BERBEDA PENDAPAT ITU SAH : “Transitional Justice versus Justice is Justice”

by hambali

Bang Asmara Nababan, salah seorang pendiri awal  Kelompok Studi  dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).  Saya mengenal beliau Mei 1988, saat saya mulai tertarik mendalami isu-isu ketidakadilan dan bergabung sebagai staf di KSPPM  yang saat itu berkantor di Siborongborong.  Bang Asmara sosok yang terlihat lembut namun dalam mendidik para juniornya, beliau termasuk keras dan tegas,  terbuka menerima perbedaan pendapat sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip HAM, integritas dan nilai-nilai lembaga. Dalam menemu kenali kerja-kerja pengorganisasian masyarakat, mendalami isu-isu ketidakadilan dan Hak Asasi Manusia, saya banyak belajar dari Bang Asmara. Beliau salah seorang guru, abang tempat saya bertanya akan hal yang saya tidak pahami. Kadang kala berdebat, bisa karena beliau yang sengaja memancing perbedaan pendapat dengan pertanyaan-pertanyaan  yang agitatif  untuk mendorong saya sebagai teman diskusi/lawan debatnya lebih berani berargumentasi dengan menggunakan data empiris atau hasil bacaan dari literature. Bila tak punya modal pengetahuan tentang isu aktual jangan coba-coba dekat dengan beliau. Karena bisa berhenti diskusi pada pertanyaan pertamanya dan berujung pada perintah agar belajar membeli dan membaca buku.  Secara umum saya memiliki kesamaan pandang dengannya.

Transitional Justice versus Justice is Justice

Salah satu perdebatan dan sekaligus perbedaan pandang kami yang sampai akhir diskusi tetap berbeda tentang transitional justice Vs Justice is Justice. Tahun 2002, saat itu saya sebagai Sekretaris Pelaksana di KSPPM meminta bang Asmara Nababan yang saat itu menjabat sebagai Sekjen Komnas HAM membantu  pengembangan kapasitas staff KSPPM terkait Strategi Advokasi dalam menyikapi isu Beroperasinya kembali PT. IIU /PT. TPL yang sejak awal ditolak masyarakat Porsea dan sekitarnya. Saat massa demo, seorang siswa SLTA meninggal dunia akibat penembakan yang dilakukan aparat saat mengamankan massa yang demo menolak beroperasinya PT. TPL tersebut.

Di awal reformasi, PT. IUU sempat ditutup oleh Presiden Habibie karena perusahaan tersebut mendapat banyak perlawanan dari masyarakat di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Tapanuli Utara (sekarang sudah dimekarkan menjadi 4 kabupaten). Kehadiran PT. IUU telah mengakibatkan terjadinya konflik lahan/hutan adat, perusakan lingkungan, polusi udara dan air, penurunan hasil panen petani dan peternak ikan.

Bang Asmara, mengusulkan penyelesaian berbagai pelanggaran PT IUU itu dengan “Transitional Justice”.  PT. TPL diminta mengganti kerugian rakyat dan memperbaiki lingkungan yang rusak akibat  aktivitas PT. IIU sebelumnya. Mendengar kata  “PT. TPL diminta memberikan ganti rugi pada rakyat yang dirugikan”, saya bertanya, bagaimana dengan nyawa manusia yang telah meninggal akibat ulah PT IIU. Saat longsor Bukit Tampean di Desa Sianipar, Kecamatan Silaen ada 13 jiwa yang meninggal, longsor di Jangga juga ada korban jiwa. Longsor-longsor itu terjadi karena penebangan hutan oleh PT. IIU. Kemudian bagaimana dengan nasib 10 orang inang dari Desa Sugapa yang mengalami kriminalisasi karena mencabut bibit ekaliptus yang ditanam PT. IUU di atas tanah adat mereka, bagaimana nyawa siswa SLTA yang meninggal karena  tertembak saat ikut demo menolak beroperasinya kembali perusahaan pulp itu. 

“Pemerintah diminta membentuk tim independen melakukan audit total pada PT IUU/PT.TPL. Semua kerugian rakyat dihitung, keluarga korban yang meninggal ditanyakan apa permintaan mereka, kerusakan lingkungan dihitung dan diperbaiki”, bang Asmara menambahkan penjelasannya.

Saat itu saya tetap tak dapat menerima transitional justice untuk penyelesaian kasus perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang sudah terjadi berulang selama puluhan tahun itu. Justice is Justice, nyawa manusia itu tak dapat dihitung nilai ganti-ruginya.

Saur perbedaan pendapat itu sah, biarlah sejarah nanti yang membuktikan pendapat siapa yang paling pas dalam menyelesaikan masalah itu”, ujar bang Asmara mengakhiri diskusi.

Dalam mengenang 10 tahun kepergian bang Asmara Nababan, saya angkat kenangan ini mengingatkanku bahwa perbedaan pendapat tak harus menghambat kita tetap berjuang bersama untuk pemulihan hak–hak komunitas korban kebijakan pembangunan yang belum berbasis HAM dan daya dukung lingkungan.

Rest in Peace bang Asmara…. !!!

Penulis: Saur Tumiur Situmorang (Mantan SekPel KSPPM, Mantan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan)

You may also like