Opini oleh Asmara Nababan
Setelah dalam beberapa dekade ini berada dalam sebuah rejim otoriter yang secara sistematis juga mengandung banyak pelanggaran hak asasi manusia, maka pada saat yang serba transisi ini, bangsa Indonesia kembali membangun sebuah harapan baru. Satu harapan bagi terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang demokratis dan semakin dihormatinya hak-hak asasi manusia.
Bagaimana mencapainya? Bagaimana dengan kasus-kasus masa lalu yang belum selesai, termasuk tumpukan kasus pelanggaran hak asasi manusia? Apakah kasus-kasus tersebut akan diselesaikan dan pelakunya dihukum atau dibiarkan berlalu begitu saja?
Salah satu upaya untuk menyelesaikan situasi tersebut adalah melalui proses transitionaljustice. Sebuah upaya untuk membawa keadilan pada rakyat dalam satu periode transisi. Sebuah proses yang menghendaki adanya perbaikan dalam mekanisme hukum dan politik, perundang-undanganserta aparat negaranya yang selanjutnya akan membawaikutan meningkatnya demokrasi yang berkualitas.
Melalui transitional justice diharapkan dapat pula diselesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia pada rejim lalu, serta adanya sebuah upaya pemulihan bagi para korban dan keluarganya, disamping untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi manusia pada masa yang akan datang. Namun tentu saja semuanya itu memiliki dimensi-dimensi politik, sejarah, hukum, psikologi serta moral yang cukup kompleks. Seperti misalnya di Indonesia, derajat militerisasi dan kekuatan masyarakat warga serta opini publik pada setiap kasus juga memiliki implikasi pada proses transitionaljustice.
Bagaimana transitional justice itu dilakukan? Pengadilan kilat (summaryjustice), pengadilan rakyat ataupun ‘pengadilan jalanan’ bukanlah jawabannya karena akan menimbulkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia baru. Transitional justice dapat mengambil beberapa bentuk seperti criminal sanctions, noncriminal sanctions, ataupun dengan pemberian amnesti. Ketika Presiden Abdurahman Wahid menyatakan bahwa nama Irian Jaya berubah menjadi Papua sebenarnya dapat dikatakan sebagai bagian dari proses transitionaljustice dalam dimensi moral justice. Namun sayang sekali hal tersebut tidak kemudian ditindaklanjuti dengan melegitimasinya secara hukum sehingga hanyabersifat retorika belaka.
Dalam pelaksanaannya,transitionaljustice bukannya tidak membawategangantegangan lain. Ketika harus berhadapan denganprinsip ex postfacto dan nullum delictum nulla poena sine lege (tidak ada suatu perbuatan sebagai tindak pidana, kecuali terlebih dahulu dinyatakan sebagai tindak pidana dalam UU, atau tidak diberlakukannya ketentuan kadaluwarsa) maka dalam proses transitional justice nampaknya akan sulit untuk ‘membawa’ ke pengadilan mereka yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia pada masa yanglalu. Proses transitionaljustice juga akan mengalami hambatan untuk dilakukan jika infrastruktur yang ada untuk menegakkan keadilan tidak memadai, seperti misalnya perundangan-undangan, mekanisme hukum dan politik serta aparatnya masih mengabdi pada rejim yang lama. Pada masa peralihan ini, (sejalan dengan yang dikemukan Huntington dalam Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Rejime vol. I) di Indonesia yang terjadi adalah proses transplacement bukan replacement, sehingga kondisi yang ada sekarang ini adalah masih tegdapatnya bagianbagian dari rejim lama, baik personel maupun lembaganya dalam sistim hukum dan politik.
Membiarkan kebenaran untuk dibuka adalah merupakan salah satu aspek terpenting dalam proses transitional justice. Dengan memberikan ruang bagi diungkapkannya kebenaran dan keadilan bagi kejahatan yang dilakukan oleh rejim terdahulu melalui lembaga kebenaran dan rekonsiliasi adalah sebuah alternatif. Dalam pandangan ini, mengadili dan menghukum para pelaku pelanggar hak asasi manusia di masa lalu adalah bukan sebuah bagian esensial. Namun yang terpenting adalah mengecam pelanggaran-pelanggaran yang telah mereka lakukan dan menarik garis tegas antara rejim lama dan rejim yang baru. Upaya ini mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak, khususnya para korban dan keluarganya, namun dapat menjadi sebuah jalan pilihan bagi rekonsiliasi dan terbangunnya kembali sebuah bangsa. Kita memaafkan namun tidak melupakan pelanggaran hak asasi manusia di masalalu.