Allah Pengasih dan Penyayang, kami sungguh bersyukur pada Mu, karena dalam kembara hidup ini Engkau pernah hadirkan sosok seorang kakak Bang As yang telah mengisi nadi perjuangan kami adik-adiknya dengan kasih tak berkesudahan, dengan empati menembus batas, dengan keberpihakan bagi mereka yang tertindas, kecil dan lemah. Nilai-nilai perjuangan ini yang telah membingkai hidup kami untuk terus melihat sesama sebagai citra Allah. Terima kasih Tuhan atas keteladanan hidup yang telah diajarkan oleh kakak kami Bang As, biarlah segala kebaikannya menyertainya dalam keabadian. Kami punya keyakinan satu saat kelak kami akan berjumpa di Yerusalem Baru. Amin.
(Sofie Malela, Alfa Omega, Kupang)
hambali
Dalam memperingati 10 tahun wafatnya Bpk Asmara Nababan saya berdoa untuk beliau dengan rasa terimakasih yang dalam atas semua perjuangannya untuk kemanusiaan. Semoga arwah beliau selalu tenang dan damai disisi Tuhan. Ibu Magda sendiri mengikuti jejak beliau dengan mengerahkan tenaga dan pikiran demi kemanusiaan. Terimakasih Bapak Asmara Nababan dan juga Ibu Magda.
(Ibu Utati, penyintas 65)
Doa ku hari ini kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Pencipta Kehidupan ini.
Kami bersyukur bahwa Engkau masih menyertai kami dan memberikan kesehatan kepada kami yg masih terlindung dari Pandemik yg menyerang seantero dunia termasuk Indonesia.
Juga Tuhan ditengah-tengah kesulitan hidup yang menerpa masyarakat banyak Engkau masih menolong bangsa Indonesia untuk survive, dan juga di tengah kehidupan politik masa kini yang menguji keimanan kami, kami teringat akan kawan kami Bung As yg pernah berjuang untuk semangat nya ketika ia masih hidup untuk melawan tumbuh nya korupsi di negara kami dan juga untuk menegakkan hak asasi manusia di tengah kehidupan politik dan ekonomi dan keamanan.
Engkau Tuhan telah menghadirkan sosok Asmara yang berjuang dengan gigih tanpa mengenal lelah Terima kasih Tuhan.
Sekarang menjadi tugas generasi ini untuk terus menggelorakan Anti Korupsi dan Penegakkan Hak Asasi Manusia agar masyarakat kami semakin sehat cara berpikir bertindak sesuai dengan Hukum- hukum Mu agar masyarakat dan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat.
Dan bimbing lah kami selalu untuk tercipta masyarakat yang adil dan makmur sesuai kehendak Mu
Kami berdoa juga untuk acara Peringatan Hari Sumpah Pemuda dan sekaligus memperingati 10 tahun wafatnya Bung As. Kiranya acara ini akan berlangsung dengan sukses dan membawa berkat bagi kami semua.
Tak lupa saya berdoa bagi Magdalena dan keluarga Bung As untuk kesehatan dan kekuatan untuk menjalankan tugas- tugas melayani masyarakat dan bangsa.
Kepada Mu kami serahkan segala sesuatunya dalam Tangan Kasih Mu.
Mohon ampun atas segala dosa yang kami lakukan
Di dalam Kristus Yesus kami berdoa dan mengucap syukur. Amin
(Remy Leimena dari Sydney, Australia)
BERBEDA PENDAPAT ITU SAH : “Transitional Justice versus Justice is Justice”
Bang Asmara Nababan, salah seorang pendiri awal Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Saya mengenal beliau Mei 1988, saat saya mulai tertarik mendalami isu-isu ketidakadilan dan bergabung sebagai staf di KSPPM yang saat itu berkantor di Siborongborong. Bang Asmara sosok yang terlihat lembut namun dalam mendidik para juniornya, beliau termasuk keras dan tegas, terbuka menerima perbedaan pendapat sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip HAM, integritas dan nilai-nilai lembaga. Dalam menemu kenali kerja-kerja pengorganisasian masyarakat, mendalami isu-isu ketidakadilan dan Hak Asasi Manusia, saya banyak belajar dari Bang Asmara. Beliau salah seorang guru, abang tempat saya bertanya akan hal yang saya tidak pahami. Kadang kala berdebat, bisa karena beliau yang sengaja memancing perbedaan pendapat dengan pertanyaan-pertanyaan yang agitatif untuk mendorong saya sebagai teman diskusi/lawan debatnya lebih berani berargumentasi dengan menggunakan data empiris atau hasil bacaan dari literature. Bila tak punya modal pengetahuan tentang isu aktual jangan coba-coba dekat dengan beliau. Karena bisa berhenti diskusi pada pertanyaan pertamanya dan berujung pada perintah agar belajar membeli dan membaca buku. Secara umum saya memiliki kesamaan pandang dengannya.
Transitional Justice versus Justice is Justice
Salah satu perdebatan dan sekaligus perbedaan pandang kami yang sampai akhir diskusi tetap berbeda tentang transitional justice Vs Justice is Justice. Tahun 2002, saat itu saya sebagai Sekretaris Pelaksana di KSPPM meminta bang Asmara Nababan yang saat itu menjabat sebagai Sekjen Komnas HAM membantu pengembangan kapasitas staff KSPPM terkait Strategi Advokasi dalam menyikapi isu Beroperasinya kembali PT. IIU /PT. TPL yang sejak awal ditolak masyarakat Porsea dan sekitarnya. Saat massa demo, seorang siswa SLTA meninggal dunia akibat penembakan yang dilakukan aparat saat mengamankan massa yang demo menolak beroperasinya PT. TPL tersebut.
Di awal reformasi, PT. IUU sempat ditutup oleh Presiden Habibie karena perusahaan tersebut mendapat banyak perlawanan dari masyarakat di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Tapanuli Utara (sekarang sudah dimekarkan menjadi 4 kabupaten). Kehadiran PT. IUU telah mengakibatkan terjadinya konflik lahan/hutan adat, perusakan lingkungan, polusi udara dan air, penurunan hasil panen petani dan peternak ikan.
Bang Asmara, mengusulkan penyelesaian berbagai pelanggaran PT IUU itu dengan “Transitional Justice”. PT. TPL diminta mengganti kerugian rakyat dan memperbaiki lingkungan yang rusak akibat aktivitas PT. IIU sebelumnya. Mendengar kata “PT. TPL diminta memberikan ganti rugi pada rakyat yang dirugikan”, saya bertanya, bagaimana dengan nyawa manusia yang telah meninggal akibat ulah PT IIU. Saat longsor Bukit Tampean di Desa Sianipar, Kecamatan Silaen ada 13 jiwa yang meninggal, longsor di Jangga juga ada korban jiwa. Longsor-longsor itu terjadi karena penebangan hutan oleh PT. IIU. Kemudian bagaimana dengan nasib 10 orang inang dari Desa Sugapa yang mengalami kriminalisasi karena mencabut bibit ekaliptus yang ditanam PT. IUU di atas tanah adat mereka, bagaimana nyawa siswa SLTA yang meninggal karena tertembak saat ikut demo menolak beroperasinya kembali perusahaan pulp itu.
“Pemerintah diminta membentuk tim independen melakukan audit total pada PT IUU/PT.TPL. Semua kerugian rakyat dihitung, keluarga korban yang meninggal ditanyakan apa permintaan mereka, kerusakan lingkungan dihitung dan diperbaiki”, bang Asmara menambahkan penjelasannya.
Saat itu saya tetap tak dapat menerima transitional justice untuk penyelesaian kasus perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang sudah terjadi berulang selama puluhan tahun itu. Justice is Justice, nyawa manusia itu tak dapat dihitung nilai ganti-ruginya.
“Saur perbedaan pendapat itu sah, biarlah sejarah nanti yang membuktikan pendapat siapa yang paling pas dalam menyelesaikan masalah itu”, ujar bang Asmara mengakhiri diskusi.
Dalam mengenang 10 tahun kepergian bang Asmara Nababan, saya angkat kenangan ini mengingatkanku bahwa perbedaan pendapat tak harus menghambat kita tetap berjuang bersama untuk pemulihan hak–hak komunitas korban kebijakan pembangunan yang belum berbasis HAM dan daya dukung lingkungan.
Rest in Peace bang Asmara…. !!!
Penulis: Saur Tumiur Situmorang (Mantan SekPel KSPPM, Mantan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan)
Ketika saya di penjara sebagai akibat dari Demo Buruh April 1994, Bang Asmara ada dua kali mengunjungi saya di LP Tanjung Gusta Medan. Bang Amara selalu memberi spirit dan nasehat yang menguatkan.
Pada saat pulang dari penjara, saya diminta nya datang ke Jakarta utk berdiskusi tentang KPS. Keadaan KPS saat itu memang sudah di ujung tanduk. Lalu Bang Asmara bilang, “Parlin, kita bubarkan saja KPS itu dan kita buat yang baru dan lebih berkualitas sebagai lembaga. Karena kawan-kawan mu di KPS tak beres, dua kali saya menjengukmu dan singgah di KPS, selalu saya temukan mereka hanya main judi dan tak peduli keadaanmu”,
Saya lalu meyakinkan Bang As, bahwa keadaan ini akan bisa diperbaiki kemudian. “Percaya lah bang akan saya upayakan maksimal memperbaiki KPS”.
Demikianlah akhirnya Bang As, dengan terbuka mempertemukan saya dengan Novib yang kemudian memberikan dukungan dana bagi KPS untuk membangun diri kembali. Masih terngiang nasehat Bang AS saat itu, “ingat Parlin, bahwa uang ini milik Tuhan, kau harus benar benar jaga ya…”
Demikian sekelumit untuk Bang Asmara, Saloom.
Penulis: Bapak Parlin Manihuruk. KSPPM
Saya mengenal pak Asmara Nababan ketika masih bekerja di NGOs di Jakarta. Kami sering bertemu dalam acara acara kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia. Tetapi sebenarnya saya lebih dekat dengan istri beliau yaitu Ibu Magdalena Sitorus dan juga keluarganya yang lain. Dengan Bu Magda saya bekerja dalam isu perlindungan dan perjuangan perempuan. Sementara dengan Pak Asmara Nababan saya banyak dipertemukan dalam isu kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
Pak Asmara yang saya kenal adalah sosok yang mempunyai integritas tinggi dalam membela kepentingan rakyat yang tertindas dan pejuang Hak Asasi Manusia yang gigih. Saya tidak melihat pandangan beliau terkotak-kotak dalam arus kepentingan ideologi dan segregasi apapun yang membuat banyak orang sering terseret dalam arus kepentingan politik yang segregatif. Perjuangannya sangat jelas adalah “kemanusiaan”.
Tidak banyak orang seperti Asmara Nababan, yang berasal dari keluarga Kristiani dari suku Batak yang modern dan terpandang, tetapi beliau memilih jalan hidup yang sederhana dan bersahaja. Saya selalu mengingat kemana-mana Pak Asmara Nababan pergi, ia selalu membawa tas “cangklong” sederhananya, tetapi didalamnya berisi sejuta pikiran untuk perubahan dunia yang lebih adil, manusiawi dan beradab. RIP Pak Asmara, kami selalu mengingat perjuanganmu. Doa kami selalu menyertaimu.
Penulis: Hening Tyas Sutji, Aktifis Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia
Ketika mengantar Ibu Sulami ke Komnas Ham pada tahun 2000, itulah pertama kali saya bertemu dan mengenal Bang As, demikian orang memanggilnya.
Bagi kami beliau cukup ramah dan bersahabat pada Ibu Sulami dan kawan-kawan. Selanjutnya Komnas HAM membantu keluarga korban 65 yang ingin memindahkan kerangka ayah/ suami yang dieksekusi dan dikubur di Hutan Situkup Dempes Kaliwiro Wonosobo. Itu adalah keberhasilan yang pertama pembongkaran kuburan masal korban peristiwa 65. Bagi korban itu adalah satu bukti bahwa penghilangan paksa itu benar-benar terjadi.
Nama Bang As cukup akrab di telinga korban. Sepuluh tahun kemudian bersama Ibu Ade Rostina Sitompul, Svetlana dan saya datang ke Komnas HAM melayat Bang As, beliau berpulang ketika kasus pelanggaran HAM beliau selesai. Kami menyebut beliau Pejuang HAM.
Hari ini sepuluh tahun ia meninggalkan kita semua. Namun, semangat dan api juangnya sudah diwariskan pada generasi penerus.
Beristirahatlah dalam rumah abadi.
Penulis: Ibu Uchikowati, salah satu penyintas 65
Interaksi saya dengan “Bang As” tidak terlalu panjang karena kami berasal dari generasi yang berjauhan. Di komunitas penggiat tema hak asasi manusia memang kami cenderung menggunakan panggilan yang mengesankan kedekatan angkatan (misalnya “Bang”) untuk menunjukan relasi yang egalitarian. Sebelum itu saya kenal Bang As dari cerita kawan-kawan aktivis (HAM) lainnya. Cerita yang paling menarik untuk saya adalah bagaimana Bang As dan sedikit aktivis HAM yang ada di Komnas HAM bisa mentransformasi institusi ini, dari sekedar ‘lembaga korporat negara’ menjadi salah satu alat saluran korban pelanggaran HAM dan komunitas aktivis untuk mengadu. Padahal saat itu komposisi komisioner Komnas HAM diisi oleh banyak pensiunan pejabat pemerintah, polisi, dan tentara.
Saya berhubungan dengan Bang As ‘agak sering’ mungkin sekitar lima tahun sebelum ia meninggal. Bukan saja karena kantor Demos tempat Bang As bekerja dekat dengan kantor KontraS, tapi juga karena sejak 2009 Bang As menjadi Ketua Badan Pengawas KontraS, menggantikan Ibrahim Zakir yang meninggal dunia.
Di masa itu, saya beberapa kali bertemu dan bekerja sama menggarap suatu teks siaran pers bersama. Bang As yang lebih dikenal sebagai ‘aktivis HAM’ ternyata sangat teliti mengupas tiap kata dalam draf teks tersebut dengan berbagai komentar layaknya seorang akademisi kampus. Padahal biasanya para aktivis HAM memilih bahasa yang ‘bombastis’ tanpa perlu mengecek kedalaman maknanya dari sudut perspektif HAM yang ketat. Jarang sekali saya bertemu dengan seorang ‘aktivis HAM’ seperti ini. Baru bertahun-tahun kemudian ketika saya bekerja di Amnesty International (AI) di London saya menemukan cara bekerja yang serupa. Di AI, tiap draf ‘public statement’ harus diperiksa minimum oleh dua ‘reader reviewer’ yang mengecek kata per kata. Saat pertama kali saya membuat draf ‘public statement’ di AI saya teringat Bang As yang teliti tadi.
Ketelitian Bang As juga pernah teruji lewat pengalaman unik saya dan kawan-kawan di KontraS. Pada suatu waktu saya diminta oleh kawan-kawan Demos dan keluarga Bang As untuk “menculiknya”. Ceritanya mereka telah merencanakan pesta kejutan ulang tahun Bang As di kantor Demos yang saat itu jatuh di hari libur. Akhirnya saya dan satu kawan KontraS datang ke rumahnya untuk menjemput Bang As. Kami ajak dia ke kantor KontraS, yang jaraknya kurang dari 100 meter dari kantor Demos, dengan alasan ada rapat mendadak soal kasus Munir. Untungnya dia percaya karena Suciwati, istri almarhum Cak Munir, juga menelponnya. Kami berusaha mencari rute yang agak macet dari rumahnya agar keluarganya dapat sampai di kantor Demos sebelum kami. Saat itu Bang As nampak sibuk dengan HP-nya, namun masih dengan detil mengarahkan kami untuk mengikuti rute tercepat menuju kantor. Kami mengulur waktu dengan mampir ke pom bensin namun kami masih terlalu cepat sampai, sehingga kami sempat harus menahannya dulu di kantor KontraS. Ada perasaan sedikit bangga di benak kami akan kesuksesan kami “mengelabui” Bang As ketika akhirnya dapat mengantar Bang As ke Demos, dimana puluhan orang sudah menanti.
Ketelitian yang dicontohkan Bang As kemudian saya gunakan untuk mereview kurikulum kegiatan SeHAMA (Sekolah HAM untuk Mahasiswa), yang kemudian menjadi salah satu flagship programme KontraS yang terus diminati oleh para mahasiwa dari berbagai penjuru Indonesia. Tapi, ketelitian Bang As juga kadangkala membawa masalah buat kami di KontraS. Misalnya saat KontraS mengadakan rapat strategic planning tiga tahunan di Bali. Sebagai Ketua Board, Bang As ikut terlibat dalam menyusun program strategis. Jadilah otak dan perhatian kami diperas untuk menjawab pertanyaan dan komentar teliti Bang As. Bila ia melihat kami kurang bersemangat, dia segera mengambil alih peran fasilitator kegiatan dengan membuat nyanyian, tarian, dan kegiatan motorik penyemangat lainnya. Ini sisi lain Bang As yang baru saya pelajari; kaya akan inisiatif untuk mendorong dinamika kelompok. Saya duga inilah yang membuat Komnas HAM di zamannya akhirnya menjadi suatu badan yang disegani banyak pihak.
Sayangnya “liburan” berbungkus strategic planning di akhir 2009 itu jadi kebersamaan Bang As dan keluarga KontraS terakhir kalinya. Kurang dari setahun kemudian kami mendengat hasi test medisnya mengkhawatirkan, dan segera setelahnya Bang As meninggal dunia.
Papang Hidayat, yang dapat pelajaran banyak dari Bang As lewat pengalaman bersama yang pendek. Pernah bekerja di KontraS dan Amnesty International.
Penulis: Papang Hidayat
Bu Magda ytc, pada 10 tahun meninggalnya bapak, saya turut berdoa semoga beliau mendapat tempat mulia dari Tuhan. Aamiin. Saya turut berdoa semoga Pak Asmara Nababan dilapangkan kuburnya dan mendapat tempat mulia dari Tuhan. Aamiin
(Ibu Nani Nurani, penyintas 65)