Demokrasi & Tata Negara

Salah seorang anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) di Timor Timur, Asmara Nababan mengatakan, TNI dan Milisi terlibat dalam pembantaian massal di Suai pasca pengumuman Jajak Pendapat di Timor Timur, 4 September 1999. Berikut ini. wawancara wartawan HIDUP, F. Sihol Siagian dengan aktivis LSM dan anggota Komnas HAMini di Hotel Santika, Jakarta, Jumat, 10/12. Petikannya:

BAGAIMANA kelanjutan dari penemuan kuburan massal di Suai?

Sudah. Sudah. Kami sudah serahkan. Setelah penggalian itu, dilakukan pengidentifikasian oleh tim dokter forensik, kemudian kamiserahkan ke pihak Palang MerahInternasional ICRC) dan Gereja Katolik. Dan itu kan sudah dikuburkan kembali sesuai dengan upacara agama Katolik dengan baik di Dili.

Bagi kami, hal itu menunjukkan bagaimana sebenearnya cerita yang dikatakan bahwa terjadi bentrokan antara dua kekuatan di Suai adalah tidak benar. Penggalian kuburan itu membutikan bahwa yang terjadi adalah pembantaian. Karena dari jenazah yang kami temukan itu ada anak-anak, ada perempuan, ada pastor yang jelas bukan kompeten, bukan kelompok yang bersenjata. Tetapi mereka adalah warga sipil yang berlindung di gereja dan dibantai oleh satu kekuatan bersenjata.

Apakah dalam kekuatan bersenjata itu, KPP HAM melihat ada keterlibatan TNI?

TNI ada. Misili.

Bukti-bukti TNI terlibat darimana diperoleh?

Kesaksian-kesaksian dari mereka yang selamat dari pembantaian itu. Tetapi juga ketika mereka membawa jenazah ke wilayah Timor Barat, menguburkan itu, juga orang-orang TNI terlibat. Ada saksi mata yang melihat bagaimana mereka menguburkan jenazah tersebut

Menurut Anda, apakah pembantaian itu terencana atau…

Bahwa mereka membawa dari Suai ke lokasi, apa maksudnya. Itu kan dibawa naik truk, berapa jam dari Suai ke perbatasan, itu kan juga naik ke atas. Itu menunjukkan suatu tindakan yang setidak-tidaknya menyembunyikan barang bukti. Jadi, nggak ada keragu-raguanlah tentang kejahatan yang terjadi itu.

Bagaimana follow-up dari pemanggilan para jenderal?

Oh, tim kami sekarang sedang di Timtim sampai dengan minggu depan, ini tim kedua yang kami kirim ke Timtim. Mereka juga akan mengumpulkan berbagai testimoni, evidence lain sehingga kami siap merampungkan laporan kami nanti tentang kebenran dari pelbagai pelanggaran HAM dan kami dapat menjelaskan kepada publik tingkat keterlibatan TNI dan Polri dalam pelbagai peristiwa tersebut.

Berapa lama proses ini?

Kalau semuanya berjalan baik, ya tanggal 31 Desember 1999 INI.

Bagaimana reaksi petinggi-petinggi Gereja di Timor Timur tentang ditemukannya kuburan massal itu?

Mereka sangat menghargai. Tadinya ada keragu-raguan kami karena sentimen anti Indonesia yang tinggi di masyarakat Tim-tim. Itu memang kami ragu-ragu bahwa kami dapat dipercaya atau tidak karena ini kan KPP HAM-nya Indonesia. Tetapi dari kunjungan kami ke Timtim dan komunikasi selama ini, kami cukup puas bahwa kami mendapat dukungan baik dari Gereja di Timtim maupun LSM. Dan tokoh-tokoh CNRT juga memberikan dukungan kepada pekerjaan KPP HAM. Itu sangat menolong sekali bagi kami.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail

Asmara Nababan

Introduction

Since 1998 the authoritarian regime of Soeharto, which had caused more than three decades of human rights violations or deprivations, has ceased to be. As with the experience of Latin America and  East European nations that have overturned authoritarian system, reform towards a more democratic system immediately started.

There are many human rights issues that have to be addressed, such as, but not limited to, impunity/the providing of sense Of justice to victims of past human right violations, the guarantee for the regard for and protection of human rights (civil and political rights as well as social, economic, and cultural rights) and the reform of various institutions that will enable the upholding of human rights.

The main issue that will be presented is the effect of political processes to human rights and vice versa since the fall of the authoritarian regime. The appropriate starting point of this discussion is Indonesia’s experience since 19991. Therefore, firstly there will be an elaboration on the various mappings on the protection and promotion of human rights in Indonesia. In this: part the various developments in the area of legal Instruments related to human rights, the various efforts aimed to provide justice for victims of past human right violations, and institutional reform. The next part will be a critical analysis on the various factors that would determine the progress or regress in the protection of human rights. Here the writer would attempt to give an assessment over the democracy process thus far and its impact on the protection and promotion of human rights. Lastly, the writer would try to formulate a synthesis on the relations Of politics and Human Rights in the context of Indonesia in post-authoritarian regime era.

Human Rights Condition in Indonesia Post- 1998

There are three significant issues to note in the discourse on the condition of human rights in the period of post-authoritarian regime. One, is the development of legislations related with human rights. This is a crucial point because in the period of authoritanan rule law would be draconian in nature and exist only to defend the interests of the power-holders. The Second issue is the institutional reform especially which concern with repressive institutions like TNI and the police. This is particularly important not merely because those institutions have been the dominant power but also to review how far coercive approach remains to be the paradigm. The third, concern with addressing justice in relation to past human rights violations. There are at least two urgencies for addressing this issue. First, is to repair the right of the victims and to provide them with justice. There has to be public recognition that victims have been victimized. The second is to recover the society’s trust to the government: to show that the present government is separated from the old regime and will take steps to affirm that the atrocities of the past regime will never happen again, and Impunity is not an option.

Legislation

In general, the first five years after Soeharto’s resignation have been marked with the strengthening of normative guarantees of human rights. For resample, the post-new order government (executive-legislative) has issued Parliamentary Decree (TAP MPR) No. XVI/MPR/1998 on human rights. The decree serves as the foundation for various legislation processes for the betterment of human rights condition in Indonesia.

A number of draconian laws have been withdrawn or amended, such as the five laws on Politics and Political Parties, Anti-Subversion Law, Press Law, and the Constitution, which have been amended four times so far. In regards to the Constitution, the amendments did not only add the number of the clauses, but more importantly, substantially there is now more comprehensive acknowledgment on the universal norms of human rights within it. (2000). Various discriminative regulations have been withdrawn and two Human Right conventions have been ratified, namely Convention Against Torture (1998), and Convention on the Elimination of all Forms of Racial Dissemination (1999).

At lesser level there is the passing of Law on Human Rights No.39/1898 and Law on Human Rights Court No.26/2000. Law on Human Rights, although with some weaknesses, especially in the categorization of human nights, nevertheless provide stronger legal acknowledgement for the National Commission of Human Rights (Komnas HAM) and public participation in the promotion and protection of human rights (article 4 to article 100). Lastly, the passing of Press Law, which acknowledges freedom of press. Aside from the aforementioned instruments, there are also regulations issued for the protection of human rights, such as Law on The Elimination of Domestic Violence, Government Regulation No. 2/2002 on The Procedures for Victim and Witness Protection and Government Regulation on The Procedure for the Award of Compensation, Restitution and Rehabilitation”

However, the normative changes are largely only for civil rights. The social and economic rights have not been addressed. This is evident from the passing of Law on Water Resources, which provides the opportunity for privatization and thus increase the potential violations of economic rights of the people. Many city or town govenrment issue regional regulations that legitimize forced eviction upon poor settlement or informal workers. Aside from new regional regulations that are violating human rights, the old ones that are not in line with the standards of human rights protection and promotion have still been retained.

This is also the case at implementation stage, in which only rights concerning civil-political freedoms have advanced in its performance (quality) and scope. This can be seen with the increasing numbers of media, unions (such as farmers, laborers, informal workers, fisher persons) and political parties based on various ideologies. This situation is markedly different with Soeharto’s era, during which mass organizations had been under tight control of the government, especially through the strategy of state-corporatist organization (pewadahtunggalan).’ Mass Media enjoys more freedom since the withdrawal of press publication business permit (SIUPP) and the dissolution of Department of Information, an institution that attained immense power in Suharto’s era in determining the survival of a media. Aside from that two relatively open, fair, and direct general elections have been commenced thus far. Sensitive issues such as Indonesia’s military dual-function (dwi fungsi ABRI, military business, and even the sacredness of Constitution can be openly guestioned.

Although there have been bloody conflicts allegedly due to religious or ethnicity factors, our research and various reports have shown that the lack of respect upon other regions or ethnicities is not the main factor. More than 4 of DEMOS research’s informants who have been active in the area of democracy development have stated that the performance and scope of the right has been good. “If one explores further, the more determining factor in the conflict is the Involvement of repressive agents and elite powers.

It should also be noted that the betterment of performance in civil highs does not necessary imply the betterment in its scope. For Aceh and Papua for example, the rights have been repressed. It should also be clarified that the betterment of performance does not necessarily equal the maximum distribution, quality. and implementation of the rights. We are still witnessing pressures applied to mass media or members of the society by civilian militias that are supported by either political or capital powers. The attack against Jaw Post in Surabaya (by Baser) and Tempo magazine (by a group of people supported by Tommy Wingate in Jakarta are examples of attacks against freedom of press.

Meanwhile, the implementation of cither inherent rights such as right to be free of physical violence (torture, forced disappearance, and arbitrary detention), light to access to justice, and economic, social and cultural rights has been very limited. More than 4/5 of informants have stated that the institutions related with access to justice and independent judiciary are of poor performance. The condition of right of the child is not too different- not less than 7546 deliver the same opinion.”

The condition of freedom from physical violence can bee seen in Papua. Since 1999 there have been at least 18 cases of violation of that right, and following the incidence

inhere would be lack of proper investigation. This pattern of violence is also expenenced by farmers, indigenous people and urban poor communities.”

In regards to social-economic rights, Elsam, a civil society organization (CSO) active in the area of human rights, has shown that there are more than 190 forced eviction in several provinces, may it be against street peddlers, traditional markets, as well as the settlements of the poor Although thousands have lost their place to live, the evictions have been legalized. Industrial laborers work under worker-employer relationship that eases termination of employment (PHK). Farmers and fisher persons increasingly loose their right to land or other economic resources. As an illustration, on July 21, 2003 security apparatus from the Bulukumba Resort Police, of South Sulawesi and Mobile Brigade (Brimob) supported by The Regional Police attacked farmers who are the indigenous population of Kajang who were defending the ownership to their land.” Even In regards to education, although the Constitution (article 31 chapter 4 1945 Constitution) has determined that 2095 of the State Budget has to be attributed to education, the access to education has become increasingly difficult. Education has become a luxury. In 2004 there was only 3,4995 of the total Rp. 439,8 billion State Budget was attributed to education.’” On the other hand, the spending for the payment of foreign debt and its interest amounted to Rp.1341,2 billions in 2004, or three times of ten spending for education. Moreover, it is no longer a secret that many people die due to lack of access to basic health service. This has been affirmed by the informants of DEMOS’ research. In regards to right to work, welfare/social! guarantee, and heath, more than 4/5 informants deem the condition as bad.”

Institutional reform

Its no use to engage in a discourse on political reform in Indonesia without touching the subject of military and police institutional reform. This is because the Institution had been the determining factor in political life, including the progress or regress in human rights tution in the era of Soeharto. Reforming security and defense institutions, as well as the judiciary (both the courts and prosecutor office), is crucial because the institutions were involved deeply in various human right violations.

In retrospective, “security approach’ was simply another term for coercion. Threat to national security, both intimal and external, was usually understood as falling into the following categories: Marxism-communism, Religion extrernism, liberalism and separatist movement(such as in Aceh, Irian jaya and East Timor). To back up Tts guardian role, the armed force (at the time Angkatan Bersenjata Repubiik Indonesia or The Armed Forces of The Republic of Indonesia/hereafter cited as ARRI) has been vested ‘dual function”: defence and social functions. It provides the basis fits political (as much as economic and social) participation, as can be seen in their having ‘free’ substantial number of seats in the parliament.

The Institution to carried out this approach was Kookamitib, an acronym for Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Command for the Restoration of Security and Order) which then replaced by Bakorstranas (Badan Koordinasi Stretagi Nasional/(Co-ordination Body for National Strategy). Supplementing the institution are huge official state intelligence apparatus who control the population such as BAIS (Armed Forces Strategic Intelligence Agency), Bakin (State Intelligence Co-coordinating Agency), Directorate General of Social and Political Affairs of the Ministry of Home Affairs, and Junior Attorney General. Their main objective is to carry Out four activities to benefit in aims of the state as a whole: repression, surveillance, ‘ecological correction and steering. In executing their work, the military leaned on army territorial commands as its political source of power. In such a setting the military operates without meaningful! political or judicial scrutiny. In this setting the police is considered as having this position as the junior partner of TNI.

Through MPR Decree (TAP MPR) No. VI/MPR/2000 on the separation of the Military (TN)I and the Police (Polri) and TAP MPR VII/MPR/2000, the reform of the two institutions was given legal grounds. The governments of Habibie and Abdurrahman Wahid initiated the reform of the institutions by separating TNI and The Police through Presidential Decrees. The National Strategy Coordinative Body (Bakorstranas) was Dissolved as well as The Unit of Social and Political! Staff (the political wing of TNI). The efforts to enshrine this in laws were realized in early 2002, with the passing of Law No. 2/2002 On the Police of the Republic of Indonesia and Law No.3/20C2 on National

Defense, after an intense process of political tug-of-war. This is because the two institutions’ refusal to give civilian forces the authority over the reform process within them. The Lawson Indonesia’s National Military as a derivation of Law on State Defence was only passed five years since reform had been initiated, through the passing of Law No. 34/2004.”

However, there remain many institutional problems that have not been resolved legally, especially in regards to intelligence institution and the territorial command structure as well as the military tribunal system. The implementation of normative separation between TNI and Polri has been problematic. Moreover, the capacity of police in handling conflicts is still weak. Deviating from the aspirations of the reform process, the number of TNI officials (whether active or not) within the government is still high. In the last presidential election, two former generals, namely Wiranto and Susilo Bambang W became presidential candidates. Both have been either suspected as being involved in past human right violations or have not been legally processed. At the end of the day, the cycle of impunity continues. Not more than a month a go, The Minister of Defense proposed a bill that tends to dissolve the separation between the function of defense and the function of security. This will! open again the opportunity for militarism to make a come back. More than 4/5 informants of DEMOS research have stated that the performance of democracy institutions in relation with military and police accountability in the elected government is bad.”

Meanwhile, the judiciary institutions have been undergoing structural change, namely with the determination of judiciary as an entity apart from in executive and by restoring the Supreme Court as the administrator of judiciary power. With this change it is expected that impartiality of judiciary would be more guaranteed. Yet the reform in the General Attorney’s Office has not reached that level. Structurally the General Attorney’s Office is still under the Executive. The structure is also still militaristic in character and full of corruption. The weakness of the General Attorney’s office was exceedingly apparent in their case management for the human right violations in East Timor.

Addressing justice

In this part of the paper I would like to explore the mechanisms of addressing the past atrocities committed by Suharto’s regime. I will firstly discuss the Human Right Court, how the idea evolved and how the political process in East Timor has hastened the process of its establishment. I would like to point out the potentials and the weaknesses of this mechanism. In the second part, I will address our national Truth and Reconciliation Commission, which law has just been enacted on October 6, 2004. I would like to highlight the problem with the newly passed law, yet | would also like to address the fact that this mechanism may provide an opportunity to avail justice and reconciliation.

The need for a national mechanisms) to resolve egregious human right violations has been intensively sought several years before reform. The National Commission of Human Rights within the period of 1995-1998 had investigated cases of gross violations of human rights in Papua, East Timor and Aceh, and had expressed its discontent that after the investigation, the case would either be ignored or, the small numbers of which that were taken upon the court were adjudicated by the Military Tribunal. In this Tribunal, those who were indicted were foot soldiers, and they were sentenced lightly although the crimes indicted were serious crimes such as extra judicial killing, torture and disappearance. The mechanisms that later identified were grouped into legal and non-legal measures. The legal avenue is the Human Right Court established in 2000 and the non-legal avenues the newly established Truth and Reconciliation Commission.

Human rights court mechanism

It started with the sudden and surprising move of the President Habibie in 1999 offering a popular consultation in East Timor, to choose whether to stay with Indonesia or to separate itself from the state. As have been widely published repellent human rights violation occurred before, during and after the popular consultation, right in front of International presence in the region (UNAMET), which was there to assist the execution of the consultation. This created a situation where Indonesia was put under the international spotlight.

As the international pressure mounted the government requested KOMNAS HAM to establish an investigative team for what had occurred in East Timor in 1999. The Commission however, was reluctant to give in to the request due to its past experiences, mentioned above and demanded government’s commitment that the investigation would be flowed with due process of law.

After the GOI granted the assurance, less than 24 hours before the special session of UNHCHR was convened, Komnas HAM announced that it would establish an ad hoc

Inquiry commission on human right violation on East Timor. The GOI then materialized it into an emergency government regulation called Government Regulation Replacing the Law No. 11/1999 on “Human Rights Tribunal” which was enacted on October8, 1999.”

Thus it is clear that the initial propellant for the government to make a concrete move in establishing a legal! measure to deal with past atrocities was the looming threat of international intervention. The existence and non-existence of the threat, as the process progressed, would remain to be the determinant factor of the performance of the court.

In 2000, Law No.26 on Human Rights Court was passed. It consists of identifiable weaknesses such as, (1) imperfect incorporation of international law, namely The Rome Statute’? (2) incompatible used of the criminal procedure with the tribunal which is designed to process extraordinary crimes. For instance, in the criminal code the definition of admissible evidence is limited to 1) witness testimony 2) expert witness testimony 3) documents (limited to court dossiers, legal documents relevant the case, and written opinion of an expert)”. This became a justification to rule cut other forms of evidence such as witnesses providing testimony in discreet manner (usually conducted for protection of witness, which may be exercised in form of providing testimony in another place, distortion of voice, etc), video footage, radio interceptions, and others that would be very crucial in establishing the widespread and systematic nature of an extraordinary crime.

After KOMNAS HAM released its report on the atrocities in East Timer and handed it over to the Attorney General office, extra effort to provide justice for the victims went downhill. The tempus and locus of the crime was substantially decreased by the Presidential Decree KEPRES no. 96/2001 that established the Ad Hoc Human Right Court. In Addition the defendants indicted were decreased from the original recommended by the Commission. from more than 100 to 18. In the process of the trial the prosecutors seemed to deliberately sabotage the process by issuing low standard indictments and bringing over witnesses who were mostly testifying how responsible and good the defendants were.  The  fact  that  there  were  convictions  at  al  was  mostly because there were judges who had the courage to make some legal breakthroughs At present, except Eurico Guteres, the Commander of PPPI militia, the defendants were released. The case itself is at the stage of Supreme Court.”

The trend did not stop there. The subsequent attempts to hold human right court trails have been very poor. For the atrocities in 1998-kncwn as TSS (Trisakti and Semanggi Tragedy)- for example, the House of Representatives (DPR) made its own inquiry team. It reached the conclusion that there had not been any gross violation of human rights. this was a violation on the procedure of investigation as determined by the law?”

Retrospectively the National Commission of Human Rights had conducted the process Of inquiry on the case and submitted its report. In its report, it demonstrated that there were evidence of gross violation of human rights and recommended for the establishment of an Ad Hoc Human Right Court to prosecute the case. The legislative that has the authority to decide on the establishment of the court interfere inappropriately, by making a judicial decision mentioned earlier. The Attorney General” office makes use of the circumstance as an excuse to refuse conducting investigation. The case of Tanjung Priok and Abepura, for which Human Right Court trials were held, even exceeded the East Timor trials in their low standard performance?

Truth and reconciliation mechanism

As early as October 1598, KOMNAS HAM already proposed for the establishment of a Truth and Reconciliation Commission (TRC). The proposal was presented in a three-parted meeting between the President, the Commission, and the Military, in which the Military rejected the idea. The proposal was also rejected decisively even during the establishment and the process of establishment of Human Right Court and strong effort and campaign by the civil society for TRC.

This is because the weak nesses of legal measures would be realized. Legal measures, as have been widely recognized, would be lengthy and due to the extensive numbers of atrocities and perpetrators, would not be able to address all of them. Also, while trials will uncover the factual truth, it will not address the social truth and discover the overall pattern of violations that rampantly has occurred in the nation during Soeharto’s regime and even beforehand. It would also be difficult to bring long-past violations to the court due to the diminishing physical evidence, distortion of memory of witnesses, or even death of perpetrators.

However, it had never been the intention of the people who campaigned for the establishment of TRC to make it as a substitute to the legal measures. The concept was as Alan Tieger pointed out, for the legal and non-legal measures to complement one another, and by the truth of both the nation can heal its wounds and move forward, knowing and learning from its history?

In year 2000, Indonesia’s People’s Consultative Assembly (MPR) finally issued a decree, TAP MPR No. V/2000, assigning the government to establish TRC. The process afterwards was sluggish, since, as already pointed out earlier, it was not really in the government’s agenda to settle past violations of human rights. The Law to establish TRC (Law no. 27/2004) was only passed in 2004, in the eve of Megawati’s regime. It was not something that caused celebration amongst the victims, however, because the text of the law  in  appearance  sides  to  the  perpetrators“.  Before addressing the  major weakness of the law, it should be pointed out that the definition of gross human right violations followed the definition in Law no. 26/2000, dismissing the need to resolve other forms of gross human right violations such as eviction, and involuntary displacement, which victims have amounted to millions. This is clearly very far from the vision formed in the national consultation in Surabaya, which aimed for the resolution of not only the violation of civil and political rights but also economic, social and cultural.

The law started by creating a confusion between TRC and KOMNAS”HAMin terms of who should be the one to determine whether or not an atrocity has occurred. It was to work for five years with two years extension if necessary, and to investigate all atrocities retroactively since the enactment of Law no. 26/2000 with no determined tempus limitation. This implies that it covers the period of between the Indonesia’s Independence in 1945 and 20002, making it the most ambitious truth and reconciliation commission project after South Africa, creating questions as to how it would manage to do so. However, the worst problems in the text of the law are: 1) that the truth and reconciliation commission is a substitute to Human Right Court?” and 2) that victims can be granted compensation and rehabilitation only when the perpetrators are granted amnesty

This makes TRC not as a means for the nation to discover the truth about its history and the victims’ pain to be recognized but as the bowl for the perpetrators to wash their hands clean. It also humbled the victims’ position, as retribution is confused with the inherent, separate, and independent right of the victims to compensation and rehabilitation. It also casts a shadow over Indonesia’s legal order, for if this is what we do to provide justice for the victims- by ensuring a mechanism for amnesty for the perpetrators, not only the trust in law will not grow, it will give a chance for atrocities to happen again. Thus the function of deterrence of transitional justice mechanisms will not be served.

Democracy and HRs

From the elaboration above we can find that on one hand the inherent rights related to civil and political freedom- specifically the freedom of expression, is relatively more guaranteed. Simultaneously with that the post-Soeharto political system is more open. On the other hand, other inherent rights relating with physical integrity, such as freedom

From torture, forced disappearance, or arbitrary killing remain to be violated, especially in conflict areas. It is also the case with the rights relating with access to justice and social, economic and cultural rights. In Roosevelt parameter, there are only two freedoms that are relatively well implemented in the past five years, namely right to religion and expression, whereas freedom from fear and want remain to be neglected. it is also the case with the access to justice, especially in regards to past gross human night violations and the violations of social and economic rights.

The existing freedoms indeed provide a bigger room for civil society to work for human right violations Many educations —campaigns -advocacies on human rights have been commenced. Yet this reality also shows that the argument “by respecting and guaranteeing civil and political rights [only] the people would have the power to control and manage the State” is incorrect. Indonesia’s experience for the past five years negates that argument.

The brief picture above also shows that the betterment in the acknowledgement of and guarantee for human rights is not complemented with the same development with the implementation. The change of policies, may it be in form of withdrawing or reviewing draconian rules or introducing new regulations, does not automatically better the performance of human rights. This is also the case with the establishment of the implementation institutions. Although justice is subjective, influenced with various Ideological interests or the social position of community groups, institutions aimed to attain justice in the sense of to right the wrong especially in light of horrific atrocities have been failures. What can be seen from the development thus far is that both TRC (in the form of the legislation) and Human Right Court have been used for, it would seem, the release of past perpetrators.

Lastly, it shows that militarism still dominates political and economic lives. Militarism has developed with many faces. The forms apparent at the moment are thug-ism and militia groups. Although the character of violence and the locations of their activities are not the same, namely in various power centres may it be at the executive government, legislative or business. There are many factors that determine the progress or regress of human rights. We have indicated these four factors:

a. biased regards on human rights and prioritization of nationalism of human rights

b. democracy deficit and its monopolization of dominant actors

c. the law competence of law enforcement institutions (East Timor case)

d. International community

Ad. A. The myth of ‘nationalism’

Human rights are regarded by various parties, especially those of military and religious fundamentalists, as a “western” construction that is against Indonesia’s culture. The promotion of human rights is considered as the incorporation of “western” interest in Indonesia. From experiences in giving education on human rights in the circle of military officials, it is apparent that such view is still strongly held. Such views then would be mixed with nationalism.

It is an undeniable fact that most nations, including those of the West, often adopt double standards. They would criticize the practices of other States while the human rights of their own citizens would remain unheeded. One can see this from the experience of indigenous people in North America and Australia, whose rights have been acknowledged not too long a go. The apartheid regime, which lasted until 1994 was a true form of Western colonization, and it survived until the end of the 20” century. A more recent example would be the many states wno tum a blind eye over the impact of business communities domiciling in their states upon the society of the other States where they operate. This is evident from the practices of multinational/transnational Companies that destroy heritage’/cultural land, exploit cheap labour, or limiting the access of the community to water by setting unaffordable price of water. In Indonesia this has occurred since at least 1995 when Freeport started to operate in the country, until 2004 in Buyat, Kalimantan. In the last case, there is a strong indication that the company has polluted the portion of the sea where the local community is deriving their income from.

The hypocritical attitude and the strength of Western model of law is one issue. However, to think that human rights cannot be applied in the other side of the globe is to over-simplify the issue. There are many reasons for this. In this instance, that claim has been invalidated by the fact that many people, especially victims from all over the world, who might not even know each others existence, have rejected the inhumane treatments of the power that be against their human dignity. This is not always expressed by forming an organization such as Ikatan Orang Hilang which is more organized but also by individual stances by opposing such as treatments such as in the case of Marsinah. It is valid to say that such judgment is myth developed by the tyrannies in order to stay in power.

Ad.b. Democracy Deficit and The Monopoly of Democracy Institutions by Dominant Actors

 The gaps in human rights, mayit be in the comprehension of civil and political rights as well as social, economic, and cultural rights, or the norms and implementation of human rights, because there is no framework strong enough to make it possible for the rights to be disseminated. Authoritarian system is clearly not the option- not only because it is not by definition contradictive with human rights but because the experience of the era of Soeharto has proven so. This is also the case with integralistic State or Monarchy. However the democracy that has been chosen by Indonesia after the era of Soeharto as the system of life is still in deficit.

In the perspective of human rights based democracy”, the research conducted by Demos on “The Problems and Options of Indonesia Democratisation has shown that there is a democratic deficit of rights and institutions, Although the institutions and rights of democracy have developed in Indonesia, especially those related to basic freedoms, yet the conditions of those institutions and rights that are related with rule of law, civilian Control over military, good governance, representation, and social and economic rights is still in a bad shape. Five rights and institutions considered as having the worst performance are: subordination of govt. and public officials to the rule of law, equal and secure access to justice and independent courts, parties reflection of vital issues and interest of the people, party-independence of money politics, and government’s freedom from and struggle against militias and mafias. These discrepancy increased since 1999.” The widening gaps particularly serious with regard to the major instruments for improving the deficiencies in democratic ways, i.e. representation. The danger of this is that it paves the way for top-down non democratic solutions or anarchist.

This threat is real and evident in the past general election, when there were widespread arguments that Indonesia should be lead by a “strong leadership” which usually aim at military personnel. In fact, a party explicitly argue the need to have a regime like Soeharto era. On the other event we witness local community burned attorney office and the court as a protest of the verdict over a priest who were indicted of because of his critics to the Mayor in Flores who conducted corruption. Another example is the strike of all the schools in Kampar, because of the dismissal of a teacher by the Head of Regency because the teacher criticized the small budget for education.

The promotion of human rights standards and practices should take into account the institutions to realize the rights. This is precisely because human rights are not merely norms/values — it requires substantial democracy to enable its enforcement. Lack of enforcement would create frustration between the society and bring about they taking ‘by pass’ path in obtaining their rights. On the other hand it allows, as will be explain below, the route to democracy be controlled and abused by old dominant actors who have not the interests to promote democracy.

As shown by Demos’ research, the existing democratic rights and institutions have been monopolized and hijacked by dominant actors. They have adjusted to the rules of the democratic game, but more as consumers, they would abuse them in order to obtain their interests. The picture of the human right conditions as elaborated above has shown the decreasing quality of human rights is due to the persistent influence of the past dominant power. The establishment of the court was mainly to please the International world so that intervention — in form of the establishment of an international ad hoc tribunal — will be considered unnecessary. It was not initiated because the Government (executive and legislative in general) troubled with the rights of the victims of past and future gross violations of human rights. This was made worse by the fact that, contrary to the opinion of many, the new regime failed to make a clean break with the old, a prerequisite to a successful exercise of transitional justice.

Moreover, the dominant actors are not only the executive organs/the incumbent but also the repressive agent (military apparatus, militia) and politicians who monopolised democratic instruments. The extent of the power can be seen from practices such as the use of thugs to counter demands from the society, the reluctant of the Armed Forces to disband territorial military structure, and the survival of “black conglomerates”- corruptors who remain to be above the law. Thus this means the balance between justice, stability, and reform is determined by the dominant groups, for whom justice is not an interest.

The above situation can be seen in how the regimes after Soeharto were entangled in the effort to ensure stability, something that for long time has been in the hands of TNI. Golkar, the party of the past regime, remained to the one of the strongest parties in Indonesia, creating a parliament that is unfriendly to the efforts of settling past Injustices and promoting all human rights. This was especially evident in the impeachment of the then-president Abdurrahman Wahid and the subsequent reign of Megawati’s regime. It was apparent that the impeachment was because of the desire of the majority of the parliament to stop bold moves made by President Wahid and that Megawati spent her presidency bargaining stability for impunity, especially for military officials.

c. The Low Competence of Law Enforcement Institutions

Although there have been structural changes in the judiciary system, the competence of the Institution is still very weak. This is because of the strong patriarchal ideology still persists in influencing the perspective and behavior of the bureaucrats in the government and judiciary in Indonesia.” As the result there is tolerance for each others mistakes and subsequently there is no accountability for the performance of their work. Aside from that, the influence of the old dominant powers instead of democratic groups in judiciary Institutions has caused the lack of Independence in the performance Of the judiciary. Up until now the corruption of cases involving tycoons or within the military (TNI) as well as human right cases have been very hard to be addressed.

Ad. d. International Condition

In retrospective, the political openness in Indonesia has been initiated since the early 1990’s, when there was a major shift in the global political constellation due to the end of cold war. That development has impacted the domestic situation in Indonesia. The discourse that put human rights as second to development started to deteriorate. This is also the case with the human right court. The passing of the law and the process of trials for some human rights violation cases has been initiated more or less due to the fear of the involvement of international court. Aside from that, it is undeniable that the pressure from international economic powers such as the Word Bank, IMF, TNC’s, MNC’s and developed states have influenced the development of legislations in co law, which has been strongly influenced by market economy ideas and concepts, such as the Law on Water Resources.

In other words, the development and pressure from international actors also determine the changes at domestic level. Thus it is important for the international community to support the agendas developed by the democracy and human rights movements in Indonesia.

Conclusion

It is clear that the quality of democratic and political framework is very important in ensuring effective protection and promotion of human rights. When the democracy in Indonesia is still in deficit as apparent in the research of DEMOS as elaborated above, then the effective promotion and protection of human rights will be difficult to achieve. The early conclusion of this research has concluded the following:

  1. There are critical basic freedoms, but a severe democratic deficit of other democratic rights and institutions, including people’s identification with the national and regional demos.
  2. There are indeed free and fair elections, but only of unrepresentative and unresponsive parties and politicians.
  3. The dominant members of elite tend to adjust to the new game of democracy, but monopolise it, bending and abusing the rules of the game as they go
  4. The agents of change that brought democracy to Indonesia are still critical as civic activists and pressure groups, but are ‘floating’ in the margins of the fledgling democratic system, thus being unable to make real impact.

The patch up of democratic institutions, although necessary, is not enough. This is because the authoritarian regime was in power for 32 years, and it has destroyed the basis of democracy in the society. The reparation of democracy (meaning to expand and

intensify the process) should be focused on the level of representation. Aside from that the persistence of democratic actors to adopt a more major role in the political community will significantly repair and either the power relations. The oligarchic power ‘relation-as what exists presently- is proven to be the biggest hindrance far substantial democracy to work. With the alteration of the power relations there will be a better political framework to ensure the protection and promotion of human rights, especially in regards to economic, social, and cultural rights.

end

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail

Asmara Nababan

Pendahuluan:

Salah satu peninggalan dari rejim Orde Baru yang menjadi persoalan yang paling genting dewasa iniadalah sistem penegakan hukum dan keadilan (judiciary systems). Lebih dari 30 tahun sistem penegakan hukum dan keadilan telah dibangun dalam satu paradigma rule by law sebagai perwujudan dari konsep staatsrecht. Dengan paradigma ini penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan hukum – bukan pemerintahann berdasarkan hukum (rule of law)- termasuk dalam menyelenggarakan sistem perwujudan keadilan hukum. Judiciary system yang menjadi bagian dari sistem penyelenggeraan kekuasan negara secara sengaja dan terencana disusun untuk melayani kepentingan ideologi penguasa otoritarian yakni stabilitas dan kelangsungan kekuasaan rejim dengan harga yang harus dibayar yakni keadilan dan penghormatan terhadap hukum. Hukum hanya menjadialat kekuasaan, oleh karenaitu inpendensidari peradilan hilang.

Minggirnya Suharto dari kekuasaan 5 tahun yang lalu, melahirkan harapan yang besar terhadap proses demokratisasasi termasuk reformasi hukum, tepatnya reformasi Judiciary systems agar dapat menegakkan keadilan. Harapan yang begitu besar setelah lima tahun semakin berkurang dan nyaris hilang, karena perobahan-perobahan yang dilakukan    belum  menunjukkan  bahwa keadilan  hukum  telahdapat  dirasakan  oleh masyarakat luas.                                                                                                                               «

Prosekusi dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan yang luar biasa sekalipun berlangsung seperi satu sandiwara yang tidak lucu. Norma dan doktrin hukum yang universal dijungkir balikkan bagi kepentingan para pelaku kejahatan2. Proses peradilan dengan mudah dapat dintervensi oleh kekuasaan politik maupun kekuasaan uang. Kembali yang menjadi korban adalah keadilan, baik itu menyangkut rasa keadilan dari masyarakat tetapi juga menyangkut pengingkaran terhadap right to justice yang merupakanhak yang asasi dari mereka yang menjadi korban kejahatan tersebut.

Keadaan judiciary system ini juga menjadi perhatian dan keperdulian masyarakat internasional. Karena keboborokan ini telah juga merugikan kepentingan modal, dan merupakan penghalang yang besar bagi perlindungan hak asasi manusia yang efektif. Indonesia atas desakan masyarakat internasional akhirnya terpaksa mengundang Special Rapporteur on the Independenceof Judges and Lawyers dari UN Commission on Human Rights (CHR) ke Indonesia tahun 2002. Dalam laporannya yang di bahas oleh CHR bulan April 2003, dia menyimpulkan:

(81) The independence of the judiciary is the cornerstone for the rule of law in any democratic society. The Special Rapporteur notes with extreme concern the lack of Judicial independence in the country. For the first 40 years after impendence, judicial power was seen as an extension of executive power. This has resulted in the judiciary being plagued with corrupt practices.3

Kesimpulan ini hanya merupakan penguatan dari kesimpulan yang sama dari berbagai kajian dan penelitian di dalam negeri mengenai kebobrokan kondisi dari sistem penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.4

Dilema dalam Masa Transisi

Salah satu dilema dalam masatransisi ialah : bagaimana rejim baru menyikapi kejahatan dari masa lalu. Rejim lama telah meninggalkan sejumlah besar kejahatan yang tidak pernah diselesaikan. Kejahatan yang telah menimbulkan penderitaan bagi banyak orang.

Jutaan orang telah dirampas hak-haksipil ,politik, ekonomi, sosial dan budaya. Halini banyak dilakukan dengan menggunakan instrument hukum pula. Akibat lebih jauh dan amat parah adalah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum dan keadilan, yang secara langsung memerosotkanpula legitimasi negara di mata masyarakat.

Dalam masa transisi menggunakan sistem penegakan hukum dan keadilan yang ditinggalkan oleh rejim lama,jelas tidak akan mampu untuk memenuhirasa keadilan dari masyarakat- terutama korban- karena sistem ini dibangun justru untuk melindungi dan melayani kepentingan rejim, bukan untuk menegakkan keadilan. Untuk itu judiciary system harus direformasi.

Sementara itu reformasi hukum untuk mengubahsistem ini baik menyangkutisi, struktur dan kultur hukum membutuhkan waktu yang cukup panjang- setidaknya dalam satu generasi- sementara masyarakat menuntut: keadilan sudah harus dirasakan sekarang. Tuntutan ini tidak dapat dipenuhi dengan janji: setelah sistem penegakan hukum dan keadilan selesai direformasi dalam 10 sampai 20- tahun lagi, maka keadilan akan ditegakkan.

Tidak boleh pula dilupakan dukungan rakyat untuk terjadinya perobahan rejim, terutama dan pertama-tama karena harapan akan adanya keadilan ( mencakup moraljustice, legal Justice dan social justice) ) yang akan ditegakan rejim baru. Ada unsur mendesak bagi rejim baru untuk mulai memberikan keadilan ( deliver the justice) sekarang dan bukan besok. Penegakan keadilan ini sekaligus akan memperkuatlegitimasi rejim baru serta mulai menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat bahwa penyelenggara kekuasaan negara dapat dan mau memenuhi kebutuhandan tuntutan rakyat terutama memenuhirasa keadilan dari masyarakat.

Dimensi lain dari dilema ini adalah memberika keadilan bagi rakyat-apalagi secara penuh- jelas akan mengganggu dan mengancam kepentingan elemen-elemen rejim lama yang masih ikut dalam kekuasan negara. Memprosekusi dan mengadili para pelaku kejahatan ‘rejim lama, mengundang perlawanan yang akan melahirkan konflik-konflik baru dengan akibat luas di bidang politik, keamanan dan sosial. Proses demokratisasi yang masih lemah dapat lenyap dengan seketika. Rejim baru sepertinya berhadapan dengan pilihan mewujudkan keadilan di satu pihak, atau menyelematkan proses demokrasi yang baru dimulai. Kesalahan dalam memilih jalan yang ada, bukan hanya mengkandaskanproses demokrasi, tapi kembali dilanjutkannya praktek rejim otoritarian.

Tidak berlebihan Tina Rosenberg melukiskan dilemmaini sebagai drama terbesar abad ini yang menyangkut moral, politik maupun filosofis.5

Dilema ini juga dihadapi Indonesia dalam kurun waktutransisional seperti sekarangini. Bagaimanakah Indonesia menyikapi berbagai kejahatan terhadap kemanusian yang dilakukan oleh rejim otoritarian Suharto?

Berbeda dengan transisi 1967-1971 yang ditandai dengan pergantian rejim (replacement)6 dimana tak ada elemen-elemenrejim lama yang ikut ambil bagian dalam rejim baru. Semua orang yang berkaitan dengan rejim lama, dihabiskan secara politik, sosial bahkan hidupnya dicabut. Maka dalam transisi 1998 sampai sekarang, kekuasaan negara diselenggarakan dengan transplacement. Kekuatan politik lama yang otoritarian bahkan fasisitis7 bersama-sama dengan kekuatan oposisi menyelenggarakan kekuasaan negara. Oleh karenanya perobahan yang drastis seperti transisi 1967-1971 tidak mungkin dapat terjadi dalam masa transisi sekarang ini.

Perobahan yang ada akan lambat dan menyakitkan, karena kekuatanriel politiklah yang menentukan ke arah dan sejauh mana perobahan dapat di dorong tanpa menimbulkan bencanabaru bagi bangsa.

Dalam keadaan demikian dilema yang dihadapi Indonesia semakin sulit dengan ketidakpastian yang tinggi, terutama menyangkut bagaimana menyikapi dua jenis kejahatan yang luar biasa dari rejim lama yakni : kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan korupsi. Kedua kejahatan ini melibatkan institusi negara dan individu-individu yang bukan hanya turut dalam penyelenggeraan kekuasaan negara, tapi mempunyai kemampuanuntuk menimbulkan bencanabagi masa depan Indonesia.

Pilihan-pilihan pada masatransisi untuk Indonesia memang sangat dilematis. Pemerintah yang dibentuk sebagai hasil lanjutan dari Pemilu 1999, merupakan gabungan kekuatan dari rejim otokratik dan kekuatan demokratik8. Dari segi demokrasi prosedural memang pemerintahan demikiantelah legitimate. Keadaan yang demikian membuat pemerintahan Presiden Abdur Rahman Wahid dan Megawati tidak mungkin dapat melakukan satu perohahan yang drastis yang dapat menarik garis putus dari struktur dan praktek rejim otoritarian, sebagaimanarejim Orde Baru menarik garis putus dengan rejim Orde Lama.

Transititonal Justice

Di berbagai negara yang mengalami transisi, dilemma ini coba diatasi dengan menciptakan instrumen-instrumen yang bersifat transisional untuk segera memberi keadilan yang dapat dicicipi oleh masyarakat, sekaligus memelihara proses demokratisasi yang baru berjalan dengan memperkuat rule of law. Instrumen-instrumen ini bisa bersifat kompelementer atau bersifat substitusi dari peradilan9. Pembentukan instrumen-instrumen transisional ini dilakukan, serentak dengan reformasi sistem yang akan memakan waktu yang panjang. Ketika masa instrumen transisional selesai bekerja maka diharapkan sistem penegakan hukum dan keadilan telah mencapai tingkat kemampuan minimal to deliver the justice.

Transistional Justice yang ingin diwujudkan melalui pembentukan komisi kebenaran10 memang merupakan jalan kompromi, disatu pihak tidak dimaksudkan untuk mencuci tangan (White wash) para penjahat dan di pihak lain tidak pula berupa upaya balas dendam (witch hunt) yang justru merusak sendi-sendi hukum dan keadilan. Jalan yang ditempuh bukanlah jalan Nurenberg tapi juga bukan jalan pemberian amnesti umum ( blanket amnesty). Keadilan yang ditonjolkan adalah keadilan restotratif daripada retributif. Pada akhirnya diharapkan terwujud rekonsiliasi dalam satu bangsa.

Tujuan instrumen-instrumentransitionaljustice yang ideal setidak-tidaknya mencakup:

  1. pemulihan hak korban
  2. pemulihan hak korban
  3. pemulihan hak korban

Ad 1.Pemulihan Hak Korban

Jutaan orang telah menjadi korban akibat dari  kejahatan terhadap hak-haksipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Mereka berhakatas keadilan, dan keadilan itu pertama-tama dan utamanya adalah pemulihan hak yang telah dilanggar. Memulihan hak bagi korban dapat beruparehabilitasi, kompensasidanrestitusi, ini adalah kewajiban negara.

Mengindetifikasi korban-korban kejahatan terhadap hak-hak sipil dan politik lebih mudah dari kejahatan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Jutaan orang tidak dapat dipenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya oleh negara , karena kemampuan negara untuk memenuhi hak-hak tersebut ( sebagai state obligation) telah dikurangi secara substansial oleh tindak korupsi. Mereka adalah korbandari tindak pidana korupsi oleh pejabat-pejabat negara dan oleh kebijakan negara.

Negara-negara yang mengalami transisi menuju demokrasi cenderung hanya menyelesaikan kejahatan yang berhubungan dengan kejahatan yang menyangkut hak-hak sipil dan politik11, hal ini terutama disebabkan oleh jenis kejahatannya lebih mencolok, serta ketersedian norma dan peraturan hukum yang dapat dipakai. Memang harusdiakui perkembangan instrumen hukum internasional untuk melindungi hak-haksipil dan politik jauh lebih berkembang katimbang instrument-instrumen perlindungan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Ad 2. Hukuman Bagi pelaku

Prosekusi dan mengadili penjahat-penjahat yang masih memegang kekuasaan formal, dengan dukungan politik serta keuangan yang luar biasa besarnya, merupakan hal yang mustahil dilakukan, tanpa mengorbankan proses demokratisasi yang masih lemah dalam masatransisi. Apalagi bila diharapkan untuk mewujudkan satu keadilan retributif. Oleh karenanya yang sering dilakukan adalah hukuman pidana dengan peluang pengampunan.Bila kekuatan elemen rejim lama di tubuh rejim baru cukup besar maka kecenderungan kepada pengampunanakan lebih besar. Walaupun demikian kebenaran yang dapat diungkap melalui proses itu akn menjadi pengakuan absahnya norma-norma hukum dan keadilan yang dilanggar dalam kejahatan tersebut.

Bentuk lain berupa hukuman non pidana yakni lustration12 yang membatasi bekas pejabat rejim lama untuk mendudukijabatan publik untuk waktu tertentu atau selamanya dengan demikian merekatidak menjadi penghalang bagi proses demokratisasi.

Penghukuman ini perlu untuk memutus rantai impunity, karena bila impunity terus berlangsung tidak akan pernah ada supremasi hukum.

Ad 3. Koreksi-koreksi atas pola kejahatan diwujudkan dengan perobahan kebijakan dan kelembagaan. Koreksi ini didasarkan kepada kebenaran yang mengungkapkan berbagai kebijakan ‘dan institusi yang dibuat oleh negara yang memungkin terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut, serta tidak dapat dihukumnyapara pelakunya di masa lalu. Perobahan kebijakan dan institusi ini dibutuhkan agar kejahatan-kejahatan serius yang terjadi di masa lalu tidak terulang kembali, dan kalaupun terulang dapat dipastikan adanya penghukuman.

Indonesia juga berupaya menempuh jalan yang sama, berbagai instrumen transisional dibuat seperti Pengadilan HAM ad Hoc untuk Tim-Tim dan T.Priok dan berbagai komisi khusus seperti Komisi Hukum Nasonal (KHN), Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan yang terakhir rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)13, yang RIJUnya baru mau dibahas oleh DPR. Begitu juga Komisi Anti Korupsi yang pembentukannya diperintahkan oleh undang-undang sejak tahun 2002, yang sampai sekarang masih belum juga terbentuk.

Namun berbagai hasil kerja dari instrumen transisional telah ada selama ini tidak memenuhi tujuannya. Pengadilan HAM ad Hoc Tim-Tim setelah bersidang lebih dari satu tahun telah mengundang kecaman dari dalam maupun luar negeri14. Penuntutan dan proses dan hasil penadilan dianggap jauh dari memenuhi standar —standar internasional yang menjamin terwujudnya keadilan. Lebih jauh lagi KPKPN yang cukup memberi harapan dengan pekerjaan-pekerjaannya bagi upaya membangun penyelenggaraan kekuasaannegara yang bersih akhirnya dihapuskan15.

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan kegagalan ini.

Pertama, instrumen-instrumen yang dibuat didasarkan kepada kompromi-kompromi taktis dari kepentingan kekuatan rejim lama dan kekuatan demokrasi secara ad hoc. Kompromi-kompromi yang mengorbankan keadilan ini mendapat pembenaran demi menyelamatkanproses demokratisasi yang sangat rentan.

Pada awal masa transisi tidak terdapat kesepakatan politik yang mendasar antar kekuatan rejim orde baru dengan kekuatan demokratis mengenai berbagai masalah, termasuk penyelesaian masalah kejahatan-kejahatan serius yang terjadi di masa lalu. Hal ini tampak ketika desakan untuk mengadili Suharto masih begitu kuat, dan karenanya Kejaksaan Agung melakukan prosekusi, pada waktu yang bersamaan Presiden Abdur Rahman Wahid justru memberi statemen akan mengampuni Suharto. Contoh lain menyangkut tuntutan penyelesaian kasus kejahatan terhadap kemanusiun yang dikenal dengan nama kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, justru DPR menyatakan bahwa dalam peristiwa tersebuttidak ada kejahatan terhadap kemanusian16.

Kedua, tidak ada akuntabilitas dari instrument-instrumen transistional ini kepada masyarakat umum, baik dalam tahap proses pembentukan instrumennya, maupun tahap proses dan hasil kerjanya. Bilapun ada usaha pemenuhan akuntabilitas seperti yang dilakukan oleh KPKPN namun tidak terdapat dukungan yang kuat dari masyarakat untuk menggugat kebijakan negara yang menghapuskan KPKPN.

Momentum Yang Hampir Hilang

Transisi 1998 akan berakhir tahun 2004, ketika pemilu dengan pemilihan presiden secara langsung, dapat dilaksanakan dengan baik. Periode selanjutnya merupakan periode konsolidasi dari hasil masa transisi sebelumnya. Pemerintah baru hasil pemilu 2004, akan lebih legitimate dan akan lebih memusatkan perhatian dan enerjinya bagi pemecahan-pemecahan masalah kontemporer daripada masalah-masalah masa lampautermasuk kejahatan-kejahatan masalalu.

Sampai dengan saat ini dapat disimpulkan bahwa masatransisi sejak 1998 tidak dapat menghasilkan judicial capital yang memadai bagi judiciary system agar dapat menegakkan keadilan (to deliver the justice), di masa depan.

Perobahan-perobahan dari content of the law memang secara kuantitatif telah cukup banyak banyak dilakukan sejak pemerintahan BJ Habibie, namun perobahan di bidang structure dan culture of law tidak membawaperbaikan, kalau tidak dapat dikatakan semakin memburuk.

Dua peluang peluang yang masih tinggal adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)17 sebagai instrumen untuk menyelesaikan berbagai kejahatan terhadap kemanusian yangterjadi di masa lampau , dan Komisi Anti Korupsi sebagai instrumen khusus bagi penyidikan dan penuntutan kejahatan korupsi. Bila kedua komisi ini dapat memenuhi tujuan pembentukannya, memang masih akan ada harapan bagi perbaikan sistem penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Untuk KKR keberhasilannya terletak pada: pemulihan hak-hak korban, penghukuman pelaku dengan peluang amnesti serta menentukan perobahan kebijakan dan kelembagaan yang mencegah terulangnya kejahatan masa lalu. Sementara ukuran keberhasilan untuk Komisi Anti Korupsi, dapat memajukantuntutan yang lengkap atas berbagaitindak korupsi yang besar, seperti kasus Suharto dkk, BLBI dil.

Dari kedua komisi -yang bila bekerja dan memberi hasil yang sesuai dengan tujuan pembentukannya- maka akan ada peningkatan yang substansial dari judicial capital yang dapat dipakai untuk memperbaiki kinerja sistem penegakan hukum dan keadilan di masa mendatang. Dengan demikian secara pasti walaupun mungkin sangat lambat prinsip rule of law dapat dibangun yang menjadi dasar dari demokrasi di Indonesia.

Tetapi kalau komisi-komisi ini mengalami nasib yang sama dari instrumen-instrumen transisional yang sebelumnya, maka memang momentumbagi transitional justice telah hilang.

Mewujudkan rule of law sebagai batu penjuru demokrasi di masa mendatang jelas penuh dengan ketidak pastian. Indonesia bisa saja kembali ke situasi sebelum 1998, dimana rejim otoriter me:nerintah dengan hukum (rule by law) tetapi bukan berdasarkan hukum (rule of law). Demokrasi dan hak asasi manusia akan kembali terpasung. Bukankah suara-suara yang meminta kembalinya satu pemerintahan yang otoriter semakin nyaring, sebagaimana nyaringnyasuara-suara yang mendukung operasi militer di Aceh?

1 Paper untuk Konsultasi Gereja & Politik, 19 Ausutus 2003 di Cipayung.

2 Contoh yang paling menarik adalah penerapan asas presumption of innocence dalam kasus korupsi Akbar Tanjung.

3 Report of The Special Rapporteur on The Independence of Judges and Lawyers Dato” Param Cumaraswamy, submitted in accordance with Commission on Human Rights Resolution 2002/43.

4 Lihat laporan Indonesia Corruption Watch (ICW)tahun 2002 berjudul “ Mafia Peradilan Indonesia”.

5 Tina Rosenberg dalam buku Martin Mereditch, Coming to Terms, New York: Public Affairs, 1999.

6 Pembedaanteoritik dari Transformations, Replacements dan Transplacements dapatdilihat dalam buku Samuel P.Huntington, The Third Wafe: Democratization in the Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press,1991.

7 Rejim Suharto sebagai rejim Neo-Fasisime Militer dijelaskan panjang lebar dalam buku Daniel Dhakidae, Cendikawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003.

8 Golkar yang merupakan Partai Neo Fasis Orde Baru, mengubah dirinya menjadi Partai Golkar dan merebut suara terbanyak kedua setelah PDI-P.

9 Sampai dengan sekarang telah lebih dari 15 komisi kebenaran yangdibentuk di Asia, Amerika Latin, Afrika dan Eropa Timur dalam masatransisi dari rejim otoritarian ke rejim demokrasi. Komisi yang terakhir dibentuk tahun 2002 adalah East Timor’s Commission for Reception, Truth and Reconciliation.

10 Komisi kebenaran mengambil nama yang berbeda di tiap negara sebagai contoh: Chad,”Commission of Inguiry into the Crimes and Missappropriations Committed by Ex-President Habre, His Accomplices and/or Accessories” tapi ada juga yang mengambil nama yang sederhana seperti “Commission on the Truth for El Salvador”

11 Uraian yang lengkap tentang pekerjaan 15 komisisejenis diuraikan oleh Pricilia B.Hayner, “Fifteen Truth Commissions- 1974to 1994: A Comparative Study” Human Rihts Ouaterly, vol.16.no.4 (1994). Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh ELSAM (2002) dgn judul “ Mencari Akar dan Pandangan Bersama”.

12 Pustration banyak dipraktekkan di Eropa Timur. Lihat artikel Herman Schwartz , Lustration in Eastern Europe, dalam Neil J.Kritz “ Transitional Justice” vol. I, United States Institute of Peace (1995).

13 MPR tahun 200 telah memerintahkan pembentukan KKR, namunbaru bulan Juli 2003 draft RUU KKR diserahkan Pemerintah ke DPR. Kelambatan ini menunjukkan betapa rendahnyaprioritas Pemerintah dalam menyelesikan berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lampau.

14 Sebenarnyabila proses pengadilan ini berjalan sesuai denganstandar dari pengadilan yang jujur dan tidak berpihak, kita dapat memetik berbagaipelajaran dari kesalahan yangterjadi dalam pengelolaan keamanan yang berguna bagi usaha membangunsatuinstitusi militer yang profesional dalam satu negara yang demokratis.

15 Fungsi KPKPN akan digabungkan dengan Komisi Anti Korupsi, satu langkah yang kontroversial sehingga KPKPNsendiri memajukanjudicial review ke Mahkamah Agung.

16 DPR sebenarnyatelah melampaui kewenangannya dengan memberikan penilaian judicial yang juga sekaligus bertentangan dengan ketentuan pasal 42 (2) UU 26 tahun 2002 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam pasalini diatur kewenangan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, bukan kewenangan untuk menentukan apakah dalam satu peristiwa telah terjadi atau tidak pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini hanya dapatterjadi karena kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang lebih diutamakan oleh fraksi-fraksi partai di DPR.

17 Kajian awal dari RUU KKR yangdilakukan oleh ELSAM dan KONTRASdalam dua kesempatan yang terpisah awal bulan Augustus 2003 menemukan berbagai kekurangan yangserius dalam tujuan, kewenangan, keorganisasian yang bila tidak diperbaiki oleh DPR maka KKRini hanya merupakanalat untuk mencuci tangan para penjahat kemanusian.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail

Diskusi Dengan Asmara Nababan, S.H.

dan Antonio Pradjasto S.H, LLM

Kesan Umum Asmara Nababan mengenai RUU Otonomi Khusus Papua

RUU Otonomi Khusus usulan rakyat Papua dinilai oleh Asmara Nababan sebagai suatu jalan tengah terbaik untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di Tanah Papua – termasuk dalam hubungannya dengan pemerintah pusat.   

Nababan juga menekankan tentang pentingnya RUU ini memuat penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di waktu lalu, termasuk soal pelurusan sejarah Papua, dan dikembangkannya upaya-upaya sistematis untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran HAM – apa pun bentuknya – terjadi di waktu-waktu mendatang.   Dalam kaitan itu ia menyatakan kesediaannya untuk ikut serta memberikan pendapat apabila diundang oleh DPR RI.  

Mengenai Komisi Hak  Asasi  Manusia  Papua  

Formulasi Pasal 41 ayat 2, perlu diperbaiki, sebab dari formulasi ini timbul kesan, bahwa seakan-akan komisi ini mempunyai kewenangan yang tidak saja pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, tetapi juga sampai pada tingkat penuntutan di Pengadilan.

Rumusan ini, harus spesifik, misalnya: “… berwenang untuk menyelidiki dan menyidik dan hasil penyelidikan diserahkan kepada kejaksaan untuk dilanjutkan dalam bentuk proses penuntutan di Pengadilan Hak Asasi Manusia …”.   Hal ini perlu ditegaskan dalam Undang-Undang ini.    Memang, sekarang ini ada Komisi Ad-Hoc dalam draft Undang-Undang Anti Korupsi di mana kewenangannya sampai ke penuntutan. Tetapi sesungguhnya hal ini sangat sulit dilakukan.  Oleh karena itu, dalam hal ini, kalau penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh  komisi HAM, maka penuntutan di Pengadilan HAM seyogyanya dilakukan oleh kejaksaan karena memang menjadi kewenangannya.  

Istilah “Hak-Hak Asasi Manusia” sebaiknya ditulis “Hak Asasi Manusia”.   Selanjutnya, mengenai formulasi, susunan, kedudukan, tugas dan tanggung jawab Komisi HAM Papua, yang diatur dengan Peraturan Propinsi, seperti termaksud dalam pasal 42 ayat 3, hal itu sudah benar.

Analog atau tidak, tetapi perlu dikemukakan, bahwa pada waktu Lokakarya Desentralisasi Mekanisme Perlindungan HAM, dikonstatir bahwa peraturan-peraturan yang ada sekarang sudah memungkinkan didirikannya Komisi HAM di daerah disertai dana yang bersumber dari APBD.   Jadi, pembentukan Komisi HAM dan Peradilan HAM di Papua, sudah tepat.  Sekarang sudah diajukan amandemen terhadap UU No.  39/1999 untuk memberikan landasan yuridis bagi terbentuknya Komisi HAM di daerah-daerah.   Untuk Papua telah dibentuk perwakilan Komisi HAM Papua, untuk masa kerja satu tahun dan dapat diperpanjang lagi.

Mengenai Ganti Rugi kepada Korban Pelanggaran HAM di Papua

Masih belum jelas, siapa yang berwenang menetapkan atau memverifikasi tuntutan dari korban atau keluarga korban atau ahli waris korban untuk dapat mendapatkan kompensasi atau ganti rugi seperti dimaksud dalam pasa 42 ayat 1 itu?  Sebab dikatakan di sini, bahwa korban, keluarga korban atau ahli waris korban pelanggaran HAM, diberikan dana kompensasi, atau bentuk lain oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi.  Kalau lembaga yang berwenang memverifikasi kebenaran tuntutan korban pelanggaran HAM adalah Pengadilan, maka akan memakan waktu yang cukup lama, bisa sampai 100 tahun !

Pasal 42 ayat 1 ini mengandung pengertian ganti rugi atau reparasi.  Ada 4 bentuk reparasi, yaitu : (1) kompensasi; (2) restitusi; (3) rehabilitasi; (4) pemuasan (satisfaction).   Selama ini, dalam bahasa hukum semuanya dikatakan sebagai ganti rugi.   Ganti rugi dalam RUU ini ditarik mulai dari tahun 1963.  Bagaimana dengan korban yang terjadi pada tahun 1969, ke mana korban tersebut harus meminta atau memohon kompensasi?  

Dalam hal ini ada 2 kontruksi :

  1. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sejak tahun 1963 sampai saat disahkannya undang-undang ini, diselesaikan oleh Komisi Klarifikasi Sejarah (KKS) sedangkan;
  2. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang ini, disidik oleh Komisi HAM dan diadili oleh Pengadilan HAM.

Itu sebabnya, sebenarnya dari segi susunan, Komisi Klarifikasi Sejarah perlu lebih dahulu diatur, baru kemudian dibentuk Komisi HAM.  Dalam pasal 42 ayat 3, sudah disebut Badan Peradilan HAM.  Jadi sebenarnya dalam pasal 41 ayat 2, seharusnya sudah menyebut dan mengatur Komisi Klarifikasi Sejarah itu.

Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah

Rumusan pasal 43 ayat 1 perlu diperbaiki.  Sebab dari formulasi pasal 43 ayat 1, seakan-akan hanya mengenai “perbedaan pendapat mengenai sejarah integrasi Papua”.   Tugas komisi ini tidak hanya itu – tidak terbatas meluruskan sejarah an sich.   Justru tugas komisi ini lebih luas dari itu, yakni :

  • Menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1963 sampai undang-undang ini disahkan.  Di sini masih ada pilihan-pilihan lain, misalnya batas waktunya sampai berlakunya undang-undang Peradilan HAM 2000.  Terserah, mana batas waktu yang disepakati dan ditentukan dalam undang-undang ini secara tegas.
  • Meluruskan sejarah sesuai dengan atau berdasarkan kebenaran.  Dalam rangka penyelesaian berdasarkan kebenaran ini, baru ada rehabilitasi atau reparasi yang diberikan kepada pihak korban.  Tuntutan dari korban/keluarga korban atau ahli waris korban untuk memperoleh reparasi diberikan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Propinsi, setelah mendapat klarifikasi atau setelah mendapat keputusan dari Komisi Klarifikasi Sejarah.  Jadi, bukan pemerintah yang menentukan benar tidaknya suatu pelanggaran.  Sebaliknya komisi ini yang menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM.
  • Merekomendasikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat untuk disidik dan dituntut di Pengadilan HAM.  Untuk ini harus cukup bukti dan pelaku masih hidup.  Sebab kalau pelaku sudah meninggal dunia, tidak bisa dituntut dan diadili.  Apabila ada cukup bukti dan pelakunya masih hidup, maka Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah merekomendasikan untuk diajukan ke Pengadilan HAM.  Dalam hal ini, memang tidak semua kasus pelanggaran HAM dapat diajukan ke Pengadilan HAM.  

Dalam hal Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara (state) maka jelas yang bertanggung jawab adalah Pemerintah Negara.  Tetapi, yang menjadi persoalan, bahwa tidak semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, sejak tahun 1963, bisa di bahwa ke Pengadilan.  Hal ini, karena kalaupun dia state (negara), tetapi kalau Jenderalnya, Pangdamnya atau Kopralnya sudah mati, siapa yang di bawah ke Pengadilan?  Memang ada responsibility by state, tetapi di sini lalu menjadi individual responsibility.  

Dengan demikian, tidak bisa dituntut pelaku yang telah mati, demikian pula Panglima yang sekarang tidak dapat bertanggung jawab atas kejahatan TNI tahun 1963, karena dia bukan Panglima pada waktu itu.   Tetapi pada prinsipnya, kalau pelakunya masih hidup dan cukup bukti, kepada korban harus diberikan reparasi dan kepada pelaku harus di hukum.  Kompensasi dalam bentuk lain, misalnya ganti rugi bisa langsung ditentukan oleh Komisi Klarifikasi Sejarah.  Dan Komisi ini juga menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan HAM.

Mengenai satisfaction (pemuasan), maka penguasa negara bisa secara resmi mengakui kesalahannya dan selakigus meminta maaf kepada pihak korban.  Di beberapa tempat (negara) bentuk satisfaction itu dapat berupa, misalnya merubah nama jalan menjadi nama korban, nama stadiun sepak bola menjadi nama korban, bahkan korban mendapat piagam penghargaan dari Pemerintah (Presiden).

Selain itu, Pemerintah dapat pula meminta maaf melalui mass media kepada korban atau keluarga korban ataupun ahli waris  korban. Yang penting upaya itu memuaskan pihak korban.

Sejauh yang kami tangkap, Komisi Klarifikasi Sejarah ini lebih luas cakupan tugasnya dibanding Komisi HAM.  Karena Komisi Klarifikasi Sejarah merupakan Komisi Kebenaran Sejarah.  

Komisi Klarifikasi Sejarah ini terdiri dari sub-sub komisi :

  • Sub Klarifikasi/Kebenaran Sejarah;
  • Sub Penyelidikan Pelanggaran HAM;
  • Sub reparasi/restorasi;
  • Sub Amnesti, dan
  • Sub lainnya.

Sub Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah, keanggotaannya terbuka, artinya bukan saja orang Papua yang menjadi anggota komisi tersebut, tetapi juga orang lain, di luar Papua pun dapat menjadi anggota komisi.  Bahkan dapat dimungkinkan staf dari internasional.

Dalam hal ini, agar tidak salah tafsir terhadap Komisi Klarifikasi/ Kebenaran Sejarah ini, maka perlu ada satu ayat yang menyatakan bahwa komisi ini merupakan komisi yang indenpenden yang terdiri dari ahli-ahli yang mempunyai kredibilitas dan dipercaya masyarakat.  Ahli-ahli terdiri dari ahli hukum, ahli sejarah, ahli politik dan lain-lain.  Indenpenden di sini dimaksudkan bebas dari atau tidak ada campur tangan Pemerintah Pusat di Jakarta, maupun campur tangan Pemerintah Propinsi Papua.  Setelah ketentuan tersebut baru ayat 3 nya mengenai pengaturan pelaksanaan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi.   Oleh karena Komisi Klarifikasi Sejarah ini bertugas mencari kebenaran, maka disebut juga Komisi Kebenaran Sejarah.  Komisi ini cakupan tugasnya lebih luas dari pada Komisi HAM.  

Ada pengalaman di negara lain, misalnya di El-Salvador yang bisa kita pelajari.  Waktu konflik intern terjadi di sana, PBB membentuk Komisi Klarifikasi Sejarah, yang di bawah langsung pengawasan PBB.  Komisi ini disebut “Commission of Historical Clarification”.  Tetapi komisi ini tidak hanya menulis sejarah, tetapi mendokumentasikan segala pelanggaran yang terjadi. Dalam kaitan ini, ada pengalaman menarik dari Afrika Selatan.  Jika seseorang ingin mendapatkan amnesti, maka ia harus menceritakan secara benar kejahatan yang diadakannya.  Kalau ia, misalnya melakukan lima jenis kejahatan, tetapi hanya mengakui atau menceritakan tiga saja, maka ia dinyatakan tidak jujur.   Sebaliknya kalau ia menceritakan kelima kejahatan itu, maka ia akan mendapat amnesti.

Dapat dicatat bahwa di dunia ini terdapat kurang lebih dua belas negara yang memiliki Komisi Klarifikasi/Kebenaran Sejarah.  Di antaranya Afrika Selatan, Yugoslavia dan Elsavador.  Oleh karena Komisi ini sifatnya ad hoc, maka tenggang waktunya  dapat dibatasi  sampai 4 tahun dan dapat diperpanjang lagi.

Mengenai Pasal 69 yang berkaitan dengan Pelurusan Sejarah Integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini sudah baik dan benar. Kalau ada hearing di DPR RI, saya (Asmara Nababan) bersedia hadir dan mempertahankan pasal ini.

Badan Peradilan Hak Asasi Manusia Papua

Mengenai Peradilan HAM ini, berkaitan dengan asas hukum “Lex specialis derograt lex generali”.  Karena UU No 26/2000, hanya menyebutkan empat kota, yaitu Jakarta, Medan, Surabaya dan Ujung Pandang.  Kalau Undang-Undang Otonomi Khusus Papua disahkan, maka UU No 26/2000 tidak berlaku, dan memang sekarang UU No.  12/2000, sedang diajukan untuk direvisi (diamandemen).  

Ketentuan mengenai Peradilan HAM di dalam RUU ini, perlu harus dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal ybs dalam RUU ini.  Sedangkan ketentuan pelaksanaan Peradilan HAM, tidak bisa diatur dengan Peraturan Propinsi, tetapi diatur dengan Peraturan Pemerintah.  

Hak untuk memiliki kebebasan beragama

Mengenai Pasal 49 butir (1) di situ dinyatakan “…menjamin kebebasan, membina  kerukunan…”.  Kata “membina kerukunan“ disini berbahaya, karena akan menimbulkan intervensi pemerintah, dan mengulangi kesalahan pada masa orde baru lampau, karena pemerintah mempunyai kewajiban membina.

Pada masa lalu, penguasa negara telah memaksakan state nationalism.  State nasionalism yang dipaksakan kepada masyarakat Papua, baru tahun 1961, sedang untuk orang Batak tahun 1945.  Dan state nasionalism ini telah merusak komunitas-komunitas masyarakat sehingga   sekarang tumbuh nasionalisme etnik, seperti orang Papua nasionalismenya adalah nasionalisme etnik Papua.  

Nasionalisme negara dan nasionalisme etnik sama-sama ada bahayanya, Berbahaya karena berdasarkan kepentingan masing-masing. Sebenarnya yang dekat dengan penghormatan HAM adalah yang disebut modern civil nasionalisme.  Substansi dari modern civil nasionalisme adalah civil society.  Dalam civil society, campur tangan pemerintah adalah haram karena urusan agama adalah urusan masing-masing umat.  Oleh karena itu rumusannya bukan “membina kerukunan” tetapi sebaiknya “menciptakan suasana kehidupan beragama yang rukun”.  Ketika etnis kedaerahan tumbuh, maka perlu harus disiapkan basis-basis modern civil nasionalism yang mencakup :

  • pemerintah tidak boleh terlalu campur tangan
    • tidak boleh ada perbedaan, karena keyakinan politik, gender  dan lain-lain
    • mengakui pluralisme sebagai ciri civil society

Pasal 49 ayat 1 itu harus `dikunci’, supaya jangan ada campur tangan pemerintah.

Kebijakan Afirmatif dan Perlindungan Hak-Hak Papua Asli

Pasal 55 ayat 2 menyebutkan kebijakan afirmatif.  Sebaiknya istilah ini di Indonesiakan saja.  Apakah istilah tersebut sama dengan “kebijakan penguatan”?

Sebaiknya dicari istilah yang tepat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia.  

Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan

Mengenai pemberdayaan perempuan, seperti dimaksud pasal 44, sebenarnya bukan “membina”, tetapi memajukan dan melindungi (promotion and protection).  Dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebenarnya ada 4 hal : (a) promotion (b) protection (c) fulfill dan; (d) respect.    

Kepolisian/Polisi Daerah

Mengenai polisi, tugasnya bukan menjaga keamanan dan ketertiban.  Jika demikian, suasana dalam undang-undang ini, masih berbau otoriter rezim Orde Baru.

Tugas kepolisian adalah “Law and Order enforcer”.  Polisi melakukan pelanggaran HAM, justru karena melakukan tugas keamanan.

Parlemen Bikameral dan Gubernur Provinsi Papua yang Memprioritaskan Penduduk Asli Papua

Mengenai parlemen bikameral dan Gubernur yang diarahkan untuk memprioritaskan orang Papua Asli, sudah benar dan hebat!  Hanya saja istilah “asli” ini mengandung 2 pengertian: (1) yang melekat pada etniknya; dan (2) yang melekat pada kelahiran.  Kalau tidak ada penjelasan dalam pasal yang bersangkutan akan berat . Dalam penjelasan dan atau dalam peraturan pelaksanaan perlu diatur bahwa orang Papua asli adalah :

  1. kedua orang tuanya orang Papua asli;
    1. salah satu orang tuanya orang Papua asli;
    1. orang non Papua atau non Melanesia yang lahir dan tinggal di Papua; lahir dan tinggal di Papua pun, ini harus diatur dalam peraturan pelaksanaan, misalnya lahir dan tinggal di Papua 10 tahun setelah dewasa.

4. Untuk jabatan Gubernur perlu diatur sedemikian sehingga orang Papua asli saja yang menjabat, kecuali jabatan wakil Gubernur atau jabatan-jabatan lain, boleh dijabat oleh non Papua/Melanesia yang lahir dan besar di Papua.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail

ALUMNUS Fakultas Hukum UIini, selain anggota 4 Komnas HAM juga adalah sebagai Sekretaris INFID (International NGO’s Forum on Indonesian Development). Putra Batak, Sumatera Utara, menganggap perbincangan masalah suksesi disalahartikan sebagai perbincangan mengenaipribadi presiden. “Persoalan sekarang ini disebabkan oleh orang-orang mempersonalisasikan kekuasaan,” kata mantan aktivis angkatan 66 kepada Supriyanto dari HIMMAH yang mewawancarai di kediamannya Kebayoran Lama, Jakarta Barat, akhir bulan Juli lalu. Berikut petikannya:

Menurut Anda, idealnya proses pergantian kepemimpinan nasional itu seperti apa?

Idealnya semua rakyat terlibat dalam pemilihan. Tapi sistem kita UUD 1945 kita sudah menentukan bahwa yang langsung melakukan pemilihan tersebut adalah wakil-wakilnya. Namun, itu tidak menutup persoalan sebenarnya, tidak menutup peluang sehingga kesempatan rakyat turun untuk: terlibat dalam proses itu. Maksud saya, umpamanya pencalonan presiden jauh hari sebelum SU MPR. Dengan adanya calon-calon tersebut, maka rakyat dapat menilai apakah calon-calon tersebut cocok atau tidak cocok, mampu atau tidak mampu. Jadi, walaupun MPR yang memilih, namun ada peluang kita sebenarnya melibatkan lebih banyak rakyat atau seluruh masyarakat dalam proses tersebut. Ternyata, sekarang inikan selalu dicegah dengan mengatakan itu hak MPR, nanti saja pada waktu sidang MPR. Padahal (anggota MPR,– red.) menilai saja nggak ada, menyatakan ketidaksukaannya juga nggak mungkin. Yang terjadi, meski diumumkan pencalonanitu,tapi biasanya sudah dipilih. Semuanyaselalu begitu, secepat itu.

Bagaimana dengan mekanismetentang lembaga kepresidenan itu, sepertinya dewan kurang transparan?

Sebenarnya, mekanisme itu kan sesuatu yang bersifat in- strumental yang harus dirubah sesuai dengan perubahan jaman.Itu dulu. Tapi sekarang kan tidak. Instrumen itu bukan seperti konstitusi, yang tidak bisa diubah-ubah. Sampaisaatini, menurutsaya,proses pencarian presidenitu tidak transparan. Umpamanya, melalui tiga kekuatan politik yang diakui, mestinya mereka yang melibatkan masyarakatdalamproses itu. Jangan dulu masuk ke persidangan DPR atau MPR.Jadi, pada kehidupanpolitik harian dulu. Sampai sekarang, kita belum tahu siapa yang diunggulkan oleh PPP, Golkar dan PDI. Siapa calon presiden menurut mereka? Nggak — ada. Yang ada adalah bisik-bisik diluar, percakapan yang tidak formal yang sangathati-hati dilakukan.

Berarti untuk pengajuan calon presiden itu tidak a d a mekanisme yang menjamin partisipasi rakyat?

‘Yang kita harapkan dapat lebih banyak melibatkan rakyat tidak ada. Yang terjadi adanya anggapan, bahwa kalau cepat- cepat dikeluarkan menimbulkan berbagai masalah. Nah, perangkat mengasumsikan rakyat kita tidak dewasa. Dalam pikiran merekarakyatkita tidak dewasa menerimatiga atau empat calon, atau nanti rakyat masyarakat akan terpecah-pecah danlain sebagainya. Pikiran ini masih ada pada elit yang – mengganggap masyarakat tidak dewasa. Sebenarnya, pendapat mereka- sendiri yang tidak dewasa. Alasan-alasan semacam ini juga dipakai kolonial Belanda jaman dulu, iya kan?

Kalau begitu, pada konteks sekarang tidak relevan?

Itu jelas. Itu bertentangan dengan klaim elit politik yang mengatakan tentang kemajuan pembangunan selama 30 tahun ini. Di satu pihak, dia mau mengklaim kemajuan yang luar biasa, tapi di pihak lain berpendapat bahwa masyarakat belum siap. Ini kontradiktif.

Anda mengatakan sampai sekarang “partai politik belum ada yang mencalonkan presiden. Apakah ada sematam jalur- jalur informal diluar mekanisme?

Ya, itu dia. Permasalahannya kurang keterlibatan. masyarakat. Padahal semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, itu semakin demokratis. Dengan tidak pernah dilibatkan secara publik tapi dilakukan secara diam-diam, itukan mengurangipartisipasi masyarakat ‘ dalamprosesi. Lobi boleh, kasak-kusuk boleh. Tapi negeri ini tidak boleh diatur hanya dengan lobi dan kasak kusuk, harus adaketerlibatan publik. Menurut saya, bila keterlibatan publik secara terbuka tidak — dibiasakan terjadi, maka masyarakat juga ‘ tidak akan terbiasa berbeda pendapat.

Artinya, yang lebih dominan atau mempunyai pengaruh yang kuat itu justru pada tingkat informal?

Pada tingkat kasak-kusuk dan lobi saja. Suasananya,sering dikatakan,tidak mau menyinggung perasaan presiden yang sekarang. Nanti dianggap pencalonan itu menyinggung presiden. — Inikan bukan persoalan pribadi. Persoalan sekarang ini disebabkan oleh orang-orang yang mempersonalisasikan kekuasaan. Sehingga ketika kita mendiskusikan jabatan itu, orang merasa itu mendiskusikan pribadinya.

Apakah ini indikasi eksekutif lebih berkuasa dari legislatif?

Itu jelas. Kecenderungan itu sudah lama. Tidak adanya (DPR — red.) atau tidak pernah ‘ menggunakan hak inisiatifnya, itu salah satu indikator mendukung pernyataan tadi. Bagi saya, itu bisa mendorongkrisis konstitusi. Di -eksekutif. Selama “dia negara kita pembagian kekuasaan bukan dalam tatanan teori, tapi pada tatanan praksis. Bagaimanapun juga, kekuasaan sekarang menumpuk pada cabang terkonsentrasi pada kekuasaan eksekutif, maka otomatis badan-badanlainnya itu berada dalam posisi di bawah.

Apakah karena alasan bahwa Demokrasi Pancasila nggak mengenal triaspolitika?

Memang tidak mengenal trias politika. Tapi, Demokrasi Pancasila tidak menganut otoriterisme. Di mana titik seimbangnya? Di satu pihak tidak menganggap trias politika, tapi di pihak lain juga menolak militerisme, otoriterisme, diktatorisme. Mestinya kalau dua kutub seperti itukan, ini ditolak, itu ditolak. Tapi, titik keseimbangannya tidak ini, tidak itu. Kalau yang terjadi cenderung kearah otoriterisme itu juga sudah bertentangan dengan Demokrasi Pancasila.

Apakah ada konsentrasi kekuasaandi satu tangan ?

Itu eksekutif. Dan puncak dari eksekutif itu presiden.

Berarti pemilu tidak ada gunanya karena tidak melahirkan perubahan fundamental?

Bukan, pemilu ‘itu membuka kesempatan terjadinya perubahan. Pemilu membukakesempatan ke arah suksesi. Selama pemilu itu tidak memberi kesempatan, .maka.nilai pemilu itu berkurang. Melihat proses pemilu yang lalu, bahkan orang mengatakan tidak memungkinkan perubahan. Dia (pemilu — red.) hanyaterarah kepada legitimasi. Memperkuat yang sudah ada.

Menurut anda apakah perlu pembatasana periodisasi jabatan presiden?

Perlu sekali. Kenapa harus ada pembatasan gubernur, bupati, camat? Artinya di sini kan ada logika yang benar. Kalau tidak, ngapain dibatasi. Mestinya jangan dibatasi dong, seperti presiden juga.

Tapi selama ini yang digunakansebagai basis legitimasinya kan UUD 1945? Bagaimana intepretasinya?

Ya,itu tidakinterpretasi, dapat dipilih kembali, iya kan? Sebab, saya juga bisa berargumentasi, mengatakan bahwa UUD 1945 juga tidak dikatakan dan tidak merumuskan dapat dipilih kembali, dipilih kembali lagi hingga seterusnya, tidak kan? Yang tertulis itu kan, cuma sekali. Tapilihat perbedaannya,sekarang interpretasi yang dianggap benar adalah interpretasi pemegang kekuasaan kan, bahwa itu tidak ada batasannya.

SU MPR 1998 mendatang apakah menghasilkan perubahan yang sangat berarti?

Sulit kalau kita melihat dari keadaan yang sekarang. Kita tidak melihat akan ada perubahan yang berarti karena transparansi dalam proses politik kita hampir tidak ada. Begitu pula prediksi- prediksi kita. Jadi, kita hidup dalam satu kehidupanpolitik yang suka terkejut- terkejut. Waktu itu. kan sehabis pemilu tiba-tiba reshuffle kabinet, itu kan juga keterkejutan juga.

Apakah presiden mendatang, siapapun orangnya, mesti membawa reformasi politik?

Ya. Siapapun yang menjadi presiden kalau dia masih mau melihat negeri kita tidak tercabik-cabik, maka dia harus melakukan deregulasi politik. Atau kita harus melakukan reformasi. Kalau tidak, peluang kita untuk tercabik-cabik, terkoyak-koyak makin besar. Berhubungan dengan masalah-masalah demokrasi dan ketidak-adilan, siapapun dia!

M. Ramadhani

*HIMMAH Edisi I/Thn. XXX/Oktober 1997

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail

Sejarah Aceh hampir tiga puluh tahun terakhir ini membuktikan kebenaran peringatan yang dicantumkan dalam mukadimah DUHAM Tiapuluh satu tahun yang silam. Tidak adanya penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang efektif, telah membuat masyarakat Aceh terpaksa memilih perlawanan bersenjata terhadap eksploitasi dan ketidakadilan yang ditimpakan pemerintah kepada Aceh. Berbagai upaya penyelesaian konflik secara militer tidak berhasil, dan hanya menambah penderitaan yang berkepanjangan bagi rakyat Aceh. Barulah dengan perjanjian Helsinki akhirnya konflik dapat diatasi, dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan demokrasi sebagai kerangka kerja politik bagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan sepenuh dan seutuhnya hak asasi manusia.

Dalam Nota Kesepahaman Helsinki tersebut dirumuskan: “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik , Indonesia”. (penebalan oleh penulis). Untuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum Nota Kesepakatan maka sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran Kebenaran akan dibentuk, dan untuk menjamin penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, Pemerintah RI mematuhi Kovenan Internasional PBB mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (butir 2.1, 2.2 dan 2.3). Sementara itu Konstitusi RI, melalui amandemen kedua (2000) telah pula memberikan pengakuan sepenuhnya terhadap semua hak asasi manusia, baik yang mencakup hak-haksipil dan politik dan hak ekonomisosial dan budaya dalam satu bab (IX ‘ A) yang berisi 10 pasal.

Mengapa keduanya (demokrasi dan hak asasi) begitu penting dan bagaimanakan korelasi antara demokrasi dan hak asasi? Sejarah panjang represi militer dan pelanggaran hak asasi di Aceh sebenarnya dalam dirinya sendiri dapat menjelaskanarti penting kedua hal itu dalam perjanjianini.JPengalaman empirik itu pulalah yang hendak digunakan penulis untuk menjelaskan korelasi demokrasi dan hakasasi. Secara konseptual, gagasan yang menyatakan bahwa warga negara memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam mempengaruhi proses politik atau menentukan bagaimana kekuasaan dijalankan itulah awal dari korelasi hak asasi dan demokrasi. Namun bagaimanakah sesungguhnya kaitan keduanya? Apa yang dimaksud dengan demokrasi berbasis hak asasi dan sebaliknya apa arti demokrasi bagi hak asasi?

Demokrasi berbasis hak asasi

Sejak beberapa dekadelalu telah dikenal luas gagasan mengenai “demokrasi substantif (sebagai lawan dari demokrasi prosedural) atau “demokrasi yang inklusif” atau “demokrasi berbasis hak asasi”. Semuaistilah itu menunjukan bahwa demokrasi dan hak asasi manusia bukan hanya saling melengkapi akan tetapi berada dalam satu kesatuan. Gagasan ini mengandung pengertian bahwa lembaga-lembagapolitik demokratik akan bekerja secara tidak efektif atau insufficient tanpa adanya pendasaran pada hak asasi manusia. Di sisi lain karena hak asasi mensyaratkan negara untuk mengimplementasikannya dan memberlakukannya, maka hanya negara demokratis yang dapat melakukannya. Tentu bukan negara yang otoritarian. Karena negara otoritarian hanya dapatterjadi dan bertahan melalui penyangkalan atas hak asasi.

Di bawah represi militer pada akhir 1970an dan pada saat penetapan status Daerah Operasi Militer/DOM antara 1980an-1990an, telah terjadi pelanggaran hak asasi yang sangat luas. Menurut International Crisis Group saja, antara 1989 dan 1998 terdapat sekitar 1000 hingga 3000 orang terbunuh, dan 900 -1400 hilang secara paksa, yang “ diduga kuat mati. Tentu dalam suasana yang serba tertutup jumlah pastinya sukar ditentukan. Namun, dibanding dengan angka-angka yang dikeluarkan oleh LSM-LSM Aceh jumlah ini masih sangat konservatif. Represi militer ini bukannya memadamkan tuntutan merdeka bahkan justru meningkatkan dukungan rakyat untuk merdeka seperti yang tampak pada gerakan referendum untuk merdeka.

Sebagaimana yang dicatat sebelumnya, perjanjian perdamaian itu menyepakati akan kesediaan tunduk pada perjanjian-perjanjian pokok hak asasi universal. Persis pada perjanjian-perjanjian internasional mengenai hak asasi tersebut, seperti pada pasal 21 DUHAM dan pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menunjukan bergabungnya demokrasi dan hak asasi. Di kedua pasal itu demokrasi seperti menjadi hak asasi dari setiap orang. Banyak pula ketentuan di dalamnya yang mengatur bahwasetiap pembatasan hak-hak tertentu harus dilakukan sepanjang ‘necessary in a democratic society” (sejauh dibutuhkan dalam masyarakat demokratis).

Kita temukan pentingnya prinsip itu dalam kehidupan bersama kita. Di Aceh (seperti wilayah Indonesia lainnya) menunjukan betapa berbagai pembatasan hak secara arbiter telah merenggut martabat kemanusiaan masyarakat. Sebagai contoh, hak menyatakan pendapat atas keyakinan politiknya maupun menyatakan pendapat lain (sebagai hak asasi) dibatasi dengan cara represif berupa penyiksaan dan penghilangan paksa. Pengalaman ini tentu menjadi pembelajaran untuk tidak diulang kembali — juga oleh penguasa baru siapapun di bumi Aceh, bahwa pembatasan hak hanyabisa dilakukan jika tidak bertentangan dengan demokrasi, dan untuk melindungi hak asasi yang lain. Regulasi-regulasi yang membatasi hak asasi seperti “pencemaran nama baik?” semakin kehilangan alasan untuk dipertahankan — sebagaimana tampak dari membanjirnya dukungan pada Prita. Seorang ibu rumah tangga yang baru-baru ini diajukan kepengadilan karena dia menggunakan haknya menyatakan pendapat yang mengkritik rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan baginya. Prita mendapat ratusan ribu dukungan dari masyarakat Indonesia melalui jaringan sosial internet.

Fakta-fakta ini mengundang pertanyaan mengenai bagaimana secara konseptual sesungguhnya hubungan demokrasi dan hak asasi? Dan apa yang telah tercapai dan masih perlu dimajukan dalam bumi Aceh berkenaan dengan kedua hal tersebut?

Tidak sedikit pihak yang melihat bahwa keduanyaseperti tidak berhubungan satu dengan yang lain. Per-definisi demokrasi berhubungan dengan persoalan pengorganisasian kekuasaan publik, sementara hak asasi berhubungan dengan pengutamaan manusia dan kondisi minimal untuk dapat hidup berkualitas. Demokrasi berurusan dengan persoalan internal, sementara hak asasi bersifat universal (dan perkembangan saat ini tunduk pada berbagai aturan internasional). Dalam ilmu-ilmu sosial, demokrasi dimasukan dalam ilmu politik sementara hak asasi pada ilmu hukum. Pandangan inipun tidak seluruhnya benar dan di berbagai kampusserta praktek politik mulai dipertanyakan dan dikoreksi.

Di banyak negara terdapat berbagai institusi demokrasi seperti pemisahan kekuasaan, pemilihan umum yang kompetitif, sistem multi partai dan parlemen. Institusi-institusi politik tersebut bisa ada dimana saja dengan bentuk yang beraneka ragam dan dengan penekanan yang berbeda-beda. Ambilah contoh partai politik dan pemilihan umum. Amerika Serikat mengenal sistem dwi-partai sedangkan benua Eropa lebih mengenal multipartai. Demikian pula dalam memilih kepala pemerintahan, ada yang dipilih oleh parlemen ada pula yang dipilih langsung. Di Aceh terdapatpartai politik lokal yang boleh mengikuti pemilhan umum lokal. Semuanya adalah upaya menjadikan priiSip demokrasi yakni kedaulatan (kratos) dari rakyat (demos) berwujud dan berfungsi sesuai dengan konteks masing-masing.

Namun, kita juga mertemukan di berbagai negara bahwa keberadaan berbagaiinstitusiinstitusi demokrasy dimanipulasi untuk tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Lopez melakukan studi yang menunjukan bahwa berbagai institusi demokrasi Yang ada di sejumlah negara Amerika Latin tidak menentukan ada tidaknya kekerasan dan teror. Terdapat negara dimanainstitusi demokrasinya eksis namun teror dan kekerasan terjadi hampir dari waktu ke waktu padahal jelas teror dan kekerasan bukan tujuan dari demokrasi. Kekerasan dan teror disebabkan oleh “ideologi keamanan nasional” yang ) sering berseberangan dengannilai-nilai demokrasi dan mengancam hak asasi manusia. Manipulasi lembaga-lembagapolitik terjadi pula pada zaman pemerintahan Orde Baru, sebagaimanakita ingat pemilihan umum tidak lebih dari upaya melegitimasi kekuasaan otoriter Suharto.

Keberadaan berbagai institusi demokrasi seperti partai politik, pemilu dan lembagalembagapolitik lainnya bukan ada hanya untukdirinya sendiri. Lembaga-lembagaitu ada karena alasan tertentu, yaitu karena dua prinsip dasar demokrasi: “kendali rakyat? (popular control) dan “kesetaraan politik” (political eguality). (Beetham, 1999). Kendali oleh warga negara atas persoalan-persoalan kolektif mereka, dan kesetaraan antara warga negara dalam melaksanakan kendali tersebut merupakanprinsip-prinsip kuncidari demokrasi.

Pembelajaran dari Aceh

Aceh, saat ini memiliki “pemerintahan sendiri” sebagai hasil dari pelaksanaan Nota Kesepakatan yang menjamin: “Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggerakan….untuk memilih Kepala Pemerintahan Aceh dan pejabat terpilih lainnya…” (butir 1.2.3). Sebelumnya, ditentukan pula bahwa: “rakyat Aceh berhak untuk mencalonkan (nominate) kandidat mereka untuk semuaposisi pemerintahan yang harus dilakukan melalui pemilihan? (butir 1.2.2). Sebuah upaya untuk menegaskan bahwa pemilu bukan sekedar pesta dan bukan partai politik yang menentukan melainkan rakyat. (Bandingkan dengan Aspinal, 2008).

Kenyataannyapun demikian. Pada Desember 2006, telah berlangsung pemilihan umum daerah dan terpilih gubernur dan wakil gubernur Aceh calon independen yangberasal bukan dari incumbent. Suara yang mereka peroleh sebesar 38Yo melampaui kandidat tandingan yang terdekat yang memperoleh 17”6. Disamping itu pada pemilihan bupatidi 19 kabupaten (dari 21) kandidat perorangan memenangkan 9 kabupaten. Pada pemilu legislatif 2009, partai politik lokal berhasil menjadi mayoritas pada parlemen mengalahkan partai-partai nasional yangtelah lama eksis.

Meskipun demikian, lembaga dan pengalaman itu masih harus diuji oleh kedua prinsip dasar tersebut di atas. Dititik inilah disamping lembaga-lembaga politik dan masyarakat sipil, hak asasi menjadi kerangka acuan yang penting bagi demokrasi, |(Beetham, 20021. Penjelasannya adalah sebagaiberikut.

Pertama, pada tataran hakekat. Seperti pada hak asasi manusia, yang menjustifikasi kedua prinsip dasar demokrasi (kendali warga atas urusan publik & kesetaraan politik) adalah nilai dan martabat manusia. Sejatinya setiap manusialah yang menentukan apa yang baik bagi hidupnya. Persis karena itu pula dalam kapasitasnya sebagai warga negara, ia berhak untuk ikut mendefinisikan dan memutuskan urusan-urusan kolektif yang mempengaruhi hidup mereka. Sebaliknya, negara harus akuntabel pada warga negaranya.

Kedua, padatataran teleologis. Jaminan hak-hak atas kebebasan berkeyakinan, bergerak, berekspresi, berkumpul dan berorganisasi merupakan syarat yang diperlukan bagi warga agar suara dan keterlibatan mereka dalam urusan-urusan publik efektif. Sulit dibayangkan warga terlibat dalam urusan publik tanpa jaminan atas kebebasan-kebebasantersebut. Gerakan “referendum” yang dilakukan pada tahun 1999, merupakan bukti akan pentingnya ada jaminan hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak asasi memberdayakan warga negara ketika mereka secara kolektif berkumpul untuk menyelesaikan problemproblem mereka, atau ketika hendak melindungi dan memperjuangkan kepentingankepentingan mereka, atau dalam meyakinkan sesama warga negara dalam mempengaruhi kebijakan negara. Hak-hak untuk bebas dari penyiksaan, penangkapan secara semenamena dan proses hukum yang berkeadilan memberi jaminan tiadanya kesewenangwenanganatas diri warga.

Ketiga, kesetaraan politik yang diekpresikan dalam diktum “satu orangsatu suara” mensyaratkan adanya kesempatan yang sama dari setiap warga untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan pada persoalan-persoalan yang mempengaruhi hidup mereka. Prinsip ini mensyaratkan sikap non-diskriminatif, yang merupakan norma dasar dari hak asasi, yaitu bahwa setiap manusia memiliki hak dan kebebasan yang sama. Hal ini antara lain diakui dalam International Bill of Human Rights (DUHAM, Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang menyatakan bahwa setiap manusia tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat dan keyakinan politik, asal usul, kelahiran dan status lainnya. Non-diskriminasi mendasari kesetaraan politik warga negara — ketika mereka melaksanakan kendali atas persoalan-persoalan kolektif mereka.

Oleh karena itu demokrasi tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia termasuk dari tanggung jawab untuk menghormati hak dan kebebasan sesama warga, persis karena hak asasi merupakan kondisi yang diperlukan bagi keterlibatan rakyat dalam urusan publik secara efektif, dan agar kendali rakyat terhadap pemerintah terjamin. Beetham menggambarkannyaseperti gambar berikutini:

Dengan proses dan lembagapolitik yang ada, Aceh memilikipotensi sekaligus tantangan untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi. Jaminan legaldan kesepakatan politik untuk itu telah ada baik di dalam MoU dan UU PemerintahanAceh. Pengungkapan kebenaran atas berbagai pelanggaran hak asasi menjadi agenda benting untuk segera direalisasikan, bukan hanya untuk memenuhi hak-hak korban yang telah di abaikan selamaini, tapi juga untuk perobahan dan kebijakan yang mencegah kejahatan yang sama terjadi di masa mendatang. Demikian pula berbagai peraturan yang bertentangan dengan hakasasi, yang . telah ditetapkan pada pemerintahan sebelumnya, perlu segera di-review. Nota Kesepakatan Helsinki secara tegas memandatkan agar: Legislatif Aceh merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. ( butir 1.4.2) Sebuah tantangan yang besar yang harus dijawab. Tindakantindakan itu akan memperkuatproses demokrasi yangtelah berjalan di Aceh.

Pentingnya hak asasi bagi demokrasi tidak hanya berlaku pada hak-hak sipil politik namun juga pada hak-hak sosial ekonomi. Jika demokrasi lebih banyak dilihat berelasi dengan hak-hak sipil dan politik, semata karena hak-hak ini yang paling kasat mata memiliki hubungan pada proses pengambilan keputusan dan proses-prosespartisipatoris. Namun, hak itu mungkin tidak mempunyai banyakarti bagi seorang ibu yang bersama putra putirnya kelaparan atau yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak. Mereka memerlukan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dan pengembangan diri tersebut. Hak-hak sosial ekonomi seperti pendidikan, pangan, kesehatan dan pekerjaan memberi kemampuan warga untuk menggunakan hak-haksipil politik.

Jaminan hak-hak sosial ekonomi perlu bagi demokrasi, pertama, agar warga negara memiliki sumber daya yang cukup untuk menggunakan kebebasan dan hak-hak sipil politik tersebut. Dan kedua, pada gilirannya untuk terlibat mengendalikan urusan-urusan kolektif. Hak-hak sosial ekonomi memberi kapasitas warga negara untuk menjadi agen demokrasi. Lihatlah petani sebagai contoh. Pelanggaran hak-hak petani selama berpuluhpuluh tahun atas tanah dan reformasi agraria, sebagaimana yang dilindungi oleh pasal 11 Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya (KIESB| telah mengurangi ..efektifitas petani dalam berpartisipasi dalam urusan publik terutama yang menyangkut kepentingan mereka. (Deklarasi Petani, 2002) Kedua hak-hak ini penting karena tanpa jaminan atas hak sosial ekonomi, maka yang terjadi adalah menghilangnya kualitas hidup publik. Ketiga, tiadanya pemenuhan hak-hak sosial ekonomi akan menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnyasikap-sikapintoleransi dan kebijakan-kebijakan yang represif. Hal ini berarti terkikisnya institusi-institusi demokrasi. (Beetham, 2002)

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintahan Aceh untuk melihat kembali i sejauh mana kemampuan wargatelah ditingkatkan? Apakah kinerja kelompok-kelompok ekonomi kuit yang ada telah menyingkirkan warga? Hal ini penting karena perjanjian perdamaian itu juga mengharapkan dipenuhinya hak-hak dasar sehingga kemiskinan dapat dikurangi kalau bukan dieliminasi — baik melalui pembagian pendapatan (7094 — 30Y9), pemilihan umum dan representasi yang bermakna. Pengalaman Aceh menunjukan bahwa persis karena tiadanya akses warga akan sumber-sumberdayasosial, politik dan ekonomi makatercipta penderitaan panjang dan potensi konflik berdarah.

Salah satu persoalan yang dialami proses demokratisasi di Indonesia sejak reformasi 1998, adalah persoalan representasi semu. Survey nasional yang dilakukan Demos dua kali (2003/04 dan 2007/08) menunjukkan bahwa meskipun kebebasan sipil berkembang sangat maju termasuk berhasil menyelenggerakan pemilu dan pemilihan presiden secara demokratis, namun kepentingan masyarakat (khususnya masyarakat miskin, petani, buruh dan miskin kota) tidak terwakili dalam perumusan kebijakan publik. Persoalan ini juga memperparah persoalan defisit demokrasi, dimana disatu pihak terdapat kemajuan proseduraltetapi di pihak lain masalah-masalah substansialtertinggal, seperti penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Nampaknya dengan adanyapartai politik lokal dan calon independen persoalan ini -secara tedfitis – akan lebih mudah diatasi di Aceh dibandingkan dengan wilayah lainnya dari Indonesia. Hanya dengan representasi yang sejati maka kepentingan masyarakat akan menjadi pertimbangan yang pertama dan utama dari perumusan kebijakan-kebijakan publik. Tentu saja hal ini masih akan dibuktikan dalam masa-masa mendatang, apakah dengan kemenanganpartai lokal dan calon independen, maka kebijakan-kebijakan publik sepenuhnya disusun sesuai dengan kepentingan masyarakat Aceh. Kebijakan-kebijakan yang pada hakekatnya ..adalah dalam upaya untuk memenuhi hak asasi setiap orang di Aceh dan sekaligus menghormati dan melindunginya.

Sejarah dari berbagai bangsa telah membuktikan bahwa hanya dengan kerangka kerja politik demokrasi maka hak asasi manusia dapat dimajukan dan dilindungi secara efektif. Hubungannya secara empirik menunjukan dengan terang benderang bahwa demokrasi dan hak asasi manusia saling memperkuat. Lebih jauh Deklarasi Viena (1993) menyatakan: ” Demokrasi, pembangunanserta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebashnasasi saling bergantung( interdependent) dan saling memperkuat ( mutual reinforcing). (butir 8)

Oleh karenanya banyak pihak di Indonesia dan di luar negeri melihat ke Aceh, dengan penuh perhatian bertanya: apakah dalam waktu yang tidak terlampau lama Aceh dapat membuktikan kebenaran adagium itu?

Banda Aceh, 9 Desember 2009

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
Older Posts