Bersama-sama membangun masyarakat majemuk Indonesia yang bersatu, Sejahtera-merata dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila

by hambali

HUKUM, KEADILAN DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA

PENDAHULUAN

Pembahasan subtema ini dilihat dengan fokus HUKUM, KEADILAN dan HAK-HAK ASASI MANUSIA, di mana ketiga hal tersebut akan terus menerus menjadi faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan.

Pembangunan adalah proses politik, ekonomi, sosial dan budaya vaat komprehensip yang bertujuan untuk secara terus menerus meningkatkan kesejahteraan segala aspek kehidupan Seluruh masyarakat dan tiap orang, yang didasarkan kepada partisipasi penuh, aktip dan bebas serta pembagian yang adil dari manfaat yang dihasilkannya.

Hak untuk Pembangunan Adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, dengan mana setiap orang dan semua masyarakat berhak berpartisipasi, memberi sumbangan, dan menikmati hasil pembangunan ekonomi, sosial , politik dan budaya, sehingga semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar dapat sepenuhnya diwujudkan.

Dalam kerangka yang demikian Pembangunan Hukum bukan saja merupakan bagian integral dari pembanngunan nasional untuk mewujudkan tujuan pembangunan, tapi juga berfungsi sebagai landasan pengarah dan pengawas pembangunan.

Meskipun Indonesia merdeka telah memasuki usia ke 50 tahun, dan pembangunan 25 tahun perrtama telah dilaksanakan, ternyata berbagai masalah di bidang Hukum, Keadilan dan HAM masih belum diatasi. Masalah-masalah ini bersifat pokok yang, bila tidak diatasi dalam waktu yand tepat dan cara yang benar, akan menimbulkan gejolak-gejolak yang akan mengancam masa Gepan bangsa Indonesia. Urgensi intuk mengatasi masalah-masalah pokok tersebut juga berhubung dengan tantangan globalisasi.

Karena meskipun kita bersyukur bahwa perang dingin telah berakhir, sehingga kita lepas dari tekanan dan tarikan dari Barat dan Timur. Namun tantangan yang kita hadapi dalam era baru tidaklah semakin kecil. Pengintegrasian Indonesia ke pasar bebas dunia (GATT, APEC) bila tidak dihadapi dengan kesiapan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya justru akan memperbesar masalah-masalah ketidakadilan, hukum dan HAM khususnya bagi masyarakat lapisan bawah.

MASALAH DAN KECENDERUNGAN

Sudah hampir merupakan klise bahwa Pembangunan di samping membawa harapan-harapan baru juga membawa keprihatinan-keprihatinan. Membawa kemajuan-kemajuan tapi juga masalah-masalah baru, di samping bebagai masalah lama yang belum sepenuhnya dapat diatasi.

Secara khusus KGM VI PGI tahun 1993 telah menguraikan berbagai masalah pokok yang kita hadapi dalam penghujung abad 20 ini. Masalah-masalah itu adalah menyangkut HUKUM KEADILAN dan HAK ASASI MANUSIA, yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Masalah ketidakadilan di berbagai sektor kehidupan masyarakat.

    Kehidupan ekonomi hanya mengambangkan sekelompok kecil pelaku ekonomi dan meluasnya praktek monopoli dan nepotisme kekuasaan ekonomi. Dengan mengatasnamakan pembangunan, keadilan terhadap rakyat yang tergusur dari tanahnya sering terabaikan. Industri-industri yang mencari tanah murah dan buruh murah, senantiasa dapat mengalahkan aspirasi dan kepentingan rakyat (petani/buruh) menyangkut keadilan.

    Pada bidang politik, ketidakadilan ini terasa manakala, baik supra struktur (pemerintah) maupun infra struktur politik selalu memiliki penafsiran yang berbeda menyangkut demokrasi Pancasila (ada standar ganda). Dalam hal penafsiran dan praktek yang berbeda ini, pemerintah selalu menjadi penentu, karena kekuasaan yang terlalu terpusat padanya.

    Dengan demikian masih terjadi penyalahgunaan kekuasaan serta pengingkaran terhadap HAM. Pola-pola penjajahan di bidang politik yang demikian, mengakibatkan belum terwujudnya kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan secara lisan maupun tulisan sebagaimana dijamin oleh konstitusi.

  2. Masalah hukum dan pelaksanaan hukum

    Masih terdapatnya hukum-hukum yang merupakan warisan kolonial di samping produk hukum jaman kemerdekaan, yang dirancang semata-mata untuk kepentingan penguasa, yang mengabaikan keadilan, kebenaran dan kasih. Sementara di pihak lain begitu cepat dan tidak terkendali intervensi perangkat hukum, khususnya di bidang ekonomi keuangan dan industri yang berasal dari negara-negara, industri maju (baca: negara-negara kapitalis) yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.

    Selain itu, proses perancangan hukum sendiri selama ini tidak transparan dalam arti masyarakat ikut secara penuh berpartisipasi. Dengan demikian, senantiasa ada pertentangan berbagai materil hukum maupun peraturan yang dikeluarkan dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat (bahkan telah menjadi moral masyarakat).

    Campur tangan pemerintah terhadap lembaga-lembaga peradilan masih begitu nyata. Sementara, sesungguhnya lembaga-lembaga tersebut dipelihara kedudukannya agar tetap mandiri, bersih, jujur dan berwibawa.

  3. Kedudukan pemerintah menyangkut lembaga keagamaan.

    Kedudukan ini menjadi masalah sehubungan dengan implementasi dari UU Keormasan yang mengharuskan lembaga-lembaga keagamaan seperti gereja memiliki posisi dan status yang sama dengan organisasi-organisasi masa lainnya. Dengan praktek sedemikian, urusan internal lembaga-lembaga keagamaan berdasarkan interpretasinya terhadap undang-undang keormasan dimaksud. Kita melihat, institusi-institusi extra judicial maupun extra konstitusional sangat dikedepankan dalam menangani masalah lembaga-lembaga keagamaan ini. Akibatnya adalah, lembaga-lembaga keagamaan yang seakan tidak memiliki “wibawa kerokhanian” serta tidak diakui kekhususannya dibanding dengan ormas-ormas lainnya.

    Dalam keadaan yang demikian pemberlakuan peraturan-peraturan yang menghambat pendirian rumah ibadah telah menimbulkan ketidakadilan.

    Bila dilihat dalam konstalasi hubungan pemerintah dan masyarakat, maka masalah-masalah di atas adalah menyangkut perlakuan pemerintah terhadap hak-hak asasi manusia baik secara individu maupun kolektif (masyarakat). Dengan melihat praktek pembangunan selama lebih kurang 25 tahun ini, dapat dikatakan pemerintah dan rakyat berada pada hubungan yang timpang, hubungan yang asimetris

DAMPAK ATAU KENISCAYAAN DARI STRATEGI PEMBANGUNAN

Salah satu pertanyaan pokok yang perlu dijawab ialah apakah masalah tersebut hanya merupakan dampak negatip dari strategi dan arah pembangunan yang dilaksanakan selama ini, atau merupakan satu keniscayaan. Sekiranya hanya merupakan dampak, maka tugas kita sedikit lebih ringan dalam arti, yang diperlukan hanya koreksi dan peningkatan dalam aras pelaksanaan, sehingga dampak negatip dapat diminimalisasi. Tetapi bila lebih dari pada dampak maka yang dibutuhkan adalah, lebih dari koreksi, yakni pembaharuan. Pembaharuan terhadap arah dan strategi pembangunan.

Sejak awal 1970-an gugatan terhadap strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi sudah sering dikemukakan (termasuk dengan cara yang keras). Strategi “memperbesar kue nasional” serta teori “trickle down effect” amat diragukan, bilamana dari sejak awal, tidak ada jaminan yang efektif dan aman atas akses masyarakat terhadap sumber daya yang dikelola dalam memproses pertumbuhan ekonomi. Sebab yang akan terjadi adalah bila “Kue nasional” telah membesar hanya sebagian kecil dari masyarakat yang akan menikmatinya, karena akses yang tidak merata. Inilah masalah besar yang kita hadapi dewasa ini.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama 25 tahun itu, ternyata diikuti oleh semakin menganganya disparitas antar region dan sektor, antar sekelompok kecil masyarakat dengan bagian terbesar dari masyarakat, karena efek cucuran ke bawah tidak terjadi.

Usaha yang mencoba melakukan koraksi dengan berbagai instrumen yang bersifat komplementer ternyata tidak memberikan arti yang besar. Sebagai contoh instrumen 8 Jalur Pemerataan. Begitu juga dengan instrument INPRES IDT akan membawa hasil yang diharapkan atau tidak akan dibuktikan dalam beberapa tahun ini.

Sementara prakarsa masyarakat tidak cukup memperolah peluang berhubungan dengan sempitnya ruang gerak yang ada. Partisipasi masyarakat lebih terlihat sebagai mobilisasi. Sedangkan partisipasi yang bebas dilihat sebagai kelainan, bahkan dianggap sebagai ancaman.

Berbagai prakarsa dan usaha masvarakat untuk memperjuangkan kepentingan di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya bahkan agama, sering kandas karena pbendekatan keamanannya yang diterapkan bahkan dengan cara-cara kekerasan.

Kita sepenuhnya sepakati bahwa untuk davbat mejaksanakan pembangunan diperlukan Stabilitas nasional, namun apakah untuk mempertahankan stabilitas tersebut pendekatan keamanan adalah satu-satunya alternatip?

Berbagai pelanggaran HAM, penyelewengan hukum dan berbagai ketidakadilan sulit dikoreksi karena penggunaan kebijakan dan pendekatan keamanan yang ekstensif dan intensif dalam semua segi kehidupan masyarakat, dan berlangsung puluhan tahun.

Kita mempunyai daftar panjang dari berbagai bentuk ketidakadilan, yang menyangkut akses rakyat terhadap tanah, hak-hak dasar dari buruh, kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat.

Dari berbagai laporan dan pemantauan terhadap pelanggaran HAM ditemukan bahwa faktor pendekatan keamanan merupakan faktor utama terjadinya pelanggaran HAM. Memang faktor-faktor lain turut berpengaruh, seperti tingkat kesadaran, ketidakpastian hukum, kapasitas aparatur negara, kemiskinan dst.

Khususnya pada pelanggaran berat dan kasar (gross violation) terjadi karena praktek pendekatan keamanan. Pelanggaran terhadap hak-hak yang tak dapat dikecualikan (Non-derogable rights) yakni hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang dan hak mendapatkan peradilan yang tidak memihak tidak dapat kita benarkan dengan alasan partikularis, berhubung dengan latar belakang, tradisi dan tingkat pembangunan yang dicapai.

Adalah satu kesalahan besar dengan alasan untuk mengamankan pembangunan, ada manusia Indonesia yang disiksa, ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, atau ada manusia Indonesia yang, harus dihilangkan. Kita akan menolak persepsi yang meletakkan pembangunan sebagai tujuan, karena pembangunan justru merupakan jalan untuk dapat dihormati dan dilindunginya HAM.

Dari sejak awal kemerdekaan para perdiri Republik telah menyadari bahwa betapa mulianya pun tujuan darr i satu negara, maka penyeleng- garaan negara tidak boleh didasarkan kepada kekuasaan belaka. Karena sejarah peradaban manusia telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak BGiawasi, dikendalikan dan dibatasi akan membawa bencana. Kekuasaan negara itu harus ditundukkan kepada hukum.

Sejarah peradaban manusia juga menunjukkan bahwa penyelenggara kekuasaan negara (Pemerintah) tidak selalu dengan sendirinya tunduk kepada hukum. Rakyat yang berdaulat yang menjaga agar penguasa senantiasa tunduk kepada hukum, dan sewaktu-waktu rakyat dapat menggunakan kedaulatannya untuk mengoreksi bahkan mengganti penyelenggara kekuasaan negara yang tidak tunduk pada hukum. Sehingga jelas negara hukum dapat terselenggara hanya dengan tegaknya kedaulatan rakyat, Asas Kedaulatan Rakyat ini secara terang benderang dimuat dalam UUD 45.

Dengan demikian petanyaan yang mendesak ialah apakah Kedaulatan Rakyat telah terselenggara dengan tepat sehingga penyenggara kekuasaan negara dapat diawasi secara efektif, agar dengan demikian kekuasaan negara tersebut sepenuhnya digunakan untuk menegakkan keadilan dan melindungi HAM.

KGM VI menyatakan: “monopoli kekuasaan politik dan ekonomi harus segera dihindari. Karena itu fungsi hukum untuk mengendalikan kekuasaan harus diwujud-nyatakan sehingga, keadilan, kebenaran dan kasih dapat dirasakan secara adil dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia”. Hal ini hanya akan mungkin terjadi bila penyelenggaraan Kedaulatan Rakyat dapat terlaksana secara efektif, Tanpa itu pernyataan di atas akan tinggal sebagai bernyataan belaka dan mustahil diwujudkan.

Dengan latar belakang pemikiran yang demikian kita dapat memahami pemikiran-pemikiran pembaharuan yang berusaha mewujudkan Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum secara penuh, antara lain:

  • Kekuasaan yang lebih besar bagi Mahkamah Agung untuk melakukan hak uji material (judicial review) terhadap undang-undang (dan tentu peraturan hukum yang lebih rendah). Serta dibebaskannya badan peradilan dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.

    KGM VI mencatat bahwa masih terdapatnya UU baik produk jaman penjajahan maupun produk jaman kemerdekaan yang bertentangan dengan konstitusi, yang perlu segera diganti. Dengan hak uji material maka MA dapat secara bertanggungjawab menyatakan produk hukum yang demikian tidak berlaku lagi
  • Redefinisi peranan ABRI, agar dengan peranan ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kehidupan demokrasi semakin berkembang, keadilan semakin dirasakan oleh seluruh masyarakat dan penghormatan dan perlindungan HAM semakin terwujud.
  • Diperluasnya ruang gerak bagi prakarsa dan partisipasi masyarakat di bidang politik, dengan meninggalkan kebijakan massa mengambang serta kebijakan “pembinaan” dan pendekatan keamanan.

Selama kebijakan massa mengambang dilaksanakan, maka partai-partai politik tidak dapat secara sungguh-sungguh menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya. Pengembangan organisasi rakyat yang bebas tidak dapat terjadi sehingga partisipasi dan prakarsanya juga terkekang. Kebijakan dan instrumen “pembinaan” oleh pemerintah pada prakteknya menjadi alat untuk mengontrol organisasi politik, organisasi masyarakat, organisasi profesi bahkan organisasi keagamaan. Dalam kedudukan kemitraan, tidaklah pada tempatnya satu pihak (pemerintah) diberi posisi superior (pembina) dan pihak (masyarakat) lainnya pada posisi inferior (yang dibina).

Kedudukan yang tidak seimbang inilah organisasi masyarakat kehilangan kebebasannya. Dengan alasan pembinaan, campur tangan Pemerintah dalam urusan intern organisasi masyarakat/rakyat hendak dibenarkan.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya pendekatan keamanan perlu segera diganti dengan pendekatan kesejahteraan.

Berhubungan dengan penegakan HAM, diperlukan dengan segera pemberlakuan instrumen HAM Internasional melalui ratifikasi, khususnya yang menjamin Hak-Hak yang tak dapat dikecualikan (non-derogable rights). Hak-hak dasar lainnya seperti kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat tidak akan mungkin terselenggara dengan baik bilamana praktek penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang masih dapat terjadi, dan aparatur negara yang melakukan pelanggaran ini tidak mendapat hukum yang setimpal.

PERAN GEREJA DALAM PEMBAHARUAN KEHIDUPAN BANGSA DAN NEGARA

Pembaharuan tersebut tidaklah “given”, sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi suatu usaha bersama dari masyarakat Indonesia dalam “proyek besar” pembangunan Indonesia.

Sebagai bagian dari bangsa, Gereja, merumuskan peran profetisnya untuk memperjuangkan dan menegakkan keadilan, kebenaran dan kasih. Tugas peran ini dilakukannya bersama-sama dengan kelompok dan golongan dalam masyarakat tanpa menbedakan latar belakang keyakinan politik, agama, ras dan budaya.

Dokumen-dokumen Geraja terutama sejak SR VII/1971 telah merumuskan peranan itu secara jelas, namun pada tataran praksis kita masih menemukan berbagai kesulitan. Gereja masih harus menjawab berbagai pertanyaan berhubung dengan pelaksanaan tugas profetis itu, tanpa terjerumus pada praktek-praktek partai politik, tapi di pihak lain tugas profetisnya sungguh melahirkan pembaharuan. Memang gereja bukanlah partai politik dalam pengertian Gereja berusaha membangun kekuatan dan menggerakkan kekuatan tersebut untuk mencapai misinya.

Sebagi contoh pertanyaan: Apakah yang harus dilakukan oleh Gereja ketika baru-baru ini Pemerintah tanpa proses peradilan mencabut SIUPP dari 3 media pers nadional? Pertanyaan ini timbul mengingat pertanyaan KGM V 1989 yakni: “di masa yang akan datang tindakan seperti, pengekangan, ancaman, pembredelan dan pencabutan SIUPP oleh Pemerintah tanpa proses peradilan harus dihentikan.

Begitupun pertanyaan tentang langkah-langkah apakah yang harus dilakukan gereja untuk mewujudkan salah satu pernyataannya dalam KGM VI 1993 bahwa “Sudah tiba saatnya destigmatisasi status dari saudara sebangsa yang terlibat dalam kemelut politik 1965 dan keluarga-keluarga mereka sebagai pengejawantahan sila Peri Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

Kita menyadari bahwa jawaban atas pernyataan itu tidaklah sederhana, namun harus kita jawab, karena begitu banyak pemikiran dan suara nabiah yang telah kita dokumentasikan sebagai hasil pergumulan kita pada tingkat lokal, regional, nasional dan global.

Saya hampir yakin bahwa sejak awal kita tidak punya maksud untuk menempatkan pemikiran dan suara nabiah gereja hanya sebagai dokumen.

Kita telah mencoba menjawab pertanyaan ini sejak tahun 1962 dengan rumusan: “Gereja dalam menjalankan tugas panggilannya harus bersikap Positip, Kreatip, dan Realistis.”

Rasanya belumlah terlambat melengkapi 4 sikap di atas dengan sikap siap menderita. Kesiapan gereja untuk menderita karena memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kasih. Kesiapan menderita karena ketaatannya kepada Allah.

You may also like

Leave a Comment