HAM & Pembangunan

HUKUM, KEADILAN DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA

PENDAHULUAN

Pembahasan subtema ini dilihat dengan fokus HUKUM, KEADILAN dan HAK-HAK ASASI MANUSIA, di mana ketiga hal tersebut akan terus menerus menjadi faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan.

Pembangunan adalah proses politik, ekonomi, sosial dan budaya vaat komprehensip yang bertujuan untuk secara terus menerus meningkatkan kesejahteraan segala aspek kehidupan Seluruh masyarakat dan tiap orang, yang didasarkan kepada partisipasi penuh, aktip dan bebas serta pembagian yang adil dari manfaat yang dihasilkannya.

Hak untuk Pembangunan Adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, dengan mana setiap orang dan semua masyarakat berhak berpartisipasi, memberi sumbangan, dan menikmati hasil pembangunan ekonomi, sosial , politik dan budaya, sehingga semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar dapat sepenuhnya diwujudkan.

Dalam kerangka yang demikian Pembangunan Hukum bukan saja merupakan bagian integral dari pembanngunan nasional untuk mewujudkan tujuan pembangunan, tapi juga berfungsi sebagai landasan pengarah dan pengawas pembangunan.

Meskipun Indonesia merdeka telah memasuki usia ke 50 tahun, dan pembangunan 25 tahun perrtama telah dilaksanakan, ternyata berbagai masalah di bidang Hukum, Keadilan dan HAM masih belum diatasi. Masalah-masalah ini bersifat pokok yang, bila tidak diatasi dalam waktu yand tepat dan cara yang benar, akan menimbulkan gejolak-gejolak yang akan mengancam masa Gepan bangsa Indonesia. Urgensi intuk mengatasi masalah-masalah pokok tersebut juga berhubung dengan tantangan globalisasi.

Karena meskipun kita bersyukur bahwa perang dingin telah berakhir, sehingga kita lepas dari tekanan dan tarikan dari Barat dan Timur. Namun tantangan yang kita hadapi dalam era baru tidaklah semakin kecil. Pengintegrasian Indonesia ke pasar bebas dunia (GATT, APEC) bila tidak dihadapi dengan kesiapan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya justru akan memperbesar masalah-masalah ketidakadilan, hukum dan HAM khususnya bagi masyarakat lapisan bawah.

MASALAH DAN KECENDERUNGAN

Sudah hampir merupakan klise bahwa Pembangunan di samping membawa harapan-harapan baru juga membawa keprihatinan-keprihatinan. Membawa kemajuan-kemajuan tapi juga masalah-masalah baru, di samping bebagai masalah lama yang belum sepenuhnya dapat diatasi.

Secara khusus KGM VI PGI tahun 1993 telah menguraikan berbagai masalah pokok yang kita hadapi dalam penghujung abad 20 ini. Masalah-masalah itu adalah menyangkut HUKUM KEADILAN dan HAK ASASI MANUSIA, yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Masalah ketidakadilan di berbagai sektor kehidupan masyarakat.

    Kehidupan ekonomi hanya mengambangkan sekelompok kecil pelaku ekonomi dan meluasnya praktek monopoli dan nepotisme kekuasaan ekonomi. Dengan mengatasnamakan pembangunan, keadilan terhadap rakyat yang tergusur dari tanahnya sering terabaikan. Industri-industri yang mencari tanah murah dan buruh murah, senantiasa dapat mengalahkan aspirasi dan kepentingan rakyat (petani/buruh) menyangkut keadilan.

    Pada bidang politik, ketidakadilan ini terasa manakala, baik supra struktur (pemerintah) maupun infra struktur politik selalu memiliki penafsiran yang berbeda menyangkut demokrasi Pancasila (ada standar ganda). Dalam hal penafsiran dan praktek yang berbeda ini, pemerintah selalu menjadi penentu, karena kekuasaan yang terlalu terpusat padanya.

    Dengan demikian masih terjadi penyalahgunaan kekuasaan serta pengingkaran terhadap HAM. Pola-pola penjajahan di bidang politik yang demikian, mengakibatkan belum terwujudnya kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan secara lisan maupun tulisan sebagaimana dijamin oleh konstitusi.

  2. Masalah hukum dan pelaksanaan hukum

    Masih terdapatnya hukum-hukum yang merupakan warisan kolonial di samping produk hukum jaman kemerdekaan, yang dirancang semata-mata untuk kepentingan penguasa, yang mengabaikan keadilan, kebenaran dan kasih. Sementara di pihak lain begitu cepat dan tidak terkendali intervensi perangkat hukum, khususnya di bidang ekonomi keuangan dan industri yang berasal dari negara-negara, industri maju (baca: negara-negara kapitalis) yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.

    Selain itu, proses perancangan hukum sendiri selama ini tidak transparan dalam arti masyarakat ikut secara penuh berpartisipasi. Dengan demikian, senantiasa ada pertentangan berbagai materil hukum maupun peraturan yang dikeluarkan dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat (bahkan telah menjadi moral masyarakat).

    Campur tangan pemerintah terhadap lembaga-lembaga peradilan masih begitu nyata. Sementara, sesungguhnya lembaga-lembaga tersebut dipelihara kedudukannya agar tetap mandiri, bersih, jujur dan berwibawa.

  3. Kedudukan pemerintah menyangkut lembaga keagamaan.

    Kedudukan ini menjadi masalah sehubungan dengan implementasi dari UU Keormasan yang mengharuskan lembaga-lembaga keagamaan seperti gereja memiliki posisi dan status yang sama dengan organisasi-organisasi masa lainnya. Dengan praktek sedemikian, urusan internal lembaga-lembaga keagamaan berdasarkan interpretasinya terhadap undang-undang keormasan dimaksud. Kita melihat, institusi-institusi extra judicial maupun extra konstitusional sangat dikedepankan dalam menangani masalah lembaga-lembaga keagamaan ini. Akibatnya adalah, lembaga-lembaga keagamaan yang seakan tidak memiliki “wibawa kerokhanian” serta tidak diakui kekhususannya dibanding dengan ormas-ormas lainnya.

    Dalam keadaan yang demikian pemberlakuan peraturan-peraturan yang menghambat pendirian rumah ibadah telah menimbulkan ketidakadilan.

    Bila dilihat dalam konstalasi hubungan pemerintah dan masyarakat, maka masalah-masalah di atas adalah menyangkut perlakuan pemerintah terhadap hak-hak asasi manusia baik secara individu maupun kolektif (masyarakat). Dengan melihat praktek pembangunan selama lebih kurang 25 tahun ini, dapat dikatakan pemerintah dan rakyat berada pada hubungan yang timpang, hubungan yang asimetris

DAMPAK ATAU KENISCAYAAN DARI STRATEGI PEMBANGUNAN

Salah satu pertanyaan pokok yang perlu dijawab ialah apakah masalah tersebut hanya merupakan dampak negatip dari strategi dan arah pembangunan yang dilaksanakan selama ini, atau merupakan satu keniscayaan. Sekiranya hanya merupakan dampak, maka tugas kita sedikit lebih ringan dalam arti, yang diperlukan hanya koreksi dan peningkatan dalam aras pelaksanaan, sehingga dampak negatip dapat diminimalisasi. Tetapi bila lebih dari pada dampak maka yang dibutuhkan adalah, lebih dari koreksi, yakni pembaharuan. Pembaharuan terhadap arah dan strategi pembangunan.

Sejak awal 1970-an gugatan terhadap strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi sudah sering dikemukakan (termasuk dengan cara yang keras). Strategi “memperbesar kue nasional” serta teori “trickle down effect” amat diragukan, bilamana dari sejak awal, tidak ada jaminan yang efektif dan aman atas akses masyarakat terhadap sumber daya yang dikelola dalam memproses pertumbuhan ekonomi. Sebab yang akan terjadi adalah bila “Kue nasional” telah membesar hanya sebagian kecil dari masyarakat yang akan menikmatinya, karena akses yang tidak merata. Inilah masalah besar yang kita hadapi dewasa ini.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama 25 tahun itu, ternyata diikuti oleh semakin menganganya disparitas antar region dan sektor, antar sekelompok kecil masyarakat dengan bagian terbesar dari masyarakat, karena efek cucuran ke bawah tidak terjadi.

Usaha yang mencoba melakukan koraksi dengan berbagai instrumen yang bersifat komplementer ternyata tidak memberikan arti yang besar. Sebagai contoh instrumen 8 Jalur Pemerataan. Begitu juga dengan instrument INPRES IDT akan membawa hasil yang diharapkan atau tidak akan dibuktikan dalam beberapa tahun ini.

Sementara prakarsa masyarakat tidak cukup memperolah peluang berhubungan dengan sempitnya ruang gerak yang ada. Partisipasi masyarakat lebih terlihat sebagai mobilisasi. Sedangkan partisipasi yang bebas dilihat sebagai kelainan, bahkan dianggap sebagai ancaman.

Berbagai prakarsa dan usaha masvarakat untuk memperjuangkan kepentingan di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya bahkan agama, sering kandas karena pbendekatan keamanannya yang diterapkan bahkan dengan cara-cara kekerasan.

Kita sepenuhnya sepakati bahwa untuk davbat mejaksanakan pembangunan diperlukan Stabilitas nasional, namun apakah untuk mempertahankan stabilitas tersebut pendekatan keamanan adalah satu-satunya alternatip?

Berbagai pelanggaran HAM, penyelewengan hukum dan berbagai ketidakadilan sulit dikoreksi karena penggunaan kebijakan dan pendekatan keamanan yang ekstensif dan intensif dalam semua segi kehidupan masyarakat, dan berlangsung puluhan tahun.

Kita mempunyai daftar panjang dari berbagai bentuk ketidakadilan, yang menyangkut akses rakyat terhadap tanah, hak-hak dasar dari buruh, kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat.

Dari berbagai laporan dan pemantauan terhadap pelanggaran HAM ditemukan bahwa faktor pendekatan keamanan merupakan faktor utama terjadinya pelanggaran HAM. Memang faktor-faktor lain turut berpengaruh, seperti tingkat kesadaran, ketidakpastian hukum, kapasitas aparatur negara, kemiskinan dst.

Khususnya pada pelanggaran berat dan kasar (gross violation) terjadi karena praktek pendekatan keamanan. Pelanggaran terhadap hak-hak yang tak dapat dikecualikan (Non-derogable rights) yakni hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang dan hak mendapatkan peradilan yang tidak memihak tidak dapat kita benarkan dengan alasan partikularis, berhubung dengan latar belakang, tradisi dan tingkat pembangunan yang dicapai.

Adalah satu kesalahan besar dengan alasan untuk mengamankan pembangunan, ada manusia Indonesia yang disiksa, ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, atau ada manusia Indonesia yang, harus dihilangkan. Kita akan menolak persepsi yang meletakkan pembangunan sebagai tujuan, karena pembangunan justru merupakan jalan untuk dapat dihormati dan dilindunginya HAM.

Dari sejak awal kemerdekaan para perdiri Republik telah menyadari bahwa betapa mulianya pun tujuan darr i satu negara, maka penyeleng- garaan negara tidak boleh didasarkan kepada kekuasaan belaka. Karena sejarah peradaban manusia telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak BGiawasi, dikendalikan dan dibatasi akan membawa bencana. Kekuasaan negara itu harus ditundukkan kepada hukum.

Sejarah peradaban manusia juga menunjukkan bahwa penyelenggara kekuasaan negara (Pemerintah) tidak selalu dengan sendirinya tunduk kepada hukum. Rakyat yang berdaulat yang menjaga agar penguasa senantiasa tunduk kepada hukum, dan sewaktu-waktu rakyat dapat menggunakan kedaulatannya untuk mengoreksi bahkan mengganti penyelenggara kekuasaan negara yang tidak tunduk pada hukum. Sehingga jelas negara hukum dapat terselenggara hanya dengan tegaknya kedaulatan rakyat, Asas Kedaulatan Rakyat ini secara terang benderang dimuat dalam UUD 45.

Dengan demikian petanyaan yang mendesak ialah apakah Kedaulatan Rakyat telah terselenggara dengan tepat sehingga penyenggara kekuasaan negara dapat diawasi secara efektif, agar dengan demikian kekuasaan negara tersebut sepenuhnya digunakan untuk menegakkan keadilan dan melindungi HAM.

KGM VI menyatakan: “monopoli kekuasaan politik dan ekonomi harus segera dihindari. Karena itu fungsi hukum untuk mengendalikan kekuasaan harus diwujud-nyatakan sehingga, keadilan, kebenaran dan kasih dapat dirasakan secara adil dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia”. Hal ini hanya akan mungkin terjadi bila penyelenggaraan Kedaulatan Rakyat dapat terlaksana secara efektif, Tanpa itu pernyataan di atas akan tinggal sebagai bernyataan belaka dan mustahil diwujudkan.

Dengan latar belakang pemikiran yang demikian kita dapat memahami pemikiran-pemikiran pembaharuan yang berusaha mewujudkan Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum secara penuh, antara lain:

  • Kekuasaan yang lebih besar bagi Mahkamah Agung untuk melakukan hak uji material (judicial review) terhadap undang-undang (dan tentu peraturan hukum yang lebih rendah). Serta dibebaskannya badan peradilan dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.

    KGM VI mencatat bahwa masih terdapatnya UU baik produk jaman penjajahan maupun produk jaman kemerdekaan yang bertentangan dengan konstitusi, yang perlu segera diganti. Dengan hak uji material maka MA dapat secara bertanggungjawab menyatakan produk hukum yang demikian tidak berlaku lagi
  • Redefinisi peranan ABRI, agar dengan peranan ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kehidupan demokrasi semakin berkembang, keadilan semakin dirasakan oleh seluruh masyarakat dan penghormatan dan perlindungan HAM semakin terwujud.
  • Diperluasnya ruang gerak bagi prakarsa dan partisipasi masyarakat di bidang politik, dengan meninggalkan kebijakan massa mengambang serta kebijakan “pembinaan” dan pendekatan keamanan.

Selama kebijakan massa mengambang dilaksanakan, maka partai-partai politik tidak dapat secara sungguh-sungguh menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya. Pengembangan organisasi rakyat yang bebas tidak dapat terjadi sehingga partisipasi dan prakarsanya juga terkekang. Kebijakan dan instrumen “pembinaan” oleh pemerintah pada prakteknya menjadi alat untuk mengontrol organisasi politik, organisasi masyarakat, organisasi profesi bahkan organisasi keagamaan. Dalam kedudukan kemitraan, tidaklah pada tempatnya satu pihak (pemerintah) diberi posisi superior (pembina) dan pihak (masyarakat) lainnya pada posisi inferior (yang dibina).

Kedudukan yang tidak seimbang inilah organisasi masyarakat kehilangan kebebasannya. Dengan alasan pembinaan, campur tangan Pemerintah dalam urusan intern organisasi masyarakat/rakyat hendak dibenarkan.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya pendekatan keamanan perlu segera diganti dengan pendekatan kesejahteraan.

Berhubungan dengan penegakan HAM, diperlukan dengan segera pemberlakuan instrumen HAM Internasional melalui ratifikasi, khususnya yang menjamin Hak-Hak yang tak dapat dikecualikan (non-derogable rights). Hak-hak dasar lainnya seperti kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat tidak akan mungkin terselenggara dengan baik bilamana praktek penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang masih dapat terjadi, dan aparatur negara yang melakukan pelanggaran ini tidak mendapat hukum yang setimpal.

PERAN GEREJA DALAM PEMBAHARUAN KEHIDUPAN BANGSA DAN NEGARA

Pembaharuan tersebut tidaklah “given”, sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi suatu usaha bersama dari masyarakat Indonesia dalam “proyek besar” pembangunan Indonesia.

Sebagai bagian dari bangsa, Gereja, merumuskan peran profetisnya untuk memperjuangkan dan menegakkan keadilan, kebenaran dan kasih. Tugas peran ini dilakukannya bersama-sama dengan kelompok dan golongan dalam masyarakat tanpa menbedakan latar belakang keyakinan politik, agama, ras dan budaya.

Dokumen-dokumen Geraja terutama sejak SR VII/1971 telah merumuskan peranan itu secara jelas, namun pada tataran praksis kita masih menemukan berbagai kesulitan. Gereja masih harus menjawab berbagai pertanyaan berhubung dengan pelaksanaan tugas profetis itu, tanpa terjerumus pada praktek-praktek partai politik, tapi di pihak lain tugas profetisnya sungguh melahirkan pembaharuan. Memang gereja bukanlah partai politik dalam pengertian Gereja berusaha membangun kekuatan dan menggerakkan kekuatan tersebut untuk mencapai misinya.

Sebagi contoh pertanyaan: Apakah yang harus dilakukan oleh Gereja ketika baru-baru ini Pemerintah tanpa proses peradilan mencabut SIUPP dari 3 media pers nadional? Pertanyaan ini timbul mengingat pertanyaan KGM V 1989 yakni: “di masa yang akan datang tindakan seperti, pengekangan, ancaman, pembredelan dan pencabutan SIUPP oleh Pemerintah tanpa proses peradilan harus dihentikan.

Begitupun pertanyaan tentang langkah-langkah apakah yang harus dilakukan gereja untuk mewujudkan salah satu pernyataannya dalam KGM VI 1993 bahwa “Sudah tiba saatnya destigmatisasi status dari saudara sebangsa yang terlibat dalam kemelut politik 1965 dan keluarga-keluarga mereka sebagai pengejawantahan sila Peri Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

Kita menyadari bahwa jawaban atas pernyataan itu tidaklah sederhana, namun harus kita jawab, karena begitu banyak pemikiran dan suara nabiah yang telah kita dokumentasikan sebagai hasil pergumulan kita pada tingkat lokal, regional, nasional dan global.

Saya hampir yakin bahwa sejak awal kita tidak punya maksud untuk menempatkan pemikiran dan suara nabiah gereja hanya sebagai dokumen.

Kita telah mencoba menjawab pertanyaan ini sejak tahun 1962 dengan rumusan: “Gereja dalam menjalankan tugas panggilannya harus bersikap Positip, Kreatip, dan Realistis.”

Rasanya belumlah terlambat melengkapi 4 sikap di atas dengan sikap siap menderita. Kesiapan gereja untuk menderita karena memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kasih. Kesiapan menderita karena ketaatannya kepada Allah.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail

Opini oleh Asmara Nababan

Setelah dalam beberapa dekade ini berada dalam sebuah rejim otoriter yang secara sistematis juga mengandung banyak pelanggaran hak asasi manusia, maka pada saat yang serba transisi ini, bangsa Indonesia kembali membangun sebuah harapan baru. Satu harapan bagi terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang demokratis dan semakin dihormatinya hak-hak asasi manusia.

Bagaimana mencapainya? Bagaimana dengan kasus-kasus masa lalu yang belum selesai, termasuk tumpukan kasus pelanggaran hak asasi manusia? Apakah kasus-kasus tersebut akan diselesaikan dan pelakunya dihukum atau dibiarkan berlalu begitu saja?

Salah satu upaya untuk menyelesaikan situasi tersebut adalah melalui proses transitionaljustice. Sebuah upaya untuk membawa keadilan pada rakyat dalam satu periode transisi. Sebuah proses yang menghendaki adanya perbaikan dalam mekanisme hukum dan politik, perundang-undanganserta aparat negaranya yang selanjutnya akan membawaikutan meningkatnya demokrasi yang berkualitas.

Melalui transitional justice diharapkan dapat pula diselesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia pada rejim lalu, serta adanya sebuah upaya pemulihan bagi para korban dan keluarganya, disamping untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi manusia pada masa yang akan datang. Namun tentu saja semuanya itu memiliki dimensi-dimensi politik, sejarah, hukum, psikologi serta moral yang cukup kompleks. Seperti misalnya di Indonesia, derajat militerisasi dan kekuatan masyarakat warga serta opini publik pada setiap kasus juga memiliki implikasi pada proses transitionaljustice.

Bagaimana transitional justice itu dilakukan? Pengadilan kilat (summaryjustice), pengadilan rakyat ataupun ‘pengadilan jalanan’ bukanlah jawabannya karena akan menimbulkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia baru. Transitional justice dapat mengambil beberapa bentuk seperti criminal sanctions, noncriminal sanctions, ataupun dengan pemberian amnesti. Ketika Presiden Abdurahman Wahid menyatakan bahwa nama Irian Jaya berubah menjadi Papua sebenarnya dapat dikatakan sebagai bagian dari proses transitionaljustice dalam dimensi moral justice. Namun sayang sekali hal tersebut tidak kemudian ditindaklanjuti dengan melegitimasinya secara hukum sehingga hanyabersifat retorika belaka.

Dalam pelaksanaannya,transitionaljustice bukannya tidak membawategangantegangan lain. Ketika harus berhadapan denganprinsip ex postfacto dan nullum delictum nulla poena sine lege (tidak ada suatu perbuatan sebagai tindak pidana, kecuali terlebih dahulu dinyatakan sebagai tindak pidana dalam UU, atau tidak diberlakukannya ketentuan kadaluwarsa) maka dalam proses transitional justice nampaknya akan sulit untuk ‘membawa’ ke pengadilan mereka yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia pada masa yanglalu. Proses transitionaljustice juga akan mengalami hambatan untuk dilakukan jika infrastruktur yang ada untuk menegakkan keadilan tidak memadai, seperti misalnya perundangan-undangan, mekanisme hukum dan politik serta aparatnya masih mengabdi pada rejim yang lama. Pada masa peralihan ini, (sejalan dengan yang dikemukan Huntington dalam Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Rejime vol. I) di Indonesia yang terjadi adalah proses transplacement bukan replacement, sehingga kondisi yang ada sekarang ini adalah masih tegdapatnya bagianbagian dari rejim lama, baik personel maupun lembaganya dalam sistim hukum dan politik.

Membiarkan kebenaran untuk dibuka adalah merupakan salah satu aspek terpenting dalam proses transitional justice. Dengan memberikan ruang bagi diungkapkannya kebenaran dan keadilan bagi kejahatan yang dilakukan oleh rejim terdahulu melalui lembaga kebenaran dan rekonsiliasi adalah sebuah alternatif. Dalam pandangan ini, mengadili dan menghukum para pelaku pelanggar hak asasi manusia di masa lalu adalah bukan sebuah bagian esensial. Namun yang terpenting adalah mengecam pelanggaran-pelanggaran yang telah mereka lakukan dan menarik garis tegas antara rejim lama dan rejim yang baru. Upaya ini mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak, khususnya para korban dan keluarganya, namun dapat menjadi sebuah jalan pilihan bagi rekonsiliasi dan terbangunnya kembali sebuah bangsa. Kita memaafkan namun tidak melupakan pelanggaran hak asasi manusia di masalalu.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail

Pendahuluan

Penegakanatau tepatnya perlindungan hak asasi manusia sejak tahun 1999 telah diperkuat dengan perlindungan legal melalui UU 39/1999 dan bahKejagungn mendapat perlindungan konstitusional dengan amandemen ke-2 UUD 1945 tahun 2000. Dalam amandemen tersebut 10 pasal baru dirumuskan yang memuat pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu adalah satu hal sudah seharusnya bagi kejahatan berupa pelanggaran berat hak asasi manusia dibentuk pengadilan yang khusus untukitu, yakni: Pengadilan Hak Asasi Manusia( Psl. 104, UU 39/1999) yang diatur dengan UU 26/2000.

Meskipun UU 26/2000 baru di undangkan tanggal 23 November 2003, namun Penyelidik sebagai langah pertama dalam proses peradilan hak asasi manusia telah dilakukan sejak tahun 1999 dalam kasus Timor Timur dan kasus Tanjung Priok tahun 20007. Kasus Timor Timurtelah selesai diadili oleh Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim pada tingKejagungt pertama pada tanggal 5 Augustus 2003, dan Kasus Tanjung Priok berKejagungsnyatelah diserahkan penuntut ke pengadilan tanggal 19 Augustus 2003. Selain itu Kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura tahun 2000, akan segera diadili di Pengadilan HAM Makasar. Laporan Penyelidik Kasus Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2 (TSS) yang dilakukan oleh Komnas HAM masih terkatung-katung di tangan Kejagung RI. Sementara penyelidikan lainnya oleh Komnas HAM yang masih berlangsung adalah Kasus Kerusuhan Mei 1998. Seluruh proses tersebut di atas memberi kesempatan kepada usaha untuk menarik berbagai pelajaran menyangkut perbaikan bagi perlindungan hak asasi manusia di masa depan, dan secara khusus untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam UU 26/2000.

Tahap Penyelidik:

Komnas HAM adalah satu-satunya institusi yang memulai proses prosekusi dengan melakukan penyelidikan dalam hal dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik atas kejahatan yang terjadi sebelum dan sesudah UU 26/2000 diundangKejagungn. Dari beberapa Penyelidik pro justicia yang dilaku Kejagung oleh Komnas HAM makakesulitan utama yang ditemukan dapat diuraikan sbb:

  1. Penafsiran pasal 43 UU 26/2000
  2. Penyelidik Komnas HAM telah dua Kejagungli terhambat dalam meminta keterangan dari anggota TNI termasuk purnawirawannya, yakni dalam Kasus TSS dan Kerusuhan Mei. . Mereka menolak hadir dengan alasan bahwaproses penyelidikan oleh Komnas HAMuntukpelanggaran berat hak asasi manusia sebelum UU 26/2000 baru dapat dilakukan bila Pengadilan HAM Ad hoc telah terbentuk. Alasan ini mulai dikemukakan ketika Pansus DPR Kasus TSS merekomendasikan bahwa dalam 3 peristiwa itu tidak ada pelanggaran berat hak asasi manusia. DPR memang telah melampau kewenangannya dengan memberi pendapat yang bersifat judicial, tetapi argumentasi yang dikemukan oleh anggota TNI menolak hadir memberi keterangan untuk keperluan penyelidikan merupakan obstrtuction of justice. Karena penyelidikan oleh Komnas HAM barulah tahap untuk mencari bukti permulaan yang cukup tentang ada tidaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat ( Psl 20). Sehingga bila disyaratkan dulu adanya Bengadilan HAM Adhoc baru dapat dilakukan penyelidikan , maka Pengadilan itu bisa tak berguna, karena belum tentu diperoleh bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran berat hak asasi manusia dalam tahap penyelidikan untuk di ikuti dengan penyidikan.

    Pengadilan HAM Ad hoc diusulkan oleh DPR untuk dibentuk menurut penjelasan Psl 43 “..mendasarkan pada dugaantelah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Dugaan ini justru baru ada bila telah ada penyelidikan! Keputusan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Adhoc sejatinya adalah keputusan politik. Hal ini juga sejajar dengan praktek internasional dimana keputusan pembentukan pengadilan ad hoc international dilakukan oleh Dewan Keamanan PBBsetelah ada dugaantelah terjadinya kejahatan yang serius berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB.

  3. Sub-poena power
  4. Kewenangan Komnas HAMuntuk memanggil seseorang dengan upaya paksa diatur dalam Psl 95, UU 39/1999, namun penjelasan pasal ini Psl 95 menjelaskan bahwa pemanggilan paksa didasarkan pada Psl 140 (1) dan (2), Psl 141 (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) atau pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura. Kedua ketentuan perundang-undangan ini bersifat perdata, dan bila yang bersangkutan tetap tidak menuruti perintah pengadilan maka kepadanya hanyadijatuhkan denda. Pada hal dalam konteks pelanggaran berat hak asasai manusia, yang diselidiki adalah kasus pidana! Bandingkan dengan sanksi yang dikenakan pada seseorang yang tidak bersedia hadir bila dipanggil oleh DPR untuk diminta keterangannya. Dalam UU Susduk DPR , mereka yang menolak memenuhi panggilan dari DPR diancam kurungan..hari.

  5. Konflik Jurisdiksi
  6. Dalam Kasus pembunuhan kilat relawan RATA di Aceh oleh aparat keamanan, Desember 2000. Komnas HAM memutuskan akan melakukan Penyelidik sesuai dengan kewenangannya yang diatur oleh UU 26/2000 Karena mendugatelah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Rencana tersebut terpaksa dibatalkan karena kasus tersebut telah selesai disidik oleh Polri dan berkasnya telah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Aceh. UU 26/2000 tidak mengatur dengan jelas bila terjadi hal yang demikian, apakah Komnas HAM masih dapat melakukan penyelidikan, serta meminta pengalihan perkara dari Kejaksaan. Komnas HAM juga tidak punya kewenangan untuk memerintahkan pihak kepolisian untuk menghentikan penyelidikan atau penyidikan yang dilakukan dalam satu perkara, bilamana Komnas HAM mendugatelah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia.

Tahap Penyidikan dan Penuntutan

Penyidikan perkarara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk pelaksanaan tugas tersebut dapat diangkat penyidik ad hoc (Psl 21 (1,3) UU 26/2000). Psl 23 (1) menentapkan bahwa penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk pelaksanaan tugas tersebut dapat diangkat penuntut umum ad hoc Psl 23 (2). Hasil penyidikan dan penuntutan yang sudah dapat dievaluasi adalah dalam Kasus Tim-Tim yang telah selesai diperiksa di di Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim. Hasil penyidikan Kejaksaan Agungternyata sangat berbeda dengan ..laporan KPP HAM? dan laporan-laporan Penyelidik lainnya seperti International Committee of Inguiry on East Timor) ICIRT dan Serious Crimes Unit of East Timor

Lemahnya penyidik Kejagungn oleh Kejaksaan Agung menunjukkan dengan jelas penyakit sistemik yang menjangkiti Kejaksaan Agung, sebagaimana yang di simpulkan dalam Final Report of the Audit of the Public Prosecution Service of the Republic of Indonesia (FRAPS) tahun 2000, antara lain menyangkut:

  • Kompetensi dan Akuntabilitas
  • Sistem Hukum Indonesia secara tipikal tidak bekerja untuk memajukan mereka yang punya kompetensi, karena baik jaksa maupun hakim dinilai berdasarkan ukuran subyektif yakni” loyalitas, kejujuran dan kerjasama” bukan keberhasilan dalam kualitas keputusan maupun keberhasilan penuntutan”. Jaksa yang baik adalah yang mengikuti perintah dariatas.

    Struktur birokrasi yang kompleks dari Kejaksaan Agung serta lemahnya budaya akuntabilitas, membuat amat sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas penuntutan yang gagal. Kegagalan ini bisa diakibatkan oleh “ persiapan yang buruk dari penuntut, keputusan yang salah dari atasannya, atau strategi yang buruk dari penuntut atau oleh atasannya” Inilah salah satu persoalan yang muncul ketika Kejaksaan Agung mengumumkantersangka kasus Tim-Tim sebanyak 19 orang, dan semua pejabat tinggi militer yang bertanggungjawab dalam aras kebijakan tidak ada yang menjadi tersangka. Kejaksaan Agung tidak menjelaskan kepada publik tentang perbedaan yang begitu besar dengan “hasil Penyelidik KKPPHAM Tim-Tim.

  • Militerisasi Kejaksaan Agung & Alat Kekuasaan Politik
  • Struktur hirarkis yang kaku dari Kejagung, membuat pejabat bawahan tidak akan bicara kalau atasan ada, perintah datang dari atas, diskresi terbatas, prakarsa bukan sesuatu yang dihargai, sanksi bagi kesalahan dapat diubah. Aturan yang rinci, adanya persetujuan atasan atas rencana prosekusi dan seringnya penilaian membuat sempitnya kesempatan untuk diskresi di semua aras.

    Tidak boleh dilupakan bahwa Kejagung untuk puluhan tahun adalah alat untuk menegakkan kebijakan pemerintah dan tidak harus menegakkan hukum. Begitu juga Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda selama puluhan tahun dijabat olehanggota militer, membuatistitusi ini sangat akomodatif terhadap kultur militer. Hal ini tampak, pejabat yang berpakaian ala militer, upacara ala militer, cara memberi salam ala militer dst.

    Dalam struktur yang seperti itu, jaksa yang ditugaskan sebagai penyidik dalam prakteknya melihat ke atasannya. Sikap atasan secara langsung atau tidak langsung akan memberi tahu sejauh manaprioritas satu kasus harus disidik, dan dituntut.

    Dengan melihat kehadiran 1 atau 2 orang penuntut dalam persidangan kasus-kasus Tim-Tim berhadapan dengan 10 s/d 15 pembela hukum para terdakwa, denganjelas dapat dilihat bahwa Kasusini bukan prioritas bagi Kejagung, karena Kejagung juga melihat tanda-tanda sejauh mana pemerintah dan kekuatan-kekuatanpolitik menyikapi kasus itu.

    Dengan demikian alokasi dana juga amat kecil untuk penyidikan dan penuntutan. Pemeriksaan saksi melalui tele-conferemce hanya dapat diadakan karena desakan yang kuat dari luar tubuh Kejaksaan Agung, dan juga adanya pihak lain yang memberi sokongan dana untuk membiaya tele-conference itu.

    Perlakuan dalam penyidikan dan penuntutan yang memperlakukan kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai pidana ringan, tampak dari berbagai keadaan seperti: para tersangKejagung dan kemudian terdakwa tidak pernah di tahan’, begitu juga usaha yang minimal dalam menghadirKejagungn saksi maupun bukti-bukti material lainnya dalam Kasus Tim-Tim.

Oleh karenanya kelemahan penyidikan dan penuntutan terutama terletak akibat dari penyakit yang sistemik dari Kejaksaan Agung, dan bukan terletak dalam kelemahan UU 26/2000.

Kelemahan yang bersifat struktural justru pada pengaturan UU 26/2000 yang meletakkan dua fungsi, penyelidikan dan penuntutan di satu institusi yang sangat hirarkis seperti Kejaksaan Agung. Dalam keadaan demikian tidak dimungkin satu hubungan antara penyidikan dan penuntutan yang bersifat check and balance.

Tentang hubungan kerja Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (Kejagung)

Dari sejak kasus Tim-Tim hubungan kerja antara Komnas HAM dengan Kejagung hampir tidak ada. Satu-satunya pertemuan antara tim penyidik Kejagung dengan Komnas HAMadalah pertemuan untuk menjelaskan bagaimana membaca data base KPP HAM Tim-Tim yang menggunakan sysytem HURIDOCS. Selama penyidikan oleh Kejagung tidak pernah ada permintaan berhubungan denganhasil penyelidikan Komnas HAM.

Hubungan kerja yang amat menganggu terjadi dalam kasus TSS. Laporan penyelidikann Komnas HAM pada awalnya dikembalikan untuk dilakukan perbaikan terutama dalam format berita acara pemeriksaan. Setelah diperbaiki kemudian laporan diserahkan ke Kejagung. Tidak lama kemudian laporan itu dikembalikan dengan alasan baru yang belum pernah dikemukan Kejagung dalam kasus Tim-Tim, T.Priok dan Abepura yakni penyelidik ad hoc harus diambil sumpahnya. UU 26/2000 tidak mensyaratkan hal tersebut. Memang untuk penyidik ad hoc disyaratakan untuk mengangkat sumpah sebelum melakukan tugasnya ( Psl 21 (3). Permintaan Kejagung ini ditolak Komnas HAM.

Dalam kasus yang sama penyelidik ad hoc juga meminta Kejagung agar mengeluarkan perintah penyitaan berbagai dokumen dari instansi TNI dan Polri yang berhubungan dengan kasus TSS”, permintaantersebut tidak pernah dipenuhi.

Tahap pemeriksaan di pengadilan

Berbagai persoalan yang dihadapi dalam tahap penyidikan dan penuntutan dihadapi juga selama pemeriksaan di pengadilan. Independensi Pengadilan HAM ad hoc juga dipertanyakan berhubung dengan lemahnyaindependensi dari semua sistem peradilan di Indonesia’?. Proses persidangan kasus Tim-Tim di pengadilan menjadi gambaran kehendak dan komitmen politik pemerintah atau kekuasaan politik lainnya dalam menyelesaikan kejahatan terhadap kemanusian yangterjadi di Timor Tirftur tahun 1999.

Prioritas yang rendah dari pemerintah secara nyata tercermin dari dukungan adminsitrasi yang sangat lemah untuk Pengadilan HAM Adhoc. Kebutuhan yang paling pokok dari hakim tidak tersedia seperti, ruang kantor, komputer, foto copy, kertas, staf pendukung adminitrasi apalagi untuk kebutuhanriset tidak ada. Bahkan honor bulanan para hakim pertama kali dibayarsetelah 8 bulan persidangan berjalan.

Ketentuan tentang pengangkatan hakim ad-hoc untuk Pengadilan HAM disamping hakim karier sebenarnya didasarkan kepada pemikiran bahwa hakim ad hoc, pertama, akan menambahberbagai pengetahuan baru berhubung dengan hukum hakasasi manusia dan hukum humaniter internasional yang dibutuhkan dalam mengadili kejahatan terhadap kemanusian, sebagaisatu extraordinary crime. Kedua, hakim ad hoc belum atau tidak mengidap penyakit sistemik pengadilan pada umumnya.

Dari rekruitmen hakim ad hoc ternyata hanya beberapa orang yang mempunyai pengetahuan yang memadai tentang hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Oleh karena itu tujuan pengangkatan hakim ad hoc tidak sepenuhnya tercapai.

Selain itu hakim karier yang ditunjuk sebagai anggota majelis hakim dalam Pengadilan HAM Adhoc Tim-Tim, ternyata tidak dibebaskan dari tugas-tugas mengadili perkara lain. Sehingga konsentrasi untuk mengadili kejahatan yang luar biasa tidak ada.

Dengan demikian tidaklah mengherankan bagaimana berbagai pertimbangan dan keputusan yang diambil oleh majelis-majleis hakim sangat berbeda dari satu perkara ke perkara lainnya. Penerapan doktrin-doktrin hukum seperti “sistematik atau meluas”, “tanggungjawab komandan” diterapkan secara berbeda , sehingga kefanggalan seperti dalam kasus pembebasan Tono Suratman berhadapan dengan penghukuman atasannya Adam Damiri dapat terjadi. Padahal kedua-duanya dituntut atas dasar tanggungjawab komandan.

Kewibawaan pengadilan juga direndahkan oleh banyaknya peristiwa-peristiwa yang menyimpang dari ketentuan yang ada, seperti adanya pengunjung sidang yang membawa pestol ke ruang sidang. Kehadiran anggota TNI yang berseragam ketika terdakwa perwira tinggi TNI di periksa . Belum lagi teriakan-teriakan pengunjung yang mengecam hakim atau memberi dukungan bagi terdakwa. Semua itu menunjukkan bagaimana pengadilan di intimidasi secara nyata.

Kehadiran saksi korban dipersidangan yang sangat sedikit pertama-tama di sebabkan oleh persiapan yang sangat tidak memadai dari jaksa penuntut. Beberapa saksi korban menolak datang ke Jakarta karena alasan keamanan. Bahkan saksi korban yang berani datang ke Jakarta dari Timor Timur merasakan intimidasi baik di luar ruang sidang maupundi dalam ruang sidang.

Sering terjadi Hakim memerintahkan penuntut untuk menghadirkan saksi korban, tapi tidak terpenuhi”. Karena persidangan sudah harus rampung dalam 180 hari’”, makasaksi lain yang diperiksa terlebih dahulu, dan saksi-saksi tersebut keterangannyajustru sering meringankan terdakwa.

Kurangnya bukti-bukti yang disampaikan penuntut dalam persidangan sering ditimpakan sebagai kesalahan dari KPP HAM Tim-Tim, padahal data-data yang dikumpulkan KPP HAM Timtim amat banyak untuk mendukung pembuktian adanya kejahatan yang sistematik atau meluas yang dapat ditelusuri dari daftar peristiwa, pelaku, korban dan lain-lain. Berbagai dokumen yang menunjukkanketerhubungan TNI dengan milisi telah disebut dalam laporan KPP HAM Tim-Tim dan begitu juga berbagai dokumen yang dimiliki oleh UNTAET. Dokumen-dokumenitu sebenarnya dapat diminta oleh Kejagung sesuai dengan Memorandum of Understanding (MOU)antara UNTAET dan Jaksa Agung RI tanggal 5 April 2000. Haruslah pula diingat bahwa tugas Komnas HAM hanyalah sampai mengumpulkan bukti permulaan atas dugaan adanya pelanggaran berat hak asasi manusia, sedangkan pengumpulanbarang bukti adalah tugas penyidik yakni Kejagung.

Mengevaluasi pemeriksaan di persidangan memang tidak semata-mata dengan melihat keputusan persidangan: berapa yang dihukum dan berapa yang dibebaskan’”. Walaupun hal itu penting, namun yang lebih penting adalah melihat apakah proses persidangan tersebut berjalan secara fair dan tidak memihak.

Dari uraian diatas tampaklah jelas bahwa dari proses pengadilan kasus Tim-Tim yang berjalan sejak April 2002 hingga Augustus 2003, dapat kita simpulkan bahwa keadilan tidak dapat ditegakan.

Penutup

Persidangan kasus-kasus di Pengadilan HAM Ad hoc Tim-Tim tidaklah terlepas dari keadaan politik riel yang ada. Komitmen politik Pemerintah yang lemah dalam menyelesaikan kasus kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi di Tim-Tim tahun 1999, tergambar dalam proses persidangan terutama dalam menilai kualitas penyidikan dan penuntutan yang sangat lemah oleh Kejagung.

Para hakim Pengadilan HAM Ad hoc memang menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Selain sumber daya yang terbatas, para hakim juga berhadapan dengan opinipara pemimpin pemerintahan dan politik, begitu juga sebagian masyarakat umum yang melihat apa yang terjadi di Tim-Tim tahun 1999 adalah ekses dari jajak pendapat, dan berbagaiperistiwa yangterjadi bersifat spontan dan konflik horizontal antara pendukung integrasi dan pendukung kemerdekaan. Penuntutan tidak menggambarkan denganjelas bahwakejahatan yang sistematis atau meluas yangterjadi di Tim-Tim hanyadapatterjadi karena adanya kebijakan aparat negara (TNI/POLRI) yang mendukung, melatih dan membiaya kelompok-kelompokmilisi sehingga terjadi kejahatan terhadap kemanusian berupa pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan, perkosaan, pengungsian paksa, dan pembumi hangusan.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa Pengadilan HAM Adhoc Tim-Tim yang banyak menimbulkankritik dari para pekerja hak asasi manusia dari dalam maupun luar negeri, menggambarkan kombinasi dari ketidakmauan (unwilling) dan ketidakmampuan (unable) negara untuk mengadili secara adil dan tidak memihak kasus kejahatan terhadap kemanusia yangterjadi di Timor Timur tahun 1999.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

Antara Realitas dan Harapan

Pendahuluan:

Rangkaian pelanggaran hak asasi manusia selamasejarah orde baru, telah menimbulkan derita dan rasa ketidakadilan yang luarbiasa yang diderita oleh banyak orang Indonesia. Pelanggaran-pelanggarantersebuttidak pernah mendapatpenyelesaian yang tuntas dalam pengertian: dipulihkannyahak para korban/keluarga, dan dihukumnyasecara setimpal pelaku atau penanggungjawab pelanggaran tersebut. Efek lain yang tak kurang beratnya, adalah pelanggaran-pelanggaran tersebut menjadi berulang-ulang. Tidak ada petunjuk bahwa di masa depan pelanggaran tak terulang. Efek inilah yang pada mulanya melahirkan rasa takut yang mendalam terhadap kekuasaan negara. Namunketikarasa takut berkurang atau menghilang, maka yang muncul “kepermukaan adalah rasa benci dan dendam,serta hilangnya kepercayaan kepada pemerintah. Sebenarnya bahkan semua warga tanpa disadari selama puluhan tahun hak asasinya tidak dihormati. Hak-hak yang dilanggar menyangkut hak-haksipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Keadaan demikian itu telah pula menimbulkan keragu-raguan apakah benar seseorang itu punya hak asasi, bahkan orang tidak tahu bahwa ia mempunyai hakhak asasi yang tidak dapat dikurangi atau dihapuskan. Padahal hak-hakitu ada karena ia manusia, dan bukan pemberian siapapun termasuk negara. Tentu bagi orang yang percaya kepada Tuhan memahamihak-hak tersebut adalah karunia dari Tuhan sang Pencipta.

SUMBER PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Pertanyaan yang harusdijawab ialah :Kenapa pelanggaran hak asasi manusiaterjadi seakan-akan tidak ada tanda berhenti? Secara sederhana dapat dijawab bahwadiIndonesia tidak terdapat kondisi minimal bagi terlindunginya hak asasi manusia. Jawaban sederhanaitu tentu akan melahirkan pertanyaan berikut : kenapatidak ada kondisi minimaltersebut? Setidak-tidaknya kita mencatat beberapa akar masalah dari kondisi yang demikian sbb:

Pertama : Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia mestinya ditempatkan dalam konstitusi. Perdebatan soal ini sudah tampak dalam sidang-sidang BPUPKI/PPKI. Dalam sidang-sidang tersebut Hatta dan Yamin meminta agar dalam pasal-pasal pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia secara tegas dimuat dalam UUD . Soepomo dan Sukarno menentangusul tersebut dengan alasan bahwa perlindungan hak asasi manusiaitu sebagai pikiran yang individualistis dan liberal dan“bertentangan dengannilai-nilai kekeluargaan yang menjadi asas masyarakat Indonesia. Lebih lanjut mereka berkata, Negara justru akan melindungi semua warganya. Tetapi Hatta menjawab bahwaadalah perlu jaminan penghormatan hak asasi manusia dalam konstitusi. Memang akhirnya ada pasal-pasal kompromi yang perumusannyatidak memberikan perlindungan yang tegas (kebebasanberserikat,dst). Paham integralistik ini amat disukai penguasa, karena dengan mudah dipakai sebagai alasan pembenaran pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana yang dapatkita rasakan dan saksikan selamarejim orde baru. Alasan-alasan seperti demi kepentingan umum,demi kepentingan rakyat banyak, demi kepentingan pembangunandst, digunakan untuk pembenaransikap atau tindakan yang tidak menghormati hak asasi manusia.

Kedua: Kekuasaan Negara khususnya dominasi kekuasaan pemerintah yang amat kuat sehinggatidak dapat diawasi secara efektip. Indonesia memang punya DPR(legislatip), tetapi puluhan tahun kerjanya hanya menjadi stempel karet untuk melegalisasi kebijakan pemerintah. Indonesia punya Peradilan (judikatip) dari MA sampai PN,tetapi tidak bebas. Peradilan dikendalikan oleh Pemerintah. Sehingga supremasi hukum hanyaisapan jempol. Kekuasaantersentraliser di tangan seorang yang menjadi pucuk cabang pemerintahan. Proses ini tidak lepas dari peranan ABRI di bidang sosial dan politik. Padahal sifat kekuasaan adalah korup, sebagaimana yang telah berulang-ulang dibuktikan oleh sejarah kemanusian dimanapun. Patut disebut adagium yang populer : Power tend to corrupt, absolute power absolutely corrupt (Lord Acton). Tanpa pengawasan yang memadai pemegang kekuasaan akan korup, akan menyelewengkan kekuasaan yang ada ditangannya ( abuse of power) untuk mempertahankan kekuasaanya, memperkayadiri dan kaki-tangannya.

Ketiga : Lemahnya masyarakat yang terorganisasikan dalam berbagai lembaga. Proses pelemahan masyarakat( sehingga tak dapat mengawasi kekuasaan) bermula dari trauma peristiwa 1965. Penguasa Orde baru telah memanfaatkan keadaantersebut dengan proses depolitisasi masyarakat. Politik seakan-akan sesuatu yang jahat dan berbahaya. Lima(5) paket UU Politik telah menghabiskan kemandirian organisasi atau lembaga-lembaga dalam masyarakat. Social controle menjadi mandul. Berbagai organisasi atau lembaga masyarakat yang mengambilposisikritis telah menjadi korban intervensi dan kooptasi oleh Negara. Begitu juga kebebasan pers dipasung, sehingga kehilangan fungsi pengawasannya. Disamping itu ada dua masalah dalam tubuh masyarakat yang turut memperlemahposisi masyarakat yakni : masalah hubungan antar umat beragama dan hubungan denganetnis Cina ( Tionghoa).

Keempat: Strategi Pembangunan Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dijalankan dengan bayaran hak asasi manusia. Proses trade-offini berdalih bahwa hakhak asasi manusia kelak akan dipenuhi dan dihormati setelah pembangunan ekonomi berhasil. ( kasus Kedung Ombo,kasus Asahan, Indorayon dst). Pembangunan yang mengabaikan asas demokrasi( persisnya keadilan) telah dilakukan d&ngan sengaja “ dengan alasan bahwasetelah pertumbuhan ekonomidicapai, maka hasil pembangunan akan menetes juga ke bawah( trickle down efect). Tetapi setelah melakukan pembangunan 30 tahun yang dicapai adalah jurang yang mengangaantara simiskin dan sikaya, antara pusat dan daerah. Kerusakan lingkungan yangluar biasa, hutang LN yang amat besar (terbesar di dunia). Ketika krisis moneter melanda beberapanegaradi Asia Timur, maka satu tahun kemudian tinggal Indonesia yang masih berkubang dalam lumpurkrisis. Kelemahan-kelemahan ini dan kemungkinan bahayanya bukan tidak disadari sejak awal, namun suara-suara yang memberi peringatan telah diabaikan, kalau tidak dibungkam dan ditindas. Lihatlah contoh sederhana: Protes petani yang tanahnya digusur dengan cepat dibungkam dengan cap (stigma) PKI, GPK, Anti Pembangunan,dst.

PERKEMBANGAN PARADOKSALDI MASA TRANSISI

Setelah minggirnya JBS dan BJH sebagai presiden masatransisi ( yang tak pernah secara terbuka diakui, malahan kabinetnya diberi nama Kabinet Reformasi pembangunan) segera memberi tanggapan terhadapkritik dan tuntutan terhadap berbagai masalah hak asasi manusia. Berbagai langkah seperti pengesahan RANHAM 1998-2003, Tap MPR: Piagam HAM,ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Pembebasan sebagian Tapol, dst. Langkah-langkahini secara retorik menunjukkan pemajuan hak asasi manusia yang berarti, tetapi pemajuanini paradoks denganrealitas sehari-hari. Perlindungan hak asasi manusia yang diharapkantidak terjadi. Berbagai pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintah( sipil & militer) terus berlangsung dan tak mendapat penyelesaian yang tuntas. Untuk tahun 1998 saja kita mencatat berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berkualifikasi pelanggaran berat tidak mendapat penyelesaian antara lain: kasus penculikan aktivis, kasus penembakan mahasiswatrisakti, kerusuhan Mei, Kasus Semanggi, dst. Begitu juga pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat horisontal yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atas kelompok masyarakatlainnya ( kasus ketapang, kupang, ambon/maluku, sambasdst) justru meningkat. Akhirnya harus juga dicatat ketidakjelasan sikap pemerintah atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang besar danberat seperti yang terjadi di Aceh, Papua Barat, Timor Loro Sae, Lampung, tanjung Priok, bahkan peristiwa lanjutan G-30-S. Apakah pelanggaran-pelanggaran tersebut akan diselesaikan, atau cukup dengan meminta maaf, serta meminta kita berlapang dada untuk melupakannya.

REFORMASI UNTUK PEMAJUAN DAN PERLINDUNGANHAKASASI MANUSIA

Bila prosestransisi berjalan sesuai dengan jadual, maka diharapkan prosestransisi akan berakhir dengan terbentuknya satu pemerintahan yang dipercaya rakyat lewat Pemilu. Pemerintah baru nantinya mempunyai tugas pokok untuk membangunkondisi minimalbagi terlindunginya hak asasi manusia.Ini berarti 4 akar masalah yang disebut di atas harus ditangani. Untuk itu dibutuhkan:

a. Jaminan Konstitusional, dimana harus secara tegas dimuatnya ketentuan-ketentuan yang menjamin penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dalam UUD. Untuk itu langkah amandemen UUD 45 harusdilaksankan. Begitu juga proses harmonisasi perundang-undanganharusdilaksankan, dalam manaperaturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hak asasi manusiaharus diganti, dan peraturan undang-undang yang diperlukan untuk melindungi hak asasi manusia harus dibuat.

b. Separasi kekuasaan cabang eksekutip, legislatip dan judikatip. Dengan demikian dicegahnya kekuasaan cabang eksekutip mendominasi cabang judikatip dan legislatip. Asas Supremasi Hukum hanyabisa diwujudkanbila ada seperasi kekuasaan. Dalam kerangkaini juga dekonsentrasi kekuasaan harus dilakukan, sehingga kekuasaan tidak terpusat di ibukota. Persoalan lain yang tak kurang pentingnya adalah penghapusan dwifungsi ABRI. Sehingga angkatan perang sungguh-sungguhprofesionalsebagai alat pertahanan kearnanaria.

c. Masyarakat yang kuat. Meskipun ada jaminan konstitusional dan adanya separasi kekuasaan, namun kalau masyarakat yang terorganisasikan dalam lembaga-lembaga di masyarakat masih a-politis dan tidak mengembangkan solidaritas yang kokoh, maka pelanggaran hak asasi manusiabisa saja terjadi, tanpa penyelesaian yang tuntas. Patut dicatat bahwa pada tanggal 9 Desember 1998, PBB telah menyetujui Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia( Decleration of Human Rights Defender), di mana dinyatakan bahwasetiap orang, maupun organisasi masyarakat mempunyai hak untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

d. Strategi pembangunan yang dapat mengembangkan kekuatan ekonomirakyat, dengan bersandarkan kepada kemandirian. Jurang antara sikaya dan simiskin, antara pusat dan daerah harus secara khusus ditangani dengan berbagai kebijakan yang secara sengaja disusun untuk mengurangi jurang tersebut. Pembangunan yangsentralistik harus ditinggalkan sehingga perencanaan pembangunanharus dikembalikan ke daerah dan wilayah, sedangkan Pusat hanya bertindak sebagai koordinator dan fasilitator. Termasuk dalam hal ini adalah keputusan pengelolaan sumber daya alam harus ebih ditentukan oleh daerah atau wilayah.

PEMILU SATU LANGKAH AWAL

Pemilu sebagaisalah satu wujud kehidupan demokrasi, merupakan awal kepada dimungkinkannyareformasi menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita ..menyadari bahwa UU Pemilu dibuat oleh Pemerintah dan DPR yang legitimasinya masih diperdebatkan. UU pemilu 1999 lebih baik kalau dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya. Namundari segi ideal Pemilu 1999 masih mempunyaikekurangan. Atas alasan tidak adanya legitimasi Pemerintah dan DPR maka aktivis mahasiswa menolak Pemilu 1999. Persoalannya bagi banyak pihak sekarang ini adalah memilih jalan yang kurang buruk dari antara yang buruk-buruk. Sehingga banyak kalangan termasuk PRDsebagai partai yang revolusioner — menerima Pemilu 1999. Pemilu memang langkah awal- yangbila berhasil dilaksanakansecarajujur dan bersihyang harusdiikuti dengan langkah-langkah lanjutan yang tak kurang pentingyadari Pemiluitu sendiri. Kita harusrealistis. Pemilu bukan lampu Aladin yang akan menyelesaikan semuasoal yang kita hadapi sekarang ini. Pemilu hanya satu langkah, satu kesempatan untuk terbentuknya Pemerintahan yang dapat dipercaya rakyat, yang dapat meneruskan proses pembaharuan dalam kehidupan bangsa dan negara. Sebagai kesempatanbisasaja berhasil dan bisa tak berhasil. Semua terpulang kepadarakyat Indonesia.

Bila memang seseorang memutuskan akan memberi suaranya dalam Pemilu yang akan datang, haraplah dia menyadari bahwasuaranyaitu mulia. Oleh karenaitu ia hendaknya sungguh-sungguh memberi suaranya kepada Partai yang mempunyai kemungkinan bekerja dan berjuang bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Partai yang menjunjung tinggi asas persamaan hak dari setiap orang, tanpa membedakan latar belakang keyakinan, agama, suku, warna kulit dan gender.

Ulujami, 30 April 1999.

0 comments
0 FacebookTwitterPinterestThreadsBlueskyEmail
Older Posts