Diskusi Dengan Asmara Nababan, S.H.
dan Antonio Pradjasto S.H, LLM
Kesan Umum Asmara Nababan mengenai RUU Otonomi Khusus Papua
RUU Otonomi Khusus usulan rakyat Papua dinilai oleh Asmara Nababan sebagai suatu jalan tengah terbaik untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di Tanah Papua – termasuk dalam hubungannya dengan pemerintah pusat.
Nababan juga menekankan tentang pentingnya RUU ini memuat penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di waktu lalu, termasuk soal pelurusan sejarah Papua, dan dikembangkannya upaya-upaya sistematis untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran HAM – apa pun bentuknya – terjadi di waktu-waktu mendatang. Dalam kaitan itu ia menyatakan kesediaannya untuk ikut serta memberikan pendapat apabila diundang oleh DPR RI.
Mengenai Komisi Hak Asasi Manusia Papua
Formulasi Pasal 41 ayat 2, perlu diperbaiki, sebab dari formulasi ini timbul kesan, bahwa seakan-akan komisi ini mempunyai kewenangan yang tidak saja pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, tetapi juga sampai pada tingkat penuntutan di Pengadilan.
Rumusan ini, harus spesifik, misalnya: “… berwenang untuk menyelidiki dan menyidik dan hasil penyelidikan diserahkan kepada kejaksaan untuk dilanjutkan dalam bentuk proses penuntutan di Pengadilan Hak Asasi Manusia …”. Hal ini perlu ditegaskan dalam Undang-Undang ini. Memang, sekarang ini ada Komisi Ad-Hoc dalam draft Undang-Undang Anti Korupsi di mana kewenangannya sampai ke penuntutan. Tetapi sesungguhnya hal ini sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, dalam hal ini, kalau penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh komisi HAM, maka penuntutan di Pengadilan HAM seyogyanya dilakukan oleh kejaksaan karena memang menjadi kewenangannya.
Istilah “Hak-Hak Asasi Manusia” sebaiknya ditulis “Hak Asasi Manusia”. Selanjutnya, mengenai formulasi, susunan, kedudukan, tugas dan tanggung jawab Komisi HAM Papua, yang diatur dengan Peraturan Propinsi, seperti termaksud dalam pasal 42 ayat 3, hal itu sudah benar.
Analog atau tidak, tetapi perlu dikemukakan, bahwa pada waktu Lokakarya Desentralisasi Mekanisme Perlindungan HAM, dikonstatir bahwa peraturan-peraturan yang ada sekarang sudah memungkinkan didirikannya Komisi HAM di daerah disertai dana yang bersumber dari APBD. Jadi, pembentukan Komisi HAM dan Peradilan HAM di Papua, sudah tepat. Sekarang sudah diajukan amandemen terhadap UU No. 39/1999 untuk memberikan landasan yuridis bagi terbentuknya Komisi HAM di daerah-daerah. Untuk Papua telah dibentuk perwakilan Komisi HAM Papua, untuk masa kerja satu tahun dan dapat diperpanjang lagi.
Mengenai Ganti Rugi kepada Korban Pelanggaran HAM di Papua
Masih belum jelas, siapa yang berwenang menetapkan atau memverifikasi tuntutan dari korban atau keluarga korban atau ahli waris korban untuk dapat mendapatkan kompensasi atau ganti rugi seperti dimaksud dalam pasa 42 ayat 1 itu? Sebab dikatakan di sini, bahwa korban, keluarga korban atau ahli waris korban pelanggaran HAM, diberikan dana kompensasi, atau bentuk lain oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi. Kalau lembaga yang berwenang memverifikasi kebenaran tuntutan korban pelanggaran HAM adalah Pengadilan, maka akan memakan waktu yang cukup lama, bisa sampai 100 tahun !
Pasal 42 ayat 1 ini mengandung pengertian ganti rugi atau reparasi. Ada 4 bentuk reparasi, yaitu : (1) kompensasi; (2) restitusi; (3) rehabilitasi; (4) pemuasan (satisfaction). Selama ini, dalam bahasa hukum semuanya dikatakan sebagai ganti rugi. Ganti rugi dalam RUU ini ditarik mulai dari tahun 1963. Bagaimana dengan korban yang terjadi pada tahun 1969, ke mana korban tersebut harus meminta atau memohon kompensasi?
Dalam hal ini ada 2 kontruksi :
- Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sejak tahun 1963 sampai saat disahkannya undang-undang ini, diselesaikan oleh Komisi Klarifikasi Sejarah (KKS) sedangkan;
- Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang ini, disidik oleh Komisi HAM dan diadili oleh Pengadilan HAM.
Itu sebabnya, sebenarnya dari segi susunan, Komisi Klarifikasi Sejarah perlu lebih dahulu diatur, baru kemudian dibentuk Komisi HAM. Dalam pasal 42 ayat 3, sudah disebut Badan Peradilan HAM. Jadi sebenarnya dalam pasal 41 ayat 2, seharusnya sudah menyebut dan mengatur Komisi Klarifikasi Sejarah itu.
Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah
Rumusan pasal 43 ayat 1 perlu diperbaiki. Sebab dari formulasi pasal 43 ayat 1, seakan-akan hanya mengenai “perbedaan pendapat mengenai sejarah integrasi Papua”. Tugas komisi ini tidak hanya itu – tidak terbatas meluruskan sejarah an sich. Justru tugas komisi ini lebih luas dari itu, yakni :
- Menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1963 sampai undang-undang ini disahkan. Di sini masih ada pilihan-pilihan lain, misalnya batas waktunya sampai berlakunya undang-undang Peradilan HAM 2000. Terserah, mana batas waktu yang disepakati dan ditentukan dalam undang-undang ini secara tegas.
- Meluruskan sejarah sesuai dengan atau berdasarkan kebenaran. Dalam rangka penyelesaian berdasarkan kebenaran ini, baru ada rehabilitasi atau reparasi yang diberikan kepada pihak korban. Tuntutan dari korban/keluarga korban atau ahli waris korban untuk memperoleh reparasi diberikan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Propinsi, setelah mendapat klarifikasi atau setelah mendapat keputusan dari Komisi Klarifikasi Sejarah. Jadi, bukan pemerintah yang menentukan benar tidaknya suatu pelanggaran. Sebaliknya komisi ini yang menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM.
- Merekomendasikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat untuk disidik dan dituntut di Pengadilan HAM. Untuk ini harus cukup bukti dan pelaku masih hidup. Sebab kalau pelaku sudah meninggal dunia, tidak bisa dituntut dan diadili. Apabila ada cukup bukti dan pelakunya masih hidup, maka Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah merekomendasikan untuk diajukan ke Pengadilan HAM. Dalam hal ini, memang tidak semua kasus pelanggaran HAM dapat diajukan ke Pengadilan HAM.
Dalam hal Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara (state) maka jelas yang bertanggung jawab adalah Pemerintah Negara. Tetapi, yang menjadi persoalan, bahwa tidak semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, sejak tahun 1963, bisa di bahwa ke Pengadilan. Hal ini, karena kalaupun dia state (negara), tetapi kalau Jenderalnya, Pangdamnya atau Kopralnya sudah mati, siapa yang di bawah ke Pengadilan? Memang ada responsibility by state, tetapi di sini lalu menjadi individual responsibility.
Dengan demikian, tidak bisa dituntut pelaku yang telah mati, demikian pula Panglima yang sekarang tidak dapat bertanggung jawab atas kejahatan TNI tahun 1963, karena dia bukan Panglima pada waktu itu. Tetapi pada prinsipnya, kalau pelakunya masih hidup dan cukup bukti, kepada korban harus diberikan reparasi dan kepada pelaku harus di hukum. Kompensasi dalam bentuk lain, misalnya ganti rugi bisa langsung ditentukan oleh Komisi Klarifikasi Sejarah. Dan Komisi ini juga menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan HAM.
Mengenai satisfaction (pemuasan), maka penguasa negara bisa secara resmi mengakui kesalahannya dan selakigus meminta maaf kepada pihak korban. Di beberapa tempat (negara) bentuk satisfaction itu dapat berupa, misalnya merubah nama jalan menjadi nama korban, nama stadiun sepak bola menjadi nama korban, bahkan korban mendapat piagam penghargaan dari Pemerintah (Presiden).
Selain itu, Pemerintah dapat pula meminta maaf melalui mass media kepada korban atau keluarga korban ataupun ahli waris korban. Yang penting upaya itu memuaskan pihak korban.
Sejauh yang kami tangkap, Komisi Klarifikasi Sejarah ini lebih luas cakupan tugasnya dibanding Komisi HAM. Karena Komisi Klarifikasi Sejarah merupakan Komisi Kebenaran Sejarah.
Komisi Klarifikasi Sejarah ini terdiri dari sub-sub komisi :
- Sub Klarifikasi/Kebenaran Sejarah;
- Sub Penyelidikan Pelanggaran HAM;
- Sub reparasi/restorasi;
- Sub Amnesti, dan
- Sub lainnya.
Sub Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah, keanggotaannya terbuka, artinya bukan saja orang Papua yang menjadi anggota komisi tersebut, tetapi juga orang lain, di luar Papua pun dapat menjadi anggota komisi. Bahkan dapat dimungkinkan staf dari internasional.
Dalam hal ini, agar tidak salah tafsir terhadap Komisi Klarifikasi/ Kebenaran Sejarah ini, maka perlu ada satu ayat yang menyatakan bahwa komisi ini merupakan komisi yang indenpenden yang terdiri dari ahli-ahli yang mempunyai kredibilitas dan dipercaya masyarakat. Ahli-ahli terdiri dari ahli hukum, ahli sejarah, ahli politik dan lain-lain. Indenpenden di sini dimaksudkan bebas dari atau tidak ada campur tangan Pemerintah Pusat di Jakarta, maupun campur tangan Pemerintah Propinsi Papua. Setelah ketentuan tersebut baru ayat 3 nya mengenai pengaturan pelaksanaan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi. Oleh karena Komisi Klarifikasi Sejarah ini bertugas mencari kebenaran, maka disebut juga Komisi Kebenaran Sejarah. Komisi ini cakupan tugasnya lebih luas dari pada Komisi HAM.
Ada pengalaman di negara lain, misalnya di El-Salvador yang bisa kita pelajari. Waktu konflik intern terjadi di sana, PBB membentuk Komisi Klarifikasi Sejarah, yang di bawah langsung pengawasan PBB. Komisi ini disebut “Commission of Historical Clarification”. Tetapi komisi ini tidak hanya menulis sejarah, tetapi mendokumentasikan segala pelanggaran yang terjadi. Dalam kaitan ini, ada pengalaman menarik dari Afrika Selatan. Jika seseorang ingin mendapatkan amnesti, maka ia harus menceritakan secara benar kejahatan yang diadakannya. Kalau ia, misalnya melakukan lima jenis kejahatan, tetapi hanya mengakui atau menceritakan tiga saja, maka ia dinyatakan tidak jujur. Sebaliknya kalau ia menceritakan kelima kejahatan itu, maka ia akan mendapat amnesti.
Dapat dicatat bahwa di dunia ini terdapat kurang lebih dua belas negara yang memiliki Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah. Di antaranya Afrika Selatan, Yugoslavia dan Elsavador. Oleh karena Komisi ini sifatnya ad hoc, maka tenggang waktunya dapat dibatasi sampai 4 tahun dan dapat diperpanjang lagi.
Mengenai Pasal 69 yang berkaitan dengan Pelurusan Sejarah Integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini sudah baik dan benar. Kalau ada hearing di DPR RI, saya (Asmara Nababan) bersedia hadir dan mempertahankan pasal ini.
Badan Peradilan Hak Asasi Manusia Papua
Mengenai Peradilan HAM ini, berkaitan dengan asas hukum “Lex specialis derograt lex generali”. Karena UU No 26/2000, hanya menyebutkan empat kota, yaitu Jakarta, Medan, Surabaya dan Ujung Pandang. Kalau Undang-Undang Otonomi Khusus Papua disahkan, maka UU No 26/2000 tidak berlaku, dan memang sekarang UU No. 12/2000, sedang diajukan untuk direvisi (diamandemen).
Ketentuan mengenai Peradilan HAM di dalam RUU ini, perlu harus dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal ybs dalam RUU ini. Sedangkan ketentuan pelaksanaan Peradilan HAM, tidak bisa diatur dengan Peraturan Propinsi, tetapi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Hak untuk memiliki kebebasan beragama
Mengenai Pasal 49 butir (1) di situ dinyatakan “…menjamin kebebasan, membina kerukunan…”. Kata “membina kerukunan“ disini berbahaya, karena akan menimbulkan intervensi pemerintah, dan mengulangi kesalahan pada masa orde baru lampau, karena pemerintah mempunyai kewajiban membina.
Pada masa lalu, penguasa negara telah memaksakan state nationalism. State nasionalism yang dipaksakan kepada masyarakat Papua, baru tahun 1961, sedang untuk orang Batak tahun 1945. Dan state nasionalism ini telah merusak komunitas-komunitas masyarakat sehingga sekarang tumbuh nasionalisme etnik, seperti orang Papua nasionalismenya adalah nasionalisme etnik Papua.
Nasionalisme negara dan nasionalisme etnik sama-sama ada bahayanya, Berbahaya karena berdasarkan kepentingan masing-masing. Sebenarnya yang dekat dengan penghormatan HAM adalah yang disebut modern civil nasionalisme. Substansi dari modern civil nasionalisme adalah civil society. Dalam civil society, campur tangan pemerintah adalah haram karena urusan agama adalah urusan masing-masing umat. Oleh karena itu rumusannya bukan “membina kerukunan” tetapi sebaiknya “menciptakan suasana kehidupan beragama yang rukun”. Ketika etnis kedaerahan tumbuh, maka perlu harus disiapkan basis-basis modern civil nasionalism yang mencakup :
- pemerintah tidak boleh terlalu campur tangan
- tidak boleh ada perbedaan, karena keyakinan politik, gender dan lain-lain
- mengakui pluralisme sebagai ciri civil society
Pasal 49 ayat 1 itu harus `dikunci’, supaya jangan ada campur tangan pemerintah.
Kebijakan Afirmatif dan Perlindungan Hak-Hak Papua Asli
Pasal 55 ayat 2 menyebutkan kebijakan afirmatif. Sebaiknya istilah ini di Indonesiakan saja. Apakah istilah tersebut sama dengan “kebijakan penguatan”?
Sebaiknya dicari istilah yang tepat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan
Mengenai pemberdayaan perempuan, seperti dimaksud pasal 44, sebenarnya bukan “membina”, tetapi memajukan dan melindungi (promotion and protection). Dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebenarnya ada 4 hal : (a) promotion (b) protection (c) fulfill dan; (d) respect.
Kepolisian/Polisi Daerah
Mengenai polisi, tugasnya bukan menjaga keamanan dan ketertiban. Jika demikian, suasana dalam undang-undang ini, masih berbau otoriter rezim Orde Baru.
Tugas kepolisian adalah “Law and Order enforcer”. Polisi melakukan pelanggaran HAM, justru karena melakukan tugas keamanan.
Parlemen Bikameral dan Gubernur Provinsi Papua yang Memprioritaskan Penduduk Asli Papua
Mengenai parlemen bikameral dan Gubernur yang diarahkan untuk memprioritaskan orang Papua Asli, sudah benar dan hebat! Hanya saja istilah “asli” ini mengandung 2 pengertian: (1) yang melekat pada etniknya; dan (2) yang melekat pada kelahiran. Kalau tidak ada penjelasan dalam pasal yang bersangkutan akan berat . Dalam penjelasan dan atau dalam peraturan pelaksanaan perlu diatur bahwa orang Papua asli adalah :
- kedua orang tuanya orang Papua asli;
- salah satu orang tuanya orang Papua asli;
- orang non Papua atau non Melanesia yang lahir dan tinggal di Papua; lahir dan tinggal di Papua pun, ini harus diatur dalam peraturan pelaksanaan, misalnya lahir dan tinggal di Papua 10 tahun setelah dewasa.
4. Untuk jabatan Gubernur perlu diatur sedemikian sehingga orang Papua asli saja yang menjabat, kecuali jabatan wakil Gubernur atau jabatan-jabatan lain, boleh dijabat oleh non Papua/Melanesia yang lahir dan besar di Papua.