampai 100 tahun !
Pasal 42 ayat 1 ini mengandung pengertian ganti rugi atau reparasi. Ada 4 bentuk reparasi, yaitu : (1) kompensasi; (2) restitusi; (3) rehabilitasi; (4) pemuasan (satisfaction). Selama ini, dalam bahasa hukum semuanya dikatakan sebagai ganti rugi. Ganti rugi dalam RUU ini ditarik mulai dari tahun 1963. Bagaimana dengan korban yang terjadi pada tahun 1969, ke mana korban tersebut harus meminta atau memohon kompensasi?
Dalam hal ini ada 2 kontruksi :
- Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sejak tahun 1963 sampai saat disahkannya undang-undang ini, diselesaikan oleh Komisi Klarifikasi Sejarah (KKS) sedangkan;
- Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang ini, disidik oleh Komisi HAM dan diadili oleh Pengadilan HAM.
Itu sebabnya, sebenarnya dari segi susunan, Komisi Klarifikasi Sejarah perlu lebih dahulu diatur, baru kemudian dibentuk Komisi HAM. Dalam pasal 42 ayat 3, sudah disebut Badan Peradilan HAM. Jadi sebenarnya dalam pasal 41 ayat 2, seharusnya sudah menyebut dan mengatur Komisi Klarifikasi Sejarah itu.
Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah
Rumusan pasal 43 ayat 1 perlu diperbaiki. Sebab dari formulasi pasal 43 ayat 1, seakan-akan hanya mengenai “perbedaan pendapat mengenai sejarah integrasi Papua”. Tugas komisi ini tidak hanya itu – tidak terbatas meluruskan sejarah an sich. Justru tugas komisi ini lebih luas dari itu, yakni :
- Menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1963 sampai undang-undang ini disahkan. Di sini masih ada pilihan-pilihan lain, misalnya batas waktunya sampai berlakunya undang-undang Peradilan HAM 2000. Terserah, mana batas waktu yang disepakati dan ditentukan dalam undang-undang ini secara tegas.
- Meluruskan sejarah sesuai dengan atau berdasarkan kebenaran. Dalam rangka penyelesaian berdasarkan kebenaran ini, baru ada rehabilitasi atau reparasi yang diberikan kepada pihak korban. Tuntutan dari korban/keluarga korban atau ahli waris korban untuk memperoleh reparasi diberikan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Propinsi, setelah mendapat klarifikasi atau setelah mendapat keputusan dari Komisi Klarifikasi Sejarah. Jadi, bukan pemerintah yang menentukan benar tidaknya suatu pelanggaran. Sebaliknya komisi ini yang menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM.
- Merekomendasikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat untuk disidik dan dituntut di Pengadilan HAM. Untuk ini harus cukup bukti dan pelaku masih hidup. Sebab kalau pelaku sudah meninggal dunia, tidak bisa dituntut dan diadili. Apabila ada cukup bukti dan pelakunya masih hidup, maka Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah merekomendasikan untuk diajukan ke Pengadilan HAM. Dalam hal ini, memang tidak semua kasus pelanggaran HAM dapat diajukan ke Pengadilan HAM.
Dalam hal Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara (state) maka jelas yang bertanggung jawab adalah Pemerintah Negara. Tetapi, yang menjadi persoalan, bahwa tidak semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, sejak tahun 1963, bisa di bahwa ke Pengadilan. Hal ini, karena kalaupun dia state (negara), tetapi kalau Jenderalnya, Pangdamnya atau Kopralnya sudah mati, siapa yang di bawah ke Pengadilan? Memang ada responsibility by state, tetapi di sini lalu menjadi individual responsibility.
Dengan demikian, tidak bisa dituntut pelaku yang telah mati, demikian pula Panglima yang sekarang tidak dapat bertanggung jawab atas kejahatan TNI tahun 1963, karena dia bukan Panglima pada waktu itu. Tetapi pada prinsipnya, kalau pelakunya masih hidup dan cukup bukti, kepada korban harus diberikan reparasi dan kepada pelaku harus di hukum. Kompensasi dalam bentuk lain, misalnya ganti rugi bisa langsung ditentukan oleh Komisi Klarifikasi Sejarah. Dan Komisi ini juga menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan HAM.
Mengenai satisfaction (pemuasan), maka penguasa negara bisa secara resmi mengakui kesalahannya dan selakigus meminta maaf kepada pihak korban. Di beberapa tempat (negara) bentuk satisfaction itu dapat berupa, misalnya merubah nama jalan menjadi nama korban, nama stadiun sepak bola menjadi nama korban, bahkan korban mendapat piagam penghargaan dari Pemerintah (Presiden).
Selain itu, Pemerintah dapat pula meminta maaf melalui mass media kepada korban atau keluarga korban ataupun ahli waris korban. Yang penting upaya itu memuaskan pihak korban.
Sejauh yang kami tangkap, Komisi Klarifikasi Sejarah ini lebih luas cakupan tugasnya dibanding Komisi HAM. Karena Komisi Klarifikasi Sejarah merupakan Komisi Kebenaran Sejarah.
Komisi Klarifikasi Sejarah ini terdiri dari sub-sub komisi :
- Sub Klarifikasi/Kebenaran Sejarah;
- Sub Penyelidikan Pelanggaran HAM;
- Sub reparasi/restorasi;
- Sub Amnesti, dan
- Sub lainnya.
Sub Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah, keanggotaannya terbuka, artinya bukan saja orang Papua yang menjadi anggota komisi tersebut, tetapi juga orang lain, di luar Papua pun dapat menjadi anggota komisi. Bahkan dapat dimungkinkan staf dari internasional.
Dalam hal ini, agar tidak salah tafsir terhadap Komisi Klarifikasi/ Kebenaran Sejarah ini, maka perlu ada satu ayat yang menyatakan bahwa komisi ini merupakan komisi yang indenpenden yang terdiri dari ahli-ahli yang mempunyai kredibilitas dan dipercaya masyarakat. Ahli-ahli terdiri dari ahli hukum, ahli sejarah, ahli politik dan lain-lain. Indenpenden di sini dimaksudkan bebas dari atau tidak ada campur tangan Pemerintah Pusat di Jakarta, maupun campur tangan Pemerintah Propinsi Papua. Setelah ketentuan tersebut baru ayat 3 nya mengenai pengaturan pelaksanaan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi. Oleh karena Komisi Klarifikasi Sejarah ini bertugas mencari kebenaran, maka disebut juga Komisi Kebenaran Sejarah. Komisi ini cakupan tugasnya lebih luas dari pada Komisi HAM.
Ada pengalaman di negara lain, misalnya di El-Salvador yang bisa kita pelajari. Waktu konflik intern terjadi di sana, PBB membentuk Komisi Klarifikasi Sejarah, yang di bawah langsung pengawasan PBB. Komisi ini disebut “Commission of Historical Clarification”. Tetapi komisi ini tidak hanya menulis sejarah, tetapi mendokumentasikan segala pelanggaran yang terjadi. Dalam kaitan ini, ada pengalaman menarik dari Afrika Selatan. Jika seseorang ingin mendapatkan amnesti, maka ia harus menceritakan secara benar kejahatan yang diadakannya. Kalau ia, misalnya melakukan lima jenis kejahatan, tetapi hanya mengakui atau menceritakan tiga saja, maka ia dinyatakan tidak jujur. Sebaliknya kalau ia menceritakan kelima kejahatan itu, maka ia akan mendapat amnesti.
Dapat dicatat bahwa di dunia ini terdapat kurang lebih dua belas negara yang memiliki Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah. Di antaranya Afrika Selatan, Yugoslavia dan Elsavador. Oleh karena Komisi ini sifatnya ad hoc, maka tenggang waktunya dapat dibatasi sampai 4 tahun dan dapat diperpanjang lagi.
Mengenai Pasal 69 yang berkaitan dengan Pelurusan Sejarah Integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini sudah baik dan benar. Kalau ada hearing di DPR RI, saya (Asmara Nababan) bersedia hadir dan mempertahankan pasal ini.
Badan Peradilan Hak Asasi Manusia Papua
Mengenai Peradilan HAM ini, berkaitan dengan asas hukum “Lex specialis derograt lex generali”. Karena UU No 26/2000, hanya menyebutkan empat kota, yaitu Jakarta, Medan, Surabaya dan Ujung Pandang. Kalau Undang-Undang Otonomi Khusus Papua disahkan, maka UU No 26/2000 tidak berlaku, dan memang sekarang UU No. 12/2000, sedang diajukan untuk direvisi (diamandemen).
Ketentuan mengenai Peradilan HAM di dalam RUU ini, perlu harus dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal ybs dalam RUU ini. Sedangkan ketentuan pelaksanaan Peradilan HAM, tidak bisa diatur dengan Peraturan Propinsi, tetapi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Hak untuk memiliki kebebasan beragama
Mengenai Pasal 49 butir (1) di situ dinyatakan “…menjamin kebebasan, membina kerukunan…”. Kata “membina kerukunan“ disini berbahaya, karena akan menimbulkan intervensi pemerintah, dan mengulangi kesalahan pada masa orde baru lampau, karena pemerintah mempunyai kewajiban membina.
Pada masa lalu, penguasa negara telah memaksakan state nationalism. State nasionalism yang dipaksakan kepada masyarakat Papua, baru tahun 1961, sedang untuk orang Batak tahun 1945. Dan state nasionalism ini telah merusak komunitas-komunitas masyarakat sehingga sekarang tumbuh nasionalisme etnik, seperti orang Papua nasionalismenya adalah nasionalisme etnik Papua.
Nasionalisme negara dan nasionalisme etnik sama-sama ada bahayanya, Berbahaya karena berdasarkan kepentingan masing-masing. Sebenarnya yang dekat dengan penghormatan HAM adalah yang disebut modern civil nasionalisme. Substansi dari modern civil nasionalisme adalah civil society. Dalam civil society, campur tangan pemerintah adalah haram karena urusan agama adalah urusan masing-masing umat. Oleh karena itu rumusannya bukan “membina kerukunan” tetapi sebaiknya “menciptakan suasana kehidupan beragama yang rukun”. Ketika etnis kedaerahan tumbuh, maka perlu harus disiapkan basis-basis modern civil nasionalism yang mencakup :
- pemerintah tidak boleh terlalu campur tangan
- tidak boleh ada perbedaan, karena keyakinan politik, gender dan lain-lain
- mengakui pluralisme sebagai ciri civil society
Pasal 49 ayat 1 itu harus `dikunci’, supaya jangan ada campur tangan pemerintah.
Kebijakan Afirmatif dan Perlindungan Hak-Hak Papua Asli
Pasal 55 ayat 2 menyebutkan kebijakan afirmatif. Sebaiknya istilah ini di Indonesiakan saja. Apakah istilah tersebut sama dengan “kebijakan penguatan”?
Sebaiknya dicari istilah yang tepat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan
Mengenai pemberdayaan perempuan, seperti dimaksud pasal 44, sebenarnya bukan “membina”, tetapi memajukan dan melindungi (promotion and protection). Dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebenarnya ada 4 hal : (a) promotion (b) protection (c) fulfill dan; (d) respect.
Kepolisian/Polisi Daerah
Mengenai polisi, tugasnya bukan menjaga keamanan dan ketertiban. Jika demikian, suasana dalam undang-undang ini, masih berbau otoriter rezim Orde Baru.
Tugas kepolisian adalah “Law and Order enforcer”. Polisi melakukan pelanggaran HAM, justru karena melakukan tugas keamanan.
Parlemen Bikameral dan Gubernur Provinsi Papua yang Memprioritaskan Penduduk Asli Papua
Mengenai parlemen bikameral dan Gubernur yang diarahkan untuk memprioritaskan orang Papua Asli, sudah benar dan hebat! Hanya saja istilah “asli” ini mengandung 2 pengertian: (1) yang melekat pada etniknya; dan (2) yang melekat pada kelahiran. Kalau tidak ada penjelasan dalam pasal yang bersangkutan akan berat . Dalam penjelasan dan atau dalam peraturan pelaksanaan perlu diatur bahwa orang Papua asli adalah :
- kedua orang tuanya orang Papua asli;
- salah satu orang tuanya orang Papua asli;
- orang non Papua atau non Melanesia yang lahir dan tinggal di Papua; lahir dan tinggal di Papua pun, ini harus diatur dalam peraturan pelaksanaan, misalnya lahir dan tinggal di Papua 10 tahun setelah dewasa.
4. Untuk jabatan Gubernur perlu diatur sedemikian sehingga orang Papua asli saja yang menjabat, kecuali jabatan wakil Gubernur atau jabatan-jabatan lain, boleh dijabat oleh non Papua/Melanesia yang lahir dan besar di Papua.
Bersama-sama membangun masyarakat majemuk Indonesia yang bersatu, Sejahtera-merata dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila
HUKUM, KEADILAN DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA
PENDAHULUAN
Pembahasan subtema ini dilihat dengan fokus HUKUM, KEADILAN dan HAK-HAK ASASI MANUSIA, di mana ketiga hal tersebut akan terus menerus menjadi faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan.
Pembangunan adalah proses politik, ekonomi, sosial dan budaya vaat komprehensip yang bertujuan untuk secara terus menerus meningkatkan kesejahteraan segala aspek kehidupan Seluruh masyarakat dan tiap orang, yang didasarkan kepada partisipasi penuh, aktip dan bebas serta pembagian yang adil dari manfaat yang dihasilkannya.
Hak untuk Pembangunan Adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, dengan mana setiap orang dan semua masyarakat berhak berpartisipasi, memberi sumbangan, dan menikmati hasil pembangunan ekonomi, sosial , politik dan budaya, sehingga semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar dapat sepenuhnya diwujudkan.
Dalam kerangka yang demikian Pembangunan Hukum bukan saja merupakan bagian integral dari pembanngunan nasional untuk mewujudkan tujuan pembangunan, tapi juga berfungsi sebagai landasan pengarah dan pengawas pembangunan.
Meskipun Indonesia merdeka telah memasuki usia ke 50 tahun, dan pembangunan 25 tahun perrtama telah dilaksanakan, ternyata berbagai masalah di bidang Hukum, Keadilan dan HAM masih belum diatasi. Masalah-masalah ini bersifat pokok yang, bila tidak diatasi dalam waktu yand tepat dan cara yang benar, akan menimbulkan gejolak-gejolak yang akan mengancam masa Gepan bangsa Indonesia. Urgensi intuk mengatasi masalah-masalah pokok tersebut juga berhubung dengan tantangan globalisasi.
Karena meskipun kita bersyukur bahwa perang dingin telah berakhir, sehingga kita lepas dari tekanan dan tarikan dari Barat dan Timur. Namun tantangan yang kita hadapi dalam era baru tidaklah semakin kecil. Pengintegrasian Indonesia ke pasar bebas dunia (GATT, APEC) bila tidak dihadapi dengan kesiapan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya justru akan memperbesar masalah-masalah ketidakadilan, hukum dan HAM khususnya bagi masyarakat lapisan bawah.
MASALAH DAN KECENDERUNGAN
Sudah hampir merupakan klise bahwa Pembangunan di samping membawa harapan-harapan baru juga membawa keprihatinan-keprihatinan. Membawa kemajuan-kemajuan tapi juga masalah-masalah baru, di samping bebagai masalah lama yang belum sepenuhnya dapat diatasi.
Secara khusus KGM VI PGI tahun 1993 telah menguraikan berbagai masalah pokok yang kita hadapi dalam penghujung abad 20 ini. Masalah-masalah itu adalah menyangkut HUKUM KEADILAN dan HAK ASASI MANUSIA, yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:
- Masalah ketidakadilan di berbagai sektor kehidupan masyarakat.
Kehidupan ekonomi hanya mengambangkan sekelompok kecil pelaku ekonomi dan meluasnya praktek monopoli dan nepotisme kekuasaan ekonomi. Dengan mengatasnamakan pembangunan, keadilan terhadap rakyat yang tergusur dari tanahnya sering terabaikan. Industri-industri yang mencari tanah murah dan buruh murah, senantiasa dapat mengalahkan aspirasi dan kepentingan rakyat (petani/buruh) menyangkut keadilan.
Pada bidang politik, ketidakadilan ini terasa manakala, baik supra struktur (pemerintah) maupun infra struktur politik selalu memiliki penafsiran yang berbeda menyangkut demokrasi Pancasila (ada standar ganda). Dalam hal penafsiran dan praktek yang berbeda ini, pemerintah selalu menjadi penentu, karena kekuasaan yang terlalu terpusat padanya.
Dengan demikian masih terjadi penyalahgunaan kekuasaan serta pengingkaran terhadap HAM. Pola-pola penjajahan di bidang politik yang demikian, mengakibatkan belum terwujudnya kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan secara lisan maupun tulisan sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
- Masalah hukum dan pelaksanaan hukum
Masih terdapatnya hukum-hukum yang merupakan warisan kolonial di samping produk hukum jaman kemerdekaan, yang dirancang semata-mata untuk kepentingan penguasa, yang mengabaikan keadilan, kebenaran dan kasih. Sementara di pihak lain begitu cepat dan tidak terkendali intervensi perangkat hukum, khususnya di bidang ekonomi keuangan dan industri yang berasal dari negara-negara, industri maju (baca: negara-negara kapitalis) yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.
Selain itu, proses perancangan hukum sendiri selama ini tidak transparan dalam arti masyarakat ikut secara penuh berpartisipasi. Dengan demikian, senantiasa ada pertentangan berbagai materil hukum maupun peraturan yang dikeluarkan dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat (bahkan telah menjadi moral masyarakat).
Campur tangan pemerintah terhadap lembaga-lembaga peradilan masih begitu nyata. Sementara, sesungguhnya lembaga-lembaga tersebut dipelihara kedudukannya agar tetap mandiri, bersih, jujur dan berwibawa.
- Kedudukan pemerintah menyangkut lembaga keagamaan.
Kedudukan ini menjadi masalah sehubungan dengan implementasi dari UU Keormasan yang mengharuskan lembaga-lembaga keagamaan seperti gereja memiliki posisi dan status yang sama dengan organisasi-organisasi masa lainnya. Dengan praktek sedemikian, urusan internal lembaga-lembaga keagamaan berdasarkan interpretasinya terhadap undang-undang keormasan dimaksud. Kita melihat, institusi-institusi extra judicial maupun extra konstitusional sangat dikedepankan dalam menangani masalah lembaga-lembaga keagamaan ini. Akibatnya adalah, lembaga-lembaga keagamaan yang seakan tidak memiliki “wibawa kerokhanian” serta tidak diakui kekhususannya dibanding dengan ormas-ormas lainnya.
Dalam keadaan yang demikian pemberlakuan peraturan-peraturan yang menghambat pendirian rumah ibadah telah menimbulkan ketidakadilan.
Bila dilihat dalam konstalasi hubungan pemerintah dan masyarakat, maka masalah-masalah di atas adalah menyangkut perlakuan pemerintah terhadap hak-hak asasi manusia baik secara individu maupun kolektif (masyarakat). Dengan melihat praktek pembangunan selama lebih kurang 25 tahun ini, dapat dikatakan pemerintah dan rakyat berada pada hubungan yang timpang, hubungan yang asimetris
DAMPAK ATAU KENISCAYAAN DARI STRATEGI PEMBANGUNAN
Salah satu pertanyaan pokok yang perlu dijawab ialah apakah masalah tersebut hanya merupakan dampak negatip dari strategi dan arah pembangunan yang dilaksanakan selama ini, atau merupakan satu keniscayaan. Sekiranya hanya merupakan dampak, maka tugas kita sedikit lebih ringan dalam arti, yang diperlukan hanya koreksi dan peningkatan dalam aras pelaksanaan, sehingga dampak negatip dapat diminimalisasi. Tetapi bila lebih dari pada dampak maka yang dibutuhkan adalah, lebih dari koreksi, yakni pembaharuan. Pembaharuan terhadap arah dan strategi pembangunan.
Sejak awal 1970-an gugatan terhadap strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi sudah sering dikemukakan (termasuk dengan cara yang keras). Strategi “memperbesar kue nasional” serta teori “trickle down effect” amat diragukan, bilamana dari sejak awal, tidak ada jaminan yang efektif dan aman atas akses masyarakat terhadap sumber daya yang dikelola dalam memproses pertumbuhan ekonomi. Sebab yang akan terjadi adalah bila “Kue nasional” telah membesar hanya sebagian kecil dari masyarakat yang akan menikmatinya, karena akses yang tidak merata. Inilah masalah besar yang kita hadapi dewasa ini.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama 25 tahun itu, ternyata diikuti oleh semakin menganganya disparitas antar region dan sektor, antar sekelompok kecil masyarakat dengan bagian terbesar dari masyarakat, karena efek cucuran ke bawah tidak terjadi.
Usaha yang mencoba melakukan koraksi dengan berbagai instrumen yang bersifat komplementer ternyata tidak memberikan arti yang besar. Sebagai contoh instrumen 8 Jalur Pemerataan. Begitu juga dengan instrument INPRES IDT akan membawa hasil yang diharapkan atau tidak akan dibuktikan dalam beberapa tahun ini.
Sementara prakarsa masyarakat tidak cukup memperolah peluang berhubungan dengan sempitnya ruang gerak yang ada. Partisipasi masyarakat lebih terlihat sebagai mobilisasi. Sedangkan partisipasi yang bebas dilihat sebagai kelainan, bahkan dianggap sebagai ancaman.
Berbagai prakarsa dan usaha masvarakat untuk memperjuangkan kepentingan di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya bahkan agama, sering kandas karena pbendekatan keamanannya yang diterapkan bahkan dengan cara-cara kekerasan.
Kita sepenuhnya sepakati bahwa untuk davbat mejaksanakan pembangunan diperlukan Stabilitas nasional, namun apakah untuk mempertahankan stabilitas tersebut pendekatan keamanan adalah satu-satunya alternatip?
Berbagai pelanggaran HAM, penyelewengan hukum dan berbagai ketidakadilan sulit dikoreksi karena penggunaan kebijakan dan pendekatan keamanan yang ekstensif dan intensif dalam semua segi kehidupan masyarakat, dan berlangsung puluhan tahun.
Kita mempunyai daftar panjang dari berbagai bentuk ketidakadilan, yang menyangkut akses rakyat terhadap tanah, hak-hak dasar dari buruh, kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat.
Dari berbagai laporan dan pemantauan terhadap pelanggaran HAM ditemukan bahwa faktor pendekatan keamanan merupakan faktor utama terjadinya pelanggaran HAM. Memang faktor-faktor lain turut berpengaruh, seperti tingkat kesadaran, ketidakpastian hukum, kapasitas aparatur negara, kemiskinan dst.
Khususnya pada pelanggaran berat dan kasar (gross violation) terjadi karena praktek pendekatan keamanan. Pelanggaran terhadap hak-hak yang tak dapat dikecualikan (Non-derogable rights) yakni hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang dan hak mendapatkan peradilan yang tidak memihak tidak dapat kita benarkan dengan alasan partikularis, berhubung dengan latar belakang, tradisi dan tingkat pembangunan yang dicapai.
Adalah satu kesalahan besar dengan alasan untuk mengamankan pembangunan, ada manusia Indonesia yang disiksa, ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, atau ada manusia Indonesia yang, harus dihilangkan. Kita akan menolak persepsi yang meletakkan pembangunan sebagai tujuan, karena pembangunan justru merupakan jalan untuk dapat dihormati dan dilindunginya HAM.
Dari sejak awal kemerdekaan para perdiri Republik telah menyadari bahwa betapa mulianya pun tujuan darr i satu negara, maka penyeleng- garaan negara tidak boleh didasarkan kepada kekuasaan belaka. Karena sejarah peradaban manusia telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak BGiawasi, dikendalikan dan dibatasi akan membawa bencana. Kekuasaan negara itu harus ditundukkan kepada hukum.
Sejarah peradaban manusia juga menunjukkan bahwa penyelenggara kekuasaan negara (Pemerintah) tidak selalu dengan sendirinya tunduk kepada hukum. Rakyat yang berdaulat yang menjaga agar penguasa senantiasa tunduk kepada hukum, dan sewaktu-waktu rakyat dapat menggunakan kedaulatannya untuk mengoreksi bahkan mengganti penyelenggara kekuasaan negara yang tidak tunduk pada hukum. Sehingga jelas negara hukum dapat terselenggara hanya dengan tegaknya kedaulatan rakyat, Asas Kedaulatan Rakyat ini secara terang benderang dimuat dalam UUD 45.
Dengan demikian petanyaan yang mendesak ialah apakah Kedaulatan Rakyat telah terselenggara dengan tepat sehingga penyenggara kekuasaan negara dapat diawasi secara efektif, agar dengan demikian kekuasaan negara tersebut sepenuhnya digunakan untuk menegakkan keadilan dan melindungi HAM.
KGM VI menyatakan: “monopoli kekuasaan politik dan ekonomi harus segera dihindari. Karena itu fungsi hukum untuk mengendalikan kekuasaan harus diwujud-nyatakan sehingga, keadilan, kebenaran dan kasih dapat dirasakan secara adil dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia”. Hal ini hanya akan mungkin terjadi bila penyelenggaraan Kedaulatan Rakyat dapat terlaksana secara efektif, Tanpa itu pernyataan di atas akan tinggal sebagai bernyataan belaka dan mustahil diwujudkan.
Dengan latar belakang pemikiran yang demikian kita dapat memahami pemikiran-pemikiran pembaharuan yang berusaha mewujudkan Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum secara penuh, antara lain:
- Kekuasaan yang lebih besar bagi Mahkamah Agung untuk melakukan hak uji material (judicial review) terhadap undang-undang (dan tentu peraturan hukum yang lebih rendah). Serta dibebaskannya badan peradilan dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.
KGM VI mencatat bahwa masih terdapatnya UU baik produk jaman penjajahan maupun produk jaman kemerdekaan yang bertentangan dengan konstitusi, yang perlu segera diganti. Dengan hak uji material maka MA dapat secara bertanggungjawab menyatakan produk hukum yang demikian tidak berlaku lagi - Redefinisi peranan ABRI, agar dengan peranan ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kehidupan demokrasi semakin berkembang, keadilan semakin dirasakan oleh seluruh masyarakat dan penghormatan dan perlindungan HAM semakin terwujud.
- Diperluasnya ruang gerak bagi prakarsa dan partisipasi masyarakat di bidang politik, dengan meninggalkan kebijakan massa mengambang serta kebijakan “pembinaan” dan pendekatan keamanan.
Selama kebijakan massa mengambang dilaksanakan, maka partai-partai politik tidak dapat secara sungguh-sungguh menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya. Pengembangan organisasi rakyat yang bebas tidak dapat terjadi sehingga partisipasi dan prakarsanya juga terkekang. Kebijakan dan instrumen “pembinaan” oleh pemerintah pada prakteknya menjadi alat untuk mengontrol organisasi politik, organisasi masyarakat, organisasi profesi bahkan organisasi keagamaan. Dalam kedudukan kemitraan, tidaklah pada tempatnya satu pihak (pemerintah) diberi posisi superior (pembina) dan pihak (masyarakat) lainnya pada posisi inferior (yang dibina).
Kedudukan yang tidak seimbang inilah organisasi masyarakat kehilangan kebebasannya. Dengan alasan pembinaan, campur tangan Pemerintah dalam urusan intern organisasi masyarakat/rakyat hendak dibenarkan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya pendekatan keamanan perlu segera diganti dengan pendekatan kesejahteraan.
Berhubungan dengan penegakan HAM, diperlukan dengan segera pemberlakuan instrumen HAM Internasional melalui ratifikasi, khususnya yang menjamin Hak-Hak yang tak dapat dikecualikan (non-derogable rights). Hak-hak dasar lainnya seperti kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat tidak akan mungkin terselenggara dengan baik bilamana praktek penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang masih dapat terjadi, dan aparatur negara yang melakukan pelanggaran ini tidak mendapat hukum yang setimpal.
PERAN GEREJA DALAM PEMBAHARUAN KEHIDUPAN BANGSA DAN NEGARA
Pembaharuan tersebut tidaklah “given”, sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi suatu usaha bersama dari masyarakat Indonesia dalam “proyek besar” pembangunan Indonesia.
Sebagai bagian dari bangsa, Gereja, merumuskan peran profetisnya untuk memperjuangkan dan menegakkan keadilan, kebenaran dan kasih. Tugas peran ini dilakukannya bersama-sama dengan kelompok dan golongan dalam masyarakat tanpa menbedakan latar belakang keyakinan politik, agama, ras dan budaya.
Dokumen-dokumen Geraja terutama sejak SR VII/1971 telah merumuskan peranan itu secara jelas, namun pada tataran praksis kita masih menemukan berbagai kesulitan. Gereja masih harus menjawab berbagai pertanyaan berhubung dengan pelaksanaan tugas profetis itu, tanpa terjerumus pada praktek-praktek partai politik, tapi di pihak lain tugas profetisnya sungguh melahirkan pembaharuan. Memang gereja bukanlah partai politik dalam pengertian Gereja berusaha membangun kekuatan dan menggerakkan kekuatan tersebut untuk mencapai misinya.
Sebagi contoh pertanyaan: Apakah yang harus dilakukan oleh Gereja ketika baru-baru ini Pemerintah tanpa proses peradilan mencabut SIUPP dari 3 media pers nadional? Pertanyaan ini timbul mengingat pertanyaan KGM V 1989 yakni: “di masa yang akan datang tindakan seperti, pengekangan, ancaman, pembredelan dan pencabutan SIUPP oleh Pemerintah tanpa proses peradilan harus dihentikan.
Begitupun pertanyaan tentang langkah-langkah apakah yang harus dilakukan gereja untuk mewujudkan salah satu pernyataannya dalam KGM VI 1993 bahwa “Sudah tiba saatnya destigmatisasi status dari saudara sebangsa yang terlibat dalam kemelut politik 1965 dan keluarga-keluarga mereka sebagai pengejawantahan sila Peri Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
Kita menyadari bahwa jawaban atas pernyataan itu tidaklah sederhana, namun harus kita jawab, karena begitu banyak pemikiran dan suara nabiah yang telah kita dokumentasikan sebagai hasil pergumulan kita pada tingkat lokal, regional, nasional dan global.
Saya hampir yakin bahwa sejak awal kita tidak punya maksud untuk menempatkan pemikiran dan suara nabiah gereja hanya sebagai dokumen.
Kita telah mencoba menjawab pertanyaan ini sejak tahun 1962 dengan rumusan: “Gereja dalam menjalankan tugas panggilannya harus bersikap Positip, Kreatip, dan Realistis.”
Rasanya belumlah terlambat melengkapi 4 sikap di atas dengan sikap siap menderita. Kesiapan gereja untuk menderita karena memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kasih. Kesiapan menderita karena ketaatannya kepada Allah.
Opini oleh Asmara Nababan
Setelah dalam beberapa dekade ini berada dalam sebuah rejim otoriter yang secara sistematis juga mengandung banyak pelanggaran hak asasi manusia, maka pada saat yang serba transisi ini, bangsa Indonesia kembali membangun sebuah harapan baru. Satu harapan bagi terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang demokratis dan semakin dihormatinya hak-hak asasi manusia.
Bagaimana mencapainya? Bagaimana dengan kasus-kasus masa lalu yang belum selesai, termasuk tumpukan kasus pelanggaran hak asasi manusia? Apakah kasus-kasus tersebut akan diselesaikan dan pelakunya dihukum atau dibiarkan berlalu begitu saja?
Salah satu upaya untuk menyelesaikan situasi tersebut adalah melalui proses transitionaljustice. Sebuah upaya untuk membawa keadilan pada rakyat dalam satu periode transisi. Sebuah proses yang menghendaki adanya perbaikan dalam mekanisme hukum dan politik, perundang-undanganserta aparat negaranya yang selanjutnya akan membawaikutan meningkatnya demokrasi yang berkualitas.
Melalui transitional justice diharapkan dapat pula diselesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia pada rejim lalu, serta adanya sebuah upaya pemulihan bagi para korban dan keluarganya, disamping untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi manusia pada masa yang akan datang. Namun tentu saja semuanya itu memiliki dimensi-dimensi politik, sejarah, hukum, psikologi serta moral yang cukup kompleks. Seperti misalnya di Indonesia, derajat militerisasi dan kekuatan masyarakat warga serta opini publik pada setiap kasus juga memiliki implikasi pada proses transitionaljustice.
Bagaimana transitional justice itu dilakukan? Pengadilan kilat (summaryjustice), pengadilan rakyat ataupun ‘pengadilan jalanan’ bukanlah jawabannya karena akan menimbulkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia baru. Transitional justice dapat mengambil beberapa bentuk seperti criminal sanctions, noncriminal sanctions, ataupun dengan pemberian amnesti. Ketika Presiden Abdurahman Wahid menyatakan bahwa nama Irian Jaya berubah menjadi Papua sebenarnya dapat dikatakan sebagai bagian dari proses transitionaljustice dalam dimensi moral justice. Namun sayang sekali hal tersebut tidak kemudian ditindaklanjuti dengan melegitimasinya secara hukum sehingga hanyabersifat retorika belaka.
Dalam pelaksanaannya,transitionaljustice bukannya tidak membawategangantegangan lain. Ketika harus berhadapan denganprinsip ex postfacto dan nullum delictum nulla poena sine lege (tidak ada suatu perbuatan sebagai tindak pidana, kecuali terlebih dahulu dinyatakan sebagai tindak pidana dalam UU, atau tidak diberlakukannya ketentuan kadaluwarsa) maka dalam proses transitional justice nampaknya akan sulit untuk ‘membawa’ ke pengadilan mereka yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia pada masa yanglalu. Proses transitionaljustice juga akan mengalami hambatan untuk dilakukan jika infrastruktur yang ada untuk menegakkan keadilan tidak memadai, seperti misalnya perundangan-undangan, mekanisme hukum dan politik serta aparatnya masih mengabdi pada rejim yang lama. Pada masa peralihan ini, (sejalan dengan yang dikemukan Huntington dalam Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Rejime vol. I) di Indonesia yang terjadi adalah proses transplacement bukan replacement, sehingga kondisi yang ada sekarang ini adalah masih tegdapatnya bagianbagian dari rejim lama, baik personel maupun lembaganya dalam sistim hukum dan politik.
Membiarkan kebenaran untuk dibuka adalah merupakan salah satu aspek terpenting dalam proses transitional justice. Dengan memberikan ruang bagi diungkapkannya kebenaran dan keadilan bagi kejahatan yang dilakukan oleh rejim terdahulu melalui lembaga kebenaran dan rekonsiliasi adalah sebuah alternatif. Dalam pandangan ini, mengadili dan menghukum para pelaku pelanggar hak asasi manusia di masa lalu adalah bukan sebuah bagian esensial. Namun yang terpenting adalah mengecam pelanggaran-pelanggaran yang telah mereka lakukan dan menarik garis tegas antara rejim lama dan rejim yang baru. Upaya ini mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak, khususnya para korban dan keluarganya, namun dapat menjadi sebuah jalan pilihan bagi rekonsiliasi dan terbangunnya kembali sebuah bangsa. Kita memaafkan namun tidak melupakan pelanggaran hak asasi manusia di masalalu.